Anda di halaman 1dari 49

PORTOFOLIO

Guillain-Barre Syndrome

Disusun sebagai syarat kelengkapan program dokter internship oleh :

dr. Pasca Riandy

Pendamping : Pembimbing:

dr. Juliana dr. Selfy, Sp.KFER

RSUD Sultan Imanuddin


Kabupaten Kotawaringin Barat
Provinsi Kalimantan Tengah
2018
BERITA ACARA PRESENTASI PORTFOLIO

Pada hari ini tanggal ……,…………, 2018, telah dipresentasikan portofolio oleh:

Nama peserta : dr. Pasca Riandy


Dengan judul/topik : Guillain-Barre Syndrome
Nama pembimbing
Nama pendamping : dr. Juliana
Nama wahana : RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun

No Nama Peserta Presentasi No Tanda Tangan

1 1

2 2

3 3

4 4

5 5

6 6

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Pendamping Pembimbing

dr.Juliana dr. Selfy, Sp.KFR


PORTOFOLIO MEDIS

Nama Peserta dr. Pasca Riandy

Nama Wahana RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun

Topik Guillain-Barre Syndrome


Tanggal
9 April 2018
(kasus)
Nama Pasien Ny.W No. RM 224732
Tgl Presentasi Pendamping dr. Juliana
Tempat RSUD Sultan Imanuddin
Pembimbing Dr. Selfy, Sp.KFR
Presentasi Pangkalan Bun
OBYEKTIF PRESENTASI
 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka
 Diagnostik  Manajemen o Masalah o Istimewa
o Neonatus o Bayi o Anak o Remaja  Dewasa o Lansia o Bumil
o Deskripsi :
Wanita berusia 36 tahun datang ke IGD dengan mengeluh kedua kaki terasa lemah serta sulit
untuk digerakkan secara perlahan-lahan sejak 10 hari terakhir dan semakin lama semakin memberat
dalam 2 hari terakhir sebelum datang ke rumah sakit.

o Tujuan :
menegakkan diagnosa, melakukan tatalaksana farmakologis dan non farmakologis yang tepat
Bahan o Tinjauan
o Riset  Kasus o Audit
Bahasan: Pustaka
Cara  Presentasi
 Diskusi o Email o Pos
Membahas: Kasus
DATA UTAMA UNTUK BAHAN DISKUSI
1. Diagnosis : Guillain-Barre Syndrome

2. Gambaran klinis
Keluhan Utama
Pasien mengeluh kedua kaki terasa lemah serta sulit untuk digerakkan secara perlahan-lahan
sejak 10 hari terakhir dan semakin lama semakin memberat dalam 2 hari terakhir sebelum datang ke
rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD mengeluh kedua kaki terasa lemah serta sulit untuk digerakkan secara
perlahan-lahan sejak 10 hari terakhir dan semakin lama semakin memberat dalam 2 hari terakhir
sebelum datang ke rumah sakit.
. Keluhan tersebut muncul saat pasien sedang beraktifitas. Seiring berjalannya waktu, pasien
mengeluhkan keluhan kelemahan pada kakinya semakin bertambah. Selain itu, pasien merasa kedua
tangan dan kakinya terasa kaku dan terasa tebal/kebas.Kemudian kelemahan serta sensasi kebas
berlanjut pada tangan hingga pasien tiba di IGD RS Sultan Imanuddin Pangkalan Bun. Pasien sering
mengeluh kesemutan pada kedua kaki dan tangannya sebelum merasakan lemas. Pasien kesulitan
untuk berdiri , berjalan, maupun naik turun tangga dan harus dituntun tidak kuat berdiri dan
berjalan. Menurut keterangan pasien ia mengeluh keluhan batuk dan pilek kurang lebih 2 minggu
sebelum mengealami kelemahan anggota gerak tersebut. Pasien juga memiliki riwayat mengalami
kecelakaan terjatuh dari sepeda motor kurang lebih 3 bulan yang lalu namun hanya mengalami luka-
luka lecet dan tidak ada keluhan seperti yang dialaminya sekarang.
Riwayat penurunan kesadaran, kejang, mual, muntah, serta nyeri kepala disangkal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi (-); Riwayat DM (-); Alergi obat dan makanan (-) ; riwayat asma (-); Riwayat
trauma (+); riwayat operasi (-)
4. Riwayat pengobatan
-
5. Riwayat keluarga
Tidak ada keluarga yang memilki keluhan serupa dengan pasien
Daftar Pustaka :
1. Japardi, Iskandar. 2002. Sindroma Guillain Barre. USU.
2. Perdossi. 2008. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gajah Mada University Press: Jakarta. Hal 307-310.
3. Ropper, Allan H, Martin A. Sammuels. 2009. Adams and Victor’s Principles of Neurology
9th edition. Mc Graw Hill Medical E-book. p1261-1270.
4. Rohkamm, Reinhard. 2004. Color Atlas of Neurology 2nd Edition. Medical E-book. Georg
Thieme Verlag: Stuttgard. p 326-327.
5. Wijdicks, Eelco. 2003. The Clinical Practice of Critical Care Neurology 2nd Edition. Oxford
University Press: New York. p 405-410.
6. Lukito, Vimaladewi, Irawan Mangunatmadja, Antonius H. Pudjiadji, Tatang M. Puspandjono.
2010. Plasmaferesis Sebagai Terapi Sindrom Guillain-Barre Berat pada Anak. Sari Pediatri, Vol.
11, No. 6, April 2010.
7. Feldman, Eva L, Woflgang Grisold, James W Russell, Udo A. Zifko. 2005. Atlas of
Neuromuscular desease. E-book. Springer-Verlag: Austria. p 288-291.
8. Daroff, Robert B., Gerald M. Fenichel, Joseph Jancovic, John C. Mazziotta. 2012. Bradleys
Neurology in Clinical Practice 6th Edition Volume 1. Medical E-book. Elsevier: Philadelphia. p
299, 1956-1964

Hasil Pembelajaran :
1. Penegakan diagnosis Sindrom Guilllain - Barre beserta komplikasinya.
2. Analisis penanganan serta penatalaksanaan Sindrom Guillain-Barre yang tepat.
3. Penanganan secara rehabilitasi medik pada pasien Sindrom Guillain - Barre
Rangkuman Hasil Pembelajaran
1. Identitas
Identitas Pasien
Nama : Ny.W
Usia : 36 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Desa Bnagun Jaya RT 06/01 Pangkalan Bun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SMA
No. RM : 224732
Tanggal MRS : 9 April 2018

2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara Autoanamnesis dari pasien

Keluhan Utama
Pasien mengeluh kedua kaki terasa lemah serta sulit untuk digerakkan secara
perlahan-lahan sejak 10 hari terakhir dan semakin lama semakin memberat dalam 2
hari terakhir sebelum datang ke rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD mengeluh kedua kaki terasa lemah serta sulit untuk
digerakkan secara perlahan-lahan sejak 10 hari terakhir dan semakin lama semakin
memberat dalam 2 hari terakhir sebelum datang ke rumah sakit.
. Keluhan tersebut muncul saat pasien sedang beraktifitas. Seiring berjalannya
waktu, pasien mengeluhkan keluhan kelemahan pada kakinya semakin bertambah.
Selain itu, pasien merasa kedua tangan dan kakinya terasa kaku dan terasa tebal/kebas.
Kemudian kelemahan serta sensasi kebas berlanjut pada tangan hingga pasien tiba di
IGD RS Sultan Imanuddin Pangkalan Bun. Pasien sering mengeluh kesemutan pada
kedua kaki dan tangannya sebelum merasakan lemas. Pasien kesulitan untuk berdiri ,
berjalan, maupun naik turun tangga dan harus dituntun tidak kuat berdiri dan berjalan.
Menurut keterangan pasien ia mengeluh keluhan batuk dan pilek kurang lebih 2
minggu sebelum mengealami kelemahan anggota gerak tersebut. Pasien juga memiliki
riwayat mengalami kecelakaan terjatuh dari sepeda motor kurang lebih 3 bulan yang
lalu namun hanya mengalami luka-luka lecet dan tidak ada keluhan seperti yang
dialaminya sekarang.
Riwayat penurunan kesadaran, kejang, mual, muntah, serta nyeri kepala disangkal

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi (-); Riwayat DM (-); Alergi obat dan makanan (-) ; riwayat asma
(-); Riwayat trauma (-); riwayat operasi (-)

Riwayat Pengobatan
Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang memilki keluhan serupa dengan pasien

3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum Kesadaran : compos mentis - E4V5M6
Kesan gizi : kesan gizi cukup
Tanda-tanda vital Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler,
RR : 20 x/menit, SpO2 99%
Temp. axilla : 37 °C
Antropometri Berat badan : 54 kg
Tinggi badan : 154 cm
Kepala Bentuk : Normocephal
Rambut : Hitam, tipis
Wajah : Simetris, dismorfik (-)
Mata : anemis (-), ikterik (-), edema (-), pupil bulat isokor
(3mm/3mm), reflex cahaya (+/+), hematom periorbita (-)
Telinga : bentuk dan ukuran normal, sekret (-)
Hidung : sekret (-), mimisan (-)
Mulut : mukosa kering (-), gigi normal, lidah normal
Leher Inspeksi : simetris, edema (-), massa (-)
Palpasi : pembesaran kelenjar limfe (-), trakea di tengah,
Faring : hiperemi (-)
Inspeksi : Bentuk dada kesan normal dan simetris, Gerakan dinding
Thorax dada kiri-kanan simetris, retraksi (-), deformitas (-), jaringan parut (-)
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V MCL sinistra
Auskultasi : Denyut jantung 100 x/menit, S1S2 tunggal reguler,murmur (-
), gallop (-)
Paru-paru :
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : Gerakan dinding dada kanan-kiri saat bernafas simetris
Perkusi : Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Auskulasi : Laju pernafasan 20x/menit, regular
vesikular vesikular Rhonki - - Wheezing - -
vesikular vesikular - - - -
vesikular vesikular - - - -
Abdomen Inspeksi : Jaringan parut (-), dilatasi vena (-), massa (-), herniasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Meteorismus (-), Shifting dullness (–)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-) epigastrium, Hepar teraba tidak
membesar, lien tidak teraba besar
Ekstremitas Pemeriksaan Atas Bawah
Ekstremitas Kanan Kiri Kanan Kiri

Akral hangat hangat hangat hangat

Anemis – – – –

Ikterik – – – –

Edema – – – –

Sianosis – – – –

Petekie - - - -
Capillary Refill Time < 2 detik < 2 detik < 2 detik < 2 detik

4. Pemeriksaan Neurologi
a. Tanda Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk : -
Brudzinski I : -
Brudzinski II : -
Kanan Kiri
Laseque : >70˚ >70˚
Kernig : >135˚ >135˚

b. pemeriksaan Nervus Kranialis


N.I : Normosmia +/+

N.II :
• Acies visus : normal
• Campus visus : normal
• Tes buta warna : normal
• Funduskopi : tidak dilakukan

N.III ; N.IV ; N.VI


Kedudukan bola mata : ortoforia - ortoforia

Pergerakan bola mata :


• Nasal : normal
• Temporal : normal
• Atas : normal
• Bawah : normal
• Temporal bawah : normal
Eksoftalmus : -/-
Nistagmus : -/-
Ptosis : -/-
Pupil
o Bentuk : Bulat / bulat
o Diameter : 2 mm / 2 mm
o Refleks cahaya langsung : +/+
o Refleks cahaya tidak langsung : +/+
o Reaksi akomodasi : normal
o Reaksi konvergensi : normal

N.V
• Cabang motorik
o Membuka mulut : Baik
o Menggerakkan rahang : Baik
o Jaw refleks : Baik
• Cabang sensorik oftalmikus : Baik/ Baik
• Cabang sensorik maksilaris : Baik/ Baik
• Cabang sensorik mandibularis : Baik/ Baik

N.VII
• Motorik orbitofrontal : Kesan parese (-)
• Motorik orbikularis okuli : Kesan parese (-)
• Motorik orbikularis oris : Kesan parese (-)
• Chovstek : Negatif
• Pengecapan lidah : normal

N.VIII
• Vestibular
Vertigo : negatif
Nistagmus : -/-
• Cochlear
Test Rinne : tidak dilakukan
Webber : tidak dilakukan
Schwabach : tidak dilakukan
N.IX ; N.X
 Motorik : Baik/baik
 Sensorik : Baik/baik

N.XI
• Mengangkat bahu : Baik/baik
• Menoleh : Baik/baik

N.XII
• Pergerakan lidah : Lidah di tengah
• Atrofi :-
• Fasikulasi :-
• Tremor :-

c. Sistem motorik tubuh


Kekuatan otot : 4444 | 4444
3333 | 3333

d. Gerakan involunter
Tremor : -/-
Chorea : -/-
Atetose : -/-
Miokloni : -/-
Tics : -/-
Fungsi otonom
Miksi : Inkontinensia (-)
Defekasi : Inkontinensia (-)
Sekresi keringat : Baik
Pemeriksaan Sensorik :
- Raba : menurun pada kedua ekstremitas inferior
- Nyeri : menurun pada kedua ekstremitas inferior
- Suhu : tidak dilakukan
- Propioseptif : terganggu pada kedua ekstremitas inferior

e. Refleks fisiologis
• Kornea : tidak dilakukan
• Biseps : N/N
• Triseps : N/N
• Kremaster : tidak dilakukan
• Patella : N/N
• Tumit : N/N
• Fissura ani : tidak dilakukan

f. Refleks patologis
• Hofman Trommer : -/-
• Babinski : -/-
• Oppenheim : -/-
• Gordon : -/-
• Schaefer : -/-
• Chaddock : -/-

5. Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaaan Laboratorium (09-04-2018)
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi
Hemoglobin 12,8 11,7 – 15,5 g/dl
Hematokrit 41,1 33 – 45%
Leukosit 10,8 5,0 – 10,0 rb/ul
Trombosit 358 150 – 440 rb/ul
Eritrosit 4,8 3,80 – 5,20 jt/ul
Glukosa Darah
GDS 100 < 200 g/dl
Fungsi Ginjal
Ureum 54 17-43 mg/dl
Creatinin 0,7 0,7 – 1,1
Fungsi Hati
SGOT 31 <37
SGPT 23 <41
Asam Urat
Asam urat 2,6 2,4-5,7
Profil Lipid
Kolesterol total 185 <200
Trigliserida 126 <150

HDL 44 35-74
LDL 116 <150
Elektrolit

Natrium 140,7 135-145

Kalium 4,00 3,4-4,1

Chloride 107,1 96-106

Kalsium 1,17 1,14-1,44

6. Daftar Permasalahan
1. kedua kaki terasa lemah serta sulit untuk digerakkan secara perlahan-lahan sejak 2
hari
2. kedua tangan dan kakinya terasa kaku dan terasa tebal/kebas

7. Diagnosis Banding
 Poliomyelitis
 Neuropati akut

8. Diagnosis Akhir
Sindrom Guillain-Barre
9. Terapi

Non farmakologis
 Bed rest
 fisioterapi

Farmakologis

 Infus Ringer Laktat 500 cc + Metimazole drip 2 ampul dengan kecepatan tetesan
20 tetes per menit (makro) intravena
 Metilprednisolone injeksi 125 mg setiap 12 jam per hari intravena
 Mecobalamin injeksi 500 𝜇g setiap 8 jam per hari intravena
 Omeprazole injeksi 40 mg setiap 12 jam per hari intravena
 Ceftriaxone injeksi 1 gr setiap 12 jam per hari intravena
 Gabapentin 100 mg tablet 2 kali per hari (pagi dan malam hari) per oral

10. Planning Monitoring


Observasi tanda-tanda vital dan kesadaran
Penanganan gejala simtomatik yang tampak pada pasien.
Mencegah dan menangani kemungkinan cedera sekunder
Rehabilitasi

11. Rencana Edukasi


 Menjelaskan mengenai Sindrom Guillain Barre kepada pasien (penyebab, pencegahan
komplikasi , dan komplikasi yang bisa terjadi)
 Menjelaskan mengenai rencana pemeriksaan (pemeriksaan fisik maupun laboratoris)
yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit pasien
 Menjelaskan mengenai rencana terapi, fungsi obat-obatan yang digunakan serta
rencana fisioterapi pada pasien.
12. Follow up
Tanggal Tempat Perkembangan Pasien Terapi
8-3-2018 Ruang S:  Head up kepala 30 °.
(09.00) Akasia Pusing (+), mual (-), muntah (-), Nyeri  Infus Ringer Laktat 500
kepala (+), cc + Metimazole drip 2
O: ampul dengan kecepatan
KU : tampak sakit sedang tetesan 20 tetes per
TD : 150/80 N : 84x/m, regular,kuat menit (makro) intravena
RR : 24x/m T-axilla : 36,6oC  Ondansetron injeksi 4
Pupil bulat isokor diameter 2 mm kiri & mg setiap 8 jam per hari
kanan. intravena
 Piracetam injeksi 3 gr
Tanda-tanda peningkatan tekanan setiap 8 jam per hari
intrakranial: intravena
Penurunan kesadaran (-), gelisah (+),  Asam traneksamat
Papil oedem (tidak dilakukan injeksi 500 mg setiap 8
pemeriksaan funduskopi), Pupil jam per hari intravena
anisokor (-), Trias cushing (-)  Manitol injeksi 125 mg
setiap 6 jam per hari
Kekuatan otot : 5555 | 5555 intravena
5555 | 5555  Flunarizine tablet 1 kali
Reflek fisiologis: +|+ per hari (malam hari) per
+|+ oral
Reflek patologis: -|-  Candesartan 16 mg
-|- tablet 1 kali per hari
Meningeal sign: - (siang hari) per oral
 Betahistin tablet 3 kali
per hari setiap 8 jam per
oral
 Citicoline 500 mg tablet
2 kali per hari setiap 12
jam per oral

Planning monitoring :
Obeservasi tanda-tanda
vital dan kesadaran
Observasi tanda-tanda
peningkatan tekanan
intrakranial.

9-3-2018 Ruang S:  Head up kepala 30 °.


akasia Pusing (+), mual (-), muntah (-), Nyeri  Infus Ringer Laktat 500
kepala (+) cc + Metimazole drip 2
O: ampul dengan kecepatan
KU : tampak sakit sedang tetesan 20 tetes per
TD : 160/90 N : 82x/m, regular, kuat menit (makro) intravena
RR : 24x/m Tax : 36,8oC  Ondansetron injeksi 4
Pupil bulat isokor diameter 2 mm kiri & mg setiap 8 jam per hari
kanan. intravena
Tanda-tanda peningkatan tekanan  Piracetam injeksi 3 gr
intrakranial: setiap 8 jam per hari
Penurunan kesadaran (-), gelisah (+), intravena
Papil oedem (tidak dilakukan  Asam traneksamat
pemeriksaan funduskopi), Pupil injeksi 500 mg setiap 8
anisokor (-), Trias cushing (-) jam per hari intravena
 Manitol injeksi 125 mg
Kekuatan otot : 5555 | 5555 setiap 6 jam per hari
5555 | 5555 intravena
Reflek fisiologis: +|+  Flunarizine tablet 1 kali
+|+ per hari (malam hari) per
Reflek patologis: -|- oral
-|-  Candesartan 16 mg
Meningeal sign: - tablet 1 kali per hari
(siang hari) per oral
 Betahistin tablet 3 kali
per hari setiap 8 jam per
oral
 Citicoline 500 mg tablet
2 kali per hari setiap 12
jam per oral

Planning monitoring :
Obeservasi tanda-tanda
vital dan kesadaran
Observasi tanda-tanda
peningkatan tekanan
intrakranial.

10-3-2018 Ruang S:  Head up kepala 30


akasia Pusing (+), mual (+), muntah (-), Nyeri °.
kepala (+)  Infus Ringer Laktat
O: 500 cc +
KU : tampak sakit sedang Metimazole drip 2
TD : 170/100 N : 86x/m, regular, kuat ampul dengan
RR : 22x/m Tax : 36,8oC kecepatan tetesan
Pupil bulat isokor diameter 2 mm kiri & 20 tetes per menit
kanan. (makro) intravena
Tanda-tanda peningkatan tekanan  Ondansetron injeksi
intrakranial: 4 mg setiap 8 jam
Penurunan kesadaran (-), gelisah (+), per hari intravena
Papil oedem (tidak dilakukan  Piracetam injeksi 3
pemeriksaan funduskopi), Pupil gr setiap 8 jam per
anisokor (-), Trias cushing (-) hari intravena
 Asam traneksamat
Kekuatan otot : 5555 | 5555 injeksi 500 mg
5555 | 5555 setiap 8 jam per hari
Reflek fisiologis: +|+ intravena
+|+  Manitol injeksi 125
Reflek patologis: -|- mg setiap 8 jam per
-|- hari intravena
Meningeal sign: -  Flunarizine tablet 1
kali per hari (malam
hari) per oral
 Candesartan 16 mg
tablet 1 kali per hari
(siang hari) per oral
 Betahistin tablet 3
kali per hari setiap 8
jam per oral
 Citicoline 500 mg
tablet 2 kali per hari
setiap 12 jam per
oral

Planning monitoring :
Obeservasi tanda-tanda
vital dan kesadaran
Observasi tanda-tanda
peningkatan tekanan
intrakranial.

11-3-2018 Ruang S:  Head up kepala 30


akasia Pusing berkurang, mual (-), muntah (-), °.
Nyeri kepala berkurang  Infus Ringer Laktat
O: 500 cc +
KU : tampak sakit sedang Metimazole drip 2
TD : 160/100 N : 80x/m, regular, kuat
ampul dengan
RR : 22x/m Tax : 36,5oC
Pupil bulat isokor diameter 2 mm kiri & kecepatan tetesan
kanan. 20 tetes per menit
Tanda-tanda peningkatan tekanan (makro) intravena
intrakranial:  Ondansetron injeksi
Penurunan kesadaran (-), gelisah (+) 4 mg setiap 8 jam
berkurang , Papil oedem (tidak dilakukan per hari intravena
pemeriksaan funduskopi), Pupil anisokor (-  Piracetam injeksi 3
), Trias cushing (-) gr setiap 8 jam per
hari intravena
Kekuatan otot : 5555 | 5555
 Asam traneksamat
5555 | 5555
injeksi 500 mg
Reflek fisiologis: +|+
+|+ setiap 8 jam per hari
Reflek patologis: -|- intravena
-|-  Manitol injeksi 125
Meningeal sign: - mg setiap 8 jam per
hari intravena
 Flunarizine tablet 1
kali per hari (malam
hari) per oral
 Candesartan 16 mg
tablet 1 kali per hari
(siang hari) per oral
 Betahistin tablet 3
kali per hari setiap 8
jam per oral
 Citicoline 500 mg
tablet 2 kali per hari
setiap 12 jam per
oral

Planning monitoring :
Obeservasi tanda-tanda
vital dan kesadaran
Observasi tanda-tanda
peningkatan tekanan
intrakranial.

12-3-2018 Ruang S:  Head up kepala 30


akasia Pusing berkurang, mual (-), muntah (-), °.
Nyeri kepala berkurang  Infus Ringer Laktat
O: 500 cc +
KU : tampak sakit sedang Metimazole drip 2
TD : 160/100 N : 80x/m, regular, kuat
ampul dengan
RR : 22x/m Tax : 36,5oC
Pupil bulat isokor diameter 2 mm kiri & kecepatan tetesan
kanan. 20 tetes per menit
Tanda-tanda peningkatan tekanan (makro) intravena
intrakranial:  metochlorpramide
Penurunan kesadaran (-), gelisah (-) injeksi 10 mg setiap
berkurang , Papil oedem (tidak dilakukan 12 jam per hari
pemeriksaan funduskopi), Pupil anisokor (- intravena
), Trias cushing (-)  Piracetam injeksi 3
gr setiap 8 jam per
Kekuatan otot : 5555 | 5555 hari intravena
5555 | 5555
 Asam traneksamat
Reflek fisiologis: +|+
+|+ injeksi 500 mg
Reflek patologis: -|- setiap 8 jam per hari
-|- intravena
Meningeal sign: -  Manitol injeksi 125
mg setiap 12 jam
per hari intravena
 Flunarizine tablet 1
kali per hari (malam
hari) per oral
 Candesartan 16 mg
tablet 1 kali per hari
(siang hari) per oral
 Diltiazem 200 mg
tablet 1 kali per hari
(malam hari) per
oral.
 Betahistin tablet 3
kali per hari setiap 8
jam per oral
 Citicoline 500 mg
tablet 2 kali per hari
setiap 12 jam per
oral

Planning monitoring :
Obeservasi tanda-tanda
vital dan kesadaran
Observasi tanda-tanda
peningkatan tekanan
intrakranial.

13-3-2018 Ruang S:  Head up kepala 30 °.


akasia Pusing (-), mual (-), muntah (-), Nyeri  Infus Ringer Laktat
kepala berkurang 500 cc + Metimazole
O: drip 2 ampul dengan
KU : tampak sakit sedang kecepatan tetesan 20
TD : 170/100 N : 80x/m, regular, kuat tetes per menit
RR : 22x/m Tax : 36,5oC (makro) intravena
Pupil bulat isokor diameter 2 mm kiri &  metochlorpramide
kanan. injeksi 10 mg setiap
Tanda-tanda peningkatan tekanan 12 jam per hari
intrakranial: intravena
Penurunan kesadaran (-), gelisah (-)  Piracetam injeksi 3 gr
berkurang , Papil oedem (tidak dilakukan setiap 8 jam per hari
pemeriksaan funduskopi), Pupil anisokor (- intravena
), Trias cushing (-)  Asam traneksamat
injeksi 500 mg setiap
Kekuatan otot : 5555 | 5555 8 jam per hari
5555 | 5555 intravena
Reflek fisiologis: +|+  Manitol injeksi 125
+|+ mg setiap 24 jam per
Reflek patologis: -|- hari intravena
-|-  Flunarizine tablet 1
Meningeal sign: - kali per hari (malam
hari) per oral
 Candesartan 16 mg
tablet 1 kali per hari
(siang hari) per oral
 Diltiazem 200 mg
tablet 1 kali per hari
(malam hari) per oral.
 Betahistin tablet 3 kali
per hari setiap 8 jam
per oral
 Citicoline 500 mg
tablet 2 kali per hari
setiap 12 jam per oral

Planning monitoring :
Obeservasi tanda-tanda vital
dan kesadaran
Observasi tanda-tanda
peningkatan tekanan
intrakranial.

14-3-2018 Ruang S:  Head up kepala 30 °.


akasia Pusing (-), mual (-), muntah (-), Nyeri  Infus Ringer Laktat
kepala berkurang 500 cc + Metimazole
O: drip 2 ampul dengan
KU : tampak sakit sedang kecepatan tetesan 20
TD : 150/100 N : 80x/m, regular, kuat tetes per menit
RR : 22x/m Tax : 36,5oC (makro) intravena
Pupil bulat isokor diameter 2 mm kiri &  metochlorpramide
kanan. injeksi 10 mg setiap
Tanda-tanda peningkatan tekanan 12 jam per hari
intrakranial: intravena
Penurunan kesadaran (-), gelisah (-)  Piracetam injeksi 3 gr
berkurang , Papil oedem (tidak dilakukan setiap 8 jam per hari
pemeriksaan funduskopi), Pupil anisokor (- intravena
), Trias cushing (-)  Asam traneksamat
injeksi 500 mg setiap
Kekuatan otot : 5555 | 5555 8 jam per hari
5555 | 5555 intravena
Reflek fisiologis: +|+  Manitol injeksi 125
+|+ mg setiap 24 jam per
Reflek patologis: -|- hari intravena
-|-  Flunarizine tablet 1
Meningeal sign: - kali per hari (malam
hari) per oral
 Candesartan 16 mg
tablet 1 kali per hari
(siang hari) per oral
 Diltiazem 200 mg
tablet 1 kali per hari
(malam hari) per oral.
 Betahistin tablet 3 kali
per hari setiap 8 jam
per oral
 Citicoline 500 mg
tablet 2 kali per hari
setiap 12 jam per oral

Planning monitoring :
Obeservasi tanda-tanda vital
dan kesadaran
Observasi tanda-tanda
peningkatan tekanan
intrakranial.
15-3-2018 Ruang S:  Head up kepala 30 °.
akasia Pusing (-), mual (-), muntah (-), Nyeri  Infus Ringer Laktat
kepala berkurang 500 cc + Metimazole
O: drip 2 ampul dengan
KU : tampak sakit sedang kecepatan tetesan 20
TD : 150/90 N : 82x/m, regular, kuat tetes per menit
RR : 20x/m Tax : 36,5oC (makro) intravena
Pupil bulat isokor diameter 2 mm kiri &  metochlorpramide
kanan. injeksi 10 mg setiap
Tanda-tanda peningkatan tekanan 12 jam per hari
intrakranial: intravena
Penurunan kesadaran (-), gelisah (-)  Piracetam injeksi 3 gr
berkurang , Papil oedem (tidak dilakukan setiap 8 jam per hari
pemeriksaan funduskopi), Pupil anisokor (- intravena
), Trias cushing (-)  Asam traneksamat
injeksi 500 mg setiap
Kekuatan otot : 5555 | 5555 8 jam per hari
5555 | 5555 intravena
Reflek fisiologis: +|+  Manitol injeksi 125
+|+ mg setiap 24 jam per
Reflek patologis: -|- hari intravena
-|-  Flunarizine tablet 1
Meningeal sign: - kali per hari (malam
hari) per oral
 Candesartan 16 mg
tablet 1 kali per hari
(siang hari) per oral
 Diltiazem 200 mg
tablet 1 kali per hari
(malam hari) per oral.
 Betahistin tablet 3 kali
per hari setiap 8 jam
per oral
 Citicoline 500 mg
tablet 2 kali per hari
setiap 12 jam per oral

16-3-2018 Ruang S:  Head up kepala 30 °.


akasia Pusing (-), mual (-), muntah (-), Nyeri  Infus Ringer Laktat
kepala berkurang 500 cc + Metimazole
O: drip 2 ampul dengan
KU : tampak sakit sedang kecepatan tetesan 20
TD : 150/80 N : 81x/m, regular, kuat tetes per menit
RR : 22x/m Tax : 36,7oC (makro) intravena
Pupil bulat isokor diameter 2 mm kiri &  Ondansetron injeksi 4
kanan. mg setiap 12 jam per
Tanda-tanda peningkatan tekanan hari intravena
intrakranial:  Piracetam injeksi 3 gr
Penurunan kesadaran (-), gelisah (-) setiap 8 jam per hari
berkurang , Papil oedem (tidak dilakukan intravena
pemeriksaan funduskopi), Pupil anisokor (-  Asam traneksamat
), Trias cushing (-) injeksi 500 mg setiap
8 jam per hari
Kekuatan otot : 5555 | 5555 intravena
5555 | 5555  Manitol injeksi 125
Reflek fisiologis: +|+ mg setiap 24 jam per
+|+ hari intravena
Reflek patologis: -|-  Flunarizine tablet 1
-|- kali per hari (malam
Meningeal sign: - hari) per oral
 Candesartan 16 mg
tablet 1 kali per hari
(siang hari) per oral
 Diltiazem 200 mg
tablet 1 kali per hari
(malam hari) per oral.
 Betahistin tablet 3 kali
per hari setiap 8 jam
per oral
 Citicoline 500 mg
tablet 2 kali per hari
setiap 12 jam per oral

17-3-2018 Ruang S:  Head up kepala 30 °.


akasia Pusing (-), mual (-), muntah (-), Nyeri  Infus Ringer Laktat
kepala berkurang 500 cc + Metimazole
O: drip 2 ampul dengan
KU : tampak sakit sedang kecepatan tetesan 20
TD : 140/80 N : 78x/m, regular, kuat tetes per menit
RR : 20x/m Tax : 36,5oC (makro) intravena
Pupil bulat isokor diameter 2 mm kiri &  Ondansetron injeksi 4
kanan. mg setiap 12 jam per
Tanda-tanda peningkatan tekanan hari intravena
intrakranial:  Piracetam injeksi 3 gr
Penurunan kesadaran (-), gelisah (-) setiap 8 jam per hari
berkurang , Papil oedem (tidak dilakukan intravena
pemeriksaan funduskopi), Pupil anisokor (-  Asam traneksamat
), Trias cushing (-) injeksi 500 mg setiap
8 jam per hari
Kekuatan otot : 5555 | 5555 intravena
5555 | 5555  Manitol injeksi 125
Reflek fisiologis: +|+ mg setiap 24 jam per
+|+ hari intravena
Reflek patologis: -|-  Flunarizine tablet 1
-|- kali per hari (malam
Meningeal sign: - hari) per oral
 Candesartan 16 mg
tablet 1 kali per hari
(siang hari) per oral
 Diltiazem 200 mg
tablet 1 kali per hari
(malam hari) per oral.
 Betahistin tablet 3 kali
per hari setiap 8 jam
per oral
 Citicoline 500 mg
tablet 2 kali per hari
setiap 12 jam per oral
18-3-2018 Ruang S:  Head up kepala 30 °.
akasia Pusing (-), mual (-), muntah (-), Nyeri  Infus Ringer Laktat
kepala berkurang 500 cc + Metimazole
O: drip 2 ampul dengan
KU : tampak sakit sedang kecepatan tetesan 20
TD : 140/80 N : 78x/m, regular, kuat tetes per menit
RR : 20x/m Tax : 36,5oC (makro) intravena
Pupil bulat isokor diameter 2 mm kiri &  Ondansetron injeksi 4
kanan. mg setiap 12 jam per
Tanda-tanda peningkatan tekanan hari intravena
intrakranial:  Piracetam injeksi 3 gr
Penurunan kesadaran (-), gelisah (-) setiap 8 jam per hari
berkurang , Papil oedem (tidak dilakukan intravena
pemeriksaan funduskopi), Pupil anisokor (-  Asam traneksamat
), Trias cushing (-) injeksi 500 mg setiap
8 jam per hari
Kekuatan otot : 5555 | 5555 intravena
5555 | 5555  Manitol injeksi 125
Reflek fisiologis: +|+ mg setiap 24 jam per
+|+ hari intravena
Reflek patologis: -|-  Flunarizine tablet 1
-|- kali per hari (malam
Meningeal sign: - hari) per oral
 Candesartan 16 mg
tablet 1 kali per hari
(siang hari) per oral
 Diltiazem 200 mg
tablet 1 kali per hari
(malam hari) per oral.
 Betahistin tablet 3 kali
per hari setiap 8 jam
per oral
 Citicoline 500 mg
tablet 2 kali per hari
setiap 12 jam per oral
 Mobilisasi bertahap
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROMA GUILLAIN BARRE

Definisi

Sindrom Guillain Barre merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flaksid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana
targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Guillain Barre sering juga disebut
sebagai acute idiopathic demyelinating polyradiculoneuritis (AIDP) yang artinya proses
demielinasi pada Guillain Barre bersifat akut. Dalam pemahaman yang serupa GBS adalah
penyebab paling umum dari polineuropati demielinasi inflamasi akut yang disebabkan oleh
serangan imun (faktor seluler dan humoral) terhadap selubung myelin yang mengakibatkan
kelumpuhan motorik umum pada orang sehat

Epidemiologi

Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0,4 - 1,7 kasus per 100.000 orang
pertahun. Insidensi lebih tinggi pada perempuan dibanding pria dan lebih banyak terjadi pada
usia muda. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang
mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan
paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras
didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia
dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.

Sindrom Guillain Barre sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal.

Etiologi

Etiologi SGB masih belum diketahui secara pasti. Teori yang dianut sekarang adalah
suatu kelainan imunologik, baik secara primary imune response maupun immune mediated
response. Beberapa keadaan / penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya
dengan terjadinya SGB antara lain:
1. Infeksi.

SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.


Infeksi akut yang sering berhubungan dengan SGB adalah infeksi dari virus
(CMV, EBV, HIV, varisela) dan bakteri (Campilobakter jejuni, Mycoplasma
pneumonia). Dua pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi.
Interval antara penyakit yang mendahului dengan awitan biasanya 2-3 minggu.
Pada umumnya sindrom ini sering didahului oleh influenza, infeksi saluran
nafas bagian atas atau saluran pencernaan.2

2. Vaksinasi

3. Pembedahan

4. Penyakit sistemik seperti: keganasan, SLE, tiroiditis, penyakit addison

5. Kehamilan/ dalam masa nifas

Patogenesis

Delapan puluh persen pasien dengan SGB memiliki riwayat pendahulu seperti infeksi,
pembedahan dan trauma. Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain
yang mencetuskan terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini
adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan
mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:

1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated


immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

2. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.

3. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada


pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.

Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler
dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering
adalah infeksi virus. Terjadi reaksi inflamasi pada saraf yang terganggu. Infiltrat terdiri atas
sel-sel mononuklear terutama sel limfosit. Terdapat juga sel makrofag, sel polimorfonuklear.
Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal.

Organisme yang menyebabkan infeksi terdahulu mengaktivasi sel T, setelah masa


laten beberapa hari sampai minggu, sel B dan T spesifik antigen teraktivasi. IgG yang
diproduksi sel B dapat dideteksi pada serum pada berbagai konsentrasi. Antibodi ini memblok
konduksi impuls sehingga terjadi akut paralisis atau mengaktivasi komplemen dan makrofag
yang menyebabkan lesi pada mielin. Penelitian terbaru menyatakan bahwa terjadinya
destruksi mielin dicetuskan oleh aktivasi komplement. Aktivasi cascade komplemen
dimediasi oleh ikatan antara antibodi dengan sel Schwann dan mengakibatkan degenerasi
mielin. Akson biasanya menjadi target, terutama setelah infeksi Campylobacter jejuni.

Tanda dan Gejala

Karakteristik GBS pada anak-anak dan orang dewasa dapat berkembang secara pesat
atau progresif, dan secara relatif ciri kelemahan klien GBS berupa symmetrical ascending atau
flaccid paralysis. Pada kasus polineuropati gangguan sistem saraf motorik paling dominan
terlihat. Kerusakan motorik pada kasus GBS dapat bervariasi mulai dari kelemahan ringan
dari distal otot ekstremitas bawah sampai kelumpuhan total otot perifer, aksial, wajah, dan
otot ekstraokular serta refleks tendon biasanya berkurang atau tidak ada. 20 persen sampai 30
persen dari klien mungkin memerlukan ventilasi akibat dari kelumpuhan atau kelemahan otot-
otot interkostal dan diafragma. Penurunan kekuatan otot pernapasan dapat menyebabkan
ketidakmampuan untuk batuk atau menangani sekresi dan penurunan kapasitas vital, volume
tidal, dan saturasi oksigen. Dan sekitar 50 persen klien juga mengalami ganguan pada saraf
kranial, yang ditandai dengan kelemahan otot wajah, okular dan otot orofaring, yang dapat
menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan. Istilah bulbar palsy kadang-
kadang digunakan secara khusus untuk paralisis rahang, faring dan otot lidah yang disebabkan
oleh kerusakan saraf kranial IX, X, dan XI.

Disfungsi otonom yang sering terjadi dan mempelihatkan bentuk reaksi berlebihan
atau kurang bereaksinya sistem saraf simpatis dan parasimpatis, seperti dimanifestasikan oleh
gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah (hipotensi ortostatik) dan
gangguan vasomotor lainnya.

Gejala sensorik seperti hyperparestesiadistal, parestesia (kesemutan, terbakar), mati


rasa, dan penurunan rasa getaran atau posisi tubuh yang umum, namun gejala sensorik ini
tidak berlangsung secara progresif atau terus-menerus. Meskipun gangguan sensorik jarang
melumpuhkan, tetapi bagi klien dalam tahap fase akut gangguan sensorik dapat
menjengkelkan atau membingungkan.

Nyeri identifikasi sebagai gejala yang signifikan. Beberapa klien melaporkan nyeri
muncul sebelum timbulnya gejala neurologik atau awal dari gejala neurologik namun
beberapa klien juga mengatakan bahwa nyeri dirasakan selama proses penyakit tersebut.
Nyeri biasanya simetris dan dilaporkan paling sering pada otot-otot besar seperti gluteus,
quadrisep, hamstring dan kadang-kadang muncul pada tungkai bawah dan ekstremitas atas.
Dan pada malam hari biasanya klien sering mengalami nyeri. Beberapa klien merasakan rasa
terbakar yang hebat atau hipersentifitas terhadap sentuhan dan gerakan udara.

Gejala-gejala tersebut akan memuncak dalam satu minggu tetapi dapat berkembang
selama beberapa minggu. Tingkat paralisis dapat saja berhenti setiap saat dan fungsi motorik
akan kembali membaik dengan pola desending. Demielinisasi terjadi dengan cepat tetapi
kecepatan remielinisasi hanya sekitar 1-2 mm per hari.

Perjalanan penyakit ini terdiri dari 3 fase yaitu:

1. Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan
bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari
sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu.

2. Fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini
bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7
minggu.

3. Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang


berlangsung selama beberapa bulan.

Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:

a. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:

 Terjadinya kelemahan yang progresif

 Hiporefleksi
b. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:

Ciri-ciri klinis:

- Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4


minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan
90% dalam 4 minggu.

- Relatif simetris

- Gejala gangguan sensibilitas ringan, hipotoni dan hiporefleksi selalu


ditemukan.

- Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak
lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan,
kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf
otak lain

- Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat


memanjang sampai beberapa bulan.

- Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi


dangejala vasomotor.

- Tidak ada demam saat onset gejala neurologis

Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:

- Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada
LP serial

- Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3

c. Varian:

- Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala

- Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3


Pada gangguan neurogenik dengan demielinisasi sering terjadi kehilangan refleks
fisiologi pada tahap awal penyakit, seperti yang terjadi pada Guiilain Barre Syndrome. Hal ini
terjadi karena adanya blok dan ketidaksesuaian serabut saraf aferen dan eferen. Fase progresif
dari SGB berlangsung dalam beberapa hari hingga empat minggu dan diikuti dengan fase
plateau, saat gejala berada dalam keadaan persisten sebelum diakhiri dengan masa resolusi
dari gejala yang lamanya bervariasi.

Sementara kriteria diagnostik Sindrom Guillain Barre menurut Daroff (2012) yang
diadaptasi dari Assessment of current diagnostic criteria for Guillain Barre Syndrometahun
1990 dibagi menjadi tiga kriteria yaitu:

1) manifestasi klinis yang diperlukan untuk diagnosis yaitu kelemahan progresif


pada kedua ektremitas dan arefleksia;

2) manifestasi klinis yang mendukung diagnosis yaitu:

- progresivitas dalam beberapa hari sampai 4 minggu,

- relatif simetris, dapat mengenai sistem sensorik,

- kelumpuhan kedua otot wajah (bifacial palsies),

- disfungsi otonom,

- periode recovery 2-4 minggu setelah periode progresif.

3) pemeriksaan laboratorium yang mendukung diagnosis:

- peningkatan protein dalam cairan serebrospinal dengan sel < 10 sel/µl

- gambaran elektrodiagnostik pada konduksi nervus lambat atau terhambat.

Derajat penyakit SGB didasarkan pada skala disabilitas dari Hughes. Pada SGB
berat, pasien memiliki skala ≥ 4.

Tabel 1. Skala Disabilitas Sindrom Guillain Barre menurut Hughes.

0
Sehat
1Gejala minor dari neuropati, namun dapat melakukan pekerjaan manual
2Dapat berjalan tanpa bantuan tongkat, namun tidak dapat melakukan
pekerjaan manual
3Dapat berjalan dengan bantuan tongkat atau alat penunjang
4Kegiatan terbatas di tempat tidur/kursi (bed / chair bound)
5Membutuhkan bantuan ventilasi

6Kematian
Klasifikasi

Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan,


yaitu:

1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy

Mediasi oleh antibodi, dipicu oleh infeksi virus atau bakteri sebelumnya,
gambaran elektrofisiologi berupa demielinisasi, remielinisasi muncul setelah reaksi
imun berakhir, merupakan tipe SGB yang sering dijumpai di Eropa dan Amerika.

2. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)

Merupakan bentuk murni dari neuropathy axonal, dimana acute motor axonal
neurophaty (AMAN), terjadi degenerasi dari axon motorik, tanpa adanya
demielinisasi. Gejala ditandai dengan adanya kelemahan otot bagian distal, terkadang
dapat disertai paralisis otot pernafasan. Sensorik tidak mengalami gangguan. Dari
pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan protein pada cairan serebrospinal
sementara dari pemeriksaan elektrofisiologi menunjukkan absen/turunnya saraf
motorik dan saraf sensorik. Penyembuhan lebih cepat, sering terjadi pada anak, dan
merupakan tipe SGB yang sering di Cina dan Jepang.

3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

Degenerasi terjadi pada akson sensorik dan motorik, sehingga manifestasi


klinisnya berupa kelemahan motorik dan sensorik, terkadang dengan paralisis otot
pernafasan. Kebanyakan pasien menjadi tetraplegi dan kesulitan bernafas hanya dalam
waktu yang singkat.

4. Miller Fisher’s Syndrome

Merupakan kelainan yang jarang dijumpai, berupa trias ataxia, areflexia dan
oftalmoplegia, dapat terjadi gangguan proprioseptif, resolusi dalam waktu 1-3 bulan.

5. Acute Pandysautonomia

Varian yang paling jarang dari SGB, mempengaruhi sistim simpatis dan
parasimpatis, gangguan kardiovaskular (hipotensi, takikardi, hipertensi, disaritmia),
gangguan penglihatan berupa pandangan kabur, kekeringan pada mata dan anhidrosis,
penyembuhan bertahap dan tidak sempurna, sering dijumpai juga gangguan sensorik.

Anatomi

Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya.
Tampak perlindungan tersebut, otak yang lembut akan mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Dan begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Tepat diatas
tengkorak terletak galea aponeurotika yaitu jaringan fibrosa, padat, dapat digerakan dengan
bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat
lapisan lemak dan lapisan membran dalam yang mengandung pembulu-pembuluh darah besar
yang bila robek, sukar mengadakan vasokontriksi sehingga dapat menyebabkan kehilangan
darah bermakna. Tepat dibawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena
emisaria dan diploika, pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit sampai ke dalam
tengkorak.

Gambar 1: Tabula dan pembuluh darah di kepala.

Tulang tengkorak terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang
berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna dan dinding bagian dalam disebut tabula
interna yang mengandung alur-alur yang berisi arteria meningea anterior, media, dan
posterior. Apabila arteria tersebut terkoyak maka akan tertimbun dalam ruang epidural.

Meningens terdiri dari tiga lapis dari luar ke dalam yaitu dura mater, arakhnoid, dan pia mater.
Dura adalah membran yang liat, semitranlusen, tidak elastis dan melekat erat dengan permukaan
dalam tengkorak.

Gambar 2 : Lapisan meningens dan tempat perdarahan.

Fungsinya (1) melindungi otak, (2) menutupi sinus-sinus vena, (3) membentuk
periosteum tabula interna. Bagian tengah dan poterior disuplai oleh a. Meningea media yang
bercabang dari a. Vertebralis dan a. Carotis interna. Arakhnoid adalah membran fibrosa halus
dan elastis, membran ini tidak melakat dengan dura mater, ruangan antara kedua membran
disebut ruang subdural. Vena-vena otak yang melewati ruangan ini hanya mempunyai sedikit
jaringan penyokong sehingga mudah sekali terkena cedera dan robek pada trauma kepala.
Diantara arakhnoid dan pia mater terdapat ruang subarakhnoid yang melebar dan mendalam
pada daerah tertentu dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal. Pia mater adalah
membran halus yang memiliki sangat banyak pembuluh darah halus dan merupakan satu-
satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus semua girus.
Patofisiologi
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer. Lesi primer
ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak, jaringan otak, saraf
otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar otak. Pada tulang tengkorak
dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi.
Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria
meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau
menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan
telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat
menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung atau telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan peningkatan volume dalam tengkorak, hingga
menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung
menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat penekanan.
Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup dan
countre coup. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya
perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan
menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum,
gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan
ke bawah dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan kerusakan di
batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada
batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial.
Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di
dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguan yang
ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan. Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis
menderita gangguan ini. Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah
frontal. Mungkin traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak
yang mengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak otot
mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak. Ini
menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hari
akibat dari edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks cahaya
negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada
cabang supraorbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga
terlewatkan pada pemeriksaan. Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah
beberapa hari kemudian. Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena
penyebabnya adalah edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai
perdarahan lewat lubang telinga. Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma
kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan
salah satu penyebab gangguan. Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan,
mungkin karena kebanyakan penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan
gangguan pada saraf-saraf tersebut. Akibat dari trauma pada pembuluh darah, selain robekan
terbuka yang dapat langsung terjadi karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul
kelemahan dinding arteri. Bagian ini kemudian berkembang menjadi aneurisma.

Gambar 3: Patofisiologi cedera kepala.


Klasifikasi Cedera Kepala

Berdasarkan Berdasarkan
mekanisme beratnya

Cedera kepala Cedera kepala cedera kepala cedera kepala cedera kepala
tertutup terbuka ringan sedang berat
Berdasarkan
morfologi

Fraktur Lesi
Kulit
tengkorak Intrakranial

Vulnus Kalvaria Basilar Fokal Diffuse

Linear atau Kontusio


Laserasi Konkusi ringan
stelata serebri

Hematom Depressed atau Hematom


Konkusi klasik
subkutan, nondepressed epidural

Hematom Hematom Cedera aksonal


subgaleal subdural difusa

Perdarahan
subarakhnoid

Perdarahan
intraserebral

Gambar 4: Klasifikasi cedera kepala.

Berdasarkan Mekanisme
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan penetrans atau
terbuka. Walau istilah ini luas digunakan dan berguna untuk membedakan titik pandang,
namun sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya fraktura tengkorak depres
dapat dimasukkan kesalah satu golongan tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya
cedera tulang. Sekalipun demikian, untuk kegunaan klinis, istilah cedera kepala tertutup
biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala
penetrans lebih sering dikaitkan denganluka tembak dan luka tusuk.

1. Trauma kepala terbuka


Trauma kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi duramater.
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak. Fraktur longitudinal
sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus interna, foramen jugularis dan tuba
eustachius. Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign (warna biru dibelakang telinga diatas
os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga). Perdarahan dari telinga dengan
trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Fraktur basis
tengkorak tidak selalu dapat dideteksi oleh foto rontgen, karena terjadi sangat dasar.
Tanda-tanda klinik yang dapat membantu mendiagnosa adalah :
a. Battle sign ( warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid )
b. Hemotipanum ( perdarahan di daerah gendang telinga )
c. Periorbital ecchymosis ( mata warna hitam tanpa trauma langsung )
d. Rhinorrhoe ( liquor keluar dari hidung )
e. Otorrhoe ( liquor keluar dari telinga)
Komplikasi pada trauma kepala terbuka adalah infeksi, meningitis dan perdarahan.

Gambar 5: Tanda Cedera Kepala.

2. Trauma kepala tertutup


Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio serebri. Pada
komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan PA. Pada
kontusio serebri terdapat kerusakan dari jaringan otak, sedangkan laserasio serebri berarti
kerusakan otak disertai robekan duramater. Trauma kepala dapat menyebabkan cedera
pada otak karena adanya aselerasi, deselerasi dan rotasi dari kepala dan isinya. Karena
perbedaan densitas antara tengkorak dan isinya, bila ada aselerasi, gerakan cepat yang
mendadak dari tulang tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan
benturan dan goresan antara otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak yang menonjol
atau dengan sekat-sekat duramater. Bila terjadi deselerasi (pelambatan gerak), terjadi
benturan karena otak masih bergerak cepat pada saat tengkorak sudah bergerak lambat
atau berhenti. Mekanisme yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak.
Tenaga gerakan ini menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan) jaringan,
peregangan maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di atas jaringan yang lain.
Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan. Kerusakan jaringan otak
dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di tempat yang berlawanan (countre
coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang tekanan dari sisi benturan (sisi
coup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi countre
coup ini terjadi tekanan yang paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul
kavitasi dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak
pada setiap trauma merupakan penyebab utama terjadinya countre coup, akibat benturan-
benturan otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antar
jaringan dalam tengkorak. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini adalah
daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis.

A. Komusio serebri ( Gegar otak )


Merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi pingsan (kurang dari 10 menit ).
Gejala lain mungkin termasuk pusing, noda-noda didepan mata dan linglung. Konkusio
adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya cedera pada
otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata. Konkusio menyebabkan
kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan struktural yang nyata. Hal ini
bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada goncangan yang
menimpa otak di dalam tulang tengkorak. Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit
kepala dan rasa mengantuk yang abnormal; sebagian besar penderita mengalami
penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari. Beberapa penderita merasakan pusing,
kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya
berkurang dan kecemasan. Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai
beberapa minggu, jarang lebih dari beberapa minggu. Penderita bisa mengalami kesulitan
dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca konkusio.
Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki; tidak diketahui mengapa
sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala yang ringan. Para ahli belum
sepakat, apakah penyebabkan adalah cedera mikroskopi atau faktor psikis. Pemberian obat-
obatan dan terapi psikis bisa membantu beberapa penderita sindroma ini. Yang lebih perlu
dikhawatirkan selain sindroma pasca konkusio adalah gejala-gejala yang lebih serius yang
bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang beberapa hari setelah terjadinya cedera. Jika
sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk bertambah parah, sebaiknya segera mencari
pertolongan medis. Biasanya, jika terbukti tidak terdapat kerusakan yang lebih berat, maka
tidak diperlukan pengobatan. Setiap orang yang mengalami cedera kepala diberitahu
mengenai pertanda memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin parah,
biasanya untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika cederanya tidak parah,
aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari pertama.

B. Kontusio serebri (Memar otak )

Merupakan perdarahan kecil / ptechie pada jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah
kapiler. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada
daerah coup dan countre coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan robek
pada laserasio serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali
disertai adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Sebagai kelanjutan dari
kontusio akan terjadi edema otak.Penyebab utamanya adalah vasogenik, yaitu akibat
kerusakan B.B.B. (blood brain barrier). Disini dinding kapiler mengalami kerusakan
ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Cairan akan keluar dari pembuluh darah ke
dalam jaringan otak karena beda tekanan intra vaskuler dan interstisial yang disebut ekanan
perfusi. Bila tekanan arterial meningkat akan mempercepat terjadinya edema dan
sebaliknya bila turun akan memperlambat. Edema jaringan menyebabkan penekanan pada
pembuluh-pembuluh darah yang mengakibatkan aliran darah berkurang. Akibatnya terjadi
iskemia dan hipoksia. Asidosis yang terjadi akibat hipoksia ini selanjutnya menimbulkan
vasodilatasi dan hilangnya auto regulasi aliran darah, sehingga edema semakin hebat.
Hipoksia karena sebab-sebab lain juga memberikan akibat yang sama. Jika otak
membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak; pembengkakan
yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak. Gejala dari kontusio adalah pusing,
kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya
berkurang dan kecemasan. Biasanya gejala berlangsung selama beberapa hari sampai
beberapa minggu. Sindroma pasca konkusio yaitu kesulitan dalam bekerja, belajar dan
bersosialisasi. Kontusio serebri dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. MRI
menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa menyebabkan
kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati dengan kebingungan atau bahkan koma.

C. Perdarahan intracranial
Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak.
Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera
biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau
diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma epidural).
Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian
besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit.
Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut dan membesar
secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari. Hematoma yang
luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan
jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau batang
otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran
sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau
gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang
ingatan, terutama pada usia lanjut.

Hematoma epidural
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara meningens dan
tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah merobek arteri. Darah
di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar. Gejala
berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam
kemudian. Sakit kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi
dan lebih parah dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa
ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya
tergantung kepada CT scan darurat. Pada pemeriksaan dengan CT-Scan akan tampak
gambaran massa hiperdens dengan bentuk bikonveks (double convex sign), atau ada pula
yang menyebutnya sebagai gambaran football shaped yang secara tipikal terletak di bagian
temporal tengkorak. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang
di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian
dan penyumbatan sumber perdarahan.

Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bisa
terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah
terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural yang bertambah luas
secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada
alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu
gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya
genangan darah dan didapatkan gambaran hiperdens berbentuk konkaf atau menyerupai
bulan sabit, atau sering disebut crescentic sign. Hematoma subdural pada bayi bisa
menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan
lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan.

Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:


1). Sakit kepala yang menetap
2). Rasa mengantuk yang hilang-timbul
3). Linglung
4). Perubahan ingatan
5). Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

Berdasarkan Beratnya

A. Cedera kepala ringan (GCS 13-15)

Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada penurunan kesadaran hanya terjadi
beberapa detik sampai beberapa menit saja. Tidak ditemukan kelaianan pada pemeriksaan
CT-scan, LCS normal, dapat terjadi amnesia retrograde.

B. Cedera kepala sedang (GCS 9-12)

Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga beberapa jam. Sering tanda
neurologis abnormal, biasanya disertai edema dan kontusio serebri. Terjadi juga drowsiness
dan confusion yang dapat bertahan hingga beberapa minggu. Fungsi kognitif maupun perilaku
yang terganggu dapat terjadi beberapa bulan bahkan permanen.

C. Cedera kepala berat (GCS <8)

Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang disebut koma. Penurunan
kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien tidak mampu mengikuti, bahkan perintah
sederhana, karena gangguan penurunan kesadaran. Termasuk juga dalam hal ini status
vegetatif persisten. Tanpa memperdulikan nilai SKG, pasien digolongkan sebagai penderita
cedera kepala berat bila :

1. Pupil tak ekual


2. Pemeriksaan motor tak ekual.
3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau adanya jaringan otak yang terbuka.
4. Perburukan neurologik.
5. Fraktura tengkorak depressed.

Berdasarkan Morfologi

Cedera kulit : vulnus, laserasi, hematom subkutan, hematom subgaleal


Luka dapat menimbulkan perdarahan, pembengkakan setempat, nyeri setempat, nyeri pada
pergerakan dan dirawat sebagaimana mestinya. Perdarahan subgaleal dapat besar sekali
hingga menimbulkan pembengkakan yang hebat dan bentuk kepala menjadi besar tidak
teratur. Pada keadaan ini perlu diberi balut yang menekan dan bila teraba lunak dapat dipungsi
untuk mengeluarkan darah yang cair.

Fraktur tengkorak

Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. Mungkin tampak
pada kalvaria atau basis, mungkin linier atau stelata, mungkin terdepres atau tidak terdepres.
Fraktur tengkorak biasanya terjadi pada tempat benturan. Garis fraktur dapat menjalar sampai
basis cranii. Patah tulang tengkorak bisa melukai arteri dan vena, yang kemudian
mengalirkan darahnya ke dalam rongga di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar
tengkorak bisa merobek meningens. Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak
dan meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga yang menandakan adanya fraktur basis
cranii. Depresi pada kepala atau muka (sunken eye) menandakan terjadi fraktur maksila.
Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan menyebabkan
infeksi serta kerusakan hebat pada otak. Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak
memerlukan pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.

Cedera aksonal difusa

Kerusakan akson oleh karena adanya proses akselerasi dan deserelasi yang terjadi pada otak
sewaktu terjadinya trauma kepala. Otak memiliki beberapa lapisan yang membentuknya. Pada
saat terjadinya trauma, lapisan – lapisan ini akan ikut bergeser. Pergerakkan tiap lapisan ini
akan berbeda – beda. Ilustrasi dibawah ini menunjukkan adanya penarikan neuron akibat
perbedaan waktu pergeseran yang bias menyebabkan akson teregang, terpuntir, terputus, dan
terjepit. Akibatnya cairan dan ionic akan masuk ke axon dan menyebakan pembengkakkan,
yang nantinya akan menyebakkan kerusakkan neuron. Akson terputus dan akson bagian distal
akan terpisah. Pada stadium lanjut, akan terjadi kematian akson pada ujung distal

Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala yang kesadarannya cukup baik mencakup
pemeriksaaan neurologis yang lengkap, sedangkan pada penderita yang kesadarannya
menurun dapat digunakan pedoman yaitu :

1. Tingkat kesadaran dengan menghitung nilai GCS


2. Kekuatan fungsi motorik
3. Ukuran pupil dan responnya terhadap cahaya
4. Gerakan bola mata

Pemeriksaan penunjang
1. Foto polos cranium ( schullder )
Foto polos tengkorak adalah prosedur mutlak yang dikerjakan pada setiap cedera
kepala. Foto ini membantu mendiagnosa dini adanya fraktur pada tulang tengkorak.

Indikasi pemeriksaan foto polos kepala :


 Kehilangan kesadaran, amnesia
 Nyeri kepala menetap
 Gejala neurologis fokal
 Jejas pada kulit kepala
 Kecurigaan luka tembus
 Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau telinga
 Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau teraba
 Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk, intoksikasi obat, epilepsi, anak
 Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi mempunyai resiko :
benturan langsung atau jatuh pada permukaan yang keras, pasien usia > 50
o tahun.
2. Pemeriksaan CT-Scan
CT scan merupakan metode standar terpilih untuk cedera kepala baik ringan sampai
berat terutama dikerjakan pada pasien – pasien yang mengalami penurunan kesadaran dan
terdapat tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial. Selain untuk melihat adanya
fraktur tulang tengkorak, CT scan juga dapat melihat adanya perdarahan otak, efek
desakan pada otak dan bisa digunakan sebagai pemantau terhadap perkembangan
perdarahan pada otak.

Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala :


 GCS< 13 setelah resusitasi.
 Deteorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis,
 kejang.
 Nyeri kepala, muntah yang menetap
 Terdapat tanda fokal neurologis
 Terdapat tanda Fraktur, atau kecurigaan fraktur
 Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus
 Evaluasi pasca operasi
 pasien multitrauma ( trauma signifikan lebih dari 1 organ )
 Indikasi sosial

Penanganan Cedera Kepala

I. Cedera kepala ringan


Bila dijumpai penderita sadar dan berorientasi dengan GCS 13 – 15.
Terdiri atas :

a. Simple head injury


 Tidak ada penurunan kesadaran
 Adanya trauma kepala ( pusing )
b. Commotio cerebri ( gegar otak )
 Adanya penurunan kesadaran ( pingsan > 10 menit )
 Amnesia retrograde
 Pusing, sakit kepala, muntah
 Tidak ada defisit neurologis
Manajemen

1. Airway
Periksa dan bebaskan jalan nafas dari sumbatan.
 Lendir, darah,muntahan, benda asing : lakukan penyedotan dengan suction,
pasang NGT
 Posisi kepala dalam posisi netral, tidak miring ke kanan atau ke kiri.
 Lakukan intubasi endotrakeal terutama pada pasien GCS ≤ 7 tetapi sebelumnya
harus diyakini tidak ada fractur cervical.
 Foto rontgen cervical lateral dapat menjadi pilihan sebelum melakukan tindakan
intubasi. Apabila didapatkan fractur cervical, maka tindakan yang dilakukan
adalah tracheostomi.
2. Breathing
Perhatikan gerak napas pasien, jika terdapat tanda – tanda sesak segera pasang oksigen.

3. Circulation
Periksa tekanan darah dan denyut nadi. Jika ada tanda – tanda syok segera pasang infus.
Bila disertai dengan perdarahan yang cukup banyak bisa ditambah dengan tranfusi darah (
whole blood ). Pasang kateter untuk monitoring balans cairan.

4. Setelah kondisi pasien stabil, Periksa tingkat kesadaran pasien, perhatikan kemungkinan
cedera spinal. Adanya cedera/ luka robek atau tembus. Jika ada luka robek, bersihkan
lalu di jahit.
5. Foto rontgen tengkorak.
Dilakukan pada posisi AP dan Lateral.
6. CTscan kepala.
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada semua cedera kepala, kecuali pada pasien – pasien
yang asimptomatik tidak perlu dilakukan.

7. Observasi
Kriteria rawat :

a. Amnesia post traumatika lebih dari 1 jam


b. Riwayat kehilangan kesadaran lebih dari 15 menit
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. CT scan abnormal ( adanya fraktur, perdarahan )
f. Otorrhea, rhinorrhea
g. Semua cedera tembus
h. Indikasi sosial ( tidak ada pendamping di rumah )
Penderita yang tidak memiliki gejala seperti di atas diperbolehkan pulang setelah
dilakukan pemantauan di rumah sakit dengan catatan harus kembali ke rumah sakit bila
timbul gejala-gejala ( observasi 1 x 24 jam ) seperti :

 Mengantuk dan sukar dibangunkan


 Mual dan muntah hebat
 Kejang
 Nyeri kepala bertambah hebat
 Bingung, tidak mampu berkonsentrasi
 Gelisah
8. Terapi simtomatik

II. Cedera kepala sedang


Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap dapat mengikuti perintah
sederhana ( GCS 9 – 12 ). Walau dapat mengikuti perintah, namun dapat memburuk
dengan cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya pasien cedera kepala
berat tapi aspek kedaruratannya tidak begitu akut. Penanganannya sama seperti pada
cedera kepala ringan ditambah dengan pemeriksaan darah. Bila kondisi
membaik,pasien boleh pulang dan control di poli. Pemeriksaan CT scan perlu diulang
apabila kesadaran pasien tidak membaik. Pada keadaan ini pasien harus dirawat untuk
di observasi.

III. Cedera kepala berat


Penderita kelompok ini tidak dapat mengikuti segala perintah sederhana karena
adanya gangguan kesadaran ( GCS 3 – 8).

Cedera kepala berat dapat dibagi menjadi :

a. Contusio cerebri
 Pingsan > 10 menit
 Kegelisahan motorik
 Sakit kepala, muntah
 Kejang
 Pada kasus berat dapat dijumpai pernapasan cheyne stokes
 Amnesia anterogard
b. Laceratio cerebri
Biasanya didapat pada fraktur terbuka maupun tertutup.

Penangan kasus ini mencakup :

 Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip ABC seperti pada cedera kepala


ringan.
 Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan
di bagian tubuh lainnya.
 Pemeriksaan neurologis, meliputi : reflex buka mata, reflex cahaya pupil,
respon motorik, respon verbal, respon okulo sefalik ( Doll’s eye ).
 Pemeriksaan penunjang : CT-scan, angiografi.
 Rawat selama 7 – 10 hari.
 Beri manitol 20 % ( 1 gr/BB ) bolus dalam 5 menit.
 Furosemid ( 0,3 – 0,5 mg/BB ) diberi bersama manitol.
 Antikonvulsan : fenitoin dan fenobarbital.
Indikasi Operasi

Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut :

- Volume massa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial

- Volume massa hematom lebih dari 20 ml di daerah infratentorial

- Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis

- Tanda fokal neurologis semakin berat

- Terdapat gejala TIK yang meningkat lebih dari 25 mmHg( sakit kepala hebat, muntah
proyektil)

- Pada pemeriksaan CT-Scan terdapat pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
atau penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang

Prognosis

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami penyembuhan
total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang
terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang tidak
mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan.
Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu
sama lainnya, semakin berkurang. Kemampuan berbahasa pada anak kecil dijalankan oleh
beberapa area di otak, sedangkan pada dewasa sudah dipusatkan pada satu area. Jika hemisfer
kiri mengalami kerusakan hebat sebelum usia 8 tahun, maka hemisfer kanan bisa mengambil
alih fungsi bahasa.
Kerusakan area bahasa pada masa dewasa lebih cenderung menyebabkan kelainan yang
menetap. Beberapa fungsi (misalnya penglihatan serta pergerakan lengan dan tungkai)
dikendalikan oleh area khusus pada salah satu sisi otak. Kerusakan pada area ini biasanya
menyebabkan kelainan yang menetap. Dampak dari kerusakan ini bisa diminimalkan dengan
menjalani terapi rehabilitasi. Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan
tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran.
Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan penderita akan
pulih kembali.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Penerbit : Dian Rakyat.
Jakarta : 2009

2. Tim Neuro Universitas Airlangga. Neurotauma Guideline Management in Traumatic


Brain Injury. Edisi kedua. Surabaya ; 2014.

3. Price SA, Wilson LM. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In : Pendit BU, Hartanto
H, Wulansari P, Mahanani DA, Editors. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, 6th ed. Jakarta : EGC ; 2005

4. David, Bernath. Head Injury. Available at : www.e-medicine.com. Accessed on : 2


April 2018

5. Neural System Development - Cerebrospinal Fluid. Available at:


http://embryology.med.unsw.edu.au/Notes/neuron6a.htm. Accessed on : 2 April 2018

6. Anatomy & Causes: Cranial Anatomy. Available at:


http://dryogeshgandhi.com/cranial.htm. Accessed on : 2 April 2018

Anda mungkin juga menyukai