Makalah Kejahatan Terorisme
Makalah Kejahatan Terorisme
Oleh
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia serta nikmat sehat, sehingga kami dapat meneyelesaikan
dan menyusun Makalah Kejahatan Terorisme dan Keamanan Negara dengan judul
“Kedudukan Saksi Dan Korban Tindak Pidana Terorisme Pada Proses Pembuktian
Makalah ini kami laksanakan dan sampaikan sebagai salah satu syarat tugas sebagai
mahasiswa Prodi Magister Hukum UNJA dalam mata kuliah Kejahatan Terorisme dan
Keamanan Negara yang diberikan oleh dosen pengajar, Bapak Dr. H. Usman, S.H., M.H.
Dalam pelaksanaan pembuatan makalah ini berhasil kami selesaikan tidak terlepas
dari bimbingan, bantuan, dukungan, dorongan dan peranan dari berbagai pihak baik pikiran,
tenaga mupun moril, untuk itu pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terimakasih
Kami menyadari bahwa Makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Akhirnya kami berharap Makalah Kejahatan Terorisme dan Keamanan Negara ini
Penyusun
i
DAFTAR ISI
1. KATA PENGANTAR i
2. DAFTAR ISI ii
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 8
C. Metode Penulisan 8
DAFTAR PUSTAKA
30
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
terselenggaranya fungsi dan tugas negara untuk melindungi segenap bangsa dan
yang sangat penting dalam sistem pembuktian hukum pidana sekalipun saksi bukan
Overtuiging”. Akan tetapi peranan saksi yang sangat penting, sebagai salah
satu alat bukti dalam KUHAP sangat kontras dengan bentuk perhatian atau
pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan
karena tidak dapat menghadirkan saksi dan atau korban. Tidak banyak orang
1
dilakukan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi saksi
dan atau korban yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana.
menentukan hasil akhir dari berbagai kasus, baik perdata maupun pidana”. 1 Hal
Acara Pidana, di mana saksi sebagai alat bukti utama, maka dampaknya
sangat terasa bila dalam suatu perkara pidana tidak diperoleh saksi. Menurut
orang yang dijadikan saksi, baik itu saksi korban dan saksi pelapor
keterangan saksi. Apalagi dalam tindak pidana terorisme, para saksi akan
1
Ibid.
2
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan,
Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 20.
2
inilah mengakibatkan saksi enggan dan bahkan takut untuk melaporkan kejahatan
yang dilakukan terhadap diri korban sendiri apalagi terjadi terhadap orang lain.
banyak korban meninggal dunia dan kerugian materil yang sedemikian rupa. Hal ini
pada tahun 2000 dengan tema The Prevention of Crime and The Treatment of
Peristiwa ini tepatnya terjadi di Sari Club dan Peddy’s Club, Kuta, Bali.
Sebelumnya, tercatat juga beberapa aksi teror di Indonesia antara lain kasus Bom
Istiqlal pada tanggal 19 April 1999, Bom Malam Natal pada tanggal 24
Desember 2000 yang terjadi di dua puluh tiga gereja, September 2000 Bom di
Bursa Efek Jakarta, Agustus 2001 ledakan di Atrium Senen Jakarta Pusat, 22 Juli
2002 bom di Gereja Santa Ana Jakarta Timur, 5 Agustus 2003 ledakan bom mobil di
loby Hotel Marriott Jakarta, 10 Januari 2004 ledakan bom di Kafe Sampoddo Indah
Palopo Sulsel, 9 November 2004 ledakan di depan Kantor Kedubes Australia Jl.
3
Rasuna Said Kuningan Jakarta, 28 Mei 2005 dua ledakan bom di Pasar Tentena dan
merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena
dijunjung tinggi.
4
Menurut Muladi bahwa :
Pada dasarnya tindak pidana terorisme adalah extra ordinary crime, derajat
retroaktif untuk kasus Bom Bali. Dari segi pengaturan Internasional terdapat tiga
Tahun 2006.
3
Muladi, Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, <http://en.wikipedia.org/.
Hukum on Line. Diakses tanggal 17 Oktober 2012.
5
disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2006.
Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, disebutkan bahwa
perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur
dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6 dan 7, bahwa
kemerdekaan, serta kerugian harta benda, oleh karena itu perlu dilaksanakan
sampai saat ini belum secara komprehensif dan memadai untuk memberantas tindak
pidana terorisme terutama yang mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan
korban.
6
Dalam ketentuan hukum beracara pidana di Indonesia, tersangka/terdakwa
memiliki sejumlah hak yang diatur secara tegas dan rinci dalam suatu
bab tersendiri. Sebaliknya bagi saksi termasuk saksi korban, hanya ada
memberikan hak pada saksi, tetapi pemberiannya pun selalu dikaitkan dengan
tersangka/terdakwa. Artinya hak yang dimiliki saksi lebih sedikit dari pada hak
Undang Hukum Acara Pidana hanya satu pasal yakni Pasal 229, sehingga dalam
prakteknya dijumpai hal yang mengecewakan yaitu di mana hak saksi untuk
tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya dengan alasan klasik yaitu tidak ada
dana/anggaran.
panggilan dari penegak hukum. Pasal 224 KUHP menyatakan bahwa ”barang
siapa dipanggil sebagai saksi, saksi ahli atau juru bahasa menurut undang-
undang yang harus dipenuhinya, dalam perkara pidana, diancam dengan pidana
7
korban berupa pemberian sejumlah hak, seperti yang dimiliki oleh
tersangka/terdakwa”4.
KUHAP, belum mampu memberikan suatu bentuk pengaturan bantuan hukum yang
dapat memberikan perlindungan bagi saksi dan penggantian biaya untuk transportasi
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum bagi saksi dan korban tindak pidana
2. Bagaimana kedudukan saksi dan korban tindak pidana terorisme pada proses
C. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitan adalah normatif, atau yang sering juga disebut penelitian
keilmuan hukum itu sendiri. Karena itu pemilik metode penelitian senantiasa
4
Ibid, hal. 285.
8
dibatasi oleh rumusan masalah, obyek yang diteliti, dan tradisi keilmuan hukum
itu sendiri.5
aspek sebagai berikut: “1) mempelajari aturan dari segi teknis, 2) berbicara
tentang hukum, 3) berbicara hukum dari segi hukum, 4) berbicara problem hukum
yang konkrit”.6
5
Sahuri Lasmadi, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia, Disertasi
Program Pascasarjana Universitas Air Langga, Surabaya, 2003, hal. 64.
6
Ibid.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menghindari penafsiran yang
berbeda-beda dalam mengartikan istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka
penulis memberikan batasan dari konsep terkait terhadap judul ini dengan
memberikan definisi-definisi dari beberapa istilah yang ada, yaitu sebagai berikut:
pidana yang didengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Demikian
lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri”. Secara makna tidak ada yang
berbeda hanya saja ada sedikit penyempurnaan bahasa saja. Pasal 1 angka
bahwa “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuan itu”.
10
Menurut Rusdi Harjo bahwa, yang dimaksud saksi dapat
diklasifikasikan7:
7
Rusdihandjo, Nilai Pembuktian Keterangan Saksi Mahkota Dalam Penyelesaian Perkara Pidana,
Jakarta, 1996, hal.14.
11
menemukan titik terang apakah suatu tindak pidana benar-benar terjadi
2. Pengertian Korban
Korban sudah pasti menjadi saksi dalam hal terjadinya tindak pidana,
akan tetapi saksi belum tentu menjadi korban. Berbagai pengertian korban
banyak dikemukakan, baik oleh para ahli maupun bersumber dari konvensi-
antaranya adalah: Menurut Arief Gosita ”Korban adalah mereka yang menderita
jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari
pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
”victim is person who has injured mental or physical suffering, loss of property
another”9. Kemudian Cohen “victim is whose pain and suffering have been
neglected by the state while it spends immense resources to hunt down and
punish the offender who responsible for that pain and suffering”10.
korban yaitu:
8
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993, hal. 63.
9
Ralph de Sola, Crime Dictionary, Facts on File Publication, New York, 1998, hal.188.
10
Cohen dalam Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta, 2005, hal.9.
12
peraturan lingkungan, penyelewengan di bidang pemasaran dan
perdagangan oleh perusahaan-perusahaan trans- nasional,
pelanggaran peraturan devisa, pelanggaran peraturan pajak dan lain
sebagainya.
4. Korban penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan umum
(illegal abuses of public power) seperti pelanggaran terhadap hak
asasi manusia, penyalahgunaan wewenang oleh alat penguasa,
termasuk penangkapan serta penahanan yang melanggar hukum dan
lain sebagainya.11
hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
11
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana (Kumpulan Karangan, Buku
Kedua), Jakarta, Universitas Indonesia, 2007, hal. 85-86.
13
Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan,
terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini
mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum
pelaksanaan pidana.
terjadinya suatu kejahatan juga karena kedudukan korban sebagai subjek hukum
yang memiliki kedudukan sederajat di depan hukum (equality before the law).
hendaknya dilakukan atas dasar belas kasihan dan hormat atas martabat korban
korban adalah suatu bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh aparat penegak
hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun
mental, kepada korban dan saksi dari amcaman gangguan, teror dan kekerasan
dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan dan
3. Pengertian Terorisme
meskipun sudah ada ahli yang merumuskan dan juga dirumuskan di dalam
12
Muladi, HAM Dalam Persepktif Sistem Peradilan Pidana, dalam: Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia:
Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama,
Bandung, 2005, hal. 107.
14
menurut hukum internasional mengenai terorisme tidak serta-merta
menanggulangi terorisme.
Kata “teroris” dan terorisme berasal dari kata latin “terrere” yang
kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga
bisa menimbulkan kengerian.13 Akan tetapi sampai dengan saat ini belum ada
definisi terorisme yang bisa diterima secara universal. Pada dasarnya istilah
berdosa.
13
Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Refika Aditama, 2004, hal
22.
14
Bryan A. Gardner, Editor in Chief, Black Law Dictionary, Seventh Edition, London, 1999, hal. 1484.
15
Muchamad Ali Syafaat, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003, hal. 59.
15
3. Dampak sosial yang mengikuti kekerasan atau ancaman
kekerasan dan rasa ketakutan yang muncul kemudian.16
Pengertian terorisme secara yuridis disebutkan dalam Undang-Undang
Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (1), bahwa Tindak Pidana Terorisme adalah
Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6 dan 7, bahwa setiap orang dipidana
B. Kerangka Teoritis
atau politik hukum pidana (penal policy). Penggunaan hukum pidana untuk
16
Ibid.
16
antara lain dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro Ahli hukum pidana
sebuah kebijakan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana yang dimaksud adalah
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan masa-masa yang akan datang serta
yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Di dalam sistem peradilan pidana, polisi dan jaksa merupakan dua institusi
penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Kedua institusi ini
seharusnya dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik untuk mencapai
tujuan dari sistem ini, yaitu menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya
kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima masyarakat.
17
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan
Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi Universitas
Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 92.
17
pemasyarakatan, ikut bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas menanggulangi
terjadi sangat terkait dengan tugas dua komponen sistem, yaitu polisi dan jaksa
(pada tahap prajudisial) serta pengadilan (pada tahap judisial). Sementara tugas
dan jaksa sendiri terutama berkaitan dengan tugas penyidikan suatu tindak pidana.
yang terjadi di masyarakat, perlu ada suatu hukum yang di dalamnya antara lain
memuat siapa aparat penegak hukum yang oleh negara diberikan tugas penegakan
hukum pidana, bagaimana tatacara penegakannya, apa saja tugas dan kewajibannya,
serta apa sanksi bila ternyata pelaksanaannya tidak sesuai dengan cara atau tugas
dan kewenangannya. Hukum tersebut dikenal sebagai hukum pidana formal atau
pidana menjadi pegangan bagi polisi, jaksa, dan hakim, bahkan termasuk penasihat
18
Wirdjono Prodjodikoro, Hukum acara pidana di Indonesia, Sumur Batu Bandung, 1970, hal. 9.
18
penahanan dan pemeriksaan di pengadilan"19. Lebih lanjut Samosir mengatakan
bahwa "para pelaksana hukum itu dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh
penuntutan dan pengadilan yang akan merupakan pedoman kerja bersama dalam
peradilan yang diemban oleh masing - masing institusi merupakan pedoman yang
19
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I, Pustaka
Kartini, Jakarta, 1998, hal. 34.
20
Ibid.
21
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Pendidikan Pidana, Universitas Muhamadiyah Semarang,
Malang, 2005, hal. 220.
22
Mardjono Reksodiputro, Menuju Pada Satu Kebijakan Kriminal dalam HAM dalam Sistem
Peradilan Pidana , Jakarta :Pusat Pelayanan Hukum Dan Keadilan 1993, hal. 96.
19
Berdasarkan keterangan para ahli hukum tersebut di atas, maka dalam sistem
hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, maka para penegak hukum
dimaksud mempunyai peran tugas dan tanggung jawab terhadap masa depan anak
dimaksud.
BAB III
PEMBAHASAN
20
Kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana sebagai kelanjutan dari
Diwakili oleh penuntut umum atau jaksa dalam menghadapi pihak pelaku.
Pihak koban hanya berfungsi sebagai saksi. Singkatnya, pihak korban dalam
sistem peradilan ini hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pihak penguasa
dalam rangka menegakkan hukum, sehingga pada hakekatnya, pihak korban
dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam pelaksanaan peradilan pidana
tidaklah menegakkan hukum secara sempurna.23
sebagaimana penempatannya dalam urutan pertama sebagai alat bukti dalam Pasal
184 KUHAP. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana telah
dimulai sejak awal proses peradilan pidana, di mana terungkapnya suatu kasus
kejaksaan sampai akhirnya pemeriksaan persidangan, keterangan saksi dalam hal ini
korban sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus
bersalah atau tidaknya terdakwa, disamping alat bukti lainnya. Unus Testis Nullus
Testis (satu saksi bukanlah saksi). Korban sebagai saksi mempunyai kontribusi yang
sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan, namun demikian sering
pembentuk undang-undang.
didakwakan merupakan bagian yang terpenting acara pidana, hukum acara pidana
23
Mulyana W. Kusuma, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-Kejahatan Kekerasan,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 41.
21
bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata
Mencari kebenaran materiil itu tidaklah mudah, alat-alat bukti yang tersedia
kabur dan sangat relatif. Kesaksian diberikan oleh manusia yang mempunyai sifat
pelupa. Bahkan menurut psikologi, “penyaksian suatu peristiwa yang baru saja
Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada atau dengan
kata lain untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan hasil pembuktian terhadap
perkara yang sedang diperiksa. Hasil dan kekuatan pembuktian yang bagaimana yang
kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan
24
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal 246.
25
Ibid., hal. 247.
26
Op. Cit., hal. 278.
22
Menurut D. Simon yang dikutip Andi Hamzah, Sistem atau teori
Dalam teori ini, asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian
Teori ini muncul disadarai karena alat bukti berupa pengakuan terdakwa
sendiri29.
tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebalikinya hakim leluasa
terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama
27
Op. Cit., hal. 247.
28
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya “Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung: 1967, hal.
75, menyatakan menolak apabila Teori pembuktian Undang-Undang secara positif diterapkan di
Indonesia, karena katanya, bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara
menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang
jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.
29
Ibid.
23
Dengan demikian teori Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu
positif.
3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang
pembuktian tertentu30. Teori ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim
dalam menentukan salah tidaknya terdakwa, akan tetapi, dalam teori pembuktian
ini, faktor keyakinn hakim dibatasi. Keyakinan hakim dalam teori conviction
reason, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan apa yang mendasari dan
reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasar alasan yang dapat diterima.
Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang
masuk akal31.
30
Ibid.
31
Op. Cit.
24
Dari hasil penggabungan kedua sistem ini dari yang saling bertolak belakang itu,
secara negatif, ada dua komponen yang saling berkaitan di mana ada unsur
objektif dan ada unsur subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya
terdakwa, yaitu:
a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang
b. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat
satu sistem tersebut, sistem pembuktian mana yang dianut oleh undang-undang
hukum acara pidana Indonesia. Mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 183
seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa,
harus:
32
Lihat Pasal 183 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana. Pasal 183
Undang-Undang Hukum Acara Pidana hampir bersamaan rumusan dan maksud yang terkandung di
dalamnya dengan Pasal 294 HIR “tidak akan hukuman kepada seorang pun jika hakim tidak yakin
kesalahan terdakwa dengan upaya bukti menurut Undang-Undang bahwa benar telah terjadi perbuatan
pidana dan bahwa tertuduhlah yang salah melakukan perbuatan itu”. Dengan demikian sistem
pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sama dengan sistem
pembuktian yang dianut oleh HIR.
25
1. Kesalahannya terbukti sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
2. Atas pembuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim
maka sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang hukum acara pidana
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
33
Op. Cit.
26
1. Pengaturan perlindungan hukum bagi saksi dan korban tindak pidana terorisme
secara jelas dan lengkap khususnya dalam hal kompensasi, restitusi terhadap
hak-hak yang memadai kepada Saksi dan korban. Demikian juga pengaturan
Korban; hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau
Korban; dan rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi
2. Kedudukan saksi dan korban tindak pidana terorisme pada proses pembuktian
27
terungkapnya suatu kasus hukum sebagian besar berdasarkan informasi
persidangan, keterangan saksi dalam hal ini korban sebagai alat bukti utama
disamping alat bukti lainnya. Korban dan saksi mempunyai kontribusi yang
sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan, namun demikian
b. Eksistensi dan posisi hukum korban tindak pidana terorisme dalam sistem
peradilan pidana, tidak menguntungkan bagi saksi dan korban tindak pidana
hanya sebagai saksi (pelapor atau korban) dan dimanfaatkan hanya membuat
terang tindak pidana terorime. Manakala setelah persidangan dan pelaku telah
mendapat vonis inkrah dari hakim, maka tidak ada lagi perlindungan baginya,
selaku eksekutor.
B. Saran
tentang tata cara perlindungan saksi dan korban tindak pidana terorisme yang
28
jelas dan tegas terutama tentang besaran jumlah kompensasi dan restitusi serta
tata cara pemulihan nama baik terhadap pelaku tindak pidana terorisme yang
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahid. 2004. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum,
Refika Aditama.
Andi Hamzah. 1986. Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung.
29
Andi Hamzah dan Irdan Dahlan. 1984. Perbandingan Kitab Undang-Undang Acara
Hukum Pidana-HIR dan Komentar, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Arif Gosita. 1989. Masalah Perlindungan Anak, CV. Akademika Pressindo, Edisi
Pertama, Cetakan Kedua, Jakarta.
Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Undip.
Semarang.
Chaerudin dan Syarif Fadillah. 2004. Korban Kejahatan Dalam Pespektif Vikimologi
Dan Hukum Pidana Islam, Grhalia Press, Cetakan Pertama, Jakarta.
Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana dalam Praktik, Djambatan, Jakarta.
30