RUJUK
RUJUK
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan sesuatu yang amat sakral dalam pandangan islam. Pernikahan
juga merupakan salah satu sunnah rasul yang harus di jalani dalam mengarungi sebuah
bahtera kehidupan serta menjadi suatu dasar yang penting dalam memelihara
kemashlahatan umum. Kalau tidak ada pernikahan, maka manusia akan memperturutkan
hawa nafsunya, yang pada gilirannya dapat menimbulkan bencana dalam masyarakat.
Pada dasarnya, dua orang (laki-laki dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan
membangun rumah tangga dengan tujuan untuk memperoleh kebahagian atau dikenal
dengan istilah membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahma. Akan tetapi, pada
kenyataannya tidak semua rumah tangga yang terbentuk melalui pernikahan dilimpahi
kebahagiaan. Kadang ada saja masalah yang menimbulkan perselisihan yang dapat
berujung pada perceraian. Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala hal
tentang kehidupan, termasuk pernikahan, perceraian (thalak), rujuk, ‘iddah, ihdad dan
Hadhanah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Rujuk, ‘Iddah’, Ihdad dan Hadhanah?
2. Apa saja hikmah dari Rujuk. ‘Iddah, Ihdad dan Hadhanah?
3. Bagaimana hukum dari Rujuk, ‘Iddah, Ihdad dan Hadhanah?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dari Rujuk, ‘Iddah’, Ihdad dan Hadhanah.
2. Mengetahui hikmah dari Rujuk. ‘Iddah, Ihdad dan Hadhanah.
3. Mengetahui hukum dari Rujuk, ‘Iddah, Ihdad dan Hadhanah.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. RUJUK
A. Pengertian Rujuk
b) Ungkapan atau kata “yang telah dicerai raj’i” mengandung arti bahwa istri yang
bercerai dengan suaminya itu dalam bentuk yang belum putus atau ba’in , hal ini
mengandung maksud bahwa kembali kepada istri yang belum dicerai atau telah
dicerai tetapi tidak dalam bentuk talak raj’i tidak disebut rujuk dan
c) Ungkapan atau kata “masih dalam masa iddah” mengandung arti bahwa rujuk itu
hanya terjadi selam istri masih berada dalam iddah. Bila waktu telah habis mantan
suami tidak dapat lagi kembali kepada istrinya dengan nama rujuk, untuk itu
suami harus memulai lagi nikah baru dengan akad baru (Syariffudin, 2009: 337-
338).
Menurut Ayub, (2001: 281-283) yang termasuk dalam rukun rujuk ialah:
keadaan istri disyaratkan sudah dicampuri oleh suaminya, suami melakukan rujuk atas
kehendak sendiri, rujuk dilakukan dengan sighat (lafal atau perkataan rujuk dari
suami) bukan melalui perbuatan (campur), dan hadirnya saksi. Mengenai saksi para
ulama masih berbeda pendapat, apakah saksi itu merupakan rukun yang wajib atau
hanya sunnah. Sebagian mengatakan wajib, sedangkan yang lain mengatakan hanya
sunnah.
b) Syarat Rujuk
Syarat dalam rujuk yang telah disepakati para ulama ialah ucapan rujuk
mantan suami dan mantan istri. Syarat-syarat tersebut ialah.
Laki-laki yang merujuk, adapun syarat bagi laki-laki yang merujuk itu adalah
sebagai berikut: laki-laki yang merujuk adalah suami bagi perempuan yang dirujuk
yang dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah, dan laki-laki yang merujuk itu
mestilah seseorang yang mampu melaksanakan pernikahan dengan sendirinya, yaitu
telah dewasa dan sehat akalnyadan bertindak dengan kesadarannya sendiri. Seseorang
yang masih belum dewasa atau dalam keadaan gila tidak sah ruju’ yang dilakukannya.
Begitu pula bila rujuk itu dilakukan atas paksaan dari orang lain, tidak sah rujuknya.
Tentang sahnya rujuk orang yang mabuk karena sengaja minum-minuman yang
memabukkan, ulama berbeda pendapat sebagaimana berbeda pendapat dalam
menetapkan sahnya akad yang dilakukan oleh orang mabuk.
Perempuan yang dirujuk, adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan yang
dirujuk itu adalah: perempuan itu adalah istri yang sah dari laki-laki yang merujuk,
istri itu telah diceraikan dalam bentuk talak raj’i. Tidak sah merujuk istri yang masih
terikat dalam tali perkawinan atau telah ditalak namun dalam bentuk talak ba’in, istri
itu masih berada dalam iddah talak raj’i. Laki-laki masih mempunyai hubungan
hukum dengan istri yang ditalaknya secara talak raj’i, selama berada dalam iddah.
Sehabis iddah itu putuslah hubungannya sama sekali dan dengan sendirinya tidak lagi
boleh dirujuknya, dan istri itu telah digaulinya dalam masa perkawinan itu. Tidak sah
rujuk kepada istri yang diceraikannya sebelum istri itu sempat digaulinya, karena
rujuk hanya berlaku bila perempuan itu masih berada dalam iddah, istri yang dicerai
3
sebelum digauli tidak mempunyai iddah, sebagaimana disebutkan sebelumnya
(Syariffudin, 2009: 341-343).
C. Hikmah Rujuk
Subki (2010: 49) menyatakan dibolehkannya rujuk bagi suami yang hendak
kembali kepada mantan istrinya mengandung beberapa hikmah, diantaranya sebagai
berikut: rujuk memberikan kesempatan masing-masing pihak untuk menyadari
kesalahan, mengapa mereka melakukan perceraian dan saling memusuhi serta
mengingatkan kembali masa indah saat belum bercerai, rujuk mengembalikan
kecintaan seperti sediakala dan Allah SWT akan memberkahi perkawinan yang
dilandasi dengan cinta dan kasih sayang serta dilandasi dengan ibadah kepada-Nya,
dan rujuk dapat mengukuhkan kembali keretakan hubungan rumah tangga sehingga
keutuhan keluarga dapat dipelihara.
D. Hukum Rujuk
a. Wajib, terhadap suami yang mentalak salah seorang istrinya sebelum dia
sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang ditalak,
c. Makruh, kalau perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya,
e. Sunnah, apabila suami bermaksud untuk memperbaiki istrinya atau rujuk itu lebih
berfaedah bagi keduanya (Rasjid, 1994: 418).
2. ‘IDDAH
A. Defenisi ‘Iddah
‘Iddah berasal dari kata al-‘add dan al-ihsha’, yang berarti hari-hari dan masa
haid yang dihitung oleh perempuan.
‘iddah menurut istilah adalah masa di mana seorang perempuan menunggu
(pada masa itu) dan tidak diperbolehkan menikah setelah kematian suaminya,. Atau
setelah bercerai dengan suaminya.
Pada dasarnya, istilah “iddah sudah dikenal sejak zaman jahiliah. Pada saat itu,
mereka hampir tidak pernah meninggalkan kebiasaan ini. Ketika islam datang,
4
kebiasaan yang berlaku pada masa jahiliah tetap diakui dan dilaksanakan, karena di
balik pemberlakuan ‘iddah terdapat kemaslahatan.
Para ulama sepakat bahwa hokum ‘iddah adalah wajib. Allah SWT. Berfirman,
ه ء
قت تتروء ت ثقتقلت تثقتةقت بهتأقتنَل تتف تس ت ه تلنت ت يق تتَق تقربتلت ل
ص تقن ت قواَ لتتم تطقت تل تقتتاَ ت
تت
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (al-
baqarah: 228)
Rasulullah saw. Berkata Fatimah Binti Qais, “jalanilah masa ‘iddahmu di
rumah Ummu Maktum’
a. Untuk mengetahui secara pasti kondisi Rahim perempuan, sehingga tidak terjadi
percampuran nasib janin yang ada di dalam rahimnya.
b. Memberi kesempatan kepada suami istri yang bercerai untuk kembali membina
rumah tangga selama hal itu baik dalam pandangan mereka.
c. Menjunjung tinggi nilai pernikahan. Hal itu tidak mungkin terjadi kecuali dengan
melibatkan banyak orang dan tidak akan hancur kecuali dengan menunggu pada
masa yang cukup lama. Jika tidak di atur demikian, tentunya sebuah pernikahan
tidak ubahnya dengan permainan anak-anak. Dimana, mereka menyusun sebuah
permainan lantas merusaknya.
d. Kemaslahatan yang didapat dari pernikahan tidak akan terwujud sebelum
pasangan suami istri menjalani hidup berumah tangga dalam masa yang lama. Jika
terjadi sesuatu yang mengharuskannya untuk bercerai, tetap hadits harus ada
upaya untuk menjaga ikatan pernikahanyang mulia ini dan mesti diberi waktu
untuk berfikir kembali dan mempertimbangkan kerugian yang akan dialaminya
jika terjadi perceraian.
C. Jenis-Jenis ‘Iddah
‘iddah terdiri dari beberapa jenis, yang akan dipaparkan secara yaitu:
1. “iddah perempuan yang masih haid, yaitu tiga kali haid.
2. ‘iddah perempuan yang tidak lagi haid lagi, yaitu tiga bulan.
3. ‘iddah perempuan yang ditinggal suaminya karena wafat, yaitu empat bulan
sepuluh hari selama tidak hamil.
4. ‘iddah perempuan yang sedang hamil, yaitu sampai melahirkan.
Bagi seorang istri yang dicerai suaminya, dan dia belum pernah disetubuhi
olehnya, maka dia tidak harus menjalani masa ‘iddah. Allah swt. Berfirman
5
َت ت نَقتقك تلح تتَتتتم ت إهتقذ تاَ آ قم تنتتوُاَ اَ تل تهذتتي قن ت أقتيت تقهتتا
قتتقتيستتوُه تلنت ت أقتلن ت ق تب تهل ت هم تن ت طقت تل تلق تتَتتمتتوُه تلنت ت تثلت ت اَ لتم تلؤهم تنقتتاَ ه
ت ت ت ل ل ت
َيتقتاَ تق تلع تتَقتيدت تونَق تقهتتاَ هع تلدت تءة ت هم تلن ت قع تلقتلي ت ه تلنت ت لقتتك تلم ت فقتقمتتا
صت تقن أقلزقواَجج تتاَ يتق تقذتروقن قو هملنتكت تلم يتتتَقتقوُفلت تلوُقن قواَلت تهذيقن ه
قوقعلشجراَأقلشت تتهءر أقلربتققعت تةق بهأقنَلتتفست ت ه لن يتقتَقتقربل ل
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh
hari”. Al -baqarah 234)
7
berzina tidak dibebani pertalian nasab. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab
Hanafi, Syafi’I dan Ats-Tsauri. Juga dikemukakan oleh Abu Bakar dan Umar ra.
Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat, bagi perempuan yang berzina
dia wajib menjalani masa ‘iddah. Namun yang menjadi masalah adalah apakah
masa ‘iddah yang harus dijalaninya mesti tiga kali haid atau satu kali haid untuk
memastikan dirinya tidak hamil.
Jika seorang perempuan hamil, maka masa ‘iddah yang harus dijalaninya adalah
sampai janin yang dikandungnya lahir. Jika menjalani ‘iddah dengan perhitungan
bulan, maka ‘iddah dihitung sejak mulai bercerai atau setelah kematian suami
hingga genap tuga bulan atau emoat bulan sepuluh hari. Jika menjalani ‘iddah
haid, maka berakhir setelah menjalani tiga kali haid.
3. IHDAD
A. Pengertian Berkabung/Ihdad
Menurut Abu Zakaria al-Anshary, Bahwa ihdad berasal dari kata ahadda, dan
kadang bisa juga disebut al-Hidad yang diambil dari kata hadda. Secara etimologis
(lughawi) ihdad berarti al-man’u(cegahan atau larangan)sedangkan menurut Abdul
Mujib dan kawan-kawannya, bahwa yang dimaksud dengan ihdad adalah masa
berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Masa tersebut adalah
4 bulan dan sepuluh hari yang disertai dengan larangan-larangan, antara lain: bercelek
mata,berhias diri,keluar rumah,kecuali dalam keadaanterpaksa.
8
Imam Maliki mendevinisikan ihdad adalah: meninggalkan semua hiasan
termasuk juga cincin, yang dibuat berhias oleh seorang perempuan seperti minter,
celak wangi-wangian dan baju yang di warnai.
Mengenai memakai celak ini masih ada perbedaan para fuqaha tentang tidak
boleh dan bolehnya memakai celak ini. Satu golongan berpendapat bahwa seorang
perempuan yang sedang melakukan ihdad diperboleh kan memakai celak dengan
syarat pada siang malam hari, tetapi menurut pendata yang lainnya mengatakan tidak
harus malam hari pada waktu siang haripun boleh dengan syarat bukan untuk berhias
dir,tetapi karena ada darurat dan kebutuhan seperti sakit mata dan lainnya.
9
pekerjaan-pekerjaan yang mubah dan dibolehkan pula baginya berbicara dengan
laki-laki sesuai keperluannya, selama ia berhijab.
“Dan suami-suami mereka paling berhak merujuki mereka dalam masa ’iddah
tersebut, jika mereka menghendaki ishlah.” (Al-Baqarah: 228)
B. Hukum Hadhanah
Hadhanah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak yang masih
memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan
pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai
membahayakan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari
segala hal yang dapat merusaknya.
Hadhanah sangat terkait dengan tiga hak:
10
1. Hak wanita yang mengasuh.
2. Hak anak yang diasuh.
Jika masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik
dan harus ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak
harus didahulukan daripada yang lainnya. Terkait dengan hal ini ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan.
pertama, pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika kondisinya memang
memaksa demikian karena tidak ada orang lain selain dirinya yang dipandang pantas
untuk menasuh anak.
kedua, si ibu tidak boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya memang
tidak mengharuskan demikian. sebab mengasuh anak itu adalah haknya dan tidak ada
mudharat yang dimungkinkan akan menimpa sianak karena adanya mahram lain
selain ibunya.
ketiga, seorang ayah tidak berhak merampas anak dari orang yang lebih
berhak mengasuhnya (baca: ibu) lalu memberikannya kepada wanita lain kecuali ada
alsan syar’i yang memperbolehkannya.
keempat, jika ada wanita yang bersedia menyusui selain ibu si anak, maka ia
harus menyusui bersama (tinggal serumah) dengan si ibu hingga tidak kehilangan
haknya mengasuh anak.
11
ayahnya telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku.” Rasulullah bersabda
kepada wanita ini “Kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum menikah
lagi“. (hasan HR Abu Daud, Ahmad dan Al-Baihaqi)
D. Urutan Orang yang Berhak Mengasuh Anak Setelah Ibu Kandung
Ulama berbeda pendapat siapa yang paling berhak mengasuh anak setelah ibu
kandung atau urutan hak asuh anak jika ternyata ada penyebab yang menghalangi ibu
kandung untuk mendapatkan hak asuhnya. Perbedaan pendapat ini disebabkan tidak
adanya dalil qath’i yang secara tegas membahas masalah ini. Hanya saja ke-empat
imam madzhab lebih mendahulukan kalangan kerabat dari pihak ibu dibandingkan
dari kalangan kerabat dari pihak ayah dalam tingkat kerabatan yang sama (misalnya
mendahulukan nenek dari pihak ibu dari pada nenek pihak ayah).
Kalangan Madzhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang palin berhak
mengasuh anak adalah:
1. Ibu kandungnya sendiri 5. bibi dari pihak ibu
2. Nenek dari pihak ibu 6. anak perempuan saudara laki-laki
3. nenek dari pihak ayah 7. bibi dari pihak ayah
4. saudara perempuan (kakak
perempuan)
8. anak perempuan saudara perempuan
Kalangan Madzhab Maliki berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari:
Kalangan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari:
12
6. anak perempuan dari saudara 9. dan kerabat yang masih
menjadi mahram bagi sianak
laki-laki
yang mendapatkan bagian
warisan ashabahsesuai
7. anak perempuan dari saudara dengan urutan pembagian
perempuan harta warisan.
13
E. Syarat Mendapatkan Hak Asuh Anak (Hadhanah)
Kalangan ahli fiqih menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan hak asuh
anak yang harus dipenuhi. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak asuh anak hilang,
syarat-syarat tersebut adalah:
Syarat pertama dan kedua, berakal dan telah baligh, sebab kelompok ini masih
memerlukan orang yang dapat menjadi wali atau bahkan mengasuh mereka. Jika mereka
masih membutuhkan wali dan membutuhkan pengasuha, maka merekpun tidak pantas
untuk menjadi pengasuh untuk orang lain.
Syarat ketiga, Agama yang mengasuh haruslah sama dengan agama anak yang
diasuh, sehingga orang kafir tidak berhak mengasuh anak Muslim. Hal ini didasarkan
pada dua hal:
1. Orang yang mengasuh pasti sangat ingin anak yang diasuhnya sesuai dengan ajaran
agama yang dianutnya dan ini adalah bahaya terbesar yang dialami sianak. Dan telah
dijelaskan dalam sabda Rasulullah :“Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci),
maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Nashrani atau
Majusi.” (HR Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa agama anak tidak
aman jika diasuh oleh orang kafir.
2. Hak asuh anak itu sama dengan perwalian. Allah berfirman :
“dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS Ani-Nisaa’:141)
Syarat keempat, mampu mendidik, sehingga orang yang buta, sakit, terbelenggu
dan hal-hal lain yang dapat membahayakan atau anak disia-siakan maka tidak berhak
mengasuh anak.
Syarat kelima, ibu kandung belum menikah lagi dengan lelaki yang lain,
berdasarkan sabda Nabi : “Kamu lebih berhak dengannya selama kamu belum menikah
lagi” (hasan. ditakhrij oleh Abud Dawud 2244 dan An-Nasa’i 3495)
3. Madzhab Asy-syafi’i dan Ahmad, Anak diberi kesempatan untuk memilih salah satu
diantara keduanya.
Kedua, anak yang diasuh adalah anak perempuan. Para Ulama berbeda pendapat,
Kalangan Madzhab Maliki berpendapat bahwa anak tetaptinggal bersama ibunya hingga
anaka perempuan tersebut menikah dan telah berhubungan intim dengan suaminya.
Dengan mengacu padapendapat Imam Ahmad, kalangan madzhab Hanafi berpendapat
bahwa manakala telah mengalami menstruasi anak perempuan diserahkan kepada
ayahnya. Kalangan Madzhab Hanbali berpendapat bahwa anak diserahkan kepada
ayahnya apabila telah mencapai usia 7 tahun.
Ketiga Imam madzhab sepakat bahwa anak ini tidak diberi kesempatan untuk
menentukan pilihan. Sementara itu Syafi’i berpendapat bahwa perempuan diberi
kesempatan menentukan pilihan seperti anak laki-laki dan dia berhak untuk hidup
bersama orang yang menjadi pilihannya (ayahnya atau ibunya).
Ibnu Taimiyyah lebih memilih berpendapat bahwa anak perempuan tidak diberi
kesempatan memilih. Ia bisa hidup bersama salah satu dari keduanya apabila orangtua
yang ia ikuti ini taat kepada Allah dalam mendidik anak. (Majmu Fatawa Ibnu
Taimiyyah) (Dalam abiyazid.wordpres: syarat mendapatkan hak asuh anak hadhanah).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi perbaikan dan
kesempurnaan Makalah kami.
Bagi para pembaca, yang ingin lebih tau pengetahuan tentang Fikih Munakahat terkhusus
tentang materi Akibat Putusnya Perkawinan dengan rendah hati untuk membaca sumber
lainnya.
Menjadikan makalah ini sebagai sarana bagi mahasiswa dan mahasiswi untuk lebih
berfikir kreatif dan aktif.
DAFTAR PUSTAKA
Rasjid, H. Sulaiman. 2011. FIQIH ISLAM. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Abdurrahman, I Doi. 1992. Perkawinan dalam Syari’at Islam. Jakarta : Renika Cipta.
Abdul Fatah, Abd. Ahmadi. 1994. Fiqh Islam Lengkap. Jakarta : Rineka Cipta.