Anda di halaman 1dari 13

Pendahuluan

Latar belakang
Di Indonesia hak untuk memilih dalam pemilihan umum tidak wajib. Ini berarti bahwa
semua warga negara bebas dalam menggunakan hak pilihnya. Golput (golongan putih) adalah
salah satu bentuk perlawanan terhadap praktik politik dari orang-orang yang kecewa terhadap
penyelenggaraan negara dengan cara tidak memilih partai atau legislator (dalam pemilu
legislatif) atau Presiden (dalam pemilu Presiden). Mereka yang golput sebagian besar
menganggap para penyelenggara negara dan partai-partai yang ada tidak menyuarakan dan pro-
kebaikan berpolitik. Jadi, daripada memilih partai yang ada lebih baik tidak memilih siapa pun.
Anggapan mereka, partai-partai yang ada akan berperilaku buruk pula bila memenangkan
pemilu.
Secara umum, keberadaan berpantang pemilih merupakan fenomena alami karena hal
ini terjadi di banyak negara. Ada dua jenis pemilih abstain (golongan putih). Yang
pertama adalah pemilih yang dengan sengaja memutuskan untuk tidak memilih. Yang kedua
adalah pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih. Dari perspektif hak
asasi manusia, pelanggaran hak pasif untuk memilih diklasifikasikan
sebagai pelanggaran terhadap hak sipil dan politik. Sumber tersebut berasal
dari martabat manusia dan ini melekat pada manusia. Hal ini harus dihormati dan
dilindungi oleh negara.
Idealnya dalam negara yang mengedepankan kebersamaan, tidak ada rakyat yang golput.
Negara dianggap sebagai urusan bersama demi kesejahteraan bersama sehingga perlu dibenahi
oleh seluruh komponen dalam masyarakat secara bersama-sama. Namun, kenyataannya adalah
sulit untuk meniadakan golput sama sekali.
Hal yang perlu dilakukan untuk meminimalkan golput adalah dengan mempraktikkan
politik yang mulia, yang dilakukan seadil mungkin, sejujur mungkin, sebersih mungkin disertai
niat untuk memperbaiki dan memuliakan negaranya. Bagaimanapun, kinerja politik suatu bangsa
akan lebih baik hasilnya bila dilakukan secara gotong-royong yang melibatkan semua komponen
masyarakat. Bila tidak demikian, maka golput akan semakin besar dan menjadi duri di dalam
daging dalam praktik politik bangsa
Rumusan Masalah :
1. Apa yang dimaksud dengan golongan putih?
2. Apa keterkaitan golongan putih ditinjau dari Hak Asasi Manusia?
3. Bagaimana pandangan terhadap hak pilih warga negara dalam pemilu?
4. Bagaimana menyikapi fenomena golongan putih?

Tujuan :
1. Mahasiswa mampu memahami pengertian dari golongan putih
2. Mahasiswa mampu memahami keterkaitan golongan putih ditinjau dari perspektif
Hak Asasi Manusia.
3. Mahasiswa mampu mengetahui pandangan terhadap hak pilih warga Negara dalam
pemilu.
4. Mahasiswa mampu menyikapi fenomena golongan putih.
Pengertian Golput
Kata golput adalah singkatan dari golongan putih. Makna inti dari kata golput adalah tidak
menggunakan hak pilih dalam pemilu dengan berbagai faktor dan alasan. Fenomena golput
sudah terjadi sejak diselenggarakan pemilu pertama tahun 1955, akibat ketidaktahuan atau
kurangnya informasi tentang penyelenggaraan pemilu. Biasanya mereka tidak datang ke tempat
pemungutan suara.

Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971.
Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan
almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main
berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak.

Menurut beberapa pakar politik, seperti Arbi Sanit, golput adalah gerakan protes politik yang
didasarkan pada segenap problem kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan golput adalah
penyelenggaraan pemilu. Berbeda dengan kelompok pemilih yang tidak menggunakan hak pilih
karena berhalangan di luar kontrolnya. Kaum golput menggunakan hak pilih dengan tiga
kemungkinan :

 Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai.


 Kedua , menusuk bagian putih dari kartu suara.
 Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak
pilih.
 Jadi golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan
yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu.
 Orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemungutan Suara (TPS) hanya karena
alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan
dari kategori golput.

Sementara Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan.

 Golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga
meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau
mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah.
 Golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena
kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu).
 Golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia
atau tak percaya bahwa pemilu legislatif/pemilukada akan membawa perubahan dan
perbaikan.
 Golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal)
dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan
politik-ideologi lain.

Sedangkan menurut Novel Ali (1999;22) di Indonesia terdapat dua kelompok golput.
 Kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan
karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya.
Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya
sampai tingkat deskriptif saja.
 Kelompok golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya
dalam pemilu benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas
partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi politik
lain yang belum ada. dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis politik mereka
jauh lebih tinggi dibandingkan golput awam. Golput pilihan ini memiliki kemampuan
analisis politik yang tidak cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat
evaluasi.

Seandainya golput akan di organisasi, Menurut Roni Nitibaskara, akan menjadi semacam partai
atau gerakan oposisi yang harus mempunyai alibi ideologis yang dapat diterima semua peserta
golput. Realitas ini kecil kemungkinannya terbentuk karena banyak alasan mengapa orang tidak
memberikan suaranya.
Kesamaan dalam golput hanya dalam hal memilih untuk tidak memilih.

Keterkaitan golput ditinjau dari perspektif HAM


Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan wahana bagi warga negara untuk menggunakan
hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak sebagai wakil yang akan duduk di
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun sebagai Presiden
dan wakil presien.
Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right)
setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap
hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-Amandemen) maupun UU, yakni
UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan
Hak-hak Sipil dan Politik.
Hak untuk memilih wakil rakyat atau presiden/wakil presiden sepenuhnya adalah hak
asasi subyektif dari setiap individu. Penggunaannya tidak boleh diintervensi oleh siapapun, baik
itu negara maupun masyarakat.
Setiap warga negara secara personal bebas menentukan penggunaan hak memilihnya,
tanpa takut terhadap ancaman dalam bentuk apapun. Pemenuhan hak tersebut dijamin oleh
undang-undang. Untuk itu, negara harus melindungi hak politik warga negara itu dari berbagai
ancaman yang berasal dari kelompok masyarakat atau institusi negara. Jaminan perlindungan
itulah yang akan menentukan kualitas pemilu.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 disebutkan salah satu hak warga negara yang
mendasar adalah hak untuk mempergunakan suaranya, disamping hak-hak warga negara
Indonesia yang lainnya. Selain pengaturan hak warga negara untuk memilih dan dipilih juga
termuat dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-
undang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.

Akhir-akhir ini masalah tentang golput dalam pemilu marak sekali dibicarakan,
sehubungan dengan RUU yang dibahas di DPR memasukkan pasal 142: ”Barang siapa dengan
sengaja mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilu yang
diselenggarakan menurut undang-undang ini diancam dengan pidana paling lama lima tahun.”
Jadi, dapat dikatakan bahwa orang yang mengajak untuk golput dapat dikategorikan
menghalang-halangi, sehingga dapat dikenai sanksi sesuai pasal tersebut.

Pendapat demikian menimbulkan pro dan kontra, yang menghendaki agar golput dilarang
adalah berdasar pada pemilihan umum dan hasilnya mendapat legitimasi dari rakyat. Sementara
itu pendapat sebaliknya menyatakan bahwa golput adalah hak yang harus dihormati dan golput
sendiri merupakan suatu pilihan.

Golput atau tidak mempergunakan hak pilihnya, baik hal tersebut karena kesalahan dari
KPU karena tidak tersedianya DPT ataupun karena kemauan sendiri dari masyarakatnya. Untuk
hal tersebut sebagian masyarakat punya pandangan yang berbeda.
Pemenuhan hak untuk menggunakan suara dalam Pemilu merupakan hak asasi manusia.
Dan untuk penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, pemenuhan tersebut sudah semestinya
dijamin oleh undang-undang. Dalam hal ini Komnas Hak Asasi Manusia beranggapan, hak
memberikan suara dalam pemilu juga memberikan hak kepada pemilihnya untuk
menggunakannya ataupun tidak. Dengan demikian, setiap orang bebas menggunakan atau tidak
menggunakan hak pilihnya itu. Masyarakat atau negara tidak dapat membatasi hak itu dengan
melarang, mengkriminalkan atau menjatuhkan sanksi moral terhadap orang yang tidak
menggunakan haknya tersebut.

HAK ASASI MANUSIA

Indonesia adalah bangsa yang menghormati dan menjunjung tinggi. Hak asasi manusia, hal ini selain
diatur dalam konstit juga merupakan falsafah dan budaya bangsa yang terdapat dalam rumusan
pancasila. Sila kedua pancasia adalah kemanusiaan yang adil dab beradab . kemanusiaan berasal dari
kata manusia yait makhluk berbudi yang memiliki potensi pikiran, rasa dan karsa. Kemanusiaan
terutama berarti sifat manusia yang merupakan esensia dan identitas manusia karena martabat
kemanusiaannya.

Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti kesadaran sikp dan perbuatan manusia yang didsarkan pada
potensi budi nurani manusia dalam hbungan norma norma dan kebudayaan umumnya baik terhadap
dari pribadi sesama manusia maupun terhadap alam dan hewan pada prinsipnya kemanusiaan yang adil
dan beradab adalah sikap dan perbuatan serta keputusan manusia yang sesuai dengan kodrat hakekat
manusia yang berbudi sadar nilai dan berbudaya. Karena itu kemanusiaan yang adil dan beradab
merupakan ikatan atau kewajiban manusia ( indonesia) untuk menjunjung norma-norma terutama
hukum moral ialah untuk memperlakukan sesama manusia bahkan makhluk-makhluk hewani secara adil
dan beradab berdasarkan norma-norma.

Kandungan yang ada dalam sila kemanusiaan yang beradab dapat dijelaskan sebagai berikut:

-bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan yang maha esa mempunyai kekhususan yang bersifat
universal yaitu sifat kemanusiaan beserta segala seginya . bagi bangsa indonesia kemanusiaan indonesia
adalah kemanusiaan yang adil dan beradab.

Pada hakekatnya ajaran kemanusiaan ini, memandang setiap manusia didunia inisederajat yang harus
diperlakukan sesuai dengan fitrahnya sebagai makhluk tuhan yang mulia. Lebih jauh kemanusiaan yang
dituntut oleh filsafat hidup bangsa indonesia adalah kemanusiaan yang adil dan beradab, hal ini berarti
bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama terhadap undang-undang
negara. Mempunyi kewajiban dan hak-hak yang sama sehingga menumbuhkan rasa keadilan diantara
segenap warga warganya.

Disamping itu sebagai ciri bangsa yang beradab , maka setiap warganya dijamin haknya serta
kebebasannya yang menyangkut hubungan dengan tuhan, dengan orang-orang seorang, denan negara,
dengan masyarakat, dan menyangkut pula kemerdekaan menyatakan pendapat , mencapai kehidupan
yang layak sesuai dengan hak asasi manusia. Dengan demikian yang menjadi ukuran bagi hal-hal yang
bertentangan dengan kemanusiaan didalam semua kegiatan hidup ini adalah nilai kemanusiaan,
sehingga tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan.

Hak untuk tidak memilih( golput)

Pemilihan umum tahun 2004 adalah pemilihan umum yang pertama setelah undang-undang dasar 1945
mengalami amandemen, tentunya tujuan pemilihan umum tahun 2004 akan berbeda dengan pemilihan
umum sebelumnya karena lembaga-lembaga negara juga mengalami perubahan terutama majelis
permusyawaratan rakyat (mpr) dan presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat yang juga lewat
pemilu. Undang-undang no.3 tahun 1999 yang mengatur pemilihan umum tahun 1999 perlu, dirubah
krena tidak ssuai lagi dengan perkembangan masyarakat maupun perkembangan konstitusi.
Dalam sejarah pemilihan umum di indonesia hak pemilihan umum masa orde lama tahun 1955),
pemilihan umum orde baru (1971,1977,1982,1987,1992,1997) maupun pemilihan umum pada era
reformasi 1999, golongn putih atau golongan yang tidak memilih salah satu dari organisaasipeserta
pemilu selalu saja ada, walaupun prosentasinya naik turun.

Merebaknya pembicaraan tentang golput ini dimulai menjelang pemilihanumum 1987, dimana sat itu
ada kelompok diberbagai kota yang dipelopori oleh mahasisw di kampanyenya masing- masing
mengadakan orasi dan diskusi-diskusi tentang golput yang kemudian berakhir dengan tindakan rfresif
aparat keamanan dengan menangkap para tokoh dari pimpinan mahasiwa tersebut.saat itu oleh rezim
yang ebrkuasa, orasi dan diskusi tersebut dianggap melanggar ketentuan yang ada, namun sebetulnya
secara hukum moral tuduhan tersebut tidak terbukti yang ada adalah mengganggu kepentingan
subyektifitas rezim penguasa.

Di era sekarang, era reformasi yaitu era demokrasi dan penghormatanterhadap hak asasi
manusia ada upaya untuk menciptakan hukum yang refresif yaitu melalui undang-undang pemlu untuk
pemilu 2004 dimana dalam RUU tsebut merencanakan orang yang mengajak untuk golput termasuk
kedalam orang yang menghalang halangi atau mengacaukan pemilu dan untuk itu dapat dikenai pidana
maksimal lima

Pandangan Terhadap Hak Pilih Warga Negara Dalam Pemilu

Negara menegakkan kemanusiaan yang beradab. Negara menghargai kesetiaan rakyat


terhadap negara dan amal bakit warga terhadap masyarakat dan negara. Warga negara harus
menghormati perjanjian luhurnya kepada negara sebagai organisasi. Siapa saja yang berikrar
menjadi bagian dari organisasi negara dengan sendirinya harus menghormati hak negara. Negara
menghormati hak-hak pribadi warga negara sesuai dengan hukum. Hukum dan kemanusiaan
tidak boleh dipandang sebagai dua substansi yang terpisah. Maka, adanya Pengadilan HAM
merupakan sesuatu yang over bodig (berlebihan).
Prinsip HAM universal menempatkan hak memilih atau dipilih sebagai bagian dari hak
dasar manusia, yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
(Pasal 25) dan juga dijamin dalam konstitusi UUD 1945.
Prinsip HAM universal menyebutkan bahwa Negara wajib menjamin hak memilih (right
to vote) dan hak untuk dipilih (right to be elected). Karenanya, setiap negara diminta untuk
menerbitkan peraturan perundang-undangan dan upaya lain yang diperlukan untuk memastikan
setiap warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan apa pun memperoleh kesempatan yang
efektif menikmati hak ini. Hak ini pada pokoknya, menjamin setiap warga negara untuk secara
bebas (freely) turut serta dalam urusan publik dengan memilih wakil-wakilnya yang duduk di
legislatif dan eksekutif. Karenanya, hak ini juga berkaitan dengan hak yang lain dan tidak dapat
dipisahkan, yakni: kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul (freedom of expression,
assembly and association).

Konsep kewajiban biasanya dilawankan dengan konsep hak. Hak untuk berbuat menurut
cara tetentu seringkali ditafsirkan sebagai suatu keleluasaan (permission). Seseorang atas
keinginan atau kehendaknya sendiri, mungkin menggunakan atau tidak menggunakannya.
Apabila dikaitkan dengan keberadaan Golput, negara tetap berkewajiban untuk
menghormati dan melindungi warganegara yang mengambil pilihan untuk berpartisipasi secara
pasif dalam bentuk Golput tersebut.
Secara hukum memang tidak ada satu kekuatan apa pun yang dapat menghalang-halangi
seseorang untuk bersikap golput atau tidak menggunakan hak pilihnya. Namun, untuk
menghilangkan golput barangkali perlu dikaji lebih dalam kenapa sampai muncul orang-orang
yang tidak menggunakan hak pilihnya sebagai wujud dari hak kedaulatan yang ada pada dirinya.
Setidaknya secara umum ada beberapa faktor yang cukup signifikan memengaruhinya :
Pertama, dengan kesadarannya sendiri memang tidak ingin menggunakan hak pilihnya
disebabkan beberapa kemungkinan, seperti rasa tidak percaya kepada sistem pemilu. Bagi
masyarakat, pelaksanaan pemilu di Indonesia dinilai masih sekadar pesta demokrasi yang tidak
akan membawa perubahan apa-apa dalam kehidupan politik selanjutnya.
Kedua, ketidakpercayaan kepada kontestan (partai politik). Mereka menganggap bahwa tidak ada
figur andalan yang dapat mewakili aspirasi mereka. Ini dibuktikan dengan beberapa kali
penyelenggaraan pemilu. Para pemimpin dan wakil rakyat yang terpilih tidak dapat berfungsi
mengemban aspirasi politik mereka. Kondisi kehidupan politik yang lebih baik setelah
pelaksanaan pemilu ternyata tidak berlangsung di tengah kehidupan masyarakat. Malah yang
muncul justru konflik berkepanjangan antar elite politik atau parpol pemenang pemilu.
Melihat kondisi seperti itu maka jelas rakyat akan merasa semakin kecewa. Sehingga,
akhirnya mereka tidak lagi percaya kepada elite politik dan parpol yang ada. Masyarakat merasa
elite politik belum mampu membawa makna yang cukup berarti dalam menyalurkan aspirasinya.
Tolok ukur keberhasilan pemilu adalah peran serta aktif dalam pemilih di luar golongan
putih. Sebagai tolok ukur paradoksalnya (ketidakberhasilan) adalah rendahnya peran serta parpol
terhadap pendidikan politik serta kekecewaan terhadap terhadap praktik politik parpol dan elit
politik memberikan wacana negatif di benak pemilih.

Dengan minimal empat faktor di mana orang enggan untuk aktif berperan dalam pemilu
menurut Syamsudin Haris :
1. Kekecewaan sebagian publik terhadap parpol;
2. Parpol sebagian kaya akibat money politik;
3. KPU dan pengawas di daerah minim melibatkan civil society;
4. Sistem pemilu yang rumit.

Bagi yang golput karena soal teknis administratif, yaitu tidak tercantum dalam daftar
pemilih tetap (DPT), soal ini harus dicari akar masalah dan solusinya.
Untuk menggunakan hak memilih, pemilih harus didaftar, yang kewajibannya
dibebankan kepada penyelenggara pemilu (KPU dan jajarannya). Model pendaftaran yang dianut
dalam UU Pemilu ada stelsel pasif. Suka atau tidak, semua warga negara yang telah memenuhi
syarat akan didaftar. Hal ini membedakan dengan praktek di negara-negara maju, seperti
Amerika Serikat dan Inggris, yang menggunakan stelsel aktif. Untuk menggunakan haknya,
warga negara yang memenuhi syarat harus mendaftarkan diri secara aktif. Penyelenggara pemilu
tidak akan memberikan surat suara kepada pemilih yang tidak mendaftar.
Bila ada warga negara yang memenuhi syarat tidak terdaftar, KPU patut disalahkan. KPU
bisa dipersepsikan telah melalaikan kewajiban untuk mendaftar semua pemilih yang berhak
memilih. Namun, sejak zaman otoriter hingga demokratis hingga saat ini, data penduduk selalu
bermasalah. Birokrasi pemerintahan tidak bekerja untuk mendata penduduk secara lengkap dan
valid, yang akan digunakan dalam setiap pemilu. Padahal, pemilu adalah sesuatu yang bisa
diprediksi waktunya. Terlebih Indonesia mengatur sistem pemerintahan presidensial, bukan
parlementer di mana pemilu bisa diadakan sewaktu-waktu.
Persoalan administrasi kependudukan dan pendataan pemilih mencerminkan belum
bagusnya sistem pengelolaan potensi penduduk Indonesia. Padahal, validitas data pemilih juga
menjadi indikator terhadap integritas pemilu di Indonesia. Jika data pemilih tidak valid, tidak
akurat, kemungkinan pemilih dalam menjalankan hak memilihnya menjadi semakin
rendah. Karena itu, legitimasi politik dalam pemilu sangat dipertaruhkan di sini.
Mungkin puluhan atau ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka pemegang kartu tanda
penduduk dan terdaftar sebagai penduduk. Namun, mereka kehilangan hak pilih karena nama
mereka tak tertera dalam daftar pemilih tetap. Sebagian dari mereka datang ke tempat
pemungutan suara sambil membawa bukti-bukti identitas kependudukan. Tetapi, aturan
melarang mereka menggunakan hak pilih mereka. Halangan administrasi merenggut hak-hak
politik mereka, mereka terabaikan.
Kesimpulan dan Saran
Golput adalah fenomena alamiah yang pasti akan terjadi. Besaran jumlah Golput adalah
batasan yang perlu benar-benar di perhatikan jumlah Golput memiliki kecenderungan meningkat,
meski demikian masih terbuka peluang untuk meminimalisirnya. Namun untuk itu
penyelenggaraan Pemilu di tuntut harus mendorong keterlibatan publik seluas-luasanya untuk
mendapatkan informasi tentang adanya pemilihan.
Salah satu hal mendasar menyebabkan besarnya jumlah Golput adalah adanya motivasi
yang beragam dari para peserta pemilu. Motivasi tersebut lebih cenderung pada kepentingan
politik semata dengan mengabaikan hal-hal ini seprti pendidikan politik rakyat.
Pendidikan rakyat adalah hal yang strategis untuk menimbulkan efek Pemilu yang lebih
berkualitas. Melihat penyebab munculnya Golput di Indonesia karena kurangnya sosialisasi dan
pemahaman politik yang benar, maka pendidikan politik ini juga berpotensi untuk meningkatkan
tingkat partisipasi politik rakyat. Peluang untuk meminimalisir atau meletakkan jumlah Golput
pada posisi normal dan ideal masih terbuka luas, dengan melakukan pendidikan politik ke basis
rakyat.
Apabila ingin menciptakan kehidupan politik yang demokratis, maka menjadi tanggung
jawab masyarakat dan penguasa negeri ini untuk memberikan pendidikan politik yang lebih baik
kepada masyarakat. Kegagalan Indonesia membangun pendidikan politik, jelas merupakan
kegagalan dari elite politik dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Untuk itu, pendidikan politik ini
dapat diberikan dengan mengemban amanat rakyat dan tidak mengorbankan perasaan rakyat.
KPU dapat segera mengambil langkah-langkah signifikan untuk meningkatkan kualitas
data pemilih. Misalnya, melakukan perbaikan pola managemen kelembagaan dan perlunya
segera melakukan up grading besar-besaran dengan sebaik-sebaiknya terhadap personalia
KPU/KPUD
DAFTAR PUSTAKA

Bhayu M.H, Memilih Atau Tidak Memilih Dalam Pemilu Adalah Hak !,www.lifeschool.wordpress.com diakses Jumat 24
April 2009

Dadan Ramdhan, Mendiskusikan Konsep dan Praktek Pendidikan HAM di Sekolah, Artikel Pendidikan Network

Eep Saifulloh Fatah, Dosa-Dosa Besar Pemilu 2009, www.kompasonline.com, diakses pada Jumat Tanggal 24 April 2009

Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusa Media & Penerbit Nuansa, Bandung

Indonesia on time.com, Data Pemilih Pengaruhi Partisipasi Pemilih dalam Pemilu, Diakses, Jumat 24 April 2009

Kompas Edisi 3 Februari 2009, Penghormatan HAM, Hak Pilih Merupakan Hak Asasi Individu,

Moh. Mahfud MD, 2001, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta
Oksidelfa Yanto, Golput dan Pentingnya Pendidikan Politik, Media Indonesia edisi 17 September 2

Pemilu Indonesia, Dari Mana Suntikan Perolehan Suara Demokrat ?, diakses Rabu, 28 April 2009

Refly Harun, Menggugat Hilangnya Hak Pemilih, Harian Tempo, Edisi Rabu 15 April 2009

Tataq Chidmad, SH, 2004, Kritik Terhadap Pemilihan Langsung, Pustaka Widyatama, Yogyakarta

Tribun Timur e-paper, Rudiyanto Siapkan Sanksi Bagi PNS yang Golput, diakses pada hari Rabu Tanggal 29 April 2009

Pikiran Rakyat Online, PNS Golput Akan Dikenai Sanksi, diakses pada hari Rabu Tanggal 29 April 2009

Suara Merdeka, Walikota Larang PNS Golput, diakses pada hari Rabu, 29 April 2009

Situs Partai Gerindra, Bidang Hak Asasi Manusia, diakses tanggal 24 April 2009

Siaran Pers YBHI, Negara Wajib Melindungi Terhadap Hak Untuk Tidak Memilih Dalam Pemilu, diakses tanggal 24 April
2009

www.perpustakaanonlien.com, Pengertian, Macam dan Jenis Hak Asasi Manusia / HAM yang Berlaku Umum Global, 13 Juli
2006
www.tranparencyinternational.com, DPT Kisruh, Rakyat Kehilangan Hak Pilih, diakses Jumat Tanggal 24 April 2009

DAFTAR PUSTAKA

Bhayu M.H, Memilih Atau Tidak Memilih Dalam Pemilu Adalah Hak !,www.lifeschool.wordpress.com diakses Jumat 24
April 2009

Dadan Ramdhan, Mendiskusikan Konsep dan Praktek Pendidikan HAM di Sekolah, Artikel Pendidikan Network

Eep Saifulloh Fatah, Dosa-Dosa Besar Pemilu 2009, www.kompasonline.com, diakses pada Jumat Tanggal 24 April 2009

Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusa Media & Penerbit Nuansa, Bandung

Indonesia on time.com, Data Pemilih Pengaruhi Partisipasi Pemilih dalam Pemilu, Diakses, Jumat 24 April 2009

Kompas Edisi 3 Februari 2009, Penghormatan HAM, Hak Pilih Merupakan Hak Asasi Individu,
Moh. Mahfud MD, 2001, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta
Oksidelfa Yanto, Golput dan Pentingnya Pendidikan Politik, Media Indonesia edisi 17 September 2

Pemilu Indonesia, Dari Mana Suntikan Perolehan Suara Demokrat ?, diakses Rabu, 28 April 2009

Refly Harun, Menggugat Hilangnya Hak Pemilih, Harian Tempo, Edisi Rabu 15 April 2009

Tataq Chidmad, SH, 2004, Kritik Terhadap Pemilihan Langsung, Pustaka Widyatama, Yogyakarta

Tribun Timur e-paper, Rudiyanto Siapkan Sanksi Bagi PNS yang Golput, diakses pada hari Rabu Tanggal 29 April 2009

Pikiran Rakyat Online, PNS Golput Akan Dikenai Sanksi, diakses pada hari Rabu Tanggal 29 April 2009

Suara Merdeka, Walikota Larang PNS Golput, diakses pada hari Rabu, 29 April 2009

Situs Partai Gerindra, Bidang Hak Asasi Manusia, diakses tanggal 24 April 2009

Siaran Pers YBHI, Negara Wajib Melindungi Terhadap Hak Untuk Tidak Memilih Dalam Pemilu, diakses tanggal 24 April
2009

www.perpustakaanonlien.com, Pengertian, Macam dan Jenis Hak Asasi Manusia / HAM yang Berlaku Umum Global, 13 Juli
2006
www.tranparencyinternational.com, DPT Kisruh, Rakyat Kehilangan Hak Pilih, diakses Jumat Tanggal 24 April 2009

Anda mungkin juga menyukai