Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Genetika merupakan cabang ilmu biologi yang mempelajari materi genetik,


tentang strukturnya, reproduksinya, kerjanya (ekspresinya), perubahan dan
rekombinasinya, keberadaannya dalam populasi, serta bagaimana
perekayasaannya (Corebima, 2013). Pada proyek yang kami lakukan ini
digunakan objek yang mudah dalam pengamatannya yakni Drosophilla
melanogaster dikarenakan mudah diamati perbedaan sifatnya, memiliki keturunan
yang banyak serta umur dan daur hidup yang relatif singkat dan tidak memiliki
ukuran yang terlalu besar, sehingga mudah diamati. Untuk mempelajari genetika,
biasanya peneliti menggunakan Drosophila melanogaster karena memiliki tubuh
yang kecil dengan morfologi tubuh yang bervariasi, biasanya ditemukan pada
buah-buah busuk. Selain itu dapat disimpan dan dibiakkan pada tempat yang
relatif kecil, memiliki populasi yang sangat besar, waktu generasi yang pendek,
mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi, dan individu betina dapat
menghasilkan ratusan telur. Drosophila melanogaster betina memiliki 4 pasang
kromosom yang homolog, tetapi pada jantan memiliki 3 pasang kromosom yang
homolog, sepasang kromosom lainnya tidak homolog, salah satu anggota dari
pasangan kromosom keempat ini wujudnya identik dengan pasangan keempat
pada betina betina (Kimball, 1992).
Strain yang digunakan dalam penelitian ini adalah we yang mengalami
mutasi pada kromosom 1 lokus 1,5 disilangkan dengan strain cl yang mengalami
mutasi yang terletak pada kromosom 2 lokus 16,5 dan strain m yang mengalami
mutasi pada kromosom 1 lokus 36,1 disilangkan dengan strain vg yang

mengalami mutasi pada kromosom 2 lokus 67 (Sticberger,   1962). Alasan


pemilihan strain-strain ini adalah karena dalam persilangannya strain-strain
tersebut terletak pada kromosom yang berbeda dan hanya melihat satu sifat beda
pada tiap persilangan yang merupakan syarat terjadinya interaksi gen. Interaksi
antar gen akan menimbulkan perbandingan fenotipe keturunan yang menyimpang

1
dari hukum Mendel, keadaan ini disebut penyimpangan hukum Mendel
(Stansfield, D. William, 1991).
Penelitian sebelumnya untuk membuktikan peristiwa interaksi gen dilakukan
dengan implantasi larva Drosophila melanogaster starin v, cn, dan N. Implant dari
larva vermilion (v) atau cinnabar (cn) ke larva nomal (Tipe liar) akan berkembang
menjadi mata normal karena terjadi difusi senyawa kimia tertentu ke jaringan
disekitar dan mendukung perkembangan larva normal. Implant dari larva v ke
larva cn akan berkembang menjadi mata normal. Implant dari larva cn, ke larva v
akan berkembang menjadi larva cn. Dalam hal ini terlihat bahwa larva cn
memberikan senyawa kimia tertentu yang dibutuhkan untuk menghasilkan pigmen
mata normal pada implant mata v, tetapi mata v tidak memberikan senyawa kimia
tersebut. Pada proses sintesis pigmen mata pemutusan tahap reaksi biokimia yang
menghasilkan mata v sudah mendahului pemutusan tahap reaksi biokimia yang
menghasilkan mata cn. Kerja gen komplementer dijelaskan dengan contoh
persilangan Drosophila melanogaster strain st dan bw. Sebuah pigmen
omochrome coklat dihasilakan Drosophila melanogaster oleh sebuah gen
dominan st+ dikromosom 3. Pigmen pterin merah terang (scalret) dihasilkan oleh
gen dominan bw+ dikromosom 2. Alel-alel resesif pada kedua lokus tidak
menghasilkan pigmen. Ketika lalat scarlet murni disilangkan dengan lalat coklat
murni muncul sebuah fenotif berbeda (wild type) pada progeni. Hubungan
penggunaan strain dengan interaksi gen adalah strain-strain tersebut terletak pada
kromosom yang berbeda dan hanya melihat satu sifat beda dan hal tersebut
merupakan syarat terjadinya interaksi gen .Kaitan antara interaksi gen dengan
kehidupan sehari-hari adalah adanya banyak varietas dari populasi makhluk hidup
yang ada di bumi.
Dari hal tersebut, maka dilakukan suatu penelitian persilangan Drosophila
melanogaster strain ♂ we >< ♀ cl dan ♂ m >< ♀ vg beserta resiproknya untuk
membuktikan dan menunjukkan adanya interaksi gen yang terjadi.Oleh karenanya
penelitian ini digunakan judul “Fenomena Interaksi Antara Faktor Gen Pada
Persilangan Drosophila melanogaster Strain ♂ we >< ♀ cl dan ♂ m >< ♀ vg
beserta resiproknya”.

1.2 Rumusan Masalah

2
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1.2.1 Bagaimana fenotip F1 dan F2 dari persilangan D. melanogaster strain ♂
we >< ♀ cl beserta resiproknya?
1.2.2 Bagaimana fenotip F1 dan F2 dari persilangan D. melanogaster strain ♂ m
>< ♀ vg beserta resiproknya?
1.2.3 Bagaimana rasio fenotip F1 dan F2 dari persilangan D. melanogaster
strain ♂ we >< ♀ cl beserta resiproknya
1.2.4 Bagaimana rasio fenotip F1 dan F2 dari persilangan D. melanogaster
strain ♂ m >< ♀ vg beserta resiproknya
1.2.5 Bagaimana fenomena interaksi gen yang terjadi pada persilangan F1 dan
F2 D. melanogaster strain ♂ we >< ♀ cl dan ♂ m >< ♀ vg beserta
resiproknya?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Mengetahui fenotip F1 dan F2 dari persilangan D. melanogaster strain ♂
we >< ♀ cl beserta resiproknya?
1.3.2 Mengetahui fenotip F1 dan F2 dari persilangan D. melanogaster strain ♂
m >< ♀ vg beserta resiproknya?
1.3.3 Mengetahui rasio fenotip F1 dan F2 dari persilangan D. melanogaster
strain ♂ we >< ♀ cl beserta resiproknya
1.3.4 Mengetahui rasio fenotip F1 dan F2 dari persilangan D. melanogaster
strain ♂ m >< ♀ vg beserta resiproknya
1.3.5 Mengetahui fenomena interaksi gen yang terjadi pada persilangan F1 dan
F2 D. melanogaster strain ♂ we >< ♀ cl dan ♂ m >< ♀ vg beserta
resiproknya?

1.4 Kegunaan Penelitian


Kegunaan dari penelitian ini antara lain.
1.4.1 Bagi Mahasiswa Biologi
1.4.1.1 Memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai adanya fenomena
interaksi gen pada persilangan D. melanogaster strain ♂ we >< ♀ cl dan ♂
m >< ♀ vg beserta resiproknya
1.4.2 Bagi Peneliti

3
1.4.2.1 Memberikan informasi mengenai keturunan F1 dan F2 pada persilangan
D.melanogaster strain ♂ we >< ♀ cl dan ♂ m >< ♀ vg beserta
resiproknya
1.4.2.2 Memberikan informasi mengenai rasio fenotip dari strain ♂ we >< ♀ cl
dan ♂ m >< ♀ vg beserta resiproknya.
1.4.2.3 Meningkatkan ketelitian, kesabaran, kejujuran, keiklasan, dan rasa tidak
mudah putus asa dalam menjalankan berbagai kegiatan penelitian ini.
1.4.2.4 Mampu meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan, bahwa dari makhluk
ciptaannya mampu dijadikan sebagai obyek penelitian yang sangat
menakjubkan.

1.5 Asumsi Penelitian


Asumsi pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.5.1 umur D. melanogaster pada setiap strain yang digunakan adalah sama.
1.5.2 semua kondisi lingkungan seperti suhu, cahaya, tempat biakan, dan
kelembapan dianggap sama.
1.5.3 kondisi medium yang digunakan selama penelitian adalah sama.

1.6 Batasan Masalah


1.6.1 Strain D. melanogaster yang digunakan dalam penelitian ini adalah strain
we, cl, m dan vg dari persilangan Drosophila melanogaster strain ♂ we
>< ♀ cl dan ♂ m >< ♀ vg beserta resiproknya yang diperoleh dari
laboratorium Genetika jurusan Biologi FMIPA UM.
1.6.2 Pengamatan fenotip pada penelitian ini hanya terbatas pada warna mata
pada persilangan strain we dan cl dan sayap pada persilangan strain m dan
vg
1.6.3 Penelitian hanya mengamati fenotip F1 dan F2 pada D.melanogaster strain
♂ we >< ♀ cl dan ♂ m >< ♀ vg beserta resiproknya

1.7 Definisi Istilah


1.7.2 Strain merupakan suatu kelompok intra spesifik yang memiliki hanya satu
atau sejumlah kecil ciri berbeda, biasanya secara genetik dalam keadaan
homozigot untuk ciri-ciri tersebut atau gamet murni ( Campbell, 2002).
1.7.3 Proyek ini menggunakan empat strain D.melanogaster yaitu we, cl, m, dan
vg. mutasi pada kromosom 1 yakni kromosom kelamin, terdapat gen w

yang memiliki variasi seperti gen w dengan bagian tubuh yang termutasi
yakni pada warna matanya yang putih.Contoh mutasi pada warna mata
yang lain yakni mutasi gen cl atau clot yang terletak pada kromosom

4
nomor 2 yang memiliki ciri-ciri warna mata berwarna coklat sedangkan
bagian tubuh yang lain masih normal. Mutasi pada sayap seperti vg atau
vestigial terletak pada kromosom tubuh nomor 2 dengan ciri sayap
tereduksi sehingga hanya menyisakan venasi sayapnya saja dalam ukuran
yang kecil, sedangkan mutasi lain adalah pada gen m atau miniature yang
terletak pada kromosom kelamin dan memiliki ciri panjang sayapnya
merupakan separuh dari panjang tubuhnya (Parvathi, 2009).
1.7.4 Filial 1 merupakan persilangan dari parental (induk) atau turunan pertama
1.7.5 Filial 2 merupakan keturunan generasi kedua dari persilangan F1
1.7.6 Fenotip merupakan karakter-karakter yang dapat diamati pada suatu
individu (yang merupakan interaksi antara genotip dan lingkungan tempat
hidup dan berkembang) ( Ayala dalam Corebima, 2013).
1.7.7 Interaksi gen adalah penyimpangan semu terhadap hukum Mendel yang
tidak melibatkan modifikasi nisbah fenotipe, tetapi menimbulkan fenotipe-
fenotipe yang merupakan hasil kerja sama atau interaksi dua pasang gen
nonalelik (Suryo, 2001)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Drosophila melanogaster

Drosophila melanogaster yang biasa disebut lalat buah, memiliki


pengelompokaan taksa sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insekta

Ordo : Diptera

Famili : Drosophilidae

Genus : Drosophila

Spesies : Drosophila melanogaster

(Harry, 2001)

5
2.2 Morfologi
Pada D. melanogaster wild type memiliki warna tubuh kuning kecokelatan
dengan cincin berwarna hitam pada tubuh bagian belakang. Ukuran
tubuhnya berkisar antara 3-5 mm. Sayap D. melanogaster berwarna transparan.
Posisi sayapnya bermula dari toraks. Urat tepi sayapnya memiliki dua bagian yang
terinterupsi dekat dengan tubuhnya. Sungut pada umumnya berbentuk bulu dan
memiliki 7-12 percabangan. Crossvein posterior umumnya berbentuk lurus, tidak
melengkung. Memiliki mata majemuk berbentuk bulat agak ellips dan berwarna
merah. Hewan ini juga memiliki mata oceli pada bagian atas kepalanya dengan
ukuran relatif lebih kecil dibanding mata majemuk. Thoraxnya berbulu-bulu
dengan warna dasar putih, sedangkan abdomen bersegmen lima dan bergaris
hitam (Borror, 1992).
Tubuh lalat jantan lebih kecil dibandingkan betina dengan tanda-tanda
secara makroskopis adanya warna gelap pada ujung abdomen, bisa dilihat seperti
pada gambar 1.1. Pada kaki depannya dilengkapi dengan sisir kelamin yang terdiri
dari gigi hitam mengkilap. (Shorrock, 1972). Ada beberapa tanda yang dapat
digunakan untuk membedakan lalat jantan dan betina, yaitu bentuk abdomen
pada lalat betina kecil dan runcing, sedangkan pada jantan agak membulat Tanda
hitam pada ujung abdomen juga bisa menjadi ciri dalam menentukan jenis
kelamin lalat ini tanpa bantuan mikroskop. Ujung abdomen lalat jantan berwarna
gelap, sedang pada betina tidak. Jumlah segmen pada lalat jantan hanya 5, sedang
pada betina ada 7. (Shorrock, 1972)

Gambar 2.1 Perbedaan Morfologi D. melanogaster Betina dan Jantan


(sumber: Http://www. Eol.org)

6
Gambar 2.2 Bagian-Bagian Tubuh Pdari D. melanogaster (Sumber:
Shingleton, 2009)
Penjelasan tentang morfologi tubuh D. melanogaster diatas merupakan
morfologi secara umum saja atau biasa disebut wild type pada lalat buah,
sedangkan masih banyak macam morfologi berbeda dari spesies ini dikarenakan
adanya mutasi pada gen-gen tertentu. Berikut gambar letak gen –gen D.
melanogaster pada kromosom kelamin dan kromosom tubuh:

Gambar 2.3 Pemetaan gen pada kromosom D. melanogaster (Sumber:

Sticberger,1962)

Contoh mutasi pada kromosom 1 yakni kromosom kelamin, terdapat gen


w yang memiliki variasi seperti gen we dengan bagian tubuh yang termutasi yakni

7
pada warna matanya yang putih, lalat ini memiliki strain bernama w atau white,
atau we yang merupakan singkatan dari white eosyn. Contoh mutasi pada warna
mata yang lain yakni mutasi gen cl atau clot yang terletak pada kromosom nomor
2 yang memiliki ciri-ciri warna mata berwarna coklat sedangkan bagian tubuh
yang lain masih normal. Mutasi pada sayap seperti vg atau vestigial terletak pada
kromosom tubuh nomor 2 dengan ciri sayap tereduksi sehingga hanya menyisakan
venasi sayapnya saja dalam ukuran yang kecil, sedangkan mutasi lain adalah pada
gen m atau miniature yang terletak pada kromosom kelamin dan memiliki ciri
panjang sayapnya merupakan separuh dari panjang tubuhnya, berbeda dengan
lalat buah normal yang sayapnya lebih panjang dari panjang tubuhnya (Parvathi,
2009).

2.3 Siklus Hidup


Mekanisme utama dimana larva tumbuh adalah molting. Pada setiap
pergantian kulit seluruh kutikula serangga, termasuk juga mulut dan
spirakel.Selama proses ini, banyak proses rekonstruksi terjadi, mengarah pada
pembentukan Struktur karakteristik dari instar berikutnya. Pertumbuhan organ
internal berjalan bertahap dan mulai terlepas dari proses molting. Organ seperti
otot, Lemak tubuh, dan usus tumbuh dengan peningkatan ukuran sel. Jadi, jumlah
sel dalam organ tetap konstan (Parvathi, 2009).
Telur menghasilkan larva, yang memakan dan tumbuh dan panjang lebar
menjadi pupa. Pupa, selanjutnya akan berkembang menjadi imago atau dewasa
(Parvathi, 2009). Jika diuraikan, tahap perkembangannya sebagai berikut, Setelah
menetas larva nantinya akan mengalami 3 tahapan yaitu, larva instar 1, larva
instar 2, dan larva instar 3. Larva instar 1 muncul setelah telur menetas kemudian
larva instar 1 berubah menjadi larva instar 2 kurang lebih selang waktu sehari,
setelah 2 hari larva instar 2 berkembang menjadi larva instar 3. Larva akan terus
tumbuh, bergerak dan makan. Kecepatan makan dan geraknya akan bertambah
seiring dengan perkembangan larva. Selama makan, larva akan membuat saluran-

8
saluran pada medium. Aktivitas membuat saluran pada medium dapat dijadikan
indikator apakah larva tumbuh dan berkembang dengan baik (Shorrocks, 1972).
Pada tahap akhir larva, larva instar 3 akan mencapai panjang 4,5 mm.
Tubuh larva terdiri dari 12 segmen: 1 segmen kepala, 3 segmen thorax, dan 8
segmen abdomen. Karena tubuhnya yang transparan beberapa organ dalam larva
dapat dilihat. Lemak tubuh larva, usus yang terpilin, gonad (organ seks) dan
tabung Malpighian kuning merupakan organ-organ yang dapat dilihat. Gonad
pada D. melanogaster jantan lebih besar dari pada gonad pada D. melanogaster
betina, sehingga kelamin larva D. melanogaster dapat dikenali (Shorrocks, 1972).

Sebelum pupasi, larva instar 3 akan meninggalkan medium dan merayap


pada bagian yang kering, biasanya pada dinding botol atau pada kertas tissue yang
disediakan. Larva kemudian akan membentuk tanduk pupal (pupal horns),
pergerakannya berkurang, dan mulai berdiam menyerupai penampilan pupa. Kulit
terakhir larva, yang juga akan menjadi kulit pupa, akan mengeras dan menggelap.
Setelah ±3,5 jam pupa akan sepenuhnya terpigmentasi. D. melanogaster dewasa
atau imago muncul dari puparium melalui operculum. Operculum terletak pada
bagian dorsal permukaan cangkang pupa. Ketika imago mendorong operculum,
lapisan operculum pecah. Tubuh imago muda berukuran lebih kecil berwarna
lebih terang dan memiliki sayap yang belum terentang. Dalam beberapa jam,
tubuh imago akan menggelap dan membulat dan sayapnya akan merentang
(Shorrocks, 1972).

9
Gambar 1.3 Siklus Hidup D. melanogaster ( Sumber: Shingleton, 2009)

2.4 Hukum Mendel II


Pengertian dari hukum mendel II ini adalah suatu sifat (satu pasang gen)
memisah secara bebas dari sifat lainnya (pasangan gen lainnya) selama
pembentukan gamet (Corebima, 2013). Gen-gen (untuk karakter-karakter yang
berbeda) diwariskan secara bebas satu sama.
Mendel melakukan percobaan persilangan menggunakan tanaman ercis
dengan memperhatikan dua ciri sekaligus. Percobaan persilangan tersebut dikenal
sebagai persilangan dihibrida. Pada percobaan ini, tanaman ercis berbiji bulat dan
kuning disilangkan dengan yang berbiji keriput dan hijau. Ciri biji hasil
persilangan (F1) seluruhnya bulat dan hijau (Corebima, 2013).
Selanjutnya, J.G Mendel telah mempertimbangkan dua kemungkinan
yaitu:
1. Ciri-ciri yang berasal dari satu induk akan diwariskan bersama-sama,
2. Ciri-ciri yang berasal dari satu induk akan diwariskan secara bebas satu sama
lain.
Apabila kemungkinan pertama benar, maka F2 hanya dijumpai dua macam
ciri biji (bulat kuning dan keriput hijau) dalam rasio 3:1 sesuai dengan hukum
pemisahan mendel. Akan tetapi jika yang benar adalah b, maka pada F2 akan
dijumpai empat macam ciri biji dalam rasio 9:3:3:1 (Corebima, 2013).

10
Hasil dari persilangan yang dilakukan oleh Mendel ini mendekati rasio
9:3:3:1, sebagaimana yang diharapkan pada kemungkinan b. Atas dasar kenyataan
ini J.G Mendel menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang menentukan karakter-
karakter berbeda diwariskan secara bebas satu sama lain. Kesimpulan inilah yang
merupakan pernyataan pada Hukum Pilihan Bebas Mendel (Corebima, 2013).

2.5 Interaksi antar Gen


Interaksi gen adalah penyimpangan semu terhadap hukum Mendel yang
tidak melibatkan modifikasi nisbah fenotipe, tetapi menimbulkan fenotipe-
fenotipe yang merupakan hasil kerja sama atau interaksi dua pasang gen
nonalelik. Selain terjadi interaksi antar alel, interaksi juga dapat terjadi secara
genetik. Selain mengalami berbagai modifikasi rasio fenotipe karena adanya
peristiwa aksi gen tertentu, terdapat pula penyimpangan semu terhadap hukum
Mendel yang tidak melibatkan modifikasi rasio fenotipe, tetapi menimbulkan
fenotipe-fenotipe yang merupakan hasil kerja sama atau interaksi dua pasang gen
nonalelik (Suryo, 2001).
Macam penyimpangan semu hukum Mendel:
1.7.7.2 Epistasis dan Hipostasis
Epistasis-hipostasis merupakan suatu peristiwa dimana suatu gen dominan
menutupi pengaruh gen dominan lain yang bukan alelnya. Gen yang menutupi
disebut epistasis, dan yang ditutupi disebut hipostasis.
Ketika dua gen terlibat dalam hasil satu karakteristik, sebuah persilangan
dihybrid yang melibatkan gen ini dapat menghasilkan rasio fenotipik yang sangat
berbeda dari 9: 3: 3: 1. Dalam keadaan seperti ini, ada lebih dari dua produk gen
yang mempengaruhi fenotipe yang sama, dan produk ini mungkin memiliki
hubungan yang kompleks. Setiap kali ada dua gen yang berbeda berkontribusi
pada satu fenotipe tunggal dan pengaruhnya tidak hanya aditif, gen tersebut
dikatakan bersifat epistatik (Miko, 2008).
Epitasis tidak hanya terbatas pada interaksi antara dua gen saja, Sebaliknya,
epistasis terjadi pada semua peristiwa berikut:
3. Saat dua atau lebih lokus berinteraksi untuk menciptakan fenotipe baru.
4. Saat alel pada satu lokus menutupi efek alel pada satu lokus lain atau lebih.
5. Kapanpun alel pada satu lokus memodifikasi efek alel pada satu lokus lain
atau lebih (Miko, 2008). Epistasis dibedakan menjadi 3, yaitu :

11
a. Epistasis dominan
Pada peristiwa epistasis dominan terjadi penutupan ekspresi gen oleh suatu
gen dominan yang bukan alelnya. Perbandingan fenotipe pada generasi F2 dengan
adanya epistasis dominan adalah 12 : 3 : 1.
b. Epistasis Resesif
Peristiwa epistasis resesif terjadi apabila suatu gen resesif menutupi ekspresi
gen lain yang bukan alelnya. Akibat peristiwa ini, pada generasi F 2 akan
diperoleh nisbah fenotipe 9 : 3 : 4.
c. Epistasis Dominan dan Resesif

Epistasis dominan-resesif terjadi apabila gen dominan dari pasangan gen I


epistatis terhadap pasangan gen II yang bukan alelnya, sementara gen resesif dari
pasangan gen II ini juga epistatis terhadap pasangan gen I. Epistasis ini
menghasilkan nisbah fenotipe 13 : 3 pada generasi F2 (Miko, 2008).

2. Komplementer
Gen komplementer merupakan salah satu dari dua gen atau lebih yang bila
digabungkan menghasilkan efek secara kualitatif berbeda dari efek terpisah dari
salah satu dari keduanya. Gen komplementer adalah Gen-gen yang saling
melengkapi dalam memunculkan suatu sifat tertentu. Dapat dikatakan, gen ini
terdiri dari gen berbeda yang bertindak bersama untuk menentukan sifat fenotipik
yang diberikan (Carvajal, 2001).
Misalnya, pertimbangkan sifat fenotipikal yang dikondisikan oleh 2 gen
komplementer yang alelnya masing-masing adalah X, x, Y dan y. Dengan
melakuQ2kan hibridisasi pada F2, 4 bentuk fenotipik yang berbeda diperoleh:
X_Y_ (double dominant), X_yy (dominan untuk pasangan pertama, resesif untuk
yang kedua), xxY_ (resesif untuk pasangan pertama, dominan untuk yang kedua)
dan xxyy (double recessive ). Dalam warna bulu budgie, di mana interaksi
dominan ganda menghasilkan bulu hijau, Interaksi yang dominan untuk pasangan
pertama dan resesif untuk hasil kedua pada bulu kuning; Interaksi yang resesif
untuk pasangan pertama dan dominan untuk yang kedua mengarah pada bulu biru,
Dan interaksi resesif ganda menyebabkan bulu putih. Setiap gen pelengkap
memisahkan diri dari yang lain karena mereka berada dalam kromosom yang
berbeda (Carvajal, 2001).

12
3. Kriptomeri
Kriptomeri merupakan peristiwa adanya gen dominan yang seolah-olah
tersembunyu bila berada bersama gen dominan lain dan baru tampak jika tidak
sedang berada bersama dengan faktor penutup tersebut. Contohnya adalah
pembastaran antara bunga Linaria maroccana merah dengan yang berbunga
putih. Warna bunga disebabkan oleh adanya zat warna antosianin dalam air sel.
Bila pH rendah (lingkungan asam) akan berwarna merah dan bila pH tinggi
(lingkungan basa) akan berwarna ungu. Bila tidak terdapat zat antosianin,
walaupun lingkungan asam atau basa bunga akan berwarna putih.

4. Polimeri
Polimeri, yaitu sifat yang muncul pada persilangan heterozigot dengan
sifat yang beda yang berdiri sendiri-sendiri tetapi mempengaruhi bagian yang
sama dari suatu organism. Polimeri dengan dua tanda beda menghasilkan angka
perbandingan fenotip keturunannya 15:1. Tampak menyimpang dari aturan umum
9:3:3:1, padahal perbandingan 15:1 itu berasal dari
penggabungan(9+3+3):1=15:1, sehingga dapat dikatakan penyimpangan ini hanya
penyimpangan semu(tidak sebenarnya).

2.6 Terjadinya Interaksi Gen Pada Pembentukan Mata D. melanogaster


Warna mata merah D. melanogaster disebabkan oleh adanya pteridin yaitu
pigmen-pegmen mata. Pteridin pada lalat buah terdiri atas Drosopterin yang
menyebabkan warna merah pada mata dan Ommokrom yang menyebabkan warna
coklat pada mata (Rong, 1998). Apabila gen yang berperan dalam pembentukan
pteridin termutasi, maka warna mata Drosophila melanogaster akan berubah
sesuai dengan kombinasi jenis pteridin. terdapat kecacatan/kerusakan satu atau
beberapa enzim yang dibutuhkan dalam jalur biokimia dalam sintesis pigmen.
Sebagai konsekuensinya, pigmen menjadi hilang dan atau terdapat pigmen
berbeda yang terakumulasi karena kerusakan pada jalur biosintesis pigmen
tersebut (Pierce, 2005).

13
Selain pigmen mata tersebut, ada pula kehadiran granula protein yang akan
melekatkan pigmen sehingga terkumpul menjadi ommatidia. Pelekatan pigmen
pada granula dicegah oleh adanya mutasi mata putih. Hal tersebut mengakibatkan
pigmen tidak berkumpul pada ommatidia dan mucul putih. Pada D.
melanogaster akan tampak warna mata merah cerah bila kehilangan warna
coklat ommochrome seperti pada mutan raspberry, garnet, atau brown. Lalat yang
kehilangan kedua pigmen tersebut akan menjadi tidak berwarna dan mucul warna
putih seperti pada mutan White (Rong, 1998).
Protein merupakan produk utama dari gen. Akibat aktivitas dari protein
dapat kita lihat dari fenotip-fenotip yang dapat diamati. Jika suatu gen termutasi
dimana urutan nukleotida dari gen tersebut berubah, dapat mengakibatkan
terjadinya perubahan dari protein yang dihasilkan. Tetapi jika mutasi yang terjadi
menyebabkan suatu protein tidak berfungsi, maka mutan yang dihasilkan bersifat
resesif. sifat resesif itu tertutup oleh sifat lain yang dominan .Dalam penutupan
sifat ini disebut interaksi gen epistasis (Pierce, 2005).
Dewasa ini diketahui bahwa karakter atau sifat makhluk hidup muncul
sebagai suatu produk dari rangkaian reaksi biokimia yang bercabang-
cabang, dan setiap tahap reaksi biokimia yangcdikatalisis oleh enzim. enzim
tersebut tersusun atas polipeptida-polipeptida yang pembentukannya dikontrol
oleh gen. Dengan demikian tidak ada satu sifat atau karakter yang dikontrol oleh
satu faktor atau satu unit karakter gen (Corebima, 2013).
Warna mata wildtype disebabkan oleh deposisi dan pencampuran
dua kelompok pigmen terpisah di setiap ommatidium yaitu brightred drosopterins
dan xanthommatins coklat. Setiap jenis pigmen
diproduksi oleh jalur biosintesis yang terpisah seperti pada sintesis ommokrom
dan drosopterin memiliki jalur yang terpisah (Rittner, 2004). Nantinya, jika
terdapat dua gen dalam satu jalur, maka dapat dikatakan bahwa gen tersebut
mengalami interaksi. Setiap langkah dari masing-masing jalur dikatalisis oleh
enzim yang terpisah dan dengan demikian, pembentukan warna mata pada D.
melanogaster di bawah kendali gen yang terpisah (Pierce, 2005). Secara umum,
sintesis ommokrom dan drosopterin pada mata D. melanogaster sebagai berikut:

Tabel 2.1 Biosintesis pigmen mata Drosophila melanogaster

14
A. Sintesis Ommokrom B. Sintesis Drosopterin
Triptofan Guanosin triposfat

N- formilkinurenin Dihidroneopteri triposfat

Kinurenin dihidropterin

Cn
3- hikdroksikinurenin
sepiapterin dihidropterin

Phenoxazinone

mal drosopterin
Xanthomatin

Xanthopterin isoxanthopterin

Pada setiap tahapan biosintesisnya, terdapat gen-gen yang menempati,


contoh gambar dibawah ini adalah adanya gen salah satunya gen cl yang berada
pada jalur 6-PTP menuju PDA:

15
Gambar 6.1 Jalur biosintesis pembentukan mata pada D. melanogaster
dengan beberapa gen di dalamnya (Sumber: Croucher, 2013)

16
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konseptual

Interaksi gen adalah penyimpangan semu terhadap


hukum Mendel yang tidak melibatkan modifikasi nisbah
fenotip, tetapi menimbulkan fenotip yang merupakan
hasil interaksi dua pasang non alelik ( Suryo, 2001)

Epistasis merupakan peristiwa dimana suatu gen dominan


menutupi pengaruh gen dominan lain yang bukan alelnya.
Gen yang menutupi disebut epistasis, dan yang ditutupi
disebut hipostasis ( Miko,2008)

Penelitian ini dirancang untuk mengetahui hasil fenotip


keturunan pertama F1 dan F2 beserta rasionya pada
persilangan Drosophila melanogaster strain ♂ we >< ♀
cl dan ♂ m >< ♀ vg beserta resiproknya

Fenotip F1 dari strain ♂ we >< ♀ Fenotip F1 dari strain ♂ m>< ♀ vg


cl yaitu N ♂ dan N ♀ . Fenotip F2 yaitu N ♂ dan N ♀ . Fenotip F2
yaitu menghasilkan N, we, cl, wecl. yaitu menghasilkan N, vg, m, mvg.
Fenotip F1 dari strain ♂ cl >< ♀ Fenotip F1 dari strain ♂ vg >< ♀ m
we yaitu we ♂ dan N ♀ . Fenotip yaitu m ♂ dan N ♀ . Fenotip F2
F2 yaitu menghasilkan N, we, cl, yaitu menghasilkan N, m, vg, mvg.
wecl.

17
Menganalisis data dengan
Fenomena Interaksi Gen
rekontruksi kromosom untuk
mengetahui fenomenanya.
Rasio fenotip dari persilangan Rasio fenotip dari persilangan
♂ we >< ♀ cl adalah 9:3:3:1 . ♂ m>< ♀ vg adalah 9:3:3:1 .
Sedangkan dari persilangan ♂ Sedangkan dari persilangan ♂
cl >< ♀ we adalah 6:6:2:2 vg >< ♀ m adalah 6:6:2:2

pada persilangan ♂ we >< ♀ cl beserta resiproknya, terjadi


interaksi gen, dikarenakan terdapat 2 gen yang berbeda
dengan 1 sifat yang sama yakni mutasi pada warna mata,
sehingga jika satu terekspresi, maka sifat yang satunya akan
tertutupi. Begitupula dengan persilangan pada strain ♂ m><
♀ vg beserta resiproknya mengalami fenomena interaksi
gen, dengan mutasi yang kedua gennya berada pada bentuk
sayap, jika satu sifat terekspresi maka sifat yang satunya
akan tertutupi.

3.2 Hipotesis
1. Fenotip turunan F1 yang muncul dari persilangan D. melanogaster♂ we
>< ♀ cl, menghasilkan fenotip F1 ♂ N dan ♀ N sedangkan turunan F2
menghasilkan fenotip N, we, cl, wecl. Pada persilangan ♂cl >< ♀we
menghasilkan fenotip F1 ♂ we dan N sedangkan hasil turunan F2
menghasilkan N, we, cl, wecl .
2. Fenotip turunan F1 yang muncul dari persilangan D. melanogaster ♂m
>< ♀vg , menghasilkan fenotip F1 ♂ N dan ♀ N sedangkan hasil turunan
F2 menghasilkan fenotip N, vg, m, mvg. Pada persilangan ♂vg >< ♀m
menghasilkan fenotip F1 ♂ m dan ♀ N sedangkan turunan F2
menghasilkan N, m, vg, mvg.
3. Rasio fenotip yang muncul dari persilangan D. melanogaster ♂ we >< ♀
cl adalah 9:3:3:1 . Sedangkan dari persilangan ♂ cl >< ♀ we adalah
6:6:2:2
4. Rasio fenotip dari persilangan ♂ m>< ♀ vg adalah 9:3:3:1. Sedangkan
dari persilangan ♂ vg >< ♀ m adalah 6:6:2:2

18
5. Fenomena yang muncul dari persilangan ♂ we >< ♀ cl dan ♂ m >< ♀
vg beserta resiproknya adalah interaksi gen. pada persilangan ♂ we >< ♀
cl beserta resiproknya, dilihat dari keturunan F2 yakni terjadi interaksi
gen, dikarenakan terdapat 2 gen yang berbeda dengan 1 sifat yang sama
yakni mutasi pada warna mata, sehingga jika satu terekspresi, maka sifat
yang satunya akan tertutupi. Begitupula dengan persilangan pada strain ♂
m>< ♀ vg beserta resiproknya mengalami fenomena interaksi gen,
dengan mutasi yang kedua gennya berada pada bentuk sayap, jika satu
sifat terekspresi maka sifat yang satunya akan tertutupi.

BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian

19
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif observatif yaitu dengan

menyilangkan Drosophila melanogaster strain w dengan cl dan m dengan vg


beserta resiproknya. Masing-masing dilakukan sebanyak 6 kali ulangan dengan
botol A sampai D. Hasil dari fenotip 1 dan 2 dari persilangan tersebut diamati dan
dicatat datanya.
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada:
Tempat: Laboratorium Genetika gedung O5 lantai III ruang 310 Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang
Waktu : 14 Februari 2017 sampai 1 Mei 2017.
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi yang kami gunakan dalam praktikum kali ini adalah Drosophila
melanogaster yang diperoleh dari laboratorium genetika Biologi FMIPA UM.

Sedangkan sampel yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah strain w ,
cl,m dan vg.
4.4 Alat dan Bahan
Alat : 3. Tape singkong
1. Botol Selai 4. Gula merah
2. Penutup gabus 5. Air
3. Blender 6. Fermipan
4. Panci
5. Pisau
6. Timbangan
7. Sutil pengaduk 10. Kassa
8. Selang 11. Kertas label
9. Kardus 12. Kuas
13. Kertas Pupasi
Bahan : 14. Plastik

1. Strain D.melanogaster w , cl,m 15. Karet


16. Alat tulis
dan vg
17. Kompor gas
2. Pisang rajamala

20
4.5 Prosedur Kerja
4.5.1 Pembuatan medium
4.5.1.1 Bahan-bahan pembuatan medium ditimbang, terdiri dari pisang rajamala,
tape singkong, gula merah dengan perbandingan 7:2:1 (untuk satu resep).
4.5.1.2 Pisang rajamala, tape singkong dan gula merah diiris.
4.5.1.3 Pisang dan tape diblender hingga halus.
4.5.1.4.Sementara itu gula merah dipanaskan dengan dicampur air secukupnya.
4.5.1.5 Semua bahan yang telah dihaluskan dipanaskan selama 45 menit di atas
api dan ditambah air secukupnya (hingga tidak terlalu encer dan tidak terlalu
pekat).
4.5.1.6 Setelah 45 menit kompor dimatikan dan medium dimasukkan ke dalam
botol selai yang sebelumnya sudah disterilkan dengan volume sekitar seperempat
bagian botol selai dan ditutup dengan spons.
4.5.1.7 Medium didinginkan dengan cara botol direndam pada baskom yang
berisi air.
4.5.1.8 Setelah dingin ditambahkan kurang lebih 4-7 butir yeast ke dalam botol
yang telah berisi medium.
4.5.1.9 Dimasukkan kertas pupasi yang sudah dibentuk dan menutup botol
kembali.
4.5.2 Peremajaan Stok
4.5.2.3 Disiapkan botol selai berisi medium yang baru dipanaskan, setelah dingin
ditambahkan yeast kurang lebih 4-7 butir dan memasukkan kertas pupasi.
4.5.2.4.Dipindahkan minimal 3 pasang lalat dari masing-masing strain medium
lama ke medium baru yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu.
4.5.2.5 Diberi label sesuai jenis strain yang diremajakan dan diberi tanggal
peremajaan.
4.5.2.6 Diamati perkembangannya dan jika timbul pupa yang sudah menghitam
maka diampul pada selang kecil yang telah diberi potongan pisang ditengahnya
dan ditutupi oleh gabus pada kedua bagian ujungnya.
4.5.3 Pengampulan Stok

21
4.5.3.1 Diambil pupa yang sudah menghitam dengan kuas dari masing-masing
strain.
4.5.3.2 Dimasukkan pupa tersebut ke dalam botol ampul atau selang kecil pendek
dan memberikan potongan pisang kecil, kemudian menutup kedua ujung selang
dengan gabus kecil.
4.5.3.3 Pupa ditunggu hingga menetas.
4.5.3.4 Lalat yang sudah menetas disilangkan sesuai strainnya, dengan umur
maksimal yang dapat disilangkan adalah 2 hari setelah menetas.
4.5.4 Persiapan Penyilangan F1
4.5.4.1 Disiapkan botol yang berisi medium, yeast, dan kertas pupasi sesuai
jumlah persilangan dan ulangannya.
4.5.4.2 D. melanogaster yang masih perawan dimasukkan ke dalam medium yang

baru, bertujuan untuk mengawinkan D. melanogaster dengan ketentuan strain w


♀ >< cl♂ beserta resiproknya dan strain m ♀ >< vg♂ beserta resiproknya.
4.5.4.3 Masing-masing medium diberi nama persilangan beserta tanggal
persilangan.
4.5.4.4 Ditunggu sampai adanya larva, jika sudah ada larva, indukan betina
dipindah ke medium yang baru, dari botol A dipindah ke botol B begitu seterusnya
sampai botol D. Botol A sampai D terdiri dari botol 1-6.
4.5.4.5 Setelah dua hari persilangan, jantan sudah dilepas.
4.5.4.6 Anakan diamati selama 7 hari.
4.5.5 Persiapan Penyilangan F2
4.5.5.1 Pupa yang sudah menghitam pada botol F 1 pada sesama ulangan dan sama
persilangan diampul dan diberikan label tanggal pengampulan.
4.5.5.2 Ditunggu pupa menetas dan Disiapkan medium baru, kertas pupasi dan
fermipan untuk persiapan parental 2.
4.5.5.3 Disilangkan hasil ampulan F1 sebanyak 6 kali ulangan. Persilangan
dilakukan secara linier yakni A1 sampai D1.
4.5.5.4 Dilepas induk jantan setelah dua hari persilangan.
4.5.5.6 Ditunggu sampai muncul larva dan induk betina dipindah ke medium B,
C, D dan seterusnya.
4.5.5.7 Mengamati dan meng fenotip yang muncul sebagai F2 serta menentukan
jenis kelaminnya dan strainnya.
4.5.5.8 Mencatat hasil pengamatan pada jurnal .
4.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
melakukan pengamatan fenotip yang dihasilkan yakni meliputi: warna tubuh,

22
warna mata, faset mata, dan keadaan sayap pada hasil keturunan F1 dan F2 secara
langsung. Menghitung jumlah keturunan yang dimulai dari hari ke-1 sampai hari
ke-7 untuk setiap ulangan dan dimasukkan dalam tabel hasil pengamatan.

Persilngan Fenotip Sex Ulangan


1 2 3 4 5 6

Σ
Σ x

4.7 Teknik Analisa Data


Data yang diperoleh dari hasil pengamatan yang didapat yakni F 1 dan F2
kemudian direkap lalu dianalisis menggunakan rekonstruksi kromosom dan
selanjutnya diuji dengan Chi-square. Setelah itu dibuat kesimpulan dari
perbandingan rasio antara hasil rekonstruksi berdasarkan teori dengan hasil
penelitian

BAB V
DATA DAN ANALISIS DATA
5.1 Data Pengamatan Fenotip Awal
Jenis D. melanogaster yang digunakan pada proyek ini yaitu strain cl, we,
vg dan m yang bisa dilihat pada tabel 5.1. Berikut adalah keterangan dari setiap
strain tersebut:
Tabel 5.1 Jenis Strain
No. Gambar Keterangan
1. Strain cl  Faset mata halus
 Tubuh berwarna kuning
kecoklatan
 Sayap lebih panjang dari tubuh
 Mata berwarna coklat

23
2. Strain we  Mata berwarna putih tulang
 Panjang sayap melebihi ukuran
tubuhnya
 Faset mata halus
 Warna tubuhnya kuning
kecoklatan

3. Strain vg  Mata berwarna merah


 Faset mata halus
 Sayap tereduksi
 Tubuh berwarna kuning

4. Strain m  Mata berwarna merah


 Sayap kecil atau lebih pendek
dari tubuhnya
 Tubuh berwarna kuning
kecoklatan
 Faset mata halus

5.2. Data Pengamatan Fenotip F1


Data pengamatan dari persilangan ♂ cl><♀ we dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2 Data Persilangan Strain ♂ cl><♀ we
Persilangan Fenotip sex U1 U2 U3 U4 U5 U6 Jumlah
N ♀ 104 59 82 117 96 122 580
♂ cl><♀
we we ♂ 88 59 64 82 61 72 426

Data pengamatan dari persilangan ♂ we ><♀ cl dapat dilihat pada tabel 5.3.

24
Tabel 5.3 Data Persilangan Strain ♂ we ><♀ cl
Persilangan Fenotip Sex U1 U2 U3 U4 U5 U6 Jumlah
♂ we ><♀ ♂ 82 112 144 102 107 111 658
N ♀ 82 78 155 99 97 91 602
cl

Data pengamatan dari persilangan ♂ vg >< ♀ m dapat dilihat pada tabel 5.4.
Tabel 5.4 Data Persilangan Strain ♂ vg >< ♀ m
Persilangan Fenotip Sex U1 Jumlah
♂vg>< ♀ N ♀ 83 83
m ♂ 61 61
m

Data pengamatan dari persilangan ♂ m >< ♀ vg dapat dilihat pada tabel 5.5.
Tabel 5.5 Data Persilangan Strain ♂ m >< ♀ vg
Persilangan Fenotip Sex U1 U2 Jumlah
♂m ><♀ N ♀ 69 89 158
♂ 53 68 141
vg

5.3. Data Pengamatan Fenotip F2


Data pengamatan dari persilangan ♂ N >< ♀ N dapat dilihat pada tabel 5.6.
Tabel 5.6 Data Persilangan Strain ♂ N >< ♀ N
Persilangan Fenotip Sex U1 U2 U3 U4 U5 U6 Jumlah
♂N ><♀ N N ♂ 8 11 22 13 58 25 137
♀ 65 61 54 48 89 133 450
cl ♂ 7 7 4 5 3 26
♀ 14 10 19 12 5 18 78
we ♂ 27 42 44 23 23 29 188
♀ 2 4 3 5 5 19
e
clw ♂ - - - - - - -
♀ - - - - - - -

Data pengamatan dari persilangan ♂ we >< ♀ N dapat dilihat pada tabel 5.7
Tabel 5.7 Data Persilangan Strain ♂ we >< ♀ N

25
Persilangan Fenotip Sex U1 U2 U3 U4 U5 U6 Jumlah
♂we ><♀ N N ♂ 15 6 20 29 31 24 125
♀ 35 16 37 68 71 53 280
cl ♂ 5 7 8 9 4 8 41
♀ 4 2 5 7 8 10 36
we ♂ 32 15 14 36 26 36 159
♀ 21 18 13 62 37 13 164
clwe ♂

5.4 Analisis Data


1. Rekonstruksi Kromosom
 Rekonstruksi Kromosom Persilangan ♂cl >< ♀ we
P1 : ♂cl >< ♀we

Genotip ><

Gamet we+cl , cl  ; cl+we

♀ cl+we

we+cl
(♀ N heterozigot )

cl  (♂ we)

Rasio N : we  1 : 1
P2 : ♀ N >< ♂ we

Genotip ><

Gamet we+cl+, wecl+, we+cl, wecl ; wecl+, wecl, cl+  


, cl


wecl+ wecl cl+  cl 

26
we+cl+
(♀N) (♀N) (♂N) (♂N)

wecl+
(♀we) (♀we) (♂we) (♂we)

we+cl
(♀N) (♀cl) (♂N) (♂cl)

wecl
(♀we) (♀wecl) (♂we) (♂wecl)

Rasio wecl : we : N : cl  2 : 6 : 6 : 2
 Rekonstruksi Kromosom Persilangan ♂ we >< ♀ cl
P1 : ♂ we >< ♀ cl

Genotip : ><

Gamet : wecl+,cl+
 ; clwe+


♂ wecl+ cl+ 
e+
w cl
(♀ N heterozigot) (♂N heterozigot)

Rasio N : N  1 : 1 (100% N)
P2 : ♀ N >< ♂ N

Genotip : ><

Gamet : clwe, cl+we+, cl+we, clwe+ ; cl  , cl+we+, clwe+, cl+ 



♂ cl  cl+we+ clwe+ cl
+

clwe
(♂clwe) (♀N) (♀cl) (♂we)

cl+we+
(♂N) (♀N) (♀N) (♂N)

cl+we
(♂we) (♀N) (♀N) (♂we)

clwe+
(♂cl) (♀N) (♀cl) (♂N)

27
Rasio clwe : N : cl : we  1 : 9 : 3 : 3

 Rekonstruksi kromosom tubuh persilangan ♂m >< ♀vg

P1 : ♂m >< ♀vg

Genotip : ><

Gamet : m vg+, vg+  ; m+ vg

F1 :


♂ m vg+
 vg+

m+ vg
(♀N) (♂ N)

Rasio : 1:1 (100% N)


P2 : ♀N >< ♂ N

Genotip : ><

Gamet : m+ vg+, m+ vg, m vg+, m vg ; m+ vg+, m+ vg,   vg+ , vg

F2 :

♀ m+ vg+ m+ vg m vg+ m vg

m+ vg+
(♀N) (♀N) (♀N) (♀N)

m+ vg
(♀N) (♀vg) (♀N) (♀vg)

 vg+
(♂ N) (♂ N) (♂m) (♂m)

 vg
(♂ N) (♂vg) (♂m) (♂mvg)

28
Rasio perbandingan fenotipnya, N : m : vg : mvg
9 :3 :3 :1
 Rekonstruksi kromosom tubuh persilangan ♂vg >< ♀m
P1 : ♂vg >< ♀m

Genotip : ><

Gamet : vg m+, vg  , vg+ m

F1 :


♂ vg m+ vg 
vg+ m
(♀N) (♂m)

Rasio N : we  1 : 1

P2 : ♀N >< ♂m

Genotip : ><

Gamet : vg+ m+, m+ vg, m vg+, vg m ; vg+ m, vg+  , vg m, vg 


F2 :
♀ vg+ m+ vg m+ vg+ m vg m

vg+m
(♀N) (♀N) (♀m) (♀m)

vg+  (♂N) (♂N) (♂m) (♂m)

vg m
(♀N) (♀vg) (♀m) (♀vgm)

vg  (♂N) (♂vg) (♂m) (♂vgm)

29
Perbandingan rasionya; N : m : vg : vgm = 6 : 6 : 2 : 2

2. Uji chi square


 Uji chi square untuk persilangan F1 ♂ cl><♀ we
Fenotip Sex (fo- (fo-fh)2/
Fo Fh fo-fh
fh)2 fh
N ♀ 580 503 77 5929 11.7872763
we ♂ 426 503 -77 5929 11.7872763
jumlah 23.5745527

Didapatkan x2 hitung adalah 23.5745527 sedangkan x2 tabel adalah


11,07048. Jadi, x2 hitung > dari x2 tabel sehingga Ho diterima. Perbandingan rasio
fenotip F1 pada persilangan D. melanogaster strain ♂ cl><♀ we tidak
menyimpang dari rasio 1 : 1.
 Uji chi square untuk persilangan F1 ♂ we ><♀ cl
Fenotip Sex (fo- (fo-fh)2/
Fo Fh fo-fh
fh)2 fh
♂ 658 630 28 784 1.24444444
N ♀ 602 630 -28 784 1.24444444
Jumlah 2.48888889
Didapatkan x2 hitung adalah 2.48888889 sedangkan x2 tabel adalah
11,07048. Jadi, x2 hitung < dari x2 tabel sehingga Ho diterima. Perbandingan rasio
fenotip F1 pada persilangan D. melanogaster strain ♂ cl><♀ we menyimpang
dari rasio 1 : 1.
 Uji chi square untuk persilangan F2 ♂we ><♀ N
Fenotip Sex (fo-fh)2/
Fo Fh fo-fh (fo-fh)2
fh
N ♂ 125 100.625 24.375 594.1406 5.90450311
♀ 280 100.625 179.375 32175.39 319.755435
Cl ♂ 41 100.625 -59.625 3555.141 35.3305901
♀ 36 100.625 -64.625 4176.391 41.5045031
we ♂ 159 100.625 58.375 3407.641 33.8647516
♀ 164 100.625 63.375 4016.391 39.914441
clwe ♂ -
100.625 100.625 10125.39 100.625
♀ -
100.625 100.625 10125.39 100.625
jumlah 677.524224

30
Didapatkan x2 hitung adalah 677.524224 sedangkan x2 tabel adalah 49,802.
Jadi, x2 hitung > dari x2 tabel sehingga Ho diterima. Perbandingan rasio fenotip
F2 pada persilangan D. melanogaster strain ♂we ><♀ N tidak menyimpang dari
rasio 6 : 6 : 2 : 2
 . Uji chi square untuk persilangan F2 ♂N ><♀ N
Fenotip Sex
fo Fh fo-fh (fo-fh)2 (fo-fh)2/ fh
N ♂ 137 112.25 24.75 612.5625 5.457126949
♀ 450 112.25 337.75 114075.1 1016.258909
Cl ♂ 26 112.25 -86.25 7439.063 66.27227171
♀ 78 112.25 -34.25 1173.063 10.45044543
we ♂ 188 112.25 75.75 5738.063 51.11859688
♀ 19 112.25 -93.25 8695.563 77.46603563
clwe ♂ 0 112.25 -112.25 12600.06 112.25
♀ 0 112.25 -112.25 12600.06 112.25
Jumlah 1451.523385
Didapatkan x2 hitung adalah 677.524224 sedangkan x2 tabel adalah 49,802.
Jadi, x2 hitung > dari x2 tabel sehingga Ho diterima. Perbandingan rasio fenotip
F2 pada persilangan D. melanogaster strain ♂N ><♀ N tidak menyimpang dari
rasio 9 : 3 : 3 : 1

BAB VI
PEMBAHASAN
Pada pengamatan yang kami lakukan yakni persilangan Drosophila
melanogaster ♂ cl >< ♀ we dan ♂ m >< ♀ vg beserta resiproknya. Dimana pada
strain we dan cl mengalami mutan pada bagian mata yakni memiliki mata coklat
dan we atau white eosin memiliki mata putih tulang. Setelah kami melakukan
pengamatan berdasarkan peta kromosom dalam Klug dan Clumming (2012) strain
we terletak pada kromosom 1 lokus 1,5 sedangkan strain cl terletak pada
kromosom 2 lokus 16,5. Sedangkan strain m dan vg mengalami mutan pada
bagian sayap dimana strain m atau disebut miniature wings memiliki sayap kecil,

31
berdiri dan tidak menutupi tubuh sedangkan strain vg memiliki sayap yang
tereduksi, berdasarkan peta kromosom strain m terletak pada kromosom 1 lokus
36,1 sedangkan strain vg terletak pada kromosom nomor 2 lokus 67.
Hasil rekonstruksi kromosom yang telah dilakukan pada analisis data
diketahui bahwa F1 hasil persilangan ♂ cl >< ♀ we diperoleh anakannya adalah
♀N dan ♂ we yang mana strain normal (N) memiliki ciri-ciri warna mata merah,
faset mata halus,sayap panjang dan menutupi panjang tubuh dan warna tubuh
kuning kecoklatan. Kemudian pada persilangan ♂vg >< ♀ m menghasilkan
anakan ♀N dan ♂m, yang mana strain normal (N) memiliki ciri-ciri warna mata
merah, faset mata halus,sayap panjang dan menutupi panjang tubuh dan warna
tubuh kuning kecoklatan. Pada resiproknya yaitu strain ♂ we >< ♀cl dan ♂m ><
♀ vg menghasilkan anakan F1 strain N (normal) dikarenakan terpaut kromosom
gonosom (kromosom X) sehingga pada F1 yang muncul sebagian besar strain
normal.
Sesama hasil F1 dari ♂ we >< ♀cl beserta resiproknya disilangkan dan
didapatkan F2 N,we,cl,clwe dengan perbandingan 9:3:3:1 serta pada resiproknya
6:6:2:2. Perbandingan ini terjadi pada semua hasil persilangan ulangan 1 hingga 6.
Rasio perbandingan fenotip 2 yang didapat ini yakni 9:3:3:1 ini terjadi interaksi
antar gen. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengertian interaksi gen adalah,
pada umumnya setiap gen itu memiliki pekerjaan sendiri-sendiri untuk
menumbuhkan karakter. Tapi ada beberapa gen yang berinteraksi atau dipengaruhi
oleh gen lain untuk menumbuhkan karakter (Yatim, 1996). Tetapi dari
pengamatan yang dilakukan, peneliti belum mengetahui secara lebih rinci jenis
interaksi gen yang terjadi pada praktikum yang peneliti lakukan karena adanya
gen-gen yang terpaut dengan kelamin sehingga nantinya akan terjadi pola
pewarisan sifat menyilang, yang ditunjukkan pada anakan F1 tidak terekspresikan
namun pada F2 dapat terekspresikan.
Warna mata merah D. melanogaster disebabkan oleh adanya pteridin yaitu
pigmen-pegmen mata.. Pteridin pada lalat buah terdiri atas Drosopterin yang
menyebabkan warna merah pada mata dan Ommokrom yang menyebabkan warna
coklat pada mata (Rong, 1998). Apabila gen yang berperan dalam pembentukan
pteridin termutasi, maka warna mata Drosophila melanogaster akan berubah

32
sesuai dengan kombinasi jenis pteridin. terdapat kecacatan/kerusakan satu atau
beberapa enzim yang dibutuhkan dalam jalur biokimia dalam sintesis pigmen.
Sebagai konsekuensinya, pigmen menjadi hilang dan atau terdapat pigmen
berbeda yang terakumulasi karena kerusakan pada jalur biosintesis pigmen
tersebut (Pierce, 2005).

Selain pigmen mata tersebut, ada pula kehadiran granula protein yang akan
melekatkan pigmen sehingga terkumpul menjadi ommatidia. Pelekatan pigmen
pada granula dicegah oleh adanya mutasi mata putih. Hal tersebut mengakibatkan
pigmen tidak berkumpul pada ommatidia dan mucul putih. Pada Drosophila
melanogaster akan tampak warna mata merah cerah bila kehilangan warna
coklat ommochrome seperti pada mutan raspberry, garnet, atau brown. Lalat yang
kehilangan kedua pigmen tersebut akan menjadi tidak berwarna dan mucul warna
putih seperti pada mutan White (Rong, 1998).

Dalam proyek ini, digunakan strain we yang berwarna putih tulang,


kehadiran granula protein yang akan melekatkan pigmen sehingga terkumpul
menjadi ommatidia. Pelekatan pigmen pada granula dicegah oleh adanya mutasi
mata putih. Hal tersebut mengakibatkan pigmen tidak berkumpul
pada ommatidia dan muncul putih. Mutasi mata warna coklat ketika kehilangan
warna coklat ommochrome seperti pada mutan raspberry, garnet, atau brown
(Rong, 1998). Mutasi pada we dan cl diakibatkan karena terganggunya atau tidak
tercodenya gen we dan cl pada jalur biosintesis pembentukan warna mata yang
berakibat terekspresinya gen we dan cl menjadi mata putih tulang (white eosin)
dan mata coklat (cloud), ini sudah tertera pada skema biosintesis pada
pembentukan warna mata dibawah ini;

33
Gambar 6.1 Jalur biosintesis pembentukan warna mata pada D.melanogaster
(Sumber: Tara C. Thiemann, 2001).
Pada gambar diatas menurut Tara C. Thiemann (2001) dijelaskan bahwa
gen (pink) mengkode transport protein (oranye) dan enzim (kotak hijau). Enzim
mengkatalis reaksi spesifik (tanda panah hijau) yang mengubah precursor kimia
menjadi pigmen. Warna pigmen ditunjukkan pada tulisan yang ada di dalam
kurung, dengan catatan yang perlu digaris bawahi yakni hanya terlihat jika
menggunakan sinar UV. Menurut pernyataan diatas yaitu setiap jalur biosintesis
ada gen yang mengkode, dalam kasus proyek kami ditemukan mutan pada gen we
dan cl yang berarti gen pada jalur biosintesis tidak terkode yang mengakibatkan
mutan. Pada mutan gen cl itu tidak terkode yang menyebabkan tidak terbentuknya
enzim PDA synthase dan tidak dapat mengkatalis Tetrahydrobiopterin menjadi
pyrimidodiazepine. Pada mutan gen we itu tidak terkode yang menyebabkan tidak
mulainya biosintesis pada jalur ommochrome dan jalur pteridine, karena gen we
tidak meregulasi Tryptophan dan GTP yang merupakan tahap awal dalam
biosintesis ini, sehingga apabila gen we tidak terkode maka akan menutupi gen
yang lain dalam kasus proyek ini adalah cl, karena jika telah terjadi mutasi pada
we, cl tidak terekspresikan dengan penyebab bahwa gen we dan cl ini terletak pada
satu jalur biosintesis yang sama dan sama-sama memiliki mutasi pada satu sifat
yang sama (pada warna mata). Dari pernyataan tersebut hasil kami sudah sesuai
karena tidak terdapat hasi wecl karena gen we menutupi gen cl dalam jalur
biosintesis pembentuk warna mata pada Drosophila melanogaster.

34
Pada D.melanogaster strain m dan vg terjadi mutasi pada sayap.
Berdasarkan hasil rekontruksi persilangan m ♂ >< vg ♀ menghasilkan F1 yang
semua keturunannya muncul fenotip strain N ♂ dan N ♀. Sedangkan F2 muncul
fenotip strain N, m, vg, dan mvg dengan rasio 9:3:3:1. Hal ini sesuai dengan
hukum Mendel II yang menyatakan bahwa setiap gen atau sifat dapat berpasangan
secara bebas dengan gen atau sifat lain. Hukum ini berlaku ketika pembentukan
gamet pada persilangan dihibrid. Pada hukum kedua Mendel, dua individu
mempunyai dua pasang atau lebih sifat maka akan diturunkan sepasang sifat
secara bebas atau tidak bergantung pada pasangan sifat yang lain. Hasil
persilangan yang memenuhi hukum Mendel II adalah persilangan dengan dua sifat
beda (dihibridisasi) tetapi gen yang menentukan kedua sifat itu berada ada
kromosom yang berbeda (Corebima, 2013).
Sedangkan untuk resiproknya yakni vg ♂ >< m ♀ menghasilkan anakan F1
yang semua keturunannya muncul fenotip strain m ♂ dan N ♀. Sedangkan F2
muncul fenotip strain N, m, vg, dan mvg dengan rasio 6:6:2:2. Hal ini tidak sesuai
dengan hukum Mendel II karena terjadi pautan kelamin yang disebabkan oleh
sifat fenotip yang ada pada induk betina diwariskan dan terekspresikan pada
turunan jantan (Rothwell,1991 dalam Corebima 2013), dan yang ada pada induk
jantan diwariskan (tidak diekspresikan) melalui turunan betina keturunan jantan
F2 dan diekspresikan (Gardner dkk, 1991 dalam Corebima 2013).
Pada persilangan ini memiliki satu sifat beda yakni terletak pada sayap,
strain m memiliki sayap yang pendek sedangkan strain vg memiliki sayap yang
tereduksi dan terletak pada alel yang berbeda yakni kromosom I (strain m) dan
kromosom II (strain vg). Secara umum pembentukan sayap pada Drosophila
melanogaster dipengaruhi oleh sintesis biokimia yang melibatkan enzim tertentu
dari tiap strain yang nantinya akan dikode oleh gen tertentu. Hasil pengkodean
gen yang nantinya akan menyebabkan terjadinya diferensiasi salah satunya adalah
bentuk sayap yang berbeda-beda dari suatu persilangan. Dari persilangan tersebut
terjadi interaksi antar gen yang akan terekspresi melalui fenotip keturunan yang
dihasilkan (F1 ataupun F2). Jalur reaksi biokimia pembentukan sayap dapat
dijelaskan dengan dua jalur konsep yang berbeda yaitu satu jalur dan dua jalur
dari suatu persilangan sebagai berikut ini :

35
Gambar : Jalur Reaksi Biokimiawi Epistasis Drosopila melanogaster
Sumber : (Corebima, 2013)

Dari gambar 1 (satu jalur) tersebut dapat dianalogikan pada persilangan


drosophila melanogaster strain m dan vg , yang menunjukan bahwa ada interaksi
gen antara gen m yang menghasilkan enzim m yang menjadi precursor yang
kemudian membentuk zat antara, jika zat antara ini bertemu dengan enzim vg
yang dihasilkan oleh gen vg maka akan menghasilkan suatu produk atau anakan
yang berfenotip strain normal. Apabila dari reaksi biokimia tersebut zat antara
tidak terekspresikan atau terbentuk maka hanya enzim vg yang tidak dapat
bertemu dengan zat antara sehingga hanya akan menghasilkan anakan berfenotip
strain m, begitu juga sebaliknya. Jika enzim m dan vg tidak diproduksi maka
keduanya akan menghasilkan anakan yang memiliki dua jenis mutan (double

36
mutan) yaitu berfenotip strain mvg (sayap pendek dan tereduksi). Sedangkan pada
reaksi biokimia gambar 2 (dua jalur) menunjukan bahwa ada interaksi gen antara
gen m yang menghasilkan enzim m dan gen vg yang menghasilkan enzim vg
dimana kedua jenis enzim yang dihasilkan ini nantinya akan bergabung tanpa
adanya zat antara menghasilkan anakan yang berfenotip strain normal. Apabila
dari reaksi biokimia tersebut hanya enzim m yang dapat terekspresikan maka akan
terbentuk anakan yang berfenotip strain m, begitu juga sebaliknya. Jika enzim m
dan vg tidak diproduksi maka keduanya akan menghasilkan anakan yang memiliki
dua jenis mutan (double mutan) yaitu berfenotip strain mvg (sayap pendek dan
tereduksi). Namun pada dikarenakan kami belum menyilangkan persilangan F2,
maka tidak dapat diketahui fenomena interaksi gen pada persilangan vg ♂ >< m
♀ begitu juga resiproknya, ini dikarenakan terdapat kesalahan prosedur dan
kurangnya wawasan praktikan dalam melakukan praktikum.

BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan

37
6.1.2 Hasil F1 dari persilangan D. melanogaster strain ♂ we >< ♀ cl yang
dihasilkan adalah ♂ N dan ♀ N sedangkan turunan F2 menghasilkan
fenotip N, we, cl, wecl. Pada persilangan resiproknya yakni ♂cl >< ♀we
menghasilkan fenotip F1 ♂ we dan ♀ N sedangkan hasil turunan F2
menghasilkan N, we, cl, wecl .
6.1.3 Hasil F1 dari persilangan D. melanogaster ♂m >< ♀vg , menghasilkan
fenotip F1 ♂ N dan ♀ N sedangkan hasil turunan F2 menghasilkan fenotip
N, vg, m, mvg. Pada persilangan resiproknya yakni ♂vg >< ♀m
menghasilkan fenotip F1 ♂ m dan ♀ N sedangkan turunan F2 menghasilkan
N, m, vg, mvg.
6.1.4 Rasio fenotip yang muncul dari persilangan D. melanogaster ♂ we >< ♀
cl adalah 9:3:3:1 . Sedangkan dari persilangan ♂ cl >< ♀ we adalah 6:6:2:2
6.1.5 Fenotip dari persilangan ♂ m>< ♀ vg adalah 9:3:3:1. Sedangkan dari
persilangan ♂ vg >< ♀ m adalah 6:6:2:2
6.1.6 Fenomena yang terjadi pada persilangan ♂ we >< ♀ cl dan resiproknya
yaitu, kedua strain tersebut memiliki 2 gen yang berbeda dengan 1 sifat
yang sama yakni terjadi mutan pada warna mata,dan kedua gen berada pada
satu jalur biosintesis yang sama, sehingga hanya salah satu gen yang dapat
terekspresikan, fenomena ini disebut interaksi gen. Pada persilangan ♂
m>< ♀ vg juga terdapat 2 gen berbeda dengan 1 sifat yang sama, yakni
terjadi mutasi pada bagian sayap, tetapi praktikan belum mengetahui
fenomena apa yang terjadi dikarenakan persilangan baru sampai tahap F1
saja.
6.2 Saran
Ketika dilakukan pengamatan hendaknya dengan ketelitian dan kesabaran
yang tinggi, mengingat objek yang digunakan berukuran kecil dan diperlukan
kekompakan dalam anggota tim dalam melaksanakan pengamatan. Selain itu,
kerja sama, sikap saling menghargai, dan disiplin waktu perlu untuk dijaga guna
untuk memperlancar dalam pengambilan data
DAFTAR RUJUKAN

Ayala, Francisco.J, Michan, Layla; Sortibran, America.C; Rodriguez-Arnaiz,


Rosario. 2010. Global Drosophila Research: a Bibliometric Analysis.
Dros.Inf.Srv. 93: 232-243.

38
Borror.J.D,Triplehorn. 1992. Pengenalan Pengajaran Serangga. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada Press.

Campbell,N.A.,J.B.Reece, L.G Mitchel. 2002. Biologi. Terjemahan dari Biology :


Oleh Lestari, dkk. Jakarta : Erlangga.

Corebima, A.D. 2013. Genetika Mendel. Surabaya: Airlangga University Press.

Gardner, E. J., Simmons, M. J.,Snustad, D. P. 1991. Principles of Genetic Eight


Edition. New York: Jhon Wiley & Sons, Inc

Harry D. 2001. Mendelian genetics of Drosophila. Cambridge: Cambridge


University Press.
Kimball, J. W. 1983.Biologi. Edisi Kelima. Jilid I. Jakarta: PT. Gelora Aksara
Pratama.

Klug W. S & Clumming M. R. 2012. Consep of Genetics. Nre Jersey: Pretince


Hall Inc.
Miko, Ilona. 2008. Epistasis describes how gene interactions can affect
phenotypes. Did you know that genes can mask each other's presence or
combine to produce an entirely new trait?. Nature Education. 1(1):197

Parvathi, Deepha., Akshaya Amritha, Solomon FD Paul. 2009. Wonder Animal


Model For Genetic Studies, Drosophila Melanogaster, Lifecycle And
Breeding Methods. Sri Ramachandra Journal of Medicine. 2
(2) : 33-38.
Pierce, B.A. 2005. GENETICS: Conceptual Approach, 2nd ed. New York:
McGraw-Hill Corporation
Rittner,D. 2004. Encyclopedia of Biology. New york: Facts On File.

Rong, Y. S., Kent G. Golic. 1998. Dominant Defects in Drosophila Eye


Pigmentation Resulting From a Euchromatin-Heterochromatin Fusion
Gene. New York: xxiii

Shingleton, Alexander W. 2009. Many ways to be small: different environmental


regulators of size generate distinct scaling relationships in Drosophila

39
melanogaster. The Real Society Publishing. 10(276): 1667-1796.
Stansfield, D. William .1991.,Genetika . Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.

Tara C. Thiemann. 2001. Genotype to Phenotype: Investigating Eye Color


Mutations Using Chromatography. Truman State University: B.S. Honors
Biology
Yatim, Wildan. 1996. Genetika. Bandung: TARSITO.

40

Anda mungkin juga menyukai