Anda di halaman 1dari 3

Sekiltas Mengenai Hakekat Kemaritiman dan Kelautan

Sebelum beranjak lebih jauh mendalami gagasan saya untuk mewujudkan kembali kejayaan maritim Indonesia,
ada baiknya sekilas saya singgung mengenai perbedaan hakiki antara kemaritiman dan kelautan. Karena
belakangan ini saya sering mendengar adanya perdebatan para pakar mengenai istilah mana yang tepat antara
kelautan dan kemaritiman. Menurut saya, perdebatan seringkali jadi rancu karena tidak memahami tentang
apa yang dimaksud dengan kedua istilah tersebut.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pengertian laut merupakan kumpulan air asin yang menggenangi dan
membagi daratan atas benua atau pulau, sedangkan kelautan hanya dijelaskan sebagai “perihal yang
berhubungan dengan laut.” Berhubungan di sini bisa saja diartikan sebagai dekat, menyentuh atau
bersinggungan.

Pengertian ini menjelaskan bahwa istilah kelautan lebih cenderung memberikan perspektif lebih sebagai
bentuk fisik, sebagai physical entity atau physical prosperity. Meski demikian, kelautan dalam arti luas dapat
saja diartikan sebagai segala sesuatu yang mempunyai kepentingan dengan laut sebagai hamparan air asin yang
sangat luas, yang menutupi permukaan bumi.

Lalu bagaimana dengan makna maritim? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai berkenaan
dengan laut; berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Maritim secara primer merupakan sifat
yang menggambarkan obyek atau aktivitas berkenaan dengan laut. Istilah maritim tak hanya memiliki
pengertian sempit yang berhubungan engan angkatan laut atau angkatan laut dalam hubungannya dengan
kekuatan darat dan udara. Bahkan maritim lingkupnya juga lebih luas daripada sekadar berhubungan dengan
angkatan laut dan semua kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan komersial non-militer terhadap laut.

Indonesia sebagai negara maritim, karena hal ini menunjukkan aktivitas dan pemberdayaan manusia yang
berkenaan dengan laut. Indonesia sebagai negara maritim berarti menaruh kepeduliaan dan mampu untuk
mengolah sumber daya kekayaan dari dasar hingga permukaan lautnya dan bahkan hingga lautan samudra,
dalam berbagai aspeknya baik ekonomi, geopolitik maupun militernya.

Maka GeoEkonomi dalam perspektif Indonesia sebagai negara maritim, bisa dairtikan sebagai sebuah aktivitas
kombinasi faktor ekonomi dan geografis yang berkaitan dengan perdagangan internasional. Sedangkn geopolitik
dan militer dalam perspektif Indonesia sebagai negara maritim, diartikan sebagai aktivitas sejumlah faktor
yang bertumpu pada kondisi Indonesia baik secara geografis, ekonomi dan demografi dalam menentukan arah
politik dan militer, termasuk politik luar negeri kita sebagai bangsa dan negara.

Atas dasar pandangan tersebut, jika Indonesia bertekad untuk mewujudkan dirinya kembali sebagai negara
maritim terbesar di Asia, maka perlu sebuah gerakan penyadaran dan bahkan aksi untuk mewujudkan
Indonesia masa depan sebagai negara yang memiliki paradigma kemaritiman, sehinggga terjadi transformasi
besar-besaran baik secara ekonomi, geopolitik, dan militer, menuju Indonesia sebagai negara maritim terbesar
di Asia.

Konsepsi Negara Maritim Indonesia Dan Wawasan Nusantara

Pada masa awal kemerdekaan, para pimpinan nasional seperti Sukarno, Muhammad Yamin, dan Chairul Saleh
sangat bergairah untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Pada 1957, lahirlah Wawasan
Nusantara, yang juga dikenal sebagai Deklarasi Juanda. Konsep Wawasan Nusantara ini memandang bahwa
wilayah laut di antara pulau-pulau Indonesia merupakan satu-kesatuan wilayah nusantara, sehingga wilayah
laut tersebut merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang terkandung di
dalamnya sebagai kekayaan nasional yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Pada 1960 dibentuk Dewan Maritim yang tertuang dalam Perpres No 19 Tahun 1960 tentang Pembentukan
Dewan Maritim. Dalam konsideran Perpres itu di antaranya berbunyi: Indonesia sebagai negara maritim
memiliki nilai yang unik dan sangat penting sehingga segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan masalah
maritim harus diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh.

Dalam pembukaan National Maritime Convention (NMC) pada 1963 Sukarno menegaskan, untuk membangun
Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan nation building
bagi negara Indonesia, maka negara harus menguasai armada yang seimbang. Saat membia Lemhanas pada
1965 Sukarno kemnbali mengingatkan bahwa tujuan geopolitik Indonesia adalah maritim.
Konsep Wawasan Nusantara ini kemudian mendapat pengakuan dunia dengan ditetapkannya UNCLOS (United
Nations Convention on the Law of the Sea) pada Konferensi PBB tentang Hukum Laut III pada 1982 di Motego
Bay, Jamaica. UNCLOS tidak saja menguntungkan Indonesia, tetapi juga negara-negara kepulauan seluruh
dunia.

Seturut dengan perkembangan tersebut, telah menunjukkan bahwa spirit awal yang dibawa untuk memasuki
era kemerdekaan sangat positif, penuh percaya diri dan sekaligus mandiri.

Sayangnya, semangat nasionalisme kebaharian atau maritim ini, kemudian memudar, ketika berbagai
perspektif baru muncul merespons situasi dan problem-problem yang dihadapi bangsa Indonesia.

Paradigma dan Strategi Pembangunan Berorietasi Darat Mengabaikan Gagasan Masyarakat


Maritim

Ketika pemerintahan Suharto mengambil-alih dari Sukarno sejak 1967, maka Suharto merestrukturisasikan
politik dan ekonomi dengan dua tujuan: Tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi
di pihak lain. Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi di Indonesia dengan bertumpu pada paradigma
kapitalisme, tidak berarti melahirkan pemerataan atau keadilan sosial, yang justru seharusnya menjadi
pondasi dari berdirinya bangsa dan negara Indonesia.

Pada kenyataannya, ketika kapitalisme dijalankan dengan ketat di Indonesia, yang tumbuh kemudian adalah
konglomerasi, yang dengan kekuasaan modal serta kerakusannya, justru membuat mayoritas sosial
terpinggirkan. Konglomerasi di Indonesia pada era Orde Baru tidak ada hubungannya dengan keunggulan
lingkup ekonomi, melainkan pola patron-client yang dilahirkan oleh Suharto sendiri, yang memainkan dirinya
sebagai patron.

Di Indonesia, kehadiran konglomerasi lebih disebabkan oleh dua hal. Lobi dan peranan perbankan dalam
membesarkan konglomerasi. Selama era Orde Baru, yang terlihat jelas adalah struktur konglomerat itu
hanyalah cost-saving dan efisiensi dalam hal melakukan lobi kepada penguasa dan birokrat. Untuk menjamin
keberhasilan suatu bisnis, kemampuan dalam melakukan lobi untuk lisensi, pendanaan dari bantuan
pemerintah, pejabat hukum, dan birokrat sangatlah penting. Singkat kata, peluang bisnis yang punya potensi
keuntungan besar dan pendanaan yang besar didistribusikan dan dikontrol dari pusat.

Yang tak kalah penting, di era Orde baru paradigma dan strategi pembangunan dilaksanakan berorientasi ke
darat (Continental Oriented Development). Padahal paradigma terestrial atau pemanfaatan sumberdaya dan
jasa-jasa lingkungan daratan yang bersifat feodalistik merupakan produk pendudukan kolonial Belanda (VOC)
atas Indonesia. Akibatnya, paradigma dan strategis semacam ini telah membentuk mentalitas kerdil sehingga
melemahkan gagasan pemikiran dan jiwa masyarakat Indonesia sebagai masyarakat maritim yang egaliter dan
berorientasi kosmopolitan serta memiliki kekayaan sumberdaya laut yang melimpah.

Penyebab lain dari melemahnya gagasan dan semangat masyarakat maritim Indonesia adalah, akibat pengaruh
mitologi budaya sebuah kerajaan Jawa yang gemah ripah lih jinawi (subur makmur) yang sepenuhnya bersifat
agraris. Sehingga ketika mitologi ini diterjemahkan ke dalam kebijakan ekonomi yang dirancang oleh Mafia
Berkeley, maka seluruh Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang ada di zaman Suharto,
menempatkan bidang pertanian sebagai fokus utama.

Itupun, mimpi jadi negara agraris yang gemah ripah loh jinawi akhirnya sirna ketika sejak 1989 Indonesia
menjadi pengimpor bahan pangan terbesar di dunia. Selain daripada itu, perlu juga saya catat di sini, bahwa
kebijakan pertanian yang ada sepenuhnya bersifat top down, di mana pemerintah bersifat otoriter “memaksa”
petani untuk mentaatinya.

Pada masa awal kemerdekaan, para pimpinan nasional seperti Sukarno, Muhammad Yamin, dan Chairul Saleh
sangat bergairah untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Pada 1957, lahirlah Wawasan
Nusantara, yang juga dikenal sebagai Deklarasi Juanda. Konsep Wawasan Nusantara ini memandang bahwa
wilayah laut di antara pulau-pulau Indonesia merupakan satu-kesatuan wilayah nusantara, sehingga wilayah
laut tersebut merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang terkandung di
dalamnya sebagai kekayaan nasional yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Pada 1960 dibentuk Dewan Maritim yang tertuang dalam Perpres No 19 Tahun 1960 tentang Pembentukan
Dewan Maritim. Dalam konsideran Perpres itu di antaranya berbunyi: Indonesia sebagai negara maritim
memiliki nilai yang unik dan sangat penting sehingga segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan masalah
maritim harus diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh.
Itupun, mimpi jadi negara agraris yang gemah ripah loh jinawi akhirnya sirna ketika sejak 1989 Indonesia
menjadi pengimpor bahan pangan terbesar di dunia. Selain daripada itu, perlu juga saya catat di sini, bahwa
kebijakan pertanian yang ada sepenuhnya bersifat top down, di mana pemerintah bersifat otoriter “memaksa”
petani untuk mentaatinya.

Pada masa awal kemerdekaan, para pimpinan nasional seperti Sukarno, Muhammad Yamin, dan Chairul Saleh
sangat bergairah untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Pada 1957, lahirlah Wawasan
Nusantara, yang juga dikenal sebagai Deklarasi Juanda. Konsep Wawasan Nusantara ini memandang bahwa
wilayah laut di antara pulau-pulau Indonesia merupakan satu-kesatuan wilayah nusantara, sehingga wilayah
laut tersebut merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang terkandung di
dalamnya sebagai kekayaan nasional yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Pada 1960 dibentuk Dewan Maritim yang tertuang dalam Perpres No 19 Tahun 1960 tentang Pembentukan
Dewan Maritim. Dalam konsideran Perpres itu di antaranya berbunyi: Indonesia sebagai negara maritim
memiliki nilai yang unik dan sangat penting sehingga segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan masalah
maritim harus diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh.

Pada masa awal kemerdekaan, para pimpinan nasional seperti Sukarno, Muhammad Yamin, dan Chairul Saleh
sangat bergairah untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Pada 1957, lahirlah Wawasan
Nusantara, yang juga dikenal sebagai Deklarasi Juanda. Konsep Wawasan Nusantara ini memandang bahwa
wilayah laut di antara pulau-pulau Indonesia merupakan satu-kesatuan wilayah nusantara, sehingga wilayah
laut tersebut merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang terkandung di
dalamnya sebagai kekayaan nasional yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Pada 1960 dibentuk Dewan Maritim yang tertuang dalam Perpres No 19 Tahun 1960 tentang Pembentukan
Dewan Maritim. Dalam konsideran Perpres itu di antaranya berbunyi: Indonesia sebagai negara maritim
memiliki nilai yang unik dan sangat penting sehingga segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan masalah
maritim harus diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh.

Pada masa awal kemerdekaan, para pimpinan nasional seperti Sukarno, Muhammad Yamin, dan Chairul Saleh
sangat bergairah untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Pada 1957, lahirlah Wawasan
Nusantara, yang juga dikenal sebagai Deklarasi Juanda. Konsep Wawasan Nusantara ini memandang bahwa
wilayah laut di antara pulau-pulau Indonesia merupakan satu-kesatuan wilayah nusantara, sehingga wilayah
laut tersebut merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang terkandung di
dalamnya sebagai kekayaan nasional yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Lalu bagaimana dengan makna maritim? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai berkenaan
dengan laut; berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Maritim secara primer merupakan sifat
yang menggambarkan obyek atau aktivitas berkenaan dengan laut. Istilah maritim tak hanya memiliki
pengertian sempit yang berhubungan engan angkatan laut atau angkatan laut dalam hubungannya dengan
kekuatan darat dan udara. Bahkan maritim lingkupnya juga lebih luas daripada sekadar berhubungan dengan
angkatan laut dan semua kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan komersial non-militer terhadap laut.

Indonesia sebagai negara maritim, karena hal ini menunjukkan aktivitas dan pemberdayaan manusia yang
berkenaan dengan laut. Indonesia sebagai negara maritim berarti menaruh kepeduliaan dan mampu untuk
mengolah sumber daya kekayaan dari dasar hingga permukaan lautnya dan bahkan hingga lautan samudra,
dalam berbagai aspeknya baik ekonomi, geopolitik maupun militernya.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pengertian laut merupakan kumpulan air asin yang menggenangi dan
membagi daratan atas benua atau pulau, sedangkan kelautan hanya dijelaskan sebagai “perihal yang
berhubungan dengan laut.” Berhubungan di sini bisa saja diartikan sebagai dekat, menyentuh atau
bersinggungan.

Anda mungkin juga menyukai