Anda di halaman 1dari 31

FINAL PROJECT ACTIVITY

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

“ Guillain Barre Syndrome ( GBS ) “


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis

Disusun oleh : Kelompok 2

Kelas 2 A

PRODI DIII KEPERAWATAN


AKADEMI KEPERAWATAN PEMERINTAH
KABUPATEN PONOROGO
Jl. Ciptomangunkusumo No.82 A Ponorogo
Tahun Ajaran 2017/2018
NAMA KELOMPOK :

1. BENNY PRAMANA ( 201601008 )


2. DAIYAN ILA AQWAMI THORIQ ( 201601011 )
3. DIAN FITRI OCTAVIANTI ( 201601015 )
4. DILA WARDATUL NURJANNAH ( 201601018 )
5. IBNU HABIB MUSTOFA ( 201601028 )
6. KHRIS WITDIATI ( 201601030 )
7. LUKMAN FATKUL AZIS ( 201601034 )
8. MEI NUR FADILLA ( 201601040 )
9. MUH. MUBAYYIN AL-WAHID ( 201501027 )
10. WAHYU PRASETYO ( 201601060 )
11. YUNITA SETYANINGRUM ( 201601061 )

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “ Guillain Barre Syndrome ( GBS )”. Makalah ini
disusun dalam rangka memenuhi tugas individu mata kuliah Teknologi dan
Informasi.

Dalam menyusun makalah ini kami banyak memperoleh bantuan serta


bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan
ucapan terimakasih kepada :

1. Dosen mata kuliah Keperawatan Kritis yakni Wiwiek Retti Andriani S. Kep
Ns, M. Kep yang telah banyak meluangkan waktu guna memberikan
bimbingan kepada kami dalam penyusunan makalah ini.

2. Kedua orang tua kami yang senantiasa memberi dukungan baik secara
moril maupun materil selama proses pembuatan makalah ini.

3. Teman-teman mahasiswa tingkat IIA Program Studi DIII Keperawatan


Pemerintah Kabupaten Ponorogo angkatan 2016/2017 yang selalu
memberikan dukungan dan saran serta berbagi ilmu pengetahuan demi
tersusunnya makalah ini.

Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki


banyak kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik
penulisannya. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun guna sempurnanya makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat, bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Ponorogo, 14 Januari 2018

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

COVER..............................................................................................................i
DAFTAR NAMA KELOMPOK ............................................................................ii
KATA PENGANTAR ..........................................................................................iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................1
B. Rumusan Masalah .................................................................................2
C. Tujuan Penulisan....................................................................................2
D. Manfaat Penulisan .................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Guillain Barre Syndrome ...........................................................4
B. Etiologi Guillain Barre Syndrome ...........................................................4
C. Patofisiologi Guillain Barre Syndrome ...................................................6
D. Tanda Dan Gejala Guillain Barre Syndrome ..........................................8
E. Komplikasi Guillain Barre Syndrome .....................................................10
F. Pencegahan Guillain Barre Syndrome ...................................................10
G. Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome ............................................11
H. Konsep Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrome ........................15

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................................25
B. Saran ....................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Guillain Barre Syndrome ( GBS ) adalah penyakit neurologi yang sangat
jarang, kejadiannya bervariasi antara 0,6 sampai 1,9 kasus per 100.000
orang per tahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic
melakukan penelitian mendapatkan rata – rata insidensi 1,7 per 100.000
orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15 – 35 tahun dan antara 50 – 74
tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun.
Insidensi Guillain Barre Syndrome usia termuda yang pernah dilaporkan
adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki – laki dan wanita sama
jumlahnya. Dari pengelompokkan ras didapatkan bahwa 85 % penderita
adalah kulit putih, 7 % kulit hitam, 5 % Hispanic, 1 % Asia dan 4 % pada
kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran
epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa
insidensi terbanyak di Indonesia adalah Dekade I, II, III ( dibawah usia 35
tahun ) dengan jumlah penderita laki – laki dan wanita hampir sama.
Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki –
laki dan wanita 3 :1 dengan usia rata – rata 23,5 tahun. Insidensi tertinggi
pada bulan April sampai dengan Mei dimana terjadi pergantian musim hujan
dan kemarau.
Penyakit ini sering menyebabkan kelumpuhan yang cukup sering
dijumpai pada usia dewasa muda. GBS ini seringkali mencemaskan
penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada
beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya
mempunyai prognosa yang baik. GBS biasanya mempunyai prognosa yang
baik yaitu sekitar 80 % tetapi sekitar 15 % nya mempunyai gejala sisa / defisit
neurologis.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu
Idhiopatic polyneuritis, Acute Febrile polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post
Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending
Paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Guillain Barre Syndrome ?
2. Bagaimana etiologi Guillain Barre Syndrome ?
3. Seperti apa patofisiologi Guillain Barre Syndrome ?
4. Bagaimana tanda dan gejala Guillain Barre Syndrome ?
5. Apa saja komplikasi dari Guillain Barre Syndrome ?
6. Bagaimana pencegahan Guillain Barre Syndrome ?
7. Bagaimana Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrome ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk membantu mahasiswa mengetahui definisi dari Guillain Barre
Syndrome
2. Untuk membantu mahasiswa mengetahui etiologi Guillain Barre
Syndrome
3. Untuk membantu mahasiswa mengetahui patofisiologi Guillain Barre
Syndrome
4. Untuk membantu mahasiswa mengetahui tanda dan gejala Guillain Barre
Syndrome
5. Untuk membantu mahasiswa mengetahui komplikasi dari Guillain Barre
Syndrome
6. Untuk membantu mahasiswa mengetahui pencegahan Guillain Barre
Syndrome
7. Untuk membantu mahasiswa mengetahui Asuhan Keperawatan Guillain
Barre Syndrome

D. Manfaat Penulisan
1. Mahasiswa menjadi lebih mengetahui definisi dari Guillain Barre
Syndrome
2. Mahasiswa menjadi lebih mengetahui etiologi Guillain Barre Syndrome
3. Mahasiswa menjadi lebih mahasiswa patofisiologi Guillain Barre
Syndrome
4. Mahasiswa menjadi lebih mengetahui tanda dan gejala Guillain Barre
Syndrome
5. Mahasiswa menjadi lebih mengetahui komplikasi dari Guillain Barre
Syndrome

2
6. Mahasiswa menjadi lebih mengetahui pencegahan Guillain Barre
Syndrome
7. Mahasiswa menjadi lebih mengetahui Asuhan Keperawatan Guillain Barre
Syndrome

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Guillain Barre Syndrome ( GBS )


Menurut Centers of Disease Control and Prevention CDC ( 2012 ),
Guillain Barre Syndrome ( GBS ) adalah penyakit langka dimana sistem
kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan
kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi
karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum
belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf
tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada
penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf (Rahayu, 2013).
Guillain Barre Syndrome ( GBS ) merupakan sindrome klinis yang
ditunjukkan oleh onset akut dari gejala – gejala yang mengenai syaraf perifer
dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput
mielin dari syaraf tepi dan kranial. GBS adalah suatu kelainan sistem
kekebalan tubuh manusia yang menyerang dari sistem syaraf tepi dirinya
sendiri dengan karakteristik berupa kelemahan atau arefleksia dari syaraf
motorik yang sifatnya progresif. GBS gangguan kelemahan neuromuskular
akut yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada
kelumpuhan total, biasanya paralisis sementara.

B. Etiologi Guillain Barre Syndrome


Etiologi Guillain Barre Syndrome saat ini masih belum dapat diketahui
dengan pasti penyebabanya dan masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa keadaan / penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya Guillain Barre Syndrome, antara lain :
1. Infeksi : misalnya radang tenggorokan atau radang lainnya.
2. Infeksi virus : misalnya Measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza
B, Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis
inf, coxakie)
3. Infeksi lain : Mycoplasma Pneumonia, Salmonella Thyposa,
Brucellosis, Campylobacter Jejuni pada enteritis
4. Vaksinasi : Rabies, Swine flu

4
5. Pembedahan
6. Penyakit sistematik :
a. Keganasan : Hodgkin’s Disease, Carcinoma, Lumphoma
b. Systemic lupus erythematosus
c. Tiroiditis
d. Penyakit Addison
7. Kehamilan, terutama pada trimester ketiga atau dalam masa nifas

Guillain Barre Syndrome sering kali berhubungan dengan infeksi akut


non spsifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar
antara 56 % - 80 %, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi
timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.
Dimana faktor penyebab diatas disebutkan bahwa infeksi usus dengan
Campylobacter Jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebih
berat. Hal ini dikarenakan struktur biokimia dinding bakteri ini mempunyai
persamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibody
yang terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin.
Pada dasarnya Guillain Barre Syndrome adalah “Self Limited” atau bisa
tumbuh dengan sendirinya. Namun, sebelum mencapai kesembuhan bisa
terjadi kelumpuhan yang meluas sehingga keadaan ini penderita
memerlukan respirator untuk alat bantu nafasnya.
Telah diketahui bahwa infeksi Salmonela Thyposa juga dapat
menyebabkan GBS. Kemungkinan timbulnya Guillain Barre Syndrome pada
demam tifoid perlu lebih diketahui dan disadari, khususnya di Indonesia di
mana demam tifoid masih merupakan penyakit menular besar.
Jenis – jenis infeksi yang sering menjadi penyebab Guillain Barre
Syndrome :
Infeksi Definite Probable Possible

CMV HIV Influenza


EBV Varicella zpster Measles
Vaccinia/smallpox Mumps
Virus
Rubella
Hepatitis
Coxsackie

5
Echo

Campylobacter Thypiod Borrelia B


Jejeni Paratyphoid
Mycoplasma Brucellosis
Bakteri
Pneumonia Chiamydia
Legionella
Listeria

C. Patofisiologi Guillain Barre Syndrome


Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau factor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada Guillain Barre Syndrome
masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan
bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui
mekanisme imunologi.
Bukti – bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah :
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell
mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi
saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada Guillain Barre Syndrome
dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu
oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.

6
PATHWAY

Infeksi pernafasan ringan, pembedahan, imunisasi, penyakit Hodgkin,


limfoma, lupus Eritematosus, virus, kehamilan

Proses inflamasi

Reaksi sel imuno

Menyerang Mielin

Cidera dimelinasi

GBS (Guillain Barre Syndroma)


)

B1 B2 B3 B4 B5 B6 (Bond &
(Breathing) (Blood) (Brain) (Bladder) (Bowel) integument)

Gangguan Disfungsi Gangguan Kerusakan Kerusakan


saraf perifer sistem saraf fungsi saraf neuro neuro Gangguan
otonomik kranial muskular muskular saraf perifer
dan
neuromuskular
Paralisis
Penumpukan Pelepasan Kehilangan Imobilisasi
otot
vaskuler reseptor nyeri sensasi dan
pernafasan Kelemahan
Bradikinin reflek sfingter
Prostaglandin Penurunan otot

Ketidakefekt Penurunan peristaltik


ifan pola aliran darah usus Imobilisasi
nafas balik vena Nyeri akut Inkontinensia
urin
Konstipasi
Gangguan
Resiko kerusakan Penekanan
perfusi
integritas kulit daerah tertentu
jaringan

7
D. Tanda Dan Gejala Guillain Barre Syndrome
Gejala awal antara lain adalah rasa seperti ditusuk-tusuk jarum di ujung
jari kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa
berat dan kaku mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak
bisa mengenggam erat atau memutar sesuatu dengan baik (buka kunci,
buka kaleng dan lain-lain). Gejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu
beberapa minggu, penderita biasanya tidak merasa perlu perawatan atau
susah menjelaskannya pada tim dokter untuk meminta perawatan lebih
lanjut karena gejala-gejala akan hilang pada saat diperiksa. Gejala tahap
berikutnya pada saat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya : kaki sudah
melangkah, lengan menjadi sakit lemah, dan kemudian dokter menemukan
syaraf refleks lengan telah hilang fungsinya (Rahayu, 2008).
Gejala awal biasanya kelemahan atau rasa kesemutan pada kaki. Rasa
itu dapat menjalar ke bagian tubuh atas tubuh. Pada beberapa kasus bisa
menjadi lumpuh, Hal ini bias menyebabkan kematian. Pasien kadang
membutuhkan alat respirator untuk bernapas. Gejala biasanya memburuk
setelah beberapa minggu, kemudian stabil. Banyak orang bisa sembuh,
namun kesembuhan bisa didapatkan dalam minggu atau tahun (Rahayu,
2008).
Gejala dapat menyebar sangat cepat. Pada beberapa orang penyait ini
menjadi serius setelah beberapa jam. Gejala GBS ini meliputi :
1. Tingling, sensasi tertusuk pada jari dan tumit.
2. Kelemahan otot pada kedua kaki, dan menyebar ke atas, badan dan
tangan dalam waktu singkat
3. Kesulitan berdiri tegak
4. Kesulitan menggerakkan mata, wajah, berbicara, mengunyah, dan
menelan.
5. Nyeri punggung belakang, kehilangan kendali buang air kecil dan denyut
jantung meningkat.
6. Kesulitan bernafas dan terjadi paralisis (Santiko, 2017)

Tanda-tanda melemahnya syaraf akan nampak semakin parah dalam


waktu 4 sampai 6 minggu. Beberapa pasien melemah dalam waktu relatif
singkat hingga pada titik lumpuh total dalam hitungan hari, tapi kasus seperti
itu amat langka. Pasien memasuki tahap ‘tidak berdaya’ dalam beberapa
hari. Pada masa ini biasanya pasien dianjurkan untuk beristirahat total di

8
rumah sakit. Meskipun kondisi dalam keadaan lemah sangat dianjurkan
pasien untuk selalu menggerakkan bagian-bagian tubuh yang terserang
untuk menghindari kaku otot. Ahli fisioterapi biasanya akan sangat
dibutuhkan untuk melatih pasien dengan terapi-terapi khusus.
Pengarahan – pengarahan akan diberikan tim medis kepada keluarga
dan teman pasien cara – cara melatih pasien gbs. Pasien penyakit gbs
biasanya merasakan sakit yang akut, terutama padadaerah tulangbelakang
dan lengan dan kaki. Namun ada juga pasien yang tidak mengeluhkan rasa
sakit yang berarti meskipun mereka mengalami kelumpuhan parah. Rasa
sakit muncul dari pembengkakan dari syaraf yang terserang, atau dari otot
yang sementara kehilangan suplai energi, atau dari posisi duduk atau tidur
pasien yang mengalami kesulitan untuk bergerak atau memutar tubuhnya ke
posisi nyaman.
Untuk melawan rasa sakit dokter akan memberikan obat penghilang
rasa sakit dan perawat akan memberikan terapi-terapi untuk merelokasi
bagian – bagian tubuh yang terserang dengan terapi-terapi khusus. Rasa
sakit dapat datang dan pergi dan itu sangat menyiksa bagi penderita GBS.
Pasien biasanya akan melemah dalam waktu beberapa minggu, maka dari
itu perawatan intensif sangat diperlukan pada tahap-tahap saat GBS mulai
terdeteksi. Sesuai dengan tahap dan tingkat kelumpuhan pasien maka
dokter akan menentukan apa pasien memerlukan perawatan di ruang ICU
atau tidak. Sekitar 25% pasien GBS akan mengalami berbagai kesulitan
antara lain pada : sistem pernafasan ditandai dengan sesak nafas bahkan
henti nafas, penurunan kemampuan menelan dan batuk. Pasien biasanya
akan diberi bantuan alat ventilator untuk membantu pernafasan dalam
kondisi tersebut diatas, setelah beberapa waktu, kondisi mati rasa akan
berangsur membaik.
Pengobatan GBS adalah dengan pemberian imunoglobulin secara
intravena dan plasmapharesis atau pengambilan antibodi yang merusak
sistem saraf tepi dengan jalan mengganti plasma darah. Selain terapi pokok
tersebut juga telah dijelaskan di atas tentang pemberian fisioterapi dan
perawatan dengan terapi khusus serta pemberian obat untuk mengurangi
rasa sakit. GBS merupakan penyakit akut akan tetapi bila diterapi dengan
baik dan tepat maka dapat memperbaiki kualitas hidup pasien.

9
E. Komplikasi Guillain Barre Syndrome
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan
atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya
infeksi, trombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh
tertentu, dan kontraktur pada sendi. (Israr, Juraita, & B. S, 2009)
Komplikasi GBS yang paling berat adalah kematian, akibat kelemahan
atau paralisis pada otot-otot pernafasan. Tiga puluh persen% penderita ini
membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk bertahan hidup, sementara 5%
penderita akan meninggal, meskipun dirawat di ruang perawatan intensif.
Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna atau hanya menderita gejala
sisa ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal, seperti halnya
kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh persen mengalami masalah
sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan permanen, sehingga
menyebabkan disabilitas berat; 10% diantaranya beresiko mengalami relaps.
Dengan penatalaksanaan respirasi yang lebih modern, komplikasi yang
lebih sering terjadi lebih diakibatkan oleh paralisis jangka panjang, antara
lain sebagai berikut:
1. Paralisis otot persisten
2. Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik
3. Aspirasi
4. Retensi urin
5. Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
6. Nefropati, pada penderita anak
7. Hipo ataupun hipertensi
8. Tromboemboli, pneumonia, ulkus
9. Aritmia jantung
10. Ileus
(Judarwanto, 2009)

F. Pencegahan Guillain Barre Syndrome


Salah satu jalan untuk mencegah GBS adalah dengan mempertinggi
daya tahan tubuh saat tidak sakit dengan cara mengkonsumsi protein
hewani dari daging dan ikan, nabati dari tempe dan tahu disertai sayur dan
buah, sehingga diharapkan kita jarang sakit influenza karena daya tahan
tubuh tinggi. Selain itu perlu juga menjaga kebersihan tubuh dengan mandi

10
dan cuci tangan sebelum makan untuk menghindari infeksi kuman, virus
atau bakteri yang menyebabkan diare. (Depkes , 2011).

G. Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome


Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan
terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah
mengurangi gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan
memperbaiki prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di
rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita
dengan gejala berat harus segera di rawat di rumah sakit untuk
memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan fisioterapi. Adapun
penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah :
1. Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus
dilakukan observasi tanda – tanda vital. Ventilator harus disiapkan
disamping pasien sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot-otot
pernapasan dalam waktu 24 jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga
mungkin terjadi. Obat – obat anti hipertensi dan vasoaktive juga harus
disiapkan.
2. Pasien dengan progresifitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa
diberikan medikamentosa.
3. Pasien dengan progresifitas cepat dapat diberikan obat – obatan steroid.
Namun, ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak
memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat memperpendek
lamanya penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi maupun
mempercepat penyembuhan.
4. Fisioterapi
a. Pemeriksaan spesifik
Pemeriksaan spesifik mempunyai nilai yang sangat penting untuk
memperkuat temuan-temuan dalam anamnesis . Pemeriksaan
Spesifik pada klien GBS adalah MMT (Manual Muscles Testing ),
ROM ( Range Of Motion ), dan pemeriksan sensori. Dan juga dapat
dilakukan dengan pemeriksaan refleks tendon.
1) MMT ( Manual Muscles Testing ) MMT merupakan salah satu
bentuk pemeriksaan kekuatan otot yang paling sering
digunakan. Hal tersebut karena penatalaksanaan, intrepetasi,

11
hasil serta validitas dan realibilitasnya telah teruji. Namun
demikian tetap saja, MMT tidak mampu untuk mengukur otot
secara individual melainkan secara kelompok otot
(Trisnowiyanto, 2012:30).
Penilaian Manual Muscle Testing

5 (Normal) : Klien dapat melawan gravitasi, LGS penuh dan


dapat melawan tahanan maksimal

4 (Good) : Klien dapat melawan gravitasi, LGS penuh dan


dapat melawan tahanan minimal

3 (Fair) : Klien dapat melawan gravitasi dan LGS penuh.

2 (Poor) : Klien tidak mampu melawan gravitasi namun


memiliki LGS penuh

1 (Trace) : Hanya terdapat sedikit kontraksi

0 (Zero) : Tidak ada kontraksi

Sumber (Carolyn Jarvis, 2008:612)

2) ROM (Range Of Motion )


Range Of Motion merupakan bagian integral dari gerakan
manusia. Agar seorang individu untuk bergerak secara efisien
dan dengan sedikit usaha, berbagai gerak seluruh sendi sangat
penting. Selain itu, kisaran gerak yang tepat memungkinkan
sendi untuk beradaptasi lebih mudah terhadap tekanan yang
dikenakan pada tubuh, serta mengurangi potensi cedera.
Berbagai gerak seluruh sendi sangat tergantung pada dua
komponen ROM dan panjang otot. Alat ukur yang sering
digunakan untuk pemeriksaan ROM adalah Goniometer dan
terbagi menjadi empat bidang, yaitu sagital plane, frontal plane,
transversal plane dan rotation.
3) Pemeriksan Refleks Tendon Dalam
Hasil pemeriksaan refleks merupakan informasi penting yang
sangat menentukan. Penilaian refleks selalu berarti penilaian
secara banding antara sisi kiri dan sisi kanan (Ariani,

12
2012:186). Itulah sebabnya pemeriksaan reflex penting nilainya
karena lebih objektif (Lumbantobing, 2005:135), karena pada
klien dengan GBS refleks tendon biasanya berkurang atau tidak
ada (Umphred, 2001:387). Refleks tendon dalam atau refleks
regangan otot dihantarkan melalui struktur pada sistem saraf
pusat atau tepi. Refleks tersebut menggambarkan satuan
fungsi sensorik dan motorik yang sederhana. Untuk
menimbulkan refleks tendon dalam, lakukan pengetukan
dengan cepat pada otot yang akan diperiksa. Untuk dapat
mencetuskan refleks, semua komponen reflex harus utuh,
komponen tersebut meliputi serabut saraf sensorik, sinaps
medulla spinalis, serabut saraf motorik, sambungan serabut
muskular, dan serabut-serabut otot. Ketukan pada tendon akan
mengaktifkan serabut-serabut sensorik khusus pada otot yang
teregang sebagian dengan memicu impuls sensorik yang
berjalan ke medulla spinalis melalui saraf tepi. Serabut sensorik
yang terangsang itu bersinaps langsung dengan radiks saraf
anterior yang mempersarafi otot yang sama. Ketika impuls
saraf melintasi sambungan neuromuskular, maka otot akan
berkontraksi secara tiba-tiba (Bickley, 2009:550). Telah
ditemukakan di atas bahwa timbulnya refleks ini ialah karena
teregangnya otot oleh rangsang yang diberikan dan akan timbul
kontraksi otot (Lumbantobing, 2005:136).

Respon Penilaian reflex :

Simbol Keterangan

- (negatif) Tidak ada refleks sama sekali

± Kontraksi sedikit

+ Ada kontraksi

++ Kontraksi berlebihan, reflex meningkat

Sumber (Lubantombing, 2005:136)

13
4) Pemeriksaan Sensori
Tujuan dilakukan pemeriksaan sensori pada klien GBS adalah
untuk mengidentifikasi jenis tertentu dari perubahan sensori,
seperti parasthesia atau hypesthesia. Pemeriksaan sensorik
paling baik dilakukan secara cepat, selain tidak melelahkan
bagi pemeriksa dan klien, juga mengurangi kemungkinan yang
terjadi kesalahan informasi yang diberikan. Pemeriksaan
sensori suhu dan nyeri dihantarkan oleh jaras traktur
spinotalamikus di medulla spinalis. Disini neuron sensorik
primer memasuki medulla spinalis melalui radiks dorsalis.
Pemeriksaan rasa nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan
jarum dan kita menanyakan rasa nyeri yang dirasakan klien.
Pemeriksaan rasa suhu, ada dua macam rasa suhu yaitu rasa
panas dan rasa dingin. Rasa suhu diperiksa dengan
menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air es untuk
rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas.
5. Plasma exchange therapy (PE)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan
faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih
cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama
perawatan yang lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk
melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala.
Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg
dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.
6. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat
menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi
auto antibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG,
yang kemudian menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T
cells patologis tidak terbentuk. Pengobatan dengan gamma globulin
intravena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena
efek samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg ini dilakukan
dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kgBB /hari
selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg tidak

14
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya
memberikan PE atau IVIg.
7. Heparin dosisi rendah dapat diberikan untuk mencegah terjadinya
trombosis
8. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat
steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB. Tetapi,
digunakan ada SGB tipe CIDP.
(Israr, Juraita, & B. S, 2009)

H. Konsep Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrome


1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan klien dengan Guillain Barre Syndrome ( GBS )
meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
diagnostik, dan pengkajian psikososial. Pengkajian terhadap komplikasi
lain mencakup disritmia jantung, yang terlihat melalui pemantauan EKG
dan mengobservasi klien terhadap tanda trombosis vena profunda dan
emboli paru – paru, yang sering mengancam klien imobilisasi dan
paralisis.
a. Anamnesis
1) Identitas klien, antara lain : nama, jenis kelamin, umut, alamat,
pekerjaan, agama, pendidikan, dan sebagainya.
2) Keluhan utama, yang sering menjadi alasan klien meminta
pertolongan kesehatan adalah berhubungan dengan kelemahan
otot baik kelemahan fisik secara umum maupun lokalis seperti
melemahnya otot – otot pernafasan.
3) Riwayat penyakit, meliputi :
a) Riwayat penyakit saat ini
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan
merupakan komplikasi yang paling berat dari GBS adalah
gagal napas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien
dengan gangguan ini beresiko lebih tinggi terhadap
hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga
dapat timbul, mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan
ekstremitas atas dan bawah hampir sama seperti keluhan

15
klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya
adalah kelainan dari fungsi kardiovaskuler, yang mungkin
menyebabkan gangguan sistem saraf otonom pada klien
GBS yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau
perubahan drastis yang mengancam kehidupan dalam tanda
– tanda vital.
b) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang
memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi
keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami ISPA,
infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf.
Pengkajian pemakaian obat – obat yang sering digunakan
klien, seperti pemakaian obat kortikosteroid, pemakaian jenis
– jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menialai resistensi
pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya
pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung
pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan
data dasar untuk meengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
4) Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien GBS meliputi beberapa penilaian
yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang
jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting
untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari – harinya baik dalam keluarga maupun
masyarakat.apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu
timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar
biasa digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan

16
klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah
diketahui dan perubahan perilaku akibat stress.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan
ini memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya
perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit.
Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi
neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan
terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam
mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang
diakibatkan oleh defisit neurologis dalam hubungannya dengan
peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung
adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan
individu.

2. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan –
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data
dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per-
sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3
(Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan – keluhan dari
klien.
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal.
Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda – tanda
penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi pernafasan
berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya
infeksi pada sistem pernafasan serta adanya akumulasi sekret akibat
insufisiensi pernafasan. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau TD
meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi
saraf simpatis dan parasimpatis.
a. B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi
pernafasan karena infeksi saluran pernafasan dan paling sering
didapatkan pada klien GBS adalah penurunan frekuensi pernafasan
karena melemahnya fungsi otot – otot pernafasan. Palpasi biasanya

17
taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi nafas
tambahan, seperti ronchi pada klien dengan GBS berhubungan
dengan akumulasi sekret dari infeksi saluran nafas.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan
bradikardi yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer.
Tekanan darah didapatkan ortostatik Hipotensi atau TD meningkat
(Hipertensi transien)berhubungan dengan penurunan reaksi saraf
simpatis dan parasimpatis.
c. B3 (Brain)
Merupakan pengkajian fokus, meliputi :
1) Tingkat kesadaran
Pada klien GBS biasanya kesadaran compos mentis (CM).
Apabila klien mengalami penurunan tingkat kesadaran maka
penilaian GCS sangat penting untuk menilai dan sebagai bahan
evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan keperawatan.
2) Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya,
nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan
aktivitas motorik yang ada pada klien GBS tahap lanjut disertai
penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
3) Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I :biasanya pada klien GBS tidak ada
kelainan dari fungsi penciuman
Saraf II :tes ketajaman penglihatan pada kondisi
normal
Saraf III, IV, VI :penurunan kemampuan membuka dan
menutup kelopak mata, paralis ocular
Saraf V :pada klien GBS didapatkan paralis pada
otot wajah sehingga mengganggu proses
mengunyah
Saraf VII :persepsi pengecapan dalam batas normal,
wajah asimetris karena adanya paralisis
unilateral

18
Saraf VIII :tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan
tuli persepsi
Saraf IX dan X :paralisis otot orofaring, kesukaran
berbicara, mengunyah, dan menelan.
Kemampuan menelan kurang baik
sehingga mengganggu pemenuhan
kebutuhan nutrisi via oral.
Saraf XI :tidak ada atrofi otot
sternokleinomastoideus dan trapezius.
Kemampuan mobilisasi leher baik.
Saraf XII :lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu
sisi dan tidak ada fasikulasi. Indera
pengecapan normal.

4) Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi
pada klien GBS tahap lanjut mengalami perubahan. Klien
mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga
mengganggu mobilitas fisik.
5) Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukkan pada tendon,
ligameentum, periosteum derajat refleks dalam merespon
normal.
6) Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, dan distonia
7) Sistem sensorik
Parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang
dapat berkembang ke ekstermitas atas, batang tubuh, dan otot
wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian
sensorik raba, nyeri, dan suhu.
d. B4 (Bladder)
Terdapat penurunan volume haluaran urine, hal ini berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

19
e. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien GBS menurun karena
anoreksia dan kelemahan otot – otot pengunyah serta gangguan
proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral kurang terpenuhi.
f. B6 (Bone)
Pemenuhan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkan mobilitas pasien secara umum. Dalam pemenuhan
kebutuhan sehari – hari klien lebih banyak dibantu orang lain.

3. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan
perkembangan gejala – gejala klinik.
a. Lumbal pungsi dapat menunjukkan kadar protein normal pada
awalnya dengan kenaikan pada minggu ke-4 sampai ke-6. Cairan
spinal memperlihatkan adanya penigkatan konsentrasi protein
dengan menghitung jumlah sel normal.
b. Pemeiksaan konduksi saraf mencatat transmisi impuls sepanjang
serabut saraf. Pengujan elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk
lambatnya laju konduksi saraf. Sekitar 25% orang dengan penyakit ini
mempunyai antibody baik terhadap cytomegalovirus atau virus
Epstein-Barr. Telah ditunjukkan bahwa perubahan respon imun pada
antigen saraf tepi menunjang perkembangan gangguan.
c. Uji fungsi pulmonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga
dapat ditetapkan nilai dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan
penyakit. Penurunan kapasitas pulmonal dapat menunjukkan
kebutuhan akan ventilasi mekanik.

4. Diagnosa Keperawatan
Kriteria Diagnosis Sindroma Guillain Barre Menurut Gilroy dan Meyer
(1979) :
a. Kelumpuhan flaksid yang timbul secara akut, bersifat difus dan
simetris yang bisa disertai oleh paralysis fasialis bilateral
b. Gangguan sensibilitas subjektif dan objektif biasanya lebih ringan dari
kelumpuhan motoris

20
c. Pada sebagian besar kasus penyembuhan yang sempurnaterjadi
dalam waktu 6 bulan
d. Peningkatan kadar protein dalam cairan otak secara progresif dimulai
pada minggu kedua dari paralisis,dan tanpa atau dengan pleositosis
ringan (disosiasi sito albuminemik)
e. Demam subfebril atau sedikit peningkatan suhu selama
berlangsungnya kelumpuhan
f. Jumlah leukosit normal atau limfositosis ringan, tanpa disertai dengan
kenaikan laju endap darah

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul, yaitu :


a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan
b. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung
c. Ketidakseimbangan nutrisi : nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan mengunyah dan menelan
makanan
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular, penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran
e. Ansietas berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit
yang buruk

5. Intervensi Keperawatan
a. Diagnosa : Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
kelemahan otot pernafasan
Definisi :
Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
masalah pola nafas klien dapat berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
1) Frekuensi pernafasan membaik
2) Kedalaman membaik
3) Irama membaik
4) Suara auskultasi nafas

21
5) Kepatenan jalan nafas
6) Saturasi oksigen

Intervensi :
1) Buka jalan nafas dengan teknik chin lift atau jaw trust untuk px
tidak sadar
2) Posisikan pasien untuk memaksimalkan fentilasi
3) Masukkan alat bamntu NPA atau OPA
4) Lakukan fisioterapi dada
5) Buang sekret
6) Ajarkan px bagaimana menggunakan ihailer sesuai resep
sebagaimana mestinya
7) Posisikan px semifowler

b. Diagnosa : Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan


perubahan frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung
Definisi :
Rentan terhadap ketidakadekuatan jantung memompa darah untuk
memenuhi kbutuhan metabolisme tubuh, yang dapat mengganggu
kesehatan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
masalah penurunan curah jantung klien dapat berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
1) Tekanan sistole dan diastole kembali normal
2) Denyut jantung apikal
3) Denyut nadi perifer dalam batas normal

Intervensi :
1) Mengecek pasien secra fisik dn psikologis sesuai dengan
kebijakan perawat.
2) Monitor episode nyeri dada
3) Monitor EKG, adakan perubahan sigmen ST, sebagaimana
mestinya.
4) Catat taanda dan gejala penurunan curah jantung.
5) Monitor TTV pasien.

22
c. Diagnosa : Ketidakseimbangan nutrisi : nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan ketidak mampuan mengunyah dan
menelan makanan
Definisi :
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
masalah nutrisi klien dapat berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
1) Gizi membaik
2) Asupan makanan dan cairan seimbang
3) Resio berat badan dan tinggi badan meningkat

Intervensi :

1) Tentukan status gizi pasien


2) Tentukan jumlah kalori dan jumlah nutrisi untuk memenuhi
persyaratan gizi
3) Berikan obat obatan sebelum makan misalnya penghilang rasa
sakit
4) Atur diet yang diperlukan
5) Monitor intake output makanan dan cairan

d. Diagnosa : Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan


neuromuskular, penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran
Definisi :
Keterbatasan dalam gerakan fisik atau satu atau lebih ekstremitas
secara mandiri dan terarah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
masalah mobilitas klien dapat berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
1) Dapat berjalan dengan pelan
2) Dapat menuruni dan menaiki tangga
3) Dapat berjalan dengan jarak dekat dan sedang

23
Intervensi :

1) Membantu pasien untuk berpindah posisi sesuai kebutuhan


2) Membantu pasien untuk berdiri dan ambulasi dengan jarak dekat
dan sedang
3) Mengintruksikan pasien mengenai perpindhan teknik ambulasi
yang aman
4) Monitir penggunaan kruk pasien atau alat berjalan lainya
5) Sediakan tempat tidur sesuai dengan pasien

24
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Guillain Barre Syndrome ( GBS ) merupakan sindrome klinis yang
ditunjukkan oleh onset akut dari gejala – gejala yang mengenai syaraf perifer
dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput
mielin dari syaraf tepi dan kranial. GBS adalah suatu kelainan sistem
kekebalan tubuh manusia yang menyerang dari sistem syaraf tepi dirinya
sendiri dengan karakteristik berupa kelemahan atau arefleksia dari syaraf
motorik yang sifatnya progresif. GBS gangguan kelemahan neuromuskular
akut yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada
kelumpuhan total, biasanya paralisis sementara.
Etiologi Guillain Barre Syndrome saat ini masih belum dapat diketahui
dengan pasti penyebabanya dan masih menjadi bahan perdebatan. Guillain
Barre Syndrome sering kali berhubungan dengan infeksi akut non spsifik.
Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56 % -
80 %, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti
infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.
Gejala awal antara lain adalah rasa seperti ditusuk-tusuk jarum di ujung
jari kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa
berat dan kaku mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak
bisa mengenggam erat atau memutar sesuatu dengan baik (buka kunci,
buka kaleng dan lain-lain). Gejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu
beberapa minggu, penderita biasanya tidak merasa perlu perawatan atau
susah menjelaskannya pada tim dokter untuk meminta perawatan lebih
lanjut karena gejala-gejala akan hilang pada saat diperiksa.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan
atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya
infeksi, trombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh
tertentu, dan kontraktur pada sendi.
Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus
dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus

25
segera di rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan,
pengobatan dan fisioterapi.

B. Saran
Setelah dituliskannya makalah ini, diharapkan mahasiswa mampu
mengetahui dan memahami konsep dasar dari penyakit Guillain Barre
Syndrome, serta mampu memahami dan menerapkan konsep dasar Asuhan
Keperawatan pada klien dengan Guillain Barre Syndrome dengan baik.

26
DAFTAR PUSTAKA

Depkes . (2011, August 1). Guillain Barre Syndrome. Dipetik Januari Rabu, 2018,
Dari Konsep Penyakit Guillain Barre Syndrome:
Http://Www.Depkes.Go.Id/Pdf.Php?Id=1628

Israr, Y. A., Juraita, & B. S, R. (2009). Sindroma Guillain Barre. Pekanbaru, Riau.

Judarwanto, W. (2009). Children Allergy Clinic Dan Picky Eaters Clinic. Jakarta.

Rahayu, T. (2008). Mengenal Guillain Barrre Syndrom (Gbs). Dosen Jurdik


Biologi Fmipa Uny.

Rahayu, T. (2013). Mengenal Guillaine Barre Syndrome ( Gbs ). Jurnal


Kesehatan, 5.

Santiko, W. (2017, May 1). Dipetik January 3, 2018, Dari


Https://Doktermuslim.Com/Guillain-Barre-Syndrom-Gbs/

27

Anda mungkin juga menyukai