Laporan Kasus Appendicitis Gangrenosa
Laporan Kasus Appendicitis Gangrenosa
PENDAHULUAN
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Tn. A
Umur : 44 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 60 kg
Agama : Islam
Alamat : JL. A. R. Saleh RD. PIGPP
Blok F 20 Palu
B. ANAMNESIS
Riwayat Penyakit
1. Keluhan Utama : Perut kembung
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien masuk RSU anutapura dengan keluhan perut kembung yang
dialami kurang lebih 5 hari yang lalu. Keluhan tersebut disertai dengan
mual, muntah, tidak BAB dan tidak kentut. Awalnya sejak 3 hari
sebelumnya pasien sempat di rawat di RS Bhayangkara dan dianjurkan
untuk operasi usus buntu, namun pasien menolak.
b. Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula (S)
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : S1 dan S2 murni regular, bising (-)
5. Abdomen :
Inspeksi : distensi abdomen
Auskultasi : bising usus (-)
Perkusi : Bunyi : hypertimpani
Asites : (-)
Palpasi : defans muscular (+), nyeri tekan seluruh abdomen (+)
Pekak Hepar : menghilang
Hati : sulit dievaluasi
Lien : sulit dievaluasi
Ginjal : sulit dievaluasi
6. Ekstremitas : akral hangat, edema tidak ada, turgor menurun, CRT > 3
detik
7. Genitalia : terpasang kateter
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hasil Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 14,3 L: 14-18, P: 12-16 g/dl
Leukosit 27,5 4.000-12.000 /mm3
Eritrosit 5,06 L: 4.5-6.5 P: 3.9-5.6 Juta/ul
Hematokrit 46,8 L: 40-46 P: 35-47 %
Trombosit 103.000 150.000-450.000 /mm3
Waktu
5-11(Duke) m.det
perdarahan/CT
Waktu
1-3 (ivy) m.det
perdarahan/BT
E. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Rontgen BNO : Kesan free air subdiafragma kanan-kiri
F. DIAGNOSIS
Peritonitis generalisata ec appendicitis gangrenosa
G. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
- IVFD RL : Dextrose 5% 3:1 28 tpm
- Ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Ketorolak 1 ampl/8 jam
- Ranitidine 1 ampl/12 jam
Tindakan
- Pasang NGT
- Pasang kateter
- Puasakan
- Balance cairan
- Rencana Tindakan: Laparotomi cito
H. TINDAKAN ANESTESI
Jenis anestesi : Regional Anestesi
Teknik anestesi : Sub-arachnoid blok
Induksi : Bupivacaine Hyperbaric 0,5%
Anestesi mulai : 09:15 WITA
Anestesi selesai : 10.30 WITA
Operasi mulai : 09.20 WITA
Operasi selesai : 10.30 WITA
Anestesiologis : dr. Taufik Imran Sp.An
Ahli Bedah : dr. Ikhlas Sp. B / dr. Zaki
A. Pre-operatif
1. Pasien puasa > 8 jam pre-operatif.
2. Infus RL 24 tpm.
3. Status Fisik ASA II E
B. Intra operatif
Pemantauan tanda-tanda vital selama operasi sebagai berikut:
C. Post operatif
Pemantauan di Recovery Room :
1. Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
2. Beri O2 2L/menit nasal canul.
3. Berikan antibiotik profilaksis, antiemetic, H2 reseptor bloker dan
analgetik
4. Bila Skor Bromage ≤ 2 boleh pindah ruangan.
PEMBAHASAN
1. Posisi duduk atau posisi lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di
atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
2. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala, selain memberikan kenyamanan pada pasien juga
supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar
prosessus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
3. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis krista iliaka,
misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya beresiko
trauma terhadap medulla spinalis.
4. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
5. Beri anestesi lokal (jika perlu) pada tempat suntikan, misalnya dengan
lidokain 1-2% 2-3 ml.
6. Cara tusukan media atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa 10cc.
Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock), irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah ke atas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran
likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri pasca spinal. Setelah resensi
menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
7. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemorroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa kurang lebih 6 cm.
Anestesi spinal juga mempunyai komplikasi, komplikasi yang dapat
ditimbulkan pada anestesi ini adalah hipotensi, nyeri saat penyuntikan, nyeri
punggung, sakit kepala, retensio urine, meningitis, cedera pembuluh darah dan
saraf, serta anestesi spinal total.
Pada pasien ini digunakan Bupivakain hiperbarik sebagai obat anestesi
spinal, Bupivakain 0,5% hiperbarik merupakan anestetik lokal golongan amino
amida yang paling banyak digunakan pada teknik anestesi spinal. Pada pasien ini
digunakan obat anestesi bupivakain sebagai anestesi spinal, nama kimia
bupivakaina adalah 2-Piperidinecarboxamide, 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-,
monohydrochloride, monohydrate.
Bupivacain bekerja dengan cara berikatan secara intraseluler dengan
natrium dan memblok influk natrium ke dalam inti sel sehingga mencegah
terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri
mempunyai serabut saraf yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin,
maka bupivacain dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri
dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai
selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal. Bupivacain mempunyai
lama kerja obat yang lebih lama dibandingkan dengan obat anestesi lokal yang
lain. Pada pemberian dosis yang berlebihan dapat menyebabkan toksik pada
jantung dan sistem saraf pusat. Pada jantung dapat menekan konduksi jantung dan
rangsangan, yang dapat menyebabkan blok atrioventrikular, aritmia ventrikel, dan
henti jantung. Selain itu, kontraktilitas miokard dan depresi vasodilatasi perifer
terjadi, menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan darah arteri. Efek
pada SSP mungkin termasuk eksitasi SSP (gugup, kesemutan di sekitar mulut,
tinitus, tremor, pusing, penglihatan kabur, dan kejang) diikuti oleh mengantuk,
hilangnya kesadaran, depresi pernapasan, dan apneu.
Terapi cairan
1. Pre operatif
Pada pasien ini terjadi gangguan volume yang diakibatkan translokasi
cairan dan elektrolit dalam peritoneum oleh karena terjadinya kebocoran
isi rongga abdomen ke dalam rongga abdomen. Pada pasien ini dapat
dikategorikan dehidrasinya berdasarkan dari gejala klinis dan pemeriksaan
kadar elektrolit. Dari pemeriksaan klinis tampak pasien lemah, dengan
GCS E4V5E6, tekanan darah 110/80 mmHg, pernafasan 30 kali per menit,
nadi cepat dan lemah dengan frekuensi 118 kali per menit, mata cekung,
mukosa bibir kering, capillary refill time lebih dari 3 detik, produksi urin
menurun dan diketahui pada peritonis setiap penebalan peritoneum 2-3
mm saja dapat mengandung cairan dan elektrolit sebanyak 3-5 liter,
sehingga dapat dikategorikan sebagai dehidrasi berat.
Derajat dehidrasi berat (12%) x BB (60 kg) x 1000 cc = 7200 cc
Cairan maintenance
10 kg pertama : 10 kg x 4cc = 40 cc
10 kg kedua : 10 kg x 2 cc = 20 cc
Sisa BB : 40 kg x 1 cc = 40 cc
Total : 100 cc/jam (2.400 ml/24 jam)
Pemberian cairan dehidrasi diberikan dalam 2 waktu:
8 jam pertama : Rehidrasi (3600) + maintenance (100)
= 3700 cc
16 jam berikutnya : 3700 cc
Pada kasus ini sebelum operasi telah dimasukkan cairan sebanyak
1200 cc selama kurang lebih 8 jam. Sehingga masih tersisa 6200 cc
untuk pemberian 16 jam berikutnya, yang akan ditambahkan pada
cairan pasca operasi.
2. Perioperatif
Untuk terapi cairan perioperatif dapat digunakan formula M O P, dengan
keterangan sebagai berikut:
M : Maintenance, dapat dihitung menggunakan rumus holyday Zegar
untuk anak-anak yaitu rumus 421
O : prediksi cairan yang hilang selama operasi dapat dihitung dari jenis
operasi x BB
- Operasi kecil : 4-6 ml x BB
- Operasi sedang : 6-8 ml x BB
- Operasi besar : 8-10 ml x BB
P : Lamanya puasa dihitung dari jumlah jam puasa x maintenance
Perhitungan cairan menggunakan rumus:
Jam I : M + O + 1/2 P
Jam II-III : M + O + 1/4 P
Jam IV :M+O
Berikut merupakan perhitungan pada saat operasi:
a. Maintenance : 100cc
b. Pengganti puasa: lama jam puasa (72 jam) x maintenance (100cc) =
7200 cc
c. Stress operasi : pada kasus ini termasuk jenis operasi besar karena
merupakan operasi laparatomi eksplorasi sehingga stress operasi = 8 x
60 kg = 480 cc
Jadi kebutuhan cairan pada jam 1:
M + SO + 50% PP
100 + 480 + 50% (7200) = 4180 cc
Operasi berlangsung selama 1 jam 10 menit, cairan masuk pada saat
operasi sebanyak 1750 cc sehingga sisa cairan yang akan diberikan post operasi
adalah 2430 cc.
Perdarahan
Jumlah perdarahan saat dilakukan operasi adalah 1500 cc
Rumus = BB x 70%
60 x 70% = 42
Perkiraan perdarahan x 100%
EBV
1500 x 100% = 35,7%
42
Pada pasien ini diberikan whole blood karena perdarahan > 30% TBV
merupakan indikasi pemberian whole blood pemberian whole blood sesuai dengan
perkiraan perdarahan yang hilang.
3. Post operatif
Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.
Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar
kurang lebih 50 ml/kgBB/24jam. Sehingga kebutuhan air untuk pasien ini adalah:
50 cc/kgBB/24 jam = 3000cc/24jam
Kemudian melanjutkan penggantian deficit cairan pembedahan dan selama
pembedahan yang belum selesai yaitu sebanyak 6200cc untuk 16 jam berikutnya.
Selain itu masih tersisa cairan perioperatif, yaitu 2430 cc. Jumlah pengganti
perdarahan dengan whole blood sebanyak 1500cc. Sehingga kebutuhan cairan
untuk kurang lebih 24 jam kedepan adalah kebutuhan cairan pasca operasi + sisa
cairan rehidrasi + sisa cairan perioperatif + jumlah pengganti perdarahan, jadi di
dapatkan 10.130cc yang merupakan suatu jumlah yang banyak. Karena pasien
masih dipuasakan setelah operasi maka cairan sisa akan dimasukkan secara
parenteral.
DAFTAR PUSTAKA