Anda di halaman 1dari 5

GENESA TEMBAGA

Tembaga secara garis besar genesanya dapat dibagi 2 (dua) kelompok, yaitu genesa primer dan
genesa sekunder.
2. Genesa Sekunder
Dalam pembahasan mineral yang mengalami proses sekunder terutama akan ditinjau proses
ubahan (alteration) yang terjadi pada
mineral-mineral urat (vein). Mineral sulfida yang terdapat di alam mudah sekali mengalami
perubahan. Mineral yang mengalami oksidasi dan berubah menjadi mineral sulfida kebanyakan mempunyai
sifat larut dalam air. Akhirnya didapatkan suatu massa yang berongga terdiri dari kuarsa berkarat yang
disebut Gossan (penudung besi). Sedangkan material logam yang terlarut akan mengendap kembali pada
kedalaman yang lebih besar dan menimbulkan zona pengayaan sekunder.
Pada zona diantara permukaan tanah dan muka air tanah berlangsung sirkulasi udara dan air yang
aktif, akibatnya sulfida-sulfida akan teroksidasi menjadi sulfat-sulfat dan logam-logam dibawa serta dalam
bentuk larutan, kecuali unsur besi. Larutan mengandung logam tidak berpindah jauh sebelum proses
pengendapan berlangsung. Karbon dioksit akan mengendapkan unsur Cu sebagai malakit dan azurit.
Disamping itu akan terbentuk mineral lain seperti kuprit, gunative, hemimorfit dan angelesit. Sehingga
terkonsentrasi kandungan logam dan kandungan kaya bijih.
Apabila larutan mengandung logam terus bergerak ke bawah sampai zona air tanah maka akan
terjadi suatu proses perubahan dari proses oksidasi menjadi proses reduksi, karena bahan air tanah pada
umumnya kekurangan oksigen. Dengan demikian terbentuklah suatu zona pengayaan sekunder yang
dikontrol oleh afinitas bermacam logam sulfida.
Logam tembaga mempunyai afinitas yang kuat terhadap belerang, dimana larutan mengandung
tembaga (Cu) akan membentuk seperti pirit dan kalkopirit yang kemudian menghasilkan sulfida-sulfida
sekunder yang sangat kaya dengan kandungan mineral kovelit dan kalkosit. Dengan cara seperti ini
terbentuk zona pengayaan sekunder yang mengandung konsentrasi tembaga berkadar tinggi bila dibanding
bijih primer.
B. Genesa Terbentuknya Batubara
Proses perubahan sisa-sisa tanaman menjadi gambut hingga batu bara disebut dengan istilah
pembatu baraan (coalification). Secara ringkas ada 2 tahap proses yang terjadi, yakni:

Tahap Diagenetik atau Biokimia, dimulai pada saat material tanaman terdeposisi hingga lignit
terbentuk. Agen utama yang berperan dalam proses perubahan ini adalah kadar air, tingkat oksidasi dan
gangguan biologis yang dapat menyebabkan proses pembusukan (dekomposisi) dan kompaksi material
organik serta membentuk gambut.

Tahap Malihan atau Geokimia, meliputi proses perubahan dari lignit menjadi bituminus dan
akhirnya antrasit.

Di Indonesia, endapan batu bara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan Tersier, yang
terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera dan Kalimantan), pada umumnya
endapan batu bara ekonomis tersebut dapat dikelompokkan sebagai batu bara berumur Eosen atau sekitar
Tersier Bawah, kira-kira 45 juta tahun yang lalu dan Miosen atau sekitar Tersier Atas, kira-kira 20 juta tahun
yang lalu menurut Skala waktu geologi.

Batu bara ini terbentuk dari endapan gambut pada iklim purba sekitar khatulistiwa yang mirip
dengan kondisi kini. Beberapa diantaranya tegolong kubah gambut yang terbentuk di atas muka air tanah
rata-rata pada iklim basah sepanjang tahun. Dengan kata lain, kubah gambut ini terbentuk pada kondisi
dimana mineral-mineral anorganik yang terbawa air dapat masuk ke dalam sistem dan membentuk lapisan
batu bara yang berkadar abu dan sulfur rendah dan menebal secara lokal. Hal ini sangat umum dijumpai
pada batu bara Miosen. Sebaliknya, endapan batu bara Eosen umumnya lebih tipis, berkadar abu dan sulfur
tinggi. Kedua umur endapan batu bara ini terbentuk pada lingkungan lakustrin, dataran pantai atau delta,
mirip dengan daerah pembentukan gambut yang terjadi saat ini di daerah timur Sumatera dan sebagian
besar Kalimantan.

Batu bara ini umumnya terdeposisi pada lingkungan fluvial, delta dan dataran pantai yang mirip
dengan daerah pembentukan gambut saat ini di Sumatera bagian timur. Ciri utama lainnya adalah kadar
abu dan belerang yang rendah. Namun kebanyakan sumberdaya batu bara Miosen ini tergolong sub-
bituminus atau lignit sehingga kurang ekonomis kecuali jika sangat tebal (PT Adaro) atau lokasi
geografisnya menguntungkan. Namun batu bara Miosen di beberapa lokasi juga tergolong kelas yang tinggi
seperti pada Cebakan Pinang dan Prima (PT KPC), endapan batu bara di sekitar hilir Sungai Mahakam,
Kalimantan Timur dan beberapa lokasi di dekat Tanjungenim, Cekungan Sumatera bagian selatan.

Potensi sumberdaya batu bara di Indonesia sangat melimpah, terutama di Pulau Kalimantan dan
Pulau Sumatera, sedangkan di daerah lainnya dapat dijumpai batu bara walaupun dalam jumlah kecil dan
belum dapat ditentukan keekonomisannya, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua, danSulawesi.

C. Minyak bumi

Minyak Bumi (bahasa Inggris: petroleum, dari bahasa Latin petrus – karang dan oleum – minyak),
dijuluki juga sebagai emas hitam, adalah cairan kental, berwarna coklat gelap, atau kehijauan yang mudah
terbakar, yang berada di lapisan atas dari beberapa area di kerak bumi. Minyak Bumi terdiri dari campuran
kompleks dari berbagai hidrokarbon, sebagian besar seri alkana, tetapi bervariasi dalam penampilan,
komposisi, dan kemurniannya. Minyak Bumi diambil dari sumur minyak di pertambangan-pertambangan
minyak. Lokasi sumur-sumur minyak ini didapatkan setelah melalui proses studi geologi, analisis sedimen,
karakter dan struktur sumber, dan berbagai macam studi lainnya. Setelah itu, minyak Bumi akan diproses di
tempat pengilangan minyak dan dipisah-pisahkan hasilnya berdasarkan titik didihnya sehingga
menghasilkan berbagai macam bahan bakar, mulai dari bensin dan minyak tanah sampai aspal dan
berbagai reagen kimia yang dibutuhkan untuk membuat plastik dan obat-obatan. Minyak Bumi digunakan
untuk memproduksi berbagai macam barang dan material yang dibutuhkan manusia.

Jika dilihat kasar, minyak Bumi hanya berisi minyak mentah saja, tapi dalam penggunaan sehari-hari
ternyata juga digunakan dalam bentuk hidrokarbon padat, cair, dan gas lainnya. Pada kondisi temperatur
dan tekanan standar, hidrokarbon yang ringan seperti metana, etana, propana, dan butana berbentuk gas
yang mendidih pada -161.6 °C, -88.6 °C, -42 °C, dan -0.5 °C, berturut-turut (-258.9°, -127.5°, -43.6°, dan
+31.1° F), sedangkan karbon yang lebih tinggi, mulai dari pentana ke atas berbentuk padatan atau cairan.
Meskipun begitu, di sumber minyak di bawah tanah, proporsi gas, cairan, dan padatan tergantung dari
kondisi permukaan dan diagram fase dari campuran minyak Bumi tersebut.[5]

Sumur minyak sebagian besar menghasilkan minyak mentah, dan terkadang ada juga kandungan
gas alam di dalamnya. Karena tekanan di permukaan Bumi lebih rendah daripada di bawah tanah, beberapa
gas akan keluar dalam bentuk campuran. Sumur gas sebagian besar menghasilkan gas. Tapi, karena suhu
dan tekanan di bawah tanah lebih besar daripada suhu di permukaan, maka gas yang keluar kadang-kadang
juga mengandung hidrokarbon yang lebih besar, seperti pentana, heksana, dan heptana dalam wujud gas.
Di permukaan, maka gas ini akan mengkondensasi sehingga berbentuk kondensat gas alam. Bentuk fisik
kondensat ini mirip dengan bensin.

Anda mungkin juga menyukai