Case GBS Pasca
Case GBS Pasca
Guillain-Barre Syndrome
Pendamping : Pembimbing:
Pada hari ini tanggal ……,…………, 2018, telah dipresentasikan portofolio oleh:
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
6 6
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pendamping Pembimbing
o Tujuan :
menegakkan diagnosa, melakukan tatalaksana farmakologis dan non farmakologis yang tepat
Bahan o Tinjauan
o Riset Kasus o Audit
Bahasan: Pustaka
Cara Presentasi
Diskusi o Email o Pos
Membahas: Kasus
DATA UTAMA UNTUK BAHAN DISKUSI
1. Diagnosis : Guillain-Barre Syndrome
2. Gambaran klinis
Keluhan Utama
Pasien mengeluh kedua kaki terasa lemah serta sulit untuk digerakkan secara perlahan-lahan
sejak 10 hari terakhir dan semakin lama semakin memberat dalam 2 hari terakhir sebelum datang ke
rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD mengeluh kedua kaki terasa lemah serta sulit untuk digerakkan secara
perlahan-lahan sejak 10 hari terakhir dan semakin lama semakin memberat dalam 2 hari terakhir
sebelum datang ke rumah sakit.
. Keluhan tersebut muncul saat pasien sedang beraktifitas. Seiring berjalannya waktu, pasien
mengeluhkan keluhan kelemahan pada kakinya semakin bertambah. Selain itu, pasien merasa kedua
tangan dan kakinya terasa kaku dan terasa tebal/kebas.Kemudian kelemahan serta sensasi kebas
berlanjut pada tangan hingga pasien tiba di IGD RS Sultan Imanuddin Pangkalan Bun. Pasien sering
mengeluh kesemutan pada kedua kaki dan tangannya sebelum merasakan lemas. Pasien kesulitan
untuk berdiri , berjalan, maupun naik turun tangga dan harus dituntun tidak kuat berdiri dan
berjalan. Menurut keterangan pasien ia mengeluh keluhan batuk dan pilek kurang lebih 2 minggu
sebelum mengealami kelemahan anggota gerak tersebut. Pasien juga memiliki riwayat mengalami
kecelakaan terjatuh dari sepeda motor kurang lebih 3 bulan yang lalu namun hanya mengalami luka-
luka lecet dan tidak ada keluhan seperti yang dialaminya sekarang.
Riwayat penurunan kesadaran, kejang, mual, muntah, serta nyeri kepala disangkal.
Hasil Pembelajaran :
1. Penegakan diagnosis Sindrom Guilllain - Barre beserta komplikasinya.
2. Analisis penanganan serta penatalaksanaan Sindrom Guillain-Barre yang tepat.
3. Penanganan secara rehabilitasi medik pada pasien Sindrom Guillain - Barre
Rangkuman Hasil Pembelajaran
1. Identitas
Identitas Pasien
Nama : Ny.W
Usia : 36 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Desa Bnagun Jaya RT 06/01 Pangkalan Bun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SMA
No. RM : 224732
Tanggal MRS : 9 April 2018
2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara Autoanamnesis dari pasien
Keluhan Utama
Pasien mengeluh kedua kaki terasa lemah serta sulit untuk digerakkan secara
perlahan-lahan sejak 10 hari terakhir dan semakin lama semakin memberat dalam 2
hari terakhir sebelum datang ke rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD mengeluh kedua kaki terasa lemah serta sulit untuk
digerakkan secara perlahan-lahan sejak 10 hari terakhir dan semakin lama semakin
memberat dalam 2 hari terakhir sebelum datang ke rumah sakit.
. Keluhan tersebut muncul saat pasien sedang beraktifitas. Seiring berjalannya
waktu, pasien mengeluhkan keluhan kelemahan pada kakinya semakin bertambah.
Selain itu, pasien merasa kedua tangan dan kakinya terasa kaku dan terasa tebal/kebas.
Kemudian kelemahan serta sensasi kebas berlanjut pada tangan hingga pasien tiba di
IGD RS Sultan Imanuddin Pangkalan Bun. Pasien sering mengeluh kesemutan pada
kedua kaki dan tangannya sebelum merasakan lemas. Pasien kesulitan untuk berdiri ,
berjalan, maupun naik turun tangga dan harus dituntun tidak kuat berdiri dan berjalan.
Menurut keterangan pasien ia mengeluh keluhan batuk dan pilek kurang lebih 2
minggu sebelum mengealami kelemahan anggota gerak tersebut. Pasien juga memiliki
riwayat mengalami kecelakaan terjatuh dari sepeda motor kurang lebih 3 bulan yang
lalu namun hanya mengalami luka-luka lecet dan tidak ada keluhan seperti yang
dialaminya sekarang.
Riwayat penurunan kesadaran, kejang, mual, muntah, serta nyeri kepala disangkal
Riwayat Pengobatan
Tidak ada
3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum Kesadaran : compos mentis - E4V5M6
Kesan gizi : kesan gizi cukup
Tanda-tanda vital Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler,
RR : 20 x/menit, SpO2 99%
Temp. axilla : 37 °C
Antropometri Berat badan : 54 kg
Tinggi badan : 154 cm
Kepala Bentuk : Normocephal
Rambut : Hitam, tipis
Wajah : Simetris, dismorfik (-)
Mata : anemis (-), ikterik (-), edema (-), pupil bulat isokor
(3mm/3mm), reflex cahaya (+/+), hematom periorbita (-)
Telinga : bentuk dan ukuran normal, sekret (-)
Hidung : sekret (-), mimisan (-)
Mulut : mukosa kering (-), gigi normal, lidah normal
Leher Inspeksi : simetris, edema (-), massa (-)
Palpasi : pembesaran kelenjar limfe (-), trakea di tengah,
Faring : hiperemi (-)
Inspeksi : Bentuk dada kesan normal dan simetris, Gerakan dinding
Thorax dada kiri-kanan simetris, retraksi (-), deformitas (-), jaringan parut (-)
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V MCL sinistra
Auskultasi : Denyut jantung 100 x/menit, S1S2 tunggal reguler,murmur (-
), gallop (-)
Paru-paru :
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : Gerakan dinding dada kanan-kiri saat bernafas simetris
Perkusi : Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Auskulasi : Laju pernafasan 20x/menit, regular
vesikular vesikular Rhonki - - Wheezing - -
vesikular vesikular - - - -
vesikular vesikular - - - -
Abdomen Inspeksi : Jaringan parut (-), dilatasi vena (-), massa (-), herniasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Meteorismus (-), Shifting dullness (–)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-) epigastrium, Hepar teraba tidak
membesar, lien tidak teraba besar
Ekstremitas Pemeriksaan Atas Bawah
Ekstremitas Kanan Kiri Kanan Kiri
Anemis – – – –
Ikterik – – – –
Edema – – – –
Sianosis – – – –
Petekie - - - -
Capillary Refill Time < 2 detik < 2 detik < 2 detik < 2 detik
4. Pemeriksaan Neurologi
a. Tanda Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk : -
Brudzinski I : -
Brudzinski II : -
Kanan Kiri
Laseque : >70˚ >70˚
Kernig : >135˚ >135˚
N.II :
• Acies visus : normal
• Campus visus : normal
• Tes buta warna : normal
• Funduskopi : tidak dilakukan
N.V
• Cabang motorik
o Membuka mulut : Baik
o Menggerakkan rahang : Baik
o Jaw refleks : Baik
• Cabang sensorik oftalmikus : Baik/ Baik
• Cabang sensorik maksilaris : Baik/ Baik
• Cabang sensorik mandibularis : Baik/ Baik
N.VII
• Motorik orbitofrontal : Kesan parese (-)
• Motorik orbikularis okuli : Kesan parese (-)
• Motorik orbikularis oris : Kesan parese (-)
• Chovstek : Negatif
• Pengecapan lidah : normal
N.VIII
• Vestibular
Vertigo : negatif
Nistagmus : -/-
• Cochlear
Test Rinne : tidak dilakukan
Webber : tidak dilakukan
Schwabach : tidak dilakukan
N.IX ; N.X
Motorik : Baik/baik
Sensorik : Baik/baik
N.XI
• Mengangkat bahu : Baik/baik
• Menoleh : Baik/baik
N.XII
• Pergerakan lidah : Lidah di tengah
• Atrofi :-
• Fasikulasi :-
• Tremor :-
d. Gerakan involunter
Tremor : -/-
Chorea : -/-
Atetose : -/-
Miokloni : -/-
Tics : -/-
Fungsi otonom
Miksi : Inkontinensia (-)
Defekasi : Inkontinensia (-)
Sekresi keringat : Baik
Pemeriksaan Sensorik :
- Raba : menurun pada kedua ekstremitas inferior
- Nyeri : menurun pada kedua ekstremitas inferior
- Suhu : tidak dilakukan
- Propioseptif : terganggu pada kedua ekstremitas inferior
e. Refleks fisiologis
• Kornea : tidak dilakukan
• Biseps : N/N
• Triseps : N/N
• Kremaster : tidak dilakukan
• Patella : N/N
• Tumit : N/N
• Fissura ani : tidak dilakukan
f. Refleks patologis
• Hofman Trommer : -/-
• Babinski : -/-
• Oppenheim : -/-
• Gordon : -/-
• Schaefer : -/-
• Chaddock : -/-
5. Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaaan Laboratorium (09-04-2018)
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi
Hemoglobin 12,8 11,7 – 15,5 g/dl
Hematokrit 41,1 33 – 45%
Leukosit 10,8 5,0 – 10,0 rb/ul
Trombosit 358 150 – 440 rb/ul
Eritrosit 4,8 3,80 – 5,20 jt/ul
Glukosa Darah
GDS 100 < 200 g/dl
Fungsi Ginjal
Ureum 54 17-43 mg/dl
Creatinin 0,7 0,7 – 1,1
Fungsi Hati
SGOT 31 <37
SGPT 23 <41
Asam Urat
Asam urat 2,6 2,4-5,7
Profil Lipid
Kolesterol total 185 <200
Trigliserida 126 <150
HDL 44 35-74
LDL 116 <150
Elektrolit
6. Daftar Permasalahan
1. kedua kaki terasa lemah serta sulit untuk digerakkan secara perlahan-lahan sejak 2
hari
2. kedua tangan dan kakinya terasa kaku dan terasa tebal/kebas
7. Diagnosis Banding
Poliomyelitis
Neuropati akut
8. Diagnosis Akhir
Sindrom Guillain-Barre
9. Terapi
Non farmakologis
Bed rest
fisioterapi
Farmakologis
Infus Ringer Laktat 500 cc + Metimazole drip 2 ampul dengan kecepatan tetesan
20 tetes per menit (makro) intravena
Metilprednisolone injeksi 125 mg setiap 12 jam per hari intravena
Mecobalamin injeksi 500 𝜇g setiap 8 jam per hari intravena
Omeprazole injeksi 40 mg setiap 12 jam per hari intravena
Ceftriaxone injeksi 1 gr setiap 12 jam per hari intravena
Gabapentin 100 mg tablet 2 kali per hari (pagi dan malam hari) per oral
Planning monitoring :
Obeservasi tanda-tanda
vital dan kesadaran
Observasi tanda-tanda
peningkatan tekanan
intrakranial.
Planning monitoring :
Obeservasi tanda-tanda
vital dan kesadaran
Observasi tanda-tanda
peningkatan tekanan
intrakranial.
Planning monitoring :
Obeservasi tanda-tanda
vital dan kesadaran
Observasi tanda-tanda
peningkatan tekanan
intrakranial.
Planning monitoring :
Obeservasi tanda-tanda
vital dan kesadaran
Observasi tanda-tanda
peningkatan tekanan
intrakranial.
Planning monitoring :
Obeservasi tanda-tanda
vital dan kesadaran
Observasi tanda-tanda
peningkatan tekanan
intrakranial.
Planning monitoring :
Obeservasi tanda-tanda vital
dan kesadaran
Observasi tanda-tanda
peningkatan tekanan
intrakranial.
Planning monitoring :
Obeservasi tanda-tanda vital
dan kesadaran
Observasi tanda-tanda
peningkatan tekanan
intrakranial.
15-3-2018 Ruang S: Head up kepala 30 °.
akasia Pusing (-), mual (-), muntah (-), Nyeri Infus Ringer Laktat
kepala berkurang 500 cc + Metimazole
O: drip 2 ampul dengan
KU : tampak sakit sedang kecepatan tetesan 20
TD : 150/90 N : 82x/m, regular, kuat tetes per menit
RR : 20x/m Tax : 36,5oC (makro) intravena
Pupil bulat isokor diameter 2 mm kiri & metochlorpramide
kanan. injeksi 10 mg setiap
Tanda-tanda peningkatan tekanan 12 jam per hari
intrakranial: intravena
Penurunan kesadaran (-), gelisah (-) Piracetam injeksi 3 gr
berkurang , Papil oedem (tidak dilakukan setiap 8 jam per hari
pemeriksaan funduskopi), Pupil anisokor (- intravena
), Trias cushing (-) Asam traneksamat
injeksi 500 mg setiap
Kekuatan otot : 5555 | 5555 8 jam per hari
5555 | 5555 intravena
Reflek fisiologis: +|+ Manitol injeksi 125
+|+ mg setiap 24 jam per
Reflek patologis: -|- hari intravena
-|- Flunarizine tablet 1
Meningeal sign: - kali per hari (malam
hari) per oral
Candesartan 16 mg
tablet 1 kali per hari
(siang hari) per oral
Diltiazem 200 mg
tablet 1 kali per hari
(malam hari) per oral.
Betahistin tablet 3 kali
per hari setiap 8 jam
per oral
Citicoline 500 mg
tablet 2 kali per hari
setiap 12 jam per oral
Definisi
Sindrom Guillain Barre merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flaksid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana
targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Guillain Barre sering juga disebut
sebagai acute idiopathic demyelinating polyradiculoneuritis (AIDP) yang artinya proses
demielinasi pada Guillain Barre bersifat akut. Dalam pemahaman yang serupa GBS adalah
penyebab paling umum dari polineuropati demielinasi inflamasi akut yang disebabkan oleh
serangan imun (faktor seluler dan humoral) terhadap selubung myelin yang mengakibatkan
kelumpuhan motorik umum pada orang sehat
Epidemiologi
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0,4 - 1,7 kasus per 100.000 orang
pertahun. Insidensi lebih tinggi pada perempuan dibanding pria dan lebih banyak terjadi pada
usia muda. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang
mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan
paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras
didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia
dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Sindrom Guillain Barre sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal.
Etiologi
Etiologi SGB masih belum diketahui secara pasti. Teori yang dianut sekarang adalah
suatu kelainan imunologik, baik secara primary imune response maupun immune mediated
response. Beberapa keadaan / penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya
dengan terjadinya SGB antara lain:
1. Infeksi.
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
Patogenesis
Delapan puluh persen pasien dengan SGB memiliki riwayat pendahulu seperti infeksi,
pembedahan dan trauma. Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain
yang mencetuskan terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini
adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan
mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler
dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering
adalah infeksi virus. Terjadi reaksi inflamasi pada saraf yang terganggu. Infiltrat terdiri atas
sel-sel mononuklear terutama sel limfosit. Terdapat juga sel makrofag, sel polimorfonuklear.
Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal.
Karakteristik GBS pada anak-anak dan orang dewasa dapat berkembang secara pesat
atau progresif, dan secara relatif ciri kelemahan klien GBS berupa symmetrical ascending atau
flaccid paralysis. Pada kasus polineuropati gangguan sistem saraf motorik paling dominan
terlihat. Kerusakan motorik pada kasus GBS dapat bervariasi mulai dari kelemahan ringan
dari distal otot ekstremitas bawah sampai kelumpuhan total otot perifer, aksial, wajah, dan
otot ekstraokular serta refleks tendon biasanya berkurang atau tidak ada. 20 persen sampai 30
persen dari klien mungkin memerlukan ventilasi akibat dari kelumpuhan atau kelemahan otot-
otot interkostal dan diafragma. Penurunan kekuatan otot pernapasan dapat menyebabkan
ketidakmampuan untuk batuk atau menangani sekresi dan penurunan kapasitas vital, volume
tidal, dan saturasi oksigen. Dan sekitar 50 persen klien juga mengalami ganguan pada saraf
kranial, yang ditandai dengan kelemahan otot wajah, okular dan otot orofaring, yang dapat
menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan. Istilah bulbar palsy kadang-
kadang digunakan secara khusus untuk paralisis rahang, faring dan otot lidah yang disebabkan
oleh kerusakan saraf kranial IX, X, dan XI.
Disfungsi otonom yang sering terjadi dan mempelihatkan bentuk reaksi berlebihan
atau kurang bereaksinya sistem saraf simpatis dan parasimpatis, seperti dimanifestasikan oleh
gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah (hipotensi ortostatik) dan
gangguan vasomotor lainnya.
Nyeri identifikasi sebagai gejala yang signifikan. Beberapa klien melaporkan nyeri
muncul sebelum timbulnya gejala neurologik atau awal dari gejala neurologik namun
beberapa klien juga mengatakan bahwa nyeri dirasakan selama proses penyakit tersebut.
Nyeri biasanya simetris dan dilaporkan paling sering pada otot-otot besar seperti gluteus,
quadrisep, hamstring dan kadang-kadang muncul pada tungkai bawah dan ekstremitas atas.
Dan pada malam hari biasanya klien sering mengalami nyeri. Beberapa klien merasakan rasa
terbakar yang hebat atau hipersentifitas terhadap sentuhan dan gerakan udara.
Gejala-gejala tersebut akan memuncak dalam satu minggu tetapi dapat berkembang
selama beberapa minggu. Tingkat paralisis dapat saja berhenti setiap saat dan fungsi motorik
akan kembali membaik dengan pola desending. Demielinisasi terjadi dengan cepat tetapi
kecepatan remielinisasi hanya sekitar 1-2 mm per hari.
1. Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan
bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari
sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu.
2. Fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini
bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7
minggu.
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
Hiporefleksi
b. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
Ciri-ciri klinis:
- Relatif simetris
- Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak
lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan,
kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf
otak lain
- Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada
LP serial
c. Varian:
Sementara kriteria diagnostik Sindrom Guillain Barre menurut Daroff (2012) yang
diadaptasi dari Assessment of current diagnostic criteria for Guillain Barre Syndrometahun
1990 dibagi menjadi tiga kriteria yaitu:
- disfungsi otonom,
Derajat penyakit SGB didasarkan pada skala disabilitas dari Hughes. Pada SGB
berat, pasien memiliki skala ≥ 4.
0
Sehat
1Gejala minor dari neuropati, namun dapat melakukan pekerjaan manual
2Dapat berjalan tanpa bantuan tongkat, namun tidak dapat melakukan
pekerjaan manual
3Dapat berjalan dengan bantuan tongkat atau alat penunjang
4Kegiatan terbatas di tempat tidur/kursi (bed / chair bound)
5Membutuhkan bantuan ventilasi
6Kematian
Klasifikasi
Mediasi oleh antibodi, dipicu oleh infeksi virus atau bakteri sebelumnya,
gambaran elektrofisiologi berupa demielinisasi, remielinisasi muncul setelah reaksi
imun berakhir, merupakan tipe SGB yang sering dijumpai di Eropa dan Amerika.
Merupakan bentuk murni dari neuropathy axonal, dimana acute motor axonal
neurophaty (AMAN), terjadi degenerasi dari axon motorik, tanpa adanya
demielinisasi. Gejala ditandai dengan adanya kelemahan otot bagian distal, terkadang
dapat disertai paralisis otot pernafasan. Sensorik tidak mengalami gangguan. Dari
pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan protein pada cairan serebrospinal
sementara dari pemeriksaan elektrofisiologi menunjukkan absen/turunnya saraf
motorik dan saraf sensorik. Penyembuhan lebih cepat, sering terjadi pada anak, dan
merupakan tipe SGB yang sering di Cina dan Jepang.
Merupakan kelainan yang jarang dijumpai, berupa trias ataxia, areflexia dan
oftalmoplegia, dapat terjadi gangguan proprioseptif, resolusi dalam waktu 1-3 bulan.
5. Acute Pandysautonomia
Varian yang paling jarang dari SGB, mempengaruhi sistim simpatis dan
parasimpatis, gangguan kardiovaskular (hipotensi, takikardi, hipertensi, disaritmia),
gangguan penglihatan berupa pandangan kabur, kekeringan pada mata dan anhidrosis,
penyembuhan bertahap dan tidak sempurna, sering dijumpai juga gangguan sensorik.
Anatomi
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya.
Tampak perlindungan tersebut, otak yang lembut akan mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Dan begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Tepat diatas
tengkorak terletak galea aponeurotika yaitu jaringan fibrosa, padat, dapat digerakan dengan
bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat
lapisan lemak dan lapisan membran dalam yang mengandung pembulu-pembuluh darah besar
yang bila robek, sukar mengadakan vasokontriksi sehingga dapat menyebabkan kehilangan
darah bermakna. Tepat dibawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena
emisaria dan diploika, pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit sampai ke dalam
tengkorak.
Tulang tengkorak terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang
berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna dan dinding bagian dalam disebut tabula
interna yang mengandung alur-alur yang berisi arteria meningea anterior, media, dan
posterior. Apabila arteria tersebut terkoyak maka akan tertimbun dalam ruang epidural.
Meningens terdiri dari tiga lapis dari luar ke dalam yaitu dura mater, arakhnoid, dan pia mater.
Dura adalah membran yang liat, semitranlusen, tidak elastis dan melekat erat dengan permukaan
dalam tengkorak.
Fungsinya (1) melindungi otak, (2) menutupi sinus-sinus vena, (3) membentuk
periosteum tabula interna. Bagian tengah dan poterior disuplai oleh a. Meningea media yang
bercabang dari a. Vertebralis dan a. Carotis interna. Arakhnoid adalah membran fibrosa halus
dan elastis, membran ini tidak melakat dengan dura mater, ruangan antara kedua membran
disebut ruang subdural. Vena-vena otak yang melewati ruangan ini hanya mempunyai sedikit
jaringan penyokong sehingga mudah sekali terkena cedera dan robek pada trauma kepala.
Diantara arakhnoid dan pia mater terdapat ruang subarakhnoid yang melebar dan mendalam
pada daerah tertentu dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal. Pia mater adalah
membran halus yang memiliki sangat banyak pembuluh darah halus dan merupakan satu-
satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus semua girus.
Patofisiologi
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer. Lesi primer
ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak, jaringan otak, saraf
otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar otak. Pada tulang tengkorak
dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi.
Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria
meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau
menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan
telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat
menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung atau telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan peningkatan volume dalam tengkorak, hingga
menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung
menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat penekanan.
Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup dan
countre coup. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya
perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan
menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum,
gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan
ke bawah dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan kerusakan di
batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada
batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial.
Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di
dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguan yang
ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan. Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis
menderita gangguan ini. Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah
frontal. Mungkin traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak
yang mengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak otot
mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak. Ini
menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hari
akibat dari edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks cahaya
negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada
cabang supraorbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga
terlewatkan pada pemeriksaan. Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah
beberapa hari kemudian. Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena
penyebabnya adalah edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai
perdarahan lewat lubang telinga. Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma
kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan
salah satu penyebab gangguan. Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan,
mungkin karena kebanyakan penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan
gangguan pada saraf-saraf tersebut. Akibat dari trauma pada pembuluh darah, selain robekan
terbuka yang dapat langsung terjadi karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul
kelemahan dinding arteri. Bagian ini kemudian berkembang menjadi aneurisma.
Berdasarkan Berdasarkan
mekanisme beratnya
Cedera kepala Cedera kepala cedera kepala cedera kepala cedera kepala
tertutup terbuka ringan sedang berat
Berdasarkan
morfologi
Fraktur Lesi
Kulit
tengkorak Intrakranial
Perdarahan
subarakhnoid
Perdarahan
intraserebral
Berdasarkan Mekanisme
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan penetrans atau
terbuka. Walau istilah ini luas digunakan dan berguna untuk membedakan titik pandang,
namun sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya fraktura tengkorak depres
dapat dimasukkan kesalah satu golongan tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya
cedera tulang. Sekalipun demikian, untuk kegunaan klinis, istilah cedera kepala tertutup
biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala
penetrans lebih sering dikaitkan denganluka tembak dan luka tusuk.
Merupakan perdarahan kecil / ptechie pada jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah
kapiler. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada
daerah coup dan countre coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan robek
pada laserasio serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali
disertai adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Sebagai kelanjutan dari
kontusio akan terjadi edema otak.Penyebab utamanya adalah vasogenik, yaitu akibat
kerusakan B.B.B. (blood brain barrier). Disini dinding kapiler mengalami kerusakan
ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Cairan akan keluar dari pembuluh darah ke
dalam jaringan otak karena beda tekanan intra vaskuler dan interstisial yang disebut ekanan
perfusi. Bila tekanan arterial meningkat akan mempercepat terjadinya edema dan
sebaliknya bila turun akan memperlambat. Edema jaringan menyebabkan penekanan pada
pembuluh-pembuluh darah yang mengakibatkan aliran darah berkurang. Akibatnya terjadi
iskemia dan hipoksia. Asidosis yang terjadi akibat hipoksia ini selanjutnya menimbulkan
vasodilatasi dan hilangnya auto regulasi aliran darah, sehingga edema semakin hebat.
Hipoksia karena sebab-sebab lain juga memberikan akibat yang sama. Jika otak
membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak; pembengkakan
yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak. Gejala dari kontusio adalah pusing,
kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya
berkurang dan kecemasan. Biasanya gejala berlangsung selama beberapa hari sampai
beberapa minggu. Sindroma pasca konkusio yaitu kesulitan dalam bekerja, belajar dan
bersosialisasi. Kontusio serebri dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. MRI
menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa menyebabkan
kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati dengan kebingungan atau bahkan koma.
C. Perdarahan intracranial
Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak.
Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera
biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau
diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma epidural).
Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian
besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit.
Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut dan membesar
secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari. Hematoma yang
luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan
jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau batang
otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran
sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau
gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang
ingatan, terutama pada usia lanjut.
Hematoma epidural
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara meningens dan
tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah merobek arteri. Darah
di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar. Gejala
berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam
kemudian. Sakit kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi
dan lebih parah dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa
ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya
tergantung kepada CT scan darurat. Pada pemeriksaan dengan CT-Scan akan tampak
gambaran massa hiperdens dengan bentuk bikonveks (double convex sign), atau ada pula
yang menyebutnya sebagai gambaran football shaped yang secara tipikal terletak di bagian
temporal tengkorak. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang
di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian
dan penyumbatan sumber perdarahan.
Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bisa
terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah
terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural yang bertambah luas
secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada
alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu
gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya
genangan darah dan didapatkan gambaran hiperdens berbentuk konkaf atau menyerupai
bulan sabit, atau sering disebut crescentic sign. Hematoma subdural pada bayi bisa
menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan
lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan.
Berdasarkan Beratnya
Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada penurunan kesadaran hanya terjadi
beberapa detik sampai beberapa menit saja. Tidak ditemukan kelaianan pada pemeriksaan
CT-scan, LCS normal, dapat terjadi amnesia retrograde.
Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga beberapa jam. Sering tanda
neurologis abnormal, biasanya disertai edema dan kontusio serebri. Terjadi juga drowsiness
dan confusion yang dapat bertahan hingga beberapa minggu. Fungsi kognitif maupun perilaku
yang terganggu dapat terjadi beberapa bulan bahkan permanen.
Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang disebut koma. Penurunan
kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien tidak mampu mengikuti, bahkan perintah
sederhana, karena gangguan penurunan kesadaran. Termasuk juga dalam hal ini status
vegetatif persisten. Tanpa memperdulikan nilai SKG, pasien digolongkan sebagai penderita
cedera kepala berat bila :
Berdasarkan Morfologi
Fraktur tengkorak
Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. Mungkin tampak
pada kalvaria atau basis, mungkin linier atau stelata, mungkin terdepres atau tidak terdepres.
Fraktur tengkorak biasanya terjadi pada tempat benturan. Garis fraktur dapat menjalar sampai
basis cranii. Patah tulang tengkorak bisa melukai arteri dan vena, yang kemudian
mengalirkan darahnya ke dalam rongga di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar
tengkorak bisa merobek meningens. Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak
dan meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga yang menandakan adanya fraktur basis
cranii. Depresi pada kepala atau muka (sunken eye) menandakan terjadi fraktur maksila.
Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan menyebabkan
infeksi serta kerusakan hebat pada otak. Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak
memerlukan pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.
Kerusakan akson oleh karena adanya proses akselerasi dan deserelasi yang terjadi pada otak
sewaktu terjadinya trauma kepala. Otak memiliki beberapa lapisan yang membentuknya. Pada
saat terjadinya trauma, lapisan – lapisan ini akan ikut bergeser. Pergerakkan tiap lapisan ini
akan berbeda – beda. Ilustrasi dibawah ini menunjukkan adanya penarikan neuron akibat
perbedaan waktu pergeseran yang bias menyebabkan akson teregang, terpuntir, terputus, dan
terjepit. Akibatnya cairan dan ionic akan masuk ke axon dan menyebakan pembengkakkan,
yang nantinya akan menyebakkan kerusakkan neuron. Akson terputus dan akson bagian distal
akan terpisah. Pada stadium lanjut, akan terjadi kematian akson pada ujung distal
Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala yang kesadarannya cukup baik mencakup
pemeriksaaan neurologis yang lengkap, sedangkan pada penderita yang kesadarannya
menurun dapat digunakan pedoman yaitu :
Pemeriksaan penunjang
1. Foto polos cranium ( schullder )
Foto polos tengkorak adalah prosedur mutlak yang dikerjakan pada setiap cedera
kepala. Foto ini membantu mendiagnosa dini adanya fraktur pada tulang tengkorak.
1. Airway
Periksa dan bebaskan jalan nafas dari sumbatan.
Lendir, darah,muntahan, benda asing : lakukan penyedotan dengan suction,
pasang NGT
Posisi kepala dalam posisi netral, tidak miring ke kanan atau ke kiri.
Lakukan intubasi endotrakeal terutama pada pasien GCS ≤ 7 tetapi sebelumnya
harus diyakini tidak ada fractur cervical.
Foto rontgen cervical lateral dapat menjadi pilihan sebelum melakukan tindakan
intubasi. Apabila didapatkan fractur cervical, maka tindakan yang dilakukan
adalah tracheostomi.
2. Breathing
Perhatikan gerak napas pasien, jika terdapat tanda – tanda sesak segera pasang oksigen.
3. Circulation
Periksa tekanan darah dan denyut nadi. Jika ada tanda – tanda syok segera pasang infus.
Bila disertai dengan perdarahan yang cukup banyak bisa ditambah dengan tranfusi darah (
whole blood ). Pasang kateter untuk monitoring balans cairan.
4. Setelah kondisi pasien stabil, Periksa tingkat kesadaran pasien, perhatikan kemungkinan
cedera spinal. Adanya cedera/ luka robek atau tembus. Jika ada luka robek, bersihkan
lalu di jahit.
5. Foto rontgen tengkorak.
Dilakukan pada posisi AP dan Lateral.
6. CTscan kepala.
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada semua cedera kepala, kecuali pada pasien – pasien
yang asimptomatik tidak perlu dilakukan.
7. Observasi
Kriteria rawat :
a. Contusio cerebri
Pingsan > 10 menit
Kegelisahan motorik
Sakit kepala, muntah
Kejang
Pada kasus berat dapat dijumpai pernapasan cheyne stokes
Amnesia anterogard
b. Laceratio cerebri
Biasanya didapat pada fraktur terbuka maupun tertutup.
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut :
- Terdapat gejala TIK yang meningkat lebih dari 25 mmHg( sakit kepala hebat, muntah
proyektil)
- Pada pemeriksaan CT-Scan terdapat pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
atau penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang
Prognosis
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami penyembuhan
total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang
terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang tidak
mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan.
Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu
sama lainnya, semakin berkurang. Kemampuan berbahasa pada anak kecil dijalankan oleh
beberapa area di otak, sedangkan pada dewasa sudah dipusatkan pada satu area. Jika hemisfer
kiri mengalami kerusakan hebat sebelum usia 8 tahun, maka hemisfer kanan bisa mengambil
alih fungsi bahasa.
Kerusakan area bahasa pada masa dewasa lebih cenderung menyebabkan kelainan yang
menetap. Beberapa fungsi (misalnya penglihatan serta pergerakan lengan dan tungkai)
dikendalikan oleh area khusus pada salah satu sisi otak. Kerusakan pada area ini biasanya
menyebabkan kelainan yang menetap. Dampak dari kerusakan ini bisa diminimalkan dengan
menjalani terapi rehabilitasi. Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan
tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran.
Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan penderita akan
pulih kembali.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Penerbit : Dian Rakyat.
Jakarta : 2009
3. Price SA, Wilson LM. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In : Pendit BU, Hartanto
H, Wulansari P, Mahanani DA, Editors. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, 6th ed. Jakarta : EGC ; 2005