Anda di halaman 1dari 33

KEDUDUKAN SAKSI DAN KORBAN TINDAK PIDANA

TERORISME PADA PROSES PEMBUKTIAN DALAM


SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

Oleh

NAMA : VUZIO FERNANDA


NIM : P2B116011
KELAS :B
MATA KULIAH : KEJAHATAN TERORISME DAN
KEAMANAN NEGARA

PASCA SARJANA UNIVERSITAS JAMBI


PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM
TAHUN AKADEMIK 2017
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia serta nikmat sehat, sehingga kami dapat meneyelesaikan

dan menyusun Makalah Kejahatan Terorisme dan Keamanan Negara dengan judul

“Kedudukan Saksi Dan Korban Tindak Pidana Terorisme Pada Proses Pembuktian

Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia”.

Makalah ini kami laksanakan dan sampaikan sebagai salah satu syarat tugas sebagai

mahasiswa Prodi Magister Hukum UNJA dalam mata kuliah Kejahatan Terorisme dan

Keamanan Negara yang diberikan oleh dosen pengajar, Bapak Dr. H. Usman, S.H., M.H.

Dalam pelaksanaan pembuatan makalah ini berhasil kami selesaikan tidak terlepas

dari bimbingan, bantuan, dukungan, dorongan dan peranan dari berbagai pihak baik pikiran,

tenaga mupun moril, untuk itu pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terimakasih

dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada segala pihak yang terlibat.

Kami menyadari bahwa Makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari

sempurna. Akhirnya kami berharap Makalah Kejahatan Terorisme dan Keamanan Negara ini

dapat bermanfaat terutama bagi mahasiswa fakultas hukum dalam perkuliahan.

Jakarta, November 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

1. KATA PENGANTAR i
2. DAFTAR ISI ii
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 8
C. Metode Penulisan 8

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA


10
A. Kerangka Konseptual 10
B. Kerangka Teoritis 16

BAB III : PEMBAHASAN


21
A. Kedudukan Saksi dan Korban Tindak Pidana Terorisme 21
B. Pembuktian Tindak Pidana Terorisme di Persidangan
22
BAB IV : PENUTUP
27
A. Kesimpulan 27
B. S a r a n 29

DAFTAR PUSTAKA
30

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Hukum pada hakikatnya dibentuk dan diberlakukan sebagai sarana

(instrumen) untuk memberikan perlindungan kepada setiap orang tanpa

diskriminasi. Hukum Indonesia, sebagaimana tersirat di dalam pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945, merupakan instrumen untuk mendukung

terselenggaranya fungsi dan tugas negara untuk melindungi segenap bangsa dan

tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, menciptakan perdamaian serta mewujudkan keadilan sosial

bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan demikian dalam penangan tindak pidana, saksi memainkan peranan

yang sangat penting dalam sistem pembuktian hukum pidana sekalipun saksi bukan

satu-satunya alat bukti karena KUHAP menganut pendekatan pembuktian

negatif berdasarkan perundang-undangan atau “Negative Wettelijk

Overtuiging”. Akan tetapi peranan saksi yang sangat penting, sebagai salah

satu alat bukti dalam KUHAP sangat kontras dengan bentuk perhatian atau

perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap saksi. Perlindungan disini

berupa perlindungan hukum dan atau perlindungan khusus lainnya.

Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak

pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan

karena tidak dapat menghadirkan saksi dan atau korban. Tidak banyak orang

yang bersedia mengambil resiko untuk melaporkan suatu tindak pidana

jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapatkan

perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang

1
dilakukan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi saksi

dan atau korban yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana.

Reny Rawasita yang dikutip Muhadar mengatakan bahwa ”keberadaan

saksi memegang peranan penting dan dalam banyak kesempatan sangat

menentukan hasil akhir dari berbagai kasus, baik perdata maupun pidana”. 1 Hal

tersebut terlihat juga dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, di mana saksi sebagai alat bukti utama, maka dampaknya

sangat terasa bila dalam suatu perkara pidana tidak diperoleh saksi. Menurut

Yahya Harahap bahwa ”keterangan saksi yang diberikan di hadapan pengadilan

merupakan salah satu bukti yang penting yang menjadi pertimbangan

hakim dalam memutuskan sebuah perkara”.2

Dengan demikian, saksi merupakan salah satu faktor penting dalam

pembuktian atau pengungkapan fakta yang akan dijadikan acuan dalam

menemukan bukti-bukti lain untuk menguatkan sebuah penyelidikan, penyidikan,

dan bahkan pembuktian di pengadilan. Pentingnya peran saksi dalam proses

penegakan hukum terutama hukum pidana membawa konsekuensi tersendiri bagi

orang yang dijadikan saksi, baik itu saksi korban dan saksi pelapor

maupun saksi- saksi lain dalam pembuktian pelaku tindak pidana.

Dalam lapangan hukum pidana terutama untuk penegakannya tidak

semudah yang dibayangkan masyarakat, terlebih dalam mendapatkan

keterangan saksi. Apalagi dalam tindak pidana terorisme, para saksi akan

dihadapkan dengan bentuk-bentuk teror dari kelompok jaringan terorisme. Hal

1
Ibid.
2
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan,
Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 20.

2
inilah mengakibatkan saksi enggan dan bahkan takut untuk melaporkan kejahatan

yang dilakukan terhadap diri korban sendiri apalagi terjadi terhadap orang lain.

Kejahatan terorisme merupakan salah satu bentuk kejahatan berdimensi

internasional yang sangat menakutkan masyarakat. Di berbagai negara di dunia telah

terjadi kejahatan terorisme baik di negara maju maupun negara-negara sedang

berkembang, aksi-aksi teror yang dilakukan telah mengakibatkan berjatuhan

banyak korban meninggal dunia dan kerugian materil yang sedemikian rupa. Hal ini

menyebabkan Perserikatan Bangsa Bangsa melaksanakan kongres di Wina Austria

pada tahun 2000 dengan tema The Prevention of Crime and The Treatment of

Offenders, antara lain menyebutkan terorisme sebagai suatu perkembangan

perbuatan dengan kekerasan yang perlu mendapat perhatian.

Pasca peledakan gedung World Trade Center (WTC) di Amerika pada

tanggal 11 September 2002, peristiwa terorisme telah membuka mata dunia

Internasional betapa sebuah konstruksi hukum mutlak diperlukan untuk melakukan

perlawanan terhadap aksi terorisme. Aksi terorisme di Indonesia mencuat ke

permukaan setelah terjadinya Bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002,

Peristiwa ini tepatnya terjadi di Sari Club dan Peddy’s Club, Kuta, Bali.

Sebelumnya, tercatat juga beberapa aksi teror di Indonesia antara lain kasus Bom

Istiqlal pada tanggal 19 April 1999, Bom Malam Natal pada tanggal 24

Desember 2000 yang terjadi di dua puluh tiga gereja, September 2000 Bom di

Bursa Efek Jakarta, Agustus 2001 ledakan di Atrium Senen Jakarta Pusat, 22 Juli

2002 bom di Gereja Santa Ana Jakarta Timur, 5 Agustus 2003 ledakan bom mobil di

loby Hotel Marriott Jakarta, 10 Januari 2004 ledakan bom di Kafe Sampoddo Indah

Palopo Sulsel, 9 November 2004 ledakan di depan Kantor Kedubes Australia Jl.

3
Rasuna Said Kuningan Jakarta, 28 Mei 2005 dua ledakan bom di Pasar Tentena dan

di dekat BRI unit Tentena di Poso Sulteng Selatan, dll.

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta

merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena

terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan

bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan

masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan

berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan

dijunjung tinggi.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1

Tahun 2002 yang kemudian disetujui menjadi Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 secara

spesifik juga memuat perwujudan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan

Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) dalam Convention Against Terorism Bombing

(1997) dan Convention on the Suppression of Financing Terorism (1997), antara

lain memuat ketentuan-ketentuan tentang lingkup yuridiksi yang bersifat

transnasional dan internasional serta ketentuan-ketentuan khusus terhadap tindak

pidana terorisme internasional.

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dinyatakan terorisme yang bersifat

internasional merupakan kejahatan yang terorganisasi, sehingga pemerintah dan

bangsa Indonesia wajib meningkatkan kewaspadaan dan bekerja sama memelihara

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlihat dalam penjelasan tersebut,

pemerintah Indonesia menyadari terorisme telah menjadi isu internasional.

4
Menurut Muladi bahwa :

Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) yang


membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar
biasa (Extraordinary Measure) karena berbagai hal:
a. Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya
terbesar (the greatest danger) terhadap hak asasi manusia. Dalam hal ini
hak asasi manusia untuk hidup (the right to life) dan hak asasi untuk
bebas dari rasa takut.
b. Target terorisme bersifat random atau indiscriminate yang cenderung
mengorbankan orang-orang tidak bersalah.
c. Kemungkinan digunakannya senjata-senjata pemusnah massal dengan
memanfaatkan teknologi modern.
d. Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi
terorisme nasional dengan organisasi internasional.
e. Kemungkinan kerjasama antara organisasi teroris dengan
kejahatan yang terorganisasi baikyang bersifat nasional maupun
transnasional.
f. Dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional.3

Pada dasarnya tindak pidana terorisme adalah extra ordinary crime, derajat

keluarbiasaan inilah yang menjadi salah satu alasan dikeluarkannya Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Anti Terorisme dan pemberlakuannya secara

retroaktif untuk kasus Bom Bali. Dari segi pengaturan Internasional terdapat tiga

konvensi internasional yang mengatur terorisme, yaitu:

1. International Convention and Suppression of Terorism 1937 (Konvensi tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Terorisme).

2. International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing 1997

(Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pengeboman oleh Terorisme)

disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2006.

3. International Convention for the Suppression of Financing of Terorism 1999

(Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pendanaan untuk Terorisme)

3
Muladi, Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, <http://en.wikipedia.org/.
Hukum on Line. Diakses tanggal 17 Oktober 2012.

5
disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2006.

Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, disebutkan bahwa

Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur

tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai

perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur

dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6 dan 7, bahwa

setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:

1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan


menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas
atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas
kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional (Pasal 6).
2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap
orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan
harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran
terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).

Pada konsiderans Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, bagian

menimbang, dijelaskan terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa memandang

korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau hilangnya

kemerdekaan, serta kerugian harta benda, oleh karena itu perlu dilaksanakan

langkah pemberantasan. Namun, peraturan perundang-undangan yang berlaku

sampai saat ini belum secara komprehensif dan memadai untuk memberantas tindak

pidana terorisme terutama yang mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan

korban.

6
Dalam ketentuan hukum beracara pidana di Indonesia, tersangka/terdakwa

memiliki sejumlah hak yang diatur secara tegas dan rinci dalam suatu

bab tersendiri. Sebaliknya bagi saksi termasuk saksi korban, hanya ada

beberapa pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang

memberikan hak pada saksi, tetapi pemberiannya pun selalu dikaitkan dengan

tersangka/terdakwa. Artinya hak yang dimiliki saksi lebih sedikit dari pada hak

yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa.

Kepentingan atau hak saksi yang dilindungi dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana hanya satu pasal yakni Pasal 229, sehingga dalam

prakteknya dijumpai hal yang mengecewakan yaitu di mana hak saksi untuk

menggantikan biaya setelah hadir memenuhi panggilan dalam proses peradilan

tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya dengan alasan klasik yaitu tidak ada

dana/anggaran.

Kondisi saksi termasuk korban berada pada posisi yang lemah,

bahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengancam dengan pidana

apabila saksi tidak datang untuk memberikan keterangan setelah menerima

panggilan dari penegak hukum. Pasal 224 KUHP menyatakan bahwa ”barang

siapa dipanggil sebagai saksi, saksi ahli atau juru bahasa menurut undang-

undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-

undang yang harus dipenuhinya, dalam perkara pidana, diancam dengan pidana

penjara paling lama sembilan bulan”.

Posisi saksi yang demikian penting namun belum mendapatkan perhatian

dari pengemban kebijakan. Harahap mengatakan bahwa ”Sikap pembentuk undang-

undang, tidak secara khusus memberikan perlindungan, kepada saksi dan

7
korban berupa pemberian sejumlah hak, seperti yang dimiliki oleh

tersangka/terdakwa”4.

Memperhatikan uraian di atas, terdapat dilema bagi seseorang untuk

menyampaikan kesaksiaannya, karena perangkat hukum di Indonesia khususnya

KUHAP, belum mampu memberikan suatu bentuk pengaturan bantuan hukum yang

dapat memberikan perlindungan bagi saksi dan penggantian biaya untuk transportasi

dan waktu yang disediakannya.

Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan Korban

Tindak Pidana Terorisme dalam Sistem Peradilan pidana Indonesia.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka beberapa permasalahan pokok

yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum bagi saksi dan korban tindak pidana

terorisme dalam sistem peradilan pidana Indonesia?

2. Bagaimana kedudukan saksi dan korban tindak pidana terorisme pada proses

pembuktian dalam sistem peradilan pidana Indonesia?

C. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian

Tipe penelitan adalah normatif, atau yang sering juga disebut penelitian

yuridis normatif. Sifat normatif penelitian hukum dikaitkan dengan karakter

keilmuan hukum itu sendiri. Karena itu pemilik metode penelitian senantiasa

4
Ibid, hal. 285.

8
dibatasi oleh rumusan masalah, obyek yang diteliti, dan tradisi keilmuan hukum

itu sendiri.5

Penelitian yuridis normatif, kajiannya terfokus pada hukum positif dengan

aspek sebagai berikut: “1) mempelajari aturan dari segi teknis, 2) berbicara

tentang hukum, 3) berbicara hukum dari segi hukum, 4) berbicara problem hukum

yang konkrit”.6

5
Sahuri Lasmadi, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia, Disertasi
Program Pascasarjana Universitas Air Langga, Surabaya, 2003, hal. 64.
6
Ibid.

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual
Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menghindari penafsiran yang

berbeda-beda dalam mengartikan istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka

penulis memberikan batasan dari konsep terkait terhadap judul ini dengan

memberikan definisi-definisi dari beberapa istilah yang ada, yaitu sebagai berikut:

1. Pengertian Saksi dan Perlindungan Saksi

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 angka (26)

menyatakan bahwa “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan

guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara

pidana yang didengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Demikian

halnya dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1 angka (1)

juga menyatakan “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan

guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di

sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia

lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri”. Secara makna tidak ada yang

berbeda hanya saja ada sedikit penyempurnaan bahasa saja. Pasal 1 angka

(27) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana juga memberikan penjelasan

bahwa “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang

berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pengetahuan itu”.

10
Menurut Rusdi Harjo bahwa, yang dimaksud saksi dapat

diklasifikasikan7:

1. Saksi Mahkota. Saksi mahkota terjadi akibat kurang atau ketiadaan


saksi dalam perkara yang digelar,sehingga biasanya yang menjadi
saksi adalah tersangka atau terdakwa. Dalam pelaksanaannya,hal
tersebut dilakukan pada kasus-kasus yang bernuansa Delneeming
(penyertaan) di mana pelakunya terdiri atas beberapa orang
sehingga ada keterkaitan antara terdakwa yang satu degan yang
lainnya.
2. Saksi Korban. Saksi korban adalah korban bertindak sebagai
saksi mengenai apa yang dilihat, didengar atau dialaminya sendiri
terhadap suatu tindak pidana yang meninbulkan penderitaan atau
kerugian terhadap dirinya. Korban di tempatkan pada posisi saksi
yang memberikan kesaksian sekaligus sebagai posisi senteral
bagi pihak-pihak yang berpekara.
3. Saksi Pelapor. Saksi pelapor adalah saksi yang melaporkan
tentang terjadinya suatu tindak pidana karena hak atau
kewajiban berdasarkan undang-undang sebagaimana yang ia
lihat sendiri ataupun ia dengar sendiri. Saksi pelapor merupakan
saksi yang berasal baik dari orang yang berkepentingan dengan
kasus yang terjadi maupun yang tidak berkepentingan, sehingga
dalam kenyataannya terkadang bukannya mendapat pujian namun
sering pula membuat saksi dapat menjadi target/tujuan
pengancaman bahwa pembunuhan dari orang-orang yang merasa
degan keterangan saksi nantinya akan menjerumuskan
tersangka/terdakwa kedalam putusan pengadilan, yakni
dinyatakan bersalah.
4. Keterangan Ahli (Saksi Ahli) adalah keterangan ahli berupa
keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. jadi
ahli bersaksi atas dasar keahlian dan pengalamannya mengenai suatu
hal tertentu.

Dengan pengertian saksi ini menunjukkan bahwa betapa berartinya

sebuah kesaksian dalam proses peradilan pidana, agar terungkapnya

sebuah tindak pidana. Dapat disimpulkan bahwa saksi adalah sesorang

yang memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana untuk

7
Rusdihandjo, Nilai Pembuktian Keterangan Saksi Mahkota Dalam Penyelesaian Perkara Pidana,
Jakarta, 1996, hal.14.

11
menemukan titik terang apakah suatu tindak pidana benar-benar terjadi

sebagaimana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri.

2. Pengertian Korban

Korban sudah pasti menjadi saksi dalam hal terjadinya tindak pidana,

akan tetapi saksi belum tentu menjadi korban. Berbagai pengertian korban

banyak dikemukakan, baik oleh para ahli maupun bersumber dari konvensi-

konvensi internasional yang membahas mengeai korban kejahatan, sebagian di

antaranya adalah: Menurut Arief Gosita ”Korban adalah mereka yang menderita

jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari

pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan

kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan”8. Selanjutnya Ralph de Sola

”victim is person who has injured mental or physical suffering, loss of property

or death resulting from an actual or attempted criminal offense committed by

another”9. Kemudian Cohen “victim is whose pain and suffering have been

neglected by the state while it spends immense resources to hunt down and

punish the offender who responsible for that pain and suffering”10.

Menurut Mardjono Reksodiputro, ada 4 (empat) macam pengertian

korban yaitu:

1. Korban kejahatan konvensional seperti pembunuhan, perkosaan,


penganiayaan, dan pencurian.
2. Korban kejahatan nonkonvensional seperti terorisme, pembajakan,
perdagangan narkotika secara tidak sah, kejahatan terorganisasi dan
kejahatan melalui computer.
3. Korban penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan ekonomi
(illegal abuses of economic power) seperti pelanggaran terhadap
peraturan perburuhan, penipuan konsumen, pelanggaran terhadap

8
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993, hal. 63.
9
Ralph de Sola, Crime Dictionary, Facts on File Publication, New York, 1998, hal.188.
10
Cohen dalam Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta, 2005, hal.9.

12
peraturan lingkungan, penyelewengan di bidang pemasaran dan
perdagangan oleh perusahaan-perusahaan trans- nasional,
pelanggaran peraturan devisa, pelanggaran peraturan pajak dan lain
sebagainya.
4. Korban penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan umum
(illegal abuses of public power) seperti pelanggaran terhadap hak
asasi manusia, penyalahgunaan wewenang oleh alat penguasa,
termasuk penangkapan serta penahanan yang melanggar hukum dan
lain sebagainya.11

Pengertian korban secara yuridis dapat dilihat dalam beberapa peraturan

dan perundang-undangan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga: Korban adalah orang yang mengalami kekerasan

dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi: Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang

mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian

ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-

hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat,

termasuk korban adalah ahli warisnya.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan

terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang

Berat: Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang

mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang

berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman,

gangguan, teror, dan kekerasan pihak manapun.

11
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana (Kumpulan Karangan, Buku
Kedua), Jakarta, Universitas Indonesia, 2007, hal. 85-86.

13
Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan,

terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini

disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus

mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum

pelaksanaan pidana.

Dalam penanganan perkara pidana, kepentingan korban sudah saatnya

untuk diberikan perhatian khusus, selain sebagai saksi yang mengetahui

terjadinya suatu kejahatan juga karena kedudukan korban sebagai subjek hukum

yang memiliki kedudukan sederajat di depan hukum (equality before the law).

Menurut Muladi ”Perhatian kepada korban dalam penanganan perkara pidana

hendaknya dilakukan atas dasar belas kasihan dan hormat atas martabat korban

(compassion and respect for their dignity)”12.

Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perlindugan saksi dan

korban adalah suatu bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh aparat penegak

hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun

mental, kepada korban dan saksi dari amcaman gangguan, teror dan kekerasan

dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

3. Pengertian Terorisme

Definisi terorisme sampai dengan saat ini masih menjadi perdebatan

meskipun sudah ada ahli yang merumuskan dan juga dirumuskan di dalam

peraturan perundang-undangan. Akan tetapi ketiadaan definisi yang seragam

12
Muladi, HAM Dalam Persepktif Sistem Peradilan Pidana, dalam: Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia:
Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama,
Bandung, 2005, hal. 107.

14
menurut hukum internasional mengenai terorisme tidak serta-merta

meniadakan definisi hukum terorisme itu. Masing-masing negara

mendefinisikan menurut hukum nasionalnya untuk mengatur, mencegah dan

menanggulangi terorisme.

Kata “teroris” dan terorisme berasal dari kata latin “terrere” yang

kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga

bisa menimbulkan kengerian.13 Akan tetapi sampai dengan saat ini belum ada

definisi terorisme yang bisa diterima secara universal. Pada dasarnya istilah

terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sensitif

karena terorisme mengakibatkan timbulnya korban warga sipil yang tidak

berdosa.

Black Law Dictionary memberikan definisi terorisme sebagai

“The use of threat of violence to intimidate or cause panic; especially as a

means of affecting political conduct”.14(Ancaman kekerasan untuk

mengintimidasi atau menyebabkan panik, terutama dengan tujuan

mempengaruhi prilaku politik). Menurut T.P. Thornton dikutip Muchamad Ali

Syafaat “Terror as a weapon of political agitation”.15(Teror didefinisikan sebagai

penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan).

Proses teror, menurut E. V. Walter memiliki tiga unsur, yaitu:

1. Tindakan atau ancaman kekerasan.


2. Reaksi emosional terhadap ketakutan yang amat sangat dari
pihak korban atau calon korban.

13
Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Refika Aditama, 2004, hal
22.
14
Bryan A. Gardner, Editor in Chief, Black Law Dictionary, Seventh Edition, London, 1999, hal. 1484.
15
Muchamad Ali Syafaat, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003, hal. 59.

15
3. Dampak sosial yang mengikuti kekerasan atau ancaman
kekerasan dan rasa ketakutan yang muncul kemudian.16
Pengertian terorisme secara yuridis disebutkan dalam Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I

Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (1), bahwa Tindak Pidana Terorisme adalah

segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan

ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang

dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada

Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6 dan 7, bahwa setiap orang dipidana

karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:

1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan


menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda
orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas
publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).
2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat
massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan
nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan
atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional
(Pasal 7).

B. Kerangka Teoritis

1. Teori Kebijakan Hukum Pidana:

Salah satu bentuk upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan

pidana atau upaya penanggulangan terhadap kejahatan, adalah melalui kebijakan

atau politik hukum pidana (penal policy). Penggunaan hukum pidana untuk

mencapai tujuan perlindungan masyarakat dari berbagai macam tindak pidana,

16
Ibid.

16
antara lain dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro Ahli hukum pidana

tersebut menjelaskan bahwa:

Upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui pelaksanaan


peraturan perundang-undangan pidana oleh suatu sistem peradilan
pidana (criminal justice system) yang dibentuk oleh negara. Selain itu
negara (masyarakat) dapat pula berusaha melalui upaya-upaya sosial,
seperti dalam bidang pendidikan, perbaikan taraf hidup masyarakat,
mengurangi pengangguran dan lain sebagainya. Namun demikian,
hukum pidana dalam banyak hal masih dianggap sebagai landasan
utama agar angka kriminalitas berada dalam batas-batas toleransi
masyarakat17.

Berdasarkan paparan di atas di atas, kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa

untuk mencapai kebijakan perlindungan masyarakat terhadap kejahatan sebagai

bagian integral dari kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan, diperlukan

sebuah kebijakan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana yang dimaksud adalah

usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang baik yang sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan masa-masa yang akan datang serta

yang dikehendaki dan diperkirakan bisa digunakan untuk mengeksperesikan apa

yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

2. Teori Sistem Peradilan Pidana

Di dalam sistem peradilan pidana, polisi dan jaksa merupakan dua institusi

penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Kedua institusi ini

seharusnya dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik untuk mencapai

tujuan dari sistem ini, yaitu menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya

kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima masyarakat.

Seluruh komponen sistem peradilan pidana, termasuk pengadilan dan lembaga

17
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan
Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi Universitas
Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 92.

17
pemasyarakatan, ikut bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas menanggulangi

kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan. Meski demikian, menilik tugas

dan wewenangnya masing-masing, tugas pencegahan kejahatan secara spesifik lebih

terkait dengan subsistem kepolisian. Adapun tugas menyelesaikan kejahatan yang

terjadi sangat terkait dengan tugas dua komponen sistem, yaitu polisi dan jaksa

(pada tahap prajudisial) serta pengadilan (pada tahap judisial). Sementara tugas

ketiga lebih terkait dengan subsistem lembaga pemasyarakatan. Hubungan polisi

dan jaksa sendiri terutama berkaitan dengan tugas penyidikan suatu tindak pidana.

Untuk menghindari kesimpang-siuran tugas, penyalahgunaan kewenangan, tumpang

tindihnya kewenangan, serta kegagalan mencapai tugas menyelesaikan kejahatan

yang terjadi di masyarakat, perlu ada suatu hukum yang di dalamnya antara lain

memuat siapa aparat penegak hukum yang oleh negara diberikan tugas penegakan

hukum pidana, bagaimana tatacara penegakannya, apa saja tugas dan kewajibannya,

serta apa sanksi bila ternyata pelaksanaannya tidak sesuai dengan cara atau tugas

dan kewenangannya. Hukum tersebut dikenal sebagai hukum pidana formal atau

hukum acara pidana. Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa "hukum acara

pidana ini sebagai suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara

bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan

pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan

hukum pidana"18. Selanjutnya M.Yahya Harahap mengatakan bahwa ”hukum acara

pidana menjadi pegangan bagi polisi, jaksa, dan hakim, bahkan termasuk penasihat

hukum. Di dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, penangkapan,

18
Wirdjono Prodjodikoro, Hukum acara pidana di Indonesia, Sumur Batu Bandung, 1970, hal. 9.

18
penahanan dan pemeriksaan di pengadilan"19. Lebih lanjut Samosir mengatakan

bahwa "para pelaksana hukum itu dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh

menyimpang dari asas-asas hukum acara pidana"20.

Menurut Sidik Sunaryo bahwa:

Sistem Peradilan Pidana mencakup subsistem dengan ruang lingkup masing-


masing proses peradilan pidana sebagai berikut:
1. Kepolisian dengan tugas utama: menerima laporan dan pengaduan dari
publik manakala terjadinya tindak pidana, melakukan penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana, melakukan penyaringan terhadap kasus yang
memenuhi syarat untuk diajukan ke kejaksaan, melaporkan hasil
penyidikan kepada kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak
yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
2. Kejaksaan dengan tugas pokok menyaring kasus-kasus yang layak
diajukan ke pengadilan, mempersiapkan berkas penuntutan, melakukan
penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan.
3. Pengadilan berkewajiban untuk menegakkan hukum dan keadilan,
melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban dalam proses peradilan
pidana, melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara efisien dan efektif,
memberikan putusan yang adil dan berdasarkan hukum.
4. Lembaga Pemasyarakatan yang berfungsi menjalankan putusan
pengadilan yang merupakan pemenjaraan, memastikan terlindunginya
hak-hak narapidana, menjaga agar kondisi Lembaga Pemasyarakatan
memadai untuk penjalanan pidana setiap narapidana. 21

Mardjono Reksodiputro mengatakan bahwa "adanya pemisahan tersebut

hendaknya tidak boleh mengganggu usaha adanya satu kebijakan penyidikan,

penuntutan dan pengadilan yang akan merupakan pedoman kerja bersama dalam

proses peradilan pidana"22. Artinya pemisahan tugas penyidikan, penuntutan dan

peradilan yang diemban oleh masing - masing institusi merupakan pedoman yang

harus dilaksanakan sebagimana yang telah diamanatkan oleh KUHAP.

19
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I, Pustaka
Kartini, Jakarta, 1998, hal. 34.
20
Ibid.
21
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Pendidikan Pidana, Universitas Muhamadiyah Semarang,
Malang, 2005, hal. 220.
22
Mardjono Reksodiputro, Menuju Pada Satu Kebijakan Kriminal dalam HAM dalam Sistem
Peradilan Pidana , Jakarta :Pusat Pelayanan Hukum Dan Keadilan 1993, hal. 96.

19
Berdasarkan keterangan para ahli hukum tersebut di atas, maka dalam sistem

peradilan pidana menghendaki keterpaduan aparatur penegak hukum (Polri, Jaksa,

Hakim dan Lembaga Pemasyarakatan). Apabila dihubungkan dengan perlindungan

hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, maka para penegak hukum

dimaksud mempunyai peran tugas dan tanggung jawab terhadap masa depan anak

dimaksud.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Kedudukan Saksi dan Korban Tindak Pidana Terorisme

20
Kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana sebagai kelanjutan dari

sistem tersebut adalah:

Diwakili oleh penuntut umum atau jaksa dalam menghadapi pihak pelaku.
Pihak koban hanya berfungsi sebagai saksi. Singkatnya, pihak korban dalam
sistem peradilan ini hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pihak penguasa
dalam rangka menegakkan hukum, sehingga pada hakekatnya, pihak korban
dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam pelaksanaan peradilan pidana
tidaklah menegakkan hukum secara sempurna.23

Korban sebagai saksi dalam peradilan pidana menempati posisi kunci,

sebagaimana penempatannya dalam urutan pertama sebagai alat bukti dalam Pasal

184 KUHAP. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana telah

dimulai sejak awal proses peradilan pidana, di mana terungkapnya suatu kasus

hukum sebagian besar berdasarkan informasi masyarakat. Pada tingkat

kejaksaan sampai akhirnya pemeriksaan persidangan, keterangan saksi dalam hal ini

korban sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus

bersalah atau tidaknya terdakwa, disamping alat bukti lainnya. Unus Testis Nullus

Testis (satu saksi bukanlah saksi). Korban sebagai saksi mempunyai kontribusi yang

sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan, namun demikian sering

kurang mendapat perhatian dari masyarakat, penegak hukum dan

pembentuk undang-undang.

B. Proses Pembuktian di Pengadilan

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang

didakwakan merupakan bagian yang terpenting acara pidana, hukum acara pidana

23
Mulyana W. Kusuma, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-Kejahatan Kekerasan,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 41.

21
bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata

yang cukup puas dengan kebenaran formal.

Mencari kebenaran materiil itu tidaklah mudah, alat-alat bukti yang tersedia

menurut Undang-Undang sangat relatif. Alat-alat bukti seperti kesaksian, menjadi

kabur dan sangat relatif. Kesaksian diberikan oleh manusia yang mempunyai sifat

pelupa. Bahkan menurut psikologi, “penyaksian suatu peristiwa yang baru saja

terjadi oleh beberapa orang akan berbeda-beda” 24.

Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada atau dengan

kata lain untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan hasil pembuktian terhadap

perkara yang sedang diperiksa. Hasil dan kekuatan pembuktian yang bagaimana yang

dapat dianggap cukup memadai membuktikan kesalahan terdakwa, dikenal beberapa

sistem teori pembuktian yaitu:

1. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara Positif

(Positief Wettelijk Bewijs Theorie).

Sistem atau teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif

merupakan pembuktian yang didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang

disebut dlaam Undang-Undang. Dikatakan secara positif karena hanya

didasarkan kepada Undang-Undang.25 Pembuktian menurut Undang secara

positif, “keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan

kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan

menentukan salah atau tidaknya terdakwa”26.

24
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal 246.
25
Ibid., hal. 247.
26
Op. Cit., hal. 278.

22
Menurut D. Simon yang dikutip Andi Hamzah, Sistem atau teori

pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif (Positief wettelijk) ini

“berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan

mengikat secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras”27.

Dalam teori ini, asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian

menurut Undang-Undang, hal ini sudah cukup membuktikan kesalahan dari

terdakwa tanpa mempersoalkan lagi keyakinan hakim28.

2. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu

Teori ini muncul disadarai karena alat bukti berupa pengakuan terdakwa

sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang

tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang

didakwakan. Oleh karena itu, diperlukan bagaimanapun juga keyakinan hakim

sendiri29.

Teori ini juga mempunyai kelemahaman, hakim dapat saja menjatuhkan

hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka

tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebalikinya hakim leluasa

membebaskan terdakwa dari tindak pidna yang dilakukan walaupun kesalahan

terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama

hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.

27
Op. Cit., hal. 247.
28
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya “Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung: 1967, hal.
75, menyatakan menolak apabila Teori pembuktian Undang-Undang secara positif diterapkan di
Indonesia, karena katanya, bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara
menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang
jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.
29
Ibid.

23
Dengan demikian teori Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu

ini berlawanan dengan teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara

positif.

3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang

Logis (Laconviction Reason).

Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar

keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian yang

disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan

pembuktian tertentu30. Teori ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim

bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (Vrije Bewijs Theorie).

Dalam teori ini, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting

dalam menentukan salah tidaknya terdakwa, akan tetapi, dalam teori pembuktian

ini, faktor keyakinn hakim dibatasi. Keyakinan hakim dalam teori conviction

reason, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan apa yang mendasari dan

reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasar alasan yang dapat diterima.

Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang

masuk akal31.

4. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negatief

Wettelijk Bewijs Theorie)

Teori pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif

menggabungkan ke dalam dirinya secra terpadu sistem pembuktian menurut

keyakinan dengan sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif.

30
Ibid.
31
Op. Cit.

24
Dari hasil penggabungan kedua sistem ini dari yang saling bertolak belakang itu,

terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif.

Dengan demikian dalam teori pembuktian menurut Undang-Undang

secara negatif, ada dua komponen yang saling berkaitan di mana ada unsur

objektif dan ada unsur subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya

terdakwa, yaitu:

a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang

sah menurut undang-undang (unsur objektif).

b. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat

bukti yang sah menurut undang-undang (unsur subjektif).

Berdasarkan teori pembuktian yang dijelaskan di atas, di antara salah

satu sistem tersebut, sistem pembuktian mana yang dianut oleh undang-undang

hukum acara pidana Indonesia. Mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 183

KUHAP, disebutkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan

bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.32

Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur, untuk menentukan salah

atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa,

harus:

32
Lihat Pasal 183 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana. Pasal 183
Undang-Undang Hukum Acara Pidana hampir bersamaan rumusan dan maksud yang terkandung di
dalamnya dengan Pasal 294 HIR “tidak akan hukuman kepada seorang pun jika hakim tidak yakin
kesalahan terdakwa dengan upaya bukti menurut Undang-Undang bahwa benar telah terjadi perbuatan
pidana dan bahwa tertuduhlah yang salah melakukan perbuatan itu”. Dengan demikian sistem
pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sama dengan sistem
pembuktian yang dianut oleh HIR.

25
1. Kesalahannya terbukti sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

2. Atas pembuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim

memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Apabila dikaitkan dengan teori pembuktian yang telah dibahas di atas,

maka sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang hukum acara pidana

Indonesia adalah sistem pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif

di mana sistem pembuktian ini mengatur di samping berpangkal tolak pada

aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh Undang-Undang,

tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.

Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian

berdasarkan Undang-Undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya

dipertahankan berdasarkan dua alasan:

a. Memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang


kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana,
janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak
yakin atas kesalahan terdakwa.
b. Faedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun
keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut
oleh hakim dalam melakukan peradilan.33

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

33
Op. Cit.

26
1. Pengaturan perlindungan hukum bagi saksi dan korban tindak pidana terorisme

dalam sistem peradilan pidana Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak

Pidana Terorisme sudah mengatur tentang perlindungan dan hak-hak

terhadap saksi dan korban, namun demikian pengaturan tersebut belum

secara jelas dan lengkap khususnya dalam hal kompensasi, restitusi terhadap

korban dan rehabilitasi terhadap pelaku yang salah tangkap.

b. Pengaturan tentang Saksi dan korban di dalam KUHAP,

lebih banyak memberikan kewajiban kepada Saksi dari pada pemberian

hak-hak yang memadai kepada Saksi dan korban. Demikian juga pengaturan

perlindungan saksi dan korban di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2006 Pasal 5 menyatakan untuk memperoleh perlindungan ada beberapa

syarat yang harus dipertimbangkan: sifat pentingnya keterangan Saksi

dan/atau Korban; tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau

Korban; hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau

Korban; dan rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi

dan/atau Korban. Dengan rumusan tersebut menyulitkan saksi dan korban

untuk mendapatkan perlindungan hukum yang bersifat segera.

2. Kedudukan saksi dan korban tindak pidana terorisme pada proses pembuktian

dalam sistem peradilan pidana Indonesia, adalah sebagai berikut:

a. Saksi dan Korban dalam peradilan pidana menempati posisi kunci,

sebagaimana penempatannya dalam urutan pertama sebagai alat bukti dalam

Pasal 184 KUHAP. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan

pidana telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana, di mana

27
terungkapnya suatu kasus hukum sebagian besar berdasarkan informasi

masyarakat. Pada tingkat kejaksaan sampai akhirnya pemeriksaan

persidangan, keterangan saksi dalam hal ini korban sebagai alat bukti utama

menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa,

disamping alat bukti lainnya. Korban dan saksi mempunyai kontribusi yang

sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan, namun demikian

sering kurang mendapat perhatian dari masyarakat, penegak hukum dan

pembentuk undang-undang. Korban tidak mendapat perlindungan hukum

dalam undang-undang berupa pemberian sejumlah hak seperti yang

dimiliki tersangka atau terdakwa. Dalam KUHAP tersangka atau terdakwa

memiliki lebih banyak jaminan perlindungan hukum apabila dikomparasi

dengan korban sebagai saksi dan saksi-saksi lainnya.

b. Eksistensi dan posisi hukum korban tindak pidana terorisme dalam sistem

peradilan pidana, tidak menguntungkan bagi saksi dan korban tindak pidana

terorisme, karena terbentur dalam problem yang mendasar yakni korban

hanya sebagai saksi (pelapor atau korban) dan dimanfaatkan hanya membuat

terang tindak pidana terorime. Manakala setelah persidangan dan pelaku telah

mendapat vonis inkrah dari hakim, maka tidak ada lagi perlindungan baginya,

bahkan hak-hak mendaoatkan kompensasi dan restitusipun harus

diperjuangkan melalui pengacaranya bukan melalui jaksa penuntut umum

selaku eksekutor.

B. Saran

1. Kiranya pembuat kebijakan hukum berkenan membuat hukum acara tersendiri

tentang tata cara perlindungan saksi dan korban tindak pidana terorisme yang

28
jelas dan tegas terutama tentang besaran jumlah kompensasi dan restitusi serta

tata cara pemulihan nama baik terhadap pelaku tindak pidana terorisme yang

salah tangkap atau tidak terbukti secara hukum.

2. Melakukan revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan

saksi dan korban mengenai persyaratan untuk mendapatkan perlindungan dari

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan menghadirkan LPSK di

seluruh Ibu Kota Provinsi di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid. 2004. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum,
Refika Aditama.

Andi Hamzah. 1986. Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung.

______. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. PT Rineka Cipta. Jakarta.

29
Andi Hamzah dan Irdan Dahlan. 1984. Perbandingan Kitab Undang-Undang Acara
Hukum Pidana-HIR dan Komentar, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Arif Gosita. 1989. Masalah Perlindungan Anak, CV. Akademika Pressindo, Edisi
Pertama, Cetakan Kedua, Jakarta.

______. 1993. Masalah Korban Kejahatan. Akademika Pressindo. Jakarta.

Bambang Purnomo. 2001. Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Undip.
Semarang.

______. 1996. Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara. Badan Penerbit


UNDIP. Semarang.

Bryan A. Gardner. 1999. Black Law Dictionary, Seventh Edition, London

Chaerudin dan Syarif Fadillah. 2004. Korban Kejahatan Dalam Pespektif Vikimologi
Dan Hukum Pidana Islam, Grhalia Press, Cetakan Pertama, Jakarta.

Cohen dalam Romli Atmasasmita. 2005. Masalah Santunan Korban Kejahatan.


BPHN. Jakarta.

Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana dalam Praktik, Djambatan, Jakarta.

Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom. 2007. Urgensi Perlindungan


Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita. PT. RadjaGrafindo Persada.
Jakarta.

30

Anda mungkin juga menyukai