Anda di halaman 1dari 28

BAB 16

ANESTETIK-ANESTETIK LOKAL
Kunci Konsep

1. Kanal natrium (Na) merupakan protein membran yang terdiri dari satu
subunit α besar, yang dilalui oleh ion Na, dan satu atau dua subunit β yang
lebih kecil. Kanal Na bergerbang voltase berada pada (setidaknya) tiga
keadaan yaitu istirahat (nonkonduksi), terbuka (konduksi), dan inaktif
(nonkonduksi). Anestesi lokal mengikat daerah spesifik pada subunit α dan
menghambat kanal Na bergerbang voltase, mencegah aktivasi kanal dan
influks Na yang terkait dengan depolarisasi membran.
2. Sensitivitas serabut saraf yang terhambat oleh anestesi lokal ditentukan oleh
diameter aksonal, mielinasi, serta faktor anatomis dan fisiologis lainnya.
3. Potensi berhubungan dengan kelarutan oktanol yang mempengaruhi
kemampuan molekul anestesi lokal untuk menembus membran lipid. Potensi
meningkat dengan menambahkan gugus alkil besar ke molekul induk. Tidak
ada pengukuran potensi anestesi lokal yang analog dengan konsentrasi
alveolar minimum dari anestesi inhalasi.
4. Onset kerja tergantung pada banyak faktor, termasuk kelarutan lipid dan
konsentrasi relatif dari bentuk larut-lemak yang tidak berionisasi (B) dan
bentuk larut-air yang mudah terionisasi (BH+), yang dinyatakan oleh pKa. pKa
adalah pH di mana fraksi obat terionisasi dan nonionisasi sama. Agen yang
kurang poten dan kurang larut-lemak umumnya memiliki onset lebih cepat
daripada agen yang lebih poten dan lebih larut-lemak.
5. Durasi kerja berhubungan dengan potensi dan kelarutan lipid. Anestesi lokal
yang sangat larut dalam lemak memiliki durasi kerja yang lebih lama,
mungkin karena jenis agen ini lebih lambat berdifusi dari lingkungan yang
kaya lipid ke aliran darah yang lebih akuosa.
6. Dalam anestesi regional, anestesi lokal biasanya diinjeksikan atau
diaplikasikan sangat dekat dengan lokasi kerja yang diinginkan, dengan

1
demikian, profil farmakokinetiknya merupakan faktor penentu eliminasi dan
toksisitas yang jauh lebih penting daripada efek klinis yang diinginkan.
7. Tingkat penyerapan sistemik berhubungan dengan vaskularitas di tempat
penyuntikan: intravena (atau intraarteri) > trakeal > interkostal > paraservikal
> epidural > pleksus brakialis > skiatik > subkutan.
8. Anestetik lokal ester didominasi metabolisme oleh pseudokolinesterase.
Anestetik lokal amida dimetabolisme (N-dealkilasi dan hidroksilasi) oleh
enzim P-450 mikrosomal di hepar.
9. Sistem saraf pusat rentan terhadap toksisitas anestetik lokal dan merupakan
lokasi munculnya tanda-tanda awal meningkatnya konsentrasi darah pada
pasien yang sadar.
10. Toksisitas kardiovaskular mayor biasanya membutuhkan sekitar tiga kali
konsentrasi anestetik lokal dalam darah seperti yang dibutuhkan untuk
menghasilkan kejang.
11. Injeksi bupivakain intravaskular yang tidak disengaja selama anestesi
regional dapat menyebabkan toksisitas kardiovaskular yang parah, termasuk
depresi ventrikel kiri, blok jantung atrioventrikular, dan aritmia yang
mengancam nyawa seperti takikardia dan fibrilasi ventrikel.
12. Reaksi hipersensitivitas terhadap agen anestetik lokal berbeda dari toksisitas
sistemik yang disebabkan oleh konsentrasi plasma yang berlebihan, jarang
terjadi. Ester tampaknya lebih cenderung menginduksi reaksi alergi yang
(karena antibodi IgG atau IgE) terutama jika mengandung derivatif asam p-
aminobenzoat (misalnya prokain atau benzokain), jenis alergen yang telah
diketahui.

Teknik anestesi dan analgesia lokal dan regional bergantung pada


sekelompok obat anestetik lokal yang menghambat fungsi saraf sensorik, motorik,
atau otonom secara transien, atau kombinasi dari fungsi ini, bilamana obat
disuntikkan atau diaplikasikan di dekat jaringan saraf. Bab ini menyajikan
mekanisme kerja, hubungan struktur-aktivitas, dan farmakologi klinis obat
anestesi lokal. Teknik anestesi regional yang lebih umum digunakan disajikan
pada Bagian IV (lihat Bab 45 dan 46).

2
Mekanisme Kerja Anestetik Lokal
Neuron (dan semua sel hidup lainnya) mempertahankan potensi membran
istirahat sebesar -60 sampai -70 mV melalui transpor aktif dan difusi pasif ion.
Pompa natrium-kalium yang bersifat elektrogenik dan boros energi (Na+–K+–
ATPase) mengangkut tiga ion natrium (Na) keluar dari sel untuk setiap dua ion
kalium (K) yang bergerak masuk ke dalam sel. Ini menciptakan disekuilibrium
ionik (gradien konsentrasi) yang mendukung pergerakan ion K dari daerah
intraselular ke daerah ekstraselular, dan pergerakan ion Na ke arah yang
berlawanan. Membran sel biasanya jauh lebih "permeabel" untuk ion K daripada
ion Na, jadi kelebihan relatif ion bermuatan negatif (anion) terakumulasi secara
intraselular. Ini menyumbang perbedaan potensial istirahat negatif (polarisasi -70
mV).

Tidak seperti kebanyakan jenis jaringan lainnya, sel yang dapat dieksitasi
(misalnya, neuron atau miosit jantung) memiliki kemampuan untuk menghasilkan
potensial aksi. Kanal Na yang terikat-membran dan bergerbang voltase pada
akson saraf perifer dapat menghasilkan dan mentransmisikan depolarisasi
membran mengikuti rangsangan kimia, mekanik, atau listrik. Ketika sebuah
stimulus cukup untuk mendepolarisasi sepetak membran, sinyal dapat
ditransmisikan sebagai gelombang depolarisasi di sepanjang membran saraf
(sebuah impuls). Aktivasi kanal Na bergerbang voltase menyebabkan perubahan
yang sangat singkat (kira-kira 1 msec) pada konformasi kanal, yang
memungkinkan influks ion Na dan menghasilkan potensial aksi. (Gambar 16-1)

Peningkatan permeabilitas Na menyebabkan depolarisasi sementara


potensial membran menjadi +35 mV. Arus Na pada saat ini singkat dan diakhiri
dengan inaktivasi kanal Na bergerbang voltase, yang tidak mengkonduksikan ion
Na. Selanjutnya membran kembali ke potensial istirahatnya. Gradien konsentrasi
dasar dipertahankan oleh pompa natrium-kalium, dan hanya sejumlah kecil ion Na
yang masuk ke dalam sel selama potensial aksi.

3
Gambar 16.1. Senyawa potensial Aα, Aδ, dan Cexter dicatat setelah stimulasi
supramaksimal saraf tikusatik. Perhatikan skala waktu pengukuran dari rekaman.
Pada saraf perifer, A dan C memiliki kecepatan konduksi yang jauh lebih lambat,
dan potensial aksi majemuk mereka lebih panjang dan amplitudo kurang bila
dibandingkan dengan serat Aα.

Kanal Na merupakan protein terikat membran yang terdiri dari satu


subunit α besar, yang dilewati ion Na, dan satu atau dua subunit β yang lebih
kecil. Kanal Na bergerbang voltase berada dalam (paling sedikit) tiga keadaan
istirahat (nonkonduksi), terbuka (konduksi), dan inaktif (nonkonduksi). Perhatikan
(Gambar 16-2).

Gambar 16.2 Kanal Na bergerbang voltase berada pada (setidaknya) tiga keadaan yaitu
istirahat (nonkonduksi), terbuka (konduksi), dan inaktif (nonkonduksi). Anestetik lokal
mengikat daerah spesifik pada subunit α dan menghambat kanal Na bergerbang voltase,
mencegah aktivasi kanal dan influks Na yang terkait dengan depolarisasi membran.

4
Tabel 16.1 Klasifikasi serabut saraf

Jenis Modalitas Diameter Konduksi Adanya


(mm) (m/s) Myelin

Aα motor eferen 12-20 70-120 Ya

Aα proprioseptif 12-20 70-120 Ya

Aβ sentuhan dan 5-12 30-70 Ya


tekanan

Aγ motor eferen 3-6 15-30 Ya

Aδ nyeri, 2-5 12-30 Ya


temperature,
dan sentuhan

B preganglionik <3 3-14 Beberapa


automatic
fibers

C Dorsal root nyeri dan 0,4-1,2 0,5-2 Tidak


temperatur

C Sympathetic postganglionik 0,3-1,3 0,7-2,3 Tidak


sympathetic
fibers

Anestetik lokal mengikat daerah tertentu dari subunit α dan menghambat


kanal Na bergerbang voltase, mencegah aktivasi kanal dan menghambat influks
Na yang terkait dengan depolarisasi membran.

5
Pemberian anestetik lokal ke kanal Na tidak mengubah potensial membran
istirahat. Dengan meningkatnya konsentrasi anestetik lokal, fraksi kanal Na yang
meningkat di membran mengikat molekul anestetik lokal dan tidak dapat
mengkonduksikan ion Na. Sebagai konsekuensinya, konduksi impuls melambat,
laju kenaikan dan besarnya potensial aksi menurun, dan ambang batas untuk
konduksi eksitasi dan impuls meningkat secara progresif.

Pada konsentrasi anestetik lokal yang cukup tinggi dan dengan fraksi yang
cukup besar dari kanal Na yang mengikat anestetik lokal, potensial aksi tidak
dapat lagi dihasilkan dan penyebaran impuls menghilang. Anestetik lokal
memiliki afinitas yang lebih besar pada kanal dalam keadaan terbuka atau inaktif
dibandingkan dengan keadaan istirahat.

Anestetik lokal mengikat kanal yang terbuka atau inaktif, atau keduanya,
dengan difasilitasi oleh depolarisasi. Fraksi kanal Na yang telah mengikat zat
anestetik local kemudian meningkat dengan depolarisasi sering (misalnya selama
rentetan impuls). Fenomena ini disebut dengan use-dependent block. Dengan kata
lain, hambatan anestetik lokal bergantung pada voltase dan frekuensi, dan lebih
besar bila serabut saraf ditembakkan dengan cepat dibandingkan dengan
depolarisasi yang jarang terjadi.

Anestetik lokal juga dapat mengikat dan menghambat kalsium (Ca), K,


potensial reseptor transien vaniloid 1 (TRPV1), dan banyak kanal serta reseptor
lainnya. Sebaliknya, golongan obat lain, terutama antidepresan trisiklik
(amitriptilin), meperidin, anestesi volatil, penghambat kanal Ca, dan ketamin, juga
dapat menghambat kanal Na.

Tetrodotoxin adalah racun yang secara khusus mengikat kanal Na namun


pada bagian luar membran plasma. Studi manusia sedang berlangsung dengan
toksin serupa untuk menentukan apakah zat tersebut dapat memberikan analgesia
efektif dan lebih lama setelah infiltrasi lokal.

6
Sensitivitas serabut saraf yang terhambat oleh anestetik lokal ditentukan
oleh diameter aksonal, faktor mielinasi, serta faktor anatomis dan fisiologis
lainnya. Tabel 16-1 mencantumkan klasifikasi yang paling umum digunakan
untuk serabut saraf.

Dalam membandingkan serabut saraf dengan tipe yang sama, diameter


kecil meningkatkan sensitivitas terhadap anestetik lokal. Dengan demikian, serat
Aα yang lebih besar dan lebih cepat kurang sensitif terhadap anestetik lokal
dibandingkan dengan serat Aδ yang lebih kecil dan konduksinya lebih lambat, dan
serabut tidak bermielin yang berukuran lebih besar kurang sensitif dibandingkan
dengan serabut tidak bermielin yang berukuran lebih kecil. Di sisi lain, serabut C
kecil yang tidak bermielin relatif tahan terhadap penghambatan oleh anestesi lokal
dibandingkan dengan serabut bermielin yang lebih besar.

Pada serabut saraf spinalis, penghambatan anestetik lokal (dan kegagalan


konduksi) umumnya mengikuti sekuensi otonom, sensorik, dan motorik namun
pada kondisi stabil jika terdapat anestesi sensorik, maka semua serabut saraf
terhambat.

Hubungan Struktur–Aktivitas
Anestetik lokal terdiri dari kelompok lipofilik (biasanya cincin benzena
aromatik) yang terpisah dari gugus hidrofilik (biasanya amina tersier) oleh rantai
perantara yang mencakup ikatan ester atau amida.

Artikain, anestetik lokal yang paling populer untuk kedokteran gigi di


beberapa negara Eropa, merupakan golongan amida namun tidak mengandung
cincin benzena melainkan mengandung cincin tiofena.

Anestetik lokal merupakan basa lemah yang biasanya membawa muatan


positif pada kelompok amina tersier pada pH fisiologis. Sifat-sifat rantai perantara
merupakan dasar klasifikasi anestetik lokal baik sebagai ester atau amida.

7
Tabel 16.2A. Sifat fisikokimia anestetik-anestetik lokal (golongan amida)

Kelarutan lemak

Generik Struktur relatif pada PKa Pengikatan


anestesi lokal Protein %

Bupivacain 8 8,2 96

Etidocain 16 8,1 94

Lidocain 1 8,2 64

Mepivacain 0,3 7,9 78

Prilocaine 0,4 8,0 53

Ropicaine 2,5 8,2 94

8
Tabel 16.2B. Sifat fisikokimia anestetik-anestetik lokal (golongan ester)

Generik Struktur Kelarutan lemak PKa Pengikatan


relatif pada Protein %
Anestesi lokal

Koloroprocain 2,3 9,1 Tidak ada

Kocain Tidak ada 8,7 91

Procain 0,3 9,1 Tidak ada

Tetracain 12 8,6 76

Sifat fisiko-kimia dari anastetik lokal bergantung pada substitusi pada


cincin aromatik, jenis keterkaitan dalam rantai perantara, dan gugus alkil yang
terikat pada nitrogen amina.

Potensi berkorelasi dengan kelarutan oktanol, yang pada gilirannya


mencerminkan kemampuan molekul anestesi lokal untuk menembus membran
lipid. Potensi meningkat dengan menambahkan gugus alkil besar ke molekul
induk (bandingkan tetrakain dengan prokain atau bupivakain dengan mepivakain).
Tidak ada pengukuran potensi anestesi lokal yang analog dengan konsentrasi
alveolar minimum (MAC) anestesi inhalasi. Konsentrasi anestesi lokal minimum
yang akan menghambat konduksi impuls saraf dipengaruhi oleh beberapa faktor,
termasuk ukuran, tipe, dan myelinasi serabut saraf, pH (pH asam melawan blok

9
anestesi), frekuensi stimulasi saraf, dan konsentrasi elektrolit (hipokalemia dan
hiperkalsemia berlawanan dengan blokade).

Onset kerja anestetik lokal bergantung pada banyak faktor, termasuk


kelarutan lipid dan konsentrasi relatif bentuk larut-lemak nonionisasi (B) dan
bentuk larut-air terionisasi (BH+), yang ditunjukkan oleh pKa. pKa adalah pH di
mana fraksi obat terionisasi dan nonionisasi sama. Agen yang kurang poten dan
kurang larut-lemak umumnya memiliki onset lebih cepat dibandingkan dengan
agen yang lebih poten dan larut-lemak.

Anestetik lokal dengan pKa yang paling mendekati pH fisiologis akan


memiliki (pada pH fisiologis) fraksi basa nonionisasi yang lebih besar yang lebih
siap untuk menembus membran sel saraf, yang umumnya memfasilitasi onset
kerja yang lebih cepat. Bentuk larut-lemak lebih mudah berdifusi melewati
selubung neural (epineurium) dan melewati membran saraf. Anehnya, begitu
molekul anestetik lokal memperoleh akses ke sisi sitoplasma kanal Na, kation
bermuatan (bukannya basa nonionisasi) mengikat kanal Na lebih kuat. Misalnya,
pKa lidokain melebihi pH fisiologis. Jadi, pada pH fisiologis (7,40) lebih dari
separuh lidokain berbentuk kation bermuatan (BH+).

Hal ini sering dinyatakan bahwa onset kerja anestetik lokal berkorelasi
langsung dengan pKa. Pernyataan ini tidak didukung oleh data actual, bahkan
kenyataannya agen dengan onset tercepat (2-kloroprokain) memiliki pKa terbesar
dari semua agen yang digunakan secara klinis. Faktor lain, seperti kemudahan
difusi melalui jaringan ikat, dapat mempengaruhi onset kerja in vivo. Lagipula,
tidak semua anestetik lokal ada dalam bentuk bermuatan (misalnya benzokain).

Pentingnya bentuk terionisasi dan nonionisasi memiliki banyak implikasi


klinis, setidaknya untuk agen yang ada dalam kedua bentuk. Larutan anestetik
lokal secara komersial berbentuk garam hidroklorida yang larut dalam air (pH 6-
7). Karena epinefrin tidak stabil dalam lingkungan alkalin, larutan anestetik lokal
yang mengandung epinefrin secara komersial diformulasikan dalam bentuk lebih
asam (pH 4-5) dibandingkan dengan larutan "polos" yang sebanding yang tidak
mengandung epinefrin.

10
Sebagai konsekuensi langsung, preparat epinefrin yang diformulasikan
secara komersial ini mungkin memiliki konsentrasi basa bebas yang lebih rendah
dan onset yang lebih lambat dibandingkan dengan apabila epinefrin ditambahkan
oleh klinisi pada saat penggunaan. Demikian pula, rasio basa ke kation
ekstraselular menurun dan onset tertunda saat anestesi lokal diinjeksikan ke
jaringan yang bersifat asam (misalnya, jaringan yang terinfeksi).

Takifilaksis, penurunan efikasi dosis berulang dapat dijelaskan sebagian


oleh konsumsi akhir dari kapasitas buffer ekstraselular lokal dengan injeksi
berulang larutan anestesi lokal asam, namun data yang mendukung masih kurang.
Beberapa peneliti telah menemukan bahwa alkalinisasi larutan anestetik lokal
(terutama yang diproduksi secara komersial dan mengandung epinefrin) dengan
penambahan natrium bikarbonat (misalnya 1 mL 8,4% natrium bikarbonat per 10
ml anestetik lokal) mempercepat onset dan memperbaiki kualitas blok dengan
meningkatkan jumlah basa bebas yang tersedia. Menariknya, alkalinisasi juga
mengurangi rasa nyeri selama infiltrasi subkutan.

Durasi kerja berkorelasi dengan potensi dan kelarutan lipid. Anestesi lokal
yang sangat larut dalam lemak memiliki durasi kerja yang lebih lama, mungkin
karena mereka berdifusi lebih lambat dari lingkungan yang kaya lemak ke aliran
darah yang lebih bersifat akuosa. Kelarutan lemak anestesi lokal berkorelasi
dengan pengikatan protein plasma.

Anestesi lokal sebagian besar terikat oleh glikoprotein α1-asam dan sedikit
ke albumin. Sistem pelepasan berkelanjutan menggunakan enkapsulasi liposomal
atau mikrosfer untuk pengiriman anestesi lokal dapat memperpanjang durasi kerja
secara signifikan, namun pendekatan ini belum digunakan untuk anestesi yang
berkepanjangan seperti halnya pada penggunaan morfin epidural dengan durasi
diperpanjang untuk injeksi tunggal serta analgesia epidural berkepanjangan.

Blok diferensial sensorik lebih disukai daripada blok fungsi motorik.


Sayangnya, hanya bupivakain dan ropivakain yang memperlihatkan blok selektif
(kebanyakan saat onset dan offset blok) saraf sensorik, namun demikian,

11
konsentrasi yang dibutuhkan untuk anestesi bedah hampir selalu menghasilkan
beberapa blokade motor.

Farmakologi Klinis dan Farmakokinetik


Dalam anestesi regional, anestetik lokal biasanya diinjeksikan atau
diapliaksikan sangat dekat dengan lokasi kerja yang diinginkan; dengan demikian
profil farmakokinetik merupakan faktor penentu eliminasi dan toksisitas yang jauh
lebih penting daripada efek klinis yang diinginkan.

A. Absorpsi

Sebagian besar selaput lendir (misalnya, konjungtiva mata, mukosa trakea)


memberikan penghalang minimal terhadap penetrasi anestesi lokal, yang
menyebabkan onset kerja yang cepat. Kulit yang intak, di sisi lain, membutuhkan
konsentrasi anestesi lokal yang sangat larut dalam lemak untuk memastikan
adanya permeasi dan analgesia.

Krim EMLA terdiri dari campuran 1:1 lidokain 5% dan prilokain basa 5%
dalam emulsi minyak-dalam-air. Analgesia kulit yang cukup untuk memulai jalur
intravena memerlukan waktu kontak minimal 1 jam di bawah dressing oklusif.
Kedalaman penetrasi (biasanya 3-5 mm), durasi kerja (biasanya 1-2 jam), dan
jumlah obat yang diserap bergantung pada waktu aplikasi, aliran darah dermal,
ketebalan keratin, dan dosis total yang diberikan. Biasanya, 1-2 g krim dioleskan
pada area kulit per 10 cm2, dengan luas aplikasi maksimal 2000 cm2 pada orang
dewasa (100 cm2 pada anak dengan berat kurang dari 10 kg).

Penggunaan split-thickness skin-graft, pengangkatan tanda lahir dengan


laser, litotripsi, dan sirkumsisi telah berhasil dilakukan dengan krim EMLA. Efek
sampingnya meliputi pemutihan pada warna kulit, eritema, dan edema. Krim
EMLA tidak boleh digunakan pada selaput lendir, kulit yang tidak intak, bayi
berusia kurang dari 1 bulan, atau pasien dengan predisposisi methemoglobinemia
(lihat Biotransformasi dan Ekskresi di bawah).

Penyerapan sistemik terhadap anestetik lokal yang diinjeksikan bergantung


pada aliran darah, yang ditentukan oleh faktor-faktor berikut.

12
1. Tempat injeksi: tingkat penyerapan sistemik berhubungan dengan vaskularitas
tempat injeksi: intravena (atau intraarteri) > trakeal > interkostal >
paraservikal > epidural > pleksus brakhialis > skiatik > subkutan.

2. Adanya vasokonstriktor: penambahan epinefrin atau yang kurang umum


fenilefrin, menyebabkan vasokonstriksi di tempat administrasi. Penurunan
absorpsi yang mengikutinya mengurangi konsentrasi anestetik lokal puncak
dalam darah, memfasilitasi serapan neuron, meningkatkan kualitas analgesia,
memperpanjang durasi kerja, dan membatasi efek samping toksik.
Vasokonstriktor memiliki efek yang lebih nyata pada agen short-acting
daripada agen yang long-acting. Sebagai contoh, penambahan epinefrin ke
lidokain biasanya memperpanjang durasi anestesi paling sedikit 50%, namun
epinefrin sedikit atau sama sekali tidak berpengaruh pada durasi blok saraf
perifer bupivakain. Epinefrin dan klonidin juga dapat meningkatkan analgesia
melalui aktivasi reseptor α2-adrenergik.

3. Agen anestetik local: obat anestesi lokal yang mudah larut dalam lemak yang
terikat pada jaringan juga lebih lambat diserap. Agen-agen ini juga bervariasi
dalam sifat vasodilator intrinsiknya.

B. Distribusi

Distribusi tergantung pada serapan organ, yang ditentukan oleh faktor-faktor


berikut.

1. Perfusi jaringan: organ yang sangat perfusif (otak, paru-paru, hepar, ginjal,
dan jantung) bertanggung jawab atas serapan cepat awal (fase α), yang diikuti
oleh redistribusi yang lebih lambat (fase β) ke jaringan dengan perfusi
menengah (otot dan usus). Secara khusus, paru-paru mengekstraksi sejumlah
anestetik lokal yang signifikan; akibatnya, ambang batas untuk toksisitas
sistemik melibatkan dosis yang jauh lebih rendah setelah injeksi arteri
daripada suntikan vena (dan anak-anak dengan shunt kanan-ke-kiri lebih
rentan terhadap efek samping toksik dari lidokain yang diinjeksikan sebagai
agen antiaritmia).

13
2. Koefisien partisi jaringan/darah: peningkatan kelarutan lemak dikaitkan
dengan pengikatan protein plasma yang lebih besar serta serapan jaringan
yang lebih besar dari kompartemen akuosa.

3. Massa jaringan: otot menyediakan reservoir terbesar untuk distribusi agen


anestetik lokal di aliran darah karena massanya yang besar.

C. Biotransformasi dan ekskresi

Biotransformasi dan ekskresi anestetik lokal ditentukan oleh struktur


kimianya.

1. Ester
Anestesi lokal ester dominan dimetabolisme oleh pseudokolinesterase
(kolinesterase plasma atau butirilkolinesterase). Hidrolisis ester sangat
cepat, dan metabolit yang larut dalam air diekskresikan dalam urin.
Prokain dan benzokain dimetabolisme menjadi asam p-aminobenzoat
(PABA), yang telah dikaitkan dengan reaksi anafilaksis yang jarang
terjadi.
Pasien dengan pseudokolinesterase abnormal secara genetik secara
teoritis berisiko tinggi mengalami efek samping toksik, karena
metabolismenya lebih lambat, namun bukti klinis untuk ini masih kurang.
Cairan serebrospinal tidak memiliki enzim esterase, sehingga
terminasi aksi anestetik lokal ester yang diinjeksikan intratekal, misalnya
tetrakain, bergantung pada redistribusinya ke dalam aliran darah, seperti
pada semua blok saraf lainnya. Berbeda dengan anestesi ester lainnya,
kokain sebagian dimetabolisme (hidrolisis N-metilasi dan ester) di hepar
dan sebagian diekskresikan tanpa perubahan dalam urin.

2. Amida
Anestesi lokal amida dimetabolisme (N-dealkilasi dan hidroksilasi)
oleh enzim P-450 mikrosomal di hepar. Tingkat metabolisme amida
bergantung pada agen spesifik (prilokain > lidokain > mepivakain >

14
ropivakain > bupivakain) namun secara keseluruhan lebih lambat daripada
hidrolisis anestetik lokal ester.
Penurunan fungsi hepar (misalnya sirosis hepatis) atau aliran
darah hepar (misalnya, gagal jantung kongestif, penghambat-β, atau
penghambat reseptor-H2) akan mengurangi tingkat metabolisme dan
berpotensi meningkatkan konsentrasi darah lebih besar dan risiko
toksisitas sistemik.
Sangat sedikit anestetik lokal yang tidak dimetabolisme diekskresi
oleh ginjal, walaupun metabolit larut-air bergantung pada pembersihan
ginjal. Prilokain adalah satu-satunya anestetik lokal yang dimetabolisme
menjadi o-glutidin, yang menghasilkan methemoglobinemia tergantung
dosisnya.
Pengajaran klasik menjelaskan bahwa dosis minimal tertentu
prilokain diperlukan untuk menghasilkan methemoglobinemia yang
penting secara klinis (dalam kisaran 10 mg/kg); namun demikian,
penelitian terbaru menunjukkan bahwa pasien yang lebih muda dan lebih
sehat memiliki methemoglobinemia yang penting secara medis dengan
dosis prilokain yang lebih rendah (dan pada dosis yang lebih rendah
daripada yang dibutuhkan pada pasien yang lebih tua dan sakit).
Prilokain umumnya tidak digunakan untuk anestesi epidural
selama persalinan atau dalam dosis lebih besar pada pasien dengan
cadangan kardiopulmoner terbatas. Benzokain, bahan umum dalam
semprotan anestesi lokal topikal, juga dapat menyebabkan kadar
methemoglobinemia yang berbahaya. Untuk alasan ini, banyak rumah
sakit tidak lagi mengizinkan semprotan benzokain selama prosedur
endoskopi.
Pengobatan methemoglobinemia yang penting secara medis
meliputi metilen biru intravena (1-2 mg/kg dalam larutan 1% selama 5
menit). Metilena biru mengurangi methemoglobin (Fe3+) menjadi
hemoglobin (Fe2+).

15
Efek pada Sistem Organ
Karena penghambatan kanal Na bergerbang voltase dari anestetik lokal
yang bersirkulasi dapat mempengaruhi potensial aksi dalam neuron di seluruh
tubuh serta pembangkitan impuls dan konduksi di jantung, tidak mengherankan
bahwa anestesi lokal dengan konsentrasi sirkulasi tinggi dapat memiliki
kecenderungan toksisitas sistemik. Meskipun efek sistem organ dibahas untuk
obat ini sebagai kelompok, obat-obatan ini secara individual berbeda.

Tabel 16.3A Agen anestesi lokal ( golongan ester )

Agen Tehnik Konsentrasi Dosis Durasi blok


Maksima saraf
l (mg/kg)

Benzocaine Topikal 20% NA3 NA

Chloroprocaine Epidural, 1%, 2%, 3% 12 Pendek


infiltrasi, blok
saraf perifer, dan
spinal

Cocaine Topikal 4%, 10% 3 NA

Procaine Spinal, infiltrasi 1%, 2%, 12 Pendek


lokal 10%

Tetracaine Spinal, topical 0,2%, 0,3%, 3 Panjang


(mata) 0,5%, 1%,
2%

16
Tabel 16.3B Agen Anestesi Lokal ( GolonganAmida )

Agen Tehnik Konsentrasi Dosis Durasi blok


Maksimal saraf
(mg/kg)

Bupivacain Epidural, spinal, 0,25%, 0,5%, 3 Panjang


infiltrasi, blok 0,75%
saraf perifer

Lidocain Epidural, spinal, 0,5%,1%, 4,5 Sedang


infiltrasi, blok 1,5%, 2%, 4%, 7 (dengan
saraf perifer, 5% Efinefrin)
intravenous
regional, topikal

Mepivacain Epidural, spinal, 1%, 1,5%, 2% 4,5 Sedang


infiltrasi, blok 3% (dengan
saraf perifer Efinefrin)

Prilocain EMLA (tipokal), 0,5%, 2%, 3% 8 Sedang


epidural, 4%
Intravenous
regional

Ropivacain Epidural, spinal, 0,2%, 0,5% 3 Panjang


infiltrasi, blok 0,75, 1%
saraf perifer

Potensi pada efek samping yang paling toksik berkorelasi dengan potensi
pada blok saraf. Dosis aman maksimum tercantum dalam Tabel 16-3, namun
harus diakui bahwa dosis aman maksimum tergantung pada pasien, blok saraf
spesifik, kecepatan injeksi, dan daftar panjang faktor lainnya.

17
Dengan kata lain, tabel dosis aman maksimum hampir tidak berguna.
Campuran anestetik lokal harus dipertimbangkan memiliki efek toksik tambahan;
oleh karena itu, larutan yang mengandung 50% dosis toksik lidokain dan 50%
dosis toksik bupivakain jika diinjeksikan secara tidak sengaja akan menghasilkan
efek toksik.

A. Neurologis

Sistem saraf pusat rentan terhadap toksisitas anestetik lokal dan


merupakan tempat munculnya tanda-tanda peningkatan konsentrasi darah pada
pasien sadar. Gejala awal meliputi mati rasa sirkumoral, paresthesia lidah, pusing,
tinnitus, dan penglihatan kabur.

Tanda eksitasi termasuk kegelisahan, agitasi, kegugupan, keresahan, dan


perasaan "malapetaka yang akan datang." Otot yang berkedut menunjukkan
permulaan kejang tonik-klonik. Konsentrasi darah yang lebih tinggi dapat
menyebabkan depresi sistem saraf pusat (misalnya koma dan henti napas). Reaksi
eksitasi dianggap sebagai hasil blokade selektif dari jalur penghambatan.

Anestetik lokal yang poten dan sangat larut-lemak menyebabkan kejang


pada konsentrasi darah yang lebih rendah daripada agen yang kurang poten.
Benzodiazepin dan hiperventilasi meningkatkan ambang kejang lokal akibat
anestesi. Asidosis pernapasan dan metabolik mengurangi ambang kejang.
Propofol (0,5-2 mg/kg) dengan cepat dan andal menghentikan aktivitas kejang
(seperti halnya dosis benzodiazepin atau barbiturat yang sebanding).
Mempertahankan jalan napas dengan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat sangat
penting.

Anestetik lokal yang diinfus memiliki beragam aksi. Anestesi lokal yang
diberikan secara sistemik seperti lidokain (1,5 mg/kg) dapat menurunkan aliran
darah serebral dan mengurangi peningkatan tekanan intrakranial yang dapat
menyertai intubasi pada pasien dengan penurunan komplians intrakranial.

Infus lidokain dan prokain telah digunakan untuk melengkapi teknik


anestesi umum, karena kemampuannya mengurangi MAC anestetik volatil hingga

18
40%. Infus lidokain menghambat inflamasi dan mengurangi nyeri pascaoperasi.
Lidokain infus mengurangi kebutuhan opioid pascaoperasi sehingga cukup untuk
mengurangi lama waktu perawatan pada operasi kolorektal atau prostat terbuka.

Kokain menstimulasi sistem saraf pusat dan pada dosis sedang biasanya
menyebabkan rasa euforia. Overdosis ditunjukkan oleh adanya kegelisahan,
emesis, tremor, kejang, aritmia, gagal napas, dan henti jantung.

Anestesi lokal menghambat fungsi neuronal untuk sementara. Di masa


lalu, injeksi kloroprokain secara tidak sengaja dalam volume yang besar ke dalam
ruang subarakhnoid (selama percobaan anestesi epidural), menghasilkan anestesi
spinal total dan hipotensi, dan menyebabkan defisit neurologis berkepanjangan.

Penyebab toksisitas saraf ini mungkin merupakan neurotoksisitas langsung


atau kombinasi pH kloroprokain yang rendah dan sodium bisulfit preservatif.
Sodium bisulfit preservatif kini telah diganti dalam beberapa formulasi dengan
antioksidan, turunan dari asam disodium etilenediamintetraasetat (EDTA).

Kloroprokain juga kadang-kadang dikaitkan dengan nyeri punggung berat


setelah pemberian epidural. Etiologinya masih belum jelas. Kloroprokain tersedia
dalam formulasi bebas pengawet, yang telah digunakan dalam penelitian terkini
dengan aman dan berhasil untuk anestesi spinal durasi pendek pada kondisi rawat
jalan.

Pemberian lidokain 5% dikaitkan dengan neurotoksisitas (sindrom cauda


equina) setelah infus melalui kateter kecil yang digunakan dalam anestesi spinal
kontinu. Hal ini mungkin karena akumulasi obat di sekitar cauda equina,
mengakibatkan konsentrasi tinggi dan kerusakan neuron permanen.

Data hewan menunjukkan sejauh mana bukti histologis neurotoksisitas


setelah injeksi intratekal berulang adalah lidokain = tetrakain > bupivakain >
ropivakain.

Gejala neurologis transien, yang terdiri dari disestesia, nyeri terbakar, dan
nyeri pada ekstremitas bawah dan bokong, telah dilaporkan terjadi setelah anestesi
spinal dengan berbagai agen anestesi lokal, paling sering menggunakan lidokain

19
untuk anestesi spinal rawat jalan pada pria yang menjalani operasi dalam posisi
litotomi. Gejala ini disebabkan oleh iritasi radikal dan biasanya sembuh dalam
waktu 1-4 minggu.

Banyak klinisi telah mengganti lidokain pada anestesi spinal dengan 2-


kloroprokain, mepivakain, atau bupivakain dosis kecil dengan harapan
menghindari gejala transien ini.

B. Pernapasan

Lidokain menekan dorongan hipoksia (respons ventilasi terhadap PaO2


rendah). Apnea dapat terjadi akibat kelumpuhan saraf frenik dan interkostal atau
depresi pusat pernapasan medular setelah terpapar langsung ke agen anestetik
lokal (seperti yang mungkin terjadi setelah blok retrobulbar; lihat Bab 36). Apnea
setelah pemberian anestesi spinal atau epidural "tinggi" hampir selalu merupakan
akibat dari hipotensi, bukannya blok frenik.

Anestesi lokal merelaksasi otot polos bronkhial. Lidokain intravena (1,5


mg/kg) mungkin efektif dalam menghambat refleks bronkokonstriksi yang
terkadang dikaitkan dengan intubasi. Lidokain (atau agen inhalasi lainnya) yang
diberikan sebagai aerosol dapat menyebabkan bronkospasme pada beberapa
pasien dengan penyakit saluran napas reaktif.

C. Kardiovaskular

Semua anestesi lokal menekan otomatisitas miokardium (depolarisasi fase


IV spontan). Kontraktilitas miokardium dan kecepatan konduksi juga tertekan
pada konsentrasi yang lebih tinggi. Efek ini diakibatkan oleh perubahan membran
otot jantung langsung (yaitu blokade saluran Na jantung) dan, pada organisme
utuh, dari penghambatan sistem saraf otonom. Semua anestesi lokal kecuali
kokain menghasilkan relaksasi otot polos pada konsentrasi yang lebih tinggi, yang
dapat menyebabkan beberapa tingkat vasodilatasi arteriolar. Pada konsentrasi
rendah semua anestesi lokal menghambat oksida nitrat, menyebabkan
vasokonstriksi.

20
Pada peningkatan konsentrasi darah, kombinasi dari aritmia, blok jantung,
depresi kontraktilitas ventrikel, dan hipotensi dapat berujung pada henti jantung.
Toksisitas kardiovaskular mayor biasanya membutuhkan sekitar tiga kali
konsentrasi anestesi lokal dalam darah seperti yang dibutuhkan untuk
menghasilkan kejang.

Aritmia jantung atau kolaps sirkulasi adalah tanda overdosis anestesi lokal
yang biasa muncul selama anestesi umum. Khususnya pada subjek sadar, tanda-
tanda stimulasi kardiovaskular transien (takikardia dan hipertensi) dapat terjadi
dengan eksitasi sistem saraf pusat pada konsentrasi anestesi lokal yang
menghasilkan efek samping toksik pada sistem saraf pusat.

Amiodaron intravena memberikan pengobatan efektif untuk beberapa


bentuk aritmia ventrikel. Kontraktilitas miokardium dan tekanan darah arteri
umumnya tidak terpengaruh oleh dosis intravena biasa. Hipertensi yang terkait
dengan laringoskopi dan intubasi dilemahkan pada beberapa pasien dengan
pemberian lidokain intravena (1,5 mg/kg) 1-3 menit sebelum instrumentasi. Di
sisi lain, overdosis lidokain dapat menyebabkan disfungsi kontraktil ventrikel kiri.

Injeksi bupivakain intravaskular yang tidak disengaja selama anestesi


regional dapat menyebabkan toksisitas kardiovaskular yang berat, termasuk
depresi ventrikel kiri, blok jantung atrioventrikular, dan aritmia yang mengancam
jiwa seperti takikardia dan fibrilasi ventrikel. Kehamilan, hipoksemia, dan
asidosis pernapasan merupakan faktor risiko predisposisi. Anak-anak juga
berisiko mengalami toksisitas.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa bupivakain dikaitkan


dengan perubahan konduksi yang lebih nyata dan risiko aritmia terminal yang
lebih besar daripada dosis lidokain yang sebanding. Mepivakain, ropivakain, dan
bupivakain memiliki karbon kiral dan oleh karena itu dapat berbentuk salah satu
dari dua isomer optik (enantiomer). Isomer optik R(+) dari bupivakain
menghambat lebih kuat dan mendisosiasi lebih lambat kanal Na jantung
dibandingkan dengan isomer optik S(-).

21
Resusitasi dari toksisitas jantung yang diinduksi bupivakain seringkali sulit
dan resisten terhadap obat resusitasi standar. Laporan terbaru menunjukkan bahwa
pemberian bolus larutan lipid nutrisional pada laju 1,5 mL/kg dapat mersusitasi
pasien dengan intoksikasi bupivakain yang tidak berespon terhadap terapi standar.

Ropivakain memiliki banyak sifat fisiko-kimia yang serupa dengan


bupivakain. Onset waktu dan durasi kerjanya serupa, namun ropivakain
menghasilkan lebih sedikit blok motor apabila diinjeksikan pada volume dan
konsentrasi yang sama dengan bupivakain (yang mungkin mencerminkan potensi
keseluruhan lebih rendah dibandingkan dengan bupivakain).

Ropivakain tampaknya memiliki indeks terapeutik lebih besar daripada


bupivakain. Profil keselamatan yang lebih baik ini mungkin mencerminkan
formulasinya sebagai isomer S(-) murni—yaitu, tanpa memiliki isomer R(+)—
berlawanan dengan bupivakain rasemat. Levobupivakain, isomer S(-) dari
bupivakain, yang tidak lagi tersedia di Amerika Serikat, dilaporkan memiliki lebih
sedikit efek samping kardiovaskular dan serebral dibandingkan campuran
rasemat; penelitian menunjukkan efek kardiovaskularnya mungkin mendekati
ropivakain.

Reaksi kardiovaskular kokain tidak seperti anestesi lokal lainnya. Terminal


saraf adrenergik biasanya menyerap kembali norepinefrin setelah dilepaskan.
Kokain menghambat pengambilan kembali ini, sehingga memperkuat efek
stimulasi adrenergik.

Respons kardiovaskular terhadap kokain meliputi hipertensi dan ektopi


ventrikel. Ektopi ventrikel mengkontraindikasikan penggunaannya pada pasien
yang diberi anestesi halotan. Aritmia yang diinduksi kokain telah berhasil diobati
dengan antagonis adrenergik dan kanal Ca. Kokain menghasilkan vasokonstriksi
bila dioleskan secara topikal dan merupakan agen yang berguna untuk
mengurangi rasa nyeri dan epistaksis terkait dengan intubasi nasal pada pasien
sadar.

22
D. Imunologis

Reaksi hipersensitivitas sejati terhadap agen anestetik local berbeda


dengan toksisitas sistemik yang disebabkan oleh konsentrasi plasma yang
berlebihan, jarang terjadi. Ester tampaknya lebih cenderung menginduksi reaksi
alergi sejati (karena antibodi IgG atau IgE) terutama jika mengandung derivatif
(misalnya prokain atau benzokain) asam p-aminobenzoat, alergen yang diketahui.

Preparat multidosis komersial amida sering mengandung metilparaben,


yang memiliki struktur kimia yang hampir sama dengan PABA. Sebagai
konsekuensinya, para ahli anestesi dapat memperkirakan apakah zat preservatif ini
mungkin bertanggung jawab atas sebagian besar respon alergi yang nyata
terhadap agen amida. Tanda dan pengobatan reaksi alergi obat dibahas pada Bab
55.

E. Muskuloskeletal

Apabila diinjeksikan secara langsung ke dalam otot rangka (misalnya,


pengobatan injeksi trigger-point nyeri miofasial), anestetik lokal sedikit bersifat
miotoksik. Regenerasi biasanya terjadi 3-4 minggu setelah injeksi anestesi lokal
ke otot. Injeksi steroid atau epinefrin bersamaan memperburuk mionekrosis.

F. Hematologis

Lidokain menekan ringan koagulasi darah normal (mengurangi trombosis


dan penurunan agregasi trombosit) dan meningkatkan fibrinolisis darah lengkap
yang diukur dengan tromboelastografi. Efek ini dapat mendasari pengurangan
efikasi dari sebuah patch darah autolog epidural sesaat setelah pemberian anestesi
lokal dan insiden kejadian emboli yang lebih rendah pada pasien yang menerima
anestesi epidural (pada penelitian yang lebih lama terhadap pasien yang tidak
menerima profilaksis terhadap trombosis vena dalam).

Interaksi Obat
Anestesi lokal mempotensiasi blokade relaksan otot nondepolarisasi dalam
percobaan laboratorium, namun kepentingan klinis pengamatan ini tidak diketahui
(dan mungkin nihil). Anestesi lokal suksinilkolin dan ester bergantung pada

23
pseudokolinesterase untuk metabolismenya. Pemberian bersamaan mungkin akan
meningkatkan waktu di mana kedua obat tersebut tetap tidak dimetabolisasi dalam
aliran darah. Mungkin tidak ada kepentingan klinis aktual dari interaksi potensial
ini.

Dibukain, anestesi lokal amida, menghambat pseudokolinesterase, dan


penghambatan luas oleh dibukain menjelaskan satu keluarga yang secara genetik
memiliki pseudokolinesterase abnormal (lihat Bab 11). Penghambat
pseudokolinesterase (misalnya racun organofosfat) dapat memperpanjang
metabolisme anestesi lokal ester (lihat Tabel 11-3).

Penghambat reseptor histamin (H2) dan penghambat-β (misalnya


propranolol) menurunkan aliran darah hepatik dan pembersihan lidokain. Opioid
mempotensiasi analgesia epidural dan spinal yang diproduksi oleh anestesi lokal.
Demikian pula, agonis α2-adrenergik (misalnya klonidin) mempotensiasi analgesia
anestesi lokal yang dihasilkan setelah injeksi blok saraf epidural atau perifer.
Klorprokain epidural dapat mengganggu aksi analgesik dari morfin neuraksial,
terutama setelah persalinan sesar.

Diskusi Kasus
Overdosis Anestetik Lokal

Seorang wanita berusia 18 tahun dalam inpartu fase aktif meminta anestesi
epidural. Segera setelah injeksi epidural 2 mL dan 5 mL dosis tes lidokain 2%,
pasien mengeluh mati rasa pada bibir dan pasien menjadi sangat cemas.

Apa diagnosis dugaan Anda?

Mati rasa sirkumoral dan kecemasan secara tiba-tiba segera setelah


pemberian lidokain menunjukkan injeksi intravaskular. Tanda-tanda ini tidak
selalu diikuti dengan kejang.

Apa tindakan pencegahan yang harus dilakukan segera diambil?

Pasien seharusnya sudah menerima oksigen tambahan. Pasien harus


diobservasi dengan seksama untuk kemungkinan (walaupun kecil) kejang.

24
Jika gejala berkembang menjadi kejang umum, tindakan apa yang harus dimulai?

Pasien inpartu selalu dianggap berisiko mengalami aspirasi (lihat Bab 41).
Karena itu, melindungi jalan napas merupakan hal yang penting. Pemberian
suksinilkolin segera harus diikuti dengan intubasi sekuens cepat (lihat Diskusi
Kasus, Bab 17). Meskipun suksinilkolin akan menghilangkan aktivitas tonik-
klonik, obat ini tidak akan mengatasi rangsangan serebral yang mendasarinya.
Antikonvulsan seperti midazolam (1-2 mg) atau propofol (20-50 mg) harus
diberikan dengan atau sebelum suksinilkolin. Jelas dari urutan kejadian di mana
anestesi konduksi diberikan, obat dan perlengkapan resusitasi yang sebanding
harus tersedia begitu pula untuk anestesi umum.

Apa yang diharapkan jika dosis bupivakain besar (misalnya 15 mL bupivakain


0,5%)—bukan lidokain—yang diberikan secara intravaskular?

Bila diberikan pada dosis "cukup menganestesi", bupivakain lebih bersifat


kardiotoksik daripada lidokain. Asidosis akut (hampir universal setelah kejang)
cenderung mempotensiasi toksisitas anestetik lokal. Aritmia ventrikel dan
gangguan konduksi dapat menyebabkan henti jantung dan kematian. Bupivakain
dianggap sebagai penghambat kanal Na jantung yang lebih poten karena kanal Na
melepaskan bupivakain lebih lambat daripada lidokain.

Amiodaron harus dianggap sebagai pilihan alternatif untuk lidokain dalam


pengobatan takiaritmia ventrikel yang disebabkan oleh anestetik lokal. Vasopresor
bisa termasuk epinefrin dan vasopresin.

Apa yang bisa mencegah reaksi toksik yang telah dijelaskan?

Risiko injeksi intravaskular anestetik lokal yang tidak disengaja selama


percobaan anestesi epidural dikurangi dengan menggunakan dosis uji dan
pemberian dosis anestesi pada alikuot yang lebih kecil dan aman. Akhirnya,
anestetik lokal harus diberikan dalam dosis minimum yang masih berefek yang
sesuai untuk prosedur anestesi regional tertentu.

25
RINGKASAN
1. Mekanisme kerja anestetik lokal berkaitan dengan kanal natrium (Na).
Anestetik lokal mengikat daerah spesifik pada subunit α dan menghambat
kanal Na bergerbang voltase, mencegah aktivasi kanal dan influks Na yang
terkait dengan depolarisasi membran.
2. Sensitivitas serabut saraf yang terhambat oleh anestetik lokal ditentukan
oleh diameter aksonal, mielinasi, serta faktor anatomis dan fisiologis
lainnya.
3. Potensi berhubungan dengan kelarutan oktanol yang mempengaruhi
kemampuan molekul anestesi lokal untuk menembus membran lipid.
4. Onset kerja tergantung pada banyak faktor, termasuk kelarutan lipid dan
konsentrasi relatif dari bentuk larut-lemak yang tidak berionisasi (B) dan
bentuk larut-air yang mudah terionisasi (BH+), yang dinyatakan oleh pKa.
5. Durasi kerja berhubungan dengan potensi dan kelarutan lipid. Anestesi
lokal yang sangat larut dalam lemak memiliki durasi kerja yang lebih
lama.
6. Anestesi lokal biasanya diinjeksikan atau diaplikasikan sangat dekat
dengan lokasi kerja yang diinginkan dengan demikian agar sesuai efek
klinis yang diinginkan.
7. Tingkat penyerapan sistemik berhubungan dengan vaskularitas di tempat
penyuntikan: intravena (atau intraarteri) > trakeal > interkostal >
paraservikal > epidural > pleksus brakialis > skiatik > subkutan.
8. Anestetik lokal ester didominasi metabolisme oleh pseudokolinesterase.
Anestetik lokal amida dimetabolisme (N-dealkilasi dan hidroksilasi) oleh
enzim P-450 mikrosomal di hepar.
9. Sistem saraf pusat rentan terhadap toksisitas anestetik lokal dan
merupakan lokasi munculnya tanda-tanda awal meningkatnya konsentrasi
darah pada pasien yang sadar.
10. Toksisitas kardiovaskular mayor biasanya membutuhkan sekitar tiga kali
konsentrasi anestetik lokal dalam darah seperti yang dibutuhkan untuk
menghasilkan kejang.

26
11. Injeksi bupivakain intravaskular yang tidak disengaja selama anestesi
regional dapat menyebabkan toksisitas kardiovaskular.
12. Reaksi hipersensitivitas terhadap agen anestetik local, ester tampaknya
lebih cenderung menginduksi reaksi alergi yang (karena antibodi IgG atau
IgE) terutama jika mengandung derivatif asam p-aminobenzoat (misalnya
prokain atau benzokain).

27
BACAAN YANG DISARANKAN
1. Cousins MJ, Carr DB, Horlocker TT, Bridenbaugh PO. Neural blockade. In:
Cousins MJ, Carr DB, Horlocker TT, Bridenbaugh PO, eds. Cousins &
Bridenbugh’s clinical anesthesia and pain medicine, 4th Ed. New York:
Lippincott. 2009.
2. Hadzic A. Regional anesthesia and acute pain management. In: Hadzic A, ed.
Local anesthetic agents. New York: Mc Graw-Hill, 2007.
3. Hardman J, Limbird L, Gilman A. Pharmacological basis of therapeutics. In:
Hardman J, Limbird L, Gilman A, eds. Goodman and Gilman’s
pharmacological basis of therapeutics , 12th Ed. New York: McGraw-Hill,
2011.
4. Rosenblatt MA, Abel M, Fischer GW. Successful use of a 20% lipid emulsion
to resuscitate a patient after a presumed bupivacaine related cardiac arrest.
Anesthesiology 2006; 105:217-18.
5. Strichartz GR, Sanchez V, Arthur GR. Fundamental properties of local
anesthetics. II. Measured octanol buffer partition coefficients and pKa values
of clinically used drugs. Anesth Analg 1990;71 :158.

28

Anda mungkin juga menyukai