Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUHAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit lupus merupakan penyakit kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi dan
hidung akan terlihat kemerah-merahan. Tanda awalnya panas dan rasa lelah
berkepanjangan, kemudian dibagian bawah wajah dan lengan terlihat bercak-bercak
merah.Tidak hanya itu, penyakit ini dapat menyerang seluruh organ tubuh lainnya salah
satunya adalah menyerang ginjal.Salah satu ciri paling menonjol dari penyakit itu yaitu
ruam di pipi yang membuat penampilan seperti serigala.Meskipun demikian, hanya
sekitar 30% dari penderita lupus benar-benar memiliki ruam “kupu-kupu,” klasik
tersebut.
Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan
kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita lupus, sistem imun
menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu disebut
penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan keradangan di berbagai organ tubuh
kita, misalnya: kulit yang akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru,
ginjal, otak, darah, dan lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini dinamakan “Sistemik,”
karena mengenai hampir seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit
saja, sedangkan organ lain tidak terkena, maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus)
yang tidak terlalu berbahaya dibandingkan lupus yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE).
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk
melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ
tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit.
Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya,
maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi
bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah
(Sukmana, 2004).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) ?
2. Apa saja etiologi dari SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) ?
3. Bagaimana patofisiologi pada SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) ?
4. Apa manifestasi klinik dari SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) ?
5. Apa saja pemeriksaan laboratorium pada SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) ?
6. Bagaimana pengobatan yang diberikan pada SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) ?

1
7. Bagaimana asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien SLE (Sistemik Lupus
Eritematosus) ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan


1. Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum :
Untuk mengetahui dan dapat memahami penjabaran tentang penyakit
lupus
b. Tujuan Khusus :
 Mampu menjelaskan tentang defenisi, etiologi, klasifikasi / jenis-jenis
penyakit lupus, patofisiologi dan pathway, manifestasi klinis (tanda dan
gejala), prognosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan serta komplikasi
penyakit lupus.
 Mampu menjabarkan dan atau membuat asuhan keperawatan pada klien yang
menderita penyakit lupus.
2. Manfaat Penulisan
a. Manfaat Teoritis :
 Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam
mengetahui tentang penyakit lupus
 Sebagai bahan ajar dalam proses belajar-mengajar di kelas.
b. Manfaat Praktis :
Dengan adanya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususnya seorang
perawat maupun mahasiswa calon perawat dalam mengkaji laporan pendahuluan
(defenisi, etiologi, dan lain-lain) serta dalam menyusun asuhan keperawatan
pada klien yang menderita penyakit lupus.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Lupus Eritematosus Sistemik (LES)


Penyakit lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit sistemik evolutif
yang mengenai satu atau beberapa organ tubuh, seperti ginjal, kulit, sel darah dan sistem
saraf, ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat
episodik yang dislingi oleh periode remisi, dan ditandai oleh adanya autoantibody,

2
khususnya antibodi antinuclear. Manifestasi klinis LES sangat bervariasi dengan
perjalanan penyakit yang sulit diduga, tidak dapat diobati, dan sering berakhir dengan
kematian.Kelainan tersebut merupakan sindrom klinis disertai kelainan imunologik,
seperti disregulasi sistem imun, pembentukan kompleks imun dan yang terpenting
ditandai oleh adanya antibody antinuclear, dan ahal tersebut belum diketahui
penyebabnya.

2.2 Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik (LES)


Penyakit LES merupakan suatu penyakit dengan diagnosis klinis dan ditunjang oleh
hasil pemeriksaan laboratorium yang abnormal. Karakteristik LES yang utama antara lain
:
1. LES merupakan penyakit episodic. Adanya riwayat gejala intermiten, seperti arthritis,
pleuritis dan dermatitis, dapat mendahului selama beberapa bulan atau tahun.
2. LES merupakan penyakit multisystem. Pada anak-anak biasanya tanda dan gejala
yang muncul melibatkan lebih dari satu macam organ.
3. LES ditandai dengan adanya antibodi antinuclear (khususnya terhadap dsDNA) dan
autoantibody lainnya.
Tabel 30-1. Kriteria klasifikasi lupus eritematosus sistemik

Kriteria ACR 1982 Kriteria ACR 1997


Ruam malar (butterfly) Ruam malar (butterfly)
Ruam lupus discoid Ruam lupus discoid
Fotosensitivitas Fotosensitivitas
Ulserasi mukokutaneus oral atau nasal Ulserasi mukokutaneus oral atau nasal
Artritis nonerosif Artritis nonerosif
Nefritis Nefritis
Proteinuria > 0,5gr/hari Proteinuria > 0,5gr/hari
Sel silinder Sel silinder
Ensefalopati Ensefalopati
Seizure Seizure
Psikosis Psikosis
Pleuritis atau perikarditis Pleuritis atau perikarditis
Sitopenia Sitopenia
Imunoserologi positif Imunoserologi positif

3
Antibodi terhadap dsDNA Antibodi terhadap dsDNA
Antibodi terhadap nuclear antigen Sm Antibodi terhadap nuclear antigen Sm
Sediaan sel LE positif Antibodi antifosfolipid positif, berdasar
Uji biologis positif palsu untuk sifilis :
1. Antibodi antikardiolipin IgG atau
IgM
2. Antikuagulan lupus
3. Uji serologi positif palsu untuk
sifilis selama 6 bulan, dikonfirmasi
dengan uji imobilisasi Treponema
pallidum atau uji absorbsi antibodi
Uji antibody antinuklear positif
treponemal fluorescent
Uji antibody antinuklear positif
(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005).

2.3 Etiologi

1. Faktor genetik
Kerentanan terhadap penyakit SLE bersifat multifaktorial, dan faktor genetik ag
multiple mempunyai peranan yang penting. Pada suatu studi didapatkan bawa
prevalensi penyakit LES tinggi pada anak dengan orang tua atau saudara yang
memiliki penyakit LES juga.Kembar monozigot juga mempunyai risiko yang lebih
tinggi dibandingkan kembar dizigot. Penyakit lupus disertai oleh pertanda penyakit
genetik seperti difisiensi herediter komplemen (seperti C1q, C1r, C1s, C4 dan C2) dan
immunoglobulin (IgA), atau kecederugan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3).

2. Disregulasi Imun
Faktor imunopatogeik yang berperan dalam LES bersifat multiple, kompleks, dan
interaktif.
 Limfosit B
Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan
menghasilkan peningkatann kadar antibody dan hipergamaglobulinemia. Jumlah
sel B yang memproduksi IgG didarah perifer berkorelasi dengan aktifitas
penyakit. Aktifasi sel B poliklonal disebabkan oleh antigen eksogen, antigen yang
merangsang proliferasi sel B atau abnormalitas intrinsik dari sel B.

4
Antibodi IgG anti-dsDNA dengan afinitas tinggi juga merupakan karakteristik,
yang disebabkan oleh hipermutasi somatik selama aktifasi sel B poliklonal yang
diinduksi faktor lingkungan seperti virus atau bakteri.
 Autoantibodi
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibody
terhadap berbagai antigen diri. Diantara berbagai jenis autoantibody yang paling
sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibody antinuclear (autoantibody
terhadap DNA, RNA, nukloprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya
titer anti DNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada pathogenesis ataupun
bernilai sebagai pertanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuclear dapat
ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam dara bayi sehat dari
seorang ibu penderita lupus.Selai itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata
tak dapat ditularkan secara pasif melalui serum penderita lupus.
 Kompleks Imun
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam pathogenesis LES didasari pada :
1. Adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus
renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid).
2. Aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi
komplemen
Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan,
beberapa terbenntuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen
dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terkait langsung
pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.
 Limfosit T
Pasien dengan LES aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian
CD4+ yang mengaktivasi CD8+ (Tsupressor) untuk menekan hiperaktif sel B.
Terdapat perubahan (shift) fenotip sitokin dari sel TH0 ke sel TH2. Akibatnya sitoki
cenderung untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 da IL-6.

 Apoptosis
Autoantibodi yang terdapat pada LES ditujukan pada antigen yang
terkonsentrasi pada permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam

5
pengaturan apoptosis mempunai peranan penting dalam pathogenesis LES. Pada
LES terjadi peningkatan apoptosis dan limfosit. Selain itu, terjadi pula persistensi
sel apoptosis akibat defek pembersihan (clearance). Kadar C1q yang rendah
mencegah ambilan sel apoptosis ole makrofag. Peingkatan ekspresi Bcl-2 pada sel
T dan protein Fas pada CD8+ mengakibatkan peningkatan apoptosis dan
limfositopenia.

3. Hormon
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun
mempunyai peranan penting dalam presdiposisi dan derajat keparahan
penyakit.Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan
menopause, diikuti aak-aak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk
menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat
LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar
untuk mendapat LES.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen
merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga mempunyai kadar
hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinzing hormone) dan prolaktin
yang meningkat. Pada perempuan dengan LES, juga terdapat peningkatan kadar 16
alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi LES juga meningkat saat kehamilan
trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan
menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi
paspubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.

4. Faktor Lingkungan
Sinar matahari dapat menyebabkan eksaserbasi penyakit dan radiasi ultraviolet B
mempunyai efek apoptosis. Tidak ada data yang menyebutkan hubungan virus dengan
LES. Peningkatan titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sitomegalovirus dan
herpes simpleks kemungkinan disebabkan oleh aktivasi sel B poliklonal daripada
akibat infeksi virus spesifik.
Beberapa obat berhubungan dengan induksi LES. Mungkin kelompok obat ini
mempunyai struktur antigen tertentu yang dapat mengganggu respons imun pejamu.
Bukan tidak mungkin bahwa obat tertentu (atau metabolitnya) dapat bersikap sebagai
mediator yang berinterferensi dengan mekanisme homeostasis populasi limfosit.

6
Penghentian obat tersebut biasanya berkaitan dengan menghilangnya menifestasi
klinis LES. Beberapa obat tersebut antara lain alfa metildopa, klorpromazin,
etosuksimid, hidralazin, isoniazid, minosiklin, fennitoin prokainamid, dan trimetadion.

2.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi LES bervariasi antara penyakit kronik dengan riwayat keluhan dan gejala
intermiten sampai pada fase akut yang fatal. Gejala konstitusional dapat berupa demam
yang menetap atau intermiten, kelelahan, penurunan berat badan dan anoreksia. Satu
sistem organ dapat tekena, meskipun penyakit multisystem lebih khas (Tabel 30-2).

Sistem Klinis
Konstitusional Demam, malaise, penurunan berat badan
Kulit Ruam kupu-kupu (butterfly rush), lupus diskoid,
eritema periungual, fotosensitivitas, alopesia,
ulserasi mukosa
Muskuluskeletal Poliartralgia dan arthritis, tenosinovitis, miopati,
nekrosis aseptic
Vaskular Fenomenna Raynaud, retikularis livedo, thrombosis,
eritromegalia, lupus profundus
Jantung Perikarditis dan efusi, miokarditis, endokarditis
Libman-Sacks
Paru Pleuritis, pneumonitis basilar, atelektasis, perdarahan
Gastrointestinal Peritonitis, disfungsi esophagus, colitis
Hati, limpa, Hepatomegali, splenomegali, limfadenopati
kelenjar
Neurologi Seizure, psikosis, polineuritis, neuropati perifer
Mata Eksudat, papiledema, retinopati
Renal Glomerulonefritis, sindrom nefrotik, hipertensi
(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)

2.5 Patofisiologi
Genetik Lingkungan (Cahaya matahari) Obat-Obatan

Sistem regulasi kekebalan


terganggu

Mengaktivasi sel T dan


Fungsi sel T-supresor abnormal
Peningkatan produksi auto antibody

Penumpukan Kerusakan
komplek imun 7 Jaringan
Muskuloskeletal Hemato Integumen
Pembengkakan Kegagalan sumsum Adanya lesi
sendi tulang membentuk pada kulit
Nyeri tekan dan rasa sel-sel darah merah Pasien merasa
nyeri ketika bengkak Tubuh mengalami malu dengan
Nyeri Akut kekurangan sel kondisinya
darah merah Gangguan citra
Anemia tubuh
2.6 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium meliputiKeletihan
pemeriksaan indikator inflamasi, uji autoantibodi
(khususnya ditujukan pada antigen nuklear), pemeriksaan untuk evaluasi keterlibatan
organ dan pemeriksaa untuk memantau efek terapi, termasuk toksisitas obat.

1. Indikator Inflamasi
Fase akut akan menunjukkan peningkatan indikator inflamasi, seperti laju endap
darah, hipergamaglobulinemia poliklonal dan alfa 2-globulin serum. Sedangkan C-
reactive protein biasanya masih dalam batas normal, namun dapat meningkat bila
LES disertai dengan infeksi sistemik atau pada serisitis dan arthritis.

2. Hematologi
Anemia ringan samapi sedang terjadi pada sebagian besar anak dengan LES, dan
biasanya sesuai dengan tipe panyakit kronik (normositik, hipokrom), disertai dengan
penurunan serum besi dan kapsitas ikat besi (iron-binding capacity). Pada pasien
lain dapat ditemukan hemolisis autoimun yang disebabkan oleh ikatan antibody IgG
dan komplemen pada eritrosit, haltersebut di periksa melalui uji Coombs. Anemia
hemolitik jarang terjadi berat dan fatal. Apabila berat pun, penurunan kadar
hemoglobin biasanya tidak teralu berat.
Meskipun leukositosis dapat terjadi, namun limfositopenia (kurang dari 1500
sel/mm3) dan neutropenia lebih sering ditemukan, dan berhubungan dengan
trombositopenia. Beberapa anak menunjukkan adanya purpura trombositopenia,
biasanya berkaitan dengan splenomegali. Pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan
peningkatan megakariosit. Pasien dengan purpura trombositopenia dan anemia
hemolitik (sindrom Evans) dapat berkembang menjadi LES atau purpura
trombositipenia trombositik.

8
Antikoagulan lupus menunjukkan adanya pemanjangan waktu aPTT dan
protrombin. Fenomena ini disebabkan oleh efek antibodi yang mengikat beta-2-
glikoprotein I dan protrombin, sehingga mempengaruhi interaksi kompleks
protrombin activator (faktor Xa dan V, kalsium dan fosfolipid) dan mencegah
konversi protrombin menjadi thrombin oleh tromboplastin.
Sebagian besar pasien dengan antikoagulan lupus juga mampunyai antibody
terhadap kardiolipin. Antibodi antifosfolipin ini tidak hanya terdapat pada LES,
namun juga pada neoplasma, infeksi, inflamasi dan penyakit autoimun.

 Antibodi Antinuklear
Antibodi antinuklear (ANA) terdapat pada sebagian besar seru anak dengan LES
aktif (Tabel 30-4). Namun, penentuan titer ANA sendiri tidak cukup untuk diagnosis
LES atau mementau perkembangan penyakit. Antibodi antinuklear diketahui dengan
pemeriksaan imunofluoresensi indirek pada seluruh inti sel.
Tabel 30-4. Kriteria autoantibodi pada lupus eritematosus sistemik

Antibodi Antinuklear Autoantibodi lain

Antibodi anti ds DNA Antibodi anti eritrosit


Antibodi anti DNP Antibodi anti limfositotoksik
Antibodi anti Ro (SS/A) Antibodi anti jaringan spesifik
Antibodi anti La (SS/B) Antibodi antifosfolipid
Antibodi anti Sm Faktor reumatoid
Antibodi antihiston
(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)

 Antibodi terhadap DNA


Antibodi terhadap dsDNA merupakan kriteria patognomonik pada LES, terjadi
pada hampir semua anak dengan LES aktif, dan menunjukkan titer yang tinggi saat
nefritis aktif. Mekaisme kerja antibody ini melalui pembentukan kompleks imun
dengan komplemen dan mengendap di jaringan. Antibodi ini dapat diukur melalui
radioimmuoassay yang menggunakan dsDNA ang diberi label radioaktif, mikroskop
fluoresens yang menggunakan protozoa Crithidia luciliae, atau melalui ELISA.
Untuk kepentingan diagnosis, pemeriksaan dengan menggunakan protozoa lebih
dipilih, sedangkan untuk memantau kadar anntibodi dsDNA selama masa terapi,
lebih digunakan radioimmuoassay atau ELISA. Peningkatan kadar antibodi ini

9
menunjukkan adanya perkembanngan penakit ginjal, terutama bila disertai dengan
penurunan kadar komplemen.
 Atibodi terhadap antigen nuklear
Antibodi yang termasuk golongan ini adala antibody anti Sm, Ro/SS-A da
La/SS-B. Antibodi tersebut berkaitan erat dengan LES. Antibodi anti Ro/SS-A
bekerja denga megganggu translasi RNA atau transport, dan berkaitan juga dengan
penyakit ginjal. Pasien dengan antibodi anti Ro dapat menunjukkan hasil yang
negatif pada pemeriksaan ANA. Antibodi anti LA/SS-B bekerja dengan mengganggu
kerja enzim RNA polimerase III, dan biasanya juga mempunyai hasil positif pada
pemeriksaan antibodi anti Ro. Sedangkan antibodi Sm bekerja pada sintesis RNA
dan pemisahan (messenger RNA synthesis and splicing).

 Antibodi Antihiston
Antibodi terhadap histon terdapat pada sebagian besar anak dengan LES,
meskipun juga banyak terdapat pada LES yang diinduksi oleh obat. Antibodi ini
bekerja dengan mempengaruhi sintesis RNA. Adanya antibodi ini disertai dengan
hasil negatif pemeriksaan antibodi anti dsDNA menunjukkan adanya LES yang
diinduksi oleh obat.

 Antibodi antifosfolipid
Antifosfolipid bertanggung jawab terhadap berbagai gangguan klinis dan
laboratorium pennderita LES, misalnya trombosis arteri dan vena berulang, koma,
trombositopenia, livedo reticular, dan hipertensi labil. Antifosfolipid tidak terdapat
hanya pada penderita LES tatapi ditemukan pula pada berbagai neoplasma, infeksi,
inflamasi, dan penyakit autoimu. Secara biologis antifosfolipid dapat membuat
reaksi positif palsu uji sifilis VDRL.

 Kompleks imun
Pemeriksaan kompleks imun hanya berpengaruh sedikit pada penegakan
diagnosis LES, meskipun kompleks imun merupakan dasar pathogenesis LES.
Kriglobulinemia pada penyakit lupus merupakan campuran dari IgM, IgG, da
terkadang IgA polokloal. Kriglobulin merupakan pertanda adanya kompleks imun
dalam serum dan sering disertai antiDNA serta penurunan kadar komplemen.
Adanya kriglobulin sering menyertai gangguan viseral dengan vaskulitis.

10
 Komplemen
Penentuan kadar komplemen serum penting dalam penegakan diagnosis LES
aktif. Selama masa aktif penyakit lupus maka fraksi komplemen akan terpakai,
terutama bila disertai gangguan ginjal. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu
pemeriksaan komponen C3, C4 atau komplemen hemolitik total (CH50). Komponen
CH50 menunjukkan integritas kaskade komplemen total. Konsentrasi C3 lebi sering
menurun dibandingkan CH50 atau C4. Penurunan C4 konsisten dan menjadi
indikator yang penting pada nefritis lupus aktif, apabila kadar dasar diketahui dan
anak memang tidak mempunyai defisiensi C4.

3. Urinalisis dan Evaluasi Keterlibatan Ginjal


Anak-anak dengan lupus nefritis aktif biasanya mempunyai abnormalitas dalam
sedimen urin yangh menendakan adanya keterlibatan ginjal. Proteinuria merupakan
temuan abnormal yang paling sering, namun hematuria dan silinder sel darah merah
merupakan temuan khas terhadap adanya glomerulitis aktif. Pada penyakit ginjal
yang berat dapat ditemuka sedimen berupa silinder lemak (fatty casts) ataupun badan
lemak (fat bodies) pada sindrom nefrotik. Proteinuria massif dengan berat jenis 1010
menandakan lupus nefritis yang kronik. Abnormalitas lainnya dapat berupa asidosis
tubular renal. Adanya kadar anti-dsDNA yang tinggi, kadar komplemen yang rendah,
khususnya C4 dan abormalitas urinalisis sanngat menunjang adanya nefritis lupus
yang aktif. Evaluasi keterlibatan ginjal dalam SLE memerlukan beberapa
pemeriksaan laboratorium (Tabel 30-5)
Tabel 30-5. Evaluasi lupus nefritis
Urinalisis
Mikroskopik dan kimia, kultur bila terdapat sel darah putih

Pengukuran fungsi glomerular


Kreatinin plasma, itroge urea
Kreatinin klirens, ekskresi protei 24 jam
Radionuclide glomerular filtration rate
Evaluasi aktivitas penyakit
Kadar antibodi anti-dsDNA serum
Serum complement assay

Ultrasonografi real da biopsy


Mikroskop caaya, mikroskop elektro, imuoflurescence
(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)

11
4. Analisis Cairann Inflamasi
Cairan sinovial pada LES biasanya mengalami inflamasi dengan kadar sel darah
putih yang rendah (kurang dari 2000 sel/mm3). Kandungan protein bervariasi antara
transudatif sampai eksudatif.Kadar komplemen di cairan sinovial juga rendah.
Cairan pleura dapat mengandung protein yang meningkat (lebih dari 3 g/dl), sel
darahh putih yang meningkat (2500-5000 sel/mm 3) dengan dominasi sel
mononuclear, dan penurunan kadar C3 dan C4.

5. Anjuran Pemeriksaan Laboratoriun


Berdasarkan deskripsi klinis laboratorium maka dapat dibuat suatu daftar
rekapitulasi untuk pemeriksaan penyakit lupus (Tabel 30-6)
Tabel 30-6. Anjuran pemeriksaan laboratorium untuk SLE

1. Analisis darah tepi lengkap (darah besar dan LED)


2. Antibody antinuclear (ANA)
3. Anti-dsDNA
4. Autoantibodi lain (anti Sm, RF, antifosfolipid, antihiston, dll)
5. Titer komplemen C3, C4 dan CH50
6. Titer IgM, IgG, IgA
7. Krioglobulin
8. Masa pembekuan
9. Serologi sifilis (VDRL)
10. Uji coombs
11. Elektroforesis protein
12. Kreatinin dan ureum darah
13. Protein urin (total protein dalam 24 jam)
14. Biakan kuman, terutama dalam urin
15. Foto Rongent dada
(Dikutip dari protocol LES subbagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI)

2.7 Diagnosis
Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi yang
paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College Reumatology (ACR)
(Tabel 30-7). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR
tersebut.
Tabel 30-7. Kriteria diagnose lupus menurut ACR (AmericanCollegeReumatology)*

No. Kriteria Definisi


1. Bercak malar Eritema datar atau menimbul yang menetap di
(butterfly daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan
rash) nasolabial

12
2. Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent
keratotic scaling dan follicular pligging, pada
lesi lama dapat terjadi parut atrofi
3. Fotosensitif Barcak di kulit yang timbul akibat paparan sinar
matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan
fisik
4. Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri
5. Arthritis Arthritis nonerosif pada dua atau lebih
persendian perifer, ditandai dengan nyeri
tekan, bengkak atau efusi
6. Serositif a. Pleuritis
Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural
friction rub atau terdapat efusi pleura pada
pemeriksaan fisik
atau
b. Perikarditis
Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial
friction rub atau terdapat efusi pericardial pada
pemeriksaan fisik
7. Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3
jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan
atau
b. Cellular cast : eritrosit, Hb, glanular, tubular atau
campuran
8. Gangguan saraf Kejang
Tidak disebabkan oleh obat atau keleinan
metabolik (uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit)
Atau
Psikosis
Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan
metabolik (uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit)
9. Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darah
Anemia hemolitik → dengan retikulositosis
Leukopenia → < 4000/mm3 pada ≥ 1
pemeriksaan
Limfopenia → < 1500/mm3 pada ≥ 2
pemeriksaan
Trombositopenia → < 100.000/mm3 tanpa adaya

13
intervensi obat
10. Ganggguan Aterdapat sala satu kelainan
Anti dsDNA di atas titer normal
imunologi
Anti-Sm (+)
Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan
kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang
abnormal
antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes
standar
tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama bulan
dan dikonfirmasi dengan ditemukannya
Treponema palidum atau antibody treponema
11. Antibodi Tes ANA (+)
antinuklear
*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 96% spesifitas
(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)

2.8 Pengobatan
a. Penatalaksanaan Umum
Penyakit LES adalah penyakit kronik yang ditadai dengan remisi dan relaps.
Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak penting
dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi dan konseling
memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam menangani penyakit multisistem
pada anak dan remaja, dan harus meliputi ahli reumatologi anak, perawat, petugas
sosial dan psikologis. Ahli ginjal perlu dilibatkan pada awal penyakit untuk
pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal. Demikian pula keterlibatan
dermatologis dan nutrisionis juga diperlukan. Perpindahan terapi ke masa dewasa
hhharus direncanakan sejak remaja.
Perlu pula diperatika megeai diet seimbag dega masuka kalori yang sesuai.
Dengan adanya kenaikan berat badan akibat penggunaa obat glukokortikoid, maka
perlu diindari makaa ”juk food” atau makanan mengandung tinggi sodium untuk
menghindari kenaikan berat badan berlebih. Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF
lebih dari 15 perlu diberikan pada anak jika berada di luar ruimah, karena dapat
melindungi dari sinar UVB. Pencegahan infeksi dilakukan dengan cara imunisasi,
karena risiko infeksi meningkat pada anak dengan LES. Pemberian antibiotik sebagai
profilaksis harus dihindari dan hanya diberikan sesuai dengan hasil kultur.
Terdapat beberapa patokan untuk penatalaksanaan infeksi pada penderita lupus,
yaitu:
1. Diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit infeksi, terutama infeksi bacterial

14
2. Sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai leukositosis (leukosit >
10.000) harus dianggap sebagai gejala infeksi
3. Gambaran radiologi infiltrat limfositik paru harus dianggap dahulu sebagai infeksi
bakterial sebelum dibuktikan sebagai keadaan lain
4. Setiap kelainan urin harus dipikirkan dulu kemungkinan pielonefritis.
Berikut merupakan pendekatan tatalaksana yang dapat dilakukan pada lupus
eritematosus spesifik (Tabel 30-8)
Tabel 30-8. Pendekatan tatalaksana LES

Umun
Konseling, edukasi, pendekatan tim
Istirahat cukup, nutrisi yang tepat
Penggunaan tabir surya
Imunisasi, khususnya vaksin antipneumokokus
Tatalaksana tepat untuk infeksi

Anti inflamasi nonsteroid


Untuk tanda dan gejala muskuluskeletal

Antikoagulan
Jika terdapat antibodi antikardiolipin dalam kadar yang bermakna, maka diberikan :
 Aspirin dosis rendah, jika thrombosis belum terjadi
 Heparin, diikuti warfarin jika sudah terjadi thrombosis

Hidroksiklorokuin
Untuk penyakit kulit dan tambahan bagi glukokortikoid untuk penyakit sistemik
Glukokortikoid
Prednisone oral 1-2 mg/kg/hari
Inisial metilprednison IV, dengan interval tiap bulan untuk terapi pemeliharaan pada
penyakit berat
Imunosupresif
Azatioprin 1-2 mg/kg/hari (per oral)
Siklofosfamid 1-2 mg/kg/hari (per oral), atau 500-1000/mg/m 2/bulan (IV) pada
penyakit berat
(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)

b. Aspek farmakologi Terapi


Terapi spesifik LES bersifat individual dan berdasar pada tingkat keparahan penyakit.

 Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS)


Peran utama OAINS dalam LES adalah mengatasi keluhan muskuluskeletal,
seperti mialgia, artralgia atau arthritis. Salisilat cenderung menimbulkan
peningkatan kadar transaminase serum maka fungsi hati harus dipantau secara

15
teratur. Salisilat merupakan indikasi kontra untuk trombositopenia dan gangguan
hemostasis.
 Hidroksiklorukin
Hidroksiklorukin sering digunakan sebagai terapi tambahan bersama dengan
glukokortikoid atau untuk pengobatan lupus discoid. Pada suatu studio bat ini dapat
mengirangi frekuensi dan keparahan episode LES (flares) dibandingkan
plasebo.Hidroksiklorukin juga dapat membuat perubahan lipid plasma yang
diinduksikan oleh glukokortikoid. Dengan adanya efek samping berupa toksisitas
retina, maka pada penggunaan obat ini kesehatan mata harus dipantau.
 Glukokortikoid
Glukokortikoid merupakan terapi farmakologi utama dan sebagian besar anak
memerlukan prednisone oral atau prednisone atau metilprednison intravena pada
fase tertentu di LES. Penggunaan obat ini meliputi terapi inisial, tapering off dan
pemeliharaan (Tabel 30-9). Dosis dan frekuensi terapi inisial bergantung pada
keparahan penyakit dan sistem organ yang terkena. Pemakaian jangka lama harus
diimbangi dengan pemantauan komplikasi yang dapat timbul akibat terapi. Dosis
rendah cukup untuk mengatasi demam, dermatitis, arthritis, dan serositis,
sedangkan dosis tinggi dapat mengatasi anemia hemolitik akut, gangguan SSP,
penyakit paru dan lupus nefritis.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kasus
Nn. B, usia 28 tahun dirawat di Rs. Bina Sehat dengan keluhan nyeri pada
persendian, kelelahan, dan sering demam. Kelelahan terutama dirasakan setelah
bangun tidur. Nyeri skala 6. Pasien mengatakan sudah berobat ke dokter dan berganti-
ganti obat tapi belum juga sembuh. Pengkajian RPD : ditemukan data pasien beberapa
bulan yang lalu mengalami ruam-ruam kemerahan pada wajah (shaped malar rash),
tangan dan badan. Hasil pemeriksaan fisik, TD : 130/90 mmHg, N : 70x/m, RR :
24x/m, Inspeksi paru simetris, auskultasi : friction rub +/+, suhu 38,5 oC, piting edema
kaki : +2/+1. Pemeriksaan penunjang : Laboratorium : Hb 10g/dL, Eritrosit : 4,2x106
uL, Leukosit : 11,7x103 uL, Trombosit : 97x103 uL, Kreatinin : 3mg/dl, Ureum : 62
mg/dl. ANA Test (+), Proteinuria 0,6 mg.

3.2 Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian

16
A. Identitas
a. Identitas Pasien
Nama : Nn. B
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 28 Tahun
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Alamat : Ds. Aman Sejahtera
No. Registrasi : 1111
Diagnosa Medis : Lupus Eritematosus Sistemik

b. Identitas Penanggung Jawab


Nama : Ny.”S”
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 62 tahun
Agama : Islam
Hubungan dengan pasien : Ibu Pasien
Alamat : Ds. Aman Sejahtera
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (IRT)

B. Keluahan Utama
Nn. B mengeluh nyeri pada persendian

C. Riwayat Penyakit
1. Riwayat penyakit sekarang
Pasien merasakan nyeri pada persendian, kelelahan, dan sering demam.
Kelelahan terutama dirasakan setelah bangun tidur.

Skala Nyeri
P : nyeri
Q : seperti di pukul-pukul
R : pada persendian
S:6
T : terutama dirasakan setelah bangun tidur

2. Riwayat Penyakit Dahulu

17
Pasien mengatakan sudah berobat ke dokter dan berganti-ganti obat tapi
belum juga sembuh. Ditemukan data pasien beberapa bulan yang lalu
mengalami ruam-ruam kemerahan pada wajah (shaped malar rash), tangan dan
badan.

D. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum : Lemas
 Kesadaran : Compos Mentis
 Tanda Tanda Vital :
Suhu : 38,50 C
RR : 24 x/menit
TD : 130/90mmhg
N : 70 x/menit

 Pemeriksaan Fisik ( Persystem)


1. Kardiovaskuler :
Friction rub pada saat auskultasi dada.
2. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku
pada pagi hari.
3. Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi. Ruam eritematous, plak eritematous
pada kulit kepala, mukaatauleher.

E. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium : Hb 10 g/dl, eritrosit; 4,2 x 106 uL, Leukosit 11,7 x
103 , Trombosit 97 x 103 uL, Kreatinin : 3mg/dl, Ureum : 62 mg/dl. ANA Test
(+), Proteinuria 0,6 mg.

3.3 Analisis Data


Nama : Nn. B
Umur : 28 tahun
Alamat : Ds. Aman Sejahtera
No. Registrasi : 1111

18
No Data Etiologi Problem
1. DS : Pasien mengatakan nyeri Pembengkakan Nyeri berhubungan
pada persendian sendi dengan inflamasi dan
DO : kerusakan jaringan.
TD : 130/90 mmhg Nyeri tekan dan
N : 70 x/menit rasa
RR : 24 x/menit nyeri ketika
 Pasien tampak menahan bengkak
sakit dibagian tangan dan
kaki Nyeri Akut
 Piting edema kaki : +2/+1

2. DS : Pasien mengatakan Infeksi sekunder Demam


badan terasa panas bakteri salmonella
DO :
TD : 130/90 mmHg Bakteri berkembang
S : 38,50C biak
RR : 24x/menit
Leukosit : 18x103 uL Memasuki aliran darah
 Akral panas
Merangsang sitesis dan
pelepasan zat pirogen
oleh leukosit

Demam

19
3 DS : Pasien mengatakan Kegagalan sumsum Keletihan
keletihan tulang membentuk sel-
DO : sel darah merah
 Pemeriksaan
Laboratorium : Tubuh mengalami
Hb 9,8 g/dl kekurangan sel darah
Eritosi t : 3,9x106 uL merah
Leukosit : 18x103 uL
Trombosit : 84x103 uL Anemia
Kreatinin : 3mg/dl
Ureum : 62 mg/dl. Keletihan
ANA Test (+)
Proteinuria 0,6 mg.

3.4 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeriberhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
2. Hipertemi berhubungan dengan proses penyakit
3. Keletihan berhubungan dengan kekurangan sel darah merah

3.5 Intervensi Keperawatan


Nama : Nn. B
Umur : 28 Tahun
Alamat : Ds. Aman Sejahtera
No. Registrasi : 1111

Diagnosa Tujuan dan Kriteria


Intervensi dan Rasional
Kepera Hasil
watan
Nyeri berhubungan Setelah dilakukan tindakan Mandiri :
dengan inflamasi keperawatan selama 1 x 24 1. Bina hubungan saling percaya
dan kerusakan jam diharapkan Gangguan dengan pasien dan keluarganya.
R : Agar terbina hubungan
jaringan. nyeri dapat teratasi dan
salingpercaya dengan
Perbaikan dalam tingkat
pasien dan keluarganya.
kenyamanan dengan

20
Kriteria Hasil : 2. Kaji skala nyeri dengan PQRST.
R : Untuk mengetahui skala
 Intensitas skala nyeri nyeri klien dan untuk
2-3 mempermudah dalam
 Klien tidak memegang
menentukan intervensi
daerah nyeri
 TD : 120-140 mmhg selanjutnya.
3. Dorong ekspresi perasaan
 N : 60-70 x/menit
 RR : 14-16 x/menit tentang nyeri.
R : Pernyataan memungkinkan
pengungkapan emosi dan
dapat meningkatkan
mekanisme koping
4. Ajarkan klien tekhnik relaksasi
R : Tekhnik relaksasi yang di
ajarkan kepada klien dapat
membantu dalam
mengurangi persepsi klien
terhadap nyeri yang
diderita
5. Observasi TTV
R : Untuk mengetahui keadaan
lebih lanjut px

Kolaborasi :
1. Kolaborasi dalam pemberian
obat analgetik.
R : obat analgetik dapat
mengurangi atau
menghilangkan nyeri
yang diderita oleh klien
Demam Setelah dilakukan tindakan Mandiri :
berhubungan keperawatan selama 1x24 1. Observasi TTV
R:
dengan infeksi jam, masalah keperawatan
Untuk mengetahui perubahan
hipertermi diharapkan
keadaan pasien ( suhu tubuh)
teratasi dengan indikator : 2. Berikan kompres dingin
R : kompres hangat untuk
 Suhu turun dari
membuat nyaman pasien

21
38,50C menjadi 3. Anjurkan memekai pakaian
37,00C yang menyerap keringat dan
 Akral hangat tidak tebal
R : untuk memepercepat proses
evaporasi keringat
Kolaborasi :
1. Kolaborasi dalam pemberian
antipiretik
R:
Antipiretik dapat menurunkan
suhu tubuh

Diagnosa
Keperawa NOC NIC
tan
Keletihan  Endurance  Observasi adanya
berhubung  Concentrasion pembatasan klien
 Energy conservation
an dengan  Nutritional status energy dalam melakukan
kekuranga Kriteris Hasil : aktifitas
n sel darah  Dorong untuk
 Memverbalisasikan
merah mengungkapkan
peningkatan energi dan
perasaan terhadap
merasa lebih baik
 Menjelaskan penggunaan keterbatasan
 Kaji adanya faktor
energy untuk mengatasi
yang menyebabkan
kelelahan
 Kecemasan menurun keletihan
 Glukosa darah adekuat  Monitor nutrisi dan
 Pemeriksaan sumber energy yang
Laboratorium : adekuat
Hb 12-16 gr/dLg/dl  Monitor pasien akan
Eritosit : 4,2 – 5,4 uL
Leukosit : 4x103 - 10x103 uL adanya keletihan fisik
Trombosit : 200 x 103 - 400 x dan emosi secara
3
10 uL berlebihan
 Monitor respon
kardiovaskuler

22
terhadap aktivitas
 Bantu aktifitas sehari-
hari sesuai dengan
kebutuhan
 Tingkatkan tirah
baring dan
pembatasan aktifitas
(tingkatkan periode
istirahat)

3.6 Implementasi

Nama : Nn. B

Umur : 28Tahun

Alamat : Ds. Aman Sejahtera

No. Registrasi : 1234

Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.

Tanggal/Puku Tindakan Keperawatan Paraf


l
25 November Mandiri :
2016 1. Membina hubungan saling percaya
10.00 -10.30 dengan pasien dan keluarganya agar
terbina hubungan saling percaya
dengan pasien dan keluarganya.
2. Mengkaji skala nyeri dengan
PQRST
P : Nyeri
Q :Nyeri seperti dipukul benda
tumpul
R : Daerah persendian
S :6
T : Dirasakan saat bangun
tidur

23
3. Dorong ekspresi perasaan tentang
nyeri
4. Ajarkan klien tekhnik relaksasi
5. Mengkaji TTV
TD : 130/90 mmhg
N : 70 x/menit
RR : 24 x/menit

Kolaborasi :
1. Kolaborasi dalam pemberian obat
analgetik

2. Demam berhubungan dengan proses infeksi

Tanggal/Puk
Tindakan Keperawatan Paraf
ul
25 November Mandiri :
2016 1. Mengobservasi suhu tubuh klien
TD : 130/90 mmHg
10.0 -10.30
S : 38,50C
RR : 24x/menit
Leukosit : 18x103 uL
 Acral panas

2. Memberikan kompres hangat pada


dahi, aksila, perutdan lipatan paha

3. Menganjurkan untuk memakaikan


pakaian pasien yang tipis, longgar,
dan mudah menyerap kringat

Kolaborasi :
1. Kolaborasi dalam pemberian
antipiretik

24
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1) Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS dan kanker.
Penyakit ini merupakan salah satu penyakit autoimun, dimana sistem imun terbentuk
secara berlebihan sehingga kelainan ini lebih dikenal dengan nama autoimunitas.
2) Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkannya tetapi
diduga yang menjadi penyebabnya adalah factor genetik, infeksi (kuman dan virus)
sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan menduga
penyakit ini ada kaitannya dengan hormon estrogen.
3) Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering dianggap sepele tetapi
justru perlu untuk ditangani sejak awal agar terhindar dari penyebarannya sampai ke
organ-organ.

25

Anda mungkin juga menyukai