Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India
kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi. Kata kusta disebut dlam kitab
Inji, terjemahan dari bhasa Hebrew Zarath, yang sebenarnya mencakup beberapa
penyakit kulit lainnya. Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini
sangat kabur, apabila dibandingkan dengan kusta yang kita kenal sekarang.1
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularannya belum
diketahui pasti, hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melaluikontak langsung
antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua adalah inhalasi, sebab M. Leprae
masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.1
Masa tunas sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya
beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun.2
Penyebaran kusta dari suatu tempat ke tampat lain sampai tersebar di
seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahn penduduk yang terinfeksi
penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau malanesi termasuk Indonesia,
diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi penyakit tiap-tiap negara
maupun didalam suatu negara ternyata berbeda-beda. Demikian pula penyebab
penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu negara sapai saat ini belum
jelas benar.2
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi, dan lingkungan, varian
genetik yang berhubungan dengan kerentanan reservoir diluar manusia.2

1.2. Tujuan Penulisan


Penulisan referat ini bertujuan untuk lebih memahami tentang diagnosis,
patogenesis, komplikasi dan penatalaksanaan Morbus Hansen.

1.3. Batasan Masalah

1
Dalam referat ini akan dibahas tentang diagnosis, patogenesis, komplikasi
dan penatalaksanaan Morbus Hansen.

1.4. Metode Penulisan


Referat ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada berbagai literatur.

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Nama lain dari Morbus Hansen adalah kusta dan lepra. Istilah kusta
berasal dari bahasa Sanskerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit
secara umum. Penyakit kusta ini disebut juga Morbus Hansen karena sesuai
dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Henrik Armauwer
Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen1.
Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi
pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta
dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota
gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak
menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit
tzaraath yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta2.

2.2 Epidemiologi
1.2.1 Epidemiologi Secara Global
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus
terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham
penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja.4

1.2.2 Epidemiologi Kusta di Indonesia


Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian
menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena
perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan
pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa
penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk
ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-
orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan
berdagang.4

3
Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di
Indonesia sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar ini membuat
Indonesia menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat mencapai eliminasi
kusta sesuai target yang ditetapkan oleh World Health Organisation yaitu tahun
2000.4

2.3 Etiologi
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang berbentuk
pleomorf lurus, batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-
0,5 x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif dan bersifat tahan asam,
tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh
asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil tahan asam,
tidak bergerak dan tidak berspora, dan dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran
bentuk kelompok, termasuk masa irreguler besar yang disebut globi.
Mycobakterium ini termasuk kuman aerob. Kuman Mycobacterium leprae
menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui
pernapasan, kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa
inkubasi rata-rata 2-5 tahun.1,4

Gambar 1. Mycobacterium Lepra yang diambil dari lesi kulit11

2.4 Klasifikasi
1) Jenis klasifikasi yang umum

4
a. Klasifikasi Internasional (1953)1
1. Indeterminate (I)
2. Tuberkuloid (T)
3. Borderline-Dimorphous (B)
4. Lepromatosa (L)
b. Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling (1962).1
1. Tuberkoloid (TT)
2. Boderline tubercoloid (BT)
3. Mid-berderline (BB)
4. Borderline lepromatous (BL)
5. Lepromatosa (LL)

c. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO (1981) dan


modifikasi WHO (1988)
1. Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif
menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi
Madrid.1
2. Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria
Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta
dengan BTA positif.1

Gambar 2. Lepra tipe TT dan BB2

5
Gambar 3. Borderline Lepromatous11

Gambar 4. Borderline Borderline11

Gambar 5. Borderline Tuberculoid11

Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus diklasifikasikan


sebagai berikut : Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai
MB apapun hasil pemeriksaan BTA-nya saat ini. Bila awalnya didiagnosis tipe
PB, harus dibuat klasifikasi baru berdasarkan gambaran klinis dan hasil BTA saat
ini.1,5

Tabel 1. Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO (1995)1


PB MB

6
1. Lesi kulit (makula yang datar, 1-5 lesi  > 5 lesi
papul yang meninggi,infiltrat, Hipopigmentasi/eritema  Distribusi lebih
plak eritem, nodus)  Distribusi tidak simetris simetris
2. Hilangnya sensasi yangHilangnya
jelas sensasi kurang
jelas

Kerusakan saraf (menyebabkan Hanya satu cabang saraf  Banyak cabang


hilangnya sensasi/kelemahan otot saraf
yang dipersarafi oleh saraf yang
terkena)

Kekebalan selular (cell mediated immunity = CMI) seseorang yang akan


menentukan, apakah ia akan menderita kusta bila ia mendapat infeksi
Mycobacterium leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya dalam spektrum
penyakit kusta.1

Tabel 2. Gambaran klinis tipe PB1


Tuberkuloid Borderline tuberculoid Indeterminat
Karakteristik
(TT) (BT) e (I)
Lesi
-bentuk Makula saja; Makula dibatasi infiltrat; Hanya makula
makula dibatasi infiltrat saja
infiltrat
-Jumlah Satu atau Beberapa atau satu Satu atau
beberapa dengan lesi satelit beberapa

-Distribusi Terlokalisasi & Asimetris Bervariasi


asimetris
-Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus
agak berkilat
-batas Jelas Jelas Dapat jelas
atau dapat

7
tidak jelas
-anestesia Jelas Jelas Tidak ada
sampai tidak
BTA jelas
-Lesi kulit Negatif Negatif atau 1 + Biasanya
negatif
-Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah (2 +) Dapat positif
lemah atau
negatif

Tabel 3. Gambaran klinis tipe MB1

Lepromatosa Borderline Mid-borderline


Karakteristik
(LL) lepromatosa (BL) (BB)
Lesi
-bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrate difus Plakat Dome-shaped
Papul papul (kubah)
Nodus punched-out
infiltrat papul,
nodus

-Jumlah Banyak, distribusi Banyak, tapi kulit Beberapa, kulit


luas, praktis tidak sehat masih ada sehat jelas ada
ada kulit sehat

-Distribusi simetris Hampir simetris asimetris


-Permukaan Halus dan berkilap Halus dan berkilap agak kasar, agak
berkilat
-batas Tidak jelas Agak jelas agak jelas
Sedikit berkurang berkurang
-anestesia Tidak ada sampai Tidak jelas lebih jelas
tidak jelas

8
BTA
-lesi kulit Banyak (ada Banyak agak banyak
globus)
-sekret hidung Banyak (globi) Biasanya negatif negatif

Tes lepromin Negative Negatif biasanya negatif

Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat


atau tipe dari penyakit tersebut yaitu: Adanya bercak tipis seperti panu pada
badan/tubuh manusia, Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi
lama-lama semakin melebar dan banyak, Adanya pelebaran syaraf terutama pada
syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus serta peroneu, Kelenjar keringat
kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat. Adanya bintil-bintil
kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit, Alis rambut rontok, Muka
berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa).5,6

2.5 Penularan
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda
tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita,
yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan
penyakit kusta adalah : 1. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret
hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
2. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15
tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya
kontak yang lama dan berulang-ulang.1
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler
kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti belum
diketahui, tapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat
ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit.1,6
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu
ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain:
1) Faktor Kuman kusta

9
Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh
(solid) bentuknya, lebih besar kemungkinan menyebabkan penularan dari pada
orang yang tidak utuh lagi Mycobacterium leprae bersifat tahan asam, bermentuk
batang dengan panjang 1-8 mikron dan lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan
yang bersuhu dingin. Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1
sampai 9 hari tergantung suhu atau cuaca dan diketahui hanya kuman kusta yang
utuh (solid) saja dapat menimbulkan penularan.1,6

2) Faktor Imunitas
Sebagian manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil
penelitian menunjukan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 0rang yang tidak
menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit. Hal
ini belum lagi mempertimbangkan pengaruh pengobatan.1

3) Keadaan Lingkungan
Keadaan rumah yang berjejal yang biasanya berkaitan dengan kemiskinan,
merupakan faktor penyebab tingginya angka kusta. Sebaliknya dengan
meningkatnya taraf hidup dan perbaikan imunitas merupakan faktor utama
mencegah munculnya kusta.1

4) Faktor Umur
Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Incidence Rate penyakit ini
meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10 sampai 20 tahun dan
kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan
puncak umur 30 sampai 50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun.1

5) Faktor Jenis Kelamin


Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada wanita,
kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Faktor fisiologis
seperti pubertas, monopause, Kehamilan, infeksi dan malnutrisi akan
mengakibatkan perubahan klinis penyakit kusta.6

10
2.6 Masa Inkubasi
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa
peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum
dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi
muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun Hal ini dilaporan
berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah
endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Dengan rata-rata
adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk kusta
lepromatosa.1,4
Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia 3
tahun; meskipun, lebih dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-anak dibawah
usia 1 tahun, yang paling muda adalah usia 2,5 bulan. Secara umum, telah
disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun. 1,5

2.7 Reservoir
Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui berperan
sebagai reservoir. Di Lusiana dan Texas binatang Armadillo liar diketahui secara
alamiah dapat menderita penyakit yang mempunyai kusta seperti pada percobaan
yang dilakukan dengan binatang ini. Diduga secara alamiah dapat terjadi
penularan dari Armadilo kepada manusia. Penularan kusta secara alamiah
ditemukan terjadi pada monyet dan simpanse yang ditangkap di Nigeria dan
Sierra Lione.1

2.8 Patogenesis
Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih belum
diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa tersering
ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui
mukosa nasal. Pengaruh Mycobacterium leprae terhadap kulit bergantung pada
faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup Mycobacterium leprae pada suhu
tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen
dan nontoksis.6
Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang
terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada
dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila kuman Mycobacterium leprae

11
masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag
(berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk
memfagositnya.4,6
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat
bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.5

Gambar 6. Gambaran Lepromatousa11

Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,


sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua
kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak
bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Bila
infeksi ini tidak segera di atasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid
akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan disekitarnya.4
Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan Mycobacterium
lepare, disamping itu sel Schwan berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya
sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh
dalm sel Schwan, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas
regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.4
Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang
terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada
dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila Mycobacterium leprae masuk ke
dalam tubuh, akan menimbulkan reaksi Hipersensitifitas tipe IV oleh sel T H1, sel
pembunuh dan makrofag. Antigen difagositosis oleh makrofag, diolah, dan

12
dipresentasikan pada sel TH. Sensitisasi ini berlangsung lebih dari 5 hari. Pada
kontak kedua, sejumlah sel T teraktivasi menjadi sel TH1. Sel ini akan merangsang
pembentukan monosit di sumsum tulang melalui IL-3 dan faktor yang
merangsang koloni makrofag-granulosit (GM-CSF) sehingga menarik monosit
dan makrofag melalui kemokin, seperti MCPs (monocyte chemoattractant
proteins) dan MIPs (monocyte inflammatory proteins), dan mengaktifkannya
melalui interfeuron γ (IFN-γ). MCPs dan MIPs bersama dengan TNF-β
meyebabkan reaksi peradangan yang hebat.5
Makrofag dalam jaringan berasal dari monosit dalam darah yang
mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel aveolar dari paru,
sel glia dari otak, dan dari kulit disebut histiosit. Dengan adanya proses
imunologik, histiosit datang ke tempat kuman. Kalau datangnya berlebihan dan
tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel
epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan berubah menjadi sel datia
Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi limfosit disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada
penderita dengan Sistem Imun Seluler (SIS) rendah atau lumpuh, histiosit tidak
dapat menghancurkan M. Lepra yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan
tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan
sebagai alat pengangkut penyebarluasan.6

Gambar 7. Patogenesa morbus hansen1

13
Gambar 8. Patogenesis Morbus Hansen 12

2.9 Manifestasi Klinis


Menurut Jimmy Wales (2008), tanda-tanda tersangka kusta (Suspek)
adalah sebagai berikut : Tanda-tanda pada kulit, Bercak/kelainan kulit yang
merah/putih dibagian tubuh, Kulit mengkilat, Bercak yang tidak gatal, Adanya
bagian-bagian yang tidak berkeringat atau tidak berambut. Lepuh tidak nyeri,
Tanda-tanda pada syaraf, Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota
badan, Gangguan gerak anggota badan/bagian muka, Adanya cacat (deformitas),
Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.7
Gejala-gejala kerusakan saraf menurut A. Kosasih (2008), antara lain
adalah : N. fasialis : Lagoftalmus. N. ulnaris : Anastesia pada ujung jari bagian
anterior kelingking dan jari manis, Clawing kelingking dan jari manis, Atrofi
hipotenar dan otot interoseus dorsalis pertama. N. medianus : Anastesia pada

14
ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah, Tidak mampu aduksi
ibu jari, Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah, Ibu jari kontraktur. N. radialis :
Anastesia dorsum manus, Tangan gantung (wrist/hand drop), Tidak mampu
ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan. N. poplitea lateralis : Kaki gantung
(foot drop), N.tibialis posterior, Anastesia telapak kaki, Clow toes.7

2.10 Diagnosa
Dalam menegakkan diagnosa morbus hansen, ditegakkan berdasarkan :
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dari pemeriksaan
bakterioskopik, histopatologik, dan serologik.8,9
1. Anamnesis
Subyektif : Keluhan penderita, kelainan kulit, mati rasa, gangguan fungsi
pada saraf.
Obyektif : Riwayat kontak dengan penderita, latar belakang keluarga
misalnya keadaan sosial ekonomi.
Evaluasi data : Untuk menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya,
Sebagai sumber acuan pengobatan MDT dan klasifikasi penyakit
kusta.8,9

2. Pemeriksaan fisik
Inspeksi : Ruangan membutuhkan cahaya yang adekuat (terang) diperlukan agar
petugas dapat membedakan warna dan bentuk tubuh.
Palpasi : Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada: n. auricularis
magnus, n. ulnaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis
posterior.8
Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan,
dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau
tidak saat saraf diraba.9

15
Gambar 9. Saraf Tepi Yang Dekat Dengan Kulit13

Saraf ulnaris - untuk memeriksa saraf ulnaris kiri, pegang lengan bawah
kiri penderita dengan tangan kiri Anda; raba di bawah siku penderita dengan
tangan kanan Anda. Anda akan menemukan saraf ulnaris di cekungan pada sisi
median (dalam). Lakukan sebaliknya untuk memeriksa saraf ulnaris lengan
kanan.4

Gambar 10. Pemeriksaan N. Ulnaris4

16
Saraf medianus - untuk memeriksa saraf medianus, pegang pergelangan
penderita dengan telapak tangannya menghadap ke atas; raba hati-hati di tengah-
tengah pergelangan. Saraf medianus mungkin tidak teraba, tapi ada tidaknya nyeri
tekan tetap dapat terdeteksi.4
Saraf peroneus - untuk meraba saraf peroneus kanan, minta penderita
duduk di kursi dan kemudian Anda duduk atau berlutut di depannya. Gunakan
tangan kiri Anda untuk meraba saraf di sisi luar betis sedikit di bawah lutut dan
lekukan sekitar tulang di bawah lutut. Gunakan tangan kanan Anda untuk
memeriksa saraf Peroneus kiri.4
Fungsi sensorik : Dilakukan pemeriksaan fungsi saraf sensorik pada
telapak tangan, daerah yang sisarafi oleh n.ulnaris dan medianus juga pada daerah
telapak kaki untuk daerah yang disarafi oleh n.tibialis posterior.

(a) (b) (c)


Gambar 11. Pemeriksaan Saraf (a). n. radialis (b). n. peroneus (c). n. ulnaris11

Fungsi motorik : N.fasialis dengan memeriksa kekuatan penutupan bola


mata. N.ulnaris dengan memeriksa kekuatan m.abductor pollicis minimi.
N.medianus, dengan memeriksa kekuatan m.abductor pollicis brevis. N.radialis,
dengan memeriksa kekuatan fleksi dorsal pergelangan tangan. N.peroneous,
dengan memeriksa kekuatan fleksi dorsal pergelangan kaki baik pada arah eversi

17
maupun inverse. N.tibialis posterior, dengan memeriksa kekuatan otot truceps
surae, tibialis posterior, flexor hallucis longus dan flexor digitorum longus.4

Gambar 12. Tes Fungsi Motorik11

Fungsi Otonom : Fungsi Otonom diperiksa dengan memegang tangan atau


kaki penderita untuk menilai kebasahan telapak tangan maupun kaki (fungsi
kelenjar keringat). Pemeiksaan bersama dengan gerak Olah raga.4
Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena
memberikan gejala yang hampir mirip dengan penyakit lainnya.4
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal
(cardinal sign), yaitu:
a. Bercak kulit yang mati rasa
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat
tubuh yang lain, maka akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau
eritematus, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak
bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri.6
b. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa
gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu: Gangguan fungsi sensoris: hipostesi
atau anestesi, Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis, Gangguan fungsi
otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu.6
c. Ditemukan kuman tahan asam
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus
ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan,
maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu

18
diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat
ditegakkan atau disingkirkan.6

2.11 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL
NEELSON. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan
paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat
yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-
4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di
tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping telinga didapati banyak M.
Leprae.5
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+
menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2 + Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3 + Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4 + Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5 + Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6 + Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan
jumlah solid dan non solid. Indeks morfologi ini dilakukan untuk menentukan
persentasi BTA hidup atau mati.5
Rumus :
Jumlah solid x 100 % = %
Jumlah solid + non solid

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA,
I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari
dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ harus dihitung IM nya sebab
dengan IB 3+ maksimum harus dicari dalam 100 lapangan.5
Contoh perhitungan IB dan IM
Tempat IB Solid Non solid IM
pengambilan

19
Telinga kiri 4+ 9 91 9%
Telinga kanan 3+ 8 92 8%
Ujung jari 1+ 0 5 0
tangan kiri
Ujung jari 2+ 1 22 1/23 %
tangan kanan
Lesi I 3+ 7 93 7%
Lesi II 5+ 8 92 8%
18 33 395
IB Penderita : 18 : 6 = 3+
IM penderita : 33 : (33 + 395) = ….%

Pemeriksaan Histopatologis
Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid
adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya
sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal (
subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis
yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil.
Pada tipe borderline terdapat campuran unsur-unsur tersebut. Sel virchow
adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat berkembangbiak dan
sebagai alat pengangkut penyebarluasan.5
Pemeriksaan Serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis
serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan
serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.5
Pemeriksaan Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis
lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem
imun penderita terhadap M.leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari
ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48
jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi
Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau
penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini
seperti mantoux test ( PPD) pada tuberculosis.5

20
Reaksi Mitsuda bernilai :
0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+ 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm
+ 2 Papul berdiameter 7 – 10 mm
+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi

2.12 Penanggulangan Penyakit Kusta


Pengobatan6,9,10
Pengobatan berdasarkan regimen MDT (Multi Drug Therapy) dalam buku
Pedoman Diagnosis dan Terapi BAG/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU
Dokter Soetomo Surabaya adalah sebagai berikut :

Gambar 13. Regimen MDT6

Obat antikusta paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(Diaminodefenil Sulfon). Kemudian klofazimin, dan rifampisin. Untuk mencegah
resistensi, pengobatan tuberculosis telah menggunakan multi drug treatment
(MDT) sejak 1951, sedangkan untuk kusta baru di mulai pada tahun 1971. Pada
saat ini ada berbagai macam dan cara MDT yang dilaksanakan di Indonesia sesuai
rekomendasi WHO, dengan obat alternative sejalan dengan kebutuhan dan
kemampuan. Yang paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS, karena DDS
adalah obat antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini
sesuai dengan para penderita yang ada di Negara berkembang dengan social
ekonomi rendah.6 MDT digunakan sebagai usaha untuk :

21
 Mencegah dan mengobati resistensi
 Memperpendek masa pengobatan
 Mempercepat pemutusan mata rantai penularan
 Kemungkinan penerapannya

Obat-obat Antikusta
1. DDS (Diaminofenil Sulfon)
Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu :
relap sensitive (persisten) dan relaps resisten. Pada relaps sensitive penyakit
kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Secara klinis, bakiuterioskopik, histopatologi, dapat dinyatakan penyakit tiba-tiba
aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif kembali.
Tetapi setelah di buktikan dengan pengobatan dan inokulasi pada mencit, ternyata
Mycobakterium leprae masih sensitive terhadap DDS. Mycobacterium leprae
yang semula dorman, sleeping atau persisten, bangun dan aktif kembali.9
Resistensi hanya terjadi pada kusta multibasilar, tetapi tidak pada
pausibasilar oleh karna SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relative
singkat. Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi
primer, terjadi bila orang di tulari oleh Mycobacterium leprae, yang telah resisten
dan manifestasinya dapat dalam berbagai tipe (TT, BT, BB, BL, LL) bergantung
pada SIS penderita. Derajat resistensi yang masih rendah dpat diobat dengan dosis
DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat resistensi y’ang tinggi DDS tidak
dapat dipakai lagi. 9
Resistensi sekunder terjadi oleh karena :
 Monoterapi DDS
 Dosis terlalu rendah
 Minum obat tidak teratur
 Minum obat tidak adekuat, baik dosis maupun pemberian
 Pengobatan terlalu lama setelah 4-24 tahun

2. Rifampisin

22
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah komponen kombinasi DDS
dengan dosis 10 mg/kgBB, diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin
tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan
terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak
boleh diberikan setiap minggu, setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya.10

3. Klofazimin (Lampren)
Obat ini mula dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan
Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari atau 100 mg selang
sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifar sebagai aintiinflamasi
sehingga dapat dipakai pada penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu 200-
300 mg per hari. Namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu. Resistensi
pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982. 10

4. Protionamid
Dosis diberikan 5-10 mg/kgBB setiap hari, dan untuk Indonesia obat ini
tidak atau jarang dipakai. Distribusi protionamid dalam jaringan tidak merata,
sehingga kadar hambat minimalnya sukar ditentukan.10

5. Obat Alternatif
 Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif
terhadap mikobakterium lepra invitro. Dosis optimal harian adalah
400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan
membunuh kuman Mycobacterium lepra hidup sebesar 99.99%.6
 Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisid lebih tinggi
dari pada laritromisin, tetapi lebih rendah dari pada rifampisin.
Dosis standar harian 100 mg.6
 Klaritomisin
Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat
membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9%
dalam 56 hari.6

23
2.13 Cara Pemberian MDT
1. MDT untuk Multibasiler (BB.BL.LL atau semua tipe dengan BTA
positif) adalah10 :
 Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan.
 DDS 100 mg setiap hari
 Klofazimin 300 mg setiap bulan dalam pengawasan, diteruskan 50
mg sehari atau 100 mg selama sehari atau 3x100 mg setiap
minggu.
2. MDT untuk Pausibasiler (I,TT,BT, dengan BTA negative ) adalah10 :
 Rifampisin 600 mg setiap bulan dengan pengawasan
 DDS 100 mg setiap hari

2.14 Reaksi kusta


Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan klinik penyakit
kusta yang ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis) yang kadang-
kadang disertai dengan gejala sistemik. Reaksi kusta dapat merugikan pasien
kusta, oleh karena dapat menyebabkan kerusakan syaraf tepi terutama gangguan
fungsi sensorik (anestesi) sehingga dapat menimbulkan kecacatan pada pasien
kusta. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum mendapat pengobatan, pada saat
pengobatan, maupun sesudah pengobatan, namun reakis kusta paling sering terjadi
pada 6 bulan sampai satu tahun sesudah dimulainya pengobatan.8
Reaksi kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu:
1. Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal= RR)
Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV dari
Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction). Reaksi kusta tipe 1
terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) dan biasanya terjadi
dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat pengobatan. Pada reaksi ini
terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta
dikulit dan syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan dengan terurainya M.leprae
yang mati akibat pengobatan yang diberikan.8
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan
limfosit T disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe 1
adalah adanya perubahan keseimbangan antara imunitas selular dan basil. Diduga
kerusakan jaringan terjadi akibat langsung reaksi hipersensitivitas seluler terhadap

24
antigen basil.24 Pada saat terjadi reaksi, beberapa penelitian juga menunjukkan
adanya peningkatan ekspresi sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, IL-1b, IL-6,
IFN-γ dan IL-12 dan sitokin immunoregulatory seperti TGF-β dan IL-10 selama
terjadi aktivasi dari makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan
produksi IL-2 dan IFN-γ meningkat sehingga dapat terjadi lymphocytic
infiltration pada kulit dan syaraf. IFNγ dan TNF-α bertanggung jawab terhadap
terjadinya edema, inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan kerusakan jaringan
yang cepat.8
Tabel 4. Gambaran reaksi kusta tipe 18

Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat


Kulit Lesi kulit yang telah ada Lesi yang telah ada
menjadi lebih eritematosa menjadi eritematosa
Timbul lesi baru yang
kadang-kadang disertai
panas dan malaise
Syaraf tepi Membesar, tidak ada nyeri Membesar, nyeri tekan
tekan syaraf dan gangguan dan gangguan fungsi.
Berlangsung lebih dari 6
fungsi
Berlangsung kurang dari 6 minggu
minggu
Kulit dan syaraf Lesi yang telah ada akan Lesi kulit yang
menjadi lebih eritematosa, eritematosa disertai
nyeri pada syaraf ulserasi atau edema pada
Berlangsung kurang dari 6
tangan/kaki
minggu Syaraf membesar, nyeri
dan fungsinya terganggu
Berlangsung lebih dari 6
minggu

2. Reaksi tipe 2 (Reaksi Eritema Nodosum Leprosum=ENL)


Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL).
Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami
episode ENL. 8
Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga
timbul pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug Therapy

25
(MDT). ENL diduga merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen
antibodi pada pembuluh darah. Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III menurut
Coomb & Gel. 8
Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, sehingga
banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi IgG, IgM dan
komplemen C3 membentuk kompleks imun yang terus beredar dalam sirkulasi
darah dan akhirnya akan di endapkan dalam berbagai organ sehingga
mengaktifkan sistem komplemen Berbagai macam enzim dan bahan toksik yang
menimbulkan destruksi jaringan akan dilepaskan oleh netrofil akibat dari aktivasi
komplemen. 8
Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL 13 dan IL-
10 (respon tipeTh-2) serta peningkatan, IFN-γ danTNF-α. IL-4, IL-5, IFN-γ,TNF-
α bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu dan kerusakan jaringan selama
terjadi reaksi ENL. 8
Reaksi ENL cenderung berlangsung kronis dan rekuren. Kronisitas dan
rekurensi ENL menyebabkan pasien kusta akan tergantung kepada pemberian
steroid jangka panjang.8

Gambar 14. Spektrum reaksi kusta RR dan ENL8


Keterangan gambar:
Gambaran tipe reaksi yang terjadi dan hubungannya dengan tipe imunitas dalam
spektrum imunitas pasien kusta menurut Ridkey-Jopling
Reaksi tipe 1 diperantarai oleh mekanisme imunitas seluler
Reaksi tipe 2 diperantarai oleh mekanisme imunitas humoral8
Tabel 5 Gambaran reaksi kusta tipe 28

26
Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat
Kulit Nodus sedikit, dapat Nodus banyak, nyeri,
ulserasi berulserasi
Demam ringan dan Demam tinggi dan
malaise malaise
Syaraf tepi Membesar Sangat membesar
Tidak ada nyeri tekan Nyeri tekan
Gangguan fungsi
syaraf
Fungsi tidak ada
gangguan
Organ tubuh Tidak ada gangguan Terjadi peradangan
organ-organ dari tubuh pada:
mata: nyeri,
penurunan visus,
merah sekitar limbus
Testis: lunak, nyeri
dan membesar

Gambar 15. Tipe Kusta dan Reaksi Kusta8

27
Pengobatan ENL8
Obat paling sering dipakai ialah obat kortikosteroid, antara lain
prednisone. Dosisnya tergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednisone
15-30 mg per hari. Makin berat reaksi nya makin tinggi dosisnya tetapi sebaliknya
bila reaksi terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi
dosisnya diturun secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Pemberian dapat
ditambahkan dengan obat analgetik antipiretik dan sedatif. Obat yang dianggap
sebagai pilihan utama adalah talidomid, tetapi harus berhati-hati karena
mempunyai efek teratogenik. Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat
juga dipakai sebagai antireaksi ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Makin
berat reaksinya semakin tinggi dosisnya biasanya antara 200-300 mg sehari.

Pengobatan Reaksi Reversal


Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Kalau ada
neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga
disesuaikan dengan berat ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya.
Biasanya diberikan prednison 40 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan.8
Skema pemberian prednison dan lampren
1. Pemberian Prednison
Minggu pemberian Dosis harian yang dianjurkan
Minggu 1-2 40 mg
Minggu 3-4 30 mg
Minggu 5-6 20 mg
Minggu 7-8 15 mg
Minggu 9-10 10 mg
Minggu 11-12 5 mg

2. Pemberian Lampren
ENL yang berat dan berkepanjangan dan terdapat ketergantungan pada
steroid perlu ditambahkan lampren untuk dewasa 300 mg perhari selama
2-3 bulan. Bila ada perbaikan turunkan menjadi 200 mg per hari selama 2-
3 bulan. Bila ada perbaikan turunkan menjadi 100 mg perhari selama 2-3
bulan, dan selanjutnya kembali pada dosis lampren semula, 50 mg perhari,
bila penderita masih dalam pengobatan MDT, atau stop bila penderita
sudah dinyata RFT. Pada saat yang sama dosis prednison diturunkan
secara bertahap.8

28
Gambar 16. Reaksi Reversal8
2.15 Komplikasi
Cacat7
1. Klasifikasi Cacat
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensitibilitas, tidak ada kerusakan atau
deformitas yang terlihat
Tingakt 1 Ada gangguan sensitibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang
terlihat
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 Tidak ada kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk visus)
Tingkat 1 Ada kelainan atau kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus
sedikit berkurang
Tingkat 2 Ada kelainan mata yang terlihat dan atau visus sangat terganggu
Catatan : kerusakan atau deformitas pada tangan dan kaki termasuk ulserasi,
absorbsi, mutilasi, kontraktur, sedangkan pada mata termasuk anestesi kornea,
iridosiklitis, dan lagoftalmus.

2. Pencegahan Cacat
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities
(POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan
MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda rekasi
kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan
kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita
diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang
telah terkena, memakai sarung tangan bila berkerja dengan benda tajam atau
panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu di ajarkan
pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada

29
atautidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki di rendam,
disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.7

Rehabilitas
Usaha rehabilitas medis yang dilakukan untuk cacat tubuh antara lain
dengan cara operasi dan fisioterapi meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke
asal tetapi fungsi dan secara kosmetik dapat di perbaiki.7

2.16 Prognosis
Dengan adanya obat-obatan kombinasi, pengobatan menjadi lebih
sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada
kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik.2

DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi SL, dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed VII (Cetakan
Keempat 2017). Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2017
2. CDC. (2003). Hansens's Disease (Leprosy), retrieved December 2003 from
http://cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/hansen-a.htm.htm. Last update:
February 11, 2014

30
3. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penakit Kulit. Ed. 3. Jakarta: EGC,
2014
4. Ditjen PPM & PL. Buku Pedoman Program P2 Kusta Bagi Petugas
Puskesmas. Jakarta : Sub Direktorat Kusta & Frambusia, 2000
5. Dinkes Prop.Sumsel. Modul pemberantasan penyakit kusta. Palembang :
tidak diterbitkan, 2003
6. Djuanda Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2009
7. Kumar H, Kumar B. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers Ltd; 2010.
8. Graham, Robin. Lecture Notes Dermatologi. Jakarta; Erlangga, 2002
9. Agusni I, Menaldi SL. Beberapa Prosedur Diagnosis Baru Pada Penyakit
Kusta. Dalam: Syamsoe Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H,
editor. Kusta. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003
10. Djuanda.A., Menaldi. SL., Wisesa.TW., dan Ashadi. LN. Kusta : Diagnosis
dan Penatalaksanaan. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1997
11. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Mycobacterium_leprae diakses pada tanggal
24 maret 2018 jam 10.45 WIB
12. http://fales.co/blog/laporan-pendahuluan-morbus-hansen.html diakses pada
tanggal 24 maret 2018 jam 10.50 WIB
13. http://fkunand2010.files.wordpress.com/2013/05/kusta-revisi-dr-rina diakses
pada tanggal 24 maret 2018 jam 11.00

31

Anda mungkin juga menyukai