Anda di halaman 1dari 14

JURNAL PRATIKUM FARMAKOTERAPI III

PENYAKIT EPILEPSI

B1 - KELOMPOK 4

NI PUTU IRMA RIANA RAHMADEWI 162200023


SANG PUTU GEDE ADI PRATAMA 162200024
SANTY DEWI KUMALASARI W. 162200025
SI NGURAH MADE SUTA PRARAMA 162200026
SITI NUR AINI 162200027
STEFANIE DWIARTI OMON 162200028
VERIDIANA HANAT 162200029

JURUSAN FARMASI
PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS
INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA
2017/2018
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi penyakit epilepsi.
2. Mengetahui klasifikasi penyakit epilepsi.
3. Mengatahui patofisiologi penyakit epilepsi.
4. Mengetahui tatalaksana penyakit epilepsi (Farmakologi & Non-
Farmakologi).
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit epilepsi secara mandiri
dengan menggunakan metode SOAP.
II. DASAR TEORI
2.1 Definisi Epilepsi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan
(seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara
intermiten yang disebabkan oleh pelepasan muatan listrik abnormal dan
berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, tanpa provokasi, dan didasari
oleh berbagai faktor etiologi. Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan
tanda klinik epilepsi yang terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan
etiologi, umur, onset, jenis bangkitan, faktor penyebab, dan kronisitas.
Menurut, ILAE &IBE epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh
adanya faktor preposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptic, perubahan
neurologis, kognifif psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya. Sehingga, epilepsi merupakan sekumpulan gejala yant terjadi
karena adanya kelainan pada otak yang ditandai oleh bangkitan epileptic yang
berulang akibat adanya aktivitas neuron yang berlebih yang terjadi pada otak.
Jadi secara sederhana epilepsy adalah kejadian kejang yang terjadi berulang
(kekambuhan). Sedangkan kejang itu sendiri merupakan manifestasi klinik dari
aktivitas neuron yang berlebihan di dalam korteks serebral.
2.2 Etiologi Epilepsi
Epilepsi dapat disebabkan karena beberapa faktor antara lain adanya
kerusakan akibat trauma, genetik, akibat penyakit lain seperti tumor otak,
penggunaan obat-obatan (tramadol, bupropion, theophylin , antidepresan,
antipsikotik , dll).
Children Epilepsi elderly:
- Birth trauma - Brain tumor
- Infection - Stroke
- Congenital abnormality
- High fever Middle years:
- Head injuries
- Infection
- Alcohol
- Stimulant drugs
- Medication side effect

2.3 Klasifikasi Epilepsi


Berdasarkan gejala klinis yang terjadi, epilepsi dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Kejang umum (generalized seizure), terdiri dari:
 Tonic-clonic convulsion = grand mal
Merupakan bentuk epilepsi yang paling banyak terjadi. Tanda-tanda dari
grand mal adalah pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah,
keluar air liur, bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit lidah, terjadi
1-2 menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala.
 Abscense attacks = petit mal
Merupakan jenis epilepsi yang jarang terjadi. Umumnya hanya terjadi
pada masa anak-anak atau awal remaja. Gejala klinis yang terlihat yaitu:
- Penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip, dengan
kepala terkulai.
- Kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak
disadari.
 Myoclonic seizure
Merupakan serangan epilepsi yang biasanya terjadi pada pagi hari, setelah
bangun tidur. Gejala klinis yang terlihat berupa: Pasien mengalami
sentakan yang tiba-tiba.
 Atonic seizure
Merupakan serangan epilepsi yang jarang terjadi. Gejala klinis yang
tampak berupa:
- Pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot.
- Pasien jatuh, tapi bisa segera pulih.
b. Kejang parsial/focal
Kejang parsial dimulai dari satu bagian hemisphere otak dan dapat
berkembang menjadi kejang umum. Kejang parsial akan mengakibatkan
perubahan pada fungsi motorik, sensorik, atau gejala somatosensorik atau
automatism. Kejang parsial terbagi menjadi:
 Simple partial seizures
- Pasien tidak kehilangan kesadaran.
- Terjadi sentakan-sentakan pada bagian tertentu dari tubuh.
 Complex partial seizures
Pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali (yaitu: gerakan
mengunyah, meringis, dll) tanpa kesadaran
2.4 Patofisiologi Epilepsi
Kejang terjadi akibat eksitasi yang berlebihan atau pada kasus kejang
dimana penghambatan yang tidak teratur pada besarnya populasi di korteks
neuron. Hal ini digambarkan dalam EEG sebagai gelombang atau lonjakan
tajam yang tidak normal. Manifestasi klinis pada epilepsi tergantung pada
lokasi focus, tingkat iritabilitas pada daerah sekitar otak dan intensitas implus.
Terdapat beberapa mekanisme yang dapat berkontribusi terhadap
hipereksitivitas sinkron yaitu:
1. Perubahan dalam distribusi, jumlah, jenis dan sifat biofisik saluran ion
di membran neuron.
2. Modifikasi biokimia reseptor.
3. Modulasi sistem perpesanan kedua dan ekspresi gen.
4. Perubahan konsentrasi ion ekstraselular.
5. Perubahan serapan dan metabolisme neurotransmiter pada sel glial.
6. Modifikasi pada rasio dan fungsi rangkaian hambat.
Selain itu, ketidakseimbangan neurotransmiter lokal dapat menjadi
mekanisme potensial untuk epileptogenesis fokal. Namun, ketidakseimbangan
antara neurotransmiter utama, glutamat (rangsang) dan γ-aminobutyric-acid
(GABA) (inhibitor), dan neuromodulator (misalnya, asetilkolin,
norepinephrine, dan serotonin) mungkin berperan dalam mempercepat kejang
pada pasien yang rentan (Dipiro et al, 2009). Glutamat dan γ-Aminobutyric
Acid (GABA) diketahui mempunyai peranan penting pada patofisiologi
epilepsi. Apabila terjadi penurunan GABA akan menyebabkan terjadi
pelepasan impuls epileptik secara berlebihan yang mana akan memicu
timbulnya kejang (gejala epilepsi). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk
inhibisi potensial post sinaptik. Selain itu, apabila terjadi peningkatan
Glutamat (neuron eksitatorik) sementara jumlah GABA berada pada kadar
normal akan terjadi pelepasan impuls epileptik yang berlebihan dan memicu
terjadinya kejang (Chisholm-Burns et al,2016).
2.5 Diagnosis
Pasien didiagnosis epilepsi jika pasien mengalami serangan kejang secara
berulang. Epilepsi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis dan untuk
menentukan jenis epilepsi dilihat dari gejala yang dialami pasien. Selain itu,
untuk mendiagnosis diperlukan beberapa data maker khusus untuk
menentukan kebenaran hasil diagnosis. Pemeriksaan utama yang dilakukan
yaitu EEG, CT-scan, atau MRI. Selain itu dilakukan pula pemeriksaan
pelengkap berupa pemeriksaan laboratorium (Prolaktin, neuron-enolase, s
-100, BNP, ANP).
Adult patient with a seinure

History
Physical examination
Exclude
Syncope
Transient ischemic attack
Migraine
Acute pshycosis
Other cause of episode cerebral dysfunction

History of epilepsy; currently treated No history of epilepsy


with antiepileptics

Laboratory studies
Assess: adequacy of antiepileptic therapy CBC
Side effects Electrolytes, calcium, magnesium
Serum leves Serum glucose
Liver and renal function tests
urinalysis

Consider
Electrolytes
CBC
Liver and renal function tests Positive metabolic screen or Negative
Toxicology screen symtomastigna suggesting a metabolic screen
metabolic or infectious
disorder

Normal MRI scan or EEG


Abnormal or change in
neurologic exam Further work-up
Lumbar puncture
Cultures Focal features of seizure
Subtherapuetic Therapeutic
Endocrine studies Focal abnormalities on
antiepileptic antiepileptic Treat identificable
CT clinical or lab examination
levels levels metabolic abnormalities
MRI if focal Other evidence of neurologic
Assess cause of
Features present dysfunction
neurologic change

Appropriate
increase or Increase antiepileptic therapy
resumption of of maximum tolerated dose; Treat underlying
dose consider alternative metabolic abnormally
antiepileptic drugs

Consider: Antiepileptic therapy

Yes No

Consider: mass lesion; stroke; CNS Idiopathic seizure


infection; trauma; degenerative disease

Treat underlying disorder Consider: Antiepileptic therapy

Consider: Antiepileptic therapy

Bagan 1. Alogaritma evaluasi pasien dengan kejang


2.6 Tatalakasana Terapi
Sasaran utama terapi Mengontrol agar tidak terjadi kejang dan
meminimalisasi efek samping obat.
Adapun prinsip umum terapi, antara lain:
 Monoterapi lebih baik: tujuannya adalah mengurangi potensi adverse
effect, meningkatkan kepatuhan pasien.
 Meminimalkan penggunaan antiepilepsi sedative contohnya
lamotrigine.
 Jika mungkin mulailah dengan terapi satu antiepilepsi non-sedatif, jika
gagal baru diberikan sedative atau politerapi.
 Berikan terapi sesuai dengan jenis epilepsinya.
 Berikan terapi dimulai dari dosis terkecil dan dapat ditingkatkan
(titrasi) sesuai dengan kondisi klinis pasien.
 Masing-masing individu memiliki respon yang berbeda terhadap obat
antiepilepsi, jadi sangat diperlukan pemantauan secara ketat dan
penyesuaian dosis yang tepat.
 Jika suatu obat gagal mencapai terapi yang diharapkan, pelan-pelan
dihentikan dan diganti dengan obat lain (hindari politerapi).
Pada pemberian terapi obat antiepilepsi perlu memperhatikan beberapa hal
sebelumnya yaitu besarnya kemungkinan terjadinya kejang berulang,
kemungkinan konsekuensi psikososial, masalah pekerjaan atau keadaan fisik
akibat kejang selanjutnya serta pertimbangan untung rugi dari pengobatan dan
efek samping yang ditimbulkan. Ketepatan diagnosis merupakan dasar terapi
dimana kesalahan/diagnosis yang kurang tepat dapat menimbulkan
ketidaktepatan terapi yang dilakukan. Identifikasi pasien epilepsi dapat
dilakukan dengan melihat tipe kejang dan frekuensi kejang, karakteristik
pasien (usia, kondisi, respon) sehingga dapat ditentukan pemberian obat anti
epilepsi baik berupa monoterapi atau terapi kombinasi dengan tepat. Tujuan
utama terapi pada pasien epilepsi adalah untuk mengupayakan penderita
epilepsi dapat hidup normal dan tercapainya kualitas hidup optimal. Terapi
pada epilepsi dapat berupa terapi farmakologi dan terapi non farmakologi
(Kusumastuti, 2014).
2.6.1 Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi pada pasien epilepsi berupa pemberian obat anti
epilepsi (AED). Mekanisme aksi dari AEDs yaitu dengan mempengaruhi ion
channels, bertambahnya penghambat neurotransmiter, memodulasi eksitasi
neurotransmiter. Ion channels berperan untuk membantu terjadinya pertukaran
natrium dan kalsium. Bertambahnya penghambat neurotransmitter memicu
peningkatan CNS karena peningkatan konsentrasi GABA, pada penurunan
eksitasi neurotransmitter yang menjadi focus utama yaitu pada penurunan
glutamate dan aspartate neurotransmitter. AED efektif digunakan terhadap
GTC dan kejang pasial dengan menurunkan potensi penyerapan kembali canal
natrium menjadi aktif. Obat dengan penurunan corticothalamic T-type calcium
saat ini efektif digunakan untuk kejang absence umum. Pada pemberian obat
AED perlu diperhatikan efektifitas obat dan efek samping obat yang
ditimbulkan setelah pemakaian. Hal ini dilakukan untuk memberikan
pengobatan yang optimal serta meminimalkan terjadinya perburukan /
munculnya komplikasi penyakit lain pada penderita. Penggunaan AED dapat
dihentikan jika pasien tidak menunjukan kekambuhan kejang selama periode
2-5 tahun, nilai pemeriksaan EEG normal dan dilakukan kontrol selama 2
tahun serta menunjukan tidak adanyany gangguan kejang. Terapi awal pada
psien epilepsi dilakukan dengan pemberian monoterapi. Berdasarkan evaluari
efektivitas polyterapi pada tahun berikutnya menunjukan bahwasedikit
keuntungan untntuk pasien dalam penggunaannya. Penggunaan monoterapi
pada pasien dilakukan untuk mengoptimalkan konsentrasi obat untuk
nmencapai efek terapi dan menghindarkan pasien dari resiko efek samping
obat (Alldredge et al, 2013)
Gambar 2. Algoritma pengobatan antiepilepsi

Berikut adalah beberapa obat antiepilepsi yaitu:


a. Carbamazepine
Mekanisme kerja carbamazepim yaitu dengan menghambat pertukaran
sodium.
Dosis :
- loading dose tidak direkomendasikan, karena dapat menyebabkan
toksisitas.
- Maintenance dose : titrasi dosis dari dosis yang paling rendah dalam
waktu 3-4 minggu.
- Dewasa : 10-20mg/kg/hari dosis terbagi
- Anak-anak : 20-30mg/kg /hari dosis terbagi
Efek samping : Diplopia, mengantuk, mual, dan sedasi.
b. Phenytoin
Mekanisme utama aksi fenitoin diyakini disebabkan oleh kemampuannya
untuk menghambat saluran natrium yang bergantung pada voltase.
Dosis :
- Loading dose : pada orang dewasa 15 -20mg/kg/hari dosis tunggal IV
atau dosis terbagi pemberian oral. Untuk bayi < 3 bulan 10-15mg/kg
dosis tunggal IV. Neonatus 15-20mg/kg/hari dosis tunggal dosis.
- Maintenance dose : dewasa 5-7mg/kg/hari dosis tunggal atau terbagi.
Anak-anak 6-15mg/kg/hari dosis terbagi, dan neonates 3-8mg/kg/hari
dosis terbagi
- Efek samping : ataxia, diplapia, mengantuk, dan sedasi
c. Asam valproate
Awalnya diyakini bahwa asam valproik meningkatkan GABA dengan
menghambat degradasinya atau dengan mengaktifkan sintesisnya.
Meskipun hal ini dapat menjelaskan sebagian pengaruh asam valproik,
waktu untuk peningkatan GABA dibandingkan dengan onset efek
antikonvulsan menunjukkan bahwa perubahan sintesis dan degradasi
GABA tidak sepenuhnya menjelaskan aktivitas antiseizure asam valproik.
Telah diusulkan bahwa asam valproik dapat mempotensiasi respons
GABA postsynaptic, mungkin memiliki efek pembesaran secara langsung,
dan dapat mempengaruhi saluran potassium.
Dosis :
- Loading dose : 20-40mg/kg
- Maintenance dose : dewasa 15-45mg/kg/hari 2 sampai 4 jam dosis
terbagi, anak-anak : 5-60mg/kg/hari 2 sampai 4 jam dosis terbagi.
- Efek samping : ngantuk, mual, sedasi, dan tremor.

d. Phenobarbital
Phenobarbital dapat meningkatkan ambang kejang dengan
berinteraksi dengan reseptor GABA untuk memfasilitasi fungsi saluran
klorin intrinsik, juga dengan menghalangi saluran kalsium dengan
tegangan tinggi. Beberapa aktivitas obat mungkin juga disebabkan oleh
kemampuannya untuk memblokir reseptor asam α-amino-3-hidroksi-5-
methylisoxazole-4-propionic (AMPA) dan kainate.
Dosis :
- Loading dose : 10-20mg/kg dosis tunggal atau dosis terbagi IV infus atau
dosis terbagi oral dalam 24-48 jam.
- Maintenance dose : dewasa 1-4mg/kg/hari dosis tunggal atau dosis
terbagi. Anak-anak 3-6mg/kg/hari dosis terbagi, dan untuk neonatus 1-
3mg/kg/hari dosis terbagi.
- Efek samping : ataxia, mual, dan sedasi
3 Terapi non farmakologi
Terapi non farmakologi pada penderita epilepsi meliputi diet ketogenic,
pembedahan, dan VNS (vagus neuro stimulant). VNS adalah perangkat medis
implan yang disetujui FDA untuk digunakan sebagai terapi tambahan untuk
mengurangi frekuensi kejang pada orang dewasa dan remaja yang berusia
lebih dari
12 tahun dengan serangan onset parsial yang refrakter terhadap AED. Hal ini
juga digunakan off-label dalam pengobatan epilepsi umum.
Studi klinis manusia telah menunjukkan bahwa VNS mengubah
konsentrasi cairan serebrospinal (CSF) neurotransmiter penghambat, stimulasi
dan mengaktifkan area spesifik otak yang menghasilkan atau mengatur
aktivitas kejang kortikal melalui peningkatan aliran darah. Dipercaya bahwa
efek antiepilepsi intermiten jangka panjang dari VNS melibatkan
neurotransmiter dan atau neurokimia. Pada dasarnya terapi VNS relative aman
dilakukan namun tetap perlu dilakukan pengawasan efek samping. Efek
samping yang paling umum berkaitan dengan rangsangan seperti suara serak,
perubahan suara, meningkat batuk, faringitis, dyspnea, dispepsia, dan mual.
Efek yang dilaporkan meliputi infeksi, kelumpuhan saraf, hypoesthesia,
paresis wajah, kelumpuhan kosaus kiri, kelumpuhan wajah kiri, kiri cedera
saraf laring berulang, retensi urin, dan kadar rendah demam.
Pembedahan adalah pengobatan pilihan pada pasien terpilih dengan
epilepsi fokus refraktory. Tingkat keberhasilan dilaporkan terjadi antara 80%
dan 90% pada pasien yang dipilih dengan benar. Telah ditunjukkan bahwa
operasi mengurangi risiko kematian akibat epilepsi, dan ini juga dapat
memperbaiki depresi dan kecemasan pada pasien epilepsi refractory. Untuk
melakukan pembedahan pasien harus memenuhi persyarat yang telah
ditentukan yaitu :
- Diagnosis epilepsi yang mutlak
- Kegagalan pada terapi obat terlarang yang memadai
- Mengalami sindrom elektroklin.
Terapi pembedahan memiliki banyak resiko yang dapat terjadi pada pasien
salah satunya yaitu belajar dan ingatan dapat terganggu pasca operasi, dan
kemampuan intelektual umum juga terpengaruh pada sejumlah kecil pasien.
Pembedahan mungkin sangat berguna pada anak-anak dengan epilepsi yang
sulit diobati. Terapi non farmakologi selanjutnya yang dapat dilakukan adalah
diet ketogenic. Diet ketogenik dirancang pada tahun 1920an. Tingginya lemak
dan rendah karbohidrat dan protein sehingga menyebabkan asidosis dan
ketosis. Asupan protein dan kalori ditetapkan pada tingkat yang akan
memenuhi persyaratan pertumbuhan. Efek jangka panjang pada diet ketogenic
dapat mencakup batu ginjal, fraktur tulang yang meningkat, dan efek samping
pada pertumbuhan (Alldredge et al, 2013).

III.ALAT DAN BAHAN


ALAT:
1. Form SOAP.
2. Form Medication Record.
3. Catatan Minum Obat.
4. Kalkulator Scientific.
5. Laptop dan koneksi internet.
BAHAN:
1. Text Book (Dipiro, Koda Kimble, DIH).
2. Data nilai normal laboraturium.
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis).
IV. Studi Kasus
Nama Pasien : Tn. A R
Umur : 24 Tahun
MRS : 25 September 2017
KRS : 08 Oktober 2017
Kurang lebih 5 jam SMRS pada saat akan makan siang tiba tiba pasien kejang 15
menit sekitar jam 12.00 siang, pada saat pasien kejang tangan pasien mengepal
dan
terguncang naik turun kaki pasien juga terguncang naik turun secara bersamaan.
Mata
terbelalak, mulut tidak berbusa, lidah tidak tergigit, saat kejang terjadi pasien
terjatuh
pada sisi tubuh sebelah kanan dengan bibir dan kepala sisi kanan membentur batu,
bibir luka sebesar 1 cm tepi tidak rata, Kejang terjadi hingga 3 kali sekitar 15
menit, selama masa kejang pasien tidak sadarkan diri.

 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat epilepsi sejak kecil (+) namun tidak terkontrol, Riwayat penyakit kusta
(+)
meminum obat program (Tahun 2006)

1. PEMERIKSAAN FISIK
Tanda-Tanda Vital
TTV: TD: 110/70mmHg, HR : 88x/menit, RR: 20x/menit, T: 38°C
2. DIAGNOSA SEMENTARA
Epilepsi dd Infeksi Intrakranial
3. TERAPI SAAT MRS
 IVFD D5% + fenitoin 3 ampul/8jam
 Ceftriaxone 2x1 ampul (iv)
 Paracetamol drip 3x1 Fl. (bila panas)
4. DIAGNOSA AKHIR
Epilepsi bangkitan umum tipe Tonik-Klonik
Daftar Pustaka

Alldredge, Brian K, et al. 2013. Kodam-Kimble and Young’s Applied Therapeutics


: The Clinical Use of Drugs 10 th ed. LIPPINCOTT WILLIAMS &
WILKINS, a WOLTERS KLUWER business
Burns, M.A.C., T.L. Schwinghammer, B.G. Wells, P.M. Malone, J.M. Kolesar,
dan J.T. Dipiro. 2016. Pharmacotherapy: Principles and Practice,
4th Edition. New York: Mc Graw Hill Education
Dipiro, J., Talbert, R., Yee, G., Matzke, G., Wells, B., dan Posey, L.M., 2008.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7thed . McGraw Hill
Professional
Kusumastuti, Kurnia et al. 2014. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. PERDOSSI.
Airlangga University Press.

Anda mungkin juga menyukai