Anda di halaman 1dari 7

Kongres PGRI XIX

Semarang
Di susun oleh :

Nama : Riswandi

NPM : 201414500067

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI

2018
Kongres PGRI ke XIX dilaksanakan di Semarang (Hotel Patra Jasa) pada tanggal 8-12 Juli

2003 di Hotel Patra Jasa Semarang, Semarang. Hasil kongres XIX memilih 20-an orang untuk

duduk dalam PB PGRI periode 2003- 2008 adalah sebagai berikut:

Ketua Umum : Prof.Dr.H.Mohammad Surya

Ketua : 1. W.D.F. Rindo Rindo

2. Rusli Yunus

3. Ana Suhaina

4. Alwi Nurdin

Sekretaris Jenderal : Drs H Soemardi Thaher

Sekretaris Jenderal : Kusrin Wardoyo

Kongres XIX PGRI diikuti sekitar 1.400 peserta dari seluruh provinsi di Indonesia. Hasil
kongres PGRI ke XIX ini adalah :

1. Penegasan kembali PGRI sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan


organisasi ketenagakerjaan.
a. PGRI sebagai Organisasi perjuangan
Sebagai organisasi perjuangan, PGRI merupakan wadah bagi para guru untuk
bisa memperoleh,mempertahankan,meningkatkan serta bisa membela hak asasinya baik
sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara, maupun pemangku profesii keguruan.
PGRI berjuang untuk mewujudkan hak-hak kaum guru dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Perjuangan dilakukan melalui berbagai cara dan bentuk yang konstitusional,
prosedural dan konsepsional dalam memperoleh kehidupan guru yang layak dan sejahtera.
Untuk itu PGRI secara konsisten dan konsekuen memperjungkan kesejahteraan guru baik
lahir maupun batin, baik materil maupun non materil agar mereka dapat
memperolehkepuasan kerja yang didukung dengan imbalan jasa yang memadai, rasa aman
dalam bekerja, lingkungan kerja yang kondusif, pergaulan antar pribadi yang baik dan sehat, serta
memperoleh kesempatan pengembangan diri dan karir (Tim YPLP/PPLP PGRI Pusat,
2011:5).
Perjuangan PGI akan sukses bila sesuai dengan prinsip perjuangannya dan dukungan dengan
strategi yang tepat. Segenap pengurus dan anggota PGRI harus dimiliki kemurnian
perjuangan. Artinya seluruh pengurus dan anggota PGRI harus menjalankan kiprah
perjuangannya secara bersungguh-sungguh dan dilaksanakan dengan tanggung jawab yang
berdasarkan ketentuan Anggaran Dasar dan Angaran Rumah Tangga PGRI (Musaheri)
b. PGRI sebagai Organisai Profesi
Sebagai organisasi profesi, PGRi berfungsi sebagai wadah kebersamaan dan rasa
kesejawatan para anggota dalam mewujudkan keberadaannya di lingkungan
masyarakat, memperjuangkan segala aspirasi dan kepentingan suatu profesi, menetapkan
standar perilaku profesional, melindungi seluruh anggotanya, meningkatkan kualitas
kesejahteraan, dan mengembangkan kualitas pribadi dan profesi. Setiap anggota PGRI
mendapat perlindunagn dalam mewujudkan profesionalismenya (Tim YPLP/PPLP
PGRI Pusat, 2011:34).
Kinerja guru profesional akan tercermin dalam pelaksanaan tugasnya yang dilandasi
keahlian dalam materi amupun metode. Keeahlian yang dimiliki oleh guru
profesionaldiperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang diprogramkan secara
khusus untuk itu. Keahlian tersebut mendapat pengakuan formal yang dinyatakan dalam
bentuk sertifikat, akreditasi, dan lisensi dari pihak berwenang (dalam hal ini
pemerintah dan organisasi profesi). Disamping dengan keahliannya, sosok profesional
guru ditunjukkan melalui tanggung jawab dalam melaksanakan keseluruhan pengabdiannya.
Ciri profesi selanjutnya adalah kesejawatan, yaitu rasa kebersamaan diantara semua
guru. Melalui PGRI para guru mewujudkan rasa kebersamaannya dan memperjuangkan
martabat diri dan profesinya atas dasar prinsip silih asih, silih asuh, dan silih asah.
Profesionalisme pada dasarnya merupakan motivasi instrisik yang didikung oleh lima kompetensi
sebagai berikut :
1) keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal;
2) meningkatkan dan memelihara citra positif;
3) keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional
yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas penegtahuan dan
keterampilan;
4) mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi;
5) memiliki kebanggaan akan profesinya.
Profesionalisme guru berkembang sesuai dengan kemajuan iptek dan tuntutan pemerintah.
PGRI sebagai organisasi profesi dimaksudkan untuk meningkatkan sikap loyalitas, dedikasi
guru sebagai anggota utama PGRI yang pada akhirnya akan berkiprah kepada peserta didik dan
masyarakat sehingga akan meningkatkan kualitas dan prestasi agar bermutu. Pada tataran
seperti sekarang ini diharuskan segenap masyarakat untuk dipersiapkan menjadi sumber
daya manusia yang siap untuk melaksanakan kompetisi yang semakin erat diera global
ini dengan perkembangan zaman. Untuk itu, langkah PGRI sebagai organisasi profesi
adalah memberikan perhatian khusus untuk serius terhadap keberadaan guru sebagai unsur
yang sangat menentukan dan berada di garda depan dalam proses penyiapan sumber daya
manusia masa depan.
c. Organisasi ketenagakerjaan
Sebagai organisasi ketenagakerjaan, PGRI merupakan wadah perjuangan
tentang hak-hak asasi guru sebagai pekerja, terutama dalam kaitannya dengan
kesejahteraan, baik material maupun non material, baik fisik maupun non fisik. Guru
sebagai kelompok tenaga kerja profesional memerlukan jaminan yang pasti menyangkut
hukum, kesejahteraan, hak-hak pribadi dan warga negara. Perwujudan kesejahteraan secara
utuh ditopang oleh lima pilar, yaitu :
1) Pilar imbal jasa dapat berupa materi ataupun non materi sebagai ganjaran atas kinerja
guru sesuai denagn tugas dan fungsinya.Imbalan jasa ini berupa gaji, honor,
upah, insentif maupun tunjangan dan hak-hak lainnya sesuai ketentuan dan peraturan
yang berlaku
2) Rasa aman adalah kondisi lahir dan batin yang dirasakan oleh guru dalam
melaksanakan tugas dan menjalani kehidupannya dalam suasana damai, tanpa
ancaman dan gangguan dalam menjalankan tugas profesinya sebagai pendidik, pengajar,
pelatih, pengasuh, pembimbing, maupun penilai.
3) Hubungan antar pribadi, baik sesama guru maupun dengan pihak lain. Melalui
PGRI, hubungan antar pribadi dikembangkan dalam bentuk program-program
yang bertujuan untuk memupuk rasa kebersamaan, kekeluargaan, namun secara
keseluruhan masih memerlukan peningkatan.
4) Kondisi kerja adalah keadaan berbagai aspek fisik ataupun non fisik, baik kualitas
maupun kuantitas yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap
kualitas kinerja guru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
5) Kesempatan meningkatkan dan mengembangkan diri. Kesempatan yang dimaksud adalah
berupa kenaikan pangkat dan jabatan, kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi, kesempatan memperoleh kedudukan jabatan struktural, kesempatan
untuk mendapatkan jaminan pensiun dan hari tua.
2. Diundangkannya UU Guru dan Dosen
UU yang mengatur tentang Guru dan Dosen ialah UU No. 14 Tahun 2005. Dalam
UU ini yang dimaksud dengan guru itu sendiri ialah pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar dan pendidikan menengah. Sedangkan dosen itu sendiri yaitu pendidik profesional dan ilmuwan
dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu
pengetahuan, teknologi, serta seni melalui pendidikan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 tanggal 30 Desember 2005, tidak lepas dari peran
PGRI sebagai organisasi guru. PGRI melakukan berbagai tindakan untuk mewujudkan adanya
undang-undang tersebut, dengan adanya UU ini merupakan salah satu bukti bahwa PGRI sangat
peduli terhadap guru dan dosen serta keprofesiannya.
Kehadiran undang-undang ini sudah tentu menjadi fenomena baru dalam dunia pendidkan
Indonesia. Jika kita bandingkan sekarang kebanyakan guru kurang mendapat perhatian dari
pemerintah. Banyak para guru terlantar dan tidak diberdayakan oleh pemerintah, mari
kita tengok kembali tentang nasib para guru honorer. Dibandingkan dengan PNS yang kebanyakan
kita sering melihat oknum PNS yang kerjanya semaunya sendiri dengan guru honorer yang
kerja mati-matian tapi berbanding terbalik dengan gaji yang sebenarnya. Pemerintah
diharapkan bisa mensejahterakan nasib guru, dimana tidak ada sistem kapitalis dan diskriminatif
dalam birokasi pendidikan.
3. Pengakuan Guru sebagai profesi oleh presiden pada tanggal 2 Desember 2004
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang merupakan organisasi guru pertama
yang didirikan pada tanggal 25 November 1945 di Surakarta. PGRI sejak berdiri sampai
dengan saat ini tetap gigih untuk terus memperjuangkan peningkatan harkat, martabat, dan
kesejahteraan guru. PGRI tetap dapat menjaga independensinya di tengah perubahan kondisi sosial
politik Indonesia sejak merdeka sampai dengan orde reformasi saat ini.
Tanggal 2 Desember 2004, bertepatan dengan peringatan hari Guru Tingkat Nasional,
pemerintah melalui Presiden Susilo Bambang Yodhoyono menetapkan guru sebagai
profesi. Hal ini tentunya menjadi momentum yang sangat bersejarah dan istimewa bagi guru
setelah sekian lama guru memperjuangkan nasibnya.Hal tersebut juga dapat dijadikan sebagai
indikator bahwa pemerintah telah memperhatikan profesi guru dan pendidikan secara
umum.
Guru merupakan salah satu faktor penting yang strategis dalam menentukan keberhasilan
pendidikan dan menentukan ke mana bangsa Indonesia ini berjalan dan bagaimana
didesain.
Malik Fadjar (2005:188) dalam bukunya “Holistika Pemikiran Pendidikan” menjelaskan bahwa
guru menempati posisi sentral dalam mengejawantahkan dan melahirkan sumber daya
manusia (SDM) berkualitas di negeri ini.
Untuk mewujudkan guru yang profesional, pemerintah melalui Depdiknas telah
melakukan berbagai langkah. Antara lain, melakukan sertifikasi guru dalam profesi yang diatur dalam
Kepmendiknas Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan dimana proses
penilaiannya menggunakan portofolio. Memberikan pendidikan dan latihan (diklat)
kepada guru, dan memberdayakan KKG / MGMP. Selain itu, Depdiknas juga memberikan
bantuan pendidikan bagi guru yang belum berkualifikasi S-1 / D IV. Saat ini proses sertifikasi
sedang berlangsung, ada yang lulus dan ada yang tidak lulus. Guru yang tidak lulus sertifikasi harus
mengikuti Pendidikan dan Latihan Pendidikan Guru (PLPG). Profesionalisme guru juga
perlu dihargai dengan penghargaan terhadap profesi guru seperti tunjangan profesi,
beasiswa dan promosi bagi guru yang berprestasi, kesempatan dalam pengembangan
karier, dan sebagainya.
4. Tuntutan anggaran pendidikan 20 % berhasil dimenangkan dalam pengajuan melalui
yudicial review di Mahkamah Konstitusi
Hingga detik ini keterbelakangan pendidikan di negeri kita masih menjadi masalah
yang terbilang memprihatinkan. Tentu saja keterbelakangan pendidikan bukanlah satu satunya
persoalan dan itu tidak berdiri sendiri. Keterbelakangan pendidikan selalu berkaitan dengan
keterbelakangan ekonomi. Di masa lalu, kondisi serba terbelakang ini diperparah dengan sistem politik
nasional yang memberi peluang kepada pemangku kekuasaan untuk berlaku sewenang-wenang
sehingga hak-hak rakyat banyak terabaikan, termasuk hak untuk memperoleh pendidikan secara
layak.
Setelah mengalami amandemen berkali-kali, konstitusi kita dapat dibilang telah memberi
perhatian yang cukup pada sektor pendidikan. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 telah memberi
jaminan hak kepada setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan secara layak.
Untuk mendukung terpenuhinya hak (pendidikan) warga negara itu, pada ayat (4) pasal yang
sama ditegaskan bahwa negara mendapat amanat untuk memprioritaskan dana pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berkenaan dengan
penerapannya dalam APBN 2005, Fathul Hadie juga mengajukan judicial review
terhadap UU No. 36 Tahun 2004 tentang APBN.
Pembacaan putusan dalam sidang Mahkamah Konstitusi pada hari Rabu,19 Oktober 2005
dihadiri cukup banyak pengunjung. Beberapa wartawan dan reporter media elektronik terlihat
hilir mudik menantii narasumber berita. Hal yang jamak, mengingat judicial review UU
Sisdiknas mendapat animo besar dari masyarakat. Sidang judicial review UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) akhirnya memutuskan bahwa
pemerintah, sebagai pelaksana UU, harus memenuhi anggaran pendidikan 20% per tahun. Tidak
lagi secara bertahap sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas.
Pemohon optimis anggaran pendidikan 20% dari total APBN, akan memberikan nafas segar
bagi peningkatan pendidikan bagi masyarakat.
Putusan yang dibacakan sangat memuaskan.. Sebab putusan ini berisi untuk tidak
menunda dana (pendidikan) 20%. Otomatis (dana pendidikan) APBN 2006 harus sudah
20%. Dan kesepakatan pemerintah dengan DPR kemarin, apabila dana itu sudah 20%,
maka wajib belajar bisa ditingkatkan 12 tahun. Dengan keputusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, alokasi pendidikan untuk tahun 2005 tetap sebesar 5%. Namun untuk tahun
berikutnya, dengan alasan UUD 1945 mengamanatkan pemenuhan anggaran pendidikan 20%
per tahun, APBN wajib menganggarkan sebesar 20% khusus untuk pendidikan. Kewajiban ini
berkenaan pula dengan telah di judicial reviewnya UU Sisdiknas, dimanaketentuan
pemenuhan anggaran pendidikan 20% secara bertahap dalam UU Sisdiknas dinyatakan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat. Secara substansial, UU No. 36 Tahun 2004 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara 2005 (UU APBN 2005) bertentangan dengan ketentuan UUD
1945. UUD 1945 menyatakan bahwa anggaran pendidikan harus dipenuhi utuh per tahun sebesar 20%,
sementara UU APBN 2005 mengalokasikan anggaran pendidikan hanya sebesar 6%. Tetapi,
majelis hakim menyatakan UU APBN 2005 tidak dapat dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.

Daftar Pustaka
http://semutmerah8.blogspot.co.id/2016/04/kongres-pgri.html
https://www.scribd.com/doc/215072990/Jurnal-Kongres-Pgri-Ke-XIX
https://www.scribd.com/document/46495518/SPJD

Anda mungkin juga menyukai