Anda di halaman 1dari 19

BAB III

DISKUSI KASUS

Dilaporkan seorang bayi perempuan berumur 0 hari dengan berat badan

lahir 1600 gram yang dirawat di NICU RSUD Ulin Banjarmasin sejak tanggal 3

Oktober 2012 sampai sekarang dengan diagnosis Bayi Kurang Bulan, Sesuai

Masa Kehamilan dengan BBLR, Ikterus dan respiratory distress et kausa hyaline

membran disease dan suspek sepsis neonatorum.

Bayi lahir pada tanggal 3 Oktober 2012, lahir prematur dengan

pertolongan dukun kampung. Saat lahir, bayi tidak langsung menangis, napas

tidak stabil, dan badan biru Usia kehamilan bayi adalah 31-32 minggu (nilai

finstrom 31,46). Bayi lahir dengan berat badan 1600 gram, panjang badan lahir 38

cm.

Pemeriksaan fisik ditemukan bayi tampak sakit berat dengan kesadaran

letargi, denyut jantung 140 kali/menit, temperature 37,8 celcius, respirasi 84

kali/menit, pada kulit terdapat sianosis perifer yang kemudian hilang dengan

pemberian O2. Pada hidung didapatkan pernapasan cuping hidung, dan pada

thoral didapatkan retraksi ringan pada subkostal. Sehingga total skor down pada

bayi ini adalah 8. Dari data tersebut disimpulkan bahwa bayi mengalami

respiratory distress.

Respiratory distress merupakan kegagalan pernapasan progresif yang

disebabkan terutama oleh defisiensi surfaktan paru yang biasanya terjadi pada

bayi prematur. Gejala yang dapat dilihat adalah terjadi pernapasan cuping

19
hidung, retraksi dinding dada, dan peningkatan kerja napas.4,5 Ketiga gejala

tersebut didapatkan pada pasien ini.


Biasanya, respiratory distress terjadi pada bayi prematur dengan usia

kehamilan di bawah 35 minggu, namun bayi yang lebih tua dengan

pematangan paru yang terlambat pada berbagai etiologi juga dapat mengalami

gawat napas. Faktor risiko umum yang terkait dengan gawat napas yaitu usia

kehamilan yang rendah, asfiksia perinatal, dan diabetes pada ibu.5


Usia kehamilan pada kasus ini adalah 31-32 minggu. Selain itu, saat

kelahiran bayi pada kasus ini didapatkan kesan apgar yang jelek yang dapat

diketahui dari riwayat kelahiran bayi yaitu bayi tidak langsung menangis,

napas tidak stabil, dan badan biru. Namun pada ibu tidak didapatkan riwayat

diabetes mellitus. Sehingga, dari data-data tersebut faktor risiko yang

didapatkan pada kasus ini adalah usia kehamilan yang rendah dan asfiksia

perinatal.

Hyaline Membran Disease (HMD) merupakan salah satu penyebab

gangguan pernafasan yang sering dijumpai pada bayi prematur. 6 Gangguan

nafas ini merupakan sindrom yang terdiri dari satu atau lebih gejala sebagai

berikut: pernafasan cepat >60 x/menit, retraksi dinding dada, merintih dengan

atau tanpa sianosis pada udara kamar. 7 Pada kasus ini, respiratory distress

mengarah pada HMD karena bayi pada kasus ini merupakan bayi premature,

kemudian pada pemeriksaan fisik ditemukan pernapasan cepat yaitu 84 kali

per menit, didapatkan pula retraksi dinding dada, merintih dan sianosis.

Kesemua criteria tersebut didapatkan pada kasus ini.

20
HMD mungkin terjadi pada bayi premature dengan berat badan 1000-

2000 gram atau masa gestasi 30-36 minggu. Jarang ditemukan pada bayi

dengan berat badan lebih dari 2500 gram. Sering disertai dengan riwayat

asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan. Tanda

gangguan pernafasan mulai tampak dalam 6 – 8 jam pertama setelah lahiran

dan gejala yang karakteristik mulai terlihat pada umur 24 – 72 jam. Bila

keadaan membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama.6

Bayi pada kasus ini premature, berat badan 1600 gram, dan memiliki

riwayat asfiksia. Bayi lahir 9 jam sebelum masuk rumah sakit. Tanda

gangguan pernapasan mulai tampak sebelum 9 jam setelah kelahiran, yaitu

sebelum bayi dirujuk ke RSUD Ulin Banjarmasin, bayi telah dilakukan

penanganan terlebih dahulu di RSUD Ratu Zalecha Martapura\

Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis

dan perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran

klinis seperti dispnu atau hiperpnu, sianosis karena saturasi O2 yang menurun,

retraksi suprasternal, retraksi interkostal dan expiratory grunting. Selain tanda

gangguan pernafasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia (sering

ditemukan pada penderita HMD berat), hipotensi, kardiomegali, pitting edema

terutama di daerah dorsal tangan/ kaki, hipotermia, tonus otot yang menurun,

gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi.6

Pada pasien ini memperlihatkan perfusi paru yang menurun yang

ditandai oleh gambaran klinis dispneu, sianosis karena saturasi O2 menurun,

retraksi, dan merintih (grunting). Namun pada pasien ini belum didapatkan

21
gejala yang menunjukkan komplikasi. Tidak ditemukan bradikardia,

kardiomegali, pitting edema terutama di daerah dorsal tangan/ kaki,

hipotermia, maupun tonus otot yang menurun.

Scoring system yang sering digunakan pada bayi preterm dengan HMD

adalah Silverman – Anderson score untuk mengevaluasi derajat keparahan

dari gangguan nafas.16 Pada kasus ini, scoring HMD adalah grade 2, karena

didapatkan retraksi dinding dada yang ringan namun jelas, pernapasan cuping

hidung yang jelas dan merintih yang terdengar tanpa menggunakan stetoskop.

Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto

Rontgen thorak. Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan

kemungkinan penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip

penyakit membran hialin, misalnya pneumotoraks, hernia diafragmatika, dan

lain-lain.6 Foto toraks posisi AP dan lateral, bila diperlukan serial . Gambaran

radiologis memberi gambaran penyakit membran hialin. Gambaran yang khas

berupa pola retikulogranular, yang disebut dengan ground glass appearance,

disertai dengan gambaran bronkus di bagian perifer paru (air bronchogram).7

Berdasarkan pemeriksaan radiologi thorak, hyaline membrane disease

terbagi atas 4 stadium:8

a. Stadium 1: pola retikulogranular (ground glass appearance)


b. Stadium 2: stadium 1 + air bronchogram
c. Stadium 3: stadium 2 + batas jantung-paru kabur
d. Stadium 4: stadium 3 + white lung appearance

22
Pada kasus ini, dilakukan pemeriksaan foto thorak posisi AP. Dari foto

tersebut didapatkan ukuran jantung normal, pada pulmo tampak

perselubungan dengan air bronchogram dengan kesimpulan Suspek Hyealine

Membran Disease Grade II-III, dikarenakan tampaknya air bronchogram dan

batas jantung-paru yang kabur..

Pada pemeriksaan laboratorium, kadar asam laktat dalam darah

meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45 mg%, prognosis lebih buruk. Kadar

bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi normal dengan berat

badan yang sama. Kadar PaO2 menurun disebabkan berkurangnya oksigenasi

di dalam paru dan karena adanya pirau arteri-vena. Kadar PaO2 meninggi,

karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai akibat atelektasis

paru. pH darah menurun dan deficit basa meningkat akibat adanya asidosis

respiratorik dan metabolik dalam tubuh.6,7

Pada kasus ini, didapatkan hasil laboratorium berupa bilirubin total,

direk dan indirek yang tinggi. Untuk hasil analisis gas darah, didapatkan kadar

PaO2 yang menurun dan pH darah yang menurun. Kadar PaO2 menurun

disebabkan berkurangnya oksigenasi di dalam paru dan karena adanya pirau

arteri-vena.

Pada HMD, diperlukan pula uji kematangan paru yaitu tes biokimia

(rasio lecithin-sphingomyelin) yang merupakan salah satu test yang sering

digunakan dan sebagai standarisasi tes. Uji kematangan paru yang kedua yaitu

tes biofisika (Shake test). Test ini berdasarkan sifat dari permukaan cairan

23
fosfolipid yang membuat dan menjaga agar gelembung tetap stabil.19 Namun

pada pasien ini tidak dilakukan uji pematangan paru.

Pada HMD dapat pula dilakukan pemeriksaan fungsi paru namun

pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik. Frekuensi

pernafasan yang meninggi pada penyakit ini akan memperlihatkan pula

perubahan pada fungsi paru lainnya seperti tidal volume menurun, lung

compliance berkurang, functional residual capacity merendah disertai vital

capacity yang terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru akan

terganggu.6

Penegakan diagnosis HMD melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.7 Pada anamnesis, yang mendukung HMD pada

pasien ini yaitu riwayat kelahiran kurang bulan dan riwayat persalinan yang

mengalami asfiksia perinatal (gawat janin). Pada pemeriksaan fisik, terdapat

gejala yang dijumpai dalam 24 jam kehidupan, dijumpai sindrom klinis yang

tyerdiri dari kumpulan gejala takipnea (frekuensi nafas lebih dari 60 kali per

menit), grunting atau nafas merintih, retraksi dinding dada, dan sianosis. Pada

pasien ini juga didapatkan tanda prematuritas. Sedangkan pada pemeriksaan

penunjang, didapatkan pada foto rontgen torak gambaran air bronkogram,

selain itu pada analisa gas darah, pasien ini memiliki PaO2 yang rendah.

Diagnosis banding untuk respiratory distress pada bayi premature ada

berbagai macam yaitu Transient Tachypnea of the Newborn (TTNB),

Meconeum Aspiration Syndrome dan pneumothorak. Diagnosis TTN hanya

dapat ditegakkan dengan foto rontgen paru yaitu adanya opasitas paru yang

24
berbentuk “streaky”, ditemukannya cairan pada fisura transversalis, dan

biasanya disertai dengan kardiomegali. Aspirasi mekoneum jarang terjadi pada

bayi kurang bulan. Penegakkan diagnosis aspirasi mekoneum dapat dilakukan

dengan kombinasi foto rontgen dengan gambaran bercak – bercak konsolidasi

dan aspirasi abnormal yang didapatkan dengan intubasi trakea. 8 Dengan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjnag pada pasien ini,

maka diagnosis-diagnosis banding tersebut dapat disingkirkan.

Pada pasien ini diberikan penatalaksanaan rawat inkubator (36,5 –

37,5oC), O2 (+) CPAP PEEP 7 cm H2O FiO2 40% (rencana diturunkan

bertahap apabila saturasi O2 baik), terapi cairan berupa loading naCl 0,9%,

IVFD D10% dan Ca glukonas, aminofusin, injeksi vitamin K 1x1 mg,

antibiotika berupa ampicilin 2x80 mg/iv dan gentamicin 10 mg tiap 36 jam

iv, dengan monitor keadaan umum, tanda vital, tanda hipoglikemi, tanda

hipotermi, CRT.

Prinsip terapi HMD adalah mempertahankan bayi dalam suasana

fisiologis sebaik-baiknya, agar bayi mampu melanjutkan perkembangan paru

dan organ lain sehingga dapat mengadakan adaptasi sendiri terhadap

sekitarnya.6 Tindakan yang perlu dikerjakan adalah memberikan lingkungan

yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas

normal (36,5 – 37C) dengan meletakkan bayi di dalam inkubator. Humiditas

ruangan juga harus adekuat (70 – 80%).6,8 Pada kasus ini bayi dirawat di

inkubator dengan menjaga susu normal bayi.

25
Pemberian oksigen harus berhati-hati. Prinsip: Oksigen mempunyai

pengaruh yang kompleks terhadap bayi yang baru lahir. Pemberian O2 yang

terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan seperti

fibrosis paru (bronchopulmonary dysplasia (BPD)), kerusakan retina

(fibroplasi retrolental / retinopathy of prematurity (ROP)) dan lain-lain. Untuk

mencegah timbulnya komplikasi ini, pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan

pemeriksaan saturasi oksigen, sebaiknya diantara 85 – 93% dan tidak melebihi

95% untuk mengurangi terjadinya ROP dan BPD.9

Pemberian cairan, glukosa dan elektrolit sangat berguna pada bayi

yang menderita hyaline membrane disease. Prinsipnya, ada fase akut, harus

diberikan melalui intravena.8 Cairan yang diberikan harus cukup untuk

menghindarkan dehidrasi dan mempertahankan homeostasis tubuh yang

adekuat. Pada hari-hari pertama diberikan glukosa 5 – 10 % dengan jumlah

yang disesuaikan dengan umur dan berat badan (60 – 125 ml/kgbb/ hari). Pada

pasien ini diberikan loading cairan NaCl kemudian glukosa D10% dan Ca

glukonas.

Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen respirasi.

Tekanan parsial O2 diharapkan antara 50 – 70 mmHg. PaCO2 diperbolehkan

antara 45 – 60 mmHg (permissive hypercapnia). pH diharapkan tetap diatas

7,25 dengan saturasi oksigen antara 88 – 92%.7 Dari hasil pengulangan

pemeriksaan analisa gas darah 1 hari sesudahnya, didapatkan nilai pO2 yang

menurun dan saturasi oksigen 91,7%.

26
Setiap penderita HMD perlu mendapat antibiotika untuk mencegah

terjadinya infeksi sekunder.6 Pemberian antibiotik dimulai dengan spektrum

luas, biasanya dimulai dengan ampisilin 50mg/kgBB intravena setiap 12 jam

dan gentamisin 3mg/kgBB untuk bayi dengan berat lahir kurang dari 2

kilogram. Jika tak terbukti ada infeksi, pemberian antibiotika dihentikan.7 Pada

pasien ini diberikan antibiotic sejak hari pertama perawatan yaitu ampicilin

2x80 mg dan gentamicin 10 mg tiap 36 jam.

Surfaktan diberikan dalam 24 jam pertama jika bayi terbukti

mengalami penyakit membran hialin, diberikan dalam bentuk dosis berulang

melalui pipa endotrakea setiap 6 – 12 jam untuk total 2 - 4 dosis, tergantung

jenis preparat yang dipergunakan.7 Namun pada pasien ini tidak diberikan

surfaktan.

Pemberian antenatal steroid kepada para ibu dengan risiko melahirkan

bayi premature terutama dengan usia gestasi 35 minggu untuk mengurangi

mortalitas neonatal. Pemberian antenatal steroid mengurangi risiko sindrom

gawat nafas pada bayi, tetapi pemberiannya harus didalam interval >24 jam

dan <7 hari sebelum kelahiran bayi.9 Pada pasien ini kemungkinan ibu tidak

diberikan antenatal steroid.

Pada hari kedua perawatan, bayi mengalami ikterus. Ikterus adalah

gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena

adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin Pada neonatus

baru tampak apabila serum bilirubin sudah > 5 mg/dL (> 86 μmol/L).

Bilirubin serum normal adalah 0,1 – 0,3 mg/dl. Hiperbilirubinemia adalah

27
keadaan kadar bilirubin dalam darah > 13 mg/dL. Pada bayi baru lahir, ikterus

yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis.13 Pada bayi ini didapatkan

bilirubin total 16,61 mg/dl dan 3 hari kemudian saat diperiksa ulang ternyata

mengalami kenaikan bilirubin total menjadi 22,13 mg/dl.

Pada keadaan normal, kadar bilirubin indirek bayi baru lahir adalah 1-

3 mg/dl dan naik dengan kecepatan < 5 mg/dl/24 jam, dengan demikian

ikterus fisiologis dapat terlihat pada hari ke-2 sampai ke-3, berpuncak pada

hari ke-2 dan ke-4 dengan kadar berkisar 5-6 mg/dL (86-103 μmol/L), dan

menurun sampai di bawah 2 mg/dl antara umur hari ke-5 dan ke-7. Secara

umum karakteristik ikterus fisiologis adalah sebagai berikut:12

1. Timbul pada hari kedua – ketiga.


2. Kadar bilirubin indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg %

pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada neonatus kurang

bulan
3. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg %

perhari
4. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg %
5. Kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan menurun sampai

pada kadar orang dewasa (1 mg/dl) pada umur 10-14 hari.


6. Tidak mempunyai dasar patologis.

Pada pasien ini tidak memenuhi criteria ikterik fisiologis karena

pada pasien ini ikterus muncul pada hari pertama-kedua. Kadar bilirubin

indirek lebih dari 10 mg/dl, dan kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl

Peningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi tergolong

patologis yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Beberapa keadaan

berikut tergolong dalam ikterus patologis, antara lain:12,15

28
a Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
b Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi

kurang bulan >10 mg/dL.


c Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam
d Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
e Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah,

defisiensi G6PD, atau sepsis)


f Ikterus yang disertai oleh: Berat lahir <2000 gram, Masa gestasi 36

minggu, Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonatus,

Infeksi, Trauma lahir pada kepala, Hipoglikemia


g Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada aterm)

atau >14 hari (pada prematur)


Ikterus pada pasien ini adalah ikterus patologis, kriteria yang

didapatkan pada pasien ini yaitu timbul dalam 24 jam pertama kehidupan,

bilirubin indirek lebih dari 10 mg/dl, kadar bilirubin direk lebih dari 2

mg/dl, ikterus yang disertai oleh berat lahir yang kurang dari 2000 gram

yaitu 1600 gram, asfiksia, dan sindrom gawat napas.

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus patologis)

dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:12,17

a Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus,

defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.

b Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi

intra uterin.

c Polisitemia.

d Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.

e Ibu diabetes.

f Asidosis.

29
g Hipoksia/asfiksia.

h Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor

intrahepatik dan ekstra hepatik yang bersifat fungsional atau

disebabkan oleh obstruksi mekanik.

i Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi

enterohepatik.

Pada kasus ini, ikterus patologi kemungkinan terjadi karena

hipoksia yang terjadi (HMD).


Penilaian klinis derajat ikterus neonatal menurut Kramer, yaitu:

Kramer I. Daerah kepala (Bilirubin total ± 5 – 7 mg)

Kramer II. Daerah dada – pusat (Bilirubin total ± 7 – 10 mg%)

Kramer III. Perut dibawah pusat - lutut (Bilirubin total ± 10 – 13 mg)

Kramer IV. Lengan sampai pergelangan tangan, tungkai bawah sampai

pergelangan kaki (Bilirubin total ± 13 – 17 mg%)

Kramer V. hingga telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17 mg

%)

Pada pasien ini, derajat ikterus menurut penilaian klinis adalah

Kramer 4 karena ikterus terlihat pada lengan sampai pergelangan tangan,

tungkai bawah sampai pergelangan kaki. Dan pada pemeriksaan

laboratorium menunjukkan bilirubin total 16,61 mg/dl. Pemeriksaan serum

bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus yang

mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi

yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat.

Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam

30
tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin

juga perlu diukur.12,13,16 Pada pasien ini pemeriksaan bilirubin dilakukan 3

hari berikutnya, dan didapatkan peningkatan bilirubin total yaitu kadar

bilirubin total 22,13 mg/dl.

Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah

untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang

dapat menbimbulkan kernikterus atau ensefalopati bilirubin, serta

mengobati penyebab langsung ikterus. Dianjurkan agar dilakukan

fototerapi, dan jika tidak berhasil transfusi tukar dapat dilakukan untuk

mempertahankan kadar maksimum bilirubin total dalam serum dibawah

kadar maksimum pada bayi preterm dan bayi cukup bulan yang sehat.

Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin

(plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian

kolesteramin), terapi sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang

juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.12,13 Pasien ini

dilakukan fototerapi.

Fototerapi tetap menjadi standar terapi hiperbilirubinemia pada

bayi. Fototerapi yang efisien dapat menurunkan konsentrasi bilirubin

serum secara cepat. Pembentukan lumirubin, komponen yang larut air

merupakan prinsip eliminasi bilirubin dengan fototerapi. Fototerapi yang

intensif dapat membatasi kebutuhan akan transfusi tukar.,18

31
Sepsis neonatorum adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasif

dan ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti

darah, sumsum tulang atau urine.19

Dari sisi waktu terjadinya, sepsis dibagi menjadi sepsis awitan dini

dan lanjut. Sepsis awitan dini atau infeksi perinatal terjadi segera dalam

periode pascanatal dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau

in utero. Sepsis awitan lambat atau infeksi neonatal kemungkinan

diperoleh pada saat lahir tetapi bermaninfestasi lambat (setelah 3 hari),

atau diperoleh pascanatal sebagai infeksi nosokomial. 19,21 Pada pasien ini

dipikirkan dapat terjadi sepsis awitan dini karena manifestasinya yang

cepat yaitu dalam 24 jam kehidupan.

Faktor resiko sepsis dapat bervariasi tergantung awitan sepsis yang

diderita pasien. Pada awitan dini berbagai faktor yang terjadi selama

kehamilan, persalinan ataupun kelahiran dapat dipakai sebagai indikator

untuk melakukanelaborasi lebih lanjut sepsis neonatal. Berlainan dengan

awitan dini, pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi karena sumber

infeksi yang terdapat dalam lingkungan pasien.19

Faktor resiko dibagi menjadi 2 yaitu:19

1. Faktor resiko ibu

a Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila

ketuban pecah lebih dari 24 jam maka kejadian sepsis meningkat

sekitar 1%, dan bila disertai korioamnionitis maka kejadian sepsis

meningkat menjadi 4 kali

32
b Infeksi dan demam (lebih dari 38°C) pada masa peripartum akibat

korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh

Streptokokus grup B, kolonisasi perineal oleh E. coli, dan

komplikasi obstetrik lainnya

c Cairan ketuban hijau keruh dan berbau

d Kehamilan multipel

Pada pasien ini tidak didapatkan faktor resiko ibu.

2. Faktor resiko neonatus

a Prematuritas dan berat lahir rendah

b Resusitasi pada saat kelahiran misalnya pada bayi yang mengalami

fetal distress, dan trauma pada proses persalinan

c Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, kateter, infus, dan

pembedahan

d Bayi dengan galaktosemia (prediposisi untuk sepsis oleh E. coli),

defek imun, atau asplenia

e Asfiksia neonatorum

f Cacat bawaan

g Tanpa rawat gabung

h Pemberian nutrisi parenteral

i Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama

Pada pasien ini didapatkan beberapa faktor resiko neonatus yaitu

prematuritas dan berat lahir rendah, resusitasi pada saat kelahiran, dan

asfiksia neonatorum.

33
Pada bayi baru lahir, infeksi harus dipertimbangkan pada

diagnosis banding tanda-tanda fisik. Bila banyak system terlibat atau bila

tanda-tanda kardiorespirasi menunjukkan sakit berat, maka sepsis harus

dipikirkan. Pada sepsis awitan dini janin yang terkena infeksi mungkin

menderita takikardi, lahir dengan asfiksia dan mememerlukan resusitasi

karena Apgar yang rendah. Setelah lahir, bayi terlihat lemah dan tampak

gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan

kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan

dan gangguan fungsi organ tubuh.19,20 Pada pasien ini didapatkan fata

bahwa bayi lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena

apbgar yang rendah.

Bervariasinya gejala klinik dan gambaran klinis yang tidak

seragam menyebabkan kesulitan dalam menentukan diagnosis pasti.

Untuk hal itu pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium

ataupun pemeriksaan khusus lainnya sering dipergunakan dalam

membantu menegakkan diagnosis.19

Pertanda hematologik yang digunakan adalah hitung sel darah

putih total, hitung neutrofil, neutrofil imatur, rasio neutrofil imatur

dengan neutrofil total (I:T), mikro Erytrocyte Sedimentation Rate (ESR),

dan hitung trombosit. Tes laboratorium yang dikerjakan adalah CRP,

prokalsitonin, sitokin IL-6, GCSF, tes cepat (rapid test) untuk deteksi

antigen, dan panel skrining sepsis.19,21 pada pasien ini direncanakan

34
dilakukan pemeriksaan rasio neutrofil imatur dengan neutrofil total (IT

ratio). Untuk CRP kualitatif sudah dilakukan yaitu < 1,35 mg/ml

C-reactive protein (CRP), yaitu protein yang timbul pada fase akut

kerusakan jaringan. Peninggian kadar CRP ini terjadi 24 jam setelah

terjadi sepsis, meningkat pada hari ke 2-3 sakit dan menetap tinggi

sampai infeksi teratasi. Nilai CRP akan lebih bermanfaat bila dilakukan

secara serial karena dapat memberikan informasi respons pemberian

antibiotik serta dapat pula dipergunakan untuk mentukan lamanya

pemberian pengobatan dan kejadian kekambuhan pada pasien dengan

sepsis neonatal.19,21

Pengobatan sepsis neonatorum dapat dibagi menjadi terapi

antimikrobia pada patogen yang dicurigai atau yang telah diketahui, dan

perawatan pendukung. Cairan, elektrokit, dan glukosa harus dipantau

dengan teliti, disertai dengan perbaikan hipovolemia, hiponatremia,

hipokalsemia, dan hipoglikemia serta pembatasan cairan jika sekresi

hormon antidiuretik tidak memadai. Syok, hipoksia, dan asidosis

metabolik harus dideteksi dan dikelola dengan pemberian inotropik,

resusitasi cairan, dan ventilasi mekanik.20 Pada pasien ini sudah diberikan

terapi cairan, elektrolit dan glukosa yang berupa D10%.

Eliminasi kuman merupakan pilihan utama dalam manajemen

sepsis neonatal. Pada kenyataannya menentukan kuman spesifik pasti

tidak mudah Dengan dan membutuhkan waktu. Untuk memperoleh hasil

yang optimal pengobatan sepsis harus cepat dilaksanakan. Sehubungan

35
dengan hal tersebut pemberian antibiotika secara empiris terpaksa cepat

diberikan untuk menghindarkan berlanjutnya perjalanan penyakit.

Pemberian pengobatan pasien biasanya dengan memberikan antibiotik

kombinasi yang bertujuan untuk memperluas cakupan mikroorganisme

patogen yang mungkin diderita pasien. Diupayakan kombinasi antibiotik

tersebut mempunyai sensitifitas yang baik terhadap kuman gram positif

ataupun gram negatif. Selain pola kuman hendaknya diperhatikan pula

resistensi kuman. Namun lama pemberian antibiotik begantung pada hasil

kultur darah, dan segera setelah didapatkan hasil kultur darah, jenis

antibiotika yang dipakai disesuaikan dengan kuman penyebab dan pola

resistensinya.19,20,22 Pada pasien ini diberikan terapi antibiotic lini pertama

yaitu ampicilin injeksi dan gentamicin injeksi.

Mempertimbangkan pola kuman yang tersering ditemukan, Divisi

Perinatologi RSCM menggunakan obat golongan Ceftasidim sebagai

antibiotic pilihan pertama dengan dosis yang dianjurkan 50-100

mg/kgBB/hari, 2 kali sehari. Beberapa kuman Gram negatif saat ini hanya

sensitif terhadap imipenem atau meropenem dengan dosis 25

mg/kgBB/dosis, 2 kali sehari22,23 Pada pasien ini terapi antibiotic lini

pertama diberikan selama 2 hari, kemudian pada hari perawatan ketiga

antibiotic diganti menjadi lini kedua yaitu ceftasidim 2x85 mg.

Selain beberapa upaya diatas berbagai tatalaksana lain dilakukan

pula dalam rangka mengatasi mortilitas dan morbiditas sepsis neonatal.

Pemberian transfusi granulosit dikemukakan dapat memperbaiki

36
pengobatan pada penderita sepsis. Hal ini dilakukan karena produksi dan

respons fungsi sel darah putih yang menurun pada keadaan sepsis

neonatal. Demikian pula pemberian transfuse packed red blood cells

bertujuan mengatasi keadaan anemia dan menjamin oksigenisasi jaringan

yang optimal pada pasien sepsis.19 Pada pasien ini juga dilakukan

transfuse PRC pada haru perawatan ke 4 dan ke 5.

37

Anda mungkin juga menyukai