Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Pertumbuhan adalah suatu proses alamiah yang terjadi pada individu,yaitu secara
bertahap,berat dan tinggi anak semakin bertambah dan secara simultan mengalami
peningkatan untuk berfungsi baik secara kognitif, psikososial maupun spiritual ( Supartini,
2000).
4. Faktor nutrisi
Nutrisi adalah salah satu komponen penting dalam menunjang kelangsungan
proses tumbuh kembang. Selama masa tumbuh kembang, anak sangat membutuhkan zat
gizi seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin, dan air. Apabila kebutuhan
tersebut tidak di penuhi maka proses tumbuh kembang selanjutnya dapat terhambat.
5. Faktor kesehatan
Status kesehatan dapat berpengaruh pada pencapaian tumbuh kembang. Pada anak
dengan kondisi tubuh yang sehat, percepatan untuk tumbuh kembang sangat mudah.
Namun sebaliknya, apabila kondisi status kesehatan kurang baik, akan terjadi
perlambatan.
C. CIRI PROSES TUMBUH KEMBANG
Menurut Soetjiningsih, tumbuh kembang anak dimulai dari masa konsepsi sampai dewasa
memiliki ciri-ciri tersendiri yaitu :
1. Tumbuh kembang adalah proses yang kontinyu sejak konsepsi sampai maturitas (dewasa)
yang dipengaruhi oleh faktor bawaan daan lingkungan.
2. Dalam periode tertentu terdapat percepatan dan perlambatan dalam proses tumbuh
kembang pada setiap organ tubuh berbeda.
3. Pola perkembangan anak adalah sama, tetapi kecepatannya berbeda antara anak satu
dengan lainnya.
4. Aktivitas seluruh tubuh diganti dengan respon tubuh yang khas oleh setiap organ.
Secara garis besar menurut Markum (1994) tumbuh kembang dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Tumbuh kembang fisis
Tumbuh kembang fisis meliputi perubahan dalam ukuran besar dan fungsi organisme atau
individu. Perubahan ini bervariasi dari fungsi tingkat molekuler yang sederhana seperti
aktifasi enzim terhadap diferensi sel, sampai kepada proses metabolisme yang kompleks
dan perubahan bentuk fisik di masa pubertas.
2. Tumbuh kembang intelektual
Tumbuh kembang intelektual berkaitan dengan kepandaian berkomunikasi dan
kemampuan menangani materi yang bersifat abstrak dan simbolik, seperti bermain,
berbicara, berhitung, atau membaca.
3. Tumbuh kembang emosional
Proses tumbuh kembang emosional bergantung pada kemampuan bayi umtuk membentuk
ikatan batin, kemampuan untuk bercinta kasih.
9. Dewasa tua
Perawat membantu individu untuk menghadapi kehilangan (pendengaran,
penglihatan, kematian orang tercinta).
E. PERKEMBANGAN PSIKOSEKSUAL
Dalam perkembangan psikoseksual dalam tumbuh kembang dapat dijelaskan beberapa
tahap sebagai berikut :
1. Tahap oral-sensori (lahir sampai usia 12 bulan)
Dalam tahap ini biasanya anak memiliki karakter diantaranya aktivitasnya mulai
melibatkan mulut untuk sumber utama dalam kenyamanan anak, perasaannya mulai
bergantung pada orang lain (dependen), prosedur dalam pemberian makan sebaiknya
memberkan kenyamanan dan keamanan bagi anak.
F. PERKEMBANGAN BIOLOGIS
Teori biologisme, biasa disebut teori nativisme menekankan pentingnya peranan bakat.
Pendirian biologisme ini dimulai lebniz (1646-1716) yang mengemukakan teori kontunuitas
yang dilanjutkan dengan evoluisionisme. Selanjutnya Haeckel (1834-1919) seorang ahli
biologi Jerman mengemukakan teori biogenese, yang menyatakan bahwa perkembangan
ontogenese (individu) merupakan rekapitulasi dari filogesenasi.
Sebagai makhluk kodrati yang kompleks, manusia memiliki inteligensi dan kehendak
bebas. Dalam hal perkembangan, pada awalnya manusia berkembang alami sesuai dengan
hukum alam. Kemudian perkembangan alami manusia ini menjadi jauh melampui
perkembangan makhluk lain melalui intervensi inteligensi dan kebebasannya.
G. PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL
Erik H Erickson mengungkapkan pendapatnya tentang teori tentang perkembangan
psikososial diantaranya :
1. Trust vs mistrust -- bayi (lahir – 12 bulan)
Anak memiliki indikator positif yaitu belajar percaya pada orang lain, tetapi selain itu
ada segi negatifnya yaitu tidak percaya, menarik diri dari lingkungan masyarakat,dan
bahkan pengasingan. Pemenuhan kepuasan untuk makan dan menghisap, rasa hangat dan
nyaman, cinta dan rasa aman itu bisa menghasilkan kepercayaan. Pada saat kebutuhan
dasar tidak terpenuhi bayi akan menjadi curiga, penuh rasa takut, dan tidak percaya. Hal
ini ditandai dengan perilaku makan, tidur dan eliminasi yang buruk.
2. Otonomi vs ragu-ragu dan malu (autonomy vs shame & doubt) – todler
(1-3 tahun)
Gejala positif dari tahap ini adalah kontrol diri tanpa kehilangan harga diri, dan
negatifnya anak terpaksa membatasi diri atau terpaksa mengalah. Anak mulai
mengembangkan kemandirian dan mulai terbentk kontrol diri. Hal ini harus didukung
oleh orang tua, mungkin apabila dukungan tidak dimiliki maka anak tersebut memiliki
kepribadian yang ragu-ragu.
Selain teori tersebut menurut, diketahui bahwa gejolak emosi remaja dan masalah remaja
lain pada umumnya disebabkan antara lain oleh adanya konflik peran sosial. Di satu pihak ia
sudah ingin mandiri sebagai orang dewasa, di pihak lain ia masih harus terus mengikuti
kemauan orang tua. Rasa ketergantungan pada orang tua di kalangan anak anak Indonesia
lebih besar lagi, karena memang dikehandaki demikian oleh orang tua.Konflik peran yang
yang dapat menimbulkan gejolak emosi dan kesulitan kesulitan lain pada amasa remaja dapat
dikurangi dengan memberi latihan latihan agar anak dapat mandiri sedini mungkin. Dengan
kemandiriannya anak dapat memilih jalannya sendiri dan ia akan berkembang lebih mantap.
Oleh karena ia tahu dengan tepat saat saat yang berbahaya di mana ia harus kembali
berkonsultasi dengan orang tuanya atau dengan orang dewasa lain yang lebih tahu dari
dirinya sendiri.
H. PERKEMBANGAN MORAL
Moral merupakan bagian yang cukup penting dalam jiwa remaja. Sebagian orang
berpendapat bahwa moral bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa ini
sehingga ia tidak melakukan hal hal yang merugikan atau bertentangan dengan kehendak
atau pandangan masyarakat.Di sisi lain tiadanya moral seringkali dituding sebagai faktor
penyebab meningkatnya kenakalan remaja.
Para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri punya peran penting dalam
pembentukan moral. W.G. Summer (1907), salah seorang sosiolog, berpendapat bahwa
tingkah laku manusia yang terkendali disebabkan oleh adanya kontrol dari masyarakat itu
sendiri yang mempunyai sanksi sanksi tersendiri buat pelanggar pelanggarnya.Bayi berada
dalam tahap perkembangan moral yang oleh Piaget (Hurlock, 1980) disebut moralitas dengan
paksaan (preconventional level) yang merupakan tahap pertama dari tiga tahapan
perkembangan moral.
Menurut teori Kohlberg (1968) menyatakan bahwa perkembangan moral meliputi beberapa
tahap meliputi :
1. Tingkat premoral (prekonvensional) : lahir sampai 9 tahun
Anak menyesuaikan minat diri sendiri dengan aturan, berasumsi bahwa penghargaan atau
bantuan akan diterimanya, kewaspadaan terhadap moral yang bisa diterima secara sosial,
kontrol emosi didapatkan dari luar.
2. Tingkat moralitas konvensional : 9-13 tahun
Usaha yang dilakukan untuk memyensngkan orang lain, kontrol emosi didapat dari
dalam, anak menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan dan menghindari kritikan
dari yang berwenang.
3. Tingkat moralitas pasca konvensional : 13 tahun sampai meninggal
Individu memperoleh nilai moral yang benar, pencapaian nilai moral yang benar terjadi
setelah dicapai formal operasional dan tidak semua orang mencapai tingkatan ini.
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg, ialah
internalisasi (internalization), yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang
dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
I. PERKEMBANGAN SPIRITUAL
Sejalan dengan perkembangan social, perkembangan keagamaan mulai disadari bahwa
terdapat aturan-aturan perilaku yang boleh, harus atau terlarang untuk
melakukannya.Perkembangan spiritual anak sangat bepengaruh sekali dalam tumbuh
kembang anak. Agama sebagai pedoman hidup anak untuk masa yang akan datang. Selain
itu, moral seorang anak juga dapat dibentuk melalui perkembangan spiritual. Anak diberi
pengetahuan adanya kepercayaan terhadap Tuhan YME sesuai dengan kepercayaan yang
dianut orang tua. Karena agama seorang anak itu diturunkan/diwariskan oleh orang tuanya.
Para ahli berpendapat bahwa perkembangan spiritual dibagi menjadi 3 tahapan yaitu :
1. Masa kanak-kanak (sampai tujuh tahun)
Tanda-tandanya antara lain : sikap keagamaan resepsif meskipun banyak bertanya,
pandangan ke- Tuhanan masih dipersonifikasikan, penghayatan secara rohaniah masih
belum mendalam meskipun mereka telah melakukan kegiatan ritual.
DAMPAK HOSPITALISASI
A. Pengertian Hospitalisasi
Hospitalisasi merupakan perawatan yang dilakukan dirumah sakit dan dapat
menimbulkan trauma dan stress pada klien yang baru mengalami rawat inap dirumah sakit.
Hospitalisasi dapat diartikan juga sebagai suatu keadaan yang memaksa seseorang harus
menjalani rawat inap di rumah sakit untuk menjalani pengobatan maupun terapi yang
dikarenakan klien tersebut mengalami sakit. Pengalaman hospitalisasi dapat mengganggu
psikologi seseorang terlebih bila seseorang tersebut tidak dapat beradaptasi dengan
lingkungan barunya di rumah sakit. Pengalaman hospitalisasi yang dialami klien selama
rawat inap tersebut tidak hanya mengganggu psikologi klien, tetapi juga akan sangat
berpengaruh pada psikososial klien dalam berinteraksi terutama pada pihak rumah sakit
termasuk pada perawat.
Dalam Supartini (2002), hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan
yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani
terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah.
Penelitian membuktikan bahwa hospitalisasi anak dapat menjadi suatu pengalaman yang
menimbulkan trauma, baik pada anak, maupun orang tua. Sehingga menimbulkan reaksi
tertentu yang akan sangat berdampak pada kerja sama anak dan orang tua dalam perawatan
anak selama di rumah sakit (Halstroom dan Elander, 1997, Brewis, E, 1995, dan Brennan, A,
1994). Oleh karena itu betapa pentingnya perawat memahami konsep hospitalisasi dan
dampaknya pada anak dan orang tua sebagai dasar dalam pemberian asuhan keperawatan
(Supartini, 2002).
B. Manfaat Hospitalisasi
Menurut Supartini (2004), cara memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak adalah sebagai
berikut.
1. Membantu perkembangan orang tua dan anak dengan cara memberi kesempatan orang
tua mempelajari tumbuh-kembang anak dan reaksi anak terhadap stressor yang dihadapi
selama dalam perawatan di rumah sakit.
2. Hospitalisasi dapat dijadikan media untuk belajar orang tua.Untuk itu, pearawat dapat
memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang penyakit anak, terapi yang
didapat, dan prosedur keperawatan yang dilakukan pada anak, tentunya sesuai dengan
kapasitas belajarnya.
3. Untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri dapat dilakukan dengan memberi
kesempatan pada anak mengambil keputusan, tidak terlalu bergantung pada orang lain
dan percaya diri. Tentunya hal ini hanya dapat dilakukan oleh anak yang lebih besar,
bukan bayi. Berikan selalu penguatan yang positif dengan selalu memberikan pujian atas
kemampuan anak dan orang tua dan dorong terus untuk meningkatkannya.
4. Fasilitasi anak untuk menjaga sosialisasinya dengan sesama pasien yang ada, teman
sebaya atau teman sekolah. Beri kesempatan padanya untuk saling kenal dan berbagi
pengalamannya. Demikian juga interaksi dengan petugas kesehatan dan sesama orang tua
harus difasilitasi oleh perawat karena selama di rumah sakit orang tua dan anak
mempunyai kelompok sosial yang baru.
5. Obat-Obatan
Obat-obatan dapat memberi pengaruh besar pada sikap. Beberapa obat-obatan
dapat mengakibatkan adanya tanda-tanda yang sama seperti hospitalisasi. Dengan
sendirinya, kemungkinan hospitalisasi besar. Jika dipakai obat-obatan yang dapat
merangsang adanya sikap tadi.
b. Perasaan Sedih
Perasaan sedih sering muncul ketika anak pada saat anak berada pada kondisi
termal dan orang tua mengetahui bahwa anaknya hanya memiliki sedikit
kemungkinan untuk dapat sembuh. Bahkan ketika menghadapi anaknya yang
menjelang ajal, orang tua merasa sedih dan berduka. Namun di satu sisi, orang tua
harus berada di samping anaknya sembari memberikan bimbingan spiritual pada
anaknya. Pada kondisi ini, orang tua menunjukkan perilaku isolasi atau tidak mau
didekati orang lain, bahkan bisa tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan
(Supartini, 2000).
c. Perasaan Frustasi
Pada kondisi ini, orang tua merasa frustasi dan putus asa ketika melihat anaknya
yang telah dirawat cukup lama namun belum mengalami perubahan kesehatan
menjadi lebih baik. Oleh karena itu, perlu adanya dukungan psikologis dari pihak-
pihak luar (seperti keluarga ataupun perawat atau petugas kesehatan).
d. Perasaan Bersalah
Perasaan bersalah muncul karena orang tua menganggap dirinya telah gagal
dalam memberikan perawatan kesehatan pada anaknya sehingga anaknya harus
mengalami suatu perubahan kesehatan yang harus ditangani oleh tenaga kesehatan di
rumah sakit.
Memberikan dukungan pada angota keluarga lain (Supartini, 2004) :
1) Berikan dukungan pada keluarga untuk mau tinggal dengan anak di rumah sakit.
2) Apabila diperluakn, fasilitasi keluarga untuk berkonsultasi pada psikolog atau ahli
agama karena sangat dimungkinkan keluarga mengalami masalah psikososial dan
spiritual yang memerluakn bantuan ahli.
3) Beri dukungan pada keluarga untuk meneria kondisi anaknya dengan nilai-nilai
yang diyakininya.
4) Fasilitasi untuk menghadirkan saudara kandung anak apabila diperlukan keluarga
dan berdampak positif pada anak yang dirawat ataupun saudara kandungnya.
F. Dampak Hospitalisasi
Perawatan anak di rumah sakit tidak hanya menjadi masalah pada anak, tetapi juga pada
orang tua. Brewis (1995 dalam Supartini, 2002) menemukan rasa takut pada orang tua
selama perawatan anak di rumah sakit terutama pada kondisi sakit anak yang terminal karena
takut akan kehilangan anak yang dicintainya dan adanya perasaan berduka. Stessor lain yang
sangat menyebabkan orang tua stres adalah mendapatkan informasi buruk tentang diagnosis
medik anaknya, perawatan yang tidak direncanakan dan pengalaman perawatan di rumah
sakit sebelumnya yang dirasakan menimbulkan trauma (Supartini (2000) dalam Supartini,
2002)
Menurut Asmadi (2008), hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam bagi
setiap orang. Penyakit yang diderita akan menyebabkan perubahan perilaku normal sehingga
klien perlu menjalani perawatan (hospitalisasi). Secara umum, menurut Asmadi (2008),
hospitalisasi menimbulkan dampak pada beberapa aspek, yaitu:
1. Privasi
Privasi dapat diartikan sebagai refleksi perasaan nyaman pada diri seseorang dan
bersifat pribadi. Bisa dikatakan, privasi adalah suatu hal yang sifatnya pribadi. Sewaktu
dirawat di rumah sakit, klien kehilangan sebagai privasinya. Kondisi ini disebabkan oleh
beberpa hal :
a. Selama dirawat di rumah sakit, klien berulang kali diperiksa oleh petugas kesehatan
(dalam hal ini perawat dan dokter). Bagian tubuh yang biasanya dijaga agar tidak
dilihat, tiba-tiba dilihat fdan disentuh oleh orang lain. Hal ini tentu akan membuat
klien merasa tidak nyaman.
b. Klien adalah orang yang berada dalam keadaan lemah dan bergantung pada orang
lain. Kondisi ini cendurung membuat klien “pasrah” dan menerima apapun tindakan
petugas kesehatan kepada dirinya asal ia cepat sembuh. Menyikapi hal tersebut,
perawat harus selalu memperhatikan dan menjaga privasi klien ketika berinteraksi
dengan mereka.
Beberapa hal yang dapat perawat lakukan guna menjaga privasi klien adalah sebagai
berikut.
a. Setiap akan melakukan tindakan keperawatan, perawat harus selalu memberitahu dan
menjelaskan perihal tindakan tersebut kepada klien.
b. Memperhatikan lingkungan sebelum melaksanakan tindakan keperawatan. Yakinkan
bahwa lingkungan tersebut menunjang privasi klien.
c. Menjaga kerahasiaan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan klien. Sebagai
contoh, setelah memasang kateter, perawat tidak boleh menceritakan alat kelamin
pasien kepada orang lain, termasuk pada teman sejajwat.
d. Menunjukkan sikap profesional selama berinteraksi dengan klien. Perawat tidak boleh
mengeluarkan kata-kata yang dapat membuat klien malu atau marah. Sikap tubuh pun
tidak boleh layaknya majikan kepada pembantu.
e. Libatkan klien dalam aktivitas keperawatan sesuai dengan batas kemampuannya jika
tidak ada kontraindikasi.
2. Gaya Hidup
Klien yang dirawat di rumah sakit sering kali mengalami perubahan pola gaya
hzidup. Hal ini disebabkan oleh perubahan kondisi antara rumah sakit dengan rumah
ztempat tinggal klien, juga oleh perubahan kondisi keehatan klien. Aktivitas hidup yang
klien jalani sewaktu sehat tentu berbeda dengan aktivitas yang dialaminya selama di
rumah sakit. Perubahan gaya hidup akibat hospitalisasi inilah yang harus menjadi
perhatian setiap perawat. Asuhan keperawatan yang diberikan harus diupayakan
sedemikian rupa agar dapat menghilangkan atau setidaknya meminimalkan perubahan
yang terjadi.
3. Otonomi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa individu yang sakit da dirawat di
rumah sakit berada dalam posisi ketergantungan. Artinya, ia akan pasrah terhadap
tindakan apapun yang dilakukan oleh petugas kesehatan demi mencapai keadaan sehat.
Ini meniunjukkan bahwa klien yang dirawat di rumah sakit akan mengalami perubahan
otonomi. Untuk mengatasi perubahan ini, perawat harus selalu memberitahu klien
sebelum melakukan intervensi apapun dan melibatkan klien dalam intervensi, baik secara
aktif maupun pasif.
4. Peran
Peran dapat diartikan sebagai seperangkat perilaku yang diharapkan individu sesuai
dengan status sosialnya Jika ia seorang perawat, peran yang diharapkan adalah peran
sebagi perawat bukan sebagai dokter.Selain itu, peran yang dijalani seseorang adalah
sesuai dengan status kesehatannya. Peran yang dijalani sewaktu sehat tentu berbeda
dengan peran yang dijalani saat sakit.Tidak mengherankan jika klien yang dirawat di
rumah sakit mengalami perubahan peran. Perubahan yang terjadi tidak hanya pada diri
pasien, tetapi juga pada keluarga. Perubahan tersebut antara lain :
a. Perubahan peran. Jika salah seorang anggota keluarga sakit, akan terjadi perubahan
pera dalam keluarga. Sebagai contoh, jiak ayah sakit maka peran jepala keluarga akan
digantikan oleh ibu. Tentunya perubahan peran ini mengharuskan dilaksanakannya
tugas tertentu sesuai dengan peran tersebut.
b. Masalah keuangan. Keuangan keluarga akan terpengaruh oleh hospitalisasi.
Keuangan yang sedianya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga
akhirnya digunakan untukj keperluan klien yang dirawat. Akibatnya, keuangan ini
sangat riskan, terutama pada keluarga yang miskin. Dengan semakin mahalnya biaya
kesehatan, beban keuangan keluarga semakin bertambah.
c. Kesepian. Suasana rumah akan berubah jika ada seorang anggota keluarga ytang
dirawat. Keseharian keluarga yang biasanya dihiasi kegembiraan, keceriaan, dan
senda-gurau anggotaanya tiba-iba diliputi oleh kesedihan. Suasana keluarga pun
menjadi sepi karena perhatian keluarga terpusat pada penanganan anggota
keluarganya yang sedang dirawat.
d. Perubahan kebiasan sosial. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat.
Karenanya, keluarga pun mempunyai kebiasaan dalam lingkungan sosialnya.
Sewaktu seha, keluarga mampu berperan serta dalam kegiata sosial. Akan tetapi, saat
salah seorang anggota keluarga sakit, keterlibatan keluarga dalam aktivitas sosial di
masyarakatpun mengalami perubahan.
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. (20). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC.
Stevens, P.J.M. dkk (1997). Ilmu Keperawatan.2(1).Jakarta; EGC.
Supartini, Y. (2004). Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta:EGC.
http://ners-novriadi.blogspot.com/2012/09/askep-pada-klien-hospitalisasi.html
http://henitaekaputri.blogspot.com/2012/11/hospitalisasi.html