Anda di halaman 1dari 17

OTONOMI DAERAH

PEMEKARAN PROPINSI BANTEN

ZIPILICATION
Bpk. Uchi Sanusi, S.H.

Disusun Oleh :

Nama : Syarif Anggrraeni

NIM : D11166094

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA

POLITEKNIK TEDC BANDUNG

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “OTONOMI DAERAH”
Makalah ini berisikan tentang informasi Pengertian“ OTONOMI DAERAH “.

penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala
usaha kita.Amin.

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
BAB I .........................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1. Latar Belakang Masalah ...................................................................................................... 1
2. Rumusan dan Pembatasan Masalah ..................................................................................... 3
3. Tujuan Penulisan .................................................................................................................. 3
4. Manfaat Penulisan ................................................................................................................ 3
BAB II .......................................................................................................................5
Landasan Teori ........................................................................................................5
1. Pengertian Pemekaran Daerah ............................................................................................. 5
2. Dasar Hukum Pemekaran Wilayah ...................................................................................... 6
3. Tujuan dan Syarat-Syarat Pemekaran Daerah ..................................................................... 6
4. Dampak Positif dari Pemekaran Wilayah ............................................................................ 8
5. Dampak Negatif dari Pemekaran Wilayah .......................................................................... 8
BAB III ......................................................................................................................9
Pembahasan ..............................................................................................................9
1. Pemekaran Provinsi Banten ................................................................................................. 9
2. Geografis .............................................................................................................................. 9
3. Batas wilayah ..................................................................................................................... 10
4. Topografi............................................................................................................................ 10
5. Sejarah Banten ................................................................................................................... 10
BAB IV ....................................................................................................................13
PENUTUP ...............................................................................................................13
A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 13
B. Saran .................................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Otonomi daerah menjadi sesuatu yang disakralkan pasca Reformasi 1998, banyaknya
perdebatan seputar otonomi daerah sebagai manifestasi dari desentralisasi kekuasaan
pemerintahan mendorong Pemerintah untuk secara sungguh‐sungguh merealisasikan konsep
otonomi daerah secara jujur, penuh kerelaan dan konsekuen mengingat wacana dan konsep
otonomi daerah memiliki sejarah yang sangat panjang seiring berdirinya Republik ini. Menurut
aspek yuridis formal, sejak pertama kali muncul dalam UU No. 1 tahun 1945 sampai dengan UU
No. 5 tahun 1974, semangat otonomi daerah sudah kelihatan dan menjadi dasar hukum
pelaksanaan pemerintahan di daerah. Hanya saja semangat para penyelenggara pemerintahan
masih jauh dari idealisme konsep otonomi daerah itu sendiri. Bahasa yang digunakan juga belum
seringkas dan selugas otonomi daerah, masih seputar bagaimana mengatur urusan rumah tangga
(Marbun, 2005:45).
Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang terdiri dari provinsi-
provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan daerah otonom dan memiliki hak otonomi daerah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah. Hak otonomi bukan berarti untuk memecah daerah-daerah yang ada di Indonesia
melainkan untuk lebih memajukan daerah dengan melibatkan peran aktif masyarakat daerah,
peran aktif masyarakat di daerah dapat dilakukan dengan cara pemberian otonomi tersebut.
Otonomi daerah merupakan salah satu kebijakan pengembangan wilayah yang mencoba merubah
sistem sentralistik menjadi desentralistik. Melalui kebijakan ini, diharapkan dapat mempercepat
proses pembangunan pada tingkat lokal, memberi ruang gerak pada bidang politik, pengelolaan
keuangan daerah dan efisiensi pemanfaatan sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat
lokal, sehingga muncul formulasi dan model pembangunan daerah yang efisien dan
desentralisasi.
Sejak tahun 1945 sampai era Orde Baru, pemerintahan bersifat sentral dan di era
Reformasi ini diganti dengan asas desentralisasi atau otonomi yang pertama kali diturunkan
berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian dilanjutkan

1
dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pemerintah pusat memberikan
keleluasaan kepada masyarakatnya untuk mengelola dan memanajemen potensi
yang dimiliki masing-masing daerah yang diwadahi oleh pemerintah daerah.
Bagian Penjelasan Umum Undang-undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa:
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintahan di luar yang menjadi
urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan
membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Hal tersebut telah jelas bahwa pemberian otonomi kepada daerah pada intinya adalah
untuk memberikan keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan yang
tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah demi terciptanya peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat, pegembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta
keserasian hubungan antara pusat dan daerah sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat di
daerah. Sungguhpun demikian, selama kurun waktu hampir satu dasa warsa pelaksanaan
otonomi daerah pasca Reformasi 1998, masih saja ditemui kesenjangan posisi, kewenangan dan
tanggung jawab serta implementasi dari regulasi‐regulasi yang telah ditetapkan.
Dalam perkembangannya, konsepsi mengenai otonomi daerah yang pada dasarnya
merupakan sistem Pemerintahan desentralisasi atau tidak dari pusat sering terjadi
kesalahpahaman dalam menjalankannya. Apakah hal tersebut dikarenakan masih minimnya
pengetahuan mengenai konsep desentralisasi, atau mungkin karena kurang siapnya baik itu
masyarakat atau pemimpin daerah dalam menjalankan proses otonomi daerah. Berangkat dari
kenyataan‐kenyataan tersebut, tulisan ini berusaha untuk menelaah kembali makna otonomi
daerah, baik sebagai sebuah konsep maupun sebagai sebuah sistem yang dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Hal inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk
mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut, dengan mengangkat judul “Otonomi Daerah di
Indonesia Pada Masa Reformasi”.

2
2. Rumusan dan Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, terdapat beberapa permasalahan
yang akan menjadi kajian dalam penulisan makalah ini. Adapun yang menjadi pokok
permasalahan dalam tulisan ini adalah “Bagaimana Pelaksanaan Otonomi Daerah pada Masa
Reformasi?”. Untuk memudahkan dan mengarahkan dalam pembahasan, penulis
mengidentifikasi beberapa
permasalahan dalam beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana latar belakang munculnya Otonomi Daerah?
2. Bagaimana implikasi kebijakan otonomi daerah di bidang politik, ekonomi dan
pendidikan pada masa Reformasi?
3. Bagaimana permasalahan dan upaya mengatasi masalah yang terjadi dalam otonomi
daerah pada masa Reformasi?

3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penulisan makalah ini memiliki
tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun yang menjadi tujuan umumnya yaitu bermaksud untuk
memperoleh informasi mengenai
pelaksanaan otonomi daerah pada masa Reformasi.
Sedangkan tujuan khusus dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya Otonomi Daerah.
2. Untuk mengidentifikasi implikasi kebijakan otonomi daerah di bidang politik, ekonomi
dan pendidikan pada masa Reformasi.
3. Untuk menganalisis permasalahan dan upaya mengatasi masalah yang terjadi dalam
otonomi daerah pada masa Reformasi.

4. Manfaat Penulisan
Dengan adanya penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat,
baik bagi penulis maupun yang membacanya. Bagi penulis sendiri sebagai sarana untuk
memperluas ilmu, wawasan serta pengalaman dalam melakukan suatu penulisan. Selain itu juga
dapat digunakan sebagai landasan awal untuk penulisanselanjutnya. Bagi pembaca dapat
memberikan informasi mengenai otonomi daerah yang terjadi di indonesia baik dalam bidang

3
politik, ekonomi maupun pendidikan pada masa era Reformasi. Bagi Jurusan Pendidikan
Sejarah, dapat memperkaya referensi tentang penulisan sejarah. Dan lebih luasnya bagi
Universitas Pendidikan Indonesia, sebagai pelengkap dalam memperkaya khasanah keilmuan
dan melengkapi kepustakaan karyatulis ilmiah.

4
BAB II
Landasan Teori
1. Pengertian Pemekaran Daerah
Pemekaran adalah sesuatu bagian yang utuh atau suatu kesatuan yang dibagi atau
dipisahkan menjadi beberapa bagian yang berdiri sendiri. (Poerwadarminta, 2005). Jadi dengan
demikian daerah/wilayah pemekaran adalah suatu daerah/wilayah yang sebelumnya satu
kesatuan yang utuh yang kemudian di bagi atau dimekarkan menjadi beberapa bagian untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri.
Dalam UU No.23 Tahun 2014 pada Pasal 33 ayat (1) huruf a menyatakan pemekaran
daerah berupa pemecahan provinsi atau daerah kabupaten/kota untuk menjadi dua atau lebih
daerah baru.
Pamudji (2000) mengatakan bahwa dalam rangka pembentukan suatu daerah atau
wilayah pemekaran diperlukan adanya suatu ukuran sebagai dasar penetapan. Pembentukan dan
pemekaran wilayah yang baru harus didasarkan atas pembagian-pembagian yang bersifat objektif
dengan memperhatikan segi pembiayaan sumber daya manusia serta sarana penunjang lainnya.
Gie (2002) menyebutkan lima factor yang harus diperhatikan dalam pembentukan / pemekaran
suatu wilayah yaitu :
a. Luas daerah suatu wilayah sedapat mungkin merupakan suatu kesatuan dalam
perhubungan, pengairan dan dari segi perekonomian dan juga harus diperhatikan
keinginan penduduk setempat, persamaan adat istiadat serta kebiasaan hidupnya.
b. Pembagian kekuasaan pemerintahan dalam pembentukan/pemekaran hendaknya
diusahakan agar tidak ada tugas dan pertanggungjawaban kembar dan harus ada
keseimbangan antara beratnya kewajiban yang diserahkan dengan struktur di daerah.
c. Jumlah penduduk tidak boleh terlampau kecil.
d. Pegawai daerah sebaiknya mempunyai tenaga-tenaga professional dan ahli.
e. Keuangan daerah yang berarti terdapat sumber-sumber kemakmuran yang dimilikki oleh
daerah itu sendiri.

5
2. Dasar Hukum Pemekaran Wilayah
UUD 1945 tidak mengatur perilah pembentukan daerah atau pemekaran suatu wilayah
secara khusus, namun disebutkan dalam pasal 18B ayat (1) bahwa. “Negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa
yang diatur dengan undang-undang.”
Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama tercantum kalimat sebagai berikut.
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Namun sebelumnya pemekaran wilayah ini secara khusus diatur dalam UU No.32 Tahun 2004
mengenai pembentukan daerah dan kawasan khusus dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah
dan Kawasan Khusus.

3. Tujuan dan Syarat-Syarat Pemekaran Daerah


Peraturaan Pemerintah Republik Indonesia No.129 Tahun 2000 mengatur tentang tujuan
pembentukan daerah yang tercantum dalam Bab II Pasal 2. Sebagai berikut:

“Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah bertujuan untuk


meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melalui :
1. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat
2. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi
3. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah
4. Percepatan pengelolaan potensi daerah
5. Peningkatan keamanan dan ketertiban.
6. Peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah.
Berbicara secara hukum, syarat-syarat pemekaran suatu wilayah untuk menjadi
kabupaten/kota atau provinsi sulit tidak nya itu tergantung pada daerah yang dimekarkan. Kalau
di telaah lebih dalam, di era otonomi daerah salah satu nya di Provinsi Aceh, hukum cukup
memberikan kelonggaran kepada daerah untuk melakukan pemekaran. Ini pula yang menjadi
sebab mengapa sekarang kita melihat banyak daerah yang “bernafsu” melakukan pemekaran

6
mulai dari tingkat kecamatan sampai ke tingkat provinsi. Dalam Pasal 5 Undang-Undang No.32
Tahun 2004 di jelaskan bahwa pemekaran wilayah harus memenuhi tiga syarat, yaitu :
1. Syarat administratif :
Untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati atau
Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan
Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
Untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati atau
Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur, serta rekomendasi
Mnteri Dalam Negeri.
2. Syarat Teknis
Meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor
kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah,
pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

3. Syarat Fisik Kewilayahan


Meliputi :
a. Untuk pembentukan provinsi paling sedikit 5 (lima) kabupaten.
b. Untuk pembentukan kabupaten paling sedikit 5 (lima) kecamatan.
c. Untuk pembentukan kota 4 (empat) kecamatan.
d. Lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Selanjutnya pada UU No.23 Tahun 2014, syarat-syarat pembentukan daerah persiapan
tercantum pada Pasal 34 sampai Pasal 39.
Namun bukan berarti apabila suatu daerah telah memenuhi suatu persyaratan
administratif, teknis, dan fisik kewilayahan maka dengan sendiri nya pemekaran wilayah dapat
dilakukan. Hal ini di sebabkan oleh adanya persyaratan jangka waktujalannya pemerintahan
induk. Ada batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan untuk dapat melakukan
pemekaran wilayah. Untuk pembentukan Provinsi disyaratkan sepuluh tahun, Kabupaten/Kota
disyaratkan tujuh tahun,dan Kecamatan batas minimal penyelenggaraan pemerintahan adalah
lima tahun.

7
4. Dampak Positif dari Pemekaran Wilayah
1. Pelayanan publik yang sudah dapat di katakan baik meskipun di beberapa daerah
masih terdapat kekurangan.
2. Mengalami perkembangan yang signifikan di bidang perekonomian.
3. Luas daerah yang tidak terlalu luas memudahkan pemerintah daerah mengelola
daerahnya.
4. Lebih fokus dalam mengembangkan potensi daerah masing-masing.
5. Bisa meningkatkan infrastruktur yang ada di daerah tersebut.
6. Menunjang sarana untuk kemandirian tiap usaha-usaha mikro atau makro
masyarakat seperti
7. bertani, berdagang, dll.
8. Memberikan kesempatan kepada putra-putra daerah untuk menyelenggarakan
pemerintahan.

5. Dampak Negatif dari Pemekaran Wilayah


1. Membebani keuangan pusat.
2. Di beberapa daerah tertentu, pembangunan infrastruktur tidak berjalan dengan
baik.
3. Kurangnya kemampuan pemerintah daerah untuk menstabilkan ekonomi daerah.
4. Di beberapa daerah tertentu terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
5. Terjadinya konflik akibat dari tidak setujunya masyarakat di beberapa daerah
pemekaran tersebut.

8
BAB III
Pembahasan
1. Pemekaran Provinsi Banten
Banten adalah sebuah provinsi di Tatar Pasundan, serta wilayah paling barat di Pulau
Jawa, Indonesia. Provinsi ini pernah menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat, namun menjadi
wilayah pemekaran sejak tahun 2000, dengan keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2000. Pusat pemerintahannya berada di Kota Serang.

2. Geografis
Wilayah Banten terletak di antara 5º7'50"-7º1'11" Lintang Selatan dan 105º1'11"-
106º7'12" Bujur Timur, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2000
luas wilayah Banten adalah 9.160,70 km². Provinsi Banten terdiri dari 4 kota, 4 kabupaten, 154
kecamatan, 262 kelurahan, dan 1.273 desa.
Wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur laut potensial, Selat Sunda merupakan
salah satu jalur lalu lintas laut yang strategis karena dapat dilalui kapal besar yang
menghubungkan Australia dan Selandia Baru dengan kawasan Asia Tenggara misalnya
Thailand, Malaysia, dan Singapura. Di samping itu Banten merupakan jalur penghubung antara
Jawa dan Sumatera. Bila dikaitkan posisi geografis, dan pemerintahan maka wilayah Banten
terutama daerah Tangerang raya (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang
Selatan) merupakan wilayah penyangga bagi Jakarta. Secara ekonomi wilayah Banten memiliki
banyak industri. Wilayah Provinsi Banten juga memiliki beberapa pelabuhan laut yang
dikembangkan sebagai antisipasi untuk menampung kelebihan kapasitas dari pelabuhan laut di
Jakarta, dan ditujukan untuk menjadi pelabuhan alternatif selain Singapura.

9
3. Batas wilayah
Utara Laut Jawa

Selatan Samudera Indonesia

Barat Selat Sunda

Timur Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Jawa Barat

4. Topografi
Kondisi topografi Banten adalah sebagai berikut:
• Wilayah datar (kemiringan 0-2 %) seluas 574.090 hektare
• Wilayah bergelombang (kemiringan 2-15%) seluas 186.320 hektare
• Wilayah curam (kemiringan 15-40%) seluas 118.470,50 hektare
Kondisi penggunaan lahan yang perlu dicermati adalah menurunnya wilayah hutan dari
233.629,77 hektare pada tahun 2004 menjadi 213.629,77 hektare.

5. Sejarah Banten
Banten atau dahulu dikenal dengan nama Bantam pada masa lalu merupakan sebuah
daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka, dan
makmur. Banten pada abad ke-5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Salah satu
prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Cidanghiyang atau prasasti Lebak,
yang ditemukan di Kampung Lebak di tepi Ci Danghiyang, Kecamatan Munjul, Pandeglang,
Banten. Prasasti ini baru ditemukan tahun 1947, dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi
dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian Raja
Purnawarman. Setelah runtuhnya Kerajaan Tarumanagara (menurut beberapa sejarawan ini
akibat serangan Kerajaan Sriwijaya), kekuasaan di bagian barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon
sampai Ci Serayu dan Kali Brebes dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda. Seperti dinyatakan oleh
Tome Pires, penjelajah Portugis pada tahun 1513, Bantam menjadi salah satu pelabuhan penting
dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber Portugis tersebut, Bantam adalah salah satu pelabuhan
kerajaan itu selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Kalapa, dan Cimanuk.

10
Diawali dengan penguasaan Kota Pelabuhan Banten, yang dilanjutkan dengan merebut
Banten Girang dari Pucuk Umun pada tahun 1527, Maulana Hasanuddin, mendirikan Kesultanan
Banten di wilayah bekas Banten Girang. Dan pada tahun 1579, Maulana Yusuf, penerus Maulana
Hasanuddin, menghancurkan Pakuan Pajajaran, ibu kota atau pakuan (berasal dari kata
pakuwuan) Kerajaan Sunda. Dengan demikian pemerintahan di Jawa Barat dilanjutkan oleh
Kesultanan Banten. Hal itu ditandai dengan dirampasnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat
duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan Pajajaran ke Surasowan di Banten oleh pasukan
Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena
tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka
tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka
itu, Maulana Yusuf mengklaim sebagai penerus kekuasaan Kerajaan Sunda yang "sah" karena
buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja sementara di sisi lain para Kandaga
Lante dari Kerajaan Pajajaran secara resmi menyerahkan seluruh atribut dan perangkat kerajaan
beserta abdi kepada Kerajaan Sumedang Larang untuk meneruskan kelanjutan Kerajaan Sunda
atau Pajajaran yang merupakan trah Siliwangi.
Dengan dihancurkannya Pajajaran maka Banten mewarisi wilayah Lampung dari
Kerajaan Sunda. Hal ini dijelaskan dalam buku The Sultanate of Banten tulisan Claude Guillot
pada halaman 19 sebagai berikut: "From the beginning it was abviously Hasanuddin's intention
to revive the fortunes of the ancient kingdom of Pajajaran for his own benefit. One of his earliest
decisions was to travel to southern Sumatra, which in all likelihood already belonged to
Pajajaran, and from which came bulk of the pepper sold in the Sundanese region.
Ketika sudah menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh J. de
Barros, Bantam merupakan pelabuhan besar di Asia Tenggara, sejajar dengan Malaka dan
Makassar. Kota Bantam terletak di pertengahan pesisir sebuah teluk, yang lebarnya sampai tiga
mil. Kota itu panjangnya 850 depa. Di tepi laut kota itu panjangnya 400 depa; masuk ke dalam ia
lebih panjang. Melalui tengah-tengah kota ada sebuah sungai yang jernih, di mana kapal jenis
jung dan gale dapat berlayar masuk. Sepanjang pinggiran kota ada sebuah anak sungai, di sungai
yang tidak seberapa lebar itu hanya perahu-perahu kecil saja yang dapat berlayar masuk. Pada
sebuah pinggiran kota itu ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata, dan lebarnya
tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya terbuat dari kayu, terdiri dari dua
tingkat, dan dipersenjatai dengan senjata yang baik. Di tengah kota terdapat alun-alun yang

11
digunakan untuk kepentingan kegiatan ketentaraan, dan kesenian rakyat, dan sebagai pasar di
pagi hari. Istana raja terletak di bagian selatan alun-alun. Di sampingnya terdapat bangunan datar
yang ditinggikan, dan beratap, disebut Srimanganti, yang digunakan sebagai tempat raja bertatap
muka dengan rakyatnya. Di sebelah barat alun-alun didirikan sebuah masjid agung.
Pada awal abad ke-17 Masehi, Bantam merupakan salah satu pusat perniagaan penting
dalam jalur perniagaan internasional di Asia. Tata administrasi modern pemerintahan, dan
kepelabuhan sangat menunjang bagi tumbuhnya perekonomian masyarakat. Daerah
kekuasaannya mencakup juga wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Lampung. Ketika orang
Belanda tiba di Bantam untuk pertama kalinya, orang Portugis telah lama masuk ke Bantam.
Kemudian orang Inggris mendirikan loji di Bantam, dan disusul oleh orang Belanda.
Selain itu, orang-orang Perancis, dan Denmark pun pernah datang di Bantam. Dalam
persaingan antara pedagang Eropa ini, Belanda muncul sebagai pemenang. Orang Portugis
melarikan diri dari Bantam (1601), setelah armada mereka dihancurkan oleh armada Belanda di
perairan Bantam. Orang Inggris pun tersingkirkan dari Batavia (1619) dan Bantam (1684) akibat
tindakan orang Belanda.
Pada 1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk
pembaharuan sistem desentralisasi, dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau Jawa dibentuk
pemerintahan otonom provinsi. Provincie West Java adalah provinsi pertama yang dibentuk di
wilayah Hindia Belanda yang diresmikan dengan surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan
diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928
No. 438, dan 1932 No. 507. Banten menjadi salah satu keresidenan yaitu Bantam
Regentschappen dalam Provincie West Java di samping Batavia, Buitenzorg (Bogor), Preanger
(Priangan), dan Cirebon.

12
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pemekaran adalah sesuatu bagian yang utuh atau suatu kesatuan yang dibagi atau
dipisahkan menjadi beberapa bagian yang berdiri sendiri.
2. Dasar hukum pemekaran wilayah ini secara khusus diatur dalam UU No.32 Tahun 2004
mengenai pembentukan daerah dan kawasan khusus dalam Bab II tentang Pembentukan
Daerah dan Kawasan Khusus. Yang kemudian undang-undang tersebut telah diperbarui
dengan UU No.23 Tahun 2014 Bab VI Bagian II tentang Pembentukan Daerah.
3. Pemekaran wilayah dapat terselenggara apabila memenuhi syarat-syarat yang telah di
tentukan dalam Peraturan Pemerintah No 129 Tahun 2000.
4. Tujuan utama pemekaran wilayah adalah untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat
dalam seluruh aspek.
5. Dari segi praktek penyelenggaraannya selalu diikuti dampak positif dan negatif.

B. Saran
Beberapa saran yang mungkin bisa dijadikan masukan pelaksanaan pemekaran daerah
kedepannya :
1. Benahi birokrasi yang ada, tupoksi setiap organisasi yang bergerak untuk pemekaran
daerah benar-benar berjalan sesuai dengan yang diharapkan pada Undang Undang No.
22/1999.
2. Persiapakan semua aparatur pemerintah yang akan terlibat dalam mewujudkan
pemekaran daerah
3. Evaluasi yang ketat setiap pelaksanaan pemekaran daerah. Setelah beberapa tahun, lima
tahun misalnya, kalau pemerintah daerah tidak mampu melayani kebutuhan dasar
masyarakat, dia harus bergabung dengan daerah induknya kembali, atau dengan
tetangganya

13
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Banten
http// : Pemekaran daerah dan kesejahteraan masyarakat.htm.
http//:republikaonline-pemekaranwilayah.htm.
Marbun, B. (2005). Otonomi Daerah 1945‐2005 Proses dan Realita Perkembangan Otda Sejak
Zaman Kolonial sampai Saat Ini. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.
W.J.S Poerwadarminta, (2005), Kamus besar Bahasa Indonesia.
Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000, tentang persyaratan pembentukan dan kriteria
pemekaran, penghapusan dan pengabungan daerah

14

Anda mungkin juga menyukai