Anda di halaman 1dari 21

TUTORIAL

SIROSIS HEPATIS

Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu


Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi
Di RSUD Dr.R. Soedjati Purwodadi

Oleh :
Nabila Syifa Marta Widanti 01.211.6460

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN RADIOLOGI


RSUD DR. R. SOEDJATI PURWODADI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2015
LEMBAR PENGESAHAN
TUTORIAL
SIROSIS HEPATIS

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan klinis bagian ilmu radiologi


Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung

Nama : Nabila Syifa Marta Widanti 01.211.6460


Judul : Sirosis Hepatis
Bagian : Ilmu Radiologi
Fakultas : Kedokteran UNISSULA
Pembimbing : dr. Rona Yulia, Sp. Rad

Telah diajukan dan disahkan


Semarang, Juni 2015
Pembimbing,

dr. Rona Yulia, Sp. Rad

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 5
2.1. Anatomi Hepar............................................................................... 5
2.2. Definisi Sirosis Hepatis................................................................. 7
2.3. Etiologi ......................................................................................... 8
2.4. Klasifikasi...................................................................................... 8
2.5. Patogenesis dan Manifestasi Klinis .............................................. 8
2.6.Diagnosis........................................................................................ 12
2.7.Penatalaksanaan.............................................................................. 16
2.8.Komplikasi ..................................................................................... 18
2.9.Prognosis......................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Sirosis hepatis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian di seluruh


dunia dengan angka sekitar 25.000 orang kematian setiap tahun. Peringkat ketiga
penyebab kematian terbesar pada pasien usia 45 – 46 tahun di negara maju adalah
sirosis hati yang dapat menyebabkan sekitar 35.000 kematian per tahun dan
bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh kematian di Amerika Serikat.
Prevalensi sirosis hepatis di Indonesia, yang dirawat di bangsal penyakit dalam
umumnya berkisar antara 3,6 - 8,4% di Jawa dan Sumatra. Setiap tahunnya ada
tambahan sekitar 2000 kematian yang disebabkan karena gagal hati fulminan
(Fulminant Hepatic Failure). FHF dapat disebabkan karena hepatitis autoimun,
penyakit Wilson, hepatitis virus (virus hepatitis A dan B), obat (asetaminofen),
toksin (jamur Amanita phalloides atau jamur yellow death-cap), dan berbagai
macam penyebab lain yang jarang ditemukan.
Istilah sirosis diambil dari bahasa Yunani, scirrhus atau kirrhos yang artinya
warna oranye dan dipakai untuk menunjukkan warna permukaan hati yang tampak
saat otopsi yaitu warna oranye atau kuning kecoklatan. Sirosis hati adalah
perjalanan patologi akhir dari berbagai macam penyakit hati yang sering
ditemukan dalam ruang perawatan Bagian Penyakit Dalam.
Sirosis hati merupakan penyakit yang ditandai dengan sirkulasi mikro,
anatomi pembuluh darah besar dan seluruh sitem arsitektur hati yang mengalami
perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi penambahan jaringan ikat (fibrosis)
disekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi.Batasan fibrosis sendiri adalah
penumpukan berlebihan matriks ekstraseluler (seperti kolagen, glikoprotein,
proteoglikan) dalam hati. Respons fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat
reversible dan sebagian besar tidak reversibel.

4
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hepar


Hepar atau hati adalah organ terbesar yang terletak di sebelah kanan
atas rongga abdomen. Pada kondisi hidup hati berwarna merah tua karena
kaya akan persediaan darah. Beratnya 1200-1800 gram, dengan permukaan
atas terletak bersentuhan dibawah diafragma, permukaan bawah terletak
bersentuhan diatas organ-organ abdomen. Batas atas hepar sejajar dengan
ruang interkosta V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX
kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan
terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari sistem porta hepatis.

Hepar terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh
ligamentum falciforme, diinferior oleh fissura yang dinamakan dengan
ligamentum teres dan diposterior oleh fissura yang dinamakan ligamentum
venosum. Lobus kanan hepar enam kali lebih besar dari lobus kiri dan
mempunyai 3 bagian utama yaitu: lobus kanan atas, lobus caudatus dan lobus
6

quadrates. Di antara kedua lobus terdapat porta hepatis, jalur masuk dan
keluar pembuluh darah, saraf dan duktus. Hepar dikelilingi oleh kapsula
fibrosa yang dinamakan kapsul glisson dan dibungkus peritoneum pada
sebagian besar keseluruhan permukaannnya.
Hepar disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu : vena porta hepatika
yang berasal dari lambung dan usus yang kaya akan nutrien seperti asam
amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan mineral dan arteri
hepatika, cabang dari arteri koliaka yang kaya akan oksigen. Pembuluh darah
tersebut masuk hati melalui porta hepatis yang kemudian dalam porta tersebut
vena porta dan arteri hepatika bercabang menjadi dua yakni ke lobus kiri dan
ke lobus kanan. Darah dari cabang-cabang arteri hepatika dan vena porta
mengalir dari perifer lobulus ke dalam ruang kapiler yang melebar yang
disebut sinusoid. Sinusoid ini terdapat diantara barisan sel-sel hepar ke vena
sentral. Vena sentral dari semua lobulus hati menyatu untuk membentuk vena
hepatika. Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang
mengelilingi bagian perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu yang
membentuk kapiler empedu yang dinamakan kanalikuli empedu yang
berjalan diantara lembaran sel hati . Plexus (saraf) hepaticus mengandung
serabut dari ganglia simpatis T7-T10, yang bersinaps dalam plexuscoeliacus,
nervus vagus dexter dan sinister serta phrenicus dexter.

2.2.Definisi Sirosis Hepatis


Istilah sirosis diberikan petama kali oleh Laennec tahun 1819, yang
berasal dari kata kirrhos yang berarti kuning orange (orange yellow), karena
terjadi perubahan warna pada nodul-nodul hati yang terbentuk.
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan
adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan
adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan
ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan
perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat
penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut. Telah diketahui bahwa penyakit
7

ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya
pengerasan dari hati yang akan menyebabkan penurunan fungsi hati dan
bentuk hati yang normal akan berubah disertai terjadinya penekanan pada
pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya
menyebabkan hipertensi portal. Pada sirosis dini biasanya hati membesar,
teraba kenyal, tepi tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan.
Sirosis hati adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi
arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul
regenerasi sel hati. Sirosis hati dapat mengganggu sirkulasi sel darah intra
hepatik, dan pada kasus yang sangat lanjut, menyebabkan kegagalan fungsi
hati.

2.3. Etiologi
Penyebab dari sirosis hepatis sangat beraneka ragam, namun mayoritas
penderita sirosis awalnya merupakan penderita penyakit hati kronis yang
disebabkan oleh virus hepatitis atau penderita steatohepatitis yang berkaitan
dengan kebiasaan minum alkohol ataupun obesitas.
Beberapa etiologi lain dari penyakit hati kronis diantaranya adalah
investasi parasit (schistosomiasis), penyakit autoimun yang menyerang
hepatosit atau epitel bilier, penyakit hati bawaan, penyakit metabolik seperti
Wilson’s disease, kondisi inflamasi kronis (sarcoidosis), efek toksisitas obat
(methotrexate dan hipervitaminosis A) dan kelainan vaskular, baik yang
didapat ataupun bawaan.
Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, virus hepatitis B merupakan
penyebab tersering dari sirosis hepatis yaitu sebesar 40-50% kasus, diikuti
oleh virus hepatitis C dengan 30-40% kasus, sedangkan 10-20% sisanya tidak
diketahui penyebabnya dan termasuk kelompok virus bukan B dan C.
2.4. Klasifikasi
Secara klinis sirosis hati dibagi menjadi:
a. Sirosis hati kompensata : belum adanya gejala klinis yang nyata
8

b. Sirosis hati dekompensata : ditandai gejala-gejala dan tanda klinik


yang jelas.
Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis
kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis, hanya
dapat dibedakan melalui biopsi hati. Secara morfologi Sherrlock membagi
Sirosis hati bedasarkan besar kecilnya nodul, yaitu:
a. Makronoduler (Ireguler, multilobuler)
b. Mikronoduler (reguler, monolobuler)
c. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler.
2.5 Patogenesis dan Manifestasi Klinis
Pada stadium awal (kompensata), dimana kompensasi tubuh terhadap
kerusakan hati masih baik, sirosis seringkali muncul tanpa gejala sehingga
sering ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin.
Gejala-gejala awal sirosis meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera
makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada
laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil dan dada membesar, serta
hilangnya dorongan seksualitas.
Bila sudah lanjut, (berkembang menjadi sirosis dekompensata) gejala-
gejala akan menjadi lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi
kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi kerontokan rambut badan,
gangguan tidur, dan demam yang tidak begitu tinggi. Selain itu, dapat pula
disertai dengan gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis,
gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat,
hematemesis, melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar
konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma
Akibat dari sirosis hati, maka akan terjadi 2 kelainan yang fundamental
yaitu kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta. Manifestasi dari gejala dan
tanda-tanda klinis ini pada penderita sirosis hati ditentukan oleh seberapa
berat kelainan fundamental tersebut.
9

1. Pembesaran Hati
Pada awal perjalanan sirosis hati, hati cenderung membesar dan
sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki
tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat
terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi
sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula
Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan
berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati.
Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba berbenjol-benjol
(noduler).
2. Obstruksi Portal dan Asites
Kegagalan fungsi hati akan ditemukan dikarenakan terjadinya
perubahan pada jaringan parenkim hati menjadi jaringan fibrotik dan
penurunan perfusi jaringan hati sehingga mengakibatkan nekrosis pada
hati.
Hipertensi porta merupakan gabungan hasil peningkatan resistensi
vaskular intra hepatik dan peningkatan aliran darah melalui sistem porta.
Resistensi intra hepatik meningkat melalui 2 cara yaitu secara mekanik
dan dinamik. Secara mekanik resistensi berasal dari fibrosis yang terjadi
10

pada sirosis, sedangkan secara dinamik berasal dari vasokontriksi vena


portal sebagai efek sekunder dari kontraksi aktif vena portal dan septa
myofibroblas, untuk mengaktifkan sel stelata dan sel-sel otot polos. Tonus
vaskular intra hepatik diatur oleh vasokonstriktor (norepineprin,
angiotensin II, leukotrin dan trombioksan A) dan diperparah oleh
penurunan produksi vasodilator (seperti nitrat oksida).
Pada sirosis peningkatan resistensi vaskular intra hepatik
disebabkan juga oleh ketidakseimbangan antara vasokontriktor dan
vasodilator yang merupakan akibat dari keadaan sirkulasi yang
hiperdinamik dengan vasodilatasi arteri splanknik dan arteri sistemik.
Hipertensi porta ditandai dengan peningkatan cardiac output dan
penurunan resistensi vaskular sistemik.
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati
yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah
dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena porta dan
dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan perlintasan
darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa
dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini
menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ
tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat
bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung
menderita dyspepsia kronis dan konstipasi atau diare. Berat badan pasien
secara berangsur-angsur mengalami penurunan. Cairan yang kaya protein
dan menumpuk dirongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini
ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang
cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi
arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang
sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan
tubuh.
3. Varises Gastrointestinal
11

Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan


fibrotik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral
dalam sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari
pembuluh portal ke dalam pembuluh darah dengan tekanan yang lebih
rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan
distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada
inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah diseluruh
traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah
merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah
kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau
hemoroid tergantung pada lokasinya. Karena fungsinya bukan untuk
menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka
pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan.
Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui
perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal.
Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya
akan mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan
esofagus.
4. Edema
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal
hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi
predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan
akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.
5. Defisiensi Vitamin dan Anemia
Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin
tertentu yang tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-
tanda defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai
fenomena hemoragik yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis
kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet
yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati turut menimbulkan anemia
yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi
12

serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat


yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-
hari.
6. Kemunduran Mental
Manifestasi klinis lainnya adalah kemunduran fungsi mental
dengan ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu,
pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup
perilaku umum pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu
serta tempat, dan pola bicara.

2.6. Diagnosis
Pada stadium kompensasi sempurna sulit menegakkan diagnosis sirosis
hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bisa
ditegakkan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat,
laboratorium biokimia/serologi, dan pemeriksaan penunjang lain. Pada saat
ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan
fisik,laboratorium,dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan
biopsi hati atau peritoneoskopi karena sulit membedakan hepatitis kronik
aktif yang berat dengan sirosis hati dini. Diagnosis pasti sirosis hati
ditegakkan dengan biopsi hati.
Pada stadium dekompensata diagnosis kadang kala tidak sulit
ditegakkan karena gejala dan tanda-tanda klinis sudah tampak dengan adanya
komplikasi.

A. Diagnosa Sirosis hepatis Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium


1. Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila
penderita ada ikterus. Pada penderita dengan asites, maka ekskresi Na
dalam urine berkurang (urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan
kemungkinan telah terjadi sindrom hepatorenal.
2. Tinja
13

Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan


ikterus, ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak
terserap oleh darah, di dalam usus akan diubah menjadi sterkobilin yaitu
suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwarna cokelat atau kehitaman.
3. Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan,
kadang-kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan
asam folat dan vitamin B12 atau karena splenomegali. Jika penderita
pernah mengalami perdarahan gastrointestinal baru akan terjadi
hipokromik anemia. Juga dijumpai leukopeni bersamaan dengan adanya
trombositopeni.
4. Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi
penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis
globulin menaik, sedangkan albumin menurun. Pada orang normal tiap
hari akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang dengan sirosis hanya
dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari. Kadar normal albumin dalam
darah 3,5-5,0 g/dL. Jumlah albumin dan globulin yang masing-masing
diukur melalui proses yang disebut elektroforesis protein serum.
Perbandingan normal albumin : globulin adalah 2:1 atau lebih. Selain itu,
kadar asam empedu juga termasuk salah satu tes faal hati yang peka untuk
mendeteksi kelainan hati secara dini.

B. Sarana Penunjang Diagnostik


1. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah, pemeriksaan
fototoraks, splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography
(PTP).
2. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi
kelaianan di hati, termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung pada
14

tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan sirosis akan


tampak hati membesar, permulaan irregular, tepi hati tumpul. Pada fase
lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu tampak penebalan permukaan
hati yang irregular. Sebagian hati tampak membesar dan sebagian lagi
dalam batas nomal.

3. Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis
hepatis akan jelas kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk
nodul yang besar atau kecil dan terdapatnya gambaran fibrosis hati, tepi
biasanya tumpul. Seringkali didapatkan pembesaran limpa. Gambaran
klinik dan gambaran laboratorium biasanya cukup untuk mengetahui
adanya kerusakan hepar. Walaupun biopsi jarum percutan pada hati tidak
biasa dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis sirosis hepatis, tetapi
dapat membantu membedakan pasien sirosis hepatis dengan pasien
penyakit hati lain dan menyingkirkan diagnosis bentuk lain dari kerusakan
hati seperti hepatitis virus. Biopsi juga dapat menjadi alat untuk
mengevaluasi pasien sirosis dengan gambaran klinik sirosis alkoholik
namun menyangkal telah mengkonsumsi alkohol. Pada pasien sirosis
dengan kolestasis, USG dapat menyingkirkan diagnosa adanya obstruksi
biliaris.
15

4.CT SCAN

2.8. Penatalaksanaan
1. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan kontrol
yang teratur, istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori tinggi protein,
lemak secukupnya.
2. Pasien sirosis dengan penyebab yang diketahui seperti :
16

a. Alkohol dan obat-obatan dianjurkan menghentikan penggunaannya.


Alkohol akan mengurangi pemasukan protein ke dalam tubuh. Dengan diet
tinggi kalori (300 kalori), kandungan protein makanan sekitar 70-90 gr
sehari untuk menghambat perkembangan kolagenik dapat dicoba dengan
pemberian D penicilamine dan Cochicine.
b. Hemokromatis
Dihentikan pemakaian preparat yang mengandung besi/ terapi kelasi
(desferioxamine). Dilakukan vena seksi 2x seminggu sebanyak 500cc
selama setahun.
c. Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid.
3. Terapi terhadap komplikasi yang timbul
a. Asites
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak
5,2 gram/ hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan
diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-
200 mg sekali sehari. Respons diuretik bisa dimonitor dengan
penurunan berat badan 0,5 kg/ hari, tanpa adanya edema kaki atau 1
kg/ hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian
spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid
dengan dosis 20-40 mg/ hari. Pemberian furosemid bisa ditambah
dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/ hari.
Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa
hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.
b. Perdarahan varises esofagus (hematemesis, hematemesis dengan
melena atau melena saja)
1) Lakukan aspirasi cairan lambung yang berisi darah untuk
mengetahui apakah perdarahan sudah berhenti atau masih
berlangsung.
2) Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik dibawah 100 mmHg, nadi
diatas 100 x/menit atau Hb dibawah 99% dilakukan pemberian IVFD
dengan pemberian dextrose/ salin dan tranfusi darah secukupnya.
17

3) Diberikan vasopresin 2 amp 0,1 gr dalam 500cc D5% atau normal


salin pemberian selama 4 jam dapat diulang 3 kali.
c. Ensefalopati
1) Dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian KCL pada
hipokalemia.
2) Mengurangi pemasukan protein makanan dengan memberi diet
sesuai. 3) Aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami
perdarahan pada varises.
4) Pemberian antibiotik campisilin/ sefalosporin pada keadaan infeksi
sistemik.
5) Transplantasi hati.
d. Peritonitis bakterial spontan
Diberikan antibiotik pilihan seperti cefotaksim, amoxicillin,
aminoglikosida.
e. Sindrom hepatorenal/ nefropatik hepatik
Mengatur keseimbangan cairan dan garam.
2.9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita sirosis hati :
1. Perdarahan varises esofagus
Perdarahan varises esofagus merupakan komplikasi serius yang
sering terjadi akibat hipertensi portal. Dua puluh sampai 40% pasien
sirosis dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan.
Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak duapertiganya akan
meninggal dalam waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk
menanggulangi varises ini dengan beberapa cara. Risiko kematian akibat
perdarahan varises esofagus tergantung pada tingkat keparahan dari
kondisi hati dilihat dari ukuran varises, adanya tanda bahaya dari varises
dan keparahan penyakit hati. Penyebab lain perdarahan pada penderita
sirosis hati adalah tukak lambung dan tukak duodeni.
2. Ensefalopati hepatikum
18

Disebut juga koma hepatikum. Merupakan kelainan neuropsikiatrik


akibat disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan
hipersomnia), selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran yang
berlanjut sampai koma. Timbulnya koma hepatikum akibat dari faal hati
yang sudah sangat rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya
sama sekali. Koma hepatikum dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama koma
hepatikum primer, yaitu disebabkan oleh nekrosis hati yang meluas dan
fungsi vital terganggu seluruhnya, maka metabolism tidak dapat berjalan
dengan sempurna. Kedua koma hepatikum sekunder, yaitu koma
hepatikum yang timbul bukan karena kerusakan hati secara langsung,
tetapi oleh sebab lain, antara lain karena perdarahan, akibat terapi
terhadap asites, karena obat-obatan dan pengaruh substansia nitrogen.
3. Peritonitis bakterialis spontan
Peritonitis bakterialis spontan yaitu infeksi cairan asites oleh satu
jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya
pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen.
4.Sindroma hepatorenal
Keadaan ini terjadi pada penderita penyakit hati kronik lanjut,
ditandai oleh kerusakan fungsi ginjal dan abnormalitas sirkulasi arteri
menyebabkan vasokonstriksi ginjal yang nyata dan penurunan GFR.
Dan dapat terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri,
peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal.
5. Karsinoma hepatoseluler
Karsinoma hepatoseluler berhubungan erat dengan 3 faktor yang
dianggap merupakan faktor predisposisinya yaitu infeksi virus hepatitis
B kronik, sirosis hati dan hepatokarsinogen dalam makanan. Meskipun
prevalensi dan etiologi dari sirosis berbeda-beda di seluruh dunia,
namun jelas bahwa di seluruh negara, karsinoma hepatoseluler sering
ditemukan bersama sirosis, terutama tipe makronoduler.
6. Asites
19

Penderita sirosis hati disertai hipertensi portal memiliki sistem


pengaturan volume cairan ekstraseluler yang tidak normal sehingga
terjadi retensi air dan natrium. Asites dapat bersifat ringan, sedang dan
berat. Asites berat dengan jumlah cairan banyak menyebabkan rasa tidak
nyaman pada abdomen sehingga dapat mengganggu aktivitas sehari-
hari.
2.10. Prognosis
. Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi
etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang
menyertai. Prognosis sirosis hati dapat diukur dengan kriteria Child
Turcotte-Pugh. Kriteria Child-Turcotte-Pugh Kriteria Child-Turcotte-Pugh
merupakan modifikasi dari kriteria ChildPugh, banyak digunakan oleh para
ahli hepatologi saat ini. Kriteria ini digunakan untuk mengukur derajat
kerusakan hati dalam menegakkan prognosis kasus-kasus kegagalan hati
kronik.
Kriteria Child-Turcotte-Pugh

Child-Turcotte-Pugh A : 5-6 (prognosis baik)

Child-Turcotte-Pugh B : 7-9 (prognosis sedang)

Child-Turcotte-Pugh C : 10-15 (prognosis buruk)


20
DAFTAR PUSTAKA

Dietrich,Christoph F., Carla Serra , Maciej Jedrzejczyk, Ultrasound of the liver,


EFSUMB – European Course Book : University of Bologna Department of
Diagnostic Imaging and 2nd Medical Faculty of Warsaw Medical
University.
Heidelbaugh,Joel , Bruderly,Michael, 2006, Cirrhosis And Chronic Liver
Failure: Part I. Diagnosis And Evaluation, Michigan : American Family
Physician Volume 74, Number 5
Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L., 2007, Buku ajar patologi, Vol. 1,
EGC, Jakarta
Price, Sylvia A. 2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Volume 2. Edisi 6. Jakarta : EGC
Rockey,Don C. , Friedman,Scott, HEPATIC FIBROSIS AND CIRRHOSIS ,
Section I: Pathophysiology of the Liver
Starr,S. Paul, Daniel Raines, 2011, Cirrhosis: Diagnosis, Management, and
Prevention, New Orleans: American Family Physician Volume 84,
Number 12
Wibowo,Daniel, Paryana,W., 2009, Anatomi Tubuh Manusia, Edisi Pertama.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
William Sanchez, Jayant A. Talwalkar, LIVER CIRRHOSIS, The American
College of Gastroenterology: Mayo College of Medicine Rochester
Yu,Ming-Whei, Hung-Chuen Chang, Pei-Jer Chen, Chun-Jen Liu, Yun-Fan Liaw,
Shi-Ming Lin, Shou-Dong Lee, Shee-Chan Lin, Chih-Lin Lin and Chien-
Jen Chena,2002, Increased risk for hepatitis B-related liver cirrhosis in
relatives of patients with hepatocellular carcinoma in northern
Taiwan,International Journal of Epidemiology;31:1008–1015

21

Anda mungkin juga menyukai