Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus ini, untuk melengkapi
persyaratan Kepanitraan Klinik Senior SMF ANESTESI Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi
Medan dengan judul “ULKUS DIABETIKUM”
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada dr. Walman,
Sp.An khususnya sebagai pembimbing penulis , dan semua staff pengajar di SMF ANESTESI
Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan, serta teman-teman di Kepanitraan Klinik Senior.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini memiliki banyak kekurangan baik dari
kelengkapan teori maupun penuturan bahasa. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang dapat membangun untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Harapan penulis semoga
laporan kasus ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KESIMPULAN .................................................................................................... 16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
pada tahun 1940an. Namun, anatomi, pilihan anestesi lokal, efek fisiologis anestesi
spinal, posisi pasien, dan pendekatan anestesi spinal semuanya harus dipertimbangkan.
Kaki diabetes di Amerika Serikat merupakan penyebab utama amputasi
ekstremitas bawah nontraumatik di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo (RSUPNCM) tahun 2003, angka amputasi mencapai 25%. Adapun
angka kematiannya mencapai 16. Faktor resiko terjadinya ulkus kaki atau amputasi antara
lain laki-laki, diabetes >10 tahun, neuropati perifer, struktur kaki yang abnormal,
penyakit arteri perifer, merokok, riwayat ulkus atau amputasi dan buruknya kontrol
glikemik.
Pada pasien dengan yang akan dilakukan amputasi pada extremitas bawah
seringkali menggunakan anestesi spinal. Kaki diabetik adalah kaki yang perfusi
jaringannya kurang baik karena angiopati dan neuropati. Selain itu, terdapat pintas arteri-
vena diruang subkutis sehingga kaki tampak merah dan mungkin panas tetapi pendarahan
kaki tetap berkurang. Pada ulkus dalam atau gangren diabetik penderita tidak merasa
nyeri karena neuropati.
2
BAB II
LANDASAN TEORI
Kaki manusia terdiri atas 26 tulang dengan 29 sendi yang dikendalikan oleh
sekitar 40 otot kecil kaki dan otot tungkai. Beban yang diterima setiap inci persegi pada
telapak kaki kira-kira puluhan kilogram dan ini akan merangsang pembentukan kalus.
KAKI DIABETES
3
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling
diikuti.Hasil pengelolaan kaki diabetes sering mengecewakan baik bagi dokter pengelola
maupun penyandang DM dan kelurganya.Sering kaki diabetes berakhir dengan kecacatan
dan kematian. Sampai saat ini, di Indonesia kaki diabetes masih merupakan masalah yang
rumit dan tidak terkelola dengan maksimal, karena sedikit sekali orang berminat
menggeluti kaki diabetes.
Di Negara maju kaki diabetes memang juga masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang besar, tetapi dengan kemajuan cara pengelolaan, dan adanya klinik kaki
diabetes yang aktif mengelola sejak pengelolaan primer, nasib penyandang kaki diabetes
menjadi lebih cerah. Angka kematian dan angka amputasi dapat ditekan sampai sangat
rendah, menurun sebanyak, 49-58% dari sebelumnya tahun 2005 internasional diabetes
federation mengambil tema tahun kaki diabetes mengingat pentingnya pengelolaan kaki
diabetes untuk dikembangkan.
2.2 DEFINISI
Kaki diabetik adalah infeksi, ulserasi, dan destruksi jaringan ikat dalam yang
berhubungan dengan neuropati dan penyakit vaskuler perifer pada tungkai bawah.
Kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes melitus yang tidak terkendali dengan baik
yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah, gangguan persyarafan dan infeksi.
2.3 PATOFISIOLOGI
4
masing memegang peranan pada terjadinya luka kaki. Paralisis otot kaki menyebabkan
perubahan keseimbangan sendi kaki, perubahan cara berjalan, dan akan menimbulkan
titik tekan baru pada telapak kaki sehingga terjadi kalus di tempat itu. Gangguan sensorik
menyebabkan mati rasa setempat dan hilangnya perlindungan terhadap trauma sehingga
penderita mengalami cedera tanpa di sadari. Akibatnya, kalus dapat berubah menjadi
ulkus yang bila disertai infeksi berkembang menjadi selulitis dan berakhir dengan
gangren .
Gangguan saraf otonom mengakibatkan hilangnya sekresi kulit sehingga kulit kering
dang mudah mengalami luka yang sukar sembuh. Infeksi dan luka yang sukar sembuh
dan mudah mengalami nekrosi diakibatkan kaki berbatkan oleh tiga faktor:
1 Angiopati arterol yang menyebabkan perfusi jaringan kaki kurang baik sehingga
mekamisme radang jadi tidak efektif.
2 Lingkungan gula darah yang subur untuk perkembangan bakteri patogen.
3 Terbuktinya pintas arteri-vena di subkutis, aliran nutrien akan memintas tempat infeksi
dikulit.
5
2.4 KLASIFIKASI
Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari yang sederhana seperti
klasifikasi Edmonds dari King’s college Hospital London, klasifikasi Liverpool yang
sedikit lebih ruwet, sampai klasifikasi wagner yang lebih terkait dengan pengelolaan kaki
diabetes, dan juga klasifikasi texas yang lebih kompleks tetapi juga lebih mengacu
kepada pengelolaan kaki diabetes. Suatu klasifikasi mutakhir dianjurkan oleh
internasional.
Adanya klasifikasi kaki diabetes yang dapat diterima semua pihak akan
mempermudah para peneliti dalam membandingkan hasil penelitian dari berbagai tempat
di muka bumi. Dengan klasifikasi PEDIS akan dapat ditentukan kelainan apa yang lebih
dominan, vaskular, infeksi atau neuropatik, sehingga arah pengelolaan pun dapat teruju
dengan lebih baik. Misalnya suatu ulkus gangren dengan critical limb ischemia (p3) tentu
lebih memerlukan tindakan untuk mengevaluasi dan memperbaiki keadaan vaskularnya
dahulu.Sebaliknya kalau faktor infeksi menonjol (14), tentu pemberian antibiotic harus
adekuat.Demikian juga kalau faktor mekanik yang dominan (insensitive foot, S2), tentu
koreksi untuk mengurangi tekanan plantar harus diutamakan.
Suatu klasifikasi lain yang juga sangat praktis dan sangat erat dengan pengelolaan
adalah klasifikasi yang berdasar pada perjalanan alamiah kaki diabetes (Edmonds 2004-
2005)
6
Wagner Keterangan
0 Kulit intak/utuh
1 Tukak superfisal
2 Tukak yang meluas ke ligament, tendon, kapsul sendi, atau fascia dengan tanpa
Berdasarkan tindakan bedah khusus diperlukan dalam pengolaan kaki diabetik ini, sesuai
indikasi dan derajat lesi yang dijumpai seperti :
a. Insisi : abses atau selulitis yang luas
b. Eksisi : pada kaki diabetik derajat I dan II
c. Debridement/nekrotomi: pada kaki diabetik derajat II, III, IV dan IV
d. Mutilasi : pada kaki diabetik derajat IV dan V
e. Amputasi : pada kaki diabetik derajat V
Untuk stage 1 dan 2 peran pencegahan primer sangat penting, dan semuanya dapat
dikerjakan pada pelayanan kesehataan primer, baik oleh podiatrist/ chiropodist maupun
oleh dokter umum/ dokter keluarga.
7
Untuk stage 3 dan 4 kebanyakan sudah memerlukan perawatan di tingkat pelayanan
kesehatan yang lebih memadai umumnya sudah memerlukan pelayanan spesialistik.
Untuk stage 5, apalagi stage 6, jelas merupakan kasus rawat inap, dan jelas sekali
memerlukan suatu kerja sama tim yang sangat erat, dimana harus ada dokter bedah,
utamanya doker ahli bedah vaskular/ bedah plastic dan rekonstruksi.
Untuk optimalisasi pengelolaan kaki diabetes, pada setiap tahap harus diingat
berbagai faktor yang harus dikendalikan, yaitu :
Pada tahap yang berbeda diperlukan optimalisasi hal yang berbeda pula. Misalnya
pada stadium 1 dan 2 tentu saja faktor wound control dan infection control belum
diperlukan, sedangkan untuk stadium 3 dan selanjutnya, tentu semua faktor tersebut harus
dikendalikan, peran rehabilitas medis dalam usaha mencegah terjadinya ulkus dengan
usaha mendistribusikan tekanan plantar kaki memakai alas kaki khusus, serta berbagai
usaha untuk non- weigh bearing lain merupakan contoh usaha yang sangat bermanfaat
untuk mengurangi kecacatan akibat deformitas yang terjadi pada kaki diabetes.
8
Gangren diabetik akibat mikroangiopati disebut juga gangren panas karena
walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh peradangan,
dan biasanya teraba pulsasi arteri dibagian distal. Biasanya terdapat ulkus diabetik pada
telapak kaki.
1. Pain (nyeri)
2. Paleness (kepucatan)
3. Parestesia (kesemutan)
5. Paralisis (lumpuh)
9
2.6 DIAGNOSIS
FAKTOR RISIKO
Stop merokok
Memperbaiki berbagai faktor risiko terkait aterosklerosis
Hiperglikemia
Hipertensi
Dislipidemia
Walking program-latihan kaki merupakan dominan usaha yang dapat diisi oleh
jajaran rehabilitas medik.
2.7 TATALAKSANA
Pengobatan kelainan kaki diabetik terdiri atas pengendalian diabetes dan
penanganan kelainan kaki. Pengendalian kaki diabetes melitus harus disertai upaya
memperbaiki keadaan umum penderita dengan nutrisi yang memadai dan pemberian
antiagregasi trombosit serta, kalau perlu hipolipidemik, dan antihipertensi. Antibiotik pun
diberikan bila ada infeksi. Pilihan antibiotik dapat berupa golongan penisilin sprektum
luas, golongan kloksasilin /dikloksasilin untuk terapi vaskulitis dan golongan yang aktif
terhadap kuman anaerob, seperti klindamisin atau metronidazole. Obat lokal, seperti
solution, salep, atau krim, diberikan setelah luka dicuci dengan cairan antiseptik.
Terapi bedah untuk kaki dapat terdiri atas tindak bedah kecil, seperti insisi dan
penyaliran abses, debrideman, dan nekrotomi.Prinsipnyan ialah mengeluarkan semua
jaringan nekrotik untuk maksud eliminasi infeksi sehingga luka dapat sembuh.Amputasi
dilakukan berdasarkan indikasi yang tepat.Tindakan bedah vaskular, misalnya
embolektomi, endarteriektomi, atau rekonstruksi vaskular kadang dilakukan.Prioritas
tinggi harus diberikan kepada pencegahan kelainan kaki yaitu:
10
Pencegahan primer
11
untuk melindungi kaki yang sensitif tersebut. Jika sudah ada deformitas (kategori risiko 2
dan 5), perlu perhatian khusus mengenai sepatu/alas kaki yang dipakai, untuk meratakan
penyebaran tekanan pada kaki.
Untuk kasus dengan kategori risiko 4 (permasalahan vaskular), latihan kaki perlu
diperhatikan benar untuk memperbaiki vaskularisasi kaki. Untuk ulkus yang complicated,
tentu saja semua usaha dan dana seyogyanya perlu dikerahkan untuk mencoba
menyelamatkan kaki dan usaha ini masuk ke usaha pencegahan sekunder yang akan
dibahas lebih lanjut di bawah ini.
Pencegahan sekunder
Untuk pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang optimal, berbagai hal dibawah ini
merupakan penjabaran lebih rinci dari keenam aspek tersebut pada tingkat pencegahan
sekunder dan tersier, yaitu pengelolaan optimal ulkus/ gangren diabetik.
12
faktor tersebut tentu akan dapat menghambat kesembuhan luka sekiranya tidak
diperhatikan dan tidak diperbaiki.
TERAPI FARMAKOLOGIS
Mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada kelainan akibat
aterosklerosis di tempat lain (jantung, otak), mungkin obat seperti aspirin dan lain
sebagainya yang jelas dikatan bermanfaat, dan akan bermanfaat pula untuk pembuluh darah
kaki penyandang DM. tetapi sampai saat ini belom ada bukti yang cukup kuat untuk
menganjurkan pemakain obat secara rutin guna memperbaiki potensi pada penyakit
pembuluh darah kakin penyandang DM.
Wound control. Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal
yang harus dikerjakan dengan baik dan teliti.Evalusi luka harus dikerjakan secermat
mungkin.Klasifikasi ulkus PEDIS dilakukan setelah debridemen yang adekuat. Saat ini
banyak sekali macam dressing (pembalut) yang masing-masing dapat di manfaat kan suai
dengan keadaan luka, dan juga letak luka tersebut. dressing yang mengandung komponen
zat penyerap seperti carbonated dressing, alginate dressing akan bermanfaat pada keadaan
luka yang masih produktif. Demikian pulak hydrophilic fiber dressing ata silver
impregnated dressing akan dapat bermanfaat untuk luka produktif dan terinfeksi. Tetapi
jagan lupa bahwa tindakan debridemen yang adekuat merupakan syarat mutlak yang harus
dikerjakan dahulu sebelum menilai dan mengklasikasikan luka. Debridement yang baik dan
adekuat tentu akan sangat membantu mengurangi jaringan nekritik yang harus dikeluarkan
13
tubuh, dengan demikian tentu akan sangat mengurangi produksi pus/ cairan dari
ulkus/gangrene.
Berbagai terapi topical dapat di manfaatkan untuk mengurangi mikroba pada luka,
seperti cairan salin sebagai pembersih luka, atau yodine encer, senyawa silver sebagai
bagian dari dressing. Demikian pulak berbagai cara debridemen non surgical dapat di
manfaatkan untuk mempercepat pembersihan jaringan nekrotik luka, seperti preparat ezim.
Jika luka sudah lebih baik dan tidak ter infeksi lagi, dressing seprti
hydrocolloid/dressing yang dapat dipertahankan beberapa hari dapat digunakan.Tentu saja
untuk kesembuhan luka kronik seperti pada luka kaki diabetes, suasana sekitar luka yang
kondusif untuk penyembuhan harus dipertahankan. Yakin kan bahwa luka selalu dalam
keadaan optimal, dengan demikian penyembuhan luka akan terjadi sesuai dengan tahapan
yang harus selalu dilewati dalam rangka proses penyembuhan.
Selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka tidak akan beranjak
pada proses lanjutnya yaitu proses granulasi dan kemudian epitelialisasi. Untuk menjaga
suasana kondusif bagi kesembuhan luka dapat pulak dipakai kasa yang dibasahi dengan
salin.Cara tersebut saat ini dipakai dibanyak sekali tempat perawatan kaki diabetes.
Berbagai sarana dan penemuan baru dapat dimanfaatkan utuk wound control
seperti: dermagraft, apligraft, growth pactor, protease inhibitor dsb, untuk mempercepat
kesembuhan luka. Bahkan ada dilaporkan terapi gen untuk mendapatkan bakteri E.coli
yang dapat menghasilkan berbagai faktor pertumbuhan. Ada pulak dilaporkan pemakaian
maggot(belatung), lalat (lalat hijau), untuk membntu membersihkan luka. Berbagai laporan
tersebut umumnya belum berdasar penelitian besar dan belum cukup terbukti secara luas
untuk dapat diterapkan dalam pengelolaan rutin kaki diabetes.
14
2.2 Anestesi Spinal
2.2.1 Anatomi Vertebra
Kolumna vertebra terdiri dari 33 vertebra, 7 vertebra servikalis, 12 vertebra
thorakalis, 5 vertebra lumbalis, 5 vertebra sakrum, dan 4 coccygeus kolumna vertebralis
biasanya berisi tiga kurva. Kurva servikalis dan lumbalis bersifat melengkung ke anterior
dan kurva thorakalis berbentuk melengkung ke posterior. Bentuk kolumna vertebralis
mempengaruhi penyebaran anestesi di ruang subarachnoid.2
15
Gambar 2. Ligamentum-ligamentum2
16
Saat melakukan anestesi spinal dengan menggunakan pendekatan garis tengah,
lapisan yang dilalui (dari posterior ke anterior) adalah kulit, lemak subkutan, ligamentum
supraspinosus, ligamentum interspinosus, ligamentum flavum, duramater, ruang
subdural, arachnoidmater, dan ruang subarachnoid.2
Panjang sumsum tulang belakang bervariasi sesuai usia. Pada trimester pertama,
sumsum tulang belakang meluas sampai keujung kolumna vertebra, namun seiring
bertambahnya usia janin, kolumna vertebra lebih panjang dari pada sumsum tulang
belakang. Saat lahir, sumsum tulang belakang berakhir pada kira-kira lumbal 3.2
Posisi conus medullaris, cauda equina, termination of the dural sac, filum
terminale. Panjang sumsum tulang belakang harus selalu diingat saat anestesi neuraksial
dilakukan, kerena injeksi dapat menyebabkan kerusakan pada saraf dan mengakibatkan
paralysis.2
Saraf spinal didaerah servikal dinamai sesuai dengan bagian atas tempat keluar
vertebra servikalis. Namun, saraf servikalis ke 8 keluar dari bawah vertebra servikalis ke
7, dan penamaannya berlanjut hingga daerah thorakalis dan lumbalis.2
Dermatom adalah area kulit yang diinervasi oleh serat sensorik dari satu saraf
tulang belakang. Dermatom thorakalis ke 10 (T10) sesuai dengan umbilikus, dermatom
thorakalis ke 6 (T6) xipoideus dan dermatom thorakalis ke 4 (T4) papila mamae.2
17
Prosedur Dermatom
Operasi perut bagian atas T4
Operasi Usus, Ginekologi dan urologi T6
Reseksi Transurethral pada prostat
Melahirkan, dan Operasi daerah pinggul T10
Operasi pada paha dan amputasi kaki bagian L1
bawah
Operasi kaki dan pergelangan kaki L2
Operasi Perineum dan anal S2 sampai S5
18
Banyak serabut neuron pasca ganglion dari rantai simpatis berjalan kembali
kesaraf spinal melalui rami grisea pada semua tingkat medulla spinalis dan berjalan
keseluruh bagian tubuh melalui saraf skeletal. Mereka mengatur pembuluh darah,
kelenjar keringat dan otot erektor rambut. Distribusi segmental dari saraf simpatis.5
Distribusi saraf simpatis ketiap organ sebagian ditentukan oleh posisi didalam
embrio, dimana organ tersebut berasal. Jantung menerima banyak saraf simpatis dari
rantai simpatis servikal karena jantung berasal dari dalam leher embrio, demikian pula
abdomen menerima persarafan simpatis dari segmen torakal bahwa karena usus primitif
berasal dari daearah torakal bawah.5
Serabut saraf simpatis pra ganglion yang berjalan tanpa sinaps, sepenuhnya dari
sel kornu intermedio lateral medula spinalis melalui rantai simpatis, saraf splanknik, dan
akhirnya medulla adrenal dan berakhir langsung di sel – sel khusus yang mengsereksi
epinefrin dan norepinefrin. Sel sekretor ini embriologis berasal dari jaringan saraf dan
dapat disamakan dengan neuron pasca ganglion.5
b. Anatomi Saraf Para Simpatis
Serabut saraf – saraf parasimpatis meninggalkan sistem saraf pusat melalui
beberapa saraf kranial, saraf spinal sakral kedua, tiga dan keempat.5
Serabut para simpatis di dalam nervus ketiga berjalan ke spingter pupil dan otot
siliaris mata. Serabut nervus ketujuh berjalan ke kelenjar lakrimalis, nasal, dan sub
maksilaris. Serabut nervus kesembilan berjalan ke kelenjar parotis. Nervus vagus
mensuplai saraf parasimpatis kejantung paru – paru, esofagus, lambung, usus halus,
separuh proksimal kolon, hati, kandung empedu, pancreas dan bagian atas ureter. Serabut
paras simpatis sakral dalam bentuk nervi erigentes, meninggalkan pleksus sakral dan
menyebar ke kolon desendens, rektum, kandung kemih dan bagian ureter bawah, juga
mensuplai serabutnya kegenitalia eksterna untuk menyebabkan berbagai reaksi seksual.
Sistem parasimpatis seperti sistem mempunyai neuron pra ganglionik dan paska
ganglionik.5
Kecuali dalam beberapa hal saraf para simpatis kranial, serabut saraf para
ganglionik berjalan keorgan yang harus dirangsang oleh implus para simpatis. Didalam
dinding organ tersebut terdapat neuron pasca ganglion parasimpatis. Serabut pra
gangliogenik parasimpatis. Serabut pra ganglion bersinaps dengan neuron –neuron ini,
19
kemudian serabut serabut pasca ganglionik yang pendek dengan panjang 1 milimeter
sampai beberapa sentimeter, meninggalkan neuron menyebar kedalam organ.5
20
2.2.3 Analgesia Regional
2.2.3.1 Pembagian Anestesia atau Analgesia Regional6
a. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.
b. Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional
intra vena, dan lainnya.
21
c. Hipovolemia berat, syok
d. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
e. Tekanan intrakranial meninggi
f. Fasilitas resusitasi minim
g. Kurang pengalaman / tanpa didampingin konsultan anastesia
22
b. Pemeriksaan fisik
Tinggi dan berat badan untuk mmemperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan dan jumlah urin selama dan pasca bedah.
Kesadaran umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan darah, frekuensi nadi,
pola dan frekuensi pernafasan.
Pemeriksaan saluran pernafasan; batuk-batuk, sputum, sesak nafas, tanda-tanda
sumbatan jalan nafas, pemakaian gigi palsu, trismus, persendian temporo
mandibula.
Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskuler; dispnu atau ortopnu, sianosis,
hipertensi
Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang dapat membuat
tekanan intra abdominal meningkat sehingga dapat menyebabkan regurgitasi.
c. Pemeriksaan laboratorium
Darah : Hb, leukosit, golongan darah, hematokrit, masa pembekuan, masa
perdarahan, hitung jenis leukosit
Urine : protein, reduksi, sedimen
Foto thoraks
EKG : terutama pada pasien diatas 40 tahun karena ditakutkan adanya iskemia
miokard
Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru
Fungsi hati pada pasien ikterus
Fungsi ginjal pada pasien hipertensi
Analisa gas darah, elektrolit pada ileus obstruktif
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien
dalam keadaan bugar, sedangkan pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
23
2.3.6.3. Merencanakan prognosis
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang berasal dari The
American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi sebagai berikut :
ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan dan sedang
ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas
ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat yang tak dapat melakukan aktivitas rutin
dan penyakit merupakan ancaman kehidupannya setiap saat
ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dangan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak
akan lebih dari 24 jam
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.
24
bahkan pasien cukup sadar untuk melaporkan parestesia selama prosedur. Nyeri yang
persisten atau parestesia dengan penusukan jarum atau injeksi anestetik dapat
menggambarkan trauma akar saraf.
Anestesi spinal dapat dilakukan pada posisi duduk, lateral dekubitus atau posisi
prone. Walaupun posisi duduk lebih mudah untuk mendapatkan fleksi vertebra, pasien
menjadi lelah bahkan membutuhkan bantuan. Setiap melakukan tindakan tersebut
operator dan asisten harus memberitahu pasien setiap langkah yang diambil untuk
mendapatkan keadaan yang stabil. Setelah posisi ditentukan , identifikasi tempat
penusukan. Pencegahan untuk menghindari infeksi termasuk tehnik aseptic, kulit
dibersihkan dengan larutan bakterisidal, penutup steril, sarung tangan dan secara hati-
hati memperhatikan indicator sterilisasi termasuk perlengkapan spinal. Untuk mncegah
kesalahan pemberian obat atau dosis, identifikasi label dan konsentrasi diperhatikan
dengan hati-hati.
Posisi lumbal punksi ditentukan sesuai dengan kesukaan penderita, letak daerah
operasi dan densitas larutan anestetik local. Vertebra lumbal difleksikan untuk
melebarkan ruang procesus spinosus dan memperluas rongga interlamina. Pada posisi
prone, menempatkan bantal dibawah panggul untuk membantu fleksi vertebra lumbal.
25
Saat lahir medulla spinalis berkembang sampai L4, setelah umur 1 tahun medulla
spinalis berakhir pada L1-L2. Jadi blok spinal dibuat dibawah L2 untuk menghindari
resiko kerusakan medulla spinalis. Garis penghubung yang menghubungkan Krista
iliaca memotong daerah interspace L4-5 atau procesus spinosus L4.
Pendekatan median lebih sering digunakan. Jari tengah tangan operator non
dominan menetukan titik interspace yang dipilih, kulit yang menutupi interspace
diinfiltrasi dengan anestesi local menggunakan jarum halus. Jarum spinal ditusukkan
pada garis tengah secara sagital, mengarah ke cranial (10o) menghadap ruang interlamina.
Penusukan keruang sub arachnoid melewati kulit, jaringan sub cutan, ligamentum
supraspinosus, ligamentum interspinosus dan ligamentum flavum. Ketika ujung jarum
mendekati ligamentum flavum terdapat peningkatan tahanan disertai perasaan poping,
saat itu jarum menembus duramater dengan kedalaman 4-7 cm. Jika ujung jarum
26
menyentuh tulang harus ditarik kembali secukupnya untuk membebaskan dari ligametum,
sebelumnya diarahkan kearah cranial atau kaudal.
Setelah itu stylet ditarik, CSS mengalir dari jarum secara bebas.Jika CSS
bercampur darah hendaknya dibersihkan secepatnya; kemungkinan ini jarum mengenai
vena epidural. Setelah yakin aliran CSS ahli anestesi memegang jarum dengan tangan
yang bebas , dengan menahan belakang pasien, ibu jari dan telunjuk memegang pangkal
jarum, dan menghubungkan dengan spoit yang telah berisi larutan anestetik. Aspirasi
CSS untuk meyakinkan ujung jarung tetap dalam CSS. Injeksi dengan cepat
menggunakan jarum kecil memudahkan bercampurnya anestesi dengan CSS, ini
memudahkan penyebaran larutan dengan CSS dan menurunkan perbedaan densitas
antara larutan dengan CSS. Injeksi yang sangat lambat (2 atau 3 ml dalam semenit atau
lebih) mengurangi efeknya .setelah injeksi obat aspiarasi lagi CSS untuk lebih
menyakinkan posisi jarum.
Bila pendekatan midline tidak berhasil seperti orang tua dengan kalsifikasi
ligamentum atau pasien kesulitan posisi karena keterbatasan fleksi lumbal. Jarum
ditusukkan kira-kira 1-1,5 cm dilateral garis tengah pada bagian bawah procesus spinosus
dari interspace yang diperlukan. Jarum ditusukkan kearah median dan ke cephal
menembus otot-otot paraspinosus. Jika jarum mengenai tulang berarti mengenai lamina
ipsilateral dan jarum diposisikan kembali ke arah superior atau inferior masuk ruang sub
arachnoid.
Pendekatan selain midline atau paramedian adalah pendekatan lumbosakral
(taylor), yang digunakan interspace columna vertebralis pada L5-S1. identifikasi spina
iliaca posterior superior dan kulit, dimulai 1 cm kemedian dan 1 cm inferior ketitik
tersebut. Jarum diarahkan kemedial dan ke superior sampai masuk ke kanalis spinalis
pada midline L5-S1.
27
digunakan. Ujung jarum quincle yang runcing menebus dengan mudah .untuk menjamin
posisi yang tepat mengalirnya CSS dilihat pada 4 kwadran dengan memutar jarum.
Tidak seperti jarum dengan bevel tajam, jarum bentuk pensil mempunyai ujung
berbentuk tapering dengan lubang disamping. Untuk insersi dibutuhkan tenaga yang
lebih.Contoh jarum bentuk pensil adalah Sprotte, Whitacre dan Gertie Marx.Perbedaan
antara kedua jarum tersebut adalah ukuran dan letak lubang dilateral.Meskipun lebih
mahal dari pada bevel tajam, jarum ini kurang menyebabkan kerusakan pada duramater
dan lebih sedikit mengakibatkan sakit kepala post anesthesia spinal.
Penentuan jenis jarum lebih banyak ditentukan oleh usia. Walaupun harga yang
lebih mahal jarum pensil point, lebih bagus bagi penderita yang mempunyai resiko yang
besar terhadap sakit kepala post anesthesia spinal.
a. Anestetik local
Semua anestetik local efektif untuk anesthesia spinal.Criteria yang digunakan
untuk memilih obat adalah lamanya operasi. Tetrakain dan buvipakain biasanya
dipilih untuk operasi yang lebih lama dari 1 jam dan lidokain untuk operasi-operasi
yang kurang dari 1 jam, walaupun durasi anestesi spinal tergantung pula pada
penggunaan vasokonstriktor, dosis serta distribusi obat.
Dalam menentukan dosis yang digunakan untuk anesthesia spinal, variable
individual pasien tidak merupakan kepentingan yang besar. Pada umumnya lebih
banyak anestetik local akan menghasilkan anestesi yang lebih luas.
28
Tabel 1. Obat-obat anestesi lokal untuk anesthesia spinal
b. Vasokonstriktor
Lamanya blok dapat ditingkatkan 1-2 jam dengan penambahan larutan
vasokonstriktor kelautan yang diinjeksikan kedalam CSS. Baik epinefrin (0,1-0,2 mg)
maupun phenyleprine (1,0-4,0 mg) memperpanjang durasi anestesi spinal. Obat-obatan
tersebut menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang mensuplay dura dan medulla
spinalis, mengurangi absorbsi vascular dan eliminasi anestetik local.Penambahan untuk
mengurangi aliran darah, vasokonstriktor menekan secara langsung efek antinoceftif
terhadap medulla spinalis.
c. Opioid
Dalam dekade terakhir ini, ahli anestesi telah menggunakan opioid subarachnoid
untuk memperbaiki kwalitas dari blok sensomotoris dan untuk analgesia postoperative.
Kerja narkotik subarachnoid adalah pada reseptor opiod didalam medulla spinalis.
Morpin (0,1-0,2 mg) menghasilkan analgesia signifikan yang baik pada periode
postoperative, sebagaimana Fentanyl (25-37,5 mikrogram) dan subfentanyl (10
mikrogram) . efek samping narkotik subarachnoid termasuk pruritus, nausea, dan depresi
pernapasan.
29
Tabel 2.Opioid Dalam ruang subarachnoid.
Obat Dosis. Lama kerja.
Morfin 0,1 – 0,2 mg 8 – 24 jam
Fentanyl 25 – 50 mg 1 – 2 jam
Subfentanyl 5 – 10- mg 2 – 3 jam
30
Larutan hypobarik dapat digunakan ketika pasien pada posisi supine, pada posisi jack-
knife untuk operasi rectum, perineum, dan anus, atau pada posisi lateral dekubitus.
Kenutungan larutan hypobarik bahwa kemiringan meja operasi dengan kepala dibawah
mengurangi pengumpulan darah ditungkai, juga membantu mencegah pemyebaran
anestesi local kearah kepala.
31
2.3.7.4.Komplikasi Anestesi Spinal2,6,7
32
berat dan jika tidak ditolong akan terjadi henti jantung
Penanganan :
Usahakan jalan napas tetap bebas, kadang diperlukan bantuan napas lewat face
mask
Jika depresi pernapasan makin berat (blok motor C3-5 dengan paralysis nervus
phrenikus)perlu segera dilakukan intubasi endotrakeal dan control ventilasi untuk
menjamin oksigenasi yang adekuat
Bantuan sirkulasi dengan dekompresi jantung luar diperlukan bila terjadi henti
jantung
Pemberian cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB diperlukan untuk mencegah hipotensi
Jika hipotensi tetap terjadi atau jika pemberian cairan yang agresif harus dihindari
maka pemberian vasopresor merupakan pilihan seperti adrenalin dan sulfas
atropin
c. Henti jantung
Henti jantung yang tiba-tiba telah dilaporkan pada pasien yang mendapatkan
spinal anestesi. Pasien yang mendapat sedatif dan hipotensi sampai tejadinya henti
jantung yang tiba-tiba terbukti sulit untuk diterapi. Respon kardiovaskuler terhadap
hiperkarbia dan hipoksia kerana sedatif dan narkotik mengakibatkan pasien tidak
mempunyai respon terhadap hipoksemia yang progresif, asidosis dan hiperkarbia.
Henti jantung dapat dihindari dengan beberapa langkah sebagai berikut: pertama
opioid harus digunakan dengan perhatian yang tinggi selama anestesi spinal. Kedua,
semua pasien yang menjalani anestesi spinal dibutuhkan suplemen oksiegen dan
pemantauan dengan pulse oxymetri. Ketiga, hipotensi dan bradikardi dibutuhkan terapi
segera untuk memelihara curah jantung. Keempat, seharusnya pasien yang mengalami
episode hipotensi dan henti jantung yang tiba-tiba merupakan indikasi segera dan tepat
mendapatkan terapi oksigen, hiperventilasi, epinefrin dosis tinggi (0,1-1 mg) dan sodium
bikarbonat jika ada indikasi.
33
d. Mual dan muntah
Mual selama anestesi spinal biasa terjadi oleh karena hipoperfusi serebral atau
tidak terhalanginya stimulus vagus usus.Biasanya mual adalah tanda awal hipotensi.
Bahkan blok simpatis mengakibatkan tak terhalangnya tonus parasimpatis yang
berlebihan pada traktus gastrointestinal.
Mual dan muntah umumnnya, dapat terjadi karena :
Hipotensi
Adanya aktifitas parasimpatis yang menyebabkan peningkatan peristalyik usus
Tarikan nervus dan pleksus khususnya N vagus
Adanya empedu dalam lambungoleh karena relaksasi pylorus dan spincter ductus
biliaris
Factor psikologis
Hipoksia
Penanganan :
Untuk menangani hipotensi : loading cairan kristaloid atau koloid 10-20 ml/kgBB
kristaloid
Pemberian bolus efedrin 5-10 mg IV
Oksigenasi yang adekuat untuk mengatasi hipoksia.
Dapat juga diberikan anti emetik.
Atropin dapat memperbaiki refleks mual dimana tekanan darah dan curah jantung
telah diperbaiki.
e. Parestesia
Parestesia dapat terjadi selama penusukan jarum spinal atau saat menginjeksikan
obat anestetik.Pasien mengeluh sakit atau terkejut singkat pada ektremitas bawah, hal ini
disebabkan jarum spinal mungkin mengenai akar saraf. Jika pasien merasakan adanya
parestesia persiten atau paresthesia saat menginjeksikan anesthetik local, jarum harus
digerakkan kembali dan ditempatkan pada interspace yang lain untuk mengcegah
kerusakan yang permanen. Ada atau tidaknya paresthesia dicatat pada status anesthesia.
34
Komplikasi lanjut
a. Post dural Puncture Headache (PDPH)
Sakit kepala yang terjadi setelah punksi dura disebut spinal headache atau post-
dural puncture headache (PDPH), telah dilukiskan oleh Bier thn. 1898. CSS keluar dari
ruang subarachnoid melalui punksi dura, menyebabkan tarikan pada struktur vaskuler
yang sensitive terhadap sakit. Sakit kepala diperburuk oleh sikap berdiri atau duduk dan
terasa berkurang dengan terlentang . Rasa sakit tersebut dirasakan di frontal, occipital
atau keduanya dan mungkin disertai dengan gejala seperti tinitus atau diplopia. Walupun
ini terjadi segera setelah punksi dura, tapi bisanya setelah 24-72 jam.
Kejadian PDPH lebih banyak terjadi pada pasien muda dan wanita. Kecepatan
hilangnya CSS cenderung bergantung pada bentuk ukuran lubang pada dura dan dengan
demikian kemungkinan terjadinya sakit kepala lebih berat. Menggunakan jarum ukuran
kecil (24G atau lebih kecil) penting untuk pasien dibawah umur 50 tahun.Jarum spinal
dengan bagian ujung bulat atau tumpul, membentuk robekan yang lebih kecil dan
penyembuhan lebih cepat.
Terapi sakit kepala bisanya dimulai dengan tindakan konservatif.Hidrasi intravena
atau oral meningkatkan produksi CSS dan mengganti CSS yang hilang. Walaupun pasien
dengan PDPH akan lebih senang jika terlentang, istirahat ditempat tidur tidak dapat
mencegah sakit kepala. Cafein intravena atau oral mungkin dapat membantu.Pengikatan
perut dapat meningkatkan tekanan ruang epidural, karena itu megurangi bocornya CSS.
Terapi definitive untuk PDPH adalah menyumbat epidural dengan darah.Tahun
1960 Gormley mencatat bahwa pasien dengan perdarahan selama lumbal punksi memiliki
insiden yang kurang terjadinya PDPH. Dengan postulat ini bekuan darah dapat menutup
lubang dura dan mencegah bocornya CSS, ia memperlihatkan dengan sukses , untuk
membebaskan sakit kepala , darah tersebut ditempatkan didalam ruang epidural. Untuk
mendapatkan suatu penyumbatan epidural oleh darah, 10-20 ml darah sendiri yang steril
di injeksikan perlahan keruang epidural. Dengan komplikasi pada umumnya adalah “
transient back pain”. Penyumbatan dengan darah efektif lebih dari 95 % pasien.
35
Pencegahan dan Penanganan :
Hidrasi dengan cairan yang kuat.
Gunakan jarum sekecil mungkin (dianjurkan < 24) dan menggunakan jarum non
cutting pencil point
Hindari penusukan jarum yang berulang-ulang
Tusukan jarum dengan bevel sejajar serabut longitudinal durameter
Mobilisasi seawal mungkin.
Gunakan pendekatan paramedian
Jika nyeri kepala tidak berat dan tidak mengganggu aktivitas maka hanya
diperlukan terapi konservatif yaitu bedrest dengan posisi supine, pemberian cairan
intravena maupun oral, oksigenasi adekuat
Pemberian sedasi atau analgesi yang meliputi pemberian kafein 300 mg peroral
atau kafein benzoate 500 mg IV atau IM, asetaminofen atau NSAID
Hidrasi dan pemberian kafein membantu menstimulasi pembenntukan LCS
Jika nyeri kepala menghebat dilakukan prosedur khusus Epidural Blood Patch
o Baringkan pasien seperti prosedur epidural.
o Ambil darah vena antecubiti 10-15 ml.
o Dilakukan pungsi epidural kemudian masukan darah secara pelan-pelan.
o Pasien diposisikan supine selama 1 jam kemudian boleh melakukan
gerakan dan mobilisasi.
o Selama prosedur pasien tidak boleh batuk dan menghejan.
36
Relaksasi otot yang berlebih pada posisi litotomi dapat menyebabkan ketegangan
ligamentum lumbal selama spinal anestesi. Rasa sakit punggung setelah spinal anestesi
sering terjadi tiba-tiba dan sembuh dengan sendirinya setelah 48 jam atau dengan terapi
konservatif. Adakalanya spasme otot paraspinosus menjadi penyebab.
Dapat diberikan penanganan dengan istirahat, psikologis, kompres panas pada
daerah nyeri dan analgetik antiinflamasi yang diberikan dengan benzodiazepine akan
sangat berguna.
d. Meningitis
Munculnya bakteri pada ruang subarakhnoid tidak mungkin terjadi jika
penanganan klinis dilakukan dengan baik. Meningitis aseptic mungkin berhubungan
dengan injeksi iritan kimiawi dan telah dideskripsikan tetapi jarang terjadi dengan
peralatan sekali pakai dan jumlah larutan anestesi murni local yang memadai.
Pencegahan
Dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat dan obat-obatan yang betul-betul
steril
Menggunakan jarum spinal sekali pakai
Pengobatan dengan pemberian antibiotika yang spesifik
e. Retensi urine
Proses miksi tergantung dari utuhnya persarafan dari spincter uretra dan otot-otot
kandung kencing. Setelah anestesi spinal fungsi motor dan sensoris ekstremitas bawah
37
pulih lebih cepat dari fungsi kandung kencing, khususnya dengan obat anestesi spinal
kerja cepat seperti tetracain atau bupivacain. Lambatnya fungsi saraf pulih dapat
mengakibatkan retensi urine dan distensi kandung kencing.Untuk prosedur yang lebih
lama dan pemberian cairan intravena yang banyak, pemasangan kateter kandung kencing
mencegah komplikasi ini.
f. Spinal hematom
Meski angka kejadiannnya kecil, spinal hematom merupakan bahaya besar bagi
klinis karena sering tidak mengetahui sampai terjadi kelainan neurologist yang
membahayakan. Terjadi akibat trauma jarum spinal pada pembuluh darah di medulla
spinalis. Dapat secara spontan atau ada hubungannnya dengan kelainan neoplastik.
Hematom yang berkembang di kanalis spinalis dapat menyebabkan penekanan medulla
spinalis yang menyebabkan iskemik neurologist dan paraplegi
Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnya meliputi :
Mati rasa
Kelemahan otot
Kelainan BAB
Kelainan sfingter kandung kemih
Sakit pinggang yang berat
Factor resikonya berupa abnormalitas medulla spinalis, kerusakan hemostasis, kateter
spinal yang tidak tepat posisinya, kelainan vesikuler, penusukan berulang- ulang. Apabila
ada kecurigaan maka pemeriksaan MRI, myelografi harus segera dilakukan dan
dikonsultasikan ke ahli bedah saraf. Banyak perbaikan neurologist pada pasien spinal
hematom yang segera mendapatkan dekompresi pembedahan (laminektomi) dalam
waktu 8-12 jam.
g. Kerusakan saraf
Trauma saraf setelah anestesi spinal adalah jarang tapi dapat terjadi akibat trauma
mekanik dan kimiawi.Kerusakan langsung pada akar saraf mungkin disebabkan oleh jarum,
mengakibatkan radikulopati dengan defisit motoris atau sensoris sepanjang distribusi akar
saraf. Kerusakan ini bisanya membaik dalam 2-12 minggu.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. American Diabetes Association. Peripheral Arterial Disease in People with Diabetic foot.
Medicine Intenational 2002;2(1):36-40
2. Sjamsuhidajat. Gangren Diabetik. Dalam : de Jong Buku Ajar ILmu Bedah, editor :
R.Sjamsuhidajat dkk. Buku kedokteran EGC. 2011. Hal.579-580
3. Kusmadi Sumarjo. Hubungan gambaran klinis pasien dan jenis kuman penyebab infeksi kaki
diabetes. Tesis PPDS Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2005
4. Sarwono Waspadji. Kaki Diabetes. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II, editor :
Siti Setiati dkk. Interna Publishing. 2014. Hal. 2367-2371
39