Kep. Kritis Kel. 2 (Guillain) 1
Kep. Kritis Kel. 2 (Guillain) 1
Kelas 2 A
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “ Guillain Barre Syndrome ( GBS )”. Makalah ini
disusun dalam rangka memenuhi tugas individu mata kuliah Teknologi dan
Informasi.
1. Dosen mata kuliah Keperawatan Kritis yakni Wiwiek Retti Andriani S. Kep
Ns, M. Kep yang telah banyak meluangkan waktu guna memberikan
bimbingan kepada kami dalam penyusunan makalah ini.
2. Kedua orang tua kami yang senantiasa memberi dukungan baik secara
moril maupun materil selama proses pembuatan makalah ini.
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
COVER..............................................................................................................i
DAFTAR NAMA KELOMPOK ............................................................................ii
KATA PENGANTAR ..........................................................................................iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................1
B. Rumusan Masalah .................................................................................2
C. Tujuan Penulisan....................................................................................2
D. Manfaat Penulisan .................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Guillain Barre Syndrome ...........................................................4
B. Etiologi Guillain Barre Syndrome ...........................................................4
C. Patofisiologi Guillain Barre Syndrome ...................................................6
D. Tanda Dan Gejala Guillain Barre Syndrome ..........................................8
E. Komplikasi Guillain Barre Syndrome .....................................................10
F. Pencegahan Guillain Barre Syndrome ...................................................10
G. Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome ............................................11
H. Konsep Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrome ........................15
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Guillain Barre Syndrome ( GBS ) adalah penyakit neurologi yang sangat
jarang, kejadiannya bervariasi antara 0,6 sampai 1,9 kasus per 100.000
orang per tahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic
melakukan penelitian mendapatkan rata – rata insidensi 1,7 per 100.000
orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15 – 35 tahun dan antara 50 – 74
tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun.
Insidensi Guillain Barre Syndrome usia termuda yang pernah dilaporkan
adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki – laki dan wanita sama
jumlahnya. Dari pengelompokkan ras didapatkan bahwa 85 % penderita
adalah kulit putih, 7 % kulit hitam, 5 % Hispanic, 1 % Asia dan 4 % pada
kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran
epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa
insidensi terbanyak di Indonesia adalah Dekade I, II, III ( dibawah usia 35
tahun ) dengan jumlah penderita laki – laki dan wanita hampir sama.
Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki –
laki dan wanita 3 :1 dengan usia rata – rata 23,5 tahun. Insidensi tertinggi
pada bulan April sampai dengan Mei dimana terjadi pergantian musim hujan
dan kemarau.
Penyakit ini sering menyebabkan kelumpuhan yang cukup sering
dijumpai pada usia dewasa muda. GBS ini seringkali mencemaskan
penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada
beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya
mempunyai prognosa yang baik. GBS biasanya mempunyai prognosa yang
baik yaitu sekitar 80 % tetapi sekitar 15 % nya mempunyai gejala sisa / defisit
neurologis.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu
Idhiopatic polyneuritis, Acute Febrile polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post
Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending
Paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Guillain Barre Syndrome ?
2. Bagaimana etiologi Guillain Barre Syndrome ?
3. Seperti apa patofisiologi Guillain Barre Syndrome ?
4. Bagaimana tanda dan gejala Guillain Barre Syndrome ?
5. Apa saja komplikasi dari Guillain Barre Syndrome ?
6. Bagaimana pencegahan Guillain Barre Syndrome ?
7. Bagaimana Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrome ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk membantu mahasiswa mengetahui definisi dari Guillain Barre
Syndrome
2. Untuk membantu mahasiswa mengetahui etiologi Guillain Barre
Syndrome
3. Untuk membantu mahasiswa mengetahui patofisiologi Guillain Barre
Syndrome
4. Untuk membantu mahasiswa mengetahui tanda dan gejala Guillain Barre
Syndrome
5. Untuk membantu mahasiswa mengetahui komplikasi dari Guillain Barre
Syndrome
6. Untuk membantu mahasiswa mengetahui pencegahan Guillain Barre
Syndrome
7. Untuk membantu mahasiswa mengetahui Asuhan Keperawatan Guillain
Barre Syndrome
D. Manfaat Penulisan
1. Mahasiswa menjadi lebih mengetahui definisi dari Guillain Barre
Syndrome
2. Mahasiswa menjadi lebih mengetahui etiologi Guillain Barre Syndrome
3. Mahasiswa menjadi lebih mahasiswa patofisiologi Guillain Barre
Syndrome
4. Mahasiswa menjadi lebih mengetahui tanda dan gejala Guillain Barre
Syndrome
5. Mahasiswa menjadi lebih mengetahui komplikasi dari Guillain Barre
Syndrome
2
6. Mahasiswa menjadi lebih mengetahui pencegahan Guillain Barre
Syndrome
7. Mahasiswa menjadi lebih mengetahui Asuhan Keperawatan Guillain Barre
Syndrome
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
5. Pembedahan
6. Penyakit sistematik :
a. Keganasan : Hodgkin’s Disease, Carcinoma, Lumphoma
b. Systemic lupus erythematosus
c. Tiroiditis
d. Penyakit Addison
7. Kehamilan, terutama pada trimester ketiga atau dalam masa nifas
5
Echo
6
PATHWAY
Proses inflamasi
Menyerang Mielin
Cidera dimelinasi
B1 B2 B3 B4 B5 B6 (Bond &
(Breathing) (Blood) (Brain) (Bladder) (Bowel) integument)
7
D. Tanda Dan Gejala Guillain Barre Syndrome
Gejala awal antara lain adalah rasa seperti ditusuk-tusuk jarum di ujung
jari kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa
berat dan kaku mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak
bisa mengenggam erat atau memutar sesuatu dengan baik (buka kunci,
buka kaleng dan lain-lain). Gejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu
beberapa minggu, penderita biasanya tidak merasa perlu perawatan atau
susah menjelaskannya pada tim dokter untuk meminta perawatan lebih
lanjut karena gejala-gejala akan hilang pada saat diperiksa. Gejala tahap
berikutnya pada saat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya : kaki sudah
melangkah, lengan menjadi sakit lemah, dan kemudian dokter menemukan
syaraf refleks lengan telah hilang fungsinya (Rahayu, 2008).
Gejala awal biasanya kelemahan atau rasa kesemutan pada kaki. Rasa
itu dapat menjalar ke bagian tubuh atas tubuh. Pada beberapa kasus bisa
menjadi lumpuh, Hal ini bias menyebabkan kematian. Pasien kadang
membutuhkan alat respirator untuk bernapas. Gejala biasanya memburuk
setelah beberapa minggu, kemudian stabil. Banyak orang bisa sembuh,
namun kesembuhan bisa didapatkan dalam minggu atau tahun (Rahayu,
2008).
Gejala dapat menyebar sangat cepat. Pada beberapa orang penyait ini
menjadi serius setelah beberapa jam. Gejala GBS ini meliputi :
1. Tingling, sensasi tertusuk pada jari dan tumit.
2. Kelemahan otot pada kedua kaki, dan menyebar ke atas, badan dan
tangan dalam waktu singkat
3. Kesulitan berdiri tegak
4. Kesulitan menggerakkan mata, wajah, berbicara, mengunyah, dan
menelan.
5. Nyeri punggung belakang, kehilangan kendali buang air kecil dan denyut
jantung meningkat.
6. Kesulitan bernafas dan terjadi paralisis (Santiko, 2017)
8
rumah sakit. Meskipun kondisi dalam keadaan lemah sangat dianjurkan
pasien untuk selalu menggerakkan bagian-bagian tubuh yang terserang
untuk menghindari kaku otot. Ahli fisioterapi biasanya akan sangat
dibutuhkan untuk melatih pasien dengan terapi-terapi khusus.
Pengarahan – pengarahan akan diberikan tim medis kepada keluarga
dan teman pasien cara – cara melatih pasien gbs. Pasien penyakit gbs
biasanya merasakan sakit yang akut, terutama padadaerah tulangbelakang
dan lengan dan kaki. Namun ada juga pasien yang tidak mengeluhkan rasa
sakit yang berarti meskipun mereka mengalami kelumpuhan parah. Rasa
sakit muncul dari pembengkakan dari syaraf yang terserang, atau dari otot
yang sementara kehilangan suplai energi, atau dari posisi duduk atau tidur
pasien yang mengalami kesulitan untuk bergerak atau memutar tubuhnya ke
posisi nyaman.
Untuk melawan rasa sakit dokter akan memberikan obat penghilang
rasa sakit dan perawat akan memberikan terapi-terapi untuk merelokasi
bagian – bagian tubuh yang terserang dengan terapi-terapi khusus. Rasa
sakit dapat datang dan pergi dan itu sangat menyiksa bagi penderita GBS.
Pasien biasanya akan melemah dalam waktu beberapa minggu, maka dari
itu perawatan intensif sangat diperlukan pada tahap-tahap saat GBS mulai
terdeteksi. Sesuai dengan tahap dan tingkat kelumpuhan pasien maka
dokter akan menentukan apa pasien memerlukan perawatan di ruang ICU
atau tidak. Sekitar 25% pasien GBS akan mengalami berbagai kesulitan
antara lain pada : sistem pernafasan ditandai dengan sesak nafas bahkan
henti nafas, penurunan kemampuan menelan dan batuk. Pasien biasanya
akan diberi bantuan alat ventilator untuk membantu pernafasan dalam
kondisi tersebut diatas, setelah beberapa waktu, kondisi mati rasa akan
berangsur membaik.
Pengobatan GBS adalah dengan pemberian imunoglobulin secara
intravena dan plasmapharesis atau pengambilan antibodi yang merusak
sistem saraf tepi dengan jalan mengganti plasma darah. Selain terapi pokok
tersebut juga telah dijelaskan di atas tentang pemberian fisioterapi dan
perawatan dengan terapi khusus serta pemberian obat untuk mengurangi
rasa sakit. GBS merupakan penyakit akut akan tetapi bila diterapi dengan
baik dan tepat maka dapat memperbaiki kualitas hidup pasien.
9
E. Komplikasi Guillain Barre Syndrome
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan
atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya
infeksi, trombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh
tertentu, dan kontraktur pada sendi. (Israr, Juraita, & B. S, 2009)
Komplikasi GBS yang paling berat adalah kematian, akibat kelemahan
atau paralisis pada otot-otot pernafasan. Tiga puluh persen% penderita ini
membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk bertahan hidup, sementara 5%
penderita akan meninggal, meskipun dirawat di ruang perawatan intensif.
Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna atau hanya menderita gejala
sisa ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal, seperti halnya
kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh persen mengalami masalah
sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan permanen, sehingga
menyebabkan disabilitas berat; 10% diantaranya beresiko mengalami relaps.
Dengan penatalaksanaan respirasi yang lebih modern, komplikasi yang
lebih sering terjadi lebih diakibatkan oleh paralisis jangka panjang, antara
lain sebagai berikut:
1. Paralisis otot persisten
2. Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik
3. Aspirasi
4. Retensi urin
5. Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
6. Nefropati, pada penderita anak
7. Hipo ataupun hipertensi
8. Tromboemboli, pneumonia, ulkus
9. Aritmia jantung
10. Ileus
(Judarwanto, 2009)
10
dan cuci tangan sebelum makan untuk menghindari infeksi kuman, virus
atau bakteri yang menyebabkan diare. (Depkes , 2011).
11
hasil serta validitas dan realibilitasnya telah teruji. Namun
demikian tetap saja, MMT tidak mampu untuk mengukur otot
secara individual melainkan secara kelompok otot
(Trisnowiyanto, 2012:30).
Penilaian Manual Muscle Testing
12
2012:186). Itulah sebabnya pemeriksaan reflex penting nilainya
karena lebih objektif (Lumbantobing, 2005:135), karena pada
klien dengan GBS refleks tendon biasanya berkurang atau tidak
ada (Umphred, 2001:387). Refleks tendon dalam atau refleks
regangan otot dihantarkan melalui struktur pada sistem saraf
pusat atau tepi. Refleks tersebut menggambarkan satuan
fungsi sensorik dan motorik yang sederhana. Untuk
menimbulkan refleks tendon dalam, lakukan pengetukan
dengan cepat pada otot yang akan diperiksa. Untuk dapat
mencetuskan refleks, semua komponen reflex harus utuh,
komponen tersebut meliputi serabut saraf sensorik, sinaps
medulla spinalis, serabut saraf motorik, sambungan serabut
muskular, dan serabut-serabut otot. Ketukan pada tendon akan
mengaktifkan serabut-serabut sensorik khusus pada otot yang
teregang sebagian dengan memicu impuls sensorik yang
berjalan ke medulla spinalis melalui saraf tepi. Serabut sensorik
yang terangsang itu bersinaps langsung dengan radiks saraf
anterior yang mempersarafi otot yang sama. Ketika impuls
saraf melintasi sambungan neuromuskular, maka otot akan
berkontraksi secara tiba-tiba (Bickley, 2009:550). Telah
ditemukakan di atas bahwa timbulnya refleks ini ialah karena
teregangnya otot oleh rangsang yang diberikan dan akan timbul
kontraksi otot (Lumbantobing, 2005:136).
Simbol Keterangan
± Kontraksi sedikit
+ Ada kontraksi
13
4) Pemeriksaan Sensori
Tujuan dilakukan pemeriksaan sensori pada klien GBS adalah
untuk mengidentifikasi jenis tertentu dari perubahan sensori,
seperti parasthesia atau hypesthesia. Pemeriksaan sensorik
paling baik dilakukan secara cepat, selain tidak melelahkan
bagi pemeriksa dan klien, juga mengurangi kemungkinan yang
terjadi kesalahan informasi yang diberikan. Pemeriksaan
sensori suhu dan nyeri dihantarkan oleh jaras traktur
spinotalamikus di medulla spinalis. Disini neuron sensorik
primer memasuki medulla spinalis melalui radiks dorsalis.
Pemeriksaan rasa nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan
jarum dan kita menanyakan rasa nyeri yang dirasakan klien.
Pemeriksaan rasa suhu, ada dua macam rasa suhu yaitu rasa
panas dan rasa dingin. Rasa suhu diperiksa dengan
menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air es untuk
rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas.
5. Plasma exchange therapy (PE)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan
faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih
cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama
perawatan yang lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk
melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala.
Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg
dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.
6. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat
menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi
auto antibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG,
yang kemudian menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T
cells patologis tidak terbentuk. Pengobatan dengan gamma globulin
intravena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena
efek samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg ini dilakukan
dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kgBB /hari
selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg tidak
14
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya
memberikan PE atau IVIg.
7. Heparin dosisi rendah dapat diberikan untuk mencegah terjadinya
trombosis
8. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat
steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB. Tetapi,
digunakan ada SGB tipe CIDP.
(Israr, Juraita, & B. S, 2009)
15
klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya
adalah kelainan dari fungsi kardiovaskuler, yang mungkin
menyebabkan gangguan sistem saraf otonom pada klien
GBS yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau
perubahan drastis yang mengancam kehidupan dalam tanda
– tanda vital.
b) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang
memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi
keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami ISPA,
infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf.
Pengkajian pemakaian obat – obat yang sering digunakan
klien, seperti pemakaian obat kortikosteroid, pemakaian jenis
– jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menialai resistensi
pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya
pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung
pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan
data dasar untuk meengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
4) Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien GBS meliputi beberapa penilaian
yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang
jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting
untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari – harinya baik dalam keluarga maupun
masyarakat.apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu
timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar
biasa digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan
16
klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah
diketahui dan perubahan perilaku akibat stress.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan
ini memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya
perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit.
Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi
neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan
terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam
mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang
diakibatkan oleh defisit neurologis dalam hubungannya dengan
peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung
adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan
individu.
2. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan –
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data
dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per-
sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3
(Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan – keluhan dari
klien.
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal.
Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda – tanda
penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi pernafasan
berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya
infeksi pada sistem pernafasan serta adanya akumulasi sekret akibat
insufisiensi pernafasan. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau TD
meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi
saraf simpatis dan parasimpatis.
a. B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi
pernafasan karena infeksi saluran pernafasan dan paling sering
didapatkan pada klien GBS adalah penurunan frekuensi pernafasan
karena melemahnya fungsi otot – otot pernafasan. Palpasi biasanya
17
taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi nafas
tambahan, seperti ronchi pada klien dengan GBS berhubungan
dengan akumulasi sekret dari infeksi saluran nafas.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan
bradikardi yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer.
Tekanan darah didapatkan ortostatik Hipotensi atau TD meningkat
(Hipertensi transien)berhubungan dengan penurunan reaksi saraf
simpatis dan parasimpatis.
c. B3 (Brain)
Merupakan pengkajian fokus, meliputi :
1) Tingkat kesadaran
Pada klien GBS biasanya kesadaran compos mentis (CM).
Apabila klien mengalami penurunan tingkat kesadaran maka
penilaian GCS sangat penting untuk menilai dan sebagai bahan
evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan keperawatan.
2) Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya,
nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan
aktivitas motorik yang ada pada klien GBS tahap lanjut disertai
penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
3) Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I :biasanya pada klien GBS tidak ada
kelainan dari fungsi penciuman
Saraf II :tes ketajaman penglihatan pada kondisi
normal
Saraf III, IV, VI :penurunan kemampuan membuka dan
menutup kelopak mata, paralis ocular
Saraf V :pada klien GBS didapatkan paralis pada
otot wajah sehingga mengganggu proses
mengunyah
Saraf VII :persepsi pengecapan dalam batas normal,
wajah asimetris karena adanya paralisis
unilateral
18
Saraf VIII :tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan
tuli persepsi
Saraf IX dan X :paralisis otot orofaring, kesukaran
berbicara, mengunyah, dan menelan.
Kemampuan menelan kurang baik
sehingga mengganggu pemenuhan
kebutuhan nutrisi via oral.
Saraf XI :tidak ada atrofi otot
sternokleinomastoideus dan trapezius.
Kemampuan mobilisasi leher baik.
Saraf XII :lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu
sisi dan tidak ada fasikulasi. Indera
pengecapan normal.
4) Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi
pada klien GBS tahap lanjut mengalami perubahan. Klien
mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga
mengganggu mobilitas fisik.
5) Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukkan pada tendon,
ligameentum, periosteum derajat refleks dalam merespon
normal.
6) Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, dan distonia
7) Sistem sensorik
Parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang
dapat berkembang ke ekstermitas atas, batang tubuh, dan otot
wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian
sensorik raba, nyeri, dan suhu.
d. B4 (Bladder)
Terdapat penurunan volume haluaran urine, hal ini berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
19
e. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien GBS menurun karena
anoreksia dan kelemahan otot – otot pengunyah serta gangguan
proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral kurang terpenuhi.
f. B6 (Bone)
Pemenuhan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkan mobilitas pasien secara umum. Dalam pemenuhan
kebutuhan sehari – hari klien lebih banyak dibantu orang lain.
3. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan
perkembangan gejala – gejala klinik.
a. Lumbal pungsi dapat menunjukkan kadar protein normal pada
awalnya dengan kenaikan pada minggu ke-4 sampai ke-6. Cairan
spinal memperlihatkan adanya penigkatan konsentrasi protein
dengan menghitung jumlah sel normal.
b. Pemeiksaan konduksi saraf mencatat transmisi impuls sepanjang
serabut saraf. Pengujan elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk
lambatnya laju konduksi saraf. Sekitar 25% orang dengan penyakit ini
mempunyai antibody baik terhadap cytomegalovirus atau virus
Epstein-Barr. Telah ditunjukkan bahwa perubahan respon imun pada
antigen saraf tepi menunjang perkembangan gangguan.
c. Uji fungsi pulmonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga
dapat ditetapkan nilai dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan
penyakit. Penurunan kapasitas pulmonal dapat menunjukkan
kebutuhan akan ventilasi mekanik.
4. Diagnosa Keperawatan
Kriteria Diagnosis Sindroma Guillain Barre Menurut Gilroy dan Meyer
(1979) :
a. Kelumpuhan flaksid yang timbul secara akut, bersifat difus dan
simetris yang bisa disertai oleh paralysis fasialis bilateral
b. Gangguan sensibilitas subjektif dan objektif biasanya lebih ringan dari
kelumpuhan motoris
20
c. Pada sebagian besar kasus penyembuhan yang sempurnaterjadi
dalam waktu 6 bulan
d. Peningkatan kadar protein dalam cairan otak secara progresif dimulai
pada minggu kedua dari paralisis,dan tanpa atau dengan pleositosis
ringan (disosiasi sito albuminemik)
e. Demam subfebril atau sedikit peningkatan suhu selama
berlangsungnya kelumpuhan
f. Jumlah leukosit normal atau limfositosis ringan, tanpa disertai dengan
kenaikan laju endap darah
5. Intervensi Keperawatan
a. Diagnosa : Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
kelemahan otot pernafasan
Definisi :
Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
masalah pola nafas klien dapat berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
1) Frekuensi pernafasan membaik
2) Kedalaman membaik
3) Irama membaik
4) Suara auskultasi nafas
21
5) Kepatenan jalan nafas
6) Saturasi oksigen
Intervensi :
1) Buka jalan nafas dengan teknik chin lift atau jaw trust untuk px
tidak sadar
2) Posisikan pasien untuk memaksimalkan fentilasi
3) Masukkan alat bamntu NPA atau OPA
4) Lakukan fisioterapi dada
5) Buang sekret
6) Ajarkan px bagaimana menggunakan ihailer sesuai resep
sebagaimana mestinya
7) Posisikan px semifowler
Intervensi :
1) Mengecek pasien secra fisik dn psikologis sesuai dengan
kebijakan perawat.
2) Monitor episode nyeri dada
3) Monitor EKG, adakan perubahan sigmen ST, sebagaimana
mestinya.
4) Catat taanda dan gejala penurunan curah jantung.
5) Monitor TTV pasien.
22
c. Diagnosa : Ketidakseimbangan nutrisi : nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan ketidak mampuan mengunyah dan
menelan makanan
Definisi :
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
masalah nutrisi klien dapat berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
1) Gizi membaik
2) Asupan makanan dan cairan seimbang
3) Resio berat badan dan tinggi badan meningkat
Intervensi :
23
Intervensi :
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Guillain Barre Syndrome ( GBS ) merupakan sindrome klinis yang
ditunjukkan oleh onset akut dari gejala – gejala yang mengenai syaraf perifer
dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput
mielin dari syaraf tepi dan kranial. GBS adalah suatu kelainan sistem
kekebalan tubuh manusia yang menyerang dari sistem syaraf tepi dirinya
sendiri dengan karakteristik berupa kelemahan atau arefleksia dari syaraf
motorik yang sifatnya progresif. GBS gangguan kelemahan neuromuskular
akut yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada
kelumpuhan total, biasanya paralisis sementara.
Etiologi Guillain Barre Syndrome saat ini masih belum dapat diketahui
dengan pasti penyebabanya dan masih menjadi bahan perdebatan. Guillain
Barre Syndrome sering kali berhubungan dengan infeksi akut non spsifik.
Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56 % -
80 %, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti
infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.
Gejala awal antara lain adalah rasa seperti ditusuk-tusuk jarum di ujung
jari kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa
berat dan kaku mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak
bisa mengenggam erat atau memutar sesuatu dengan baik (buka kunci,
buka kaleng dan lain-lain). Gejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu
beberapa minggu, penderita biasanya tidak merasa perlu perawatan atau
susah menjelaskannya pada tim dokter untuk meminta perawatan lebih
lanjut karena gejala-gejala akan hilang pada saat diperiksa.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan
atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya
infeksi, trombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh
tertentu, dan kontraktur pada sendi.
Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus
dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus
25
segera di rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan,
pengobatan dan fisioterapi.
B. Saran
Setelah dituliskannya makalah ini, diharapkan mahasiswa mampu
mengetahui dan memahami konsep dasar dari penyakit Guillain Barre
Syndrome, serta mampu memahami dan menerapkan konsep dasar Asuhan
Keperawatan pada klien dengan Guillain Barre Syndrome dengan baik.
26
DAFTAR PUSTAKA
Depkes . (2011, August 1). Guillain Barre Syndrome. Dipetik Januari Rabu, 2018,
Dari Konsep Penyakit Guillain Barre Syndrome:
Http://Www.Depkes.Go.Id/Pdf.Php?Id=1628
Israr, Y. A., Juraita, & B. S, R. (2009). Sindroma Guillain Barre. Pekanbaru, Riau.
Judarwanto, W. (2009). Children Allergy Clinic Dan Picky Eaters Clinic. Jakarta.
27