Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I
PENDAHULUAN

Tengkorak manusia selain terdiri dari tulang-tulang wajah juga memiliki


rongga-rongga udara yang dikenal sebagai sinus paranasal. Sinus paranasal ada
empat bagian, dan terdapat di tulang wajah antara lain sinus frontalis pada os
frontalis, sinus ethmoidalis pada os ethmoidalis, sinus sphenoidalis pada os
sphenoidalis pada os sphenoidalis dan sinus maxillaris pada os maxilla.1
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada setelah anak
lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dan sinus etmoid anterior pada anak
yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia
8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus
ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun.1
Sinus paranasal adalah ruangan atau rongga yang berada pada tulang tengkorak.
Rongga ini berisi udara yang berfungsi untuk meringankan berat kepala, sehingga
pada saat seseorang terserang influenza maka kepala penderita akan terasa berat
karena peradangan pada rongga sinus yang berisi cairan. Fungsi lain dari sinus ini
adalah untuk memperkeras suara pembicaraan. Jalur udara pada sinus-sinus
tersebut akan meresonansi suara selama produksi suara berlangsung.1
Pada pasien-pasien dengan keluhan klinis khas yang mengarah pada
dugaan adanya sinusitis, antara lain pilek-pilek kronik, nyeri kepala kronik, nyeri
kepala satu sisi (kanan atau kiri), nafas berbau, atau kelainan-kelainan pada sinus
paranasal misalnya: mukokel, pembentukan cairan dalam sinus-sinus, atau tumor,
trauma sekitar sinus paranasils, diperlakukan informasi mengenai keaddaan sinus
tersebut.2
Gangguan aliran ini karena berbagai sebab akan menyebabkan
penumpukan lendir di rongga sinus, jika terinfeksi oleh kuman akan menyebabkan
infeksi sinus yang disebut sinusitis. Sinus paranasal terdiri dari sinus frontalis,
ethmoidalis, sfenoidalis dan maksilaris. Sinus – sinus ini bermuara ke dalam
2

cavum nasi. Sinus paranasal dapat digolongkan dalam 2 golongan besar sinus
paranasalis, yaitu golongan anterior sinus paranasalis, yaitu sinus frontalis, sinus
ethmoidalis anterior, dan sinus maksilaris. Golongan posterior sinus paranasalis,
yaitu sinus ethmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis.2
Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli radiologi dapat
memberikan gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan pada sinus
paranasalis dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis
yang lebih dini. Pada beberapa rumah sakit/klinik di Indonesia untuk
mengevaluasi sinus paranasal cukup melakukan pemeriksaan foto kepala AP dan
lateral serta posisi Waters. Apabila pada foto di atas belum dapat menentukan atau
belum diperoleh infomasi yang lengkap, baru dilakukan pemotretan dengan
posisi-posisi yang lain. Semua pemeriksaan harus dilakukan dengan proteksi
radiasi yang baik, arah sinar yang cukup teliti dengan focal spot yang kecil (0,6
mm atau lebih kecil). Posisi pasien yang paling baik adalah posisi duduk.1
3

A. Anatomi dan Fisiologi Sinus


1. Anatomi
Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi
hidung. Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut: Sinus frontal kanan dan
kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila
kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua
sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung,
berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-
masing.
Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior
dan konka inferior rongga hidung terdapat sesuatu celah sempit yaitu hiatus
semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid
anterior.
Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang
bulan IV dan tetap berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran
jika pada foto rontgen anak-anak belum ada sinus frontalis karena belum
terbentuk.
Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sfenoid.
4

Gambar 1. Anatomi Sinus

Gambar 2. Anatomi Sinus Paranasal

 Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir


sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan
cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.

Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah


permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya
ialah dinding lateral rongga hidung dinding superiornya adalah dasar
orbita dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium
sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum etmoid.

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah
5

1. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi
rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-
kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi
tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi
mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.

2. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.

3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya terantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus
melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari
sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada
daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitus. jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata
9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior
yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya
kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media,
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih
sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka
media.

Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit,


disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid
yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu
penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus
maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sisnusitis maksila.

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan


lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat
6

tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang
sinus etmoid posterior berbatsan dengan sinus sfenoid.

 Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid


posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalag 2 cmn tingginya, dalamnya 2.3 cm dan
lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nerbus di bagian lateral os sfenoid akan
menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai
indentasi pada dinding sinus etmoid.

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan


kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral
berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak
sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa
serebri posterior di daerah pons.

2. Fisiologi

Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam.


Berdasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari sinus paranasal adalah sebagai
barier pada organ vital terhadap suhu dan bunyi yang masuk. Jadi sampai saat
ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologis sinus paranasal.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara
lain adalah:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata
tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga
hidung.
7

Volume pertukaran udara dalam sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus
pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk
pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak
mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas, melindungi
orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan
tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung
dan organ-organ yang melindungi.
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya
akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala,
sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.

d. Membantu resonansi udara


Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi
sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai
resonator yang efektif. Tidak ada kolerasi antara resonansi suara dan
besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
e. Sebagai produksi mukus
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. Mukus yang dihasilkan
oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan
mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel
yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari
meatus medius, tempat yang paling strategis.

B. Definisi Sinusitis

Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal yang dapat berupa


sinusitis maksilaris, sinusitis edmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid.

C. Etiologi dan Faktor Predisposisi


8

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil,
polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,
sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan
imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagener.1
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhakan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan
foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok.
Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merussak silia. 1

D. Klasifikasi

Consensus internasional tahun 1995 membagi rhinosinusitis hanya akut


dengan batas sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu.
Consensus tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4
minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3
bulan. Sinusitis kronik dengan penyebab rhinogenik umumnya merupakan
lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada dinusiotis
kronik adanya factor predisposisi harus dicari dan diobati secara tuntas.1
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada
sinusitis akut adalah Streptococcus pneumonia (30-50%). Hemophylus
influenza (20-40%) dan moraxella catarrhalis (4%). Pada anak, m. catarrhalis
lebih banyak ditemukan 20%. Pada sinusitis kronik, factor predisposisi lebih
berperan, tetapi umumnya bakteri yang ada lebih condong kea rah bakteri
negative gram dan anaerob.1
E. Patofisiologi Sinusitis
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar didalam kompleks osteo meatal (KOM).
Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-
9

zat yang berfungsi sebagai pertahan terhadap kuman yang masuk bersama
udara pernafasan.
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem,
sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini
menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga menyebabkan
tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif didalam
rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan
drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous
yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa
pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus
ini akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri,
dan sekret akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut
bakterialis yang membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat
maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob
akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik
dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.

F. Penegakan Diagnosa

a) Manifestasi klinis
Keluhan utama rhinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai
nyeri/ rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke
tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam
dan lesu. Keluhan nyeri/ rasa tekanan di daerah sinus yang terkena
merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa
di tempat lain (reverred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksilla,
nyeri diantara/ dibelakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid,
nyeri di dahi/ seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis
splenoid, nyeri dirasakan di vertex, oksipital, belakang bola mata dan
daerah mastoid. Pada sinusitis maksilla kadang-kadang ada nyeri alih ke
gigi dan telinga. 1
10

Gejala lain adalah sakit kepala, hipoosmia/ anosmia, halitosis, post


nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan
sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang
hanya satu/ dua dari gejala-gejala di bawah ini yaitu sakit kepala kronik,
post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorokan, gangguan telinga
akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius, gangguan paru seperti
bronchitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalah
serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus
yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.1

b) Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior
dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk
diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus
medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di
meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid).1
Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak
sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto
polos posisi waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai
kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan
terlihat perselubungan, bartas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan
mukosa.1
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi
dilakukatransluminasin dengan mengambil sekret dari meatus medius/
superior,untuk mendapatkan antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi
bila diambil sekret yang keluar dari sinus maksila. Sinuskopi dilakukan
dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus
11

inferior, dengan alat endoskop bias kondisi sinus maksila yang sebenarnya,
selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.1

1. Pemeriksaan fisik.
 Inspeksi
Yang diperhatikan adalah adanya pembengkakkan pada muka.
Pembengkakkan di pipi sampai kelopak mata bawah yang bewarna
kemerah-merahan mungkin menunjukkan adanya sinusitis maksilla
akut. Pembengkakkan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan
sinusitis frontal akut. Sinusitis etmoid akut jarang menunjukkan
pembengkakkan diluar kecuali jika sudah terbentuk abses.1
 Palpasi
Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya
sinusitis maksilla. Pada sinusitis fronbtal terdapat nyeri tekan di
dasar sinus frontal, yaitu pada bagian medial atap orbita. Sinusitis
etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius.1
 Transiluminasi
Mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk
meriksa sinus maksilla dan frontal, bila pemeriksaan radiologi
tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan transiluminasi tampak gelap
di daerah infra orbita maka mungkin antrumterisi oleh pus
ataumukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam
antrum. Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksilla akan
tampak terang pada pemeriksaan transiluminasi sedangkan pada
foto rontgen tampak adanyan perselubungan berbatas tegas di
dalam sinus maksilla.1
G. Teknik Pemeriksaan Radiologis Sinus Paranasal

Pada pasien-pasien dengan keluhan klinis yang mengarah pada


dugaan adanya sinusitis, antara lain pilek-pilek kronis, nyeri kepala kronik,
nyeri kepala satu sisi, napas berbau atau kelainan-kelainan lain pada sinus
paranasal, misalnya mukokel, pembentukan cairan atau sinus-sinus, atau
tumor, trauma sekitar sinus paranasal, diperlukan informasi mengenai
keadaan sinus tersebut. Pemeriksaan radiologis merupakan salah satu
12

pemeriksaan yang sering dilakukan untuk membantu menegakkan


diagnosis kelainan pada sinus paranasal. Pemeriksaan radiologis untuk
mendapatkan informasi dan untuk mengevaluasi sinus paranasal adalah :
1. Pemeriksaan foto Sinus Paranasl
2. Pemeriksaan CT scan.

 Pemeriksaan Foto Sinus Paranasal


Teknik radiografi sinus paranasal yang rutin digunakan untuk kasus sinusitis pada
sinus maksilaris ada 2:

1. Proyeksi Parietoacantial (Water’s Method)


POSISI PASIEN : Pasien duduk menghadap bucky stand, kedua tangan berpegangan
dibucky

 MSP kepala harus perpendicular terhadap kaset;


 Aturlah kepala (ekstensikan) sehingga MML tegak lurus terhadap kaset
 OML membentuk sudut 37 derajat terhadap kaset
KRITERIA GAMBARAN :

 Sinus Maxilaris dan Fossa Nasalis tampak


 Orbita dan sinus maxilaris simetris
 Jarak antara batas lateral tengkorak dan batas lateral orbita sama
 Petrous bagian inferior terproyeksi dibawah sinus maxilaris
 Tampak marker R/L
13

Gambar 4. Proyeksi Waters sinus Paranasal

2) Foto AP (Posisi Caldwell)

Foto ini diambil dengan posisi kepala menghadap kaset, bidang


midsagital kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film tampak pyramid
tulang petrosum diproyeksi pada 1/3 bawah orbita atau pada dasar orbita. Hal
ini dapat tercapai apabila orbito-meatal line tegak lurus pada film dan sentrasi
membentuk sudut 15° kaudal. Baik untuk melihat sinus frontalis dan etmoid.
14

Gambar 5. Posisi
Foto Caldwell

Gambar 6. Posisi Caldwell

3) Foto Lateral

POSISI PASIEN :

 Pasien duduk menghadap bucky stand, kedua tangan berpegangan dibucky


 Kemudian Oblique kan badan untuk kenyamanan pasien dan kepala pada posisi
lateral menempel ke kaset
POSISI OBJEK :

 MSP kepala harus sejajar terhadap kaset;


 Aturlah dagu supaya IOML sejajar dengan bidang film
 IPL tegak lurus bidang film
15

Gambar 6. Proyeksi lateral Sinus Paranasal

 Teknik Pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal


Teknik pemeriksaan CT-Scan SPN merupakan pemeriksaan radiologi untuk
mendapatkan gambaran irisan dari sinus paranasal baik secara aksial maupun
coronal. CT-Scan SPN memberiakan pandangan yang memuaskan atas sinus dan
dapt menilai opasitas, penyebab, dan jenis kelainan dari sinus. CT-Scan SPN baik
dalam memperlihatkan dekstruksi tulang dan mempunyai peranan penting dalam
perencanaan terapi serta menilai respon terhadap radioterapi. Hal-hal tersebut
merupakan kelebihan CT-Scan SPN dibandingkan dengan foto polos SPN biasa.

Prosedur Pemeriksaan
a. Persiapan Pasien
Persiapan pasien untuk pemeriksaan CT-Scan SPN adalah sebagai berikut :
1. Semua benda metalik harus disingkirkan dari daerah yang diperiksa, termasuk
anting, kalung, dan jepit rambut.
16

2. Pasien harus diinstruksikan agar mengosongkan vesika urinarianya sebelum


pemeriksaan dilakukan, karena jika menggunakan media kontras intra vena
menyebabkan vesika urinaria cepat terisi penuh sehingga pemeriksaan tidak akan
terganggu oleh jeda waktu ke kamar kecil.
3. Jika menggunakan media kontras, alasan penggunaannya harus dijelaskan kepada
pasien.
4. Komunikasikan kepada pasien tentang prosedur pemeriksaan sejelas-jelasnya
(inform consern) agar pasien nyaman dan mengurangi pergerakan sehingga
dihasilkan kualitas gambar yang baik.

b. Persiapan Alat dan Bahan


Alat dan bahan untuk pemeriksaan CT-Scan SPN dengan kasus sinusitis
diantaranya :
1. Pesawat CT-Scan
2. Alat-alat fiksasi kepala
Biasanya pemeriksaan CT-Scan SPN dengan kasus sinusitis dilakukan tanpa
menggunakan media kontras.

c. Teknik Pemeriksaan
Pemeriksaan CT-Scan SPN dengan kasus sinusitis menggunakan dua jenis
potongan , yaitu potongan aksial dan potongan coronal.
1. Potongan Aksial
a) Posisi pasien : pasien berbaring supine di atas meja pemeriksaan. Kedua
lengan di samping tubuh, kaki lurus ke bawah dan kepala berada di
atas headrest(bantalan kepala ). Posisi pasien diatur senyaman mungkin.
b) Posisi objek : kepala diletakkan tepat di terowongan gantry, mid sagital
plane segaris tengah meja. Mid aksial kepala tepat pada sumber
terowongan gantry.

2. Potongan Coronal
Potongan coronal merupakan teknik khusus.
17

a) Posisi pasien : pasien berbaring prone di atas meja pemeriksaan dengan


bahu diganjal bantal. Kepala digerakkan ke belakang (hiperekstensi) sebisa
mungkin dengan membidik menuju vertikal. Gantry sejajar dengan tulang-tulang
wajah.
b) Posisi objek : kepala tegak atau digerakkan ke belakang (hiperekstensi)
sebisa mungkin dan diberi alat fiksasi agar tidak bergerak.

H. Gambaran Radiologi infeksi sinus paranasal

Infeksi sinus paranasal yang paling sering adalah rhinitis dengan


sinusitis sebagai komplikasi. Pada foto sinus paranasal akan tampak sedikit
perubahan pada sinus. Sinusitis bakterialis yaitu terjadinya infeksi dan sinus
ke sinus yang menyebabkan ostium sinus tersumbat diikuti dengan
pembentukan secret berlebihan.
18

Gambar 12. Perbandingan sinus normal dan sinusitis

Kira-kira 50% pada kasus-kasus sinutisi sfenoidalis memperlihatkan


foto polos sinus sfenoidalis yang normal, tetapi apabila dilakukan pemeriksaan
CT Scan, maka tampak kelainan pada mukosa berupa penebalan. Pada
sinusitis tampak :

 Penebalan mukosa
 Aif fluid level
 Perselubungan homogeny atau inhomogen pada satu/lebih sinus paranasal
 Penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronis)
19

Gambar 13. Sinus Maxillaris


20

Gambar 14. Gambaran Air fluid level pada sinusitis

Pada sinusitis , mula-mula tampak penebalan dinding sinus, dan yang


paling sering diserang adalah sinus maxillaries. Tetapi pada sinusitis kronik
tampak juga sebagai penebalan dinding sinus yang disebabkan karena timbulnya
fibrosis dan jaringan parut yang menebal. Foto polos tak dapat membedakan antar
apenebalan mukosa dan gambaran fibrotic beserta pembentukan jaringan parut,
dimana hanya tmapak sebagai penebalan dinding sinus.

Pansinusistis yaitu suatu keadaaan dimana terdapat perselubungan pada


seluhuh sinus-sinus, biasanya sering terjadi pada kasus-kasus sinusitis.

Hal-hal yang mungkin terjadi pada kasus-kasus tersebut adalah kiista retens
yang luas. Kista ini terbentuk dari kelenjar-kelenjar mucus sekresi yang tersumbat
pada mukosa yang terdapat di dingdning sinus. Biasanya frekuensi terbesar terjadi
pada sinus maxilaris. Bentuk konvex( bundar), licin , homogeny. Apabila kista ini
makin lama mkain membesar maka dapat menyeabkan gambaranb air fluid level.

Polip antrokoanal yaitu polip yang penyebabnya berasal dari sinus


maxillaries dapat keluar dari ronggan sinus ke cavum nasi, secara klinis tampak
sebagai polip nasal.

Pemeriksaan dengan kasus ini, dibuat dengan dua jenis potongan yaitu
aksial dan coronal. Pada potongan aksial, pasien diposisikan telentang pada meja
pemeriksaan dengan MSP tubuh dan kepala segaris dengan tengah meja.
Kemudian dilakukan pengaturan parameter CT-Scan Sinus Paranasal yaitu dengan
range sinus frontalis hingga sinus maksilaris, slice thickness sebesar 5 mm dan
merotasikan gantry hingga sejajar dengan dasar palatum.
Pada potongan coronal, pasien diposisikan prone di meja pemeriksaan
dengan kepala tegak dan hiperekstensi sebisa mungkin. Kemudian dilakukan
pengaturan parameter CT-Scan Sinus Paranasal yaitu dengan range posterior sinus
sphenoidalis hingga sinus maksilaris,slice thickness sebesar 3 mm dan
merotasikan gantry hingga sejajar tulang-tulang wajah. Potongan coronal dibuat
dengan tujuan agar air-fluid level tampak lebih jelas dan menampakkan
21

osteomeatal kompleks sebagai panduan operasi sinus. Sedangkan slice


thickness sebesar 3 mm dibuat agar semua potongan tiap-tiap sinus dapat tampak
dan tidak terlewatkan.

I. Penatalaksanaan

Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di Kompleks Ostium Meatal


sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Adapun terapi
yang diberikan adalah sebagai berikut:1
1. Antibiotic
Antibiotic yang digunakan adalainh golongan penisilin seperti amoksisilin.
Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta laktamase
maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin
generasi ke-2. Antibiotic diberikan selama 10 14 hari meskipun gejala
klinis sudah hilang. Pada sinusitis kronik diberikan antibiotic yang sesuai
untuk kuman gram negative dan anaerob.1
2. Dekongestan
Dekongestan diberikan untuk membuka sumbatan ostium sinus dan
menghilangkan pembengkakan mukosa. Selain dekongestan oral dan
topical, terapi lain dapat diberikan, seperti analgetik, mukolitik, steroid
oral atau topical, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan
(diatermi).1
3. Antihistamin
Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat
menyebabkan secret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya
diberikan antihistamin generasi ke-2. 1
4. Imunoterapi
Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi
yang berat.1
5. Irigasi sinus maksila (proetz displacement therapy)1
6. Tindakan operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi
terkini untuk sinusitis kronik ytang memerlukan operasi. Tindakan ini
22

telah mengantikan hamper semua jenis bedah sinus terdahulu karena


memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan
tidak radikal. Indikasinya berupa :1
 Sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat.
 Sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang irreversible
 Polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.

J. Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak
ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis
akut atau pada sinusitis kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi
orbita atau intracranial.1
1. Kelainan orbita
Disebabkan oleh kelainan sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata atau orbita. Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian
sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui
tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah
edema palpebra, selulitis orbita, abses periosteal, abses subperiostal,
abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus
kavernosus.1
2. Kelainan intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak,
dan thrombosis sinus kavernosus.1
Komplikasi juga dapat terjadipada sinusitis kronis, berupa:
1. Osteomielitis dan abses subperiostal.
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan
pada anak-anak. Pada osteomielitis sinusmaksila dapat timbul fistula
oroantral atau fistula pada pipi.1
2. Kelainan paru.
Bronchitis kronik dan bronkiektasis yaitu adanya kelainan sinus
paranasal disertai dengan kelainan paru. Ini disebut dengan
sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma
bronchial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.1

K. Prognosis
23

 Sinusitis Dentogen
Merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar
sinus maksilla adalah proseccus alveolaris tempat akar gigi rahang atas,
sehingga rongga sinus maksilla hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan
akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi
rahang atas seperti infeksi apical akar gigi/ inflammasai jaringan
periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus atau melalui
pembuluh darah dan limfe.1
Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang
mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan nafas berbau busuk. Untuk
mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut/ dirawat dan
pemberian antibiotic yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali juga
diperlukan irigrasi sinus maksilla.1
 Sinusitis Jamur
Angka kejadiannya meningkat dengan meningkatnya pemakaian
antibiotic, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan, dan radioterapi.
Kondisi yang merupakan predisposisinya antara lain diabetes mellitus,
neutropenia, penyakit AIDS, dan perawatan yang lama di rumah sakit.
Jenis jamur yang paling sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah
spesies aspergilus dan kandida. Perlu diwaspadai adanya sinusitis jamur
pada kasus sebagai berikut:1
1. Sinusistis unilateral, yang sukar disembuhkan dengan terapiantibiotik.
2. Adanya gambaran kerusakan tulang dinding sinus atau bila ada
membrane berwarna putih keabu-abuan pada irigasi antrum.
Sinusitis jamur dibagi menjadi invasive akut fulminan dan invasive
kronik indolen. Sinusitis jamur invasive akut, ada invasi jamur ke jaringan
dan vascular. Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol,
pasien imunosupresi seperti leukemia atau neutropenia, pemakaian steroid
lama dan terapi imunosupresan. Imunitas yang rendah dan invasi
pembuluh darah menyebabkan penyebaran jamur sangat cepat dan dapat
merusak dinding sinus, jaringan orbita dan sinus kavernosus. Di kavum
24

nasi, mukosa berwarna biru-kehitaman dan ada mukosa konka atau septum
yang nekrotik. Sering berakhir dengan kematian.1
Sinusitis jamur invasive kronik biasanya terjadi pada pasien
dengan gangguan imunologik atau metabolic seperti diabetes. Bersifat
kronis progresif dan bias juga menginvasi sampai ke orbita atau
intracranial, tetapi gambaran klinisnya tidak sehebat bentuk fulminan
karena perjalanan penyakitnya lebih lambat. Gejalanya seperti sinusitis
bacterial, tetapi secret hidungnya kental dengan bercak-bercak kehitaman,
dan bila dilihat dengan mikroskop akan terlihat koloni jamur.1
Sinusitis jamur noninvasive atau misetoma, merupakan kumpulan
jamur dalam rongga sinus tanpa invasi ke dalam mukosa dan tidak
mendestruksi tulang. Sering mengenai sinus maksila. Gejala klinis
menyerupai sinusitis kronis berupa rinorea purulen, post nasal drip, dan
nafas berbau tidak sedap. Kadang-kadang ada masa jamur juga di kavum
nasi. Pada operasi bias ditemukan materi jamur berwarna coklat,
kehitaman, dan kotor dengan atau tanpa pus dalam sinus.1
Terapi untuk sinusitis jamur invasive ialah pembedahan,
debridement, anti jamur sistemik, dan pengobatan terhadap penyakit
dasarnya. Obat standar ialah amfotericinB, bias ditambahkan Rifampicin,
atau Flusitosin agar lebih efektif. Pada misetoma hanya perlu terapi bedah
untuk membersihkan massa jamur, menjaga drainase dan ventilasi sinus.
Tidak diperlukan anti jamur sistemik.1

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
25

Infeksi pada sinus paranasal sangat sering terjadi dengan gejala klinis yang
nyata. Yang paling sering adalah rhinitis dan sinusitis sebagai komplikasi. Pada
foto sinus paranasal akan tampak sedikit perubahan pada sinus. Sinusitis bakterial
yaitu terjadinya infeksi dari sinus ke sinus yang menyebabkan ostium sinus
tersumbat diikuti dengan pembentukan sekret yang berlebihan. Hal ini sering
terjadi asimetris dimana satu sinus atau lebih dari satu sinus secara unilateral
terserang. Bila sisi kontralateral terserang, sering terlihat asimetris dalam
tingkatan atau lokasi anatomis. Sebagai pembanding, apabila pada sinusitis
alergika daerah sinus paranasal yang terserang selalu simetris, biasanya disertai
poliposis nasal.

Pada sinusitis maksilaris, gamabaran foto polos sinus sphenoidalis tampak


normal, tetapi apabila dilakukan pemeriksaan bakteriologik 67%-75% kasus
memperlihatkan infeksi yang sama pada sinus sphenoidalis.

Pada kasus-kasus sinusitis sphenoid, kira-kira 50% foto polos sinus


sphenoidalis yang normal, tapi apabila dilakukan pemeriksaan CT-Scan, maka
tampak kelainan pada mukosa berupa penebalan. Pada sinusitis tampak :

1. penebalan mukosa
2. air fluid level (kadang-kadang)
3. perselubungan homogen pada satu atau lebih sinus paranasal
4. penebalan dinding sinus dengan sleklerotik (pada kasus-kasus kronik)

Pada sinusitis, mula-mula tampak penebalan dinding sinus, dan yang


paling sering adalah sinus maksilaris, sedangkan pada sinusitis kronik juga
terdapat penebalan dinding sinus yang disebabkan karena timbulnya fibrosis dan
jaringan parut yang menebal. Pada foto polos tidak dapat membedakan keduanya,
dimana yang tampak hanya penebalan dinding sinus. Tetapi CT-scan dengan
penyuntikan kontras daat membedakan keduanya, dimana apabila terjadi enhance
menunjukkan adanya inflamasi aktif, tetapi bila tidak terjadi enhance biasanya
jaringan fibrotik dan jaringan parut.
Pansinusitis adalah suatu keadaan dimana terdapat perselubungan pada
seluruh sinus-sinus, biasanya sering terjadi pada kasus-kasus sinusitis. Bila
26

disebabkan karena infeksi bakteri, dilakukan terapi konservatif dimana gejala


klinis akan menghilang dalam 1-2 minggu. Tetapi bila perselubungan tersebut
masih tetap ada sampai 2-3 minggu setelah terapi konservatif perlu dilakukan
pemeriksaan CT-scan. Hal-hal yang mungkin terjadi pada kasus tersebut, ialah:

a. Kista retensi yang luas


b. Polip yang mengisi ruang sinus
c. Polip antrakoana
d. Massa pada kavum nasi yang menyumbat sinus
e. Mukokel
f. Tumor

Terhadap kasus-kasus penyebab di atass sebaiknya dilakukan tindakan


bedah untuk menyingkirkan penyumbatan yang mengakibatkan gangguan
drainase sinus dan ind=feksi sekunder. Pada penebalan dinding sinus unilateral,
maka pada foto polos tampak sebagai gambaran dens pada salah satu sinus, hal ini
disebabkan karena sklerotik dinding sinus yang disebabkan oleh infeksi yang
kronik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E. Soetjipto D. Sinusitis. Dalam buku ajar ilmu kesehatan


telinga hidung tenggorokan kepala dan leher. FKUI. Jakarta 2007.
2. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor.
Buku Ajar Ilmu Kedokteran THT KL, ed. 5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
2002.
3. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal dan Sinusitis. Dalam:
Soepardi EA. dkk. Buku ajar ilmu kesehataan telinga hidung tenggorok
kepala dan leher. Jakarta: FK-UI; 2007. Hal. 145-153.
4. Wikipedia. Sinusitis. Diakses dari www.wikipedia.org/wiki/sinusitis . 18
November 2013.
27

5. Entdoctor. Pengobatan Sinusitis.Diakses dari:


http://www.entdoctor.com.sg/articles/pengobatan-sinusitis-sistem-balom.html .
18 November 2013
6. Kedokteran spot. Referat kedoktran. Diakses dari :
http://kedokteran.spot.com/2008/04/referat-kedokteran.html . 18 November
2013.
7. Radiologi net. Diakses dari : http://radiologynet.blogspot.com.html. 18
November 2013.

Anda mungkin juga menyukai