Anda di halaman 1dari 9

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10

PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA


13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN MENGGUNAKAN ANALISIS OBJECT-BASED


IMAGE DALAM PENGINDERAAN JAUH

Puguh Dwi Raharjo*1


Sueno Winduhutomo1
Kristiawan Widiyanto1
Nandian Mareta1
1
LIPI, Balai Informasi dan Konservasi Kebumian, Jl. Karangsambung KM 19 Kebumen
*corresponding author: puguh.draharjo@karangsambung.lipi.go.id
ABSTRAK
Karangsambung merupakan kawasan dengan batuan yang beraneka ragam, konsekuensi dari hal
tersebut adalah juga terdapatnya berbagai macam bentuklahan. Informasi bentuklahan menggambar
suatu kesamaan topografi dan struktur geologi serta proses eksogen. Intepretasi bentuklahan relatif
mudah dilakukan dengan data penginderaan jauh, terdapat analisis spasial yang saling berasosiasi.
Membedakan bentuklahan dengan teknik penginderaan jauh adalah dengan kompilasi ciri khas yang
ada di permukaan. Semakin baik basis pengetahuan tentang konfigurasi permukaan (fisiografi) maka
semakin banyak pula kemungkinan informasi yang dapat di ekstraksi. Makalah ini menyajikan sistem
klasifikasi otomatis elemen bentuklahan berdasarkan analisis object-based image (OBIA). Objek
diklasifikasikan sebagai elemen bentuklahan menggunakan model klasifikasi relatif, dibangun baik
pada bentuk permukaan maupun pada posisi memiliki ketinggian. Sejauh ini, Aspek kemiringan tidak
digunakan dalam klasifikasi. Pendekatan OBIA melalui dua tahapan utama yaitu segmentasi dan
klasifikasi.Dalam melakukan klasifikasinya tidak hanya mempertimbangkan aspek spektral namun
aspek spasial objek. Segmentasi membentuk suatu obyek berdasarkan pengelompokan piksel
berdekatan dengan kualitas yang sama. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra
landsat-8 dan citra AsterGDEM. Hasil yang diperoleh merupakan klasifikasi bentuklahan dengan
intepretasi hasil klasifikasi berskala 1:50000. Secara umum, bentuklahan yang ada di kawasan
Karangsambung terdapat 3 bentukanlahan asal, yaitu: bentuklahan asal proses fluvial; bentuklahan
asal proses denudasional; dan bentuklahan asal struktural. Dengan menggunakan metode OBIA
masing-masing bentuklahan tersebut dapat diperinci lebih detail.
Kata Kunci: bentuklahan, karangsambung, OBIA, penginderaan jauh

1. Pendahuuan
Bentuklahan merupakan spesifik morfometri dan morfologi menurut fungsi dan
berhubungan dengan keadaan ukuran dan bentuk (Eisank dkk, 2011). Bentuklahan yang
kompleks pada permukaan bumi ini diperukan suatu klasifikasi dan pembagian untuk menjadi
unit yang memiliki kesamaan dan sifat perwatakannya.
Pendekatan awal didasarkan pada survei lapangan, pemrosesan manual dengan
menggunakan peta topografi atau dengan menggunakan foto udara, klasifikasi dapat
memanfaatkan dari data penginderaan jauh yang menggunakan teknik pemrosesan untuk
meningkatkan kualitas dari data elevasi digital (Dragut dan Eisank, 2011). Penggunaan data
penginderaan jauh mampu memberikan gambaran fisiografi yang menyeluruh pada
permukaan bumi, identifikasi dan klasifikasi akan lebih mudah dilakukan. Hubungan antara
bentuklahan satu dengan yang lainnya dapat dilakukan asosiasi melalui kenampakan dari
konfigurasi permukaan bumi.
Dragut dan Blaschke (2006) melakukan penelitian menggunakan OBIA untuk
mengklasifikasikan bentuklahan. Pada klasifikasi otomatis tersebut elemen landform
berdasarkan analisis citra berorientasi objek. Pertama, beberapa lapisan data dihasilkan dari
Digital Terrain Models (DTM): elevasi, kelengkungan profil, kelengkungan rencana dan
kemiringan lereng. Kedua, objek yang relatif homogen digambarkan pada beberapa tingkatan
melalui segmentasi citra. Hasil klasifikasi sebagai elemen bentuk lahan menggunakan model
1781
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

klasifikasi relatif, dibangun baik pada bentuk permukaan maupun pada posisi ketinggian
benda.
Intepretasi bentuklahan menggunakan data penginderaan jauh dapat dilakukan secara
visual baik menggunakan citra penginderaan jauh sistem aktif maupun pasif. Seiring dengan
perkembangan teknologi penginderaan jauh intepretasi bentuklahan dapat dilakukan dengan
menggunakan intepretasi secara digital. Object-based image analysis (OBIA) merupakan
metode yang dikembangkan relatif baru dalam interpretasi citra secara digital dengan
mendefinisikan kelas obyek di permukaan bumi berdasarkan aspek spektral dan aspek spasial
sekaligus (Danoedoro, 2012). Klasifikasi citra dengan object-oriented merupakan level yang
sederhana dalam mengklasifikasi kondisi yang sama pada obyek pada citra dibandingkan
dengan individual piksel (Rutherford dkk, 2008)
Otomatisasi daerah fisiografi ini lebih obyektif dan dengan waktu yang singka, karena
menggunakan proses yang hirarki pada pengolahan segmentasinya (Argialas dan Tzotsos,
2006). Sudut kemiringan dan karakteristik elevasi ditentukan untuk setiap unit geomorfologi
kunci yang terjadi di daerah studi, kelas yang dihasilkan mewakili unit yang sesuai dengan
bentang alam dan proses yang terjadi (Asselen dan Seijmonsbergen, 2006).
Raharjo (2010) melakukan analisis data penginderaan jauh tentang bentuklahan asal
proses fluvial di kawasan ini. Namun metode yang digunakan pada penelitian tersebut masih
menggunakan intepretasi secara visual. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat 5
jenis bentuklahan asal proses fluvial pada kawasan Karangsambung. Kawasan ini merupakan
suatu Kawasan Cagar Alam Geologi yang berada di Jawa Tengah yang memiliki
keanekaragaman batuan yang lengkap. Selain itu pada wilayah ini juga memiliki perbedaan
topografi sebagai konsekuensi adanya keanekaragaman batuan tersebut. Secara otomatis
perbedaan-perbedaan ini akan memberikan unit-unit bentuklahan yang berbeda-beda pula.
Tujuan pada penelitian ini adalah melakukan klasifikasi unit bentuklahan secara otomatis
yang berbasis pada obyek. Analisis yang dilakukan berupa spasial, tekstural, serta spektral
yang ada pada citra penginderaan jauh. Hasil yang diperoleh juga akan dibandingkan dengan
metode manual yang menggunakan analisis intepretasi visual data penginderaan jauh.

2. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kawasan Cagar Alam Geologi Karangsambung yang secara
administrasi berada di sebagain Kabupaten Kebumen, Kabupaten Banjarnegara, dan
Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah (Gambar 1). Data-data yang digunakan antara
lain adalah data AsterGDEM Tahun 2008 resolusi spasial 45 meter; citra landsat 8 Tahun
2016 resolusi spasial 30 meter, path/row 120/065; Peta Rupa Bumi digital skala 1:25.000; dan
Peta Geologi skala 1:100.000.
Software yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan eCognition 64, pada
software tersebut memberikan pilihan banyak feature space yang dapat digunakan untuk
proses klasifikasi. Selain itu pada software ini algoritam untuk klasifikasi Nearest Neighbor
lebih baik apabila dibandingkan dengan software lainnya.
Setiap parameter skala, warna, bentuk, kehalusan dan kekompakan dilakukan segmentasi
citra dan diberilan nilai serta bobot yang akan digunakan sebagai perhitungan pada setiap
proses segmentasi. Parameter skala digunakan untuk menentukan besarnya heterogenitas
obyek. Proses segmentasi dilakukan berulang-ulang berdasarkan skala parameter sampai
obyek pada cita bisa mendenifisikan nama dari bentuklahan. Kenampakan obyek akan
dihasilkan ukuran yang lebih kecil daripada kenampakan homogen meskipun nilai skalanya
sama. Pada segmentasi ini komposisi heteronitas ditentukan dari warna citra dan bentuk
1782
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

obyek, sedangkan bentuk obyek ini merupakan gabungan dari piksel-piksel yang memiliki
nilai sama.
Citra landsat-8 dan citra AsterGDEM dilakukan transformasi menggunakan image
sharpening dengan formulasi HRV. Hasil dari transformasi ini akan dilakukan pemrosesan
segmentasi guna informasi obyek yang di identifikasikan sebagai bentuklahan. Namun apabila
heteronitas warna terlalu banyak dan kesan topografi sangat rendah maka segmentasi hanya
akan menggunakan data citra dari AsterGDEM. Hal ini dikarenakan parameter warna lebih
berperan dalam informasi objek, sedangkan parameter bentuk yang sesuai meningkatkan
kualitas hasil segmentasi. Parameter bentuk menjadikan proses segmentasi lebih
mengidentifikasikan pada tekstur, sehingga perlu mempertimbangkan aspek kemiringan dan
topografi. Gambar 2 merupakan diagram alur penelitian.

3. Hasil dan Pembahasan


Proses transformasi yang dilakukan antara citra landsat 8 dengan asterGDEM
menunjukkan lebih jelas informasi mengenai konfigurasi permukaan. Kedua citra ini hampir
memiliki kesamaan resolusi spasial, 30 meter untuk citra landsat 8 dan 45 meter untuk citra
AsterGDEM. Namun citra hasil transformasi tersebut memebrikan kesan heteronitas yang
tinggi, sehingga ketika dilakukan segmentasi dari skala parameter 50 hingga 150 masih
memberikan banyak kesalahan deliniasi. Namun hasil tersebut sangat baik ketika dilakukan
intepretasi secara visual mengenai informasi konfigurasi permukaan. Perpaduan topografis
dengan spektral warna mempertajam kenampakan obyek yang terkesan dengan 3 dimensional.
Dalam citra AsterGDEM merupakan citra penginderaan jauh aktif dimana spektral tidak
begitu dipertimbangkan. Pada citra ini tidak difokuskan pada obyek permukaan yang berupa
penggunaan lahan/penutup lahan, namun lebih pada kesan topografis sesuai dengan tujuan
penelitian. Warna yang ada hanyalah menggambarkan ketinggian dari lokasi yang bisa
diklasifikasikan sesuai tujuan intepretasi. Perubahan warna semu RGB (red green blue)
dilakukan percobaan untuk mendapatkan hasil dari citra yang lebih jelas permukaannya. Pada
ketinggian yang sama dan kemiringan yang sama, namun memiliki aspek hadap lereng yang
berbeda memperlihatkan warna yang berbeda pula, sehingga perlu analisis pada saaat
klasifikasi segmentasi. Pemberian warna pada image layer citra, pada layer biru diberikan
warna merah dan biru, layer hijau diberikan warna merah, hijau, dan biru, serta layer merah
diberikan warna hijau dan merah. Hasil pada perubahan komposit warna tersbut
memperlihatkan informasi fisiografi lebih jelas dan mudah dikenali.
Pada proses segmentasi skala parameter 50 diperoleh deliniasi yang sangat rapat.
Pengaruh dari warna masih juga dominan pada skala ini, terlihat dibeberapa tempat pada
dataran aluvial yang seharusnya memiliki kesamaan deliniasi pada skala ini menunjukkan
banyak berbedaan. Kondisi lapangan pada dataran aluvial ini selain memiliki jenis
penggunaan lahan yang beragam yang ber-efek pada pantulan warna, juga pengaruh
kekasaran permukaan sangat mempengaruhi dalam membedakan obyek pada metode OBIA
ini. Pada daerah perbukitan juga menunjukkan demikian, perbukitan ini dibagi menjadi
banyak segmen yang perbedaannya didasarkan pada panjang dan kemiringan lereng. Selain
itu adanya bentuk lereng yang berbeda pada wilayah yang relatif tidak begitu luas. Lembah
yang di identifikasikan sebagai tubuh air juga masih memiliki banyak deliniasi, bahkan pada
tubuh air berupa waduk yang memiliki obyek yang sama juga memiliki 2 deliniasi wilayah
yang berbeda. Gambar 3 merupakan hasil segmentasi wilayah penelitin yang menggunakan
skala parameter 50.

1783
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Mengingat pada skala parameter tersebut masih banyakdeliniasi garis yang belum bisa
dilakukan analisis bentuklahan, maka skala parameter dibesarkan menjadi 100. Skala
parameter 100 ini konfigurasi permukaan yang dideliniasi sudah mengikuti bentuk dari
topografi citra. Bentuklahan dataran aluvial secara detai sudah bisa terlihat dengan jelas.
Tubuh air yang berupa danau juga sudah didapati deliniassi yang tunggal. Pada skaala
parameter ini, perbukitan yang memiliki bentuklahan pedimen juga bisa di-identifikasikan.
Puncak-puncak perbukitan yang memiliki topografi datar juga bisa terlihat dengan jelas, dan
perbedaan antara puncak dan kaki puncak perbukitan terlihat adanya ssuatu perbedaan.
Namun pada skala parameter 100 ini, lembah yang berupa sungai utama masih sedikit susah
dibedakan antara ssungai utama dengan dataran banjir. Sehingga apabila menggunakan skala
parameter 100 ini, klasifikasi yang dihasilkan sangatlah banya dan kompleks, sehingga skala
parameter masih perlu undtuk dikecilkan. Gambar 4 merupakan hasil segmentasi wilayah
penelitin yang menggunakan skala parameter 100.
Skala parameter yang terkahir yang digunakan pada penelitian ini adalah 150. Nilai ini
memberikan kehalusan deliniasi dan mencoba untuk meng-eliminasi tekstur atau kekasaran
permukaan. Skala parameter ini dipilih karena pada wilayah penelitian ini sangatlah memiliki
kompleksitas topografi dan kemiringan lereng. Seperti diketahui bahwa wilayah penelitian ini
merupakan Cagar Alam Geologi Karaangsambung yang memiliki keragaman batuan. Dengan
keragaman batuan tersebut juga akan menjadikan keragaman bentuklahan yang ada. Gambar
5 merupakan hasil segmentasi wilayah penelitin yang menggunakan skala parameter 150.
Pada gambar diatas (Gambar 5) menunjukkan bahwa deliniasi lebih sederhana dari pada
proses-proses segmentasi sebelumnya. Pada segmentasi skala parameter 150 ini dipilih karena
deliniasi yang dihasilkan sesuai dengan topografi dan kemiringan lereng pada umumnya.
Namun sebenarnya pada skala ini, tidak dapat membedakan bentuklahan pedimen secara
detail seperti segmentasi pada skala parameter 100. Gambar 6 merupakan hasil peta
bentuklahan dengan menggunakan metode OBIA
Skala yang paling bisa dilihat adalah skala parameter 150, skala ini segmentasi sudah bisa
menerjemahkan dataran aluvial, namun tidak pada dataran banjir. Perbukitan denudasional
dengan pengikisan dari lemah-sedang-tinggi dapat dibedakan. Perbukitan lipatan juga
semakin jelas strukturnya. Pedimen-pedimen yang berasal dari longsoran lembah-lembah
pada perbukitan curam juga dapat dikenali. Pada sebelah utara, citra asli memberikan
gambaran bahwa daerah tersebut memiliki kekasaran permukaan yang sama, namun setelah
dilakukan segmentasi dengan metode OBIA ini ternyata ada suatu perbedaan, dan juga pada
wilayah tersebut ternyata juga memilik litologi yang berbeda pula. Namun sistem otomatis ini
juga tidak menghasilkan kesempurnaan dalam melakukan deliniasi bentuklahan, pada
beberapa tempat masih perlu dilakukan merger (penggabungan) poligon-poligonnya. Dasar
ini yang digunakan sebagai analisis yang tetap melihat kondisi lapangan dan kenampakan 3
dimensinya.
Beberapa analisis yang digunakan dalam lekaukan mergering dan mendeskripsikan
deliniasi hasil segmentasi meliputi, yaitu: morfografi (aspek geomorfologi yang deskriptif
pada suatu area), morfometri (aspek kuantitatif pada suatu area, kecuraman lereng,
ketinggian), morfogenesis (perkembangannya dan proses-proses pembentukan),
morfostruktur dan morfodinamik, serta morfo-arrangement (hubungan antar keruangan).
Pada penelitian ini dihasilkan bahwa daerah penelitian memiliki 3 bentuklahan proses asal,
yaitu Bentuklahan fluvial, bentuklahan denudasional, dan bentuklahan struktural. Bentuklahan
asal proses fluvial meliputi, dataran banjir, dataran aluvial, dan daerah sedimentasi.
Bentuklahan asal proses denudasional memiliki keragaman yang banyak yang diklasifikasikan
berdasarkan kekuatan pengikisan dan kemiringan lerengnya, seperti halnya perbukitan
terkikis lemah lereng curam. Selain itu juga terdapat pedimen yang merupakan bentuklahan
1784
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

asal proses denudasional yang merupakan hasil endapan longsoran pada lahan perbukitan.
Sedangkan pada bentuklahan asal proses struktural memiliki bentuklahan meliputi, dataran
tinggi lembah antiklinal, leteng lembah antiklinal, dan perbukitan patahan.
4. Kesimpulan
Penggunaan metode OBIA (Object-Based Image) dalam penginderaan jauh untuk
membantu informasi mengenai konfigurasi permukaan bumi terutama dalam melakukan
pemetaan bentuklahan sangat baik hasilnya. Namun metode ini untuk memperoleh informasi
mengenai tema tersebut tidak bisa berdiri sendiri, pengalaman serta analisis peneliti masih
sangat diperlukan terutama pada saat memberikan klasifikasi bentuklahan. Sehingga
penerapan metode OBIA dalam penelitian ini lebih tepatnya membatu mempercepat dan
mendetailkan proses klasifikasi bentuklahan.

Acknowledgements
Penulis mengucapkan terima kasih ke pada LIPI atas pendanaannya dalam kegiatan
penelitian tematik, serta kepada Kepala Balai Informasi dan Konservasi Kebumian, LIPI atas
ijin penggunaan datanya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada TIM Penelitian
Morfometri DAS Lukulo Hulu atas kerjasamanya dalam pengambilan data di lapangan.

Daftar Pustaka
Argialas, D., dan Tzotsos, A. 2006. Automatic Extraction of Physiographic Features and
Alluvial Fans in Nevada, Usa from Digital Elevation Models and Satellite Imagery
Through Multiresolution Segmentation and Objectoriented Classification. ASPRS 2006
Annual Conference Reno, Nevada
Asselen S.V., dan Seijmonsbergen, A,C. 2006. Expert-driven semi-automated
geomorphological mapping for a mountainous area using a laser DTM.
Geomorphology 78 (2006), p. 309–320
Eisank C., Drăguţ, L., Blaschke, T. 2011. A generic procedure for semantics-oriented
landform classification using object-based image analysis. Geomorphometry.org/2011,
p. 125-128
Danoedoro, P. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta : ANDI
Dragut, L., Blaschke, T. 2006. Automated classification of landform elements using object-
based image analysis. Geomorphology 81 (2006) , p. 330–344
Dragut, L., Eisank, C. (2011). Automated object-based classification of topography from
SRTM data. Geomorphology. doi:10.1016/j.geomorph.2011.12.001
Raharjo, P.D. 2010. Penggunaan Data Penginderaan Jauh dalam Analisis Bentukan Lahan
Asal Proses Fluvial di Wilayah Karangsambung. Jurnal Geografi ,Vol. 7 (2) Juli 2010.
Rutherford, V., Platt., Rapoza, L. 2008. An Evaluation of an Object-Oriented Paradigm for
Land Use/Land Cover Classification. The Professional Geographer, by Association of
American Geographers, 60(1) 2008, p. 87-100

1785
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 1. Lokasi penelitian Cagar Alam Geologi Karangsambung, yang mencakup sebagian
Kabupaten Kebumen, Kabupaten Banjarnegara dan Kabupatan Wonosobo

1786
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Citra
Citra landsat-8
AsterGDEM

Transformasi
HSV

Segmentasi

TIDAK

Warna Bentuk

Diterima
?

YA
Lapangan

Skala Parameter Skala Parameter Skala Parameter


50 100 150

Peta Bentuklahan
Metode OBIA

Gambar 2. Diagram alir penelitian

1787
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 3. Skala parameter 50 pada wilayah penelitian

Gambar 4. Skala parameter 100 pada wilayah penelitian

1788
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 5. Skala parameter 150 pada wilayah penelitian

Gambar 6. hasil peta bentuklahan dengan menggunakan metode OBIA Kawasan Karangsambung

1789

Anda mungkin juga menyukai