Anda di halaman 1dari 12

A.

Definisi Hospitalisasi

Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan
dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi
dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit, sehingga kondisi tersebut
menjadi faktor stressor bagi anak baik terhadap anak maupun orang tua dan keluarga.
orang tua dan keluarga (Wong, 2000).
Hospitalisasi anak merupakan suatu proses yang karena suatu alasan tertentu
mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan
sampai pemulangannya kembali kerumah. Selama proses tersebut, anak dan orang tua
harus dapat mengalami berbagai kejadian yang dapat berupa hal-hal yang sangat
traumatik dan penuh stress (Supartini, 2004).

Kesimpulan bahwa hospitalisasi adalah suatu proses karena alasan berencana


maupun darurat yang mengharuskan anak dirawat atau tinggal di rumah sakit untuk
mendapatkan perawatan yang dapat menyebabkan beberapa perubahan psikis pada
anak.
B. Stressor Akibat Hospitalisasi

Menurut WHO, hospitalisasimerupakan pengalaman yang mengancam ketika


anak menjalani hospitalisasi karena stressor yang dihadapidapat menimbulkan
perasaan tidak aman.
Beberapa faktor yang dapat menimbulkan stres ketika anak menjalani hospitalisasi
seperti:
1. Faktor Lingkungan rumah sakit
Rumah sakit dapat menjadi suatu tempat yang menakutkan dilihat dari
sudut pandang anak-anak. Suasana rumah sakit yang tidak familiar, wajah-wajah
yang asing, berbagai macam bunyi dari mesin yang digunakan, dan bau yang
khas, dapat menimbulkan kecemasan dan ketakutan baik bagi anak ataupun orang
tua. (Norton-Westwood,2012).
2. Faktor Berpisah dengan orang yang sangat berarti
Berpisah dengan suasana rumah sendiri, benda-benda yang familiar
digunakan sehari-hari, juga rutinitas yang biasa dilakukan dan juga berpisah
dengan anggota keluarga lainnya (Pelander & Leino-Kilpi,2010).
3. Faktor kurangnya informasi yang didapat anak dan orang tuanya ketika akan
menjalani hospitalisasi
Hal ini dimungkinkan mengingat proses hospitalisasi merupakan hal
yang tidak umum di alami oleh semua orang. Proses ketika menjalani
hospitalisasi juga merupakan hal yang rumit dengan berbagai prosedur yang
dilakukan (Gordon dkk,2010).
4. Faktor kehilangan kebebasan dan kemandirian
Aturan ataupun rutinitas rumah sakit, prosedur medis yang dijalani
seperti tirah baring, pemasangan infus dan lain sebagainya sangat mengganggu
kebebasan dan kemandirian anak yang sedang dalam taraf perkembangan (Price
& Gwin,2005).
5. Faktor pengalaman yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan
Semakin sering seorang anak berhubungan dengan rumah sakit, maka
semakin kecil bentuk kecemasan atau malah sebaliknya (Pelander & Leino-
Kilpi,2010).
6. Faktor perilaku atau interaksi dengan petugas rumah sakit khususnya perawat
Mengingat anak masih memiliki keterbatasan dalam perkembangan
kognitif, bahasa dan komunikasi. Perawat juga merasakan hal yang sama ketika
berkomunikasi, berinteraksi dengan pasien anak yang menjadi sebuah tantangan,
dan dibutuhkan sensitifitas yang tinggi serta lebih kompleks dibandingkan dengan
pasien dewasa. Selain itu berkomunikasi dengan anak juga sangat dipengaruhi
oleh usia anak, kemampuan kognitif, tingkah laku, kondisi fisik dan psikologis
tahapan penyakit dan respon pengobatan (Pena & Juan,2011).

C. Reaksi Keluarga Terhadap Hospitalisasi ( Respon Orang Tua, Anak, dan


Sibling)

1. Reaksi Orang Tua

Krisis penyakit dan hospitalisasi pada masa anak-anak mempengaruhi


setiap anggota keluarga inti. Reaksi orang tua terhadap penyakit anak mereka
bergantung pada keberagaman faktor-faktor yang memengaruhinya. Meskipun
faktor-faktor yang paling mupgkin memengaruhi respons mereka tidak dapat
diprediksL tetapi sejumlah variabel telah berhasil diidentifikasi.
Pada awalnya orang tua dapat bereaksi dengan tidak percaya, terutama
jika penyakit tersebut muncul tiba-tiba dan serius. Setelah realisasi penyakit,
orang tua bereaksi dengan marah atau merasa bersalah atau kedua-duanya.
Mereka dapat menyalahkan diri mereka sendiri atas penyakit anak tersebut atau
marah pada orang lain karena beberapa kesalahan. Bahkan pada kondisi penyakit
anak yang paling ringan sekalipun, orang tua dapat mempertanyakan kelayakan
diri mereka sendiri sebagai pemberi perawatan dan membahas kembali segala
tindakan atau kelalaian yang dapat mencegah atau menyebabkan penyakit
tersebut. Jika hospitalisasi diindikasikan, rasa bersalah orang tua semakin
menguat karena orang tua merasa tidak berdaya dalam mengurangi nyeri fisik dan
emosional anak.
Takut, cemas, dan frustrasi merupakan perasaan yang banyak
diungkapkan oleh orang tua. Takut dan cemas dapat berkaitan dengan keseriusan
penyakit dan jenis prosedur medis yang dilakukan. Sering kali kecemasan yang
paling besar berkaitan dengan trauma dan nyeri yang terjadi pada anak. Perasaan
frustrasi sering berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur dan
pengobatan, ketidaktahuan tentang aturan dan peraturan rumah sakit, rasa tidak
diterima oleh petugas, atau takut mengajukan pertanyaan. Frustrasi di unit
pediatrik dapat dikurangi jika ’orang‘ tua mengetahui apa yang akan terjadi dan
apa yang diharapkan dari mereka, dianjurkan untuk berpartisipasi dalam
perawatan anak. dan dianggap sebagai kontributor paling utama terhadap
kesehatan total anak.
Orang tua akhirnya dapat bereaksi dengan beberapa tingkat depresi.
Depresi biasanya terjadi ketika krisis akut sudah berlaiu seperti setelah
pemulangan atau pemulihan yang sempurna. lbu sering mengungkapkan perasaan
kelelahan fisik dan mental setelah semua anggota keluarga beradaptasl dengan
krisis. Orang tua dapat juga merasa khawatir dan merindukan anak-anak mereka
yang lain yang mungkin ditinggalkan dalam perawatan keluarga teman, atau
tetangga Alasan lain untuk cemas dan depresi berkaitan dengan kekhawatiran
akan masa depan anak, termasuk dampak negatif dari hospitalisasi dan beban
keuangan akibat hospitalisasi tersebut.

Tidak Percaya Marah/Rasa BersalahTakut/Cemas/FrustasiDepresi

2. Reaksi Anak
Menurut Wong (2003) berbagai perasaan merupakan respons emosional seperti:
a. Cemas akibat Perpisahan
Kecemasan yang timbul merupakan respon emosional terhadap
penilaian sesuatu yang berbahaya, berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan
tidak berdaya (Stuart &Sundeen, 1998).
Menurut Wong (2003), Stres utama dari masa bayi pertengahan
sampai usia prasekolah, terutama untuk anak-anak yang berusia 6 bulan
sampai 30 bulan adalah kecemasan akibat perpisahan yang disebut sebagai
depresi anaklitik. Pada kondisi cemas akibat perpisahan anak akan
memberikan respon berupa perubahan perilaku.Manifestasi kecemasan yang
timbul terbagi menjadi tiga fase yaitu:
1) Fase protes (phase of protest), Anak-anak bereaksi secara agresif dengan
menangis dan berteriak memanggil orang tua, menarik perhatian agar
orang lain tahu bahwa ia tidak ingin ditinggalkan orang tuanya serta
menolak perhatian orang asing atau orang lain dan sulit ditenangkan.
2) Fase putus asa (phase of despair), Dimana tangisan akan berhenti dan
muncul depresi yang terlihat adalah anak kurang begitu aktif, tidak
tertarik untuk bermain atau terhadap makanan dan menarik diri dari
orang lain.
3) Fase menolak (phase of denial), Merupakan fase terakhir yaitu fase
pelepasan atau penyangkalan, dimana anak tampak mulai mampu
menyesuaikan diri terhadap kehilangan, tertarik pada llingkungan
sekitar, bermain dengan orang lain dan tampak membentuk hubungan
baru, meskipun perilaku tersebut dilakukan merupakan hasil dari
kepasrahan dan bukan merupakan kesenangan.
b. Kehilangan Kendali
Kurangnya kendali akan mengakibatkan persepsi ancaman dan dapat
mempengaruhi ketrampilan koping anak-anak. Kehilangan kendali pada anak
sangat beragam dan tergantung usia serta tingkat perkembangannya seperti:
1) Kehilangan kendali pada bayi, Bayi sedang mengembangkan ciri
kepribadian sehat yang paling penting yaitu rasa percaya yang dibangun
melalui pemberian kasih sayang secara terus menerus dari orang yang
mengasuhnya. Bayi berusaha mengendalikan lingkungannya dengan
ungkapan emosional seperti menangis dan tersenyum. Asuhan yang
tidak konsisten dan penyimpangan dari rutinitas harian bayi tersebut
dapat menyebabkan rasa tidak percaya dan menurunkan rasa kendali
(Wells dkk,1994 dikutip oleh Wong,2003)
2) Kehilangan kendali pada Toddler, Sesuai dengan teori Ericson dalam
Price & Gwin (2005), bahwa pada fase ini anak sedang mengembangkan
kemampuan otonominya. Akibat sakit dan dirawat di rumah sakit, anak
akan kehilangan kebebasan dalam mengembangkan otonominya.
Keterbatasan aktifitas, kurangnya kemampuan untuk memilih dan
perubahan rutinitas dan ritual akan menyebabkan anak merasa tidak
berdaya. Toddler bergantung pada konsistensi dan familiaritas ritual
harian guna memberikan stabilitas dan kendali selama masa
pertumbuhan dan perkembangan. Area toddler dalam hal ritual
mencakup makan, tidur, mandi, toileting dan bermain. Jika rutinitas
tersebut terganggu, maka dapat terjadi kemunduran terhadap
kemampuan yang sudah dicapai atau disebut dengan regresi
(Wong,2003)
3) Kehilangan kendali pada anak prasekolah, Anak usia prasekolah
menerima keadaan masuk rumah sakit dengan rasa ketakutan. Jika anak
sangat ketakutan, ia dapat menampilkan perilaku agresif, dari menggigit,
menendang-nendang, bahkan berlari keluar ruangan. Selain itu ada
sebagian anak yang menganggapnya sebagai hukuman sehingga timbul
perasaan malu dan bersalah, dipisahkan, merasa tidak aman dan
kemandiriannya terhambat (Wong, 2003). Beberapa di antaranya akan
menolak masuk rumah sakit dan secara terbuka menangis tidak mau
dirawat. Selain itu, anak juga akan menangis, bingung, khususnya bila
keluar darah atau dampak hospitalisasi terhadap Perkembangan Anak
mengalami nyeri pada anggota tubuhnya. Ditambah lagi, beberapa
prosedur medis dapat membuat anak semakin takut, cemas, dan stres.
4) Kehilangan kendali pada anak sekolah, Banyak rutinitas di rumah sakit
seperti tirah baring yang dipaksakan, penggunaan pispot,
ketidakmampuan memilih menu, kurangnya privasi, kegiatan mandi di
tempat tidur, penggunaan kursi roda atau brankar dapat menyebabkan
ancaman dan kehilangan kendali pada anak sekolah (Wong,2003). Akan
tetapi jika anak-anak tersebut diizinkan memegang kendali dengan cara
melibatkannya dalam setiap prosedur yang memungkinkan, mereka akan
berespon dengan sangat baik terhadap prosedur apa pun. Hal ini
biasanya terjadi akibat perasaan berguna dan produktif untuk anak-anak
yang sedang belajar "bertindak dewasa".
5) Kehilangan kendali pada remaja, Segala sesuatu yang mempengaruhi
kemandirian, pengakuan diri, dan kebebasan dalam pencarian identitas
diri pada remaja akan menimbulkan ancaman dan kehilangan kendali.
Penyakit yang membatasi kemampuan fisik seseorang dan hospitalisasi
yang memisahkan seseorang dari sistem pendukungnya merupakan krisis
situasional yang utama. Remaja dapat bereaksi terhadap ketergantungan
dengan penolakan, tidak mau bekerjasama atau menarik diri. Mereka
dapat berespon terhadap depersonalisasi dengan pengkuan diri, marah
atau frustasi sehingga staf rumah sakit sering menganggap remaja
sebagai pasien yang sulit dan tidak dapat diatur.
c. Cedera Tubuh dan Nyeri
1) Reaksi Bayi terhadap Cedera Tubuh dan Nyeri
Respon bayi terhadap nyeri setelah lahir hampir serupa,
meskipun terdapat keberagaman yang jelas dalam pengukuran distres
terutama pada tangisan awal dan frekuensi jantung, yang dapat menurun
pada beberapa bayi. Indikator distres yang paling kosisten adalah
ekspresi wajah terhadap ketidak nyamanan. Gerakan tubuh termasuk
menggeliat, menyentak dan memukul-mukul (Tamowski dan
Brown,1995 dikutip oleh Wong,2003). Bayi yang berusia kurang dari 6
bulan tampak tidak memiliki ingatan yang nyata tentang pengalaman
nyeri sebelumnya. Sedangkan bayi yang lebih tua bereaksi lebih intens,
disertai resistensi fisik dan tidak kooperatif. Mereka menolak berbaring
diam, berusaha mendorong orang tersebut agar menjauh, atau mencoba
melarikan diri dengan aktifitas motorik apa pun yang telah mereka capai.

2) Reaksi Toddller Cedera Tubuh dan Nyeri


Pemahaman toddler tentang citra tubuh, terutama definisi
batasan tubuh, perkembangannya masih sangat.buruk. Pengalaman
intrusif seperti pemeriksaan telinga atau mulut atau pemeriksaan suhu
rektal merupakan prosedur yang sangat mencemaskan dan toddler
bereaksi sama kerasnya dengan prosedur yang menyakitkan. Secara
umum, anak dalam kelompok usia ini terus bereaksi dengan kemarahan
emosional yang kuat dan resistensi fisik terhadap pengalaman nyeri baik
yang aktual maupun yang dirasakan. Perilaku yang mengindikasikan
nyeri antara lain, meringis kesakitan, mengatupkan gigi dan atau bibir,
membuka mata lebarlebar, mengguncang-guncang, menggosok-gosok,
dan bertindak agresif, seperti menggigit, menendang, memukul, atau
melarikan diri. Tidak seperti orang dewasa yang biasanya mengurangi
aktifitasnya pada saat nyeri, anakanak cenderung lebih gelisah dan
sangat aktif, seringkali respon ini tidak diketahui sebagai akibat dari
nyeri. Di akhir periode ini, toddler biasanya mampu
mengkomunikasikan nyeri dengan cara menunjuk area spesifik nyeri
yang mereka rasakan, meskipun begitu anak belum mampu
menggambarkan jenis dan intensitas nyeri.
3) Reaksi Anak Pra Usia Sekolah terhadap Cedera Tubuh dan Nyeri
Anak pra usia sekolah sulit membedakan antara kenyataan dan
khayalan, dimana mereka percaya bahwa sakit yang alami disebabkan
pikiran atau tindakannya sendiri. Perasaan bersalah timbul ketika
mengalami suatu kecelakaan yang akibat kelalaian seperti ketika terjatuh
atau terbakar. Pemikirannya mereka difokuskan pada kejadian eksternal
yang dirasakan dan kausalita dibuat berdasarkan kedekatan antara dua
kejadian. Akibatnya, anak-anak mendefinisikan penyakit berdasarkan
apa yang diberitahukan atau bukti eksternal yang diberikan, seperti
"Kamu sakit karena kamu menderita demam". Prosedur intrusif, baik
yang menimbulkan nyeri maupun yang tidak merupakan ancaman bagi
anak prasekolah yang konsep integritas tubuhnya belum berkembang
baik. Mereka bereaksi terhadap injeksi sama khawatirnya dengan nyeri
saat jarum dicabut dan takut intrusi atau pungsi pada tubuh tidak akan
menutup kembali dan "isi tubuh" mereka akan keluar. Reaksi terhadap
nyeri cenderung sama dengan reaksi anak usia toddler, akan tetapi anak
usia pra sekolah memiliki respon yang lebih baik ketika diberikan
penjelasan dan distraksi terhadap prosedur yang dilakukan. Pada
umumnya anak berespon dengan mendorong orang yang akan
melakukan prosedur agar menjauh, mencoba mengamankan peralatan
atau berusaha mengunci diri di tempat yang aman. Mereka lebih banyak
memikirkan untuk menyerang dan melarikan diri. Ekspresi verbal anak
usia pra sekolah menunjukkan kemajuan dalam berespon terhadap stres.
Anak dapat menganiaya perawat secara verbal dengan mengatakan
"Pergi dari sini" atau "Saya benci kamu". Anak juga menggunakan
pendekatan yang cerdik untuk mempengaruhi orang agar menyerah
dalam melakukan prosedur. Permintaan yang banyak digunakan adalah,
"Tolong saya jangan disuntik; Saya akan bersikap baik bila tidak
disuntik". Anak pra sekolah dapat menunjukkan letak nyeri mereka dan
dapat menggunakan skala nyeri dengan yang tepat.
4) Reaksi Anak Usia Sekolah terhadap Cedera Tubuh dan Nyeri
Ketakutan mendasar terhadap sifat fisik dasar penyakit timbul
pada saat anak usia sekolah tidak begitu khawatir terhadap nyeri jika
dibandingkan dengan disabilitas, pemulihan yang tidak pasti atau
kemungkinan kematian. Anak usia sekolah mampu mengkomunikasikan
secara verbal nyeri yang mereka alami berkaitan dengan letak, intensitas
dan deskripsinya. Secara umum, mereka telah mempelajari koping
menghadapi nyeri seperti berpegangan erat, mengepalkan tangan atau
mengatupkan gigi atau mencoba bertindak berani dengan meringis atau
berteriak.
Anak usia sekolah mulai menunjukkan kekhawatiran terhadap:
a) Kemungkinan efek prosedur yang dilakukan,
b) Tahu apakah prosedur tersebut akan menyakitkan atau tidak,
c) Untuk apa dan bagaimana prosedur tersebut dapat membuat mereka
lebih baik dan cedera atau bahaya apa yang dapat terjadi. Seperti
contoh tindakan anestesi, dimana anak usia prasekolah takut terhadap
masker atau lingkungan yang asing sedangkan anak usia sekolah
merasa takut terhadap apa yang akan terjadi pada saat mereka tidur,
apakah mereka akan bangun kembali dan apakah mereka akan mati.
5) Reaksi Anak Usia Remaja terhadap Cedera Tubuh dan Nyeri
Meskipun perkembangan citra tubuh dimulai pada saat lahir,
namun relevansinya memuncak selama masa remaja. Perubahan apapun
yang membedakan remaja dari teman sebayanya dianggap sebagai suatu
tragedi besar. Oleh karena itu sifat cedera tubuh dalam persepsi remaja
tentang penyakit dianggap lebih penting dibandingkan tingkat
keparahan. Citra tubuh remaja yang berubah dengan cepat membuat
mereka sangat khawatir terhadap abnormalitas yang dapat disebabkan
oleh penyakit yang diderita. Mengajukan banyak pertanyaan, menarik
diri, menolak orang lain, atau mempertanyakan keadekuatan perawatan
merupakan respon terhadap kekhawatiran tersebut. Mereka juga
terkadang bersikap terlalu percaya diri, sombong dan sok tahu sebagai
manifestasi dari kehilangan kendali dan perubahan citra tubuh.
Perubahan seksual menyebabkan remaja sangat khawatir tentang privasi.
Hal ini menjadi stres yang sangat besar daripada nyeri fisik. Remaja juga
aktif mencari informasi terkait perkembangan normal dan sesuai dengan
standar. Jika menderita suatu penyakit, mereka takut pertumbuhan
mereka akan mengalami kemunduran, sehingga mereka tertinggal dari
teman-teman sebayanya.
Remaja sudah memiliki pengendalian diri yang lebih baik
ketika berespon terhadap nyeri. Resistensi dan agresi fisik berkurang
pada usia ini kecuali jika remaja tersebut tidak disiapkan secara total
untuk menghadapi prosedur. Sejalan dengan perkembangan kognitif,
remaja sudah mampu menggambarkan pengalaman nyeri yang dirasakan
dan menggunakan alat pengkajian nyeri untuk orang dewasa. Akan tetapi
remaja terkadang merasa enggan mengungkapkan nyeri mereka sehingga
mengharuskan perawat untuk mendengarkan keluhan dengan cermat dan
mengobservasi tanda-tanda fisik seperti keterbatasan gerak, ketenangan
yang berlebihan atau iritabilitas.

3. Reaksi Sibling

Reaksi sibling terhadap penyakit atau hospitalisasi saudara perempuan


atau saudara laki-lakinya sedikit berbeda jika anak hanya sakit sementara. sibling
mengalami kesepian, ketakutan, dan khawatir, juga marah, benci, iri, dan merasa
bersalah.Berbagai faktor telah, diidentifikasi memengaruhi dampak hospitalisasi
anak pada sibling.
Meskipun faktor-faktor tersebut serupa pada anak yang menderita
penyakit kronis, Craft (1993) melaporkan bahwa faktor-faktor terkait sibling
berikut ini barhubungan secara spesifik dengan pengalaman rumah sakit dan
ternyata meningkatkan dampak pada sibling:
a. Berusia lebih muda dan mengalami banyak perubahan
b. Dirawat di luar rumah oleh pengasuh yang bukan kerabat
c. Menerima sedikit informasi tentang penyakit saudaranya
d. Menganggap orang tua memperlakukan mereka secara berbeda dibandingkan
sebelum hospitalisasi sibling mereka
Simon (1993) telah menanyakan pada 45 sibling dari anak-anak yang
dihospitalisasi tentang persepsi mereka terhadap stres akibat hospitalisasi
saudaranya. Persepsi sibling tentang stres yang mereka alami sama tingkatannya
dengan stres anak yang dihospitalisasi. Orang tua sering tidak menyadari jumlah
dampak yang dialami. sibling selama hospitalisasi anak yang sakit dan manfaat
dari intervensi sederhana untuk meminimalkan dampak tersebut, seperti memberi
penielasan tentang penyakit dan keputusan bagi sibling untuk tetap di rumah.
Kunjungan sibling biasanya bermanfaat bagi pasien sibling itu sendiri dan orang
tua tetapi hal tersebut tetap hams dievaluasi secara individual.

D. Perubahan Peran Dalam Keluarga

Selain dampak Perpisahan terhadap peran keluarga, kehilangan peran orang


tua, sibling, dan peran keturunan dapat memengaruhi setiap anggota ke!uarga dengan
cara yang berbeda. Salah satu reaksi orang tua yang paling banyak terjadi adalah
perhatian khusus dan intensif terhadap anak yang sedang sakit. Anak-anak yang lain
biasanya menganggap hal ini sebagai sesuatu yang tidak adil dan menginterpretasikan
sikap orang tua terhadap mereka sebagai penolakan. Meskipun respons-respons
semacam itu biasanya tidak disadari dan tidak diinginkan, hal tersebut menimbulkan
beban pada anak yang Sedang sakit. Misalnya, anak yang sedang sakit merasa harus
menjalani peran sakit untuk memenuhi harapan orang tua, terutama anak-anak yang
memiliki kemampuan fisik yang terbatas dan baru saja memperoleh kembali status
kesehatannya, seperti pasca bedah jantung korektif. Orang tua mungkin tidak dapat
menerima pemulihan anak sehingga meneruskan pola terlalu melindungi dan
perhatian yang memanjakan.
Anak yang sakit juga merasa iri dan kesal dengan saudaranya. Karena posisi
mereka yang istimewa dalam keluarga, mereka bisa saja menyangkal kehadiran
saudaranya. Persaingan antara sibling cenderung lebih besar pada anak yang jarak
umurnya berdekatan dengan anak yang sedang sakit. Tanpa pemahaman dinamika
interpersonal diantara sibling, orang tua cenderung menyalahkan anak yang sehat
karena perilaku antisosial tersebut. Penyakit dapat juga menyebabkan anak-anak
kehilangan statusnya baik dalam keluarga maupun kelompok sosial. Sebagai contoh,
penyakit pada anak-anak yang lebih besar dapat sementara menghentikan hak
istimewa sebagai kakak.
E. Peran Perawat Anak Dalam Memanimalisir Stress
1. Pengkajian

Pengkajian sebaiknya dilakukan sebelum anak dirawat di rumah sakit.


Pengkajian juga dapat dilakukan secara bersamaan ketika dilakukan proseduf
tindakan medis agar kebutuhan-kebutuhan anak yang spesifik dapat dikenali lebih
awal.
a) Pengkajian Rasa Nyeri, Pengkajian rasa nyeri merupakan komponen yang
kritis pada proses keperawatan.
Satu alasan penanganan raga nyeri yang tidak mencukupi adalah
kurangnya Pengertian tentang apa yang dimaksud dengan rasa nyeri. Rasa
nyeri mempersepsi berbeda sehingga rasa nyeri pada orang lain sering kali
tidak tepat dan akurat. Secara Operasional, pengertian rasa nyeri yang
biasanya digunakan dalam klinik adalah apapun yang diperlihatkan dan
dikatakan oleh seseorang, kapan saja orang tersebut mengatakannya
(McCaffery and Beebe, 1989).

 Prinsip Pengkajian Rasa Nyeri pada Anak


Pengkajian rasa nyeri‘ pada anak mehputi verbal dan
nonverbal. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah QUESTT:
 Question the Child (Bertanya pada anak).
 Use pain rating scale (Gunakan'skala peringkat rasa nyeri).
 Eveluate behavior and physiologic changes (Evaluasi perubahan
tingkahlaku dan fiologis).
 Secure parent's involvement (Melibatkan orang tua).
 Take cause of pain into account (Teutukan dan catat penyebab rasa
nyeri).
 Take action and evaluate result (Ambil tindakan dan evsluasi hasilnya).

b) Macam Macam Intervensi


1) Meminimalkan Perasaan Kehilangan Kendali

Perasaan kehilangan kendali berasal dari perpisahan,


pembatasan fisik, perubahan-perubahan atas hal-hal yang bersifat rutin,
dan ketergantungan. Oleh karena itu, rencana asuhan keperawatan yang
dibuat hendaknya dapat meminimalkan rasa kehilangan kedali tersebut:
a) Mengusahakan kebebasan bergerak
Pembatasan fisik/imobilisasi pada anak untuk mempertahankan
aliran infus dapat dicegah jika anak kooperatif. Untuk balita, kontak
orang tua-anak mempunyai arti penting untuk mengurangi stress akibat
pembatasan (restrain).
b) Mempertahankan kegiatan rutin anak
Pembuatan rencana asuhan keperawatan didasarkan pada
aktivitas yang biasa dilakukan anak sewaktu dirumah. Teknik untuk
meminimalkan gangguan dalam melakukan kegiatan sehari-hari adalah
dengan “jadwal kegiatan yang terstruktur (time structuring).
c) Dorangan anak untuk independen
Balita mulai belajar menjadi independen dan sangat
menyenangi peran barunya tersebut. Hospitalisasi membuat anak
menjadi tergantung pada orang laindan ini menimbulkan perasaan
kehilangan kendali. Untuk mengatasi hal tersebut, anak sebaiknya
diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan.
2) Mencegah dan Meminimalkan Perlukaan Tubuh dan Rasa Takut.

Perawat dapat menjelaskan apa yang akan dilakukan, siapa


yang dapat ditemui oleh anak jika dia merasa takut,dst.
Memanipulasi prosedur juga dapat mengurangi ketakutan
akibat perlukaan tubuh. Misalnya, jika anak takut diukur temperaturnya
melalui anus, maka hal tersebut dapat dilakukan melalui ketiak/axilla.
Untuk mengurangi rasa nyeri dapat dilakukan dengan tanpa obat,
misalnya dengan distraksi.
3) Memaksimalkan Manfaat dari Hospitalisasi
a) Membantu perkembangan hubungan orang tua-anak
Hospitalisasi memberikan kesempatan pada orangtua untuk belajar
mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak.
b) Memberi kesempatan untuk pendidikan
Hospitalisasi memberikan kesempatan pada anak dan anggota keluarga
untuk belajar mengenai tubuh dan profesi kesehatan.
c) Meningkatkan pengendalian diri (self mastery)
Pengalaman menghadapi krisis seperti penyakit atau hospitalisasi akan
memberi kesempatan untuk pengendalian diri (self maxtery). Mereka
menyadari bahwa mereka tidak sendirian dan tidak dihukum. Pada
kenyataannya mereka dicintai dan di rawat.
d) Memberi kesempatan untuk sosialisasi
Jika anak yang dirawat dalam satu ruangan usianya sebaya, maka hal
tersebut akan membantu anak untuk belajar mengenal diri mereka.
4) Memberikan dukungan pada Anggota Keluarga
a) Memberi informasi
Memberi informasi sehubungan dengan penyakit, prosedur
pengobatan serta prognosis, reaksi emosional anak terhadap sakit dan
di rawatt.
b) Melibatkan saudara kandung
Untuk mengurangi stress pada anak, misalnya keterlibatan
dalam program bermain dsb.
5) Bermain untuk Mengurangi Stres Akibat Hospitalisasi

Bermain adalah penting untuk kesehatan mental, emosional,


dan sosial. Oleh karena itu, adanya ruang bermain khusus bagi anak
adalah sangat penting untuk memberikan rasa aman dan mnyenangkan.
a) Tujuan bermain di rumah sakit
 Dapat melanjutkan tumbuh kembang yang normal selama
perawatan, sehingga tumbuh kembang tetap berlangsung terus
tanpa terhambat oleh keadaan anak.
 Dapat mengespresikan pikiran dan fantasi anak
 Dapat mengembangkan kreativitas melalui pengalaman
permainanyang tepat.
 Agar anak dapat beradaptasi secara lebih efektif terhadap stress
karena penyakit atau karena dirawat di rumah sakit, dan anak
mendaptkan ketenangan dalam bermain.
b) Prinsip bermain di rumah sakit
 Tidak banyak mengelurakan energy, singkat, dan sederhana
 Mempertimbangkan keamanan dan infeksi silang
 Kelompok umur yang sama
 Permainan tidak bertentangan dengan pengobatan
 Semua alat permainan dapat di cuci
 Melibatkan orang tua
DAFTAR PUSTAKA

Nursalam, rekawati,susilaningrum, sri,utami. ( 2008). Asuhan keperawatan bayi dan anak


(untuk perawat dan bidan). cetakan kedua. Jakarta : salemba medika.

Wong,donna l, david Wilson, dkk. (2008). Buku ajar keperawatan pediatric, edisi 6, vol 2.
Jakarta : EGC.

Utami ,Yuli. 2014. Pembahasan Hospitalisasi. Dampak Hospitalisasi terhadap


Perkembangan Anak, 2, 10-14.

Anda mungkin juga menyukai