Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan sesuatu yang amat sakral dalam pandangan islam. Pernikahan
juga merupakan salah satu sunnah rasul yang harus di jalani dalam mengarungi sebuah
bahtera kehidupan serta menjadi suatu dasar yang penting dalam memelihara
kemashlahatan umum. Kalau tidak ada pernikahan, maka manusia akan memperturutkan
hawa nafsunya, yang pada gilirannya dapat menimbulkan bencana dalam masyarakat.
Pada dasarnya, dua orang (laki-laki dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan
membangun rumah tangga dengan tujuan untuk memperoleh kebahagian atau dikenal
dengan istilah membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahma. Akan tetapi, pada
kenyataannya tidak semua rumah tangga yang terbentuk melalui pernikahan dilimpahi
kebahagiaan. Kadang ada saja masalah yang menimbulkan perselisihan yang dapat
berujung pada perceraian. Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala hal
tentang kehidupan, termasuk pernikahan, perceraian (thalak), rujuk, ‘iddah, ihdad dan
Hadhanah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Rujuk, ‘Iddah’, Ihdad dan Hadhanah?
2. Apa saja hikmah dari Rujuk. ‘Iddah, Ihdad dan Hadhanah?
3. Bagaimana hukum dari Rujuk, ‘Iddah, Ihdad dan Hadhanah?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dari Rujuk, ‘Iddah’, Ihdad dan Hadhanah.
2. Mengetahui hikmah dari Rujuk. ‘Iddah, Ihdad dan Hadhanah.
3. Mengetahui hukum dari Rujuk, ‘Iddah, Ihdad dan Hadhanah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. RUJUK

A. Pengertian Rujuk

Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali, sedangkan dalam


pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri
yang telah dicerai raj’i bukan cerai ba’in, dan dilaksanakan selama istri dalam masa
iddah. Dalam hukum perkawinan islam rujuk merupakan tindakan hukum yang terpuji
(Ali, 2006: 90).

Menurut Al-Mahali dalam Syariffudin (2009: 337) mendefenisikan rujuk


sebagai kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan ba’in, selama
dalam masa iddah.

Dari defenisi-defenisi tersebut terlihat beberapa kata kunci yang menunjukan


hakikat dari perbuatan yang bernama rujuk itu:

a) Kata atau ungkapan “kembali” mengandung arti bahwa diantara keduanya


sebelumnya telah terikat dalam perkawinan, namun ikatan tersebut telah berakhir
dengan perceraian, dan laki-laki yang kembali kepada orang lain dalam bentuk
perkawinan, tidak disebut rujuk dalam pengertian ini,

b) Ungkapan atau kata “yang telah dicerai raj’i” mengandung arti bahwa istri yang
bercerai dengan suaminya itu dalam bentuk yang belum putus atau ba’in , hal ini
mengandung maksud bahwa kembali kepada istri yang belum dicerai atau telah
dicerai tetapi tidak dalam bentuk talak raj’i tidak disebut rujuk dan

c) Ungkapan atau kata “masih dalam masa iddah” mengandung arti bahwa rujuk itu
hanya terjadi selam istri masih berada dalam iddah. Bila waktu telah habis mantan
suami tidak dapat lagi kembali kepada istrinya dengan nama rujuk, untuk itu
suami harus memulai lagi nikah baru dengan akad baru (Syariffudin, 2009: 337-
338).

B. Rukun dan Syarat Rujuk


2
a) Rukun Rujuk

Menurut Ayub, (2001: 281-283) yang termasuk dalam rukun rujuk ialah:
keadaan istri disyaratkan sudah dicampuri oleh suaminya, suami melakukan rujuk atas
kehendak sendiri, rujuk dilakukan dengan sighat (lafal atau perkataan rujuk dari
suami) bukan melalui perbuatan (campur), dan hadirnya saksi. Mengenai saksi para
ulama masih berbeda pendapat, apakah saksi itu merupakan rukun yang wajib atau
hanya sunnah. Sebagian mengatakan wajib, sedangkan yang lain mengatakan hanya
sunnah.

b) Syarat Rujuk

Syarat dalam rujuk yang telah disepakati para ulama ialah ucapan rujuk
mantan suami dan mantan istri. Syarat-syarat tersebut ialah.

Laki-laki yang merujuk, adapun syarat bagi laki-laki yang merujuk itu adalah
sebagai berikut: laki-laki yang merujuk adalah suami bagi perempuan yang dirujuk
yang dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah, dan laki-laki yang merujuk itu
mestilah seseorang yang mampu melaksanakan pernikahan dengan sendirinya, yaitu
telah dewasa dan sehat akalnyadan bertindak dengan kesadarannya sendiri. Seseorang
yang masih belum dewasa atau dalam keadaan gila tidak sah ruju’ yang dilakukannya.
Begitu pula bila rujuk itu dilakukan atas paksaan dari orang lain, tidak sah rujuknya.
Tentang sahnya rujuk orang yang mabuk karena sengaja minum-minuman yang
memabukkan, ulama berbeda pendapat sebagaimana berbeda pendapat dalam
menetapkan sahnya akad yang dilakukan oleh orang mabuk.

Perempuan yang dirujuk, adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan yang
dirujuk itu adalah: perempuan itu adalah istri yang sah dari laki-laki yang merujuk,
istri itu telah diceraikan dalam bentuk talak raj’i. Tidak sah merujuk istri yang masih
terikat dalam tali perkawinan atau telah ditalak namun dalam bentuk talak ba’in, istri
itu masih berada dalam iddah talak raj’i. Laki-laki masih mempunyai hubungan
hukum dengan istri yang ditalaknya secara talak raj’i, selama berada dalam iddah.
Sehabis iddah itu putuslah hubungannya sama sekali dan dengan sendirinya tidak lagi
boleh dirujuknya, dan istri itu telah digaulinya dalam masa perkawinan itu. Tidak sah
rujuk kepada istri yang diceraikannya sebelum istri itu sempat digaulinya, karena
rujuk hanya berlaku bila perempuan itu masih berada dalam iddah, istri yang dicerai
3
sebelum digauli tidak mempunyai iddah, sebagaimana disebutkan sebelumnya
(Syariffudin, 2009: 341-343).

C. Hikmah Rujuk

Subki (2010: 49) menyatakan dibolehkannya rujuk bagi suami yang hendak
kembali kepada mantan istrinya mengandung beberapa hikmah, diantaranya sebagai
berikut: rujuk memberikan kesempatan masing-masing pihak untuk menyadari
kesalahan, mengapa mereka melakukan perceraian dan saling memusuhi serta
mengingatkan kembali masa indah saat belum bercerai, rujuk mengembalikan
kecintaan seperti sediakala dan Allah SWT akan memberkahi perkawinan yang
dilandasi dengan cinta dan kasih sayang serta dilandasi dengan ibadah kepada-Nya,
dan rujuk dapat mengukuhkan kembali keretakan hubungan rumah tangga sehingga
keutuhan keluarga dapat dipelihara.

D. Hukum Rujuk

a. Wajib, terhadap suami yang mentalak salah seorang istrinya sebelum dia
sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang ditalak,

b. Haram, apabila rujuknya berniat menyakiti istri,

c. Makruh, kalau perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya,

d. Mubah, ini adalah hukum rujuk yang asli dan

e. Sunnah, apabila suami bermaksud untuk memperbaiki istrinya atau rujuk itu lebih
berfaedah bagi keduanya (Rasjid, 1994: 418).

2. ‘IDDAH

A. Defenisi ‘Iddah
‘Iddah berasal dari kata al-‘add dan al-ihsha’, yang berarti hari-hari dan masa
haid yang dihitung oleh perempuan.
‘iddah menurut istilah adalah masa di mana seorang perempuan menunggu
(pada masa itu) dan tidak diperbolehkan menikah setelah kematian suaminya,. Atau
setelah bercerai dengan suaminya.
Pada dasarnya, istilah “iddah sudah dikenal sejak zaman jahiliah. Pada saat itu,
mereka hampir tidak pernah meninggalkan kebiasaan ini. Ketika islam datang,

4
kebiasaan yang berlaku pada masa jahiliah tetap diakui dan dilaksanakan, karena di
balik pemberlakuan ‘iddah terdapat kemaslahatan.
Para ulama sepakat bahwa hokum ‘iddah adalah wajib. Allah SWT. Berfirman,
‫ه‬ ‫ء‬
‫قت تتروء ت ثقتقلت تثقتةقت بهتأقتنَل تتف تس ت ه تلنت ت يق تتَق تقربتلت ل‬
‫ص تقن ت قواَ لتتم تطقت تل تقتتاَ ت‬
‫تت‬
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (al-
baqarah: 228)
Rasulullah saw. Berkata Fatimah Binti Qais, “jalanilah masa ‘iddahmu di
rumah Ummu Maktum’

B. Hikmah disyariatkannya ‘Iddah

a. Untuk mengetahui secara pasti kondisi Rahim perempuan, sehingga tidak terjadi
percampuran nasib janin yang ada di dalam rahimnya.
b. Memberi kesempatan kepada suami istri yang bercerai untuk kembali membina
rumah tangga selama hal itu baik dalam pandangan mereka.
c. Menjunjung tinggi nilai pernikahan. Hal itu tidak mungkin terjadi kecuali dengan
melibatkan banyak orang dan tidak akan hancur kecuali dengan menunggu pada
masa yang cukup lama. Jika tidak di atur demikian, tentunya sebuah pernikahan
tidak ubahnya dengan permainan anak-anak. Dimana, mereka menyusun sebuah
permainan lantas merusaknya.
d. Kemaslahatan yang didapat dari pernikahan tidak akan terwujud sebelum
pasangan suami istri menjalani hidup berumah tangga dalam masa yang lama. Jika
terjadi sesuatu yang mengharuskannya untuk bercerai, tetap hadits harus ada
upaya untuk menjaga ikatan pernikahanyang mulia ini dan mesti diberi waktu
untuk berfikir kembali dan mempertimbangkan kerugian yang akan dialaminya
jika terjadi perceraian.
C. Jenis-Jenis ‘Iddah
‘iddah terdiri dari beberapa jenis, yang akan dipaparkan secara yaitu:
1. “iddah perempuan yang masih haid, yaitu tiga kali haid.
2. ‘iddah perempuan yang tidak lagi haid lagi, yaitu tiga bulan.
3. ‘iddah perempuan yang ditinggal suaminya karena wafat, yaitu empat bulan
sepuluh hari selama tidak hamil.
4. ‘iddah perempuan yang sedang hamil, yaitu sampai melahirkan.

 ‘iddah bagi Istri yang Belum Disetubuhi

Bagi seorang istri yang dicerai suaminya, dan dia belum pernah disetubuhi
olehnya, maka dia tidak harus menjalani masa ‘iddah. Allah swt. Berfirman

5
َ‫ت ت نَقتقك تلح تتَتتتم ت إهتقذ تاَ آ قم تنتتوُاَ اَ تل تهذتتي قن ت أقتيت تقهتتا‬
‫قتتقتيستتوُه تلنت ت أقتلن ت ق تب تهل ت هم تن ت طقت تل تلق تتَتتمتتوُه تلنت ت تثلت ت اَ لتم تلؤهم تنقتتاَ ه‬
‫ت‬ ‫ت ت‬ ‫ل ل‬ ‫ت‬
َ‫يتقتاَ تق تلع تتَقتيدت تونَق تقهتتاَ هع تلدت تءة ت هم تلن ت قع تلقتلي ت ه تلنت ت لقتتك تلم ت فقتقمتتا‬

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-


perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya (Al-ahzab 39)

Bagi istri yang belum pernah disetubuhi suaminya dan suaminya


meninggal dunia, dia harus menjalani masa ‘iddah seperti ‘iddah yang dijalani istri
yang sudah disetubuhi suaminya. Allah swt. Berfirman,

‫صت تقن أقلزقواَجج تتاَ يتق تقذتروقن قو هملنتكت تلم يتتتَقتقوُفلت تلوُقن قواَلت تهذيقن‬ ‫ه‬
‫قوقعلشجراَأقلشت تتهءر أقلربتققعت تةق بهأقنَلتتفست ت ه لن يتقتَقتقربل ل‬
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh
hari”. Al -baqarah 234)

Istri yang ditinggalkan mati oleh suaminya wajib menjalani ‘iddah


meskipun belum pernah disetubuhi. Hal ini bertujuan untuk memberi
penghormatan dan pernghargaan atas hak suami yang sudah meninggal dunia.

 ‘iddah bagi Istri yang Pernah Disetubuhi


Istri yang pernah disetubuhi ada kalanya dia masih haid dan ada pula yang
tidak lagi mengeluarkan darah haid. Allah swt berfirman,
‫ه‬ ‫ء‬
‫قت تتروء ت ثقتقلت تثقتةقت بهتأقتنَل تتف تس ت ه تلنت ت يق تتَق تقربتلت ل‬
‫ص تقن ت قواَ لتتم تطقت تل تقتتاَ ت‬
‫تت‬
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
(al-baqarah 228)
Kata al-Quru’ adalah bentuk jamak dari kata qar’, artinya haid.

 Batas Minimal Masa ‘Iddah dengan Quru’


Mazhab Syafi’I berpendapat bahwa waktu batas paling singkat bagi
perempuan merdeka menjalani masa ‘iddah dengan quru’ adalah 32 hari 1 jam.
Hal ini berlaku jika perempuan dicerai pada waktu suci, hingga sisa waktu sisa
waktu suci setelah cerai tinggal satu jam. Jadi, satu jam itu terhitung satu quru’.
Quru’ kedua dihitung jika dia haid satu hari, kemudian bersih selama lima belas
6
hari. Setelah quru’ keduanya selesai, kemudia dia haid satu hari, lalu suci selama
lima belas hari, maka dia telah menjalani quru’ ketiga. Jika perempuan tersebut
berhasil menjalani haid ketiga maka masa ‘iddah nya telah berakhir.
Menurut Abu Hanafiyah, waktu quru’ yang paling singkat adalah 60 hari.
Tapi dalam pandangan kedua muridnya, yaitu Abu yusuf dan Muhammad, waktu
quru’ yang paling singkat adalah 39 hari.

 ‘Iddah bagi Perempuan yang tidak Haid


Bagi perempuan yang tidak lagi mengalami haid, masa ‘iddah yang harus
dijalani adalah tiga bulan. Masa ‘iddah ini juga berlaku bagi anak-ana perempuan
yang belum baligh dan perempuan yang sudah lanjut usia dan mengalami
menopause, baik sebelumnya dia sama sekali tidak pernah haid sebelumnya atau
sebelumnya pernah haid kemudian haidnya terputus.

 Masa ‘iddah Bagi Perumpuan yang Hamil


Masa ‘iddah bagi perempuan yang hamil adalah sampai dia melahirkan,
baik masa ‘iddah yang harus dijalaninya disebabkan ditalak atau karena suaminya
meninggal dunia.
 Masa ‘iddah bagi Perempuan yang Suaminya meninggal Dunia
Masa ‘Iddah bagi perempuan yang suaminya meninggal dunia adalah empat
bulan sepuluh hari dengan syarat dia tidak hamil. Sebagai dasarnya adalah firman
Allah swt

‫صقن أقلزقواَججاَ يققذتروقن قو هملنتكلم يتتتَقتقوُفلتلوُقن قواَلهذيقن‬ ‫ه‬


‫قوقعلشجراَأقلشتهءر أقلربتققعةق بهأقنَلتتفس ه لن يتقتَقتقربل ل‬
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-
isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat bulan
sepuluh hari.” Al -baqarah 234)

 Hukum ‘iddah atas perkawinan yang Tidak Sah


Seorang laki- laki yang bersetubuh dengan perempuan secara syubhat,
karena keliru atau tidak sengaja, maka perempuan yang disetubuhinya wajib
menjalani ‘iddah. Sebab, persetubuhan yang dilakukan secara syubhat kedudukan
hukumnya sama dengan persetubuhan yang dilakukan atas dasar akad yang sah
dalam pernikahan yang dapat menetapkan nasab keturunannya.
Bagi perempuan yang berzina, dia tiodak wajib menjalani mas ‘iddah.
Sebab ‘iddah merupakan upaya untuk menjaga keturunan, sedangkan orang

7
berzina tidak dibebani pertalian nasab. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab
Hanafi, Syafi’I dan Ats-Tsauri. Juga dikemukakan oleh Abu Bakar dan Umar ra.
Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat, bagi perempuan yang berzina
dia wajib menjalani masa ‘iddah. Namun yang menjadi masalah adalah apakah
masa ‘iddah yang harus dijalaninya mesti tiga kali haid atau satu kali haid untuk
memastikan dirinya tidak hamil.

 Batas Akhir Masa ‘iddah

Jika seorang perempuan hamil, maka masa ‘iddah yang harus dijalaninya adalah
sampai janin yang dikandungnya lahir. Jika menjalani ‘iddah dengan perhitungan
bulan, maka ‘iddah dihitung sejak mulai bercerai atau setelah kematian suami
hingga genap tuga bulan atau emoat bulan sepuluh hari. Jika menjalani ‘iddah
haid, maka berakhir setelah menjalani tiga kali haid.

3. IHDAD

A. Pengertian Berkabung/Ihdad

Menurut Abu Zakaria al-Anshary, Bahwa ihdad berasal dari kata ahadda, dan
kadang bisa juga disebut al-Hidad yang diambil dari kata hadda. Secara etimologis
(lughawi) ihdad berarti al-man’u(cegahan atau larangan)sedangkan menurut Abdul
Mujib dan kawan-kawannya, bahwa yang dimaksud dengan ihdad adalah masa
berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Masa tersebut adalah
4 bulan dan sepuluh hari yang disertai dengan larangan-larangan, antara lain: bercelek
mata,berhias diri,keluar rumah,kecuali dalam keadaanterpaksa.

Sedangkan menurut pandangan syara’ ihdad adalah meninggalkan pakaian


yang dicelup warna yang dimaksud untuk perhiasan, sekalipun pencelupan itu
dilakukan sebelum kain itu ditenun atau kain tiu menjadi kasar

Imam Hanafi devinisi ihdad adalah: suatu ungkapan yang didivinisikan


dengan menjahuinya seorang perempuan dari memakai harum-haruman, memakai
celak, berhias, tidak boleh menyisir rambutnya dan lainnya.

8
Imam Maliki mendevinisikan ihdad adalah: meninggalkan semua hiasan
termasuk juga cincin, yang dibuat berhias oleh seorang perempuan seperti minter,
celak wangi-wangian dan baju yang di warnai.

Menurut Imam Ahmad Bin Hanbal sebagaiman Ihdad adalah : seorang


perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya untuk menjahui berhias diri baik dari
pakaian maupun dari wangi-wangian.

B. Hal-Hal Yang Dilarang Dalam Ihdad

Para fuqaha’ berpendapat bahwa wanita yang sedang melakukan ihdad


dilarang melakukan perbuatan yang membikin orang laki-laki tertarik pada dirinya
perempuan yang melakukan berkabung tersebut, seperti memakai perhiasan intan,
celak, memakai pakaian yang dicelup dengan warna, kecuali warna hitam.

Mengenai memakai celak ini masih ada perbedaan para fuqaha tentang tidak
boleh dan bolehnya memakai celak ini. Satu golongan berpendapat bahwa seorang
perempuan yang sedang melakukan ihdad diperboleh kan memakai celak dengan
syarat pada siang malam hari, tetapi menurut pendata yang lainnya mengatakan tidak
harus malam hari pada waktu siang haripun boleh dengan syarat bukan untuk berhias
dir,tetapi karena ada darurat dan kebutuhan seperti sakit mata dan lainnya.

Ringakasnya mengenai pendapat-pendapat diatas bahwa seorang seorang


perempuan yang sedang melaksanakan ihdad tentang larangan bagi seorang
perempuan sangatlah berdekatan dan hamper sama pendapatnya, yaitu perempuan
harus menjauhi memakai pakaian atau sesuatu yang bisa menarik perhatian laki-laki.

C. Yang Tidak Terlarang Bagi Wanita Yang Sedang Berihdad

Tidak dilarang baginya untuk memotong kuku, mencabut rambut ketiak,


mencukur rambut kemaluan, mandi dengan daun bidara, atau menyisir rambut
karena tujuannya untuk kebersihan bukan untuk berwangi-wangi/berhias. (Al-
Mughni, Kitab Al-‘Idad, Fashl Ma). Demikian pula mencium minyak wangi karena
bila sekedar mencium tidaklah menempel pada tubuh. Sehingga bila seorang wanita
yang sedang berihdad ingin membeli minyak wangi, tidak menjadi masalah bila ia
menciumnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/720). Tidak diharamkan baginya melakukan

9
pekerjaan-pekerjaan yang mubah dan dibolehkan pula baginya berbicara dengan
laki-laki sesuai keperluannya, selama ia berhijab.

D. Hikmah Ihdad Oleh Wanita

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu


mengatakan,“Hikmahnya adalah untuk menghormati hak suami dalam masa
‘iddah karena meninggalnya, hingga tidak ada seorang pun yang berkeinginan
untuk menikahi si wanita dalam masa ‘iddah. Sebagaimana Allah subhanahu
wata’ala berfirman,

“Dan suami-suami mereka paling berhak merujuki mereka dalam masa ’iddah
tersebut, jika mereka menghendaki ishlah.” (Al-Baqarah: 228)

4. HADHANAH (PENGASUHAN ANAK)


A. Defenisi Hadhanah
Hadhanah berasal dari kata al-hidn, yaitu bagian yang terletak di bawah ketiak

‫ ﺣﻀﻨﺎاﻟﺸﺸﻴئ‬artinya sesuatu yang berada disamping.


sampai pinggul. Kalimat

Kalimat ‫ اﻟﻄﺎﺋرﺑﻴﻀﮥ ﺣﻀن‬artinya burung mengayomi telur dibawah sayapnya.

Begitu juga dengan seorang perempuan yang merawat anaknya.


Defenisi hadhanah menurut para ahli fikih adalah aktifitas merawat anak yang
masih kecil baik laki-laki maupun perempuan, atau anak yang belum dewasa yang
tidak mampu mengurus dirinya sendiri, melakukan yang terbaik untuk dirinya,
menjaga mereka dari sesuatu yang menyakiti dan menimbulkan mudharat baginya,
memberikan pendidikan baik secara jasmani, emotional dan akalnya sampai mereka
mampu berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan dan memikul tanggung
jawabnya.

B. Hukum Hadhanah
Hadhanah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak yang masih
memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan
pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai
membahayakan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari
segala hal yang dapat merusaknya.
Hadhanah sangat terkait dengan tiga hak:

10
1. Hak wanita yang mengasuh.
2. Hak anak yang diasuh.

3. Hak ayah atau orang yang menempati posisinya.

Jika masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik
dan harus ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak
harus didahulukan daripada yang lainnya. Terkait dengan hal ini ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan.
pertama, pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika kondisinya memang
memaksa demikian karena tidak ada orang lain selain dirinya yang dipandang pantas
untuk menasuh anak.
kedua, si ibu tidak boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya memang
tidak mengharuskan demikian. sebab mengasuh anak itu adalah haknya dan tidak ada
mudharat yang dimungkinkan akan menimpa sianak karena adanya mahram lain
selain ibunya.
ketiga, seorang ayah tidak berhak merampas anak dari orang yang lebih
berhak mengasuhnya (baca: ibu) lalu memberikannya kepada wanita lain kecuali ada
alsan syar’i yang memperbolehkannya.
keempat, jika ada wanita yang bersedia menyusui selain ibu si anak, maka ia
harus menyusui bersama (tinggal serumah) dengan si ibu hingga tidak kehilangan
haknya mengasuh anak.

C. Ibu adalah Wanita yang Paling Berhak Mengasuh Anak


Jika wanita lebih berhak mendidik dan mengasuh anak daripada laki-laki,
maka -sesuai ijma ulama- ibu kandung sianak tentu lebih berhak mengasuh anaknya
setelah terjadi perpisahan (antara suami dan istrinya), baik karena talak, meninggalnya
suami atau suami menikah dengan wanita lain karena ibu jauh memiliki kelembutan
dan kasih sayang, kecuali jika ada penghalang yang menghapuskan hak si ibu untuk
mengasuh anak.
Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari ayahnya, dari
kakeknya bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada Rasulullah : “Wahai
RAsulullah, anak ini dulu pernah menjadikan perutku sebagai wadahnya,
payudaraku sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai rumahnya. Kini

11
ayahnya telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku.” Rasulullah bersabda
kepada wanita ini “Kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum menikah
lagi“. (hasan HR Abu Daud, Ahmad dan Al-Baihaqi)
D. Urutan Orang yang Berhak Mengasuh Anak Setelah Ibu Kandung
Ulama berbeda pendapat siapa yang paling berhak mengasuh anak setelah ibu
kandung atau urutan hak asuh anak jika ternyata ada penyebab yang menghalangi ibu
kandung untuk mendapatkan hak asuhnya. Perbedaan pendapat ini disebabkan tidak
adanya dalil qath’i yang secara tegas membahas masalah ini. Hanya saja ke-empat
imam madzhab lebih mendahulukan kalangan kerabat dari pihak ibu dibandingkan
dari kalangan kerabat dari pihak ayah dalam tingkat kerabatan yang sama (misalnya
mendahulukan nenek dari pihak ibu dari pada nenek pihak ayah).
Kalangan Madzhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang palin berhak
mengasuh anak adalah:
1. Ibu kandungnya sendiri 5. bibi dari pihak ibu
2. Nenek dari pihak ibu 6. anak perempuan saudara laki-laki
3. nenek dari pihak ayah 7. bibi dari pihak ayah
4. saudara perempuan (kakak
perempuan)
8. anak perempuan saudara perempuan
Kalangan Madzhab Maliki berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari:

1. Ibu kandung 6. bibi dari pihak ayah

2. nenek dari pihak ibu 7. anak perempuan dari saudara


laki-laki
3. bibi dari pihak ibu
8. penerima wasiat
4. nenek dari pihak ayah
9. dan kerabat lain (ashabah)
5. saudara perempuan
yang lebih utama

Kalangan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari:

1. Ibu kandung 4. saudara perempuan

2. nenek dari pihak ibu 5. bibi dari pihak ibu

3. nenek dari pihak ayah

12
6. anak perempuan dari saudara 9. dan kerabat yang masih
menjadi mahram bagi sianak
laki-laki
yang mendapatkan bagian
warisan ashabahsesuai
7. anak perempuan dari saudara dengan urutan pembagian
perempuan harta warisan.

8. bibi dari pihak ayah

13
E. Syarat Mendapatkan Hak Asuh Anak (Hadhanah)
Kalangan ahli fiqih menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan hak asuh
anak yang harus dipenuhi. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak asuh anak hilang,
syarat-syarat tersebut adalah:
Syarat pertama dan kedua, berakal dan telah baligh, sebab kelompok ini masih
memerlukan orang yang dapat menjadi wali atau bahkan mengasuh mereka. Jika mereka
masih membutuhkan wali dan membutuhkan pengasuha, maka merekpun tidak pantas
untuk menjadi pengasuh untuk orang lain.
Syarat ketiga, Agama yang mengasuh haruslah sama dengan agama anak yang
diasuh, sehingga orang kafir tidak berhak mengasuh anak Muslim. Hal ini didasarkan
pada dua hal:
1. Orang yang mengasuh pasti sangat ingin anak yang diasuhnya sesuai dengan ajaran
agama yang dianutnya dan ini adalah bahaya terbesar yang dialami sianak. Dan telah
dijelaskan dalam sabda Rasulullah :“Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci),
maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Nashrani atau
Majusi.” (HR Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa agama anak tidak
aman jika diasuh oleh orang kafir.
2. Hak asuh anak itu sama dengan perwalian. Allah berfirman :
“dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS Ani-Nisaa’:141)

Syarat keempat, mampu mendidik, sehingga orang yang buta, sakit, terbelenggu
dan hal-hal lain yang dapat membahayakan atau anak disia-siakan maka tidak berhak
mengasuh anak.
Syarat kelima, ibu kandung belum menikah lagi dengan lelaki yang lain,
berdasarkan sabda Nabi : “Kamu lebih berhak dengannya selama kamu belum menikah
lagi” (hasan. ditakhrij oleh Abud Dawud 2244 dan An-Nasa’i 3495)

F. Berakhirnya Masa Pengasuhan dan Konsekuensinya.


Jika si anak sudah tidak lagi memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi
kebutuhan pribadinya sehari-hari, telah mencapai usia mumayyiz dan sudah dapat
memenuhi kebutuhandasarnya seperti makan, minum memakai pakaian dan lain-lainnya,
maka masa pengasuhan telah selesai.
Manakala masa pengasuhan ini telah berakhir, apakah yang harus dilakukan si
anak ? Jika kedua orang tua sepakat untuk mengikutkan anak tinggal bersama salah
seorang dari kedua orang tua, maka kesepakatan ini dapat dilaksanakan. tetapi jika kedua
orangtua masih berselisih, maka ada dua hal yang harus diperhatikan:
Pertama, anak yang diasuh adalah laki-laki. Terkait dengan anak laki-laki yang
telah selesai masa pengasuhannya, muncul tiga pendapat dikalangan ulama:
1. Madzhab Hanafi, Ayah lebih berhak mengasuh si anak. dengan alasan bahwa jika
seorang anak laki-laki sudah bisa memnuhi kebutuhan dasarnya, maka yang ia
butuhkan adalah pendidikan dan perilaku seorang laki-laki. Dalam hal ini si ayah
lebih mampu dan lebih tepat.
2. Madzhab Maliki, Ibu lebih berhak selama si anak belum baligh.

3. Madzhab Asy-syafi’i dan Ahmad, Anak diberi kesempatan untuk memilih salah satu
diantara keduanya.

Kedua, anak yang diasuh adalah anak perempuan. Para Ulama berbeda pendapat,
Kalangan Madzhab Maliki berpendapat bahwa anak tetaptinggal bersama ibunya hingga
anaka perempuan tersebut menikah dan telah berhubungan intim dengan suaminya.
Dengan mengacu padapendapat Imam Ahmad, kalangan madzhab Hanafi berpendapat
bahwa manakala telah mengalami menstruasi anak perempuan diserahkan kepada
ayahnya. Kalangan Madzhab Hanbali berpendapat bahwa anak diserahkan kepada
ayahnya apabila telah mencapai usia 7 tahun.
Ketiga Imam madzhab sepakat bahwa anak ini tidak diberi kesempatan untuk
menentukan pilihan. Sementara itu Syafi’i berpendapat bahwa perempuan diberi
kesempatan menentukan pilihan seperti anak laki-laki dan dia berhak untuk hidup
bersama orang yang menjadi pilihannya (ayahnya atau ibunya).
Ibnu Taimiyyah lebih memilih berpendapat bahwa anak perempuan tidak diberi
kesempatan memilih. Ia bisa hidup bersama salah satu dari keduanya apabila orangtua
yang ia ikuti ini taat kepada Allah dalam mendidik anak. (Majmu Fatawa Ibnu
Taimiyyah) (Dalam abiyazid.wordpres: syarat mendapatkan hak asuh anak hadhanah).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali, sedangkan dalam pengertian


terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai
raj’i bukan cerai ba’in, dan dilaksanakan selama istri dalam masa iddah.
‘Iddah berasal dari kata al-‘add dan al-ihsha’, yang berarti hari-hari dan masa haid
yang dihitung oleh perempuan. ‘iddah menurut istilah adalah masa di mana seorang
perempuan menunggu (pada masa itu) dan tidak diperbolehkan menikah setelah kematian
suaminya, atau setelah bercerai dengan suaminya.
Imam Hanafi defenisi ihdad adalah suatu ungkapan yang didivinisikan dengan
menjahuinya seorang perempuan dari memakai harum-haruman, memakai celak, berhias,
tidak boleh menyisir rambutnya dan lainnya.
Defenisi hadhanah menurut para ahli fikih adalah aktifitas merawat anak yang masih
kecil baik laki-laki maupun perempuan, atau anak yang belum dewasa yang tidak mampu
mengurus dirinya sendiri, melakukan yang terbaik untuk dirinya, menjaga mereka dari
sesuatu yang menyakiti dan menimbulkan mudharat baginya, memberikan pendidikan baik
secara jasmani, emotional dan akalnya sampai mereka mampu berdiri sendiri dalam
menghadapi kehidupan dan memikul tanggung jawabnya.

B. Saran

 Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi perbaikan dan
kesempurnaan Makalah kami.
 Bagi para pembaca, yang ingin lebih tau pengetahuan tentang Fikih Munakahat terkhusus
tentang materi Akibat Putusnya Perkawinan dengan rendah hati untuk membaca sumber
lainnya.
 Menjadikan makalah ini sebagai sarana bagi mahasiswa dan mahasiswi untuk lebih
berfikir kreatif dan aktif.

DAFTAR PUSTAKA
Rasjid, H. Sulaiman. 2011. FIQIH ISLAM. Bandung : Sinar Baru Algensindo.

Abdurrahman, I Doi. 1992. Perkawinan dalam Syari’at Islam. Jakarta : Renika Cipta.

Abdul Fatah, Abd. Ahmadi. 1994. Fiqh Islam Lengkap. Jakarta : Rineka Cipta.

Sabiq, Sayyid. 2014. Fikh Sunnah. Jakarta : Cakrawala.


http://aliranim.blogspot.co.id/2012/04/pengertiaan-dasar-hukum-dan-syarat.html

Anda mungkin juga menyukai