Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelaksanaan pelayanan kesehatan dalam rangka mempertahankan kesehatan
yang optimal harus dilakukan bersama-sama, oleh semua tenaga kesehatan
sebagai konsekuensi dari kebijakan.Pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai
salah satu sarana kesehatan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun
masyarakat menempatkan tenaga keperawatan sebagai tenaga kesehatan
mayoritas yang sering berhubungan dengan pasien sebagai pengguna jasa
pelayanan rumah sakit. Perawat hadir 24 jam bersama pasien dan memiliki
hubungan yang lebih dekat dengan pasien dibandingkan tenaga kesehatan lain.
Pelayanan keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena adanya
kelemahan fisik dan/atau mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya
kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri.
Keperawatan merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan menurut
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996. Perawat diposisikan sebagai salah satu
dari profesi tenaga kesehatan yang menempati peran yang setara dengan tenaga
kesehatan lain. Perjalanan awalnya perawat hanya dianggap okuvasi (pekerjaan)
saja yang tidak membutuhkan profesionalisme. Sejalan dengan perkembangan
ilmu dan praktek keperawatan, perawat sudah diakui sebagai suatu profesi,
sehingga pelayanan atau asuhan keperawatan yang diberikan harus didasarkan
pada ilmu dan kiat keperawatan.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan, perawat harus terlebih dahulu
memberikan informed consent kepada pasien. Persetujuan tindakan medik atau
informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut. Persetujuan dapat diberikan secara tertulis
maupun lisan, tetapi setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi harus
dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan
persetujuan.
Informed consent berasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan
apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan
tenaga kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk
membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka
sendiri.Dalam permenkes 585/Men.Kes/Per/ IX/1989 tentang persetujuan medik
pasal 6 ayat 1 sampai 3 disebutkan bahwa yang memberikan informasi dalam hal
tindakan bedah adalah dokter yang akan melakukan operasi, atau bila tidak ada,
dokter lain dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan invasif lainnya,
informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat, dengan pengetahuan
atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis
tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya
adalah kewajiban untuk menghormati hak pasien, memberikan informasi yang
berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan, dan kewajiban
untuk meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.
Tenaga kesehatan yang tidak menunaikan hak pasien untuk memberikan
informed consent yang jelas, bisa dikategorikan melanggar case law (merupakan
sifat hukum medik) dan dapat menimbulkan gugatan dugaan mal praktek.
Belakangan ini masalah malpraktek medik (medical malpractice) yang
cenderung merugikan pasien semakin mendapatkan perhatian dari masyarakat
dan sorotan media massa. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan Pusat di
Jakarta mencatat sekitar 150 kasus malpraktik telah terjadi di Indonesia.
Meskipun data tentang malpraktek yang diakibatkan oleh informed consent yang
kurang jelas belum bisa dikalkulasikan, tetapi kasus-kasus malpraktek baru
mulai bermunculan.
1.2 Tujuan

1. Menjelaskan pengertian Informed consent

2. Menjelaskan tujuan pelaksanaan Informed Consent

3. Menjelaskan fungsi pemberian Informed Consent

4. Menjelaskan ruang lingkup informed consent

5. Menjelaskan hal – hal yang di informasikan pada pasien

6. Menjelaskan aspek hukum Informed Consent

7. Menjelaskan hal-hal yang mempengaruhi proses Informed Consent

8. Menjelaskan kualitas Informasi yang di berikan


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah
mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti
persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian
suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian
“informed consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh
pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis
yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan
sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan
dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter
mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai
informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
2.2 Kode etik dokter dalam persetujuan tindakan medic
1. Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter
2. Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan
3. Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan
persetujuan
4. Dokter harus menjelaskan kepada pasien mengenai tindakan,terapi
dan penyakitnya
5. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan
seberapa besar kemungkinan keberhasilannya
6. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau
menolak terapi
2.2 Tujuan Pelaksanaan Informed Consent
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan
medis (pasien), maka pelaksanaan informed consent, bertujuan untuk:
a) Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari
segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun
tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan
malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar
profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya
tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada
alasan medisnya
b) Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari
tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan
medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of
treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah
bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik.
Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat
dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian
(negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya
tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.
2.3 Fungsi Pemberian Informed Consent
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. Penghormatan terhadap hak otonomi perorangan yaitu hak untuk menentukan
nasibnya sendiri
3. Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima pelayanan kesehatan (health
care receiver = HCR)
4. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
5. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
6. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
7. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
8. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan
kesehatan
9. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk melakukan introspeksi
terhadap diri sendiri.
2.4 Ruang Lingkup Informed Consent
Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada
pengetahuan medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu
mengenai tanggung jawab orang lain yang berperan serta dalam pengobatan
pasien.
Di Florida dinyatakan bahwa setiap orang dewasa yang kompeten memiliki
hak dasar menentukan tindakan medis atas dirinya termasuk pelaksanaan dan
penghentian pengobatan yang bersifat memperpanjang nyawa. Beberapa
pengadilan membolehkan dokter untuk tidak memberitahukan diagnosis pada
beberapa keadaan. Dalam mempertimbangkan perlu tidaknya mengungkapkan
diagnosis penyakit yang berat, faktor emosional pasien harus dipertimbangkan
terutama kemungkinan bahwa pengungkapan tersebut dapat mengancam
kemungkinan pulihnya pasien.
Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya
penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan inkonklusif.
Hak-hak pasien dalam pemberian inform consent adalah:
1) Hak atas informasi
Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan
medik apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat
tindakan tersebut dan tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya,
prognosanya, perkiraan biaya pengobatan.
2) Hak atas persetujuan (Consent)
Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa
paksaan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan
yang ia berikan ,dimana orang tersebut secara hukum mampu memberikan
consent. Kriteria consent yang syah yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien
atau orang yang betanggung jawab, hanya ada salah satu prosedur yang tepat
dilakukan, memenuhi beberapa elemen penting, penjelasan tentang kondisi,
prosedur dan konsekuensinya. Hak persetujuan atas dasar informasi (Informed
Consent).
3) Hak atas rahasia medis
a) Hak atas pendapat kedua (Second opinion)
b) Hak untuk melihat rekam medik
c) Hak perlindungan bagi orang yg tidak berdaya (lansia, gangguann mental,
anak dan remaja di bawah umur)
d) Hak pasien dalam penelitian
e) Hak pasien membuat keputusan sendiri untuk berpartisipasi, mendapatkan
informasi yang lengkap, menghentikan partisipasi dalam penelitian tanpa
sangsi, bebas bahaya, percakapan tentang sumber pribadi dan hak
terhindar dari pelayanan orang yang tidak kompeten.
f) Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang
berlaku di rumah sakit
g) Hak memperoleh pelayanan yg adil dan manusiawi
h) Hak memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang bermutu sesuai
dengan standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi
i) Hak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
sesuai dengan peraturan yg berlaku di rumah sakit
j) Hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan
mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri
sesudah memperoleh informasi yg jelas tentang penyakitnya
k) Hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis
l) Hak menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya
m) Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di
rumah sakit
n) Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit
terhadap dirinya
o) Hak menerima atau menolak bimbingan moral maupun spiritual
p) Hak didampingi perawat atau keluarga pada saat diperiksa dokter
2.5 Hal – hal yang dapat di informasikan
1. Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah
dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila
infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan
pasien.
2. Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya
antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi
idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini
jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa
kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien.Jika seorang dokter
mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif
pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien.
Jika seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu
prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib
memberitahukan pada pasien.
3. Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan
terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya
yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi
hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan
subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan
kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.
4. Rujukan atau konsultasi
Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa
kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan
terapi pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter
harus merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena
keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang dapat
menangani pasien tersebut lebih baik darinya.
5. Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele,
ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk
tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga
berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi dengan
mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat
diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan
bagian dari informed consent.
2.6 Aspek Hukum Informed Consent
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis
(dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang
mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai
“obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai
subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang
akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh
dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan
medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi
dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun
perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat
diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok
ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi
kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat
dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada
hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang
lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah
“kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan)
pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk
menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana
jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa
tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan
mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis
dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya,
sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan
adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang
penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan
radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya
izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah
melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran
terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari
bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan
hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan
kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat
dipertanggungjawabkan.Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini
sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu
inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk
ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap,
sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah
hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.
2.8 Hal-hal yang Mempengaruhi Proses Informed Consent
1. Bagi pasien
a) Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis
b) Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak
ada waktu untuk tanya jawab
c) Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu
mencerna informasi
d) Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.

2. Bagi petugas kesehatan


a) Pasien tidak mau diberitahu.
b) Pasien tak mampu memahami.
c) Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.
d) Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.
2.8 Penerimaan informasi bagi seseorang dipengaruhi oleh:
1) Tingkat pendidikan
Semakin tinggi pendidikan orang tua akan semakin luas wawasan
pengetahuan dan akan semakin mudah untuk menerima dan
mengangkat informasi yang disampaikan. Tingkat pendidikan ini akan
berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi, penerimaan informasi
oleh petugas kesehatan serta menentukan penilaian objektif dan kognitif
terhadap pengalaman prioritas yang lain
2) Pengalaman
Pengalaman adalah sesuatu yang telah dihayati (Purwardaminta, 1991).
Pengalama baik bersifat efektif dan kognitif akan mempengaruhi
seseorang dalam mengambil keputusan terhadap kehidupannya,
pengalaman juga dapat terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap
suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera yaitu
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba, sebagian besar
pengethuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
3) Nilai sosial dan budaya
Nilai sosial adalah segala sesuatu yang mendasari perilaku seseorang
yang ditinjau dari segi nilai-nilai, kemanusiaan pengaruh dari individu
lain dan sebagainya. Sistem nilai yang dianut oleh sesorang akan dapat
mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tindakan yang diambil untuk
mencapai tujuan. Dalam pembangunan kesehatan, aspek tingkah laku
yang didasari oleh faktor sosial budaya perlu mendapat perhatian, karena
umumnya program kesehatan lebih berhasil apabila intensitas tingkah
laku sosial budaya individu ataupun masyarakat tidak begitu kuat.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hak pasien yang pertama adalah hak atas informasi. Dalam UU No 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak pasien
adalah hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik
atas dasar informasi (informed consent). Jadi, informed consent merupakan
implementasi dari kedua hak pasien tersebut. Hak pasien tersebut merupakan
bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi Undang-Undang.
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang
efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa
yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed
consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak,
melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan
pihak lain.
Secara umum, seorang dokter diharuskan memperoleh suatu informed consent
(persetujuan medik) dari pasien sebelum melakukan pengobatan. Bahwa
seorang anak terlalu muda atau imatur untuk memberi persetujuannya sendiri
tidak membebaskan seorang dokter dari kewajibannya memperoleh suatu
persetujuan medik.
3.2 Saran
Diharapkan mampu memahami tentang bagaimana pemberian informed
consent pada pasien agar dapat meningkatkan kesehatan di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja. 2005. Bioetik dan
Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Penerbit
Pustaka Dwipar.

J. Guwandi. Informed consent Consent. FKUI. Jakarta. 2004.

M.jusuf H & Amri Amir. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. EGC. Jakarta.
1999.
Anonim. (2012). Persetujuan dan Penolakan terhadap Tindakan Medis.
http://informedconsent_a1.webs.com/persetujuanpenolakan.htm. Diakses pada
tanggal 01 November 2012, pukul 11.35 WIB

Anonim. (2012). Mengenal “Informed Consent”. http://www.scribd.com/doc/


22040447/All-About-Informed-Consent. Diakses pada tanggal 01 November 2012.

Anda mungkin juga menyukai