Anda di halaman 1dari 41

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus ini, untuk melengkapi
persyaratan Kepanitraan Klinik Senior SMF ANESTESI Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi
Medan dengan judul “ULKUS DIABETIKUM”

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada dr. Walman,

Sp.An khususnya sebagai pembimbing penulis , dan semua staff pengajar di SMF ANESTESI
Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan, serta teman-teman di Kepanitraan Klinik Senior.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini memiliki banyak kekurangan baik dari
kelengkapan teori maupun penuturan bahasa. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang dapat membangun untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Harapan penulis semoga
laporan kasus ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii

1.1 Pendahuluan ....................................................................................................... 1

2.1 Anatomi kaki ................................................................................................... 3


2.2 Kaki Diabetes ................................................................................................... 4
2.3 Definisi ............................................................................................................. 5
2.4 Patofisiologi ..................................................................................................... 5
2.5 Klasifikasi ........................................................................................................ 6
2.6 Gambaran klinis ............................................................................................... 9
2.7 Diagnosis........................................................................................................ 11
2.8 Faktor Risiko .................................................................................................. 11
2.9 Tatalaksana .................................................................................................... 11

2.10 Terapi Farmakologis ...................................................................................... 14

KESIMPULAN .................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. ...17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Anestesi istilah ini diturunkan dari dua kata Yunani yang secara bersamaan berarti
hilangnya rasa atau rasa atau sensasi. Istilah ini di pergunakan oleh para ahli saraf dengan
maksud untuk menyatakan bahwa terjadi kehilangan rasa secara patologis pada bagian
tertentu tubuh.
Peradaban kebudayaan barat modern telah berusaha dengan sungguh-sungguh
agar nyeri dapat dikendalikan, terutama nyeri pada saat pembedahan harus dapat
dihilangkan sama sekali. Namun demikian tidak selalu berhasil. Nenek moyang kita
menganggap nyeri tidak teratasi, dan harus diterima sebagai kehidupan. Para filsuf dan
ahli teologi sepanjang sejarah secara terus menerus telah menekankan pentingnya
manfaat penderitaan nyeri yang dihubungkan dengan stoikisma, dan ketabahan menderita
untuk memperkuat otak moral. Sepanjang segala abad banyak dokter dan ahli bedah
berusaha agar dapat meringankan nyeri dengan ekstrak tumbuh-tumbuhan dan cara-cara
lain. Beberapa orang bahkan pada abad ke-19 telah melakukan anestesi pada saat
pembedahan, walaupun masih mempercayai bahwa pengalaman penderitaan selama
pembedahan adalah penting bagi penyembuhan selanjutnya. Anestesi juga dilakukan oleh
John Elliotson dari Rumah Sakit London Utara yang melakukan hipnosis untuk
pengendalian nyeri sewaktu pembedahan pada permulaan abad kesembilan belas, tepat
sebelum dilakukannya anestesi umum secara farmakologis.
Anestesi lokal menunjukkan anestesi pada sebagiantubuh saja. Penderita yang
bebas nyeri dalam keadaan sadar, kecuali dilakukan suatu teknik gabungan anestesi
umum dengan anestesi lokal atau digunakan sedasi. Anestesi regional sering digunakan
secara sinonim dengan anestesi lokal. Anestesi ini dengan tepat di gunakan hanya jika
anestesi lokal dipergunakan untuk saraf atau medulla spinalis, yang terletak jauh dari
daerah yang dubuat tidak peka. Anestesi spinal menjadi lebih populer seiring
perkembangan zaman. Tingginya popularitas anestesi spinal di Amerika Serikat terjadi

1
pada tahun 1940an. Namun, anatomi, pilihan anestesi lokal, efek fisiologis anestesi
spinal, posisi pasien, dan pendekatan anestesi spinal semuanya harus dipertimbangkan.
Kaki diabetes di Amerika Serikat merupakan penyebab utama amputasi
ekstremitas bawah nontraumatik di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo (RSUPNCM) tahun 2003, angka amputasi mencapai 25%. Adapun
angka kematiannya mencapai 16. Faktor resiko terjadinya ulkus kaki atau amputasi antara
lain laki-laki, diabetes >10 tahun, neuropati perifer, struktur kaki yang abnormal,
penyakit arteri perifer, merokok, riwayat ulkus atau amputasi dan buruknya kontrol
glikemik.
Pada pasien dengan yang akan dilakukan amputasi pada extremitas bawah
seringkali menggunakan anestesi spinal. Kaki diabetik adalah kaki yang perfusi
jaringannya kurang baik karena angiopati dan neuropati. Selain itu, terdapat pintas arteri-
vena diruang subkutis sehingga kaki tampak merah dan mungkin panas tetapi pendarahan
kaki tetap berkurang. Pada ulkus dalam atau gangren diabetik penderita tidak merasa
nyeri karena neuropati.

2
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 ANATOMI KAKI

Kaki manusia terdiri atas 26 tulang dengan 29 sendi yang dikendalikan oleh
sekitar 40 otot kecil kaki dan otot tungkai. Beban yang diterima setiap inci persegi pada
telapak kaki kira-kira puluhan kilogram dan ini akan merangsang pembentukan kalus.

KAKI DIABETES

3
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling
diikuti.Hasil pengelolaan kaki diabetes sering mengecewakan baik bagi dokter pengelola
maupun penyandang DM dan kelurganya.Sering kaki diabetes berakhir dengan kecacatan
dan kematian. Sampai saat ini, di Indonesia kaki diabetes masih merupakan masalah yang
rumit dan tidak terkelola dengan maksimal, karena sedikit sekali orang berminat
menggeluti kaki diabetes.

Di Negara maju kaki diabetes memang juga masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang besar, tetapi dengan kemajuan cara pengelolaan, dan adanya klinik kaki
diabetes yang aktif mengelola sejak pengelolaan primer, nasib penyandang kaki diabetes
menjadi lebih cerah. Angka kematian dan angka amputasi dapat ditekan sampai sangat
rendah, menurun sebanyak, 49-58% dari sebelumnya tahun 2005 internasional diabetes
federation mengambil tema tahun kaki diabetes mengingat pentingnya pengelolaan kaki
diabetes untuk dikembangkan.

Di RSUP dr CiptoMangunkusumo, masalah kaki diabetes masih merupakan


masalah besar.Sebagian besar perawatan penyandang DM selalu menyangkut kaki
diabetes.Angka kematian dan angka amputasi masih tinggi, masing-masing sebesar 16%
dan 25% (data RSUPNCM tahun 2003). Nasib para penyandang DM pasca amputasipun
masih sangat buruk. Sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun pasca amputasi, dan
sebanyak 37% akan meninggal 3 tahun pasca amputasi.

2.2 DEFINISI

Kaki diabetik adalah infeksi, ulserasi, dan destruksi jaringan ikat dalam yang
berhubungan dengan neuropati dan penyakit vaskuler perifer pada tungkai bawah.
Kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes melitus yang tidak terkendali dengan baik
yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah, gangguan persyarafan dan infeksi.

2.3 PATOFISIOLOGI

Gangren diabetik merupakan dampak jangka lama arteriosclerosis dan emboli


thrombus kecil.Angiopati diabetichampir selalu mengakibatkan neuropati perifer.
Neuropati diabetik ini berupa gangguan motorik, sensorik, dan otonom yang masing-

4
masing memegang peranan pada terjadinya luka kaki. Paralisis otot kaki menyebabkan
perubahan keseimbangan sendi kaki, perubahan cara berjalan, dan akan menimbulkan
titik tekan baru pada telapak kaki sehingga terjadi kalus di tempat itu. Gangguan sensorik
menyebabkan mati rasa setempat dan hilangnya perlindungan terhadap trauma sehingga
penderita mengalami cedera tanpa di sadari. Akibatnya, kalus dapat berubah menjadi
ulkus yang bila disertai infeksi berkembang menjadi selulitis dan berakhir dengan
gangren .

Gangguan saraf otonom mengakibatkan hilangnya sekresi kulit sehingga kulit kering
dang mudah mengalami luka yang sukar sembuh. Infeksi dan luka yang sukar sembuh
dan mudah mengalami nekrosi diakibatkan kaki berbatkan oleh tiga faktor:

1 Angiopati arterol yang menyebabkan perfusi jaringan kaki kurang baik sehingga
mekamisme radang jadi tidak efektif.
2 Lingkungan gula darah yang subur untuk perkembangan bakteri patogen.
3 Terbuktinya pintas arteri-vena di subkutis, aliran nutrien akan memintas tempat infeksi
dikulit.

5
2.4 KLASIFIKASI

Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari yang sederhana seperti
klasifikasi Edmonds dari King’s college Hospital London, klasifikasi Liverpool yang
sedikit lebih ruwet, sampai klasifikasi wagner yang lebih terkait dengan pengelolaan kaki
diabetes, dan juga klasifikasi texas yang lebih kompleks tetapi juga lebih mengacu
kepada pengelolaan kaki diabetes. Suatu klasifikasi mutakhir dianjurkan oleh
internasional.

Adanya klasifikasi kaki diabetes yang dapat diterima semua pihak akan
mempermudah para peneliti dalam membandingkan hasil penelitian dari berbagai tempat
di muka bumi. Dengan klasifikasi PEDIS akan dapat ditentukan kelainan apa yang lebih
dominan, vaskular, infeksi atau neuropatik, sehingga arah pengelolaan pun dapat teruju
dengan lebih baik. Misalnya suatu ulkus gangren dengan critical limb ischemia (p3) tentu
lebih memerlukan tindakan untuk mengevaluasi dan memperbaiki keadaan vaskularnya
dahulu.Sebaliknya kalau faktor infeksi menonjol (14), tentu pemberian antibiotic harus
adekuat.Demikian juga kalau faktor mekanik yang dominan (insensitive foot, S2), tentu
koreksi untuk mengurangi tekanan plantar harus diutamakan.

Suatu klasifikasi lain yang juga sangat praktis dan sangat erat dengan pengelolaan
adalah klasifikasi yang berdasar pada perjalanan alamiah kaki diabetes (Edmonds 2004-
2005)

 Stage1 : Normal foot


 Stage 2 : High Risk foot
 Stage 3 : Ulcerated foot
 Stage 4 : Infected foot
 Stage 5 : Necrotic foot
 Stage 6 : Unsalvable foot

6
Wagner Keterangan

0 Kulit intak/utuh

1 Tukak superfisal

2 Tukak yang meluas ke ligament, tendon, kapsul sendi, atau fascia dengan tanpa

abses atau osteomyelitis

3 Tukak dalam dengan abses atau osteomyelitis

4 Tukak dengan gangren pada 1-2 jari kaki

5 Tukak dengan gangren luas pada seluruh kaki

Berdasarkan pembagian diatas, maka tindakan pengobatan atau pembedahan dapat


ditentukan sebagai berikut :
a. Derajat 0 : Perawatan lokal secara khusus tidak ada
b. Derajat I-IV : Pengelolaan medic dan tindakan bedah minor
c. Derajat V : Tindakan bedah minor, bila gagal dilanjutkan dengan tindakan bedah mayor
(amputasi diatas lutut atau amputasi bawah lutut).

Berdasarkan tindakan bedah khusus diperlukan dalam pengolaan kaki diabetik ini, sesuai
indikasi dan derajat lesi yang dijumpai seperti :
a. Insisi : abses atau selulitis yang luas
b. Eksisi : pada kaki diabetik derajat I dan II
c. Debridement/nekrotomi: pada kaki diabetik derajat II, III, IV dan IV
d. Mutilasi : pada kaki diabetik derajat IV dan V
e. Amputasi : pada kaki diabetik derajat V

Untuk stage 1 dan 2 peran pencegahan primer sangat penting, dan semuanya dapat
dikerjakan pada pelayanan kesehataan primer, baik oleh podiatrist/ chiropodist maupun
oleh dokter umum/ dokter keluarga.

7
Untuk stage 3 dan 4 kebanyakan sudah memerlukan perawatan di tingkat pelayanan
kesehatan yang lebih memadai umumnya sudah memerlukan pelayanan spesialistik.

Untuk stage 5, apalagi stage 6, jelas merupakan kasus rawat inap, dan jelas sekali
memerlukan suatu kerja sama tim yang sangat erat, dimana harus ada dokter bedah,
utamanya doker ahli bedah vaskular/ bedah plastic dan rekonstruksi.

Untuk optimalisasi pengelolaan kaki diabetes, pada setiap tahap harus diingat
berbagai faktor yang harus dikendalikan, yaitu :

 Mechanical control-pressure control


 Metabolic control
 Vascular control
 Wound control
 Microbiological control-infection control

Pada tahap yang berbeda diperlukan optimalisasi hal yang berbeda pula. Misalnya
pada stadium 1 dan 2 tentu saja faktor wound control dan infection control belum
diperlukan, sedangkan untuk stadium 3 dan selanjutnya, tentu semua faktor tersebut harus
dikendalikan, peran rehabilitas medis dalam usaha mencegah terjadinya ulkus dengan
usaha mendistribusikan tekanan plantar kaki memakai alas kaki khusus, serta berbagai
usaha untuk non- weigh bearing lain merupakan contoh usaha yang sangat bermanfaat
untuk mengurangi kecacatan akibat deformitas yang terjadi pada kaki diabetes.

2.5 GAMBARAN KLINIS

8
Gangren diabetik akibat mikroangiopati disebut juga gangren panas karena
walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh peradangan,
dan biasanya teraba pulsasi arteri dibagian distal. Biasanya terdapat ulkus diabetik pada
telapak kaki.

Proses angiopati menyebabkan sumbatan pembuluh darah, sedangkan secara akut


emboli akan memberikan gejala klinis dan bila terjadi sumbatan kronik, akan timbul
gambaran klinis menurut pola dari fontaine.

Paralisis - perubahan faal muskoloskeletal di kaki


- Perubahan anatomi
- Titik tekan di telapak kaki lain

Mati rasa - cedera tak disadari


- Tekanan pada luka tidak dihindari

Gangguan faal - perfusi kulit kurang

Saraf autonomy - pintas anteri-vena subukutis terbuka sehingga


Terjadi kelampauan aliran nutrient di kulit

Tabel 1: Gangguan neuropati

1. Pain (nyeri)

2. Paleness (kepucatan)

3. Parestesia (kesemutan)

4. Pulselessness (denyut nadi hilang)

5. Paralisis (lumpuh)

Kadang ditambah dengan P keenam, yaitu prostration (kelesuan)

Tabel 2: gambaran klinis 5 P pada emboli arteri

9
2.6 DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dengan penentuan tipe angiopati


dan neuropati, sifat obstruksi, dan dan status vaskularnya.

FAKTOR RISIKO

 Stop merokok
 Memperbaiki berbagai faktor risiko terkait aterosklerosis
 Hiperglikemia
 Hipertensi
 Dislipidemia
 Walking program-latihan kaki merupakan dominan usaha yang dapat diisi oleh
jajaran rehabilitas medik.

2.7 TATALAKSANA
Pengobatan kelainan kaki diabetik terdiri atas pengendalian diabetes dan
penanganan kelainan kaki. Pengendalian kaki diabetes melitus harus disertai upaya
memperbaiki keadaan umum penderita dengan nutrisi yang memadai dan pemberian
antiagregasi trombosit serta, kalau perlu hipolipidemik, dan antihipertensi. Antibiotik pun
diberikan bila ada infeksi. Pilihan antibiotik dapat berupa golongan penisilin sprektum
luas, golongan kloksasilin /dikloksasilin untuk terapi vaskulitis dan golongan yang aktif
terhadap kuman anaerob, seperti klindamisin atau metronidazole. Obat lokal, seperti
solution, salep, atau krim, diberikan setelah luka dicuci dengan cairan antiseptik.
Terapi bedah untuk kaki dapat terdiri atas tindak bedah kecil, seperti insisi dan
penyaliran abses, debrideman, dan nekrotomi.Prinsipnyan ialah mengeluarkan semua
jaringan nekrotik untuk maksud eliminasi infeksi sehingga luka dapat sembuh.Amputasi
dilakukan berdasarkan indikasi yang tepat.Tindakan bedah vaskular, misalnya
embolektomi, endarteriektomi, atau rekonstruksi vaskular kadang dilakukan.Prioritas
tinggi harus diberikan kepada pencegahan kelainan kaki yaitu:

10
Pencegahan primer

Penyuluhan mengenai terjadinya kaki diabetes sangat penting untuk mencegah


kaki diabetes.Penyuluhan ini harus selalu dilakukan pada setiap kesempatan pertemuan
dengan penyandang DM, dan harus selalu di ingatkan kembali tanpa bosan. Anjuran ini
berlaku untuk semua pihak terkait pengelolaan DM, baik para Ners, ahli gizi, ahli
perawat kaki, maupun dokter sebagai dirigen pengelolaan. Khusus untuk dokter,
sempatkan selalu melihat dan memeriksa kaki penyandang DM sambil mengingatkan
kembali mengenai cara pencegahan dan cara perawatan kaki yang baik. Berbagai
kejadian/ tindakan kecil yang tampak sepele dapat mengakibatkan kejadian yang
mungkin fatal.Demikian pulak pemeriksaan yang tampaknya sepele dapat memberikan
manfaat yang sangat besar.Periksalah selalu kaki pasien setelah mereka melepaskan
sepatu dan kausnya.

Keadaan kaki penyandang diabetes di golongkan berdasar risiko terjadinya dan


risiko terjadinya masalah yang mgkin timbul. Pengolongan kaki diabetes berdasarkan
risiko terjadinya masalah (frykberg):

1. Sensasi normal tanpa deformitas


2. Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi
3. Insensitivitas tanpa depormitas
4. Iskemia tanpa deformitas
5. Kombinasi/complicated
 Kombinasi insensivitas, iskemia dan deformitas
 Riwayat adanya tukak, deformitas charcot.

Pengelolaan kaki diabetes terutama ditunjukan untuk pencegahan terjadinya


tukak, di sesuaikan dengan keadaan risiko kaki.Berbagai usaha pencegahan dilakukan
sesuai dengan tingkat besarnya risiko tersebut.peran ahli rehabilitasi medis terutama dari
segi ortotik sangat besar pada usaha pencegahan terjadinya ulkus. Dengan memberikan
alas kaki yang baik, berbagai hal terkait terjadinya ulkus karena faktor mekanik akan
dapat di cegah. Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut: untuk kaki
yang kurang merasa/ insensitif (kategori 3 dan 5), alas kaki perlu diperhatikan benar,

11
untuk melindungi kaki yang sensitif tersebut. Jika sudah ada deformitas (kategori risiko 2
dan 5), perlu perhatian khusus mengenai sepatu/alas kaki yang dipakai, untuk meratakan
penyebaran tekanan pada kaki.

Untuk kasus dengan kategori risiko 4 (permasalahan vaskular), latihan kaki perlu
diperhatikan benar untuk memperbaiki vaskularisasi kaki. Untuk ulkus yang complicated,
tentu saja semua usaha dan dana seyogyanya perlu dikerahkan untuk mencoba
menyelamatkan kaki dan usaha ini masuk ke usaha pencegahan sekunder yang akan
dibahas lebih lanjut di bawah ini.

Pencegahan sekunder

Dalam pengelolaan kaki diabetes, kerja sama multidisipliner sangat diperlukan.


Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh hasil pengelolaan yang
maksimal dapat digolongkan sebagai berikut, dan semuanya harus dikelola bersama:

 Mechanical control-pressure control


 Wound control
 Microbiological control-infection control
 Vascular control
 Metabolic control
 Educational control

Untuk pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang optimal, berbagai hal dibawah ini
merupakan penjabaran lebih rinci dari keenam aspek tersebut pada tingkat pencegahan
sekunder dan tersier, yaitu pengelolaan optimal ulkus/ gangren diabetik.

Kontrol metabolik. Keadaan umum pasien harus diperkatikan dan diperbaiki.Konsentrasi


glukosa darah di usahakan agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai
faktor terkait hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka.Umumnya
diperlukan insulin untuk menormalisasi konsentrasi glukosa darah.Status nutrisi harus di
perhatikan dan di perbaiki.Nutrisi yang baik jelas membantu kesembuhan luka. Berbagai
hal lain harus juga di perhatikan dan diperbaiki, seperti konsentrasi albumin serum,
konsentrasi Hb dan derajat oksigenisasi jaringan. Demikian juga fungsi ginjalnya semua

12
faktor tersebut tentu akan dapat menghambat kesembuhan luka sekiranya tidak
diperhatikan dan tidak diperbaiki.

Kontrol vaskular.Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat kesembuhan


lukaberbagai langkah diagnositik dan terapi dikerjakan sesuai keadaan pasien dan juga
sesuai kondisi pasien. Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui
cara sederhana seperti: warna dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis pedis dan arteri
tibialis posterior serta ditambah pengukuran tekanan darah.disamping itu saat ini tersedia
berbagai fasilitas mutakhakir untuk mengevaluasi keadaan pembuluh darah dengan cara
non invasive mau pun invasif dan semiinvasif, seperti pemeriksaan ankle brachial index,
ankle pressure, toepressure, TcPO2, dan pemeriksaan ekhodopler dan kemudian
pemeriksaan arteriografi.

TERAPI FARMAKOLOGIS

Mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada kelainan akibat
aterosklerosis di tempat lain (jantung, otak), mungkin obat seperti aspirin dan lain
sebagainya yang jelas dikatan bermanfaat, dan akan bermanfaat pula untuk pembuluh darah
kaki penyandang DM. tetapi sampai saat ini belom ada bukti yang cukup kuat untuk
menganjurkan pemakain obat secara rutin guna memperbaiki potensi pada penyakit
pembuluh darah kakin penyandang DM.

Wound control. Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal
yang harus dikerjakan dengan baik dan teliti.Evalusi luka harus dikerjakan secermat
mungkin.Klasifikasi ulkus PEDIS dilakukan setelah debridemen yang adekuat. Saat ini
banyak sekali macam dressing (pembalut) yang masing-masing dapat di manfaat kan suai
dengan keadaan luka, dan juga letak luka tersebut. dressing yang mengandung komponen
zat penyerap seperti carbonated dressing, alginate dressing akan bermanfaat pada keadaan
luka yang masih produktif. Demikian pulak hydrophilic fiber dressing ata silver
impregnated dressing akan dapat bermanfaat untuk luka produktif dan terinfeksi. Tetapi
jagan lupa bahwa tindakan debridemen yang adekuat merupakan syarat mutlak yang harus
dikerjakan dahulu sebelum menilai dan mengklasikasikan luka. Debridement yang baik dan
adekuat tentu akan sangat membantu mengurangi jaringan nekritik yang harus dikeluarkan

13
tubuh, dengan demikian tentu akan sangat mengurangi produksi pus/ cairan dari
ulkus/gangrene.

Berbagai terapi topical dapat di manfaatkan untuk mengurangi mikroba pada luka,
seperti cairan salin sebagai pembersih luka, atau yodine encer, senyawa silver sebagai
bagian dari dressing. Demikian pulak berbagai cara debridemen non surgical dapat di
manfaatkan untuk mempercepat pembersihan jaringan nekrotik luka, seperti preparat ezim.

Jika luka sudah lebih baik dan tidak ter infeksi lagi, dressing seprti
hydrocolloid/dressing yang dapat dipertahankan beberapa hari dapat digunakan.Tentu saja
untuk kesembuhan luka kronik seperti pada luka kaki diabetes, suasana sekitar luka yang
kondusif untuk penyembuhan harus dipertahankan. Yakin kan bahwa luka selalu dalam
keadaan optimal, dengan demikian penyembuhan luka akan terjadi sesuai dengan tahapan
yang harus selalu dilewati dalam rangka proses penyembuhan.

Selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka tidak akan beranjak
pada proses lanjutnya yaitu proses granulasi dan kemudian epitelialisasi. Untuk menjaga
suasana kondusif bagi kesembuhan luka dapat pulak dipakai kasa yang dibasahi dengan
salin.Cara tersebut saat ini dipakai dibanyak sekali tempat perawatan kaki diabetes.

Berbagai sarana dan penemuan baru dapat dimanfaatkan utuk wound control
seperti: dermagraft, apligraft, growth pactor, protease inhibitor dsb, untuk mempercepat
kesembuhan luka. Bahkan ada dilaporkan terapi gen untuk mendapatkan bakteri E.coli
yang dapat menghasilkan berbagai faktor pertumbuhan. Ada pulak dilaporkan pemakaian
maggot(belatung), lalat (lalat hijau), untuk membntu membersihkan luka. Berbagai laporan
tersebut umumnya belum berdasar penelitian besar dan belum cukup terbukti secara luas
untuk dapat diterapkan dalam pengelolaan rutin kaki diabetes.

14
2.2 Anestesi Spinal
2.2.1 Anatomi Vertebra
Kolumna vertebra terdiri dari 33 vertebra, 7 vertebra servikalis, 12 vertebra
thorakalis, 5 vertebra lumbalis, 5 vertebra sakrum, dan 4 coccygeus kolumna vertebralis
biasanya berisi tiga kurva. Kurva servikalis dan lumbalis bersifat melengkung ke anterior
dan kurva thorakalis berbentuk melengkung ke posterior. Bentuk kolumna vertebralis
mempengaruhi penyebaran anestesi di ruang subarachnoid.2

Gambar 1. Kolumna Vertebralis2


Terdapat lima ligamentum yang menahan vertebra. Ligamentum supraspinous
menghubungkan apeks dari prosesus spinosus dari vertebra servikalis ke 7 (C7) ke
sakrum. Ligamentum supraspinosus dikenal sebagai ligamentum nuchae didaerah di atas
C7. Ligamentum interspinosusu menghubungkan prosesus spinosus bersamaan.
Ligamentum flavum atau ligamentum kuning, menghubungkan lamina diatas dan
dibawahnya. Ligamentum longitudinal posterior dan anterior mengikat vertebra
bersama.2

15
Gambar 2. Ligamentum-ligamentum2

Tiga membran yang melindungi sumsum tulang belakang adalah duramater,


arachnoidmater, dan piamater. Duramater adalah lapisan terluar, duramater meluas ke
vertebra sakrum ke 2 (S2). Arachnoid adalah lapisan tengah dan ruang subdural terletak
diantara duramater dan arachnoid mater. Arachnoidmater juga berakhir di sakrum ke 2
(S2), piamater menempel kepermukaan sumsum tulang belakang dan berakhir diujung
filum, yang membantu menahan sumsum tulang belakang ke sakrum. Ruang antara
arachnoid dan piamater dikenal sebagai ruang subarachnoid dan medulla spinalis terletak
diruang ini bersama dengan CSF.2

Gambar 3. Lapisan sumsum tulang belakang2

16
Saat melakukan anestesi spinal dengan menggunakan pendekatan garis tengah,
lapisan yang dilalui (dari posterior ke anterior) adalah kulit, lemak subkutan, ligamentum
supraspinosus, ligamentum interspinosus, ligamentum flavum, duramater, ruang
subdural, arachnoidmater, dan ruang subarachnoid.2
Panjang sumsum tulang belakang bervariasi sesuai usia. Pada trimester pertama,
sumsum tulang belakang meluas sampai keujung kolumna vertebra, namun seiring
bertambahnya usia janin, kolumna vertebra lebih panjang dari pada sumsum tulang
belakang. Saat lahir, sumsum tulang belakang berakhir pada kira-kira lumbal 3.2
Posisi conus medullaris, cauda equina, termination of the dural sac, filum
terminale. Panjang sumsum tulang belakang harus selalu diingat saat anestesi neuraksial
dilakukan, kerena injeksi dapat menyebabkan kerusakan pada saraf dan mengakibatkan
paralysis.2
Saraf spinal didaerah servikal dinamai sesuai dengan bagian atas tempat keluar
vertebra servikalis. Namun, saraf servikalis ke 8 keluar dari bawah vertebra servikalis ke
7, dan penamaannya berlanjut hingga daerah thorakalis dan lumbalis.2
Dermatom adalah area kulit yang diinervasi oleh serat sensorik dari satu saraf
tulang belakang. Dermatom thorakalis ke 10 (T10) sesuai dengan umbilikus, dermatom
thorakalis ke 6 (T6) xipoideus dan dermatom thorakalis ke 4 (T4) papila mamae.2

Gambar 4. Dermatom Chart2

Tabel 1. Dermatomal levels of spinal anesthesia for common surgical prosedures

17
Prosedur Dermatom
Operasi perut bagian atas T4
Operasi Usus, Ginekologi dan urologi T6
Reseksi Transurethral pada prostat
Melahirkan, dan Operasi daerah pinggul T10
Operasi pada paha dan amputasi kaki bagian L1
bawah
Operasi kaki dan pergelangan kaki L2
Operasi Perineum dan anal S2 sampai S5

2.2.1 Sistem Saraf Otonom


Sistem saraf otonom terdiri dari neuron saraf yang terletak diluar sistem saraf
pusat dan neuron eferen. Keduanya mempunyai jaring hubungan yang jauh melalui
medulla spinalis (kolumna inter mediolateral) dan otak (medulla dan diencefalon). Sistem
saraf otonom diaktivasi oleh pusat pusat yang terletak di dalam medulla spinalis, batang
otak dan hipotalamus korteks serebri dapat mengirim implus kepusat yang lebih rendah
dan dengan jalan ini mempengaruhi pengendalian otonom.5

2.2.2 Anatomi Sistem Saraf Simpatis Dan Parasimpatis


a. Anatomi Saraf Simpatis
Saraf simpatis berasal dari medulla spinalis diantara segmen T-1 dan L-2 yang
dimulai dari motor neuron simpatis kornu inter mediolateral substansi grisea medulla
spinalis. Saraf simpatis berbeda dari saraf motorik kerangka yaitu tiap lintasan mototik
kesesuatu otot rangka terdiri dari serabut tunggal yang berasal dari medulla spinalis,
sedangkan tiap lintasan simpatis terdiri dari neuron pra genglion dan neuron ganglion.5
Badan sel neuron praganglion terletak didalam kornu intermedio lateral medulla
spinalis, dan serabut – serabutnya berjalan melalui radiks anterior medulla spinalis
kedalam saraf spinal. Serabut pra ganglion meninggalkan saraf spinal dan berjalan
melalui ramus alba keganglion rantai simpatis, disini bersinaps dengan neuron paska
ganglion didalam ganglion simpatis yang jauh. Tiap neuron pasca ganglion kemudian
berjalan ketempat tujuannya didalam salah satu organ.5

18
Banyak serabut neuron pasca ganglion dari rantai simpatis berjalan kembali
kesaraf spinal melalui rami grisea pada semua tingkat medulla spinalis dan berjalan
keseluruh bagian tubuh melalui saraf skeletal. Mereka mengatur pembuluh darah,
kelenjar keringat dan otot erektor rambut. Distribusi segmental dari saraf simpatis.5
Distribusi saraf simpatis ketiap organ sebagian ditentukan oleh posisi didalam
embrio, dimana organ tersebut berasal. Jantung menerima banyak saraf simpatis dari
rantai simpatis servikal karena jantung berasal dari dalam leher embrio, demikian pula
abdomen menerima persarafan simpatis dari segmen torakal bahwa karena usus primitif
berasal dari daearah torakal bawah.5
Serabut saraf simpatis pra ganglion yang berjalan tanpa sinaps, sepenuhnya dari
sel kornu intermedio lateral medula spinalis melalui rantai simpatis, saraf splanknik, dan
akhirnya medulla adrenal dan berakhir langsung di sel – sel khusus yang mengsereksi
epinefrin dan norepinefrin. Sel sekretor ini embriologis berasal dari jaringan saraf dan
dapat disamakan dengan neuron pasca ganglion.5
b. Anatomi Saraf Para Simpatis
Serabut saraf – saraf parasimpatis meninggalkan sistem saraf pusat melalui
beberapa saraf kranial, saraf spinal sakral kedua, tiga dan keempat.5
Serabut para simpatis di dalam nervus ketiga berjalan ke spingter pupil dan otot
siliaris mata. Serabut nervus ketujuh berjalan ke kelenjar lakrimalis, nasal, dan sub
maksilaris. Serabut nervus kesembilan berjalan ke kelenjar parotis. Nervus vagus
mensuplai saraf parasimpatis kejantung paru – paru, esofagus, lambung, usus halus,
separuh proksimal kolon, hati, kandung empedu, pancreas dan bagian atas ureter. Serabut
paras simpatis sakral dalam bentuk nervi erigentes, meninggalkan pleksus sakral dan
menyebar ke kolon desendens, rektum, kandung kemih dan bagian ureter bawah, juga
mensuplai serabutnya kegenitalia eksterna untuk menyebabkan berbagai reaksi seksual.
Sistem parasimpatis seperti sistem mempunyai neuron pra ganglionik dan paska
ganglionik.5
Kecuali dalam beberapa hal saraf para simpatis kranial, serabut saraf para
ganglionik berjalan keorgan yang harus dirangsang oleh implus para simpatis. Didalam
dinding organ tersebut terdapat neuron pasca ganglion parasimpatis. Serabut pra
gangliogenik parasimpatis. Serabut pra ganglion bersinaps dengan neuron –neuron ini,

19
kemudian serabut serabut pasca ganglionik yang pendek dengan panjang 1 milimeter
sampai beberapa sentimeter, meninggalkan neuron menyebar kedalam organ.5

2.2.3 Fungsi Simpatis dan Para simpatis


Neuron pra ganglion simpatis dan para simpatis, juga neuron pasca ganglion para
simpatis mensekresikan asetil kolin, serabut ini juga merupakan serabut kolinergik.
Sebagian besar ujung pasca ganglion simpatis mengsekresi norepineprin, serabut ini
disebut adrenergik. Asetil kolin dan norepineprin yang disekresi oleh oleh neuron pasca
ganglion bekerja pada berbagai organ menyebabkan efek simpatis atau para simpatis,
atau mediatir adrenergk dan kolinergik.5
Sekresi zat transmiter asetil kolin dan nor epinefrin oleh ujung saraf otonom
terjadi sama seperti sekresi pada sinaps. Ujung saraf simpatis dan para simpatis
mengandung sejumlah besar vesikel transmiter kecil dengan diameter 300 – 600
angstrom. Vesikel didalam ujung saraf kolinergik mengandung asetil kolin dan kelihatan
jernih.5
Vesikel didalam ujung saraf adrenergik mengandung norepinefrin dan kelihatan
granuler. Bila aksi potensial menyebar pada serabut terminal, proses depolarisasi
meningkatkan permeabilitas membran serabut terhadap ion kalsium, memberikan ion
berdifusi dalam jumlah yang cukup banyak kedalam terminal saraf iyi. Mereka
berinteraksi dengan vesikel yang ada dekat membran, sehingga menyebabkan isinya
kebagian luar (sekresi zat transmiter).5
Asetil kolin disentese dalam ujung terminal serabut saraf kalinergik. Kebanyakan
sinstese ini mungkin terjadi dalam akso plasma, kemudian diangkut kedalam vesikel,
meskipun diantaranya juga di sentesa dalam vesikel itu sendiri. Bila asetil kolin disekresi
oleh saraf kolinergik, kebanyakan dipecah menjadi ion asaetat dan kolin dengan enzim
kalinesterase yang ada dalam ujung saraf itu sendiri dan pada permukaan organ reseptor.
Mekanisme pemecahan ininsama seperti pada hubungan neuro muskular serabut saraf
skeletal. Kolin yang terbentuk diangkut lagi untuk sintesa asetil kolin baru.5

20
2.2.3 Analgesia Regional
2.2.3.1 Pembagian Anestesia atau Analgesia Regional6
a. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.
b. Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional
intra vena, dan lainnya.

2.3.4. Spinal Anastesia


Anestesia spinal dihasilkan dengan menginjeksikan anestetik lokal kedalam cairan
serebrospinal, hal ini dicapai hanya dengan punksi subaraknoid lumbal. Tergantung
dosis, lokal anestetik dapat menghasilkan efek anastesia ringan sampai dengan komplit
pada daerah dermatom atau seluruh tubuh. Teknik ini telah dilakukan awal abad kedua
puluh dan dokter dan penderita memutuskan bukan berarti menghindari komplikasi –
komplikasi anestesi umum. Setelah 1950, penggunaan anestesi berkurang di AS, anestesi
umum menjadi aman dan lebih menyenangkan bagi pasien. Pada 1975 telah
dipertimbangkan bahwa paedah anestesi spinal dan epidural, memberikan keuntungan
terhadap pemakai dan tidak merupakan pilihan yang simple terhadap anestesi umum,
membuat teknik ini penting pada penanganan penderita.6

2.3.5 Indikasi Dan Kontra Indikasi 2,6


2.3.5.1 Indikasi
a. Bedah ektremitas bawah
b. Bedah panggul
c. Tindakan sekitar rektum – perineum
d. Bedah obstetri dan ginekologi
e. Bedah urologi
f. Bedah abdomen bawah
g. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikimbinasi dengan anestesia
umum

2.3.5.2 Kontraindikasi Absolut


a. Pasien menolak
b. Infeksi pada tempat suntikan

21
c. Hipovolemia berat, syok
d. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
e. Tekanan intrakranial meninggi
f. Fasilitas resusitasi minim
g. Kurang pengalaman / tanpa didampingin konsultan anastesia

2.3.5.3 Kontraindikasi Relatif


a. Infeksi sistemik (sepsis,bakteremi)
b. Infeksi sekitar tempat suntikan
c. Kelainan neurologis
d. Kelainan psikis
e. Bedah lama
f. Penyakit jantung
g. Hipovolemia ringan
h. Nyeri punggung kronis

2.3.6. Persiapan Pre-anestesia


2.3.6.1. Persiapan mental dan fisik pasien6
a. Anamnesis
 Identitas pasien, misalnya : nama, umur, alamat dan pekerjaan
 Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita yang mungkin dapat menjadi
penyulit dalam anestesia seperti penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru
kronik, penyakit jantung dan hipertensi, penyakit hati dan penyakit ginjal.
 Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin dapat
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestesi.
 Riwayat operasi dan anestesia yang pernah dialami, berapa kali dan selang waktunya,
serta apakah pasien mengalami komplikasi saat itu.
 Kebiasaan buruk sehari-hari yang dapat mempengaruhi jalannya anestesi misalnya
merokok, alkohool, obat-obat penenang atau narkotik.

22
b. Pemeriksaan fisik
 Tinggi dan berat badan untuk mmemperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan dan jumlah urin selama dan pasca bedah.
 Kesadaran umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan darah, frekuensi nadi,
pola dan frekuensi pernafasan.
 Pemeriksaan saluran pernafasan; batuk-batuk, sputum, sesak nafas, tanda-tanda
sumbatan jalan nafas, pemakaian gigi palsu, trismus, persendian temporo
mandibula.
 Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskuler; dispnu atau ortopnu, sianosis,
hipertensi
 Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang dapat membuat
tekanan intra abdominal meningkat sehingga dapat menyebabkan regurgitasi.

c. Pemeriksaan laboratorium
 Darah : Hb, leukosit, golongan darah, hematokrit, masa pembekuan, masa
perdarahan, hitung jenis leukosit
 Urine : protein, reduksi, sedimen
 Foto thoraks
 EKG : terutama pada pasien diatas 40 tahun karena ditakutkan adanya iskemia
miokard
 Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru
 Fungsi hati pada pasien ikterus
 Fungsi ginjal pada pasien hipertensi
 Analisa gas darah, elektrolit pada ileus obstruktif

2.3. 6.2. Perencanaan anastesia

Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien
dalam keadaan bugar, sedangkan pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

23
2.3.6.3. Merencanakan prognosis

Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang berasal dari The
American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi sebagai berikut :
ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan dan sedang
ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas
ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat yang tak dapat melakukan aktivitas rutin
dan penyakit merupakan ancaman kehidupannya setiap saat
ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dangan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak
akan lebih dari 24 jam
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.

2.3.6.4. Persiapan pada hari operasi


Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :
a. Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang NGT. Lama puasa pada
orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6 jam, bayi 2 jam (stop ASI). Pada
operasi darurat, pasien tidak puasa, maka dilakukan pemasangan NGT
untuk dekompresi lambung.
b. Pengosongan kandung kemih
c. Informed consent ( Surat izin operasi dan anestesi).
d. Pemeriksaan fisik ulang
e. Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori lainnya.
f. Premedikasi secara intramuskular ½ - 1 jam menjelang operasi atau secaraintravena
jika diberikan beberapa menit sebelum operasi

2.3.7. Teknik Anastesi Spinal6,7


Seperti pada anestesi umum, obat-obatan, perlengkapan serta standar. Persiapan
termasuk vasopressor untuk mencegah hipotensi, suplemen oksigen mesin anestesi
disiapkan sebelum penderita masuk ruangan ; begitu pula dengan monitor melalui nasal
kanula atau masker untuk mengatasi depresi pernapasan akibat sedatif atau anestetik.
Pemberian sedatif dan narkotik membuat penderita tenang selama penusukan jarum,

24
bahkan pasien cukup sadar untuk melaporkan parestesia selama prosedur. Nyeri yang
persisten atau parestesia dengan penusukan jarum atau injeksi anestetik dapat
menggambarkan trauma akar saraf.
Anestesi spinal dapat dilakukan pada posisi duduk, lateral dekubitus atau posisi
prone. Walaupun posisi duduk lebih mudah untuk mendapatkan fleksi vertebra, pasien
menjadi lelah bahkan membutuhkan bantuan. Setiap melakukan tindakan tersebut
operator dan asisten harus memberitahu pasien setiap langkah yang diambil untuk
mendapatkan keadaan yang stabil. Setelah posisi ditentukan , identifikasi tempat
penusukan. Pencegahan untuk menghindari infeksi termasuk tehnik aseptic, kulit
dibersihkan dengan larutan bakterisidal, penutup steril, sarung tangan dan secara hati-
hati memperhatikan indicator sterilisasi termasuk perlengkapan spinal. Untuk mncegah
kesalahan pemberian obat atau dosis, identifikasi label dan konsentrasi diperhatikan
dengan hati-hati.

Gambar 5. Posisi pasien pada anestesi spinal6

Posisi lumbal punksi ditentukan sesuai dengan kesukaan penderita, letak daerah
operasi dan densitas larutan anestetik local. Vertebra lumbal difleksikan untuk
melebarkan ruang procesus spinosus dan memperluas rongga interlamina. Pada posisi
prone, menempatkan bantal dibawah panggul untuk membantu fleksi vertebra lumbal.

25
Saat lahir medulla spinalis berkembang sampai L4, setelah umur 1 tahun medulla
spinalis berakhir pada L1-L2. Jadi blok spinal dibuat dibawah L2 untuk menghindari
resiko kerusakan medulla spinalis. Garis penghubung yang menghubungkan Krista
iliaca memotong daerah interspace L4-5 atau procesus spinosus L4.

Gambar 6. Posisi jarum pada anestesi spinal6

Pendekatan median lebih sering digunakan. Jari tengah tangan operator non
dominan menetukan titik interspace yang dipilih, kulit yang menutupi interspace
diinfiltrasi dengan anestesi local menggunakan jarum halus. Jarum spinal ditusukkan
pada garis tengah secara sagital, mengarah ke cranial (10o) menghadap ruang interlamina.
Penusukan keruang sub arachnoid melewati kulit, jaringan sub cutan, ligamentum
supraspinosus, ligamentum interspinosus dan ligamentum flavum. Ketika ujung jarum
mendekati ligamentum flavum terdapat peningkatan tahanan disertai perasaan poping,
saat itu jarum menembus duramater dengan kedalaman 4-7 cm. Jika ujung jarum

26
menyentuh tulang harus ditarik kembali secukupnya untuk membebaskan dari ligametum,
sebelumnya diarahkan kearah cranial atau kaudal.
Setelah itu stylet ditarik, CSS mengalir dari jarum secara bebas.Jika CSS
bercampur darah hendaknya dibersihkan secepatnya; kemungkinan ini jarum mengenai
vena epidural. Setelah yakin aliran CSS ahli anestesi memegang jarum dengan tangan
yang bebas , dengan menahan belakang pasien, ibu jari dan telunjuk memegang pangkal
jarum, dan menghubungkan dengan spoit yang telah berisi larutan anestetik. Aspirasi
CSS untuk meyakinkan ujung jarung tetap dalam CSS. Injeksi dengan cepat
menggunakan jarum kecil memudahkan bercampurnya anestesi dengan CSS, ini
memudahkan penyebaran larutan dengan CSS dan menurunkan perbedaan densitas
antara larutan dengan CSS. Injeksi yang sangat lambat (2 atau 3 ml dalam semenit atau
lebih) mengurangi efeknya .setelah injeksi obat aspiarasi lagi CSS untuk lebih
menyakinkan posisi jarum.
Bila pendekatan midline tidak berhasil seperti orang tua dengan kalsifikasi
ligamentum atau pasien kesulitan posisi karena keterbatasan fleksi lumbal. Jarum
ditusukkan kira-kira 1-1,5 cm dilateral garis tengah pada bagian bawah procesus spinosus
dari interspace yang diperlukan. Jarum ditusukkan kearah median dan ke cephal
menembus otot-otot paraspinosus. Jika jarum mengenai tulang berarti mengenai lamina
ipsilateral dan jarum diposisikan kembali ke arah superior atau inferior masuk ruang sub
arachnoid.
Pendekatan selain midline atau paramedian adalah pendekatan lumbosakral
(taylor), yang digunakan interspace columna vertebralis pada L5-S1. identifikasi spina
iliaca posterior superior dan kulit, dimulai 1 cm kemedian dan 1 cm inferior ketitik
tersebut. Jarum diarahkan kemedial dan ke superior sampai masuk ke kanalis spinalis
pada midline L5-S1.

2.3.7.1. Jarum Spinal7


Pemilihan jarum spinal tergantung usia pasien, kebiasaan ahli anestesiologi dan
biaya. Ujung jarum quincle umumnya mempunayi bevel yang panjang yang menyatu
dengan lubang. Dapat dibagi dalam ukuran: 20G-29G; ukuran 22G dan 25G yang sering

27
digunakan. Ujung jarum quincle yang runcing menebus dengan mudah .untuk menjamin
posisi yang tepat mengalirnya CSS dilihat pada 4 kwadran dengan memutar jarum.
Tidak seperti jarum dengan bevel tajam, jarum bentuk pensil mempunyai ujung
berbentuk tapering dengan lubang disamping. Untuk insersi dibutuhkan tenaga yang
lebih.Contoh jarum bentuk pensil adalah Sprotte, Whitacre dan Gertie Marx.Perbedaan
antara kedua jarum tersebut adalah ukuran dan letak lubang dilateral.Meskipun lebih
mahal dari pada bevel tajam, jarum ini kurang menyebabkan kerusakan pada duramater
dan lebih sedikit mengakibatkan sakit kepala post anesthesia spinal.
Penentuan jenis jarum lebih banyak ditentukan oleh usia. Walaupun harga yang
lebih mahal jarum pensil point, lebih bagus bagi penderita yang mempunyai resiko yang
besar terhadap sakit kepala post anesthesia spinal.

2.3.7.2.Obat-Obat Spinal Anestesi7


Anestesi spinal yang memuaskan membutuhkan blok sepanjang dermatom daerah
operasi. Keterbatasan memperluas anestesi yang diperlukan untuk memblok dermatom
sangat penting untuk mengurangi beratnya efek menjadi minimum.Obat yang digunakan
untuk anestesi spinal termasuk anestesi local, opioid dan vasokonstriktor, dektrosa
kadang-kadang ditambahkan untuk meningkatkan berat jenis larutan.

a. Anestetik local
Semua anestetik local efektif untuk anesthesia spinal.Criteria yang digunakan
untuk memilih obat adalah lamanya operasi. Tetrakain dan buvipakain biasanya
dipilih untuk operasi yang lebih lama dari 1 jam dan lidokain untuk operasi-operasi
yang kurang dari 1 jam, walaupun durasi anestesi spinal tergantung pula pada
penggunaan vasokonstriktor, dosis serta distribusi obat.
Dalam menentukan dosis yang digunakan untuk anesthesia spinal, variable
individual pasien tidak merupakan kepentingan yang besar. Pada umumnya lebih
banyak anestetik local akan menghasilkan anestesi yang lebih luas.

28
Tabel 1. Obat-obat anestesi lokal untuk anesthesia spinal

Konsentrasi Dosis Lama (jam)


Obat (%) (mg) Tanpa Dengan
Epinefrin Epinefrin
Lidokain, hyperbarik 5 25-100 1 2
Lidokain, isobaric. 2 20-100 1,5 2–3
Tetrakain, hyperbarik. 0,5 3-15 2 2–4
Tetrakain, isobaric. 1 3-20 2-3 4–6
Tetrakain, hypobarik. 0,3 3-20 2 4–6
Bupivakain, isobaric. 0,5 5-15 2-3 4–6
Bupivakain, hyperbarik. 0,75 3-15 1,5 3-4

b. Vasokonstriktor
Lamanya blok dapat ditingkatkan 1-2 jam dengan penambahan larutan
vasokonstriktor kelautan yang diinjeksikan kedalam CSS. Baik epinefrin (0,1-0,2 mg)
maupun phenyleprine (1,0-4,0 mg) memperpanjang durasi anestesi spinal. Obat-obatan
tersebut menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang mensuplay dura dan medulla
spinalis, mengurangi absorbsi vascular dan eliminasi anestetik local.Penambahan untuk
mengurangi aliran darah, vasokonstriktor menekan secara langsung efek antinoceftif
terhadap medulla spinalis.

c. Opioid
Dalam dekade terakhir ini, ahli anestesi telah menggunakan opioid subarachnoid
untuk memperbaiki kwalitas dari blok sensomotoris dan untuk analgesia postoperative.
Kerja narkotik subarachnoid adalah pada reseptor opiod didalam medulla spinalis.
Morpin (0,1-0,2 mg) menghasilkan analgesia signifikan yang baik pada periode
postoperative, sebagaimana Fentanyl (25-37,5 mikrogram) dan subfentanyl (10
mikrogram) . efek samping narkotik subarachnoid termasuk pruritus, nausea, dan depresi
pernapasan.

29
Tabel 2.Opioid Dalam ruang subarachnoid.
Obat Dosis. Lama kerja.
Morfin 0,1 – 0,2 mg 8 – 24 jam
Fentanyl 25 – 50 mg 1 – 2 jam
Subfentanyl 5 – 10- mg 2 – 3 jam

d. Dextrose, Barisitas, Distribusi.


Densitas larutan anestesi local adalah fungsi konsenrasi dan cairan dimana obat
tersebut dilarutkan. Densitas dari CSS 37 oC adalah 1,001 – 1,005 g/ml. Barisitas larutan
anestesi local adalah perbandingan pada suhu dari densitas laritan anestetik terhadap
densitas CSS pada tempratur yang sama. Larutan anestesi local dengan densitas lebih dari
1,008 g/ml pada suhu 37 o C disebut hiperbarik, densitas antara 0,998 dan 1,007 g/ml
digolongkan isobaric, dan densitas kurang dari 0,997 g/ml termasuk hipobarik. Preparat
anestetik local 5% sampai 8% dalam dextrose adalah hiperbarik; dalam CSS atau garam
saline, isobaric; dan dilarutkan dalam air , hipobarik.
Dosis obat, densitas larutan anestetik local dan posisi pasien selama dan setelah
injeksi lebih banyak menentukan distribusi anestesi local dan tingkat anesthesia. Factor
lain seperti ; umur, berat badan dan panjang columna vertebralis adalah kurang penting.
Pada posisi supine, lordosis lumbal menunjukkan titik terendah spinal pada L3-4, dan
kiposis torak menunjukkan titik terendah pada T5-6. jadi jika pasien diberikan larutan
anestesi local hiperbarik pada L4 pada posisi supine , larutan tersebut bergerak oleh
karena grafitasi dari titik tertinggi sampai dua regio yang lebih rendah yaitu sacrum dan
T5-6, menghasilkan blok yang baikpada dermatom toraks tetapi itu termasuk suplai yang
relatif jarang dari anestesi local pada akar saraf pertengahan lumbal. Sadel blokuntuk
anesthesia perineum , ini dihasilkan jika lautan hiperbarik di injeksikan pada pasien
dengan posisi duduk dan mempertahankan posisi tersebut untuk beberapa menit setelah
injeksi.
Larutan isobaric cenderung untuk tinggal pada tempat injeksi dan menghasilkan
blok yang lebih terlokalisir dan menyebar hanya kebawah dan dermatom toraks. Larutan
ini cocok untuk prosedur pada ektremitas bawah dan prosedur urology.

30
Larutan hypobarik dapat digunakan ketika pasien pada posisi supine, pada posisi jack-
knife untuk operasi rectum, perineum, dan anus, atau pada posisi lateral dekubitus.
Kenutungan larutan hypobarik bahwa kemiringan meja operasi dengan kepala dibawah
mengurangi pengumpulan darah ditungkai, juga membantu mencegah pemyebaran
anestesi local kearah kepala.

2.3.7.3.Konduksi Anestesi Spinal7


Pengelolaan setelah injeksi anestesi local kedalam CSS meliputi pengamatan dan
pengobatan efek samping dan penilaian distribusi dari anestesi local. Pemberian oksigen
dan pemasangan pulse oksimetri untuk mencegah hipoksemia. Memperhatikan terus-
menerus denyut jantung untuk mendeteksi bradikardia, dan mengulangi pengukuran
tekanan darah untuk menilai adanya hipotensi.
Distribusi dari blok dapat diukur dengan beberapa tes. Kehilangan rasa persepsi
dingin (kapas alcohol atau es pada kulit) berhubungan dengan tingkat blok simpatis, yang
dilayani oleh dua modalitas saraf yang hampir mirip diameter dan kecepatan
konduksinya. Level sensoris diketahui dengan adanya respon terhadap goresan peniti atau
garukan jari.Fungsi motorik dilakukan dengan menyuruh pasien melakukan fleksi plantar
jari kaki (S1-2), dorsofleksi kaki (L4-5 ) , mengangkat lutut (L2-3) atau tegangan
muskulus rektus abdominalis dengan mengangkat kepala (T6-12).
Selama anestesi spinal tingkat blok simpatis meluas lebih tinggi dari blok
sensoris dimana dalam perluasannya lebih tinggi dari blok motoris. Besarnya derajat blok
tidak berhubungan dengan perbedaan dari snesitivitas dari berbagai macam serabut saraf ,
sebagai suatu pemikiran , tetapi dibedakan oleh konsentrasi anestatik local diantara
berbagai akar saraf dan terhadap derajat konsentrasi di dalam masing-masing akar saraf.
Serbut saraf sensoris dan simpatis yang lebih perifer lebih mudah diblok karena lebih
banyak terekspose oleh keonsetrasi anestesi local dari pada serabut saraf motorik yang
lebih dalam.

31
2.3.7.4.Komplikasi Anestesi Spinal2,6,7

Komplikasi dini / intraoperatif :


a. Hipotensi
Hipotensi sering terjadi selama anestesi spinal, terutama akibat blok preganglion
vasomotor efferent sistim saraf simpatis dan kehilangan kompensasi vasokonstriksi
eketremitas bawah. Berkurangnya preload (venodilatasi) menunjukkan menurunnya
curah jantung; berkurangnya tonus arteriole sedikit kontribusinya terhadap terjadinya
hipotensi, kecuali tahanan pembuluh darah perifer meningkat sebelum anestesi
spinal.Blok serat kardioakselator pada T1-T4 menyebabkan bradikardi dan kehilangan
kontraktilitas.
Terapi hipotensi dimulai dengan tindakan yang cepat seperti koreksi posisi
kepala, pemberian cairan intravena dan pemberian vasopressor sesuai kebutuhan. Jika
cairan yang diberikan tidak dapat mengoreksi bradikardi atau kontraktilitas melemah,
terapi yang disukai untuk spinal hipotensi adalah kombinasi cairan untuk mengoreksi
hipovolemi dengan alfa dan beta adrenergik agonis (seperti efedrin) dan atropin (untuk
bradikardi) tergantung pada situasi.

b. Anestesi spinal tinggi / total


Pasien dengan tingkat anesthesia yang tinggi dapat mengalami kesulitan dalam
pernapasaan . Harus dibedakan secara hati-hati apa penyebabnya untuk memberikan
terapi yang tepat. Hampir semua dispnea tidak disertai paralysis otot pernapasan tetapi
adalah kehilangan sensasi proprioseptif tersebut mengakibatkan dyspnea walaupun
fungsi otot pernapasan dan pertukaran gas adekuat.
Total spinal adalah blockade dari medulla spinalis sampai ke servikal oleh
suatu obat local anestesi. Factor pencetus : Pasien mengejan, dosis obat local anestesi
yang digunakan, posisi pasien terutama bila menggunakan obat hiperbarik.
Sesak napas dan sukar bernapas merupakan gejala utama dari blok spinal tinggi.
Sering disertai mual, muntah, precordial discomfort dan gelisah. Apabila blok
semakin tinggi penderita menjadi apnea, kesadaran menurun disertai hipotensi yang

32
berat dan jika tidak ditolong akan terjadi henti jantung
Penanganan :
 Usahakan jalan napas tetap bebas, kadang diperlukan bantuan napas lewat face
mask
 Jika depresi pernapasan makin berat (blok motor C3-5 dengan paralysis nervus
phrenikus)perlu segera dilakukan intubasi endotrakeal dan control ventilasi untuk
menjamin oksigenasi yang adekuat
 Bantuan sirkulasi dengan dekompresi jantung luar diperlukan bila terjadi henti
jantung
 Pemberian cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB diperlukan untuk mencegah hipotensi
 Jika hipotensi tetap terjadi atau jika pemberian cairan yang agresif harus dihindari
maka pemberian vasopresor merupakan pilihan seperti adrenalin dan sulfas
atropin

c. Henti jantung
Henti jantung yang tiba-tiba telah dilaporkan pada pasien yang mendapatkan
spinal anestesi. Pasien yang mendapat sedatif dan hipotensi sampai tejadinya henti
jantung yang tiba-tiba terbukti sulit untuk diterapi. Respon kardiovaskuler terhadap
hiperkarbia dan hipoksia kerana sedatif dan narkotik mengakibatkan pasien tidak
mempunyai respon terhadap hipoksemia yang progresif, asidosis dan hiperkarbia.
Henti jantung dapat dihindari dengan beberapa langkah sebagai berikut: pertama
opioid harus digunakan dengan perhatian yang tinggi selama anestesi spinal. Kedua,
semua pasien yang menjalani anestesi spinal dibutuhkan suplemen oksiegen dan
pemantauan dengan pulse oxymetri. Ketiga, hipotensi dan bradikardi dibutuhkan terapi
segera untuk memelihara curah jantung. Keempat, seharusnya pasien yang mengalami
episode hipotensi dan henti jantung yang tiba-tiba merupakan indikasi segera dan tepat
mendapatkan terapi oksigen, hiperventilasi, epinefrin dosis tinggi (0,1-1 mg) dan sodium
bikarbonat jika ada indikasi.

33
d. Mual dan muntah
Mual selama anestesi spinal biasa terjadi oleh karena hipoperfusi serebral atau
tidak terhalanginya stimulus vagus usus.Biasanya mual adalah tanda awal hipotensi.
Bahkan blok simpatis mengakibatkan tak terhalangnya tonus parasimpatis yang
berlebihan pada traktus gastrointestinal.
Mual dan muntah umumnnya, dapat terjadi karena :
 Hipotensi
 Adanya aktifitas parasimpatis yang menyebabkan peningkatan peristalyik usus
 Tarikan nervus dan pleksus khususnya N vagus
 Adanya empedu dalam lambungoleh karena relaksasi pylorus dan spincter ductus
biliaris
 Factor psikologis
 Hipoksia

Penanganan :
 Untuk menangani hipotensi : loading cairan kristaloid atau koloid 10-20 ml/kgBB
kristaloid
 Pemberian bolus efedrin 5-10 mg IV
 Oksigenasi yang adekuat untuk mengatasi hipoksia.
 Dapat juga diberikan anti emetik.
 Atropin dapat memperbaiki refleks mual dimana tekanan darah dan curah jantung
telah diperbaiki.
e. Parestesia
Parestesia dapat terjadi selama penusukan jarum spinal atau saat menginjeksikan
obat anestetik.Pasien mengeluh sakit atau terkejut singkat pada ektremitas bawah, hal ini
disebabkan jarum spinal mungkin mengenai akar saraf. Jika pasien merasakan adanya
parestesia persiten atau paresthesia saat menginjeksikan anesthetik local, jarum harus
digerakkan kembali dan ditempatkan pada interspace yang lain untuk mengcegah
kerusakan yang permanen. Ada atau tidaknya paresthesia dicatat pada status anesthesia.

34
Komplikasi lanjut
a. Post dural Puncture Headache (PDPH)
Sakit kepala yang terjadi setelah punksi dura disebut spinal headache atau post-
dural puncture headache (PDPH), telah dilukiskan oleh Bier thn. 1898. CSS keluar dari
ruang subarachnoid melalui punksi dura, menyebabkan tarikan pada struktur vaskuler
yang sensitive terhadap sakit. Sakit kepala diperburuk oleh sikap berdiri atau duduk dan
terasa berkurang dengan terlentang . Rasa sakit tersebut dirasakan di frontal, occipital
atau keduanya dan mungkin disertai dengan gejala seperti tinitus atau diplopia. Walupun
ini terjadi segera setelah punksi dura, tapi bisanya setelah 24-72 jam.
Kejadian PDPH lebih banyak terjadi pada pasien muda dan wanita. Kecepatan
hilangnya CSS cenderung bergantung pada bentuk ukuran lubang pada dura dan dengan
demikian kemungkinan terjadinya sakit kepala lebih berat. Menggunakan jarum ukuran
kecil (24G atau lebih kecil) penting untuk pasien dibawah umur 50 tahun.Jarum spinal
dengan bagian ujung bulat atau tumpul, membentuk robekan yang lebih kecil dan
penyembuhan lebih cepat.
Terapi sakit kepala bisanya dimulai dengan tindakan konservatif.Hidrasi intravena
atau oral meningkatkan produksi CSS dan mengganti CSS yang hilang. Walaupun pasien
dengan PDPH akan lebih senang jika terlentang, istirahat ditempat tidur tidak dapat
mencegah sakit kepala. Cafein intravena atau oral mungkin dapat membantu.Pengikatan
perut dapat meningkatkan tekanan ruang epidural, karena itu megurangi bocornya CSS.
Terapi definitive untuk PDPH adalah menyumbat epidural dengan darah.Tahun
1960 Gormley mencatat bahwa pasien dengan perdarahan selama lumbal punksi memiliki
insiden yang kurang terjadinya PDPH. Dengan postulat ini bekuan darah dapat menutup
lubang dura dan mencegah bocornya CSS, ia memperlihatkan dengan sukses , untuk
membebaskan sakit kepala , darah tersebut ditempatkan didalam ruang epidural. Untuk
mendapatkan suatu penyumbatan epidural oleh darah, 10-20 ml darah sendiri yang steril
di injeksikan perlahan keruang epidural. Dengan komplikasi pada umumnya adalah “
transient back pain”. Penyumbatan dengan darah efektif lebih dari 95 % pasien.

35
Pencegahan dan Penanganan :
 Hidrasi dengan cairan yang kuat.
 Gunakan jarum sekecil mungkin (dianjurkan < 24) dan menggunakan jarum non
cutting pencil point
 Hindari penusukan jarum yang berulang-ulang
 Tusukan jarum dengan bevel sejajar serabut longitudinal durameter
 Mobilisasi seawal mungkin.
 Gunakan pendekatan paramedian
 Jika nyeri kepala tidak berat dan tidak mengganggu aktivitas maka hanya
diperlukan terapi konservatif yaitu bedrest dengan posisi supine, pemberian cairan
intravena maupun oral, oksigenasi adekuat
 Pemberian sedasi atau analgesi yang meliputi pemberian kafein 300 mg peroral
atau kafein benzoate 500 mg IV atau IM, asetaminofen atau NSAID
 Hidrasi dan pemberian kafein membantu menstimulasi pembenntukan LCS
 Jika nyeri kepala menghebat dilakukan prosedur khusus Epidural Blood Patch
o Baringkan pasien seperti prosedur epidural.
o Ambil darah vena antecubiti 10-15 ml.
o Dilakukan pungsi epidural kemudian masukan darah secara pelan-pelan.
o Pasien diposisikan supine selama 1 jam kemudian boleh melakukan
gerakan dan mobilisasi.
o Selama prosedur pasien tidak boleh batuk dan menghejan.

b. Nyeri punggung (Backache)


Sakit tulang belakang lebih sering mengikuit anesthesia spinal dari pada yang
terjadi pada anestesi umum. Ini mungkin disebabkan akibat tarikan ligamentum dengan
relaksasi otot paraspinosus dan posisi operasi yang menyertai anestesi regional dan
general.
Nyeri punggung dapat juga terjadi akibat Tusukan jarum yang mengenaikulit, otot
dan ligamentum. Nyeri ini tidak berbeda dengan nyeri yang menyertai anestesi umum,
biasnya bersifat ringan sehingga analgetik post operatif biasanya bias menutup nyeri ini.

36
Relaksasi otot yang berlebih pada posisi litotomi dapat menyebabkan ketegangan
ligamentum lumbal selama spinal anestesi. Rasa sakit punggung setelah spinal anestesi
sering terjadi tiba-tiba dan sembuh dengan sendirinya setelah 48 jam atau dengan terapi
konservatif. Adakalanya spasme otot paraspinosus menjadi penyebab.
Dapat diberikan penanganan dengan istirahat, psikologis, kompres panas pada
daerah nyeri dan analgetik antiinflamasi yang diberikan dengan benzodiazepine akan
sangat berguna.

c. Cauda equine sindrom


Terjadi ketika cauda equine terluka atau tertekan. Penyebab adalah trauma dan
toksisitas. Ketika terjadi injeksi yang traumatic intraneural, diasumsikan bahwa obat yang
diinjeksikan telah memasuki LCS, bahan-bahan ini bias menjadi kontaminan sepeti
deterjen atau antiseptic atau bahan pengawet yang berlebihan.
Penggunaan obat anestesi local yang tidak neurotoksik terhadap cauda equine
merupakan salah satu pencegahan terhadap sindroma tersebut selain menghindari trauma
pada cauda equine waktu melakukan penusukan jarum spinal.

d. Meningitis
Munculnya bakteri pada ruang subarakhnoid tidak mungkin terjadi jika
penanganan klinis dilakukan dengan baik. Meningitis aseptic mungkin berhubungan
dengan injeksi iritan kimiawi dan telah dideskripsikan tetapi jarang terjadi dengan
peralatan sekali pakai dan jumlah larutan anestesi murni local yang memadai.
Pencegahan
 Dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat dan obat-obatan yang betul-betul
steril
 Menggunakan jarum spinal sekali pakai
 Pengobatan dengan pemberian antibiotika yang spesifik

e. Retensi urine
Proses miksi tergantung dari utuhnya persarafan dari spincter uretra dan otot-otot
kandung kencing. Setelah anestesi spinal fungsi motor dan sensoris ekstremitas bawah

37
pulih lebih cepat dari fungsi kandung kencing, khususnya dengan obat anestesi spinal
kerja cepat seperti tetracain atau bupivacain. Lambatnya fungsi saraf pulih dapat
mengakibatkan retensi urine dan distensi kandung kencing.Untuk prosedur yang lebih
lama dan pemberian cairan intravena yang banyak, pemasangan kateter kandung kencing
mencegah komplikasi ini.

f. Spinal hematom
Meski angka kejadiannnya kecil, spinal hematom merupakan bahaya besar bagi
klinis karena sering tidak mengetahui sampai terjadi kelainan neurologist yang
membahayakan. Terjadi akibat trauma jarum spinal pada pembuluh darah di medulla
spinalis. Dapat secara spontan atau ada hubungannnya dengan kelainan neoplastik.
Hematom yang berkembang di kanalis spinalis dapat menyebabkan penekanan medulla
spinalis yang menyebabkan iskemik neurologist dan paraplegi
Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnya meliputi :
 Mati rasa
 Kelemahan otot
 Kelainan BAB
 Kelainan sfingter kandung kemih
 Sakit pinggang yang berat
Factor resikonya berupa abnormalitas medulla spinalis, kerusakan hemostasis, kateter
spinal yang tidak tepat posisinya, kelainan vesikuler, penusukan berulang- ulang. Apabila
ada kecurigaan maka pemeriksaan MRI, myelografi harus segera dilakukan dan
dikonsultasikan ke ahli bedah saraf. Banyak perbaikan neurologist pada pasien spinal
hematom yang segera mendapatkan dekompresi pembedahan (laminektomi) dalam
waktu 8-12 jam.

g. Kerusakan saraf
Trauma saraf setelah anestesi spinal adalah jarang tapi dapat terjadi akibat trauma
mekanik dan kimiawi.Kerusakan langsung pada akar saraf mungkin disebabkan oleh jarum,
mengakibatkan radikulopati dengan defisit motoris atau sensoris sepanjang distribusi akar
saraf. Kerusakan ini bisanya membaik dalam 2-12 minggu.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. American Diabetes Association. Peripheral Arterial Disease in People with Diabetic foot.
Medicine Intenational 2002;2(1):36-40

2. Sjamsuhidajat. Gangren Diabetik. Dalam : de Jong Buku Ajar ILmu Bedah, editor :
R.Sjamsuhidajat dkk. Buku kedokteran EGC. 2011. Hal.579-580

3. Kusmadi Sumarjo. Hubungan gambaran klinis pasien dan jenis kuman penyebab infeksi kaki
diabetes. Tesis PPDS Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2005

4. Sarwono Waspadji. Kaki Diabetes. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II, editor :
Siti Setiati dkk. Interna Publishing. 2014. Hal. 2367-2371

5. Perkeni. Konsensus pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia. Jakarta: PB perkeni: 2002

39

Anda mungkin juga menyukai