Nama Anggota :
PRODI KEPERAWATAN S1
2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN
Teori epigenesist
erikeriksonbertitiktolakpadapemahamanbahwakepribadianindividuberkembangsecarabertahapunt
ukmencapaitingkatperkembanganpenuh. Denganmengacupadateoritersebut, terdapat 8
tahapperkembanganpsikososial yang dilaluiindividusejaklahirsampaimati.
Teoriepigenesismenganggapbahwaperkembanganidentitasdirimerupakantahapterpentingp
adaperkembangankepribadianindividu. Karenakepribadianmerupakankarakteristik model
prilakuindividudalamberadaptasi,
teoriepigenesissecaralangsungmembahasperkembanganperilaku.
1.3 TUJUAN
a. Tujuan Umum
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini agar pembaca dapat mengetahui tentang
pertumbuhan dan perkembangan pada usia toddler yaitu 1-3 tahun.
b. Tujuan Khusus
PEMBAHASAN
Krisis utama pada tahap ini adalah kebebasan (Autonomy) menjalankan kehendak.Si anak ingin
berdiri dan berjalan sendiri, duduk, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya,
tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali
minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya. Bila tidak diberi kebebasan, anak tersebut akan
melawan dorongannya dan memulai memanipulasi dan diskriminasi. contoh : bila permintaan untuk
membeli bola di tolak ibunya, si anak akan beralih ke kakek untuk meminta bola. Selanjutnya, bila ia
pergi lagi ke supermarket, ia akan beralih dari ibu ke kakeknya untuk di gendong. Rasa malu mulai
berkembang dalam kesadaran diri si anak . ia tidak lagi meminta ke ibunya, tetapi ke kakeknya.
Sedangkan keraguan dimulai dari pengetahuan bahwa selalu terdapat dua sisi yang berlawanan,
misalnya depan-belakang, sebelum-sesudah dll. Contohnya,si anak boleh memainkan bola, tetapi ia
harus menghabiskan susu terlebih dahulu, begitu kita berjanji kepada anak tersebut, janji itu harus
ditepati dan kita harus konsisten. Jika janji tidak ditepati, keraguan yang tersisa menjadi titik tolak
perasaan curiga atau paranoid. Bila susu belum habis tetapi sianak di perbolehkan berain bola,
pengetahuan dua sisi tidak akan terbentuk. Anak menjadi orang yang tidak disiplin dan tidak mematuhi
peraturan. Autonomi yang berkembang merupakan titik tolak perkembangan kemandirian. Konsep dua
sisi menjadi titik tolak pengembangan disiplin hierarki dan rasa keadilan.
Pada tahap perkembangan ini, anak mengembangkan kemampuan autonomi ia menemukan
bahwa dirinya berbeda dengan pengasuh primer (ibu ayah keluarga) sebagai individu bebas. karena itu,
kebebasan pengasuh merupakan tujuan utama anak tersebut . anak “berkehendak” untuk bebas. Perilaku
autonomi tersebut adalah titik tolak pembentukan identitas yang khas untuk seorang individu. Rasa malu
dan keraguan akan timbul bila anak tidak diberi pilihan dalam batasan ‘dua sisi’ karena keinginan bebas
ini anak terpasung. Anak yang secara biolgis mengekspresikan kemauan yang keras dapat menimbulkan
konflik pada pengasuh yang memaksakan perilaku “patuh dan baik”. namun, bila tidak diberi batasan
anak akan tumbuh menjadi individu yang tidak berdisiplin dan tidak menghiraukan peraturan. Pola asuh
yang baik pada tingkat ini adalah memberi kebebasan dalam cakupan batasan dan pengasuh berperan
sebagai pendukung .
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa
balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan
pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu.
Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang
baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh
anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu.
Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam
aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat
mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa
mandiri atau ketidaktergantungan.
Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya, sehingga melalui
masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman baru yang
berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri
sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat anak belajar berjalan,
memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain.
Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengorbankan keberanian anak dan
tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah
kalimat yang seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya yakni
“tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar adanya, karena dengan cara ini
anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu,
sangat diperlukan bahkan memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya
perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut Erikson sebagai
impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki perasaan
malu dan ragu-ragu juga tidak baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut
Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak selalu menganggap bahwa keberadaan
mereka selalu bergantung pada apa yang mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan
secara sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari
suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu. Orang tua harus sering
bicara dengan anak, menanyakan pendapat anak, menciptakan suasana yang berwarna warni,
mengarahkan dengan tidak langsung. Kalau anak berusaha mengikat tali sepatunya, pujilah, dan bila
terjadi kesalahan jangan dibenarkan dengan tujuan menunjukkan kesalahannya. Pada saat ini yang dia
pelajari bukanlah mengikat tali dengan benar tapi bahwa dia dihargai karena punya inisiatif untuk
melakukan sesuatu yang baru. Bila Kondisi yang tercipta setelah krisis pertama terlewati adalah
timbulnya Harapan, maka kondisi setelah krisis kedua ini berlalu adalah "citra diri" atau "Sense of
Identity". Anak-anak yg tidak mengembangkan citra diri, orang tua perlu terus menerus menggugah rasa
percaya anak bahwa mereka bisa dan boleh menentukan hidup mereka sendiri.
Jikalau dapat mengatasi krisis antara kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat diatasi
atau jika diantara keduanya terdapat keseimbangan, maka nilai positif yang dapat dicapai yaitu adanya
suatu kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan bahwa
“kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban”.
Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan
legalisme. Melalui tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai
mana yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang disebut sebagai
sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan terdapat penyimpangan maka anak akan
memiliki sikap legalisme yakni merasa puas apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada
pada pihak yang menang sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada
penerapannya menurut Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan tanpa
rasa belas kasih. Harapan idealnya, anak bisa belajar menyusuaikan diri dengan aturan-aturan social
tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai otonomi, inilah resolusi yang diharapkan.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pertumbuhan adalah proses pertambahan ukuran dan volume yang bersifat irreversible
(tidak dapat kembali). Perkembangan adalah kematangan yang dilalui sepanjang rentang
kehidupan seseorang
Pertumbuhan dan perkembangan dapat di pengaruhi oleh faktor genetik dan faktor eksternal
Tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang harus diselesaikan individu pada fase-fase atau
periode kehidupan tertentu dan apabila berhasil mencapainya mereka akan berbahagia, tetapi
sebaliknya apabila mereka gagal akan kecewa dan dicela orang tua atau masyarakat dan
perkembangan selanjutnya juga akan mengalami kesulitan.
Toddler adalah anak adalah anak anatara rentang usia 12 sampai 36 bulan. Toddler tersebut
ditandai dengan peningkatan kemandirian yang diperkuat dengan kemampuan mobilitas fisik dan
kognitif lebih besar.
Fisik : Rata-rata denyut jantung dan pernapasan lambat sampai rata-rata 110x/menit dan
pernapasan
25x/menit, Pertumbuhan dan Perkembangan Biologis : berat bertambah 2,3 kg /tahun,sedangkan
tinggi badan bertambah sekitar 6 – 7 cm / tahun, Perkembangan psikososial : dalam fase Anal.
3.2 SARAN
Hal–hal yang perlu diperhatikan Didalam melakukan didikan anak usia toddlerdengan
tujuan meningkatkan kecerdasan anak perlu diperhatikan perkembangandan pertumbuhannya
dalam aspek fisik dan pisikis yang didampingi denganperhatian pula pda gangguan – gangguan
yang dialami oleh anak dan carapenanggulangan serta cara mengatasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Kassanti Annia. 2008. Buku Pintar kesehatan dan Tumbuh Kembang Anak. Yogyakarta: Araska Piranti
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelititan Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika
Suratyo Nano. 2008. Panduan Merawat Bayi dan Balita Agar Tumbuh Sehat dan Cerdas. Yogyakarta:
Bangun Tafan.