Diajukan untuk memenuhi syarat salah satu tugas mata kuliah Produktivitas
Perairan
Disusun oleh :
Kelompok 1
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat-Nya karena atas berkat
Rahmat dan Inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah
Produktivitas Perairan. Penyusunan makalah ini merupakan salah satu syarat untuk
memenuhi tugas mata kuliah mata kuliah bersangkutan.
Makalah ini dalam pembuatannya tak lepas dari bantuan sumber yang
ditunjang dengan informasi yang relevan dengan judul yang berasal dari berbagai
macam sumber baik itu sumber cetak seperti buku dan jurnal tertulis maupun
sumber elektronik dengan menggunakan e-journal. Untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada seluruh pihak yang turut bersangkutan dalam proses
pembuatan makalah ini.
Semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu pembaca
mendapatkan informasi yang berkaitan dengan mudah menyerap informasi yang
terkandung didalamnya. Untuk itu, masukan dan saran dari pembaca akan sangat
membantu kami.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB Halaman
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................
1.2 Tujuan .........................................................................................
1,3 Manfaat .......................................................................................
II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Profil Umum Wilayah .................................................................
2.2 Produktivitas Primer Perairan .....................................................
2.3 Faktor Fisika dan Kimia Perairan ...............................................
2.3.1 Suhu ............................................................................................
2.3.2 Kecerahan ...................................................................................
2.3.3 Arus .............................................................................................
2.3.4 Potential of Hydrogen .................................................................
2.3.5 Dissolved Oxygen (DO) .............................................................
2.3.6 Biochemical Oxygeb Demand (BOD) ........................................
2.3.7 Nitrat (NO3) ................................................................................
2.3.8 Fosfat (PO43) ...............................................................................
2.4 Analisis Faktor ............................................................................
2.5 Pengelolaan Kualitas Air ............................................................
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .................................................................................
3.2 Saran ...........................................................................................
iii
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Manfaat
Adapun manfaat pembuatan makalah ini yang mengacu pada penelitian dari
Kartamihardja (2007) adalah sebagai referensi dari salah satu contoh produktivitas
sekunder di danau buatan dengan studi di waduk IR. Djuanda untuk membuat
pembaca lebih mudah memahaminya secara garis besar.
BAB II
PEMBAHASAN
Tabel. Genera zooplankton yang ditemukan di zona limnetik waduk Djuanda selama
penelitian Mei 2003-April 2004
Jumlah genera zooplankton yang ditemukan ini persis sama dengan yang
ditemukan pada tahun 2001 (Kartamihardja, 2003). Daphnia similis (semula
Daphnia carinata) yang diintroduksikan ke waduk Djuanda pada tahun 1970 dan
pada awalnya berkembang dengan pesat (Sarnita, 1973; Krismono, 1988), kini
populasinya menurun sehingga tidak mendominasi komposisi zooplankton lagi.
Distribusi spasial dan temporal kelimpahan zooplankton di zona limnetik
waduk Djuanda tertera pada Gambar 18 dan Lampiran 10. Secara spasial,
kelimpahan zooplankton di zona limnetik waduk Djuanda berkisar antara 524±86–
5
1.438±509 indiv/l dan secara temporal berkisar antara 313±35 – 2.774±824 indiv./l.
Kelimpahan zooplankton tertinggi terjadi di stasiun 2 pada bulan Februari 2004
dan terrendah terjadi di stasiun 3 pada bulan Maret 2004. Secara umum, kelimpahan
zooplankton di zona limnetik ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelimpahan
zooplankton pada tahun 2001 yang hanya berkisar antara1.164±536 –1.538±911
indiv./l (Kartamihardja, 2003), dan tahun 1988 dengan rata-rata kelimpahan
zooplankton yang hanya 46,5 indiv./l (Krismono 1988).
6
al. (2005) menyatakan bahwa kelimpahan kelompok krustase zooplankton di
waduk eutrofik daerah tropis adalah sebagai berikut: kelompok Cyclopoida
mempunyai rata-rata kelimpahan 88,2 indiv./l dan maksimum 2.148,1 indiv./l;
kelompok Calanoida mempunyai rata-rata kelimpahan 9.1 indiv./l dan maksimum
175,4 indiv./l; dan kelompok Cladocera mempunyai rata-rata kelimpahan 34,8
indiv./l dan maksimum 286,5 indiv./l. Lebih lanjut Branco and Senna (1996)
menyatakan bahwa krustase zooplankton, terutama dari kelompok caldocera dan
cyclopoida yang berukuran kecil dapat mencapai kelimpahan tertinggi di danau dan
waduk hyper-eutrofik namun kelimpahan kelompok cladocera yang tinggi hanya
terjadi di perairan yang banyak ditumbuhi makrofita (daerah littoral). Pernyataan
ini memperkuat dugaan bahwa di zona limnetik waduk Djuanda kelimpahan
cyclopoida lebih dominan dibandingkan kelompok cladocera yang kelimpahannya
diduga lebih tinggi di daerah littoral.
Keterangan:
7
Q/Bj = konsumsi makanan per unit biomassa organisme j
DCji = fraksi makanan organisme i yang dikonsumsi organisme j Exi = ekspor
organisme i
Parameter masukan yang digunakan dalam pemodelan Ecopath tertera pada
Tabel dibawah. Biomassa detritus dihitung dari persamaan Pauly (1992), sedangkan
biomassa ikan dihitung dari hasil tangkapan nelayan yang dicatat oleh enumerator
(Y) dibagi dengan mortalitas penangkapan (F) berdasarkan data dalam
Kartamihardja and Umar (2005). Rasio antara produksi dengan biomassa (P/B) ikan
adalah sama dengan total mortalitas (Z) jenis ikan tersebut (Allen 1971), sedangkan
nilai mortalitas ikan bandeng, nila, oskar dan kongo dihitung dari frekuensi panjang
(Kartamihardja and Umar 2005) menggunakan program FiSAT II (Gayanilo and
Pauly 1997).
Detritus 16,893 - -
Keterangan:
B = Biomassa;
P/B = Rasio Produksi (P) dan Biomassa;
Q/B = Rasio Konsumsi (Q) dan Biomassa; *)
Hasil analisis data dengan menggunakan program Ecopath
menunjukkan besaran aliran energi untuk setiap kompartemen seperti terlihat
pada Gambar dibawah. Ikan bandeng menempati posisi tingkatan trofik yang
8
paling rendah, kemudian disusul dengan ikan nila, ikan oskar dan ikan kongo
pada tingkatan trofik yang paling tinggi.
9
ton/km2/th) yang terbentuk masih sangat rendah, meskipun ikan bandeng
dapat memanfaatkan detritus dan fitoplankton. Hal ini dikarenakan populasi
ikan bandeng yang ada di zona limnetik hanya berasal dari ikan yang terlepas
dari budidaya ikan dalam KJA, sehingga jumlah ikan bandeng yang ada
terbatas dan biomassanya juga sangat kecil.
Ikan bandeng disamping mampu memanfaatkan biomassa fitoplankton
dan detritus, ikan ini juga dapat mengisi zona limnetik waduk, terdistribusi
sampai ke hulu waduk, tumbuh relatif cepat dan mempunyai harga yang lebih
tinggi dibandingkan dengan ikan nila dan mas (Kartamihardja and Umar
2005). Ikan lainnya, seperti ikan oskar dan kongo meskipun dapat
memanfaatkan biomasa fitoplankton dan zooplankton, namun kedua jenis ikan
ini bernilai ekonomis sangat rendah. Oleh karena itu, ikan bandeng dapat
dijadikan sebagai kandidat ikan tebaran. Namun karena ikan bandeng tidak
dapat melakukan reproduksi di perairan waduk maka penebarannya harus
dilakukan secara berkala melalui program penebaran kembali (restocking).
Benih ikan bandeng untuk keperluan penebaran dapat diperoleh dengan mudah
karena ikan ini sudah dapat dipijahkan dalam lingkungan budidaya. Ikan
pemakan plankton lainnya yang mungkin dapat memanfaatkan fitoplankton
dengan baik adalah ikan mola (Hypopthalmicthys molitrix) dan ikan ringo
(Thynnichthys thynnoides) atau motan (Thynnichthys polylepis). Ikan mola
adalah ikan introduksi dari China, sama halnya dengan ikan bandeng, ikan ini
tumbuh relatif cepat namun tidak dapat berkembang biak di waduk sehingga
perlu penebaran secara reguler. Disamping itu, ikan mola kurang disukai oleh
masyarakat sehingga harganya relatif lebih rendah dibandingkan dengan ikan
bandeng. Ikan ringo adalah ikan asli perairan umum di Sumatera dan
Kalimantan yang banyak ditemukan di danau-danau banjiran. Sebagai
kandidat ikan tebaran, ikan ini diduga dapat berkembang biak di perairan
waduk Djuanda seperti halnya yang terjadi di waduk Riam Kanan, Kalimantan
Selatan (Kartamihardja et al. 2004) sehingga penebarannya tidak perlu
dilakukan secara reguler.
10
11
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
13