Anda di halaman 1dari 41

ANESTESI PADA PEDIATRIK PYLORIC STENOSIS

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien pediatri dengan
pyloric stenosis yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP: Patofisiologi, gejala klinis, manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN : Stenosis pylorus merupakan keadaan emergensi medikal akut dan bukan
merupakan keadaan emergensi surgikal, oleh karena itu harus dilakukan optimalisasi
keadaan umum pasien terlebih dahulu untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

4. PENGERTIAN:
Stenosis pylorus terjadi akibat hipertropi otot-otot pada saluran keluar lambung sehingga
menyebabkan terjadinya obstruksi. Kelainan ini merupakan salah satu kelainan pada
gastrointestinal tersering yang terjadi pada 3 bulan pertama setelah lahir. Stenosis pylorus
merupakan keadaan emergensi medikal akut dan bukan keadaan emergensi surgikal, oleh
karena itu harus dilakukan persiapan optimalisasi keadaan umum pasien terlebih dahulu
untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

5. INSIDENSI DAN ETIOLOGI:


- Stenosis pylorus lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dibandingkan perempuan dengan
insidensi 4:1 yang terjadi pada usia 3 bulan pertama setelah lahir.
- Etiologi: Penyebab pasti sampai saat ini belum diketahui, namun dari beberapa teori
menyatakan bahwa etiologi stenosis pylorus adalah sebagai berikut:
 Hipoganglionosis
 Infeksi H. pylori
 Hipergastrenemia dengan pilorospasme
6. PATOFISIOLOGI
- Pasien dengan stenosis pylorus akan mengalami berbagai gangguan elektrolit dan
metabolik. Gangguan elektrolit yang sering didapatkan adalah: hipokloremik,
hipokalemia, hipovolemia, hipokalsemia, dan alkalosis metabolik hiponatremik. Dalam
keadaan normal setiap mEq asam lambung yang disekresikan akan diikuti dengan
pelepasan satu mEq HCO3- dari pankreas, sehingga terjadi penetralan asam lambung
yang melewati duodenum oleh HCO3- yang disekresikan oleh pankreas.
- Hilangnya asam lambung pada keadaan stenosis pylorus terjadi melalui vomitus atau
aspirat gastrik, sedangkan sekresi HCO3- tetap terjadi sehingga kadarnya dalam plasma
akan terus meningkat. Peningkatan ini lama kelamaan membuat tubulus proksimal ginjal
tidak mampu lagi mengatasi kelebihan HCO3- dan akan meningkatkan kadar NaHCO3
yang diteruskan ke tubulus distal yang juga tidak mampu mengabsorbsinya lagi.
Akibatnya ginjal akan mengekskresikan urin dengan pH > 7,0.
- Terjadinya hal di atas mengakibatkan deplesi cairan ekstra seluler akibat usaha ginjal
untuk melakukan konservasi Na+ melalui stimulasi sekresi aldosteron.
- Hipolakemia terjadi akibat hilangnya kalium melalui vomitus dan melalui urin akibat
pertukarannya dengan H+ dalam usahanya untuk melakukan konservasi terhadap Na+.
Hipokalemia juga terjadi akibat perpindahan K+ ke intra sel akibat pH yang bertambah
alkali.
- Hipokloremia terjadi akibat hilangnya Cl- melalui sekresi lambung.

7. GAMBARAN KLINIS:
- Stenosis pylorus terjadi antara umur 3-5 minggu. Terdapat riwayat muntah-muntah
nonbilious yang progresif dan kemudian menjadi proyektil.
- Konstipasi
- Jaundice; terjadi akibat defisiensi glukoronil transferase karena keadaan starvasi.
- Bayi akan tampak dehidrasi dengan gerakan peristaltis lambung yang dapat terlihat.
- Pada palpasi pada daerah epigastrium atau hipokondrium kanan teraba massa tumor
(Olive Tumor).
- Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan:
o Hemoglobin: hemokonsentrasi
o Elektrolit: hipokaleraia, hipokloremia, hiponatremia, hipokalsemia
o AGD: pada keadaan awal didapatkan alkalosis metabolik sedangkan pada keadaan
lanjut akan didapatkan asidosis metabolik. Diagnosa dikonfirmasi melalui
pemeriksaan radiologi: USG abdomen

8. MANAJEMEN PREOPERATIF
Manajemen inisial yang harus dilakukan bersifat medikal untuk melakukan stabilisasi pasien
sebelum dilakukan prosedur koreksi. Manajemen yang dilakukan adalah:

- Pasang jalur intravena, kemudian ambil sampel darah untuk melakukan pemeriksaan Hb
dan elektrolit.
- Pasang NGT dan lakukan suctioning secara kontinyu.
- Lakukan rehidrasi sesuai dengan derajat dehidrasi dan koreksi gangguan elektrolit.
- Pada dehidrasi berat (kehilangan cairan > 15%); berikan bolus normal salin, RL, dan
dapat pula diberikan koloid 20 ml/ kg. Pemberian cairan selanjutnya adalah sesuai
dengan dehidrasi sedang dengan memberikan defisit cairan dalam 6-8 jam.
- Dehidrasi ringan-sedang: berikan cairan glukosa dalam salin (Ds 0,45 NS dengan 10
mEq K.CL/ 500 ml) sebanyak 6-8 ml/ kg/ jam. Penambahan KCL hanya dilakukan
apabila telah terjadi diuresis yang cukup. Aspirat NGT juga harus diganti dengan jumlah
yang sama dengan NS. Apabila target sudah tercapai berikan maintenan dengan D 5
0,225NS (1/4 NS) sebanyak 4 ml/ kg/jam.
Target Resusitasi:

- Klor serum > 106 mmol/L


- Na+ serum > 135 mmol/ L
- HCO3- serum < 26 mmol/ L
- Cl- urin > 20 mmol/ L
- Diuresis > 1 ml/ kg

9. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Pastikan abnormalitas asam basa dan dehidrasi sudah terkoreksi sebelum memulai
induksi.
- Lakukan aspirasi kembali pada NGT sebelum induksi dengan posisi bayi miring kiri,
kanan, dan supine.
- Lakukan preoksigenasi sebelum induksi.
- induksi dilakukan dengan rapid sequence induction, tetapi apabila diperkirakan terdapat
kesulitan pada jalan napas maka sebaiknya lakukan intubasi dalam keadaan awake.
- Maintenan anestesi dapat diberikan dengan halotan atau sevofluran dan N20, pelemas
otot, opioid, dengan memberikan ventilasi IPPV, dan jaga agar temperatur tetap
normotermi.
- Monitoring: EKG, pulse okximetry, NIBP, EtC02, temperatur, stetoskop prekordial.
- Ekstubasi harus dilakukan dalam keadaan benar-benar bangun dengan keadaan lambung
yang telah dikosongkan.
- Saat akhir operasi dapat diberikan bupivakain 0,25% secara infiltrasi pada daerah luka
operasi sebagai analgesia pascaoperasi.

10. MANAJEMEN PASCAOPERASI


- Berikan oksigen suplemen jika pulse oximetry < 95%
- Pada infan prematur atau riwayat kelahiran prematur harus dilakukan monitoring
pernapasan terhadap kemungkinan apnoe selama 6-12 jam pascaoperasi. Hal ini
dikarenakan terdapat kemungkinan terjadinya apnoe akibat perubahan pH pada LCS
sebagai akibat sekunder dari niperventilasi dan alkalosis.
- Monitor terhadap kemungkinan hipoglikemia pascaoperasi.
- Analgesia pascaoperatif dapat diberikan parasetamol per-rektal dengan loading dose 30-
40 mg/ kg diikuti dengan dosis 15-20 mg/ kg tiap 6 jam. Hindari opioid karena dapat
menambah resiko apnoe pascaoperatif.

11. DOKUMEN TERKAIT :


- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent

12. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,
dokter bedah anak, dokter ahli anak di lingkungan RS Panti Rapih

13. REFERENSI:
- Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Pyloric stenosis. Dalam: Understanding
Paediatric Anaesthesia. 2008. h: 210-212.
- Bell C, Kain ZN. Anesthesia for gastrointestinal disorder. Dalam: The Pediatri Anesthesia
Handbook. Edisi II. 1997. h:250-251
ANESTESI PADA PEDIATRIK:

OBSTRUKSI INTESTINAL

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien pediatri dengan
obstruksi intestinal yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP: Permasalahan pada obstruksi intestinal, manajemen perioperatif

3. KEBIJAKAN : Pasien dengan obstruksi intestinal harus dikelola sebagai pasien dengan
lambung penuh.

4. ETIOLOGI OBSTRUKSI INTESTINAL AKUT:


Neonatal:

- Duodenal
- Jejunal
- Ileal
- Kolon
- Anorektal
Infant:

- Intussusepsi
- Hirschprung's disease
- Hernia inkarserata
Anak yang lebih besar:

- Divertikulum Meckel's
- Obstruksi adhesive Hernia

5. ETIOLOGI OBSTRUKSI PARSIAL KRONIS:


- Volvulus caecal

6. PERMASALAHAN PADA OBSTRUKSI INTESTINAL:


- Vomitus
- Dehidrasi
- Abnormalitas elektrolit
- Distensi abdomen yang akan mengganggu respirasi terutama pada infant.
- Infeksi; Apabila integritas dari dinding usus terganggu maka bakteri akan masuk ke
dalam rongga peritoneal dan akhirnya dapat masuk ke sistem sirkula. Pelepasan
endotoksin akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan syok.
- Obstruksi, perdarahan, infeksi, dan infark akan menyebabkan gangguan perfusi ke usus

7. MANAJEMEN PREOPERATIF
Lakukan penilaian defisit cairan berdasarkan tanda dan gejala klinis.

- Pada saat pemeriksaan fisik lakukan pemeriksaan temperatur, laju nadi, tekanan darah,
perrusi perifer, turgor kulit, fontanela, tekanan okialar, derajat enopthalmus mukosa bibir,
status mental, dan dieresis.
- Lakukan penentuan derajat dehidrasi
- Tentukan besarnya defisit cairan dan lakukan rehidrasi berdasarkan derajat dehidrasi.
- Pada keadaan hipovolemia berat berikan cairan secara cepat untuk segera melakukan
restorasi sirkulasi dan fungsi ginjal. Untuk resusitasi awal dapat diberikan bolus RL 20
ml/ kg. Koreksi defisit cairan ekstra dan intrasel dan juga elektrolit diperbaiki berikutnya
dalam 24-72 jam.
- Restorasi volume harus dipantau dengan pemasangan kateter urin untuk menilai diuresis.
Lakukan penilaian ulang secara lebih sering terhadap status cairan dan elektrolit
- Pasang NGT dan lakukan suctioning.
- Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan: kreatinin serum dan BUN (meningkat pada
keadaan dehidrasi), leukosit (meningkat pada keadaan infeksi), elektrolit lengkap
(biasanya abnormal), hemoglobin.
- Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah foto polos abdomen: air/ fluid level.

8. MANAJEMEN INTRA OPERATIF


- Pasien dengan obstruksi intestinal harus dikelola sebagai pasien dengan lambung penuh.
- Lakukan induksi dengan rapid sequence induction dengan penekanan pada krikoid atau
dengan intubasi awake.
- Sebelum dilakukan induksi berikan preoksigenasi dengan masker selama 3-5 menit.
- Induksi inhalasi hanya dilakukan pada pasien dengan status hidrasi yang baik, lokasi
obstruksi pada kolon bawah, tidak ada distensi gaster (tidak ada muntah), dan belum
terpasang jalur intravena.
- Induksi inhalasi dilakukan dengan memakai sevofluran atau halotan.
- Hindari pemakaian N2O karena akan semakin menyebabkan distensi. Pilihan gas yang
lebih baik adalah campuran air dan oksigen.
- Berikan suplemen narkotik (misal: fentanil). Tetapi hindari memberikan dosis besar pada
keadaan hemodinamik yang tidak stabil dan pada bayi prematur yang beresiko besar
terjadinya apnoe pascaoperatif.
- Lakukan kontrol ventilasi untuk mengatasi tekanan intraabdominal yang tinggi akibat
obstruksi dan monitoring end tidal CO2 secara ketat.
- Pemberian cairan intravena tergantung dari jumlah kebutuhan maintenan, defisit cairan
sebelumnya, dan kehilangan cairan ke ruang ketiga/ darah yang terjadi selama operasi.
- Cairan maintenan diberikan D5 ½ NS sedangkan cairan pengganti diberikan balanced
salt solution (RL).
- Kehilangan darah aktual diganti dengan 3 ml cairan kristaloid untuk tiap 1 ml darah yang
hilang sampai dicapai maximum allowable blood lose.
- Lakukan pemeriksaan faktor koagulasi apabila actual blood lose melebihi estimated
blood volume.
9. MANAJEMEN PASCAOPERASI
- Pada akhir operasi ETT tetap dipertahankan sampai pasien benar-benar bangun, ventilasi
spontan adekuat, temperatur inti normal, efek pelemas otot dan obat-obatan lainnya telah
benar-benar hilang.
- Bantuan ventilasi dan kardiovaskular dipertimbangkan pada pasien dengan insisi yang
lebar, sepsis, kardiovaskular yang tidak stabil, dan depresi pada sistem saraf pusat.
- Berikan oksigen suplemen jika pulse oximetry < 95%
- Pada infan prematur atau riwayat kelahiran prematur harus dilakukan monitoring
pernapasan terhadap kemungkinan apnoe selama 6-12 jam pascaoperasi. Monitor
terhadap kemungkinan hipoglikemia pascaoperasi.
- Transportasi pasien dilakukan dengan posisi lateral.

10. DOKUMEN TERKAIT :


- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent

11. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,
dokter bedah anak, dokter ahli anak di lingkungan RS Panti Rapih
12. REFERENSI:
- Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Intestinal obstruction in children. Dalam:
Understanding Paediatric Anaesthesia.2008.h: 193-196.
- Bell C,Kain ZN. Anesthesia for gastrointestinal disorder. Dalam: The Pediatric
Anesthesia Handbook. Edisi II. 1997.h:251-253
ANESTESI PADA PEDIATRIK:

TRACEOESOPHAGEAL FISTULA

(TEF)

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien pediatri dengan
kelainan TEF yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP: Diagnosis, manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN : Tindakan pembedahan definitif ditunda sampai pneumonia teratasi atau


telah mengalami perbaikan dengan antibiotik. Kunci sukses manajemen pasien TEF adalah
penempatan posisi ETT yang tepat.

4. DIAGNOSIS:
- Antenatal: polihidramnion maternal
- Postnatal: ditandai dengan 3C, yaitu: choking, coughing, dan cyanosis,
- Suspek diagnosis TEF bila pada saat pemasangan NGT terdapat obstruksi.
- TEF sering disertai dengan pneumonia aspirasi dan kelainan kongengital lainnya.

5. ASSOCIATED ANOMALIES
VATER SYNDROME:

Vertebral anomalies atau ventricular septal defect Anal atresia

- Tracheoesofageal fistula
- Esofageal atresia
- Radial aplasia dan renal anomalies
VACTERL:

- Cardiac dan limbs anomalies


6. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Lakukan usaha untuk mencegah terjadinya aspirasi pneumonia, yaitu dengan
memposisikan pasien dalam keadaan head-up, hindari pemberian makan/ minum,
kantung esophageal harus selalu bersih dari sekret dengan memasang esofageal tube.
- Lakukan chest physiotherapy
- Berikan antibiotik
- Gastrostomi untuk dekompresi lambung dan pemberian nutrisi apabila opera1 raasih
ditunda. Gastrostomi dapat dilakukan dalam anestesi lokal.
- Pasien ini mempunyai kemungkinan yang besar untuk terjadinya dehidrasi karena
asupan oral yang tidak cukup, oleh karena itu segera lakukan rehidrasi dengan
pemberian cairan intravena.

7. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Tindakan pembedahan definitif ditunda sampai pneumonia teratasi atau telah mengalami
perbaikan dengan antibiotik.
- Lakukan suclioning sekret faring pada kantung esophageal secara berkala sebelum dan
seiama pembedahan karena pada pasien ini bertendensi untuk terjadi sekresi yang
banyak.
- Pencegahan pneumonia aspirasi juga dilakukan dengan melakukan suctioning pada tube
gastrostomi. Pastikan pasien sudah dalam keadaan euvolume.
- Sebelum operasi dimulai pastikan sudah terdapat persediaan darah apabila sewaktu-
waktu dibutuhkan transfusi segera.
- Hindari memberikan ventilasi tekanan positif sebelum dilakukan intubasi karena akan
menyebabkan distensi lambung yang akan mengganggu pengembangan paru.
- Intubasi dilakukan secara awake dan tanpa pelumpuh atau dengan sedasi dan tetap
mempertahankan napas spontan untuk menghindari distensi yang berlebihan pada
lambung sehingga meningkatkan resiko terjadinya aspirasi dan gangguan respirasi.
- Penggunaan pelumpuh otot untuk intubasi dapat diberikan hanya setelah dilakukan
penilaian bahwa ventilasi yang kita berikan secara hati-hati dapat menghasilkan
pergerakan dada yang adekuat tanpa terjadinya distensi lambung.
- Apabila terjadi distensi lambung pada pasien yang telah terpasang gastrostomi maka
udara dari lambung harus dikeluarkan dengan mengalirkan melalui tube gastrostomi.
- Kunci sukses manajemen pasien TEF adalah penempatan yang tepal posisi ETT.
- Idealnya ujung ETT harus berada di antara fistula dan karina sehingga gas anestesi dapat
masuk ke dalarn paru dan tidak ke lambung. Untuk itu dapat dilakukan dengan
memasukkan ujung ETT ke dalam salah satu bronkus, kemudian sambil dilakukan
auskultasi dilakukan penarikan ETT. Penarikan ETT dihentikan apabila bunyi suara
kedua paru telah sama yang menandakan ujung ETT telah berada di atas karina.
- Lakukan pemasangan stetoskop prekordial.
- Penurunan saturasi oksigen dapat merupakan indikasi bahwa terjadi retraksi pada bagian
paru dan memerlukan tindakan untuk re-ekspansi.
- Retraksi selama pembedahan juga dapat menimbulkan penekanan pada pembuluh darah
besar, trakea, jantung, dan nervus vagus yang ditandai dengan hipotensi dan bradikardia.
Lakukan monitoring tekanan darah secara kontinyu dengan arterial line.
- Pada saat menentukan fraksi oksigen yang akan diberikan harus dipertimbangkan
adanya resiko terjadinya retinopathy of prematurity (ROP).

8. MANAJEMEN PASCAOPERASI
- Pertimbangkan untuk dilakukan ventilasi pascaoperasi pada pasien dengan pneumoni
aspirasi sebelumnya, atau apabila pada anastomosis yang dilakukan terjadi tension.
- Berkurangnya kartilago trakea dapat menyebabkan kolaps pada trakea setelah dilakukan
ekstubasi.
- Hindari ekstensi pada leher dan tindakan instrumentasi esophagus (misal: suctioning)
karena dapat menimbulkan kerusakan daerah operasi.

9. DOKUMEN TERKAIT :
- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent

10. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,
dokter bedah anak, dokter ahli anak di lingkungan RS Panti Rapih
11. REFERENSI:
- Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pediatric anesthesia. Dalam: Anesthesiology, ed.4,
2006, h: 941-942
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Disease presenting in pediatric patients. Dalam: Handbook
for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 532-533.
- Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Neonatal Surgical Emergent' Dalam:
Understanding Paediatric Anaesthesia.2008.h: 63-65.

ANESTESI PADA PEDIATRIK:

GASTROSCHISIS dan OMPHALOCELE


1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien pediatri dengan
kelainan gastroskisis yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP: Diagnosis, manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN: Manajemen perioperatif difokuskan pada pencegahan terjadinya hipotermia,


infeksi, dan dehidrasi.

4. PENGERTIAN:
Gastroschisis dan Omphalocele merupaka kelainan kongengital yang ditandai dengan defek
pada dinding abdomen sehingga terjadi herniasi eksternal organ viscera.

5. PERBEDAAN GASTROSCHISIS DAN OMPHALOCELE:


Omphalocele timbul pada bagian tengah umbilikus, mempunyai kantung, dan sering
berhubungan dengan kelainan kongengital lainnya, seperti: trisomi 21, hernia diafragmatika,
malformasi jantung dan blader. Sedangkan gastroschisis terjadi di daerah lateral umbilicus,
tidak berkantung, dan biasanya merupakan kelainan tunggal. Gastroschisis mempunyai
resiko yang lebih besar untuk terjadinya kehilangan cairan dan elektrolit secara masif.

6. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Manajemen perioperatif difokuskan pada pencegahan terjadinya hipotermia, infeksi, dan
dehidiasi. Lakukan dekompresi lambung dengan memasang NGT.
- Lakukan penilaian terhadap status hidrasi dan elektrolit dan segera lakukan koreksi bila
belum optimal.
- Terapi apabila terjadi infeksi, terutama pada gastroshisis yang mempunyai resiko infeksi
yang lebih besar.
- Cegah terjadinya hipotennia dengan memberikan penghangat. Pasien dengan
gastroschisis dan omphalocele mempunyai tendensi untuk kehilangan panas tubuh
melalui evaporasi.

7. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Lakukan dekompresi melalui NGT sebelum induksi.
- Intubasi dapat dilakukan dengan pasien dalam keadaan awake atau tidur, baik dengan
pelemas otot atau tanpa pelemas otot.
- Hindari penggunaan N2O untuk mencegah distensi lebih lanjut pada usus.
- Pemberian pelemas otot diperlukan saat memasukkan usus ke dalam rongga abdomen.
- Penutupan satu tahap (perbaikan primer) tidak selalu dianjurkan karena dapat
menyebabkan sindrom kompartemen abdominal, sehingga dilakukan pemasangan silastic
silo untuk meregangkan kulit dinding abdomen selama beberapa hari kemudian dilakukan
penutupan secara komplit.
- Penutupan primer yang menyebabkan dinding abdomen menjadi tegang akan
menimbulkan kompresi aortokaval, hipotensi berat, mengganggu aliran balik vena dan
menyebakan edema pada tubuh bagian bawah.
- Apabila terjadi sindrom kompartemen abdomen hams dilakukan pembukaan kembali
dinding abdomen yang telah ditutup, kemudian berikan hidrasi yang agresif dan
inotropik.
- Kriteria untuk menilai tekanan abdomen yang aman untuk dilakukan penutupan, adalah
sebagai berikut:
 Tekanan intragaster < 20 cmH2O
 Tekanan intravesika < 20 cmH2O
 End tidal CO2 < 50 mmHg
 Peak inspiralory pressure < 35 cmH2O

8. MANAJEMEN PASCAOPERASI
- Pascaoperasi pasien dipertahankan tetap dalam keadaan terintubasi.
- Penyapihan dari ventilator dilakukan 1-2 hari berikutnya.
- Cegah terjadinya hipotermi, dehidrasi, dan infeksi.
9. DOKUMEN TERKAIT :
- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent

10. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,
dokter bedah anak, dokter ahli anak di lingkungan RS Panti Rapih
11. REFERENSI:
- Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pediatric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 942
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Disease presenting in pediatric patients.Dalam: Handbook for
Anesthesia and Co-existing Disease. 2002, h: 533-534.
- Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Neonatal Surgical Emergencies. ,
Dalam: Understanding Paediatric Anaesthesia. 2008. h: 65-67.

ANESTESI PADA PEDIATRIK:

HERNIA DIAFRAGMA
KONGENGITAL

1. TUJUAN : Sabagai acuan pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien pediatri dengan
penyakit sirosis hepatis yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP: Patofisiologi, gejala klinis, manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN : Manajemen inisial yang harus dilakukan adalah melakukan stabilisasi


pasien sebelum melakukan prosedur koreksi.

4. PENGERTIAN:
Hernia diafragma kongengital terjadi karena kegagalan penutupan diafragma pada masa
perkembangan fetus yang mengakibatkan herniasi isi abdomen ke dalam toraks. Usus yang
mengalami herniasi kedalam toraks akan memberikan efek seperti space occupying lesion
dan menghambat perkembangan normal dari paru.

5. LOKASI DEFEK:
Defek diafragma dapat terjadi pada 3 tempat:

- Posterolateral kanan dari Foramen Bochdalek Posterolateral kiri dari Foramen


Bochdalek
- Anterior dari Foramen Morgagni
Sebagian besar herniasi (90%) terjadi pada sisi kiri, terutama pada bagian posterolateral
foramen bochdalek.

6. PATOFISIOLOGI
- Tanda utama hernia diafragma, adalah: hipoksia, abdomen berbentuk scaphoid, serta
didapatkan bukti adanya usus di dalam toraks baik melalui pemenksaan auskultasi atau
radiologi.
- Hipoplasia paru biasanya ipsilateral tetapi dapat pula bilateral akibat pergeseran
mediastinum yang akan mengkompresi paru kontralateral. Hipoplasia ini terjadi karena
efek kompresi usus yang mengalami herniasi sehingga terjadi reduksi alveoli dan
bronkioli.
- Paru yang hipoplastik memberikan gambaran bronki yang lebih kecil, cabang bronkus
lebih sedikit, dan gambaran vaskularr abnormal.
- Otot polos pada pembuluh darah arteriol akan menebal dan meluas ke dalam kapiler
alveoli sehingga terjadi peningkatan tekanan arteri pulmonal dan terjadilah shunting dari
kanan ke kiri.
- Derajat hipoplasi paru dan hipertensi pulmonal ditentukan oleh masa gestasi saat hemiasi
tersebut terjadi.
- Penurunan preload dan cardiac output terjadi apabila terdapat penekan herniasi pada
vena cava sehingga terjadi obstruksi.
- Hernia diafragmatika kadang disertai dengan kelainan dan malrotasi jantung.
- Gangguan kardipulmonal yang terjadi terutama disebabkan oleh hipoplasia paru dan
hipertensi pulmonal dibandingkan akibat efek massa dari viscera yang mengalami
herniasi.

7. GAMBARAN KLINIS:
- Severe respiratory distress; dispnoe/ takipnoe, sianosis, dan retraksi berat.
- Peningkatan diameter anteroposterior dari dada dengan abdomen yang berbentuk relatif
scaphoid.
- Pada saat auskultasi sedikit sekali terdengar adanya aliran darah paru dan terdengar
adanya bising usus.
- Hipoksia Asidosis

8. MANAJEMEN PREOPERATIF
Manajemen inisial yang harus dilakukan adalah melakukan stabilisasi pasien sebelum
melakukan prosedur koreksi. Manajemen yang dilakukan adalah:

- Lakukan dekompresi lambung dengan memasang NGT


- Posisikan pasien semi-recumbent dengan bagian yang mengalami hernia pada sisi bawah
- Amankan jalan nafas untuk menjaga keadaan tetap normokarbia. Lakukan intubasi
apabila terdapat depresi pernafasan berat
- Jangan lakukan ventilasi dengan masker, hal ini akan menyebabkan lambung menjadi
distensi dan semakin mengganggu jalan nafas. Lakukan inrubasi dalam keadaan awake.
- Lakukan stabilisasi segera dengan sedasi, paralisis dan hiperventilasi moderat
- Apabila keadaan bayi memburuk dengan PaCO2 yang tinggi, maka usah t untuk
menurunkan PaCO2 < 40 mmHg. Hal ini akan menurunkan PVR h meningkatkan
oksigenasi.
- Saat memberikan ventilasi harus selalu diperhatikan untuk menghindari tekanan inspirasi
yang tinggi karena dapat menyebabkan barotrauma.
- Ventilasi dan oksigenisasi dapat dilakukan dengan High Frequency Oscillatory
Ventilation (HFOV) dengan resiko barotrauma yang lebih kecil. Nitric oxide dapat
diberikan untuk menurunkan tekanan arteri pulmonal. Jaga suhu pasien tetap normotermi.
- Lakukan monitoring dan koreksi terhadap AGD dan elektrolit. Hindari keadaan asidosis
dan hiperkarbia. Keadaan alkalosis dapat memperbaiki aliran darah paru. Tindakan
pembedahan dini dapat dilakukan apabila hipertensi pulmonal stabil dan shunting dari
kanan-kiri hanya sedikit.
- Jika pasien gagal untuk distabilkan maka stabilisasi dilakukan dengan extracorporeal
membrane oxygenation (ECMO), namun fasilitas ini belum tersedia di RSHS.

9. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Lakukan dekompresi lambung dengan memasang NGT
- Posisikan pasien semi-recumbent dengan bagian yang mengalami hernia pada sisi bawah
- Lakukan preoksigenasi sebelum induksi
- Lakukan intubasi secara awake atau tanpa bantuan pelemas otot.
- Rumatan anestesi diberikan dengan volatile konsentrasi rendah atau opioid, pelemas
otot, dan air sesuai dengan toleransi pasien.
- Analgesi harus diberikan secara adekuat untuk menumpulkan stress respon sehingga
meminimalkan peningkatan PVR yang mendadak dengan akibat shunting kanan ke kiri.
- Jangan gunakan N2O karena dapat membuat distensi usus dan membuat pasien semakin
hipoksia.
- Ventilasi tekanan positif yang diberikan harus membatasi peak inspiratory pressure < 30
cmH2O.
- Lakukan monitoring terhadap tahanan jalan nafas. Peningkatan yang tiba-tiba tahanan
jalan nafas/ penurunan compliance paru, penurunan oksigenasi yang tiba-tiba dapat
merupakan indikasi terjadinya pneumotoraks (barotrauma). Apabila teijadi
pneumotoraks maka harus dilakukan pemasangan CTT.
- Usaha untuk mengembangkan paru yang hipoplastik setelah dilakukan reduksi terhadap
hernia dapat menyebabkan kerusakan pada paru yang normal.

10. MANAJEMEN PASCAOPERASI


- Lakukan pemantauan ventilasi, oksigenasi, temperatur, dan keseimbangan elektrolit.
- Berikan FiO2 untuk menjaga Pa02 > 150 mmHg.
- Penyapihan terhadap oksigen harus dilakukan secara perlahan dalam 48-72 jam untuk
menghindari terjadinya vasokonstriksi pulmoner yang tiba-tiba dan pulmonal hipertensi
(honeymoon phenomenon).
11. DOKUMEN TERKAIT :
- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent.

12. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,
dokter bedah anak, dokter ahli anak di lingkungan RS Panti Rapih
13. REFERENSI:
- Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pediatric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 940-941
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Disease presenting in pediatric patients. Dalam: Handbook for
Anesthesia and Co-existing Disease. 2002, h: 531-532.
- Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Neonatal Surgical Emergencies. Dalam:
Understanding Paediatric Anaesthesia. 2008. h: 60-63.
ANESTESI PADA PEDIATRIK PREMATUR

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien pediatri dengan
prematuritas yang akan menjalani tindakan pembedahan.
2. RUANG LINGKUP : Problema prematuritas, konsiderasi anestesi.
3. KEBIJAKAN : Perhatian khusus pengelolaan infant prematur dititikberatkan terhadap
kontrol jalan nafas, manajemen cairan, dan regulasi suhu tubuh .
4. PENGERTIAN :
Prematuritas didefinisikan sebagai kelahiran pada usia kehamilan < 37 minggu. Keadaan ini
harus dibedakan dengan “small for gestational age” dimana berat badan infant (cukup
bulan atau prematur) yang kurang dari fifthpercentile.

5. PROBLEM PREMATURITAS:
- Problem medis pada neonatus prematur bersifat multipel yang diakibatkan immaturitas
dari sistem organ mayor atau asfiksia intrauterin.
- Komplikasi pulmonal dapat berupa: hyaline membrane disease, apneic spell, dan
bronkopulmonari dysplasia. Pemberian surfaktan eksogen telah terbukti efektif untuk
mengatasi respiratory distress syndrome pada neonates tersebut.
- Patent ductus arteriosus; keadaan ini dapat menimbulkan shunting, edema paru, dan
gagal jantung kongestif.
- Hipoksia persisten atau syok dapat mengakibatkan iskemik pada usus dan necrotizing
enterocolitis.
- Prematuritas meningkatkan resiko terjadinya infeksi, hipotermi, perdarahan intrakranial,
dan kem ikterus.
- Prematuritas biasanya berhubungan dengan peningkatan insidens anomaly kongengital.
6. KONSIDERASI ANESTESI
- Perhatian khusus pengelolaan infant prematur dititikberatkan terhadap kontrol jalan
nafas, manajemen cairan, dan regulasi suhu tubuh.
- Resiko terjadinya retinopathy of prematurity (ROP) akibat keadaan hiperoksia yang dapat
menyebabkan kebutaan.
- Hindari pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi karena dapat menyebabkan
kebutaan. Hal ini dapat dihindari dengan memakai campuran oksigen dengan udara atau
N2O.
- ROP diduga lebih diakibatkan oleh pemberian oksigen dengan kadar yang fluktuatif
dibandingkan dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi. Oksigenasi harus terus
dimonitor secara kontinyu dengan pulse oximetry terutama pada infant dengan usia < 44
minggu postkonsepsi. PaO2 normal pada neonatus adalah 60-80 mmHg.
- Kebutuhan anestetik pada neonates prematur akan berkurang.
- Pemberian opioid agonis lebih disukai dibandingkan dengan volatile anestesi dikarenakan
efeknya bertendensi untuk menimbulkan depresi miokardial.
- Lakukan kontrol ventilasi dengan pelemas otot.
- Monitoring dilakukan dengan pulse oximetry, EKG, NIBP, temperatur, kapnograf, dan
stetoskop prekordial.
- Infant prematur dengan usia < 50 minggu postkonsepsi mempunyai resiko yang sangat
besar untuk terjadinya apnoe yang bersifat obstruktif maupun sentral selama 24 jam.
- Resiko lain untuk terjadinya apnoe pascaanestesi adalah; anemia (ht<30%), hipotermi,
sepsis, dan kelainan neurologis.
- Resiko apnoe pascaanestesi dapat dikurangi dengan memberikan kafein 10 mg/ kg atau
aminofilin.
- Operasi elektif atau ODS harus ditunda sampai usia infan minimal mencapai 50 minggu
postkonsepsi.
- Infant dengan usia 50-60 minggu postkonsepsi yang menjaiani operasi harus di monitor
di PACU paling tidak selama 2 jam.
7. DOKUMEN TERKAIT :
- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent

8. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,
dokter bedah anak, dokter ahli anak di lingkungan RS Panti Rapih
9. REFERENSI:
- Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pediatric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 939-940.
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:

TETRALOGY OF FALLOT (TOF)

PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalani pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien pediatri dengan
TOF yang akan menjalani tindakan pembedahan non kardiak.
2. RUANG LINGKUP: Patofisiologi, gejala Idinis, manajemen perioperatif.
3. KEBIJAKAN : Tujuan utama saat induksi adalah mencapai level anesthesia yang diperlukan
untuk mencegah meningkatnya shunt dari kanan-kiri.
4. PENGERTIAN:
Tetralogy offallot merupakan kelainan kongengital pada jantung yang terdiri atas:
Ventricular septal defect (VSD) yang berukuran besar, obstruksi aliran darah ventrikel kanan
(subvalvular, valvular, supravalvular, cabang arteri pulmonalis), overriding aorta (kelainan
posisi aorta sehingga aorta menerima darah dari kedua ventrikel). dan hipertropi ventrikel
kanan.

5. PATOFISIOLOGI TOF:
- Karakteristik utama dari TOF adalah sianosis.
- Sianosis pada TOF disebabkan oleh terjadinya shunt dari kanan ke kiri pada ventrikel
disertai aliran darah pulmoner yang tidak adekuat.
- Obstruksi aliran darah pada ventrikel kanan akan menyebabkan darah yang dipompakan
ventrikel kanan mengalir melalui VSD yang ada kemudian masuk ke dalam overriding
aorta.
- Keadaan tersebut juga akan mengakibatkan aliran darah ke dalam sirkulasi paru untuk
proses oksigenasi semakin berkurang dan terjadi percampuran darah desaturasi kedalam
sirkulasi sistemik sehingga terjadilah sianosis.
- Tekanan ventrikel kanan akan mendekati atau bahkan sama dengan tekanan pada sirkulasi
sistemik sehingga terjadi kompensasi berupa hipertropi ventrikel kanan.
- Derajat shunting melalui VSD proporsional dari hubungan PVR terhadap SVR.
- PVR lebih cenderung tidak berubah tetapi perubahan akan dipengaruh oleh aktivitas.
- Peningkatan PVR dan penurunan SVR akan memperburuk derajat sianosis
6. MANIFESTASI KLINIS:
- Hampir Semua pasien dengan TOP mempunyai riwayat sianosis sejak lahir. Pada
pemeriksaan auskultasi didapatkan ejection murmur .
- Gagal jantung kongestif jarang terjadi karena adanya VSD yang memungkinkan
terjadinya keseimbangan tekanan intraventrikular dan beban kerja jantung.
- Pada ronsen toraks didapatkan gambaran jantung “boot shaped” dan penurunan
vaskularisasi paru.
- EKG memberikan gambaran right axis deviation dan hipertropi ventrikel kanan.
- Terdapat desaturasi oksigen arterial walaupun telah diberikan oksigen 100% (PaO2
biasanya < 50 mmHg), PaCOl dan pH arteri biasanya normal.
- Pasien dengan TOP sering melakukan squatting untuk mningkatkan SVR dan
menurunkan shunt dari kanan-kiri
7. PINK TET, TET SPELL (HYPERCYANOTIS SPELLS), DAN
PENATALAKSANAANNYA
PINK TET

- Pink tet terjadi pada pasien TOF dengan aliran darah pulmoner yang adekuat.
- Tambahan aliran darah ini didapat dari patent ductus arteriosus (PDA), kolateral aorto-
pulmonal, atau pembuluh-pembuluh kolateral lainnya (bronchial, interkostal, atau arteri
koroner) ke dalam arteri pulmonal.
- Pada perjalanannya derajat obstruksi akan semakin meningkat sehingga terjadilan
perubahan pink tet menjadi sianotik TOF
HYPERCYANOTIC SPELL (TET SPELL)

- Tet spell merupakan episode paroksismal terjadinya serangan sianosis yang secara akut
memburuk.
- Keadaan ini dapat terjadi pada saat anak menangis, makan, atau bahkan pada defekasi
yang kesemuanya akan meningkatkan terjadinya shunt dari kanan-kin.
- Mekanisme peningkatan shunt tersebut adalah sebagai berikut:
o Peningkatan PVR; pada keadaan ini akan terjadi pengurangan aliran darah pulmoner
dan meningkatkan shunt dari kanan-kiri. Penatalaksanaannya adalah dengan
menurunkan PVR dengan cara hiperventilasi dengan oksigen 100% dan pemberian
bikarbonat untuk mengatasi keadaan asidosis yang menyebabkan peningkatan PVR.
o Dynamic outflow obstruction; spasme infundibular terjadi akibat takikardi,
hipovolemia, dan peningkatan kontraktilitas miokardial. Spasme ini akan
menyebabkan aliran darah menuju arteri pulmonal semakin berkurang dan akan
memperburuk shunt dari kanan-kiri. Penatalaksanaan spasme ini adalah dengan
memberikan p-blocker, pemberian volume cairan, dan mendalamkan anestesi untuk
menurunkan level katekolamin.
o Penurunan SVR; hal ini akan meningkatkan shunt dari kanan-kiri.
Penatalaksanaannya adalah dengan memperbaiki status volume dengan memberikan
cairan, untuk memastikan pengisian ventrikel kanan yang adekuat dan pemberian a-
adrenergik agonist untuk meningkatkan SVR. SVR juga dapat ditingkatkan dengan
melakukan fleksi pada kedua tungkai atau kompresi aorta abdominal.
8. DIAGNOSIS
Echocardiography dilakukan untuk menegakkan diasgnosis dan untuk menilai apakah ada
kelainan lainnya, derajat obstruksi ventrikel kanan, ukuran arteri pulmonal, ukuran dan
lokasi VSD.

9. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Anamnesa riwayat hypercyanotic spell (frekuensi serangan, beratnya serangan, dan
terapinya), dan riwayat terjadinya gagal jantung
- Derajat berat ringannya penyakit jantung ini dapat dilihat dari berat badan pasien,
pertumbuhan dan perkembangan, serta level aktivitas pasien
- Hematokrit biasanya terjadi meningkat pada pasien-pasien yang sianotik. Untuk
mencegah terjadinya komplikasi akibat polisitemia dapat dilakukan plebotomi
intraoperatif
- Jangan puasakan pasien terlalu lama untuk menghindari keadaan dehidrasi atau lakukan
pemasangan jalur intravena sebelum pasien dibawa ke kamar operasi.
- Pada saat pemasangan jalur intravena hindari adanya gelembung udara karena dapat
menyebabkan emboli udara sistemik.
- Premedikasi oral direkomendasikan pada anak-anak dengan riwayat hipersianotik. Untuk
anak > 9 bulan dapat diberikan midazolam 0,5-1 mg/ kg per oral 10-20 menit sebelum
induksi, atau pentobarbital 2-4 mg/kg 45 menit sebelum induksi. Hindari pemberian
premedikasi secara intramuskular karena dapat memicu hipersianotik spell.
- Terapi propanolol 5-10 meg/kg harus tetap dilanjutkan sampai pada saat menjelang
operasi.
10. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Tujuan utama saat induksi adalah mencapai level anesthesia yang diperlukan untuk
mencegah meningkatnya shunt dari kanan-kiri.
- Stres pada saat induksi akan memicu timbulnya hypercyanotic spell. Oleh karena itu
sasaran kita pada saat induksi adalah:
o Menjaga SVR; hindari pemberian obat-obatan yang menurunkan SVR dan lakukan
penatalaksanaan bila terjadi penurunan tekanan darah dengan memberikan
vasokonstriktor.
o Turunkan PVR untuk menjaga atau meningkatkan aliran darah paru. Keadaan yang
dapat meningkatkan PVR adalah: hiperkarbia, hipoksia, anestesi yang dangkal,
atelektasis, polisitemia, dan asidosis. Sedangkan keadaan yang menurunkan PVR
adalah: hipokarbia, anemia, alkalosis, oksigen konsentrasi tinggi, dan anestesi yang
dalam. PVR juga dapat diturunkan dengan memakai obat-obatan seperti: nitrogliserin,
sodium nitroprusid, pentolamin, tolazolin, prostaglandin El, atau nitrik oksida
inhalasi.
o Keadaan depresi miocardial ringan dan euvolemia akan membantu mencegah atau
membatasi serangan hypercyanotic spell. Semua vola anesthesia menimbuikan
depresi miokardial terutama halotan.
o Denyut jantung yang lambat akan menurunkan kejadian spasme infundibular.
- Bila jalur intravena sudah terpasang induksi dapat dilakukan dengan memberikan
ketamin 1-2 mg/ kg i.v. Ketamin akan meningkatkan SVR dan meningkatkan aliran darah
pulmoner sehingga akan menurunkan derajat shunting.
- Bila jalur intravena belum terpasang dapat diberikan ketamin intramuskular 3-4 mg/ kg,
terutama pada anak-anak yang akan mengalami ketakutan bila diberikan inhalasi.
- Induksi inhalasi dapat dilakukan pada pasien-pasien yang tidak begitu sianosis (pink tet).
Efek inotropik negatif halotan sangat menguntungkan untuk mencegah dan mengatasi
spasme infundibular, disamping itu halotan juga dapat menjaga SVR dibandingkan
volatile lainnya.
- Intubasi dilakukan dengan fasilitasi pelemas otot vekuroniura atau pankuronium 0,1-0,2
mg/ kg. Hindari pemakaian pelemas otot yang bersifat melepaskan histamin.
- Maintenan anestesi dapat diberikan dengan ketamin dikombinasikan dengan N2O untuk
tetap menjaga SVR. Namun pemakaian N2O mempunyai kerugian karena dapat
meningkatkan PVR dan mengurangi konsentrasi oksigen yang diberikan. Untuk itu
pemakaian N2O dibatasi maksimal 50%.
- Maintenan juga dapat dilakukan dengan volatile, opioid, oksigen murni atau oksigen
dengan udara. Hal ini tergantung derajat sianosisnya. Lakukan ventilasi kontrol dengan
tidak memberikan tekanan positif yang terlalu besar karena dapat menurunkan aliran
darah paru.
- Hindari hipovolemia intraoperatif karena akan meningkatkan shunt dari kanan-kiri Obat
a-adrenergik agonis harus tersedia untuk mengatasi penurunan tekanan darah yang
diakibatkan oleh penurunan SVR.
- Bila terjadi hypercyanotic spell intraoperatif lakukan penatalaksanaan dengan
mendalamkan anestesi, hiperventilasi dengan oksigen 100%, berikan eairan intravena,
naikkan SVR dengan fenileprin 5 meg/ kg, dan turunkan spasme infundibular dengan p-
blocker.
- Pemberian sodium bikarbonat untuk mengkoreksi gangguan asam basa dapat dilakukan
pada keadaan hipoksemia berat yang memanjang. Monitoring standar: EKG, pulse
oximetry, NIBP, etCO2, temperatur rektal/ esophageal, dieresis, stetoskop prekordial.
11. DOKUMEN TERKAIT :
- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
12. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,
dokter bedah anak, dokter ahli anak di lingkungan RS Panti Rapih
13. REFERENSI :
- Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Anaesthestic management of children with
common CHD for no cardiac surgery. Dalam: Understandine Paediatric Anaesthesia.
2008. h: 117-119.
- Stoelting. Congengital heart disease. Dalam:Anesthesia and Co-existing Disease. h.50-53
- Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with cardiovascular
disease. Dalam: Clinical Anesthesiology. Ed. 4. H:482
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:

VENTRIKEL SERIAL DEFECT (VSD)

PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien pediatri dengan
VSD yang akan menjalani tindakan pembedahan non kardiak.
2. RUANG LINGKUP: Patofisiologi, gejala klinis, manajemen perioperatif.
3. KEBIJAKAN : Bila fungsi miokardial masih baik maka induksi dapat dilakukan dengan
anestesi inhalasi maupun dengan anestesi intravena. Tetapi apabila fungsi ventrikel kiri tidak
begitu baik maka ketamin/ opioid adalah pilihan yang lebih baik.
4. PENGERTIAN:
VSD merupakan kelainan kongengital jantung yang paling sering terjadi pada infant dan
anak-anak. Sebagian besar VSD akan menutup secara spontan saat anak mencapai usia 2
tahun. Secara anatomis lokasi VSD yang paling sering adalah pada daerah membran dari
septum intraventrikular (70%), 20% pada daerah muskular septum, 5% di bawah katup
aorta sehingga menyebabkan regurgitasi aorta, dan 5% terdapat di dekat persambungan
antara katup mitral dan trikuspid.

5. PATOFISIOLOGI:
- Shunting dari kiri ke kanan akan menyebabkan peningkatan aliran darah pulmonal,
volume biventrikular meningkat, dan beban kerja biventrikular juga akan meningkat.
- Pada VSD yang besar besarnya shunting tergantung dari rasio antara SVR dan PVR.
- Sedangkan pada VSD yang kecil perbedaan tekanan antara kedua ventrikel dan shunting
akan tergantung pada lubang septal.
- Aliran darah pulmonal yang besar akan menyebabkan compliance paru berkurang
sehingga work of breathing akan meningkat dan dapat mempresipitasi terjadinya gagal
nafas.
- Bila VSD yang berukuran besar tidak dikoreksi maka akan terjadi hipert ventrikel kanan
dan terjadi peningkatan tekanan arteri pulmonal dan akhim menimbulkan eisemenger dan
desaturasi berat.
- Oleh karena itu, semakin lama kelainan tersebut tidak dilakukan koreksi maka akan
semakin jelek responnya terhadap anestesi yang diberikan.
6. MANIFESTASI KLINIS:
- Riwayat perjalanan penyakit VSD tergantung pada ukuran VSD dan PVR. Pasien berusia
dewasa dengan defek yang kecil dan tekanan arteri pulmonal normal pada umumnya
asimptomatik dan jarang menimbulkan hipertensi pulmonal. Gangguan fisiologis pada
VSD tergantung dari ukuran defek dan resistensi relatif pada sirkulasi sistemik dan
pulmonal.
- Pada defek yang berukuran kecil hanya menyebabkan gangguan fungsional yang minimal
dengan sedikit peningkatan aliran darah pulmonal.
- Jika defek berukuran besar maka tekanan sistolik kedua ventrikel akan sama dan
besarnya aliran darah sistemik dan pulmonal akan ditentukan oleh resistensi vaskular
relatif antara kedua sirkulasi tersebut.
- Pada awalnya SVR akan lebih besar dari PVR dan shunting yang predominan adalah dari
kiri ke kanan. Pada kelanjutannya PVR akan meningkat dan besarnya shunting dari kiri
ke kanan akan menurun bahkan akan terjadi dari kanan ke kiri sehingga terjadilah
hipoksemia arterial (sianosis).
- Pada VSD sedang-berat akan terdengar murmur holosistolik yang terdengar paling keras
pada batas bawah sternal.
- VSD berukuran besar yang tidak dilakukan koreksi akan berkembang menjadi gagat
jantung kiri dan hipertensi pulmonal yang selanjutnya menimbulkan kegagalan pada
jantung kanan.
- EKG dan ronsen toraks pada VSD yang berukuran kecil memberikan gambaran normal.
Sedangkan pada VSD yang berukuran besar pada EKG terdapat gambaran perabesaran
atrium dan ventrikel kiri.
- Bila telah terjadi hipertensi pulmonal, aksis QRS akan bergeser ke kanan, dan terdapat
gambaran pembesaran atrium dan ventrikel kanan.
7. DIAGNOSIS
Pemeriksaan echocardiography dengan Doppler flow USG dilakukan untuk konflrmasi
adanya VSD serta lokasinya, kateterisasi jantung dan angiografi juga dapat digunakan untuk
konfirmasi adanya VSD dan dapat menentukan besarnya shunting intrakardiak dan PVR.

8. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pemberian premedikasi tergantung dari derajat disfungsi ventrikel.
- Berikan antibiotik profllaksis untuk mencegah terjadinya endokarditis infektif.
- Hindari adanya gelembung udara dalam jalur intravena karena dapat menyebabkan
emboli udara.
9. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Farmakokinetik dan farmakodinamik obat-obatan anestesi intravena dan inhalasi tidak
berubah secara signifikan
- Peningkatan SVR secara akut dan persisten serta penurunan PVR harus dihindari karena
akan memperbesar aliran shunting dari kiri-kanan, oleh karena itu pemakaian
anestestik volatile yang dapat menyebabkan penurunan SVR serta pemberian ventilasi
tekanan positif yang dapat menyebabkan peningkatan PVR dapat ditoleransi dengan baik
pada pasien VSD
- Bila fungsi miokardial masih baik maka induksi dapat dilakukan dengan anestesi
inhalasi maupun anestesi intravena. Tetapi apabila fungsi ventrikel kiri tidak begitu baik
maka ketamin/ opioid adalah pilihan yang lebih baik.
- Teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi shunt dari kiri-kanan:
o Ventilasi tekanan positif; meningkatkan PVR sehingga mengurangi aliran darah
pulmoner.
o Oksigen konsentrasi rendah; Oksigen bersifat sebagai vasodilator pulmoner,
sehingga dengan mengurangi FiO2 diharapkan dapat mengurangi aliran darah paru.
o N2O; membantu mengurangi konsentrasi oksigen
o Agen inhalasi; mengurangi SVR dan meningkatkan aliran darah sistemik.
o Opioid; membantu memblok respon terhadap stres.
o Ketamin; akan meningkatkan shunt dari kiri-kanan.
10. DOKUMEN TERKAIT :
- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent

11. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,
dokter bedah anak, dokter ahli anak di lingkungan RS Panti Rapih
12. REFERENSI:
- Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Anaesthestic management of children with
common CHD for non cardiac surgery. Dalam: Understanding Paediatric
Anaesthesia.2008.h: 116-117.
- Stoelting. Congengital heart disease. Dalam:Anesthesia and Co-existing Disease. h: 46-
47
- Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with cardiovascular
disease. Dalam: Clinical Anesthesiology.Ed. 4. H:481
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:

ATRIAL SERIAL DEFECT (ASD)

PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien pediatri dengan
ASD yang akan menjalani tindakan pembedahan non kardiak.
2. RUANG LINGKUP: Patofisiologi, gejala klinis, manajemen perioperatif.
3. KEBIJAKAN : Intervensi yang dapat meningkatkan tekanan atrial kanan melebihi atrial
kiri dapat menyebabkan aliran shunt berubah arah.
4. KLASIFIKASI:
Berdasarkan lokasi, ASD terdiri atas 3 tipe yaitu:

- Defek sekundum: lokasi pada daerah mid atrium pada sisi foramen ovale.
- Defek primum: lokasinya berdekatan dengan katup atrioventrikular yang diakibatkan
oleh defek endocardial cushion.
- Defek sinus venosus: pada cavoatrial junction
Hampir 75% ASD merupakan tipe sekundum. Pada tiap-tiap tipe ASD biasanya memiliki
kelainan jantung tambahan yang berbeda. Prolaps katup mitral sering terjadi pada tipe
sekundum dan regurgitasi terjadi akibat adanya celah pada bagian anterior katup mitral
sering terjadi pada ASD tipe primum.

5. PATOFISIOLOGI ASD:
- Arah dan besarnya shunt tergantung dari ukuran defek dan compliance relatif dari
ventrikel.
- Defek yang kecil ( < 0,5 cm ) hanya menyebabkan shunt yang kecil pula dan tidak
menunjukkan gejala hemodinamik. Sedangkan defek yang besar ( sekitar 2 cm ) dapat
menyebabkan darah dari atrial kiri menjadi shunting ke atrium kanan (compliance
ventrikel kanan lebih besar bila dibandingkan dengan ventrikel kiri) sebjngga aliran darah
ke paru meningkat.
- Peningkatan aliran darah paru merupakan karakteristik pada keadaan shunt dari arah kiri-
kanan. Pada keadaan ini dapat ditoleransi dengan baik, terjadi vasodilatasi perifer dengan
sedikit hipotensi biasanya tidak menimbulkan konsekuensi.
- Shunting akan meningkat apabila PVR menurun oleh beberapa keadaan seperti FiO2
yang tinggi dan PaCO2 yang rendah.
- Jika tidak dilakukan perbaikan defek pada saat pasien masih muda, maka akan
mengakibatkan aliran shunt menjadi bidirectional sehingga terjadi hipertropi ventrikel
kanan dan peningkatan tekanan arteri pulmonal.
6. MANIFESTASI KLINIS:
- Pada awalnya ASD tidak memberikan gejala pada pemeriksaan fisik sehingga dapat tidak
terdeteksi selama beberapa tahun.
- Defek yang berukuran kecil dengan shunting dari kanan-kiri yang kecil (rasio aliran
darah paru dibandingkan sistemik < 1,5) biasanya tidak menunjukkan gejala dan tidak
memerlukan tindakan penutupan ASD.
- Pada ASD yang berukuran besar akan memberikan gejala: sesak saat beraktivitas,
disritmia supraventrikular, gagal jantung kanan, emboli paradoksikal, dan infeksi paru
rekuren.
- Profilaksis antibiotik tidak diperlukan pada ASD kecuali didapatkan bersamaan dengan
kelainan katup.
- Murmur ejeksi sistolik dapat terdengar pada daerah celah interkostal kedua. Pada
pemeriksaan EKG terdapat gambaran right axis deviation dan RBBB inkomplit.
- Foto toraks memberikan gambaran arteri pulmonal yang nenonjol.
7. DIAGNOSIS
Untuk menentukan diagnosis dan lokasi ASD dilakukan pemeriksaan transechocardiography
dan dopier color flow echocardiography.

8. KONSIDERASI ANESTESI
- Hindari masuknya gelembung udara ke aliran darah sistemik melalui jalur intravena.
- Premedikasi dapat diberikan pada pasien ASD yang asimptomatik.
- Shunt yang dominan pada ASD adalah dari kiri-kanan.
- Shunt dari kiri-kanan pada ASD hanya memberikan sedikit implikasi pada manajemen
anestesi yang akan diberikan.
- Intervensi yang dapat meningkatkan tekanan atrial kanan melebihi atrial kiri seperti
pemberian ventilasi tekanan positif yang terlalu besar dan valsava manufer (batuk) dapat
menyebabkan aliran shunt berubah arah.
- Keadaan hiperkarbia dan hipoksemia juga dapat secara cepat merubah arah shunt.
- Penggunaan FiO2 konsentrasi tinggi akan menurunkan PVR sehingga meningkatkan
aliran darah paru dan shunt dari kiri-kanan.
- Sebaliknya penurunan SVR akibat pemakaian anestesi volatile atau peningkatan
- PVR karena pemberian ventilasi tekanan positif pada paru, bertendensi untuk
menurunkan besarnya shunt dari kiri-kanan.
- Berikan antibiotik profilaksis bila ASD disertai dengan kelainan katup.
- Monitoring standar: EKG, pulse oximetry, NIBP, etCO2, temperatur rektal/ esophageal,
dieresis, stetoskop prekordial.
9. DOKUMEN TERKAIT :
- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
10. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, dokter/ residen bedah anak, dokter/ residen IKA di lingkungan RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung.
11. REFERENSI:
- Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Anaesthestic management of children with
common CHD for no cardiac surgery. Dalam: Understanding Paediatric
Anaesthesia.2008.h: 117-119.
- Stoelting. Congengital heart disease. DalanrAnesthesia and Co-existing Disease.h: 50-53
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:

PATENT DUCTUS ARTERIOSUS (PDA)

PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien pediatri dengan
PDA yang akan menjalani tindakan pembedahan non kardiak.
2. RUANG LINGKUP: Patofisiologi, gejala klinis, manajemen perioperatif.
3. KEBIJAKAN : Peningkatan SVR atau penurunan PVR harus dihindari karena akan
meningkatkan besarnya shunt dari kiri-kanan.
4. PENGERTIAN :
PDA terjadi karena kegagalan pada penutupan duktus arteriosus. Duktus arteriosus berasal
dari bagian distal arteri subclavia kiri dan menghubungkan aorta descending dengan arteri
pulmonal kiri.

5. PATOFISIOLOGI:
- Dalam keadaan normal duktus arteriosus akan menutup dalam 24-48 jam setelah lahir,
tetapi pada bayi prematur biasanya terjadi kegagalan penutupan duktus
- Apabila duktus arteriosus gagal untuk menutup maka akan terdapat aliran darah kontinyu
dari aorta ke dalam arteri pulmonal.
6. MANIFESTASI KLINIS:
- Sebagian besar pasien dengan PDA biasanya asimptomatik dan hanya terdapat shunt dari
kiri-kanan yang sangat kecil.
- Pada pemeriksaan fisik adanya PDA diduga bila terdapat murmur sistolik dan diastolik
kontinyu.
- Shunt dari kiri-kanan yang besar ditandai dengan hipertropi ventrikel kiri yang dapat
dilihat dari EKG atau foto toraks.
- Bila terjadi Mpertensi pulmonal dapat menyebabkan hipertropi ventrikel kanan.
- PDA merupakan faktor resiko untuk terjadinya endokarditis infektif.
- Walau tanpa pembedahan biasanya pasien tetap akan asimptomatik sampai dewasa.
7. DIAGNOSIS
Pemeriksaan echocardiography dan Doppler flow USG terlihat adanya aliran kontinyu
kedalam sirkulasi paru. Kateterisasi jantung dan angiografi juga dapat digunakan untuk
konfirmasi adanya VSD dan dapat menentukan besarnya shunting intrakardiak dan PVR.

8. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pemberian premedikasi tergantung dari derajat disfiingsi ventrikel.
- Berikan antibiotik profilaksis untuk mencegah terjadinya endokarditis infektif.
- Hindari adanya gelembung udara dalarn jalur intravena karena dapat menyebabkan
emboli udara.
9. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Penurunan SVR akibat pemakain volatile anestesi akan meningkatkan aliran darah
sistemik dengan menurunkan shunt dari kiri-kanan. Pemberian ventilasi tekanan positif
juga dapat ditoleransi dengan baik, karena penignkatan pada tekanan arteri pulmonal
akan menurunkan perbedaan tekanan pada PDA.
- Peningkatan SVR atau penurunan PVR harus dihindari karena akan meningkatkan
besarnya shunt dari kiri-kanan.
- Teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi shunt dari kiri-kanan:
o Ventilasi tekanan positif; meningkatkan PVR sehingga mengurangi aliran darah
pulmoner.
o Oksigen konsentrasi rendah; Oksigen bersifat sebagai vasodilator pulmoner,
sehingga dengan mengurangi Fi02 diharapkan dapat mengurangi aliran darah paru.
o N2O; membantu mengurangi konsentrasi oksigen
o Agen inhalasi;mengurangi SVR dan meningkatkan aliran darah sistemik.
o Opioid; membantu memblok respon terhadap stres.
o Ketamin; akan meningkatkan shunt dari kiri-kanan.
10. DOKUMEN TERKAIT :
- Catatan rekara medis
- Lembar informed consent
11. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,
dokter bedah anak, dokter ahli anak di lingkungan RS Panti Rapih
12. REFERENSI:
- Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Anaesthestic management of children with
common CHD for non cardiac surgery. Dalam: Understanding Paediatric Anaesthesia.
2008. h: 119.
- Stoeiting. Congengital heart disease. Dalam: Anesthesia and Co-existing Disease. h: 47-
48
ANESTESI PADA PEDIATRI:

MALROTASI INTESTINAL DAN VOLVULUS

1. TUJUAN: Untuk menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah timbulnya komplikasi
anestesi pada pasien pediatri.

2. RUANG LINGKUP : Definisi, manifestasi klinis, manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN: stabilisasi dari keadaan pasien, pemasangan pipa nasogastrik untuk


dekompresi, antibiotik, penggantian cairan dan elektrolit.

4. DEFINISI:
Malrotasi intestinal merupakan suatu abnormalitas perkembangan saluran cerna dimana
terjadi rotasi spontan yang abnormal di daerah midgut di sekitar mesenterium. Mayoritas
malrotasi terjadi pada periode infansi dengan gejala-gejala obstuksi saluran cerna akut
maupun kronis.

5. KOMPLIKASI:
Komplikasi paling serius dari malrotasi dan midgut volvulus berupa terganggunya aliran
darah intestinal secara akut. Oleh karena itu midgut volvulus merupakan suatu keadaan
'true surgical emergency'

6. MANIFESTASI KLINIS:
Distensi abdomen progresif

- Tenderness
- Bilious vomiting
- Dehidrasi
- Metabolik asidosis
- Instabilitas hemodinamik
- Diare yang bercampur darah merupakan indikasi bila sudah terjadi infark pada usus

7. PENATALAKSANAAN:
Terapi definitif malrotasi dan midgut volvulus adalah koreksi operatif.

8. MANAJEMEN PRE-OPERATIF:
- Bila terdapat tanda-tanda obstruksi tetapi belum terjadi volvulus maka harus dilakukan
stabilisasi keadaan pasien terlebih dahulu.
- Dekompresi abdomen dengan pemasangan NGT atau OGT.
- Lakukan rehidrasi dengan memberikan terapi cairan dan koreksi gangguan elektrolit.
- Berikan antibiotik spektrum luas.
- Hindari hipotermia, berikan selimut penghangat.

9. MANAJEMEN INTRA-OPERATIF:
- Pasien ini mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadinya aspirasi paru selama induksi,
oleh karena itu sebaiknya intubasi dilakukan dalam keadaan awake atau
dengan teknik rapid sequence induction.
- Pasien dengan volvulus biasanya berada dalam keadaan hipovolemik dan asidosis
sehingga mempunyai toleransi yang rendah terhadap zat anestetik. Dalam keadaan
tersebut maka ketamin merupakan obat pilihan. Pemeliharaan anestesi dapat dilakukan
dengan volatile konsentrasi rendah atau opioid.
- Perhatikan kemungkinan terjadinya edema terhadap usus. Edema pada usus dapat
menyulitkan saat dilakukan penutupan dinding abdomen dan dapat mengakibatkan
sindroma kompartemen abdomen.
- Sindrom kompartemen abdomen akan mengakibatkan gangguan ventilasi, gangguan
aliran balik vena, dan gangguan fungsi renal. Pada keadaan ini harus dilakukan
penutupan sementara dinding abdomen dengan silastic silo selama 24-48 jam.
- Monitoring: pulse oksimetri, stetoskop prekordial, EKG, tensimeter, temperatur.

10. MANAJEMEN PASCA-OPERASI:


- Pasca bedah : pastikan pasien tidak kedinginan & cukup hangat.
- Bila masuk NICU/ PICU untuk dilakukan ventilasi suportif dan lain-lain, maka transfer
pasien dilakukan dengan memakai kotak penghangat yang dilengkapi oksigen dan
didampingi oleh dokter anestesi (residen yang bertanggung jawab atas pasien yang
bersangkutan).

11. UNIT TERKAIT : Bagian Anestesi, Bagian Bedah, Bagian Anak,-NICU, PICU.

12. DOKUMEN TERKAIT : Status pasien, status anestesi, izin operasi, izin anestesi.

13. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pediatric anesthesia. Dalam: Clinical Anesthesiology,
ed.4, 2006, h: 940-941

Anda mungkin juga menyukai