Anda di halaman 1dari 63

BAB I

PENDAHULUAN

Sistem reproduksi pria terdiri atas testis, saluran dari testis,


kelenjar-kelenjar yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan
penis. Pada bahasan undesensus testis ini, akan dibahas lebih banyak
mengenai testis.

Testis merupakan kelenjar ganda, karena secara fungsional


bersifat eksokrin dan juga endokrin. Fungsi eksokrin testis yang
terutama adalah menghasilkan sel-sel kelamin pria, sehingga dianggap
sebagai kelenjar sitogenik. Sekresi endokrin yang utama dari testis
adalah testosterone, yang dihasilkan oleh sel-sel interstitial6.

Testis tergantung di dalam skrotum dan dibungkus oleh simpai


testis yang terdiri dari 3 lapis, yaitu lapisan terluar (tunika vaginalis),
lapisan tengah (tunika albuginea) dan lapisan terdalam (tunika
vaskulosa). Simpai testis bukan merupakan suatu pembungkus yang
lembam melainkan merupakan suatu selaput dinamis yang mampu
berkerut secara berkala. Kerutan-kerutan tersebut mungkin bertujuan
untuk mempertahankan tekanan yang sesuai di dalam testis, megatur
gerakan keluar masuknya cairan ke dalam kapiler-kapiler dan untuk
memijat sistem saluran, sehingga membantu gerakan spermatozoa kearah
luar, memiliki sifat-sifat selaput yang semipermeable dan turut berperan
dalam beberapa faal testis5,6.
1
Spermatogenesis

Spermatogenesis terjadi di dalam semua tubulus


seminiferus selama kehidupan seksual aktif, sebagai akibat
dari rangsangan oleh hormone gonadotropin hipofisis
anterior, dimulai rata-rata pada usia 13 tahun dan berlanjut
sepanjang hidup5,6.

Sperma diproduksi di dalam testis melalui proses


spermatogenesis. Proses ini diatur oleh sumbu hipotalamo-
hipofisis-gonad. Hipotalamus mengeluarkan hormone
gonadotropin releasing hormone (GnRH) yang merangsang
kelenjar hipofisis anterior untuk memproduksi hormone
gonadotropin yaitu folikel stimulating hormone (FSH),
luteinizing hormone (LH)5.

Produksi hormone testosterone oleh sel-sel Leydig


di dalam testis diatur oleh LH, dan pada kadar tertentu,
testosterone memberikan umpan balik negative kepada
hipotalamus/hipofisis sebagai kontrol terhadap produksi
LH. FSH merangsang tubuli seminiferi (terutama sel-sel
sertoli) dalam proses spermatogenesis, di samping itu sel-sel
ini memproduksi inhibin yaitu suatu substansi yang
mengontrol produksi FSH melalui mekanisme umpan
balik negative. Proses produksi sperma (spermatogenesis)
berlagsung di dalam testis dimulai dari differensiasi sel stem
primitive spermatogonium yang terdapat pada membrane
basalis tubulus seminiferus testis. Spermatogonium
kemudian mengalami mitosis, meiosis, dan mengalami
transformasi menjadi spermatozoa sesuai dengan urutan
mulai dari:

Spermatogoniumspermatosit Ispermatosit IIspermatidspermatozoa7

Sel-sel spermatogonium mengalami mitosis


menjadi sel-sel diploid spermatosit I (mempunyai 46
kromosom) dan mengalami miosis menjadi sel-sel
haploid spermatosi II (mempunyai 23 kromosom) dan
selanjutnya mengalami mitosis menjadi sel-sel spermatid.
Sel-sel spermatid ini mengalami transformasi menjadi
spermatozoa sehingga terbentuk akrosom dan flagella serta
hilangnya sebagian sitoplasma. Proses transformasi
pembentukan spermatozoa yang siap disalurkan ke
epididimis disebut spermiogenesis. Seluruh proses
spermatogenesis ini berlangsung kurang lebih 74 hari7.

2
Faktor-faktor Hormonal yang Merangsang Spermatogenesis

Terdapat beberapa hormone yang memiliki


peranan yang sangat penting dalam spermatogenesis,
yaitu sebagai berikut5:

1. Testosteron, disekresi oleh sel-sel Leydig yang


terletak di interstitium testis, hormone ini penting bagi
pertumbuhan dan pembagian sel-sel germinativum
dalam membentuk sperma.

2. Hormon Lutein (LH), disekresi oleh kelenjar hipofifis


anterior, merangsang sel-sel
Leydig untuk menyekresi testosterone.

3. Hormon perangsang folikel (FSH), juga disekresi


oleh sel-sel kelenjar hipofisis anterior, merangsang sel-
sel Sertoli, tanpa rangsangan ini, pengubahan spermatid
menjadi sperma (proses spermiogenesis) tidak akan
terjadi.

4. Estrogen, dibentuk dari testosterone oleh sel-sel


sertoli ketika sel sertoli sedang dirangsang oleh
hormone perangsang folikel, yang mungkin juga
penting untuk spermiogenesis. Sel-sel sertoli juga
menyekresi suatu protein pengikat androgen yang
mengikat testosterone dan estrogen serta membawa
keduanya ke dalam cairan dalam lumen tubulus
seminiferus, membuat kedua hormone ini tersedia
untuk pematangan sperma.
5. Hormon pertumbuhan (GH), seperti juga pada
sebagian besar hormone yang lain, hormone ini
diperlukan untuk mengatur latar belakang fungsi
metabolisme testis. Hormon pertumbuhan secara
khusus meningkatkan pembelahan awal spermatogenia
sendiri. Bila tidak terdapat hormone pertumbuhan,
seperti pada Dwarfisme hipofisis, spermatogenesis
sangat berkurang atau tidak ada sama sekali.

BAB II

3
TINJAUAN PUSTAKA

E
N

Undesensus testis adalah suatu kelainan pada


testis, dimana testis tidak turun secara lengkap ke
skrotum. Testis awalnya terbentuk di rongga abdomen pada
trimester 3 kehamilan akibat pengaruh hormon
gonadotropin dari ibu dan mungkin juga pengaruh dari
androgen dan SPM (substansi penghambat mulerian)
menyebabkan testis turun ke skrotum melalui anulus
inguinalis. Penurunan testis ini juga didukung oleh semakin
meningkatnya tekanan intraabdomen akibat pertumbuhan
organ-organ di abdomen sehingga mempermudah testis
memasuki kanalis inguinalis. Selama proses penurunan
tersebut terjadi penonjolan dinding abdomen mengikuti
perjalanan testis menuju skrotum. Penonjolan tersebut
dikenal dengan prosesus vaginalis sehingga rongga perut
berhubungan dengan skrotum melalui prosesus vaginalis.
Normalnya dalam tahun pertama kehidupan prosesus
vaginalis menutup namun apabila tetap membuka
memungkinkan usus untuk turun ke dalam skrotum yang
dikenal dengan hernia inguinalis1,2,3.
Istilah cryt

si yang sama-sama
menggambarkan po

lah istilah yang lebih


menunjuk pada kondisi testis yang tersembunyi atau “hidden
testis”. Namun dalam
4
penggunaannya, istilah undesensus testis lebih sering dan
lazim digunakan, dimana cukup menggambarkan keadaan
testis yang tidak berada pada tempatnya

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan


testis ke dalam skrotum. Diduga ada beberapa faktor yang
mempengaruhi antara lain: (1) adanya tarikan dari
gubernakulum testis dan refleks dari otot kremaster, (2)
perbedaan pertumbuhan gubernakulum dengan
pertumbuhan badan, dan (3) dorongan dari tekanan
intraabdominal.

Oleh karena sesuatu hal, proses desensus


testikulorum tidak berjalan dengan baik sehingga testis
tidak berada di dalam kantong skrotum (maldesensus).
Dalam hal ini mungkin testis tidak mampu mencapai
skrotum tetapi masih berada pada jalurnya yang normal,
keadaan ini disebut kriptorkismus, atau pada proses
desensus, testis tersesat (keluar) dari jalurnya yang normal,
keadaan ini disebut sebagai testis ektopik7.

Testis yang belum turun ke kantung skrotum dan


masih berada di jalurnya mungkin terletak di kanalis
inguinalis atau di rongga abdomen yaitu terletak di antara
fossa renalis dan annulus inguinalis internus. Testis ektopik
mungkin berada di perineal, di luar kanalis inguinalis yaitu
di antara aponeurosis obliges eksternus dan jaringan
subkutan, suprapubik, atau di region femoral. Keadaan
undesensus testis paling sering terjadi unilateral yang sering
disertai dengan prosesus vaginalis yang tetap terbuka
sehingga sering disertai hernia inguinalis. Pada undesensus
testis dapat pula ditemukan di kranial (abdomen) sehingga
tidak dapat diraba. Bila terletak di kanalis inguinalis atau di
luar anulus testis maka dapat diraba, dan jarang testis
ditemukan di femoral, pangkal penis ataupun inguinal2,3.

EMBRIOLOGI

Differensiasi gona

ekurangnya dua gen,


ZYF dan SRY, terletak pa

u kromosom Y) suatu
5
gen yang menyandikan testis-spesific
deoxyribobucleic acid

(DNA)-binding protein yang menstimulasi


perkembangan gonad embrionik kearah testis. Produksi
hormone selanjutnya, khususnya testosterone dan
Mullerian inhibiting substance (MIS), melakukan
kontrol cascade perubahan sekunder yang memicu
timbulnya virilisasi dari basic female external
genitalia dan mempengaruhi proses penurunan testikuler.10
Penurunan testikuler bersifat bifasik, dengan masing-
masing fase dipengaruhi oleh hormone berbeda. Fase
transabdominal, antara urogenital ridge dan internal
inguinal ring, tidak tergantung androgen. Proses migrasi
berhubungan dengan regresi ligament suspensory cranial,
sedang reaksi pembengkakan gubernakuler berhubungan
dengan penebalan dan pemendekan gubernakulum, menarik
testis bergerak kearah inguinal ring external. Proses-proses ini
hanya terjadi pada pria dan terlihat juga pada pasien dengan
insensitifitas androgen komplet. Proses ini dipikirkan
dipengaruhi oleh insulin 3, dibantu oleh MIS, yang
kemungkinan diproduksi oleh sel Sertoli testis yang sedang
berkembang, keduanya memiliki kerja lokal. Fase terakhir,
penurunan inguinoscrotal, fase ini bersifat androgen-
dependent. Mendahului penurunan testis, procesus
vaginalis terbentuk diantara kanal inguinal sampai scrotum.
Procesus ini dikelilingi oleh musculus cremaster, yang
diinervasi oleh nervus genitofemoral. Androgen diproduksi
oleh testis fetus bekerja pada virilisasi ireversibel akar
sensorik nucleus dorsal dari nervus genitofemoral
(dimorfisme seksual). Neurotransmitter, calcitonin gene-
related peptide (CGRP), dilepaskan melalui serat-serat
sensorik dari nervus genitofemoral, bekerja pada reseptor
CGRP yang kaya gunernakulum, menginduksi kontraksi ritimik
yang kuat (100/detik), yang akan menarik testis melalui kanal
inguinal kedalam skrotum.9,10
Perkembangan testis fetus, sekresi hormonal, oleh
karenanya, penurunan testikuler dikontrol oleh aksis
hipotalamus-pituitary-gonad. Pada minggu ke 4-6
sesudah konsepsi, luteinizing hormone-releasing
hormone (LHRH) terdeteksi dalam hipotalamus,
mengindikasikan adanya fungtioning hypothalamic
oscillator dalam nucleus arkuata. LHRH menstimulasi
pelepasan luteinizing hormone (LH) dan Follicle-
stimulating hormone (FSH) dari pituitary anterior,
yang mengontrol fungsi testikuler, dan pada akhirnya
reproduksi pria. Regulasi yang ada yaitu melalui mekanisme
feedback negatif. LH pituitary mempengaruhi sel Leydig
yang oleh karenanya terjadi sekresi testosterone, sedangkan
FSH terlibat dalam transformasi primordial germ cell
menjadi spermatogonia dan dalam differensiasi sel sertoli.10

INSIDEN

6
Kriptorkismus unilateral lebih sering terjadi
dibandingkan dengan kriptorkismus bilateral. Dimana
insiden kejadiannya adalah 1,6-1,9 % pada anak laki-
laki. Penurunan testis secara lengkap biasanya terjadi
pada trimester kedua kehamilan dan secara signifikan
angka kriptorkismus meningkat pada kelahiran bayi
premature. Hal ini karena diduga penurunan testis tidak
terjadi secara lengkap pada bayi-bayi premature.

Scorer dan Farrington (1971) juga melaporkan


bahwa insiden undesensus testis pada kelahiran premature
dilaporkan sekitar 30,3 %. Hasil yang sama juga ditunjukkan
pada beberapa penelitian yaitu insiden undesensus testis
meningkat pada bayi laki-laki yang lahir kurang dari 37
minggu masa kehamilan dan juga pada bayi yang lahir
dengan berat badan , 2500 gram. Beberapa penelitian juga
menyebutkan bahwa prevalensi undesensus testis meningkat
pada bayi kembar.

Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh The


Cryptorchidisme Study Group pada lebih dari 7400 bayi
menunjukkan bahwa angka kriptorkismus mencapai 7,7%
pada bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2000
gr, sekitar 2,5 % pada bayi yang lahir dengan berat badan
antara 2000 samapai dengan 2499 gram, dan kejadian
kriptorkismus hanya sekitar 1,41 % pada bayi dengan berat
badan lahir di atas 2500 gram. Berkowitz dan Colleagues
(1993) melaporkan bahwa 70-77% dari testis yang
mengalami kriptorkismus akan turun secara spontan dan
biasanya terjadi pada umur 3 bulan. Wenzler (2004) juga
melaporkan bahwa hanya sekitar 6,9 % testis dengan
kriptorkismus akan turun ke skrotum secara spontan pada
umur di bawah 6 bulan.

Berkowitz (1993) melaporkan bahwa angka


kriptorkismus pada 6935 bayi laki-laki yang baru lahir
menurun dari 3,7 % menjadi 1 % pada umur bayi 3 bulan
dan akan menetap pada umur 1 tahun. Beberapa faktor
seperti ras (kulit hitam pada etnis Hispanic), riwayat
kriptorkismus di keluarga, riwayat lahir premature
(BBLR), dan juga riwayat sering mengkonsumsi
minuman bersoda saat hamil juga diduga sebagai faktor-
faktor yang berperan dalam keterlambatan penurunan testis
pada bayi. (Berkowitz dan Lapinski, 1996). Pada umur 1
tahun, insiden kriptorkismus menurun hingga 1 %.

Sebagian besar kejadian undesensus testis adalah


saat lahir, pada bayi dan anak-anak.. Angka kejadian
kriptorkismus pada bayi prematur kurang lebih 30 % yaitu
10 kali lebih banyak

7
daripada bayi cukup bulan (3%). Dengan bertambahnya
usia, testis mengalami desensus secara spontan, sehingga
pada saat usia 1 tahun, angka kejadian kriptorkismus tinggal
0,7-0,9%. Setelah usia 1 tahun, testis yang letaknya
abnormal jarang dapat mengalami desensus testis secara
spontan 1,2,7.

EPIDEMIOLOGI

Secara epidemiologi, terdapat beberapa faktor


yang mempengaruhi resiko terjadinya undesensus testis
antara lain faktor anatomi, genetic, faktor hormonal,
kondisi sosial ekonomi.dan seperti yang telah dijabarkan di
atas bahwa kriptorkismus terjadi lebih banyak pada bayi
prematur, BBLR, IUGR, dan bayi kembar.

Pada penelitian terhadap 1002 bayi laki-laki yang


baru lahir di Malaysia, menunjukkan bahwa kelahiran
premature dan BBLR mempengaruhi terjadinya undesensus
testis karena pada keadaan ini bisa terdapat pertumbuhan
dalam janin yang terhambat dan adanya fungsi plasenta
yang terganggu. Selain itu faktor-faktor penting lainnya
seperti preeclampsia, presentasi sungsang, persalinan
perabdominal (seksio sesaria), persalinan yang memiliki
komplikasi atau penyulit. Faktor ras juga disebutkan pada
penelitian Beckowitz dan Lapinski tahun 1996, bahwa ras
Asia memiliki resiko relative untuk berkembangnya
kriptorkismus. Dari faktor genetik, resiko kriptorkismus
dilaporkan pada penelitian Czeizel pada tahun 1981 bahwa
faktor genetika berpengaruh. Adanya riwayat kriptorkismus
dalam keluarga menjadi faktor resiko terjadinya
undesensus testis.Kejadian kriptorkismus meningkat 1,5%
sampai dengan 4 % pada hubungan ayah dan sekitar 6,2%
pada hubungan saudara laki-laki. Dan pada penelitian terbaru
menyatakan bahwa hampir 23 % dari indeks pasien dengan
kriptorkismus memiliki riwayat keluarga yang sama (baik
pada orang tuanya, saudara laki-laki, paman, sepupu, maupun
kakeknya).

ETIOLOGI

8
Penyebab undesensus testis dapat disebabkan oleh
produksi hormon androgen yang abnormal dan defisiensi
gonadotropin dari ibu atau beberapa keadaan berikut yang
menyebabkan undesensus testis, antara lain :
• Arrest testis (berhentinya penurunan testis di suatu
tempat sehingga tidak sampai ke skrotum )
• Ectopic testis (testis tidak berada pada jalur desensus fisiologik)

• Retractil testis (testis terdorong kembali ke atas akibat


kontraksi hebat otot-otot
skrotum).

Beberapa sumber menyebutkan bahwa testis maldesensus


dapat terjadi karena adanya kelainan pada (1)
gubernaculum testis, (2) kelainan intrinsik testis, atau (3)
defisiensi hormone gonadotropin yang memacu proses
desensus testis.

Beberapa penelitian terakhir mendapatkan bahwa


mutasi pada gen INSL3

(Leydig insulin-like hormone 3) dan gen GREAT


(G protein-coupled receptor affecting testis
descent) dapat menyebabkan UDT. INSL3 dan GREAT
merupakan pasangan ligand dan reseptor yang
mempengaruhi perkembangan gubernaculum. Mutasi
atau delesi pada gen-gen tertentu yang lain juga terbukti
menyebabkan UDT, antara lain gen reseptor androgen
yang akan menyebabkan AIS (androgen insensitivity
syndrome), serta beberapa gen y yang bertanggung-
jawab pada differensiasi testis misalnya: PAX5, SRY, SOX9,
DAX1, dan MIS.

KLASIFIKASI

Kaplan (1993) mengusulkan klasifikasi


undesensus testis menjadi dua yaitu teraba (palpable) dan
tidak teraba (non palpable). Dikatakan palpable testis
apabila testis turun di luar abdomen yaitu pada internal
ring, dan dikatakan nonpalpable apabila terletak pada
intrabdominal. Sekitar 80% dari undesensus testis adalah
palpable (teraba) dan hanya sekitar 20% adalah
nonpalpable (tidak teraba). Cisek et al, pada penelitiannya
tahun 1998 melaporkan bahwa 18 % testis dapat diraba
selama pemeriksaan fisik, dan sekitar 12,6 % tersembunyi
dan tidak ditemukan selama pemeriksaan fisik, tidak
terdeteksi karena posisinya intraabdominal. Testis juga
dapat ditemukan pada posisi ektopia karena terjadi migrasi
transinguinal, dan berada di luar jalur penurunannya dan
lokasi tersering pada undesensus testis yang ektopik adalah
pada
9
kantong superficial antara fascia eksternal oblique dan
Scarpa fascia. Lokasi yang sering lainnya adalah di regia
femoral, perineal, dan prepenile.

Istilah testis retraktil menggambarkan testis yang


terdorong keluar dari skrotum akibat reflex aktif otot-otot
kremaster. Kondisi ini biasanya normal, dan biasanya
retraktil testis teraba pada pemeriksaan fisik. Kondisi ini
paling sering terjadi pada anak laki-laki usia antara 3 sampai
dengan 7 tahun sebagai akibat dari reflex otot-otot kremaster
yang overaktif. Refleks otot-otot kremaster ini biasanya
muncul pada sekitar 50% anak laki-laki berumur < 30 bulan
dan paling banyak pada anak laki-laki yang berumur lebih
dari 30 bulan. Anak laki-laki dengan retraktil testis
sebaiknya dimonitor kondisinya secara regular sampai
dengan mencapai masa pubertasnya atau sampai dengan
testis tetap berada dalam skrotum. Hal ini dilaporkan
oleh Scorer dan Faringtin (1971), dimana dinyatakan
bahwa insiden kriptorkismus terjadi pada anak laki-laki
yang berumur 5 tahun dibandingkan dengan yang
berusia lebih muda oleh karena adanya retraktil testis.

Walaupun Puri dan Nixon pada penelitiannya tahun


1977 menyatakan bahwa anak-anak dengan retraktil testis
memiliki volume testis yang normal dan memiliki angka
fertilitas yang normal setelah dewasa, namun
perkembangan testicularnya mengalami abnormalitas,
sama seperti pada anak-anak dengan undesensus testis.
PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS

Suhu di dalam rongga abdomen ± 1 0 lebih tinggi


daripada suhu di dalam skrotum, sehingga testis
abdominal selalu mendapatkan suhu yang lebih tinggi
daripada testis normal. Hal ini mengakibatkan kerusakan
sel-sel epitel germinal testis. Pada usia 2 tahun, sebanyak
1/5 bagian dari sel-sel germinal testis telah mengalami
kerusakan, sedangkan pada usia 3 tahun hanya 1/3 sel-sel
germinal yang masih normal. Kerusakan ini makin lama
makin progresif dan akhirnya testis menjadi mengecil.
Karena sel-sel Leydig sebagai penghasil hormone androgen
tidak ikut rusak, maka potensi seksual tidak mengalami
gangguan . Akibat lain yang ditimbulkan dari letak testis
yang tidak berada di skrotum adalah mudah terpluntir
(torsio), mudah terkena trauma, dan lebih mudah mengalami
degenerasi maligna3,7.

10
Testis yang tidak turun menyebabkan
perkembangan tubulus seminiferus terganggu sehingga
tidak menghasilkan spermatozoa karena pembentukan
spermatogenesis efektif pada suhu agak rendah yaitu di
skrotum yang suhunya 1,5-2 0C lebih rendah dibanding
abdomen dan juga undesensus meningkatkan resiko
karsinoma testis4,7.
Terdapat beberapa teori yang mencoba
menjelaskan patofisiologi cryptorchidism, diantaranya;
abormalitas gubernacular, penurunan tekanan intracranial,
abnormalitas testikuler intrinsic dan/atau epididymis, dan
abnormalitas endokrin serta anomaly anatomi (misalnya,
pita fibrous dalam canal inguinal atau susunan abnormal dari
serat-serat otot kremaster).4
Gubernaculum testis adalah struktur yang melekat
pada bagian bawah tunica vaginalis di dasar skrotum.
Gubernaculum membantu penurunan testiskuler dengan
melebarkan canalis inguinal dan memandu testis turun ke
skrotum, oleh karena itu, anomali perlekatan dapat
menyebabkan cryptorchidism.4
Cryptorchidism sering terjadi pada pasien dengan
syndrome prune belly dan mereka dengan
gastroschisis; keduanya berhubungan dengan
penurunan tekanan intracranial. Akan tetapi, teori yang
didasarkan pada penurunan tekanan tidak dapat
menjelaskan banyak kasus cryptorchidism.2,4
Teori lain didasarkan pada abnormalitas teskuler
inrinsik dan/atau epididimis. Berbagai studi
memperlihatkan bahwa, secara histologi, epitelium germinal
dari testis maldescended bisa abnormal. Infertiltas
berhubungan dengan cryptorchidism, dan resiko
infertilitas meningkat sesuai derajat maldescent. Selain
itu, kira-kira 23%-86% dari testis yang tidak mengalami
penurunan berhubungan dengan beberapa bentuk
abnormalitas epididimis. Studi-studi yang ada
memperlihatkan adanya peningkatan derajat abnormalitas
epididymis intraabdominal sebanding dengan kasus
cryptorchidism ringan. 2,4
Abnormalitas aksis hipotalamus-pituitary-gonadal
mungkin bisa menjelaskan anomali-anomali penurunan
testikuler dan perkembangan germ-cell abnormal. Studi
endokrin hewan dan manusia tidak bisa memberikan titik
terang patofisiologi maldesenden testikuler. Penyebab
abnormalitas hormonal dapat ditemukan pada tingkat-tingkat
berbeda. 4,5

GAMBARAN KLINIS

11
Pasien biasanya dibawa berobat ke dokter karena
orang tuanya tidak menjumpai testis di kantong skrotum,
sedangkan pasien dewasa mengeluh karena infertilitas yaitu
belum mempunyai anak setelah kawin beberapa tahun.
Kadang-kadang merasa ada benjolan di perut bagian bawah
yang disebabkan testis maldesensus mengalami trauma,
mengalami torsio, atau berubah menjadi tumor testis 7.

Inspeksi pada region skrotum terlihat hipoplasia


kulit skrotum karena tidak pernah ditempati oleh testis.
Pada palpasi, testis tidak teraba di kantung skrotum,
melainkan berada di inguinal atau di tempat lain. Pada saat
melakukan palpasi, untuk mencari keberadaan testis, jari
tangan pemeriksa harus dalam keadaaan hangat7.

Jika kedua buah testis tidak diketahui tempatnya,


harus dibedakan dengan anorkismus bilateral (tidak
mempunyai testis). Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan
hormonal antara lain hormone testosterone, kemudian
dilakukan uji dengan pemberian hormon hCG. Cara
pemeriksaannya adalah sebagai berikut7:

• Periksa kadar testosteron awal Injeksi hCG 2000U/hari selama 4


hari
• Apabila pada hari ke V: Kadar meningkat 10 kali
lebih tinggi daripada kadar semula, dapat disimpulkan
bahwa testis memang ada

Keberadaan testis seringkali sulit untuk


ditemtukan, apalagi testis yang letaknya intraabdominal
dan pada pasien yang gemuk. Untuk itu diperlukan
bantuan beberapa sarana penunjang, diantaranya adalah
flebografi selektif atau diagnostic laparoskopi.

Pemakaian USG untuk mencari letak testis seringkali tidak


banyak manfaatnya, sehingga jarang dikerjakan.
Pemeriksaan flebografi selektif adalah usaha untuk mencari
keberadaan testis secara tidak langsung, yaitu dengan
mencari keberadaan pleksus pampiniformis. Jika tidak
didapatkan pleksus pampiniformis kemungkinan testis
memang tidak pernah ada.

Melalui laparoskopi dicari keberadaan testis, mulai


dari fossa renalis hingga annulus inguinalis internus, dan
tentunya laparoskopi ini lebih dianjurkan daripada
melakukan eksplorasi melalui pembedahan terbuka.

PEMERIKSAAN FISIK

12
Pemeriksaan fisik untuk mengetahui ada tidaknya
testis, testis yang tidak turun atau kriptorkismus biasanya
meggunakan teknik dua tangan. Teknik pemeriksaan ini
dimulai dari satu

tangan yang meraba kanalis inguinalis yang sebelumnya


sudah diberi jeli. Undesensus testis atau testis ektopik akan
dirasakaan di luar skrotum di bawah jari-jari pemeriksa
selama dilakukan maneuver tersebut. Apabila terdapat
retraktil testis, pada perabaan akan dirasakan pada tangan
yang satunya.

Pemeriksaan fisik penting untuk evaluasi


diagnosis cryptorchidism. Pasien harus diperiksa dalam
lingkungan yang nyaman dan tenang. Observasi skrotum
secara dekat perlu sebelum melakukan manipulasi. Posisi
tungkai-katak atau posisi kateter dapat digunakan untuk
membantu palpasi testis. Penting menentukan apakah
testis dapat dipalpasi. Jika testis dapat dipalpasi, perlu
diketahui dengan pasti retraktibilitas testis. Teknik terbaik
untuk mengevaluasi undescended testis adalah palpasi
mulai pada tingkat kanal inguinalis dan lakukan gerakan
seperti memerah susu kebawah skrotum. Perhatikan
asimetris hemiskrotal dan untuk hipertrofi testikuler
kontralateral; keduanya merupakan sebagian idikator tidak
adanya testis.2,3,6
Gambar: Hypoplasia hemiscrotum kanan pada pasien dengan undescended
testis kanan9.
Pemeriksaan lokasi potensial ektopik seperti penis,
femoral, dan area perinela penting jika testis tidak teraba
pada area inguinal. Pasien-pasien dengan hipospadia dan
cryptorchidism, insiden gangguan differensiasi seksual atau
kondisi interseks lebih tinggi oleh karena itu perlu

13
dilakukan penanganan. Jika pemeriksaan awal masih
meragukan, dianjurkan pemeriksaan ulangan sebelum
merekomendasikan penanganan operasi.3,5,7
Beberapa penulis telah menyelidiki posisi anatomi
dari testis kriptorchid. Cendron dan Duckett
mendokumentasikan posisi testis berdasarkan pemeriksaan
fisik dan membandingkan posisi ini dengan posisi saat
operasi. Hasilnya sebagai berikut:3

• Saat pemeriksaan fisik


o

T
i
d
a
k

t
e
r
p
a
l
p
a
s
i

3
2
.
8
%

D
i
a
t
a
s

t
u
b
e
r
k
e
l

-
1
1
.
8
%

T
u
b
e
r
k
e
l

3
4
.
7
%

D
i
a
t
a
s

s
k
r
o
t
u
m

1
5
.
3
%

E
k
t
o
p
i
k
-

5
.
4
%
• Saat operasi
o

I
n
t
r
a
-
a
b
d
o
m
i
n
a
l

9
%
o

P
e
e
p
i
n
g

t
e
s
t
i
s

2
0
%

T
u
b
e
r
k
e
l

4
2
%

D
i
a
t
a
s

s
k
r
o
t
u
m

-
8
%
o Superficial
kantong
inguinal
(SIP)/ektopik-
12% o Tidak
ada atau atrofi -
9%
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini1,2:

14
DIAGNOSIS BANDING

Seringkali dijumpai testis yang biasanya berada di


kantung skrotum tiba-tiba berada di daerah inguinal, dan
pada keadaan lain kembali ke tempat semula. Keadaan ini
terjadi karena reflex otot kremaster yang terlalu kuat
akibat cuaca dingin, atau setelah melakukan aktivitas
fisik. Hal ini disebut sebagai testis retraktil atau
kriptorkismus fisiologis dan kelainan ini tidak perlu
diobati7.

Selain itu, maldesensus testis perlu dibedakan


dengan anorkismus yaitu testis memang tidak ada. Hal ini
bisa terjadi secara kongenital memang tidak terbentuk testis
atau testis yang mengalami atrofi akibat torsio inutero atau
torsio pada saat neonatus7.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium 10

• Untuk undescended testis unilateral tanpa


hipospadia, tidak diperlukan pemeriksaan
laboratorium.
• nonpalpable testis bilateral berhubungan dengan hipospadia
atau ambiguous genitalia
yang menunjukkan situasi yang mengancam kehidupan. Perlu
dilakukan konsultasi
15
dengan ahli endokrin pediatric dan/atau ahli genetik.
Untuk undescended testis unilateral atau bilateral
dengan hipospadia atau nonpalpable testes bilateral,
diperlukan tes sebagai berikut:
o Tes untuk menyingkirkan
kemungkinan intersexuality
(wajib) o 17-hydroxylase
progesterone
o Testosteron
o Luteinizing hormone (LH)
o Follicle-stimulating hormone (FSH)
o Studi laboratorium selanjutnya tergantung pada hasil
pemeriksaan awal
• Untuk menentukan anorchia pada kasus-kasus
nonpalpable gonad bilateral, dilakukan hal-hal sebagai
berikut:
o Tes LH
o Tes FSH
o Level testosterone sebelum dan sesudah
stimulasi dengan human chorionic gonadotropin (hCG):
peningkatan level gonadotropin basal dan respon testosteron
negatif terhadap stimulasi hCG memberi
kesan congenital bilateral anorchism. Sejumlah
protokol yang ada untuk tes stimulasi hCG, tapi yang paling
banyak dipraktekkan adalah injeksi hCG (100
IU/kg atau 2940 IU/area permukaan tubuh), dengan
evaluasi testosteron 72-96 jam setelah injeksi. Studi
Imaging 10
• Pemeriksaan radiologi untuk lokasi testis saat ini
memberi nilai yang sangat kecil. Keseluruhan akurasi
tes radiologi untuk undescended testis hanya 44%. CT
scan dan ultrasonography angka fals negatifnya tinggi
dalam mengevaluasi nonpalpable testis dan tidak
direkomendasikan. Magnetic resonance angiography
(MRA) sensitiftasnya hampir 100% tapi memerlukan
sedasi dan anestesi yang membutuhkan biaya yang
mahal. Saat ini, memeriksaan ahli urologi pediatri
terbukti lebih bernilai dibanding dengan
ultrasonography, CT scan, atau MRA.
• Ultrasonografi dari traktus urinarius atas telah
diteliti dalam hubungannya dengan embriologik
ureteric bud dan duktus Wolffian.
• USG Abdominal dan pelvic dikombinasi dengan
genitography dapat digunakan bila diduga
interseksualitas.
16
PENATALAKSANAAN

Pada prinsipnya, testis yang tidak berada di skrotum


harus diturunkan ke tempatnya, baik dengan cara
medikamentosa maupun pembedahan. Dengan asumsi
bahwa jika dibiarkan, testis tidak dapat turun sendiri setelah
usia 1 tahun, sedangkan setelah usia 2 tahun terjadi
kerusakan testis yang cukup bermakna, maka saat yang
tepat untuk melakukan terapi adalah pada usia 1 tahun3,4,7.

a. Medikamentosa

Pemberian hormonal pada kriptorkismus banyak


memberikan hasil terutama pada kelainan bilateral,
sedangkan pada kelainan unilateral hasilnya masih belum
memuaskan. Obat yang sering dipergunakan adalah hormone
hCG yang disemprotkan intranasal.

b. Operasi

Operasi masih menjadi penanganan utama


undescent testikuler. Orchidopexy masih menjadi prosedur
yang tepat untuk testis yang masih teraba dengan
pembuluh darah yang adekuat dengan panjang yang cukup.
Testis ini mudah digerakkan pada pedikulus vaskulernya
dan pada vas dengan pembuluh darahnya yang utuh, juga
mempertahankan sirkulasi kontralateral antara testikuler dan
pembuh darah vassal. Panjang tambahan pembuluh darah
dapat dicapai melalui disseksi retroperitoneal tinggi
kearah asal pembuluh darah. Processus vaginalis
dihilangkan tinggi diatas inguinal ring internal, dan testis
kemudian dilewatkan, tanpa tekanan, kedalam kantong
subdartos pada skrotum ipsilateral. Pendekatan
konvensional diambil melalui insisi lipatan kulit groin,
dengan atau tanpa laying open kanal inguinal untuk
mencapai inguinal ring internal dan retroperitoneum.
Pendekatan transkrotum alternatif, dideskripsikan oleh
Bianchi dan Squire (1989), memenuhi beberapa kriteria tapi
kegunaan lebih kearah estetik insisi lapisan kulit skrotum
dan melibatkan sedikit jaringan disseksi, dengan cara ini
juga lebih sedikit nyaman dan operasi yang cocok.
Angka komplikasi kedua pendekatan ini tidak sama.
Komplikasi yang spesifik untuk orchidopexy termasuk:

17
- Kegagalan menempatkan testis dalam skrotum, yang biasanya
disebabkan oleh irisan
yang tidak adekuat dari pedikulus vaskuler testis atau
ketidak tepatan pemilihan prosedur untuk testis
karena pembuluh darah yang pendek.
- dari undescended testikuler, yang terjadi karena pertumbuhan
linear tubuh yang terjadi
secara gradual diikuti fiksasi jaringan ikat dari
fascia spermatic cord pada external inguinal
ring.
- Kerusakan pada pembuluh darah testikuler dapat memicu
terjadinya atrofi, dimana
keadaan ini jarang terjadi secara spontan sebagai alasan intrinsik.
- Kerusakan vassal dan epididimis dapat terjadi saat menangani
epididimis dan vas atau
kemungkinan dari gangguan suplai darah.
penelusuran diperlukan bila terjadi obstruksi atau
pemisahan vas, bisa dilakukan rekonstruksi
microsurgical.4,5,6,7,9

TESTIS DENGAN PEMBULUH DARAH YANG PENDEK


Testis dengan high inguinal dan intra-
abdominal terjadi sebesar 20% undescendent testis.
Kebanyakan memiliki pedikulus vaskuler yang pendek
yang tidak akan memungkinkan testis ditempatkan pada
skrotum. Pilihan operasi yang tersedia adalah:

Multistage Orcidopexy
Dengan atau tanpa lengkungan silastik, prosedur ini
setidaknya melibatkan dua intervensi operasi. Disseksi
melalui jaringan ikat membuat vasal dan pembuluh darah
testikuler mungkin mengalami kerusakan. Walaupun
kadang-kadang sukses, insiden kegagalan atau testikuler
loss perlu dipertimbangkan

Prosedur Fowler-Stephens
Dilakukan pada pembuluh darah testikuler yang
berada retroperitoneal tinggi, konsep Fowler-Stephens
dilandaskan pada sirkulasi kolateral dari pembuluh
darah vasal untuk kehidupan testikuler. Transfer primer
dari testis ke dalam skrotum berhubungan dengan
tingginya insiden atrofi testikuler (50-100 %). Dari sini,
praktek yang paling luas dipakai prosedur Fowler-
Stephen dua stadium dianjurkan menunda transfer testis
ke skrotum pada sirkulasi kolateral yang lebih kuat, tiga
sampai enam bula sesudah interupsi tinggi dari pedikulus
testikuler utama dan dengan tidaka da mobilisasi testikuler
inisial. Interupsi vaskuler dilakukan pada saat operasi
terbuka atau laparoscopic. Walaupun menurun, insiden
atrophy testikuler
18
masih 25% dan itu masih banyak. Tsang dkk (1993)
melakukan studi paternitas pada tikus dan memperlihatkan
tingginya insiden sterilitas meskipun pada testis yang
telah dilakukan pendekatan Fowler-Stephen.
Testis dengan vas yang panjang, berputar
kedalam skrotum dan kembali lagi, dipertimbangkan
ideal untuk prosedur Fowler-Stephen oleh karena
pembentukan sirkulasi kolateral pembuluh darah lebih
baik. Obsevasi klinik hati-hati pada waktu operasi,
sirkulasi kolateral yang dianggap ‘baik’ tidak memberikan
keuntungan yang lebih besar, seperti testis, vas yang panjang
juga perlu perhatian yang sama untuk efektifitas transfer
skrotum.

Microvascular Orchidopexy2,3,6,8
Hal yang sama juga, terlihat pada usaha untuk
melindungi suplay darah penuh pada orchidopexy. Sekali
pedikel testikuler utama dibagi, dan testis telah
dimasukkan kedalam skrotum dengan vas dan
pembuluh darah vasal yang utuh, arteri testikuler dan
vena beranastomosis dengan pembuluh darah epigastrik
inferior, karenanya suplay darah penuh kana kembali ke
organ transfer antara fase iskemia hangat antara 60-120
menit. Orchidopexy microvaskuler membutuhkan
kemampuan spesifik dalam operasi mikrovaskuler.
Pembesaran tinggi dengan mikroskop operasi penting
dilakukan, bila diameter pembuluh darah antara 0.3 dan
1.2 mm. Bagaimanapun juga, arteri dan vena harus
beranastomosis, karena saat kembali ke sirkulasi ‘normal’
akan menjamin survival rate testikuler sebesar 92 %,
untuk aktif secara hormonal, psyco-estetik dari testikuler
dalam skrotum ipsilateral, dengan pertumbuhan sekitar 75-
80 % dari volume saat pubertas.
Studi pada kelinci, membuat Domini dkk (1979)
mengusulkan teknik ‘refluo technique’ hanya untuk
vena. Mereka melihat bahwa alasan mengapa terjadi atrofi
testis setelah prosedur Fowler-Stephens, berhubungan
dengan drainase vena yang tidak cukup. Studi paternalitas
pada tikus yang dilakukan oleh Tsang dkk (1993)
mengkonfirmasi tingginya survival rate testikuler dan
paternity rate sebesar 75 %, dibandingakn dengan hampir
85 % model Fowler-Stephens.
Dari sini, penulis berpendapat bahwa,
bagaimanapum

(tentunya untuk kasus-kasus bilateral), operasi yang ideal


untuk testis intraabdominal dan kanalikular tinggi untuk
pembuluh darah yang pendek yaitu mengembalikan suplay
darah penuh dengan rekonstruksi arteri dan vena dengan
waktu iskemia lebih pendek. Kegagalan disini, anastomosis
vena sendiri mungkin bisa memberikan kemungkinan
survive testis, masih bisa diterima, sedangkan prosedur
Fowler-
Stephen dipertimbangkan hanya sebagai popsisi fallback
dan pada kejadian dimana prosedur lain
19
tidak memungkinkan. Dalam keadaan ini, patut
dipertimbangkan untuk mempertahankan sekurangnya satu
hormonal aktif, tapi steril, testis yang dipalpasi dalam posisi
subkutaneus di area inguinal, lebih sering memberikan
resiko testikuler loss setelah dilakukan prosedur Fowler-
Stephan bilateral. Jika testis kontralateral normalnya
menurun, nubbin ipsilateral lebih baik diangkat. Akan
tetapi, pertimbangan harus diberikan pada testis
hipoplastik atau kecil yang masih tersisa yang berpotensi
hormonal aktif, ditempatkan dalam kantong subkutaneus
dan kemungkinan mempertimbangkan orchidectomy sesudah
pubertas komplet

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan tujuan


operasi pada kriptorkismus adalah: (1) mempertahankan
fertilitas, (2) mencegah timbulnya degenerasi maligna,
(3) mencegah kemungkinan terjadinya torsio testis, (4)
melakukan koreksi hernia, dan (5) secara psikologis
mencegah terjadinya rasa rendah diri karena tidak
mempunyai testis. Operasi yang dikerjakan orchidopexy
yaitu meletakkan testis ke dalam skrotum dengan
melakukan fiksasi pada kantung subdartos.Beberapa
penelitian juga menyebutkan alasan kosmetik dan juga
untuk perlindungan. Testis yang tidak berada di tempatnya
yaitu di skrotum akan lebih mudah mengalami trauma dan hal
ini dapat mengganggu aliran darah yang. Selain itu dari segi
kosmetik, skrotum akan tampak normal apabila dilihat dari
luar.
20
KONSEKUENSI KRIPTORKISMUS8

1. Infertilitas

Efek dari kriptorkismus dijelaskan dalam


beberapa penelitian. Dalam hal ini kaitannya
dengan infertilitas. Cortes et al (2001) melaporkan
bahwa hitung sperma dilaporkan normal pada rata-
rata 20% pria dengan riwayat kriptorkismus
bilateral dan sekitar 80 % pada pria dengan riwayat
kriptorkismus unilateral. Pada penelitian yang
hampir sama juga disimpulkan bahwa kejadian
infertilitas dapat terjadi pada pasien dengan
undesensus testis walaupun telah menjalani operasi
orchidopexy.
Grasso (1991) pada penelitiannya mengenai
fertilitas pada 91 pasien dengan kriptorkismus
unilateral yang telah menjalani orchidopexy,
diperoleh hasil yaitu 83,5% dari pasien mengalami
azoospermia atau oligospermia.

Penelitian lain menyimpulkan bahwa laki-


laki dewasa postpubertal dengan kriptorkisme
unilateral, beresiko terjadinya malignancy di masa
mendatang (hanya 1 dari
52 orchiektomy yang dilakukan menunjukkan
spermatogenesis normal dan dua pasien yaitu sekitar
4 % meenjadi carcinoma in situ pada testis. 15 %
dari laki-laki dengan kriptorkismus unilateral, dalam
jangka waktu 4 dan 14 tahun ditemukan aoosperma
dan
21
sekitar 30%bdinyatakan oligospermia. Laki-laki
dengan kriptorkismus unilateral memiliki
gambaran sperma yang sama pada pemeriksaan
spermiogram. Menurut Cortes dan Thorup (1991),
yang mengevaluasi anak laki-laki dengan undesensus
testis bilateral melalui biopsi menemukan bahwa
gambaran histologi memiliki korelasi positif
terhadap densitas sperma. Hasil yang lain
menunjukkan bahwa pasien dengan undesensus testis
memiliki hasil yang buruk dari analisis semen pada
sperma. Pada 75% pasien dengan kriptorkismus
unilateral memiliki gambaran histologi yang buruk.
Hal ini penting untuk diingat pada era teknologi
dimana biopsi digunakan, menunjukkan hasil bahwa
banyak anak-anak yang berhasil diterapi dengan
pembedahan (orchidopeksi), yaitu pada umur rata-
rata 6 bulan.

Fertilitas pada laki-laki dengan riwayat


kriptorkismus, secara signifikan lebih
dipertimbangkan pada laki-laki dengan bilateral
(53%) kriptorkismus bukan kriptorkismus
unilateral (75%). Fertilitas tidak berhubungan dengan
umur saat dilakukan orchiopeksi. Pada penelitian
terbaru lebih dari 90% laki-laki dengan undesensus
testis unilateral menunjukkan fertilitas. Namun,
hanya 33% sampai 65% laki-laki dengan
undesensus testis bilateral yang memilki anak.
Seperti yang telah diuraikan di atas,
undesensus testis dalam hal ini dapat
menyebabkan infertilitas. Terjadi kelainan pada
testikuler, yaitu pada proses spermatogenesisnya.
Akibat testis tidak turun ke dalam kantung skrotum
maka proses spermatogenesis akan terganggu. Oleh
karena itu kejadian undesensus testis harus
mendapat perhatian penuh, karena menyangkut
masalah infertilitas. Testis yang tidak berada pada
tempat yang seharusnya, yaitu di skrotum akan dapat
menimbulkan bahaya apalagi letaknya di dalam
abdomen2,4.

Kriptorkismus berhubungan dengan


penurunan produksi sperma. Hal ini dapat terjadi
baik pada yang unilateral maupun bilateral.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pria
dengan sperma yang abnormal dapat dijumpai pada
30% pria dengan kriptorkismus unilateral dan 50 %
pada pria dengan undesensus testis bilateral. Dan hal
ini menunjukkan bahwa anak laki-laki dengan
riwayat kriptorkismus unilateral memiliki resiko
yang tinggi untuk masalah fertilitasnya di kemudian
hari3.

22
Spermatogenesis Abnormal dan Fertilitas Pria

Epitel tubulus seminiferus dapat


dihancurkan oleh sejumlah penyakit. Sebagai contoh,
orchitis bilateral yang disebabkan oleh mumps
menyebabkan sterilitas dalam persentase yang besar
pada banyak pria yang terkena. Juga banyak bayi pria
lahir dengan epitel tubulus yang berdegenerasi
sebagai akibat striktur dalam duktus genitalia atau
sebagai akibat abnormalitas genetic. Akhirnya,
penyebab sterilitas, yang biasanya temporer, adalah
suhu yang berlebihan pada testis. Peningkatan suhu
pada testis dapat mencegah spermatogenesis dengan
menyebabkan degenerasi sebagaian besar sel-sel
tubulus seminiferus di samping spermatogenia5.

Hal ini sering dikatakan bahwa alasan testis


terletak di dalam kantong skrotum adalah untuk
mempertahankan suhu kelenjar ini di bawah suhu
tubuh, walaupun biasanya hanya kira-kira 20 C di
bawah suhu bagian dalam tubuh. Pada hari yang
dingin, reflex skrotum menyebabkan otot-otot
skrotum berkontraksi, menarik testis mendekat ke
tubuh, sementara di hari yang hangat otot-otot testis
menjadi hampir relaksasi total sehingga testis
tergantung agak jauh dari tubuh. Jadi, skrotum
secara teoritis bekerja sebagai suatu mekanisme
pendingin bagi testis (tetapi sebagai suatu pengatur
pendinginan), yang tanpanya spermatogenesis
dikatakan menjadi berkurang selama cuaca panas5.

Kriptorkidisme berarti gagalnya testis turun


dari abdomen ke dalam skrotum. Selama
perkembangan janin pria, testis berasal dari tabung
genital dalam abdomen. Akan tetapi, kira-kira 3
minggu sampai 1 bulan sebelum kelahiran bayi,
normalnya testis turun melalui kanalis inguinalis ke
dalam skrotum. Kadang-kadang, penurunan ini tidak
terjadi, atau terjadi tidak sempurna, sehingga salah
satu atau kedua testis tetap berada dalam abdomen,
dalam kanalis inguinalis, atau di tempat lain sepanjang
jalur penurunannya5,6.

Testis yang tetap berada dalam rongga


abdomen sepanjang hidup tidak mempunyai
kemampuan untuk membentuk sperma. Epitel
tubulus berdegenerasi, hanya meninggalkan struktur
interstitial testis. Sering menjadi keluhan, bahkan
suhu dalam abdomen yang hanya beberapa derajat
lebih tinggi dari suhu skrotum sudah cukup untuk
menyebabkan degenerasi epitel tubulus, dan sebagai
akibatnya timbul sterilitas. Meskipun demikian,
karena alasan tersebut, tindakan operasi untuk
mengembalikan testis yang

23
mengalami kriptorkid dari rongga abdomen ke dalam
skrotum sering dilakukan sebelum awal kehidupan
seksual dewasa pada anak pria yang mengalami testis
tidak turun ke dalam skrotum5,6.

Sekresi testosterone oleh testis janin itu


sendiri merupakan stimulus normal yang
menyebabkan testis turun ke dalam
skrotum dari abdomen. Bila tidak
keseluruhan,misalnya kriptorkidisme yang disebabkan
oleh kelainan pembentukan testis
yang tidak mampu untuk menyekresi cukup
testosteron maka tindakan operasi untuk
kriptorkidisme pada kasus ini sepertinya tidak berhasil
dengan baik 5,7.

Pengaruh Testosteron yang Menyebabkan Desensus Testis

Testis biasanya turun ke dalam skrotum selama


2- 3 bulan terakhir masa kehamilan, ketika testis
menyekresi sejumlah testosterone yang cukup. Bila janin
pria lahir disertai testis yang tidak turun, tetapi testisnya
normal, maka penyuntikan testosterone dapat menyebabkan
testis turun dengan cara yang lazim bila kanalis inguinalis
cukup besar untuk dilalui oleh testis5.

Pemberian hormone gonadotropin yang dapat


merangsang sel-sel Leydig testis dari anak yang baru
lahir untuk menghasilkan testosterone, dapat juga
menyebabkan testis turun. Sehingga, rangsangan untuk
turunnya testis adalah testosterone yang kembali
menandakan bahwa testosterone adalah hormone yang
penting utnuk perkembangan seksual pria selama masa
kehidupan janin5.

Hormon hCG dan Pengaruhnya pada Testis Fetus

Selama kehamilan, masih ada satu jenis hormone


yang disekresikan oleh plasenta dan bersirkulasi pada ibu
dan fetus, yaitu hormone hCG. Hormon ini mempunyai
pengaruh yang hampir sama terhadap organ-organ kelamin
seperti halnya dengan LH5.

Selama kehamilan, bila fetus berkelamin pria,


hCG dari plasenta akan menyebabkan testis
menyekresikan testosterone. Testosterone ini sangat
diperlukan untuk memacu pembentukan organ kelamin
pria5.

2. Neoplasia

24
Anak dengan undesensus testis mengalami
peningkatan resiko keganasan testis. Tumor testis
biasanya berkembang selama masa pubertas,
walaupun beberapa penelitian menyatakan tumor
berkembang sebelum usia 10 tahun. Rata-rata 10%
dari tumor testis berasal dari undesensus testis.
Insiden tumor testis pada populasi umum adalah satu
dari 100.000 populasi dan insiden tumor germsel
pada laki-laki dengan kriptorkismus adalah
1 : 2.550. Ini menunjukkan bahwa resiko relative
menjadi 40 kali lebih besar. Indikasi orchiopeksi
secara teori adalah untuk mendeteksi lebih dini
keganasan.

Di India 14% pasien dewasa dengan tumor


germsel primer dari testis ditemukan memiliki
riwayat kriptorkismus. Testicular cancer study
group menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan antara cancer testis dengan undesensus
testis dan hernia inguinal. Dari beberapa penelitian
disimpulakn bahwa orchiopeksi pada umur yang
lebih muda dapat mengurangi resiko keganasan.
Di samping itu juga ditemukan bahwa
peningkatan resiko terjadinya tumor berhubungan
dengan pubertas yang awal dan latihan fisik yang
kurang.

Lokasi dari undesensus testis juga


mempengaruhi perkembangan tumor. Semakin tinggi
posisi undesensus testis semakin besar resiko
berkembangnya keganasan. Hampir setengah dari
tumor berkembang melalui undesensus testis yang
terjadi di abdominal. Tumor yang paling sering
berkembang dari undesensus testis adalah
seminoma. Prevalensi karsinoma insitu adalah 1,7%
pada pasien yang kriptorkismus.

3. Hernia

Prosesus vaginalis yang paten ditemukan


pada lebih dari 90% pasien dengan undesensus
testis. Prosesus normalnya menutup pada periode
setelah penurunan testis secara lengakap dan pada
bulan pertama setelah kelahiran. Insiden
penurunan testis adalah 49,5% pada pasien dengan
prosesus vaginalis yang normal.

4. Torsio testis

Torsio spermatic cord dan infark testis telah


dilaporkn terjadi pada bayi dengan kriptorkismus
bilateral. Selain itu Riyegler (1972) menyatakan
bahwa 64% pada pasien dewasa dengan torsio pada
undesensus testis memiliki kaitan dengan tumor germ
sel.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Cooper, Christoper S., 2006. Undescended Testicle


(Cryptorchisdism). University of Iowa: Departement of
Urology

2. Docimo, Steven G., Richard I. Silver, et al., 2000. The


Undescended Testicle:
Diagnosis and Management. Am Fam Physician 2000: 62: 2037-
44, 2047-8
3. Emil A., Tanago, et al., 2004. Smith`s General
Urology 16th Edition. New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill.Medical Publishing Division

4. Gleason, Philip E., 2005. Undescended Testicle.


United States: Pediatric Urology Departement

26
5. Guyton and Hall, 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:
EGC

6. Leeson, 1996. Buku Ajar Histologi - Sistem Reproduksi Pria.


Jakarta: EGC

7. Purnomo, B.Basuki, 2003. Dasar-Dasar Urologi Edisi


Kedua. Jakarta: Sagung Seto

8. Belinger, Mark F., dan Francis X. Schnech., 2007.


Abnormalities of The Testes and Srcotum and Their
Surgical Management. Saunders: Pennsylvania

9. Brayfield MP. Cryptorchidism. Emedicine specialist. Pediatric


surgery, urology. HIMA-San
Pablo, San Juan. September, 2009. Available
at. http://emedicine.
medscape.com/article/1017420

10. Warner BW. Pediatric Surgery. Genitourinary.


Towsend: Sabiston textbook of Surgery, 18th ed.
Saunders. 2007. Chapter 17.
27
28

Anda mungkin juga menyukai