BAB I
PENDAHULUAN
cavum nasi. Sinus paranasal dapat digolongkan dalam 2 golongan besar sinus
paranasalis, yaitu golongan anterior sinus paranasalis, yaitu sinus frontalis, sinus
ethmoidalis anterior, dan sinus maksilaris. Golongan posterior sinus paranasalis,
yaitu sinus ethmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis.2
Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli radiologi dapat
memberikan gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan pada sinus
paranasalis dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis
yang lebih dini. Pada beberapa rumah sakit/klinik di Indonesia untuk
mengevaluasi sinus paranasal cukup melakukan pemeriksaan foto kepala AP dan
lateral serta posisi Waters. Apabila pada foto di atas belum dapat menentukan atau
belum diperoleh infomasi yang lengkap, baru dilakukan pemotretan dengan
posisi-posisi yang lain. Semua pemeriksaan harus dilakukan dengan proteksi
radiasi yang baik, arah sinar yang cukup teliti dengan focal spot yang kecil (0,6
mm atau lebih kecil). Posisi pasien yang paling baik adalah posisi duduk.1
3
Sinus Maksila
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah
5
1. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi
rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-
kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi
tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi
mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya terantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus
melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari
sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada
daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitus. jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata
9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior
yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya
kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media,
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih
sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka
media.
tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang
sinus etmoid posterior berbatsan dengan sinus sfenoid.
Sinus Sfenoid
2. Fisiologi
Volume pertukaran udara dalam sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus
pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk
pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak
mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas, melindungi
orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan
tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung
dan organ-organ yang melindungi.
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya
akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala,
sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.
B. Definisi Sinusitis
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil,
polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,
sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan
imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagener.1
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhakan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan
foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok.
Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merussak silia. 1
D. Klasifikasi
zat yang berfungsi sebagai pertahan terhadap kuman yang masuk bersama
udara pernafasan.
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem,
sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini
menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga menyebabkan
tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif didalam
rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan
drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous
yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa
pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus
ini akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri,
dan sekret akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut
bakterialis yang membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat
maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob
akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik
dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.
F. Penegakan Diagnosa
a) Manifestasi klinis
Keluhan utama rhinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai
nyeri/ rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke
tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam
dan lesu. Keluhan nyeri/ rasa tekanan di daerah sinus yang terkena
merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa
di tempat lain (reverred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksilla,
nyeri diantara/ dibelakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid,
nyeri di dahi/ seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis
splenoid, nyeri dirasakan di vertex, oksipital, belakang bola mata dan
daerah mastoid. Pada sinusitis maksilla kadang-kadang ada nyeri alih ke
gigi dan telinga. 1
10
b) Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior
dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk
diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus
medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di
meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid).1
Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak
sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto
polos posisi waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai
kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan
terlihat perselubungan, bartas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan
mukosa.1
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi
dilakukatransluminasin dengan mengambil sekret dari meatus medius/
superior,untuk mendapatkan antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi
bila diambil sekret yang keluar dari sinus maksila. Sinuskopi dilakukan
dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus
11
inferior, dengan alat endoskop bias kondisi sinus maksila yang sebenarnya,
selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.1
1. Pemeriksaan fisik.
Inspeksi
Yang diperhatikan adalah adanya pembengkakkan pada muka.
Pembengkakkan di pipi sampai kelopak mata bawah yang bewarna
kemerah-merahan mungkin menunjukkan adanya sinusitis maksilla
akut. Pembengkakkan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan
sinusitis frontal akut. Sinusitis etmoid akut jarang menunjukkan
pembengkakkan diluar kecuali jika sudah terbentuk abses.1
Palpasi
Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya
sinusitis maksilla. Pada sinusitis fronbtal terdapat nyeri tekan di
dasar sinus frontal, yaitu pada bagian medial atap orbita. Sinusitis
etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius.1
Transiluminasi
Mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk
meriksa sinus maksilla dan frontal, bila pemeriksaan radiologi
tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan transiluminasi tampak gelap
di daerah infra orbita maka mungkin antrumterisi oleh pus
ataumukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam
antrum. Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksilla akan
tampak terang pada pemeriksaan transiluminasi sedangkan pada
foto rontgen tampak adanyan perselubungan berbatas tegas di
dalam sinus maksilla.1
G. Teknik Pemeriksaan Radiologis Sinus Paranasal
Gambar 5. Posisi
Foto Caldwell
3) Foto Lateral
POSISI PASIEN :
Prosedur Pemeriksaan
a. Persiapan Pasien
Persiapan pasien untuk pemeriksaan CT-Scan SPN adalah sebagai berikut :
1. Semua benda metalik harus disingkirkan dari daerah yang diperiksa, termasuk
anting, kalung, dan jepit rambut.
16
c. Teknik Pemeriksaan
Pemeriksaan CT-Scan SPN dengan kasus sinusitis menggunakan dua jenis
potongan , yaitu potongan aksial dan potongan coronal.
1. Potongan Aksial
a) Posisi pasien : pasien berbaring supine di atas meja pemeriksaan. Kedua
lengan di samping tubuh, kaki lurus ke bawah dan kepala berada di
atas headrest(bantalan kepala ). Posisi pasien diatur senyaman mungkin.
b) Posisi objek : kepala diletakkan tepat di terowongan gantry, mid sagital
plane segaris tengah meja. Mid aksial kepala tepat pada sumber
terowongan gantry.
2. Potongan Coronal
Potongan coronal merupakan teknik khusus.
17
Penebalan mukosa
Aif fluid level
Perselubungan homogeny atau inhomogen pada satu/lebih sinus paranasal
Penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronis)
19
Hal-hal yang mungkin terjadi pada kasus-kasus tersebut adalah kiista retens
yang luas. Kista ini terbentuk dari kelenjar-kelenjar mucus sekresi yang tersumbat
pada mukosa yang terdapat di dingdning sinus. Biasanya frekuensi terbesar terjadi
pada sinus maxilaris. Bentuk konvex( bundar), licin , homogeny. Apabila kista ini
makin lama mkain membesar maka dapat menyeabkan gambaranb air fluid level.
Pemeriksaan dengan kasus ini, dibuat dengan dua jenis potongan yaitu
aksial dan coronal. Pada potongan aksial, pasien diposisikan telentang pada meja
pemeriksaan dengan MSP tubuh dan kepala segaris dengan tengah meja.
Kemudian dilakukan pengaturan parameter CT-Scan Sinus Paranasal yaitu dengan
range sinus frontalis hingga sinus maksilaris, slice thickness sebesar 5 mm dan
merotasikan gantry hingga sejajar dengan dasar palatum.
Pada potongan coronal, pasien diposisikan prone di meja pemeriksaan
dengan kepala tegak dan hiperekstensi sebisa mungkin. Kemudian dilakukan
pengaturan parameter CT-Scan Sinus Paranasal yaitu dengan range posterior sinus
sphenoidalis hingga sinus maksilaris,slice thickness sebesar 3 mm dan
merotasikan gantry hingga sejajar tulang-tulang wajah. Potongan coronal dibuat
dengan tujuan agar air-fluid level tampak lebih jelas dan menampakkan
21
I. Penatalaksanaan
J. Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak
ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis
akut atau pada sinusitis kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi
orbita atau intracranial.1
1. Kelainan orbita
Disebabkan oleh kelainan sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata atau orbita. Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian
sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui
tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah
edema palpebra, selulitis orbita, abses periosteal, abses subperiostal,
abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus
kavernosus.1
2. Kelainan intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak,
dan thrombosis sinus kavernosus.1
Komplikasi juga dapat terjadipada sinusitis kronis, berupa:
1. Osteomielitis dan abses subperiostal.
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan
pada anak-anak. Pada osteomielitis sinusmaksila dapat timbul fistula
oroantral atau fistula pada pipi.1
2. Kelainan paru.
Bronchitis kronik dan bronkiektasis yaitu adanya kelainan sinus
paranasal disertai dengan kelainan paru. Ini disebut dengan
sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma
bronchial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.1
K. Prognosis
23
Sinusitis Dentogen
Merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar
sinus maksilla adalah proseccus alveolaris tempat akar gigi rahang atas,
sehingga rongga sinus maksilla hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan
akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi
rahang atas seperti infeksi apical akar gigi/ inflammasai jaringan
periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus atau melalui
pembuluh darah dan limfe.1
Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang
mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan nafas berbau busuk. Untuk
mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut/ dirawat dan
pemberian antibiotic yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali juga
diperlukan irigrasi sinus maksilla.1
Sinusitis Jamur
Angka kejadiannya meningkat dengan meningkatnya pemakaian
antibiotic, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan, dan radioterapi.
Kondisi yang merupakan predisposisinya antara lain diabetes mellitus,
neutropenia, penyakit AIDS, dan perawatan yang lama di rumah sakit.
Jenis jamur yang paling sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah
spesies aspergilus dan kandida. Perlu diwaspadai adanya sinusitis jamur
pada kasus sebagai berikut:1
1. Sinusistis unilateral, yang sukar disembuhkan dengan terapiantibiotik.
2. Adanya gambaran kerusakan tulang dinding sinus atau bila ada
membrane berwarna putih keabu-abuan pada irigasi antrum.
Sinusitis jamur dibagi menjadi invasive akut fulminan dan invasive
kronik indolen. Sinusitis jamur invasive akut, ada invasi jamur ke jaringan
dan vascular. Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol,
pasien imunosupresi seperti leukemia atau neutropenia, pemakaian steroid
lama dan terapi imunosupresan. Imunitas yang rendah dan invasi
pembuluh darah menyebabkan penyebaran jamur sangat cepat dan dapat
merusak dinding sinus, jaringan orbita dan sinus kavernosus. Di kavum
24
nasi, mukosa berwarna biru-kehitaman dan ada mukosa konka atau septum
yang nekrotik. Sering berakhir dengan kematian.1
Sinusitis jamur invasive kronik biasanya terjadi pada pasien
dengan gangguan imunologik atau metabolic seperti diabetes. Bersifat
kronis progresif dan bias juga menginvasi sampai ke orbita atau
intracranial, tetapi gambaran klinisnya tidak sehebat bentuk fulminan
karena perjalanan penyakitnya lebih lambat. Gejalanya seperti sinusitis
bacterial, tetapi secret hidungnya kental dengan bercak-bercak kehitaman,
dan bila dilihat dengan mikroskop akan terlihat koloni jamur.1
Sinusitis jamur noninvasive atau misetoma, merupakan kumpulan
jamur dalam rongga sinus tanpa invasi ke dalam mukosa dan tidak
mendestruksi tulang. Sering mengenai sinus maksila. Gejala klinis
menyerupai sinusitis kronis berupa rinorea purulen, post nasal drip, dan
nafas berbau tidak sedap. Kadang-kadang ada masa jamur juga di kavum
nasi. Pada operasi bias ditemukan materi jamur berwarna coklat,
kehitaman, dan kotor dengan atau tanpa pus dalam sinus.1
Terapi untuk sinusitis jamur invasive ialah pembedahan,
debridement, anti jamur sistemik, dan pengobatan terhadap penyakit
dasarnya. Obat standar ialah amfotericinB, bias ditambahkan Rifampicin,
atau Flusitosin agar lebih efektif. Pada misetoma hanya perlu terapi bedah
untuk membersihkan massa jamur, menjaga drainase dan ventilasi sinus.
Tidak diperlukan anti jamur sistemik.1
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
25
Infeksi pada sinus paranasal sangat sering terjadi dengan gejala klinis yang
nyata. Yang paling sering adalah rhinitis dan sinusitis sebagai komplikasi. Pada
foto sinus paranasal akan tampak sedikit perubahan pada sinus. Sinusitis bakterial
yaitu terjadinya infeksi dari sinus ke sinus yang menyebabkan ostium sinus
tersumbat diikuti dengan pembentukan sekret yang berlebihan. Hal ini sering
terjadi asimetris dimana satu sinus atau lebih dari satu sinus secara unilateral
terserang. Bila sisi kontralateral terserang, sering terlihat asimetris dalam
tingkatan atau lokasi anatomis. Sebagai pembanding, apabila pada sinusitis
alergika daerah sinus paranasal yang terserang selalu simetris, biasanya disertai
poliposis nasal.
1. penebalan mukosa
2. air fluid level (kadang-kadang)
3. perselubungan homogen pada satu atau lebih sinus paranasal
4. penebalan dinding sinus dengan sleklerotik (pada kasus-kasus kronik)
DAFTAR PUSTAKA