PENDAHULUAN
1
Dalam referat ini akan dibahas tentang diagnosis, patogenesis, komplikasi
dan penatalaksanaan Morbus Hansen.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Nama lain dari Morbus Hansen adalah kusta dan lepra. Istilah kusta
berasal dari bahasa Sanskerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit
secara umum. Penyakit kusta ini disebut juga Morbus Hansen karena sesuai
dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Henrik Armauwer
Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen1.
Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi
pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta
dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota
gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak
menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit
tzaraath yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta2.
2.2 Epidemiologi
1.2.1 Epidemiologi Secara Global
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus
terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham
penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja.4
3
Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di
Indonesia sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar ini membuat
Indonesia menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat mencapai eliminasi
kusta sesuai target yang ditetapkan oleh World Health Organisation yaitu tahun
2000.4
2.3 Etiologi
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang berbentuk
pleomorf lurus, batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-
0,5 x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif dan bersifat tahan asam,
tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh
asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil tahan asam,
tidak bergerak dan tidak berspora, dan dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran
bentuk kelompok, termasuk masa irreguler besar yang disebut globi.
Mycobakterium ini termasuk kuman aerob. Kuman Mycobacterium leprae
menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui
pernapasan, kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa
inkubasi rata-rata 2-5 tahun.1,4
2.4 Klasifikasi
1) Jenis klasifikasi yang umum
4
a. Klasifikasi Internasional (1953)1
1. Indeterminate (I)
2. Tuberkuloid (T)
3. Borderline-Dimorphous (B)
4. Lepromatosa (L)
b. Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling (1962).1
1. Tuberkoloid (TT)
2. Boderline tubercoloid (BT)
3. Mid-berderline (BB)
4. Borderline lepromatous (BL)
5. Lepromatosa (LL)
5
Gambar 3. Borderline Lepromatous11
6
1. Lesi kulit (makula yang datar, 1-5 lesi > 5 lesi
papul yang meninggi,infiltrat, Hipopigmentasi/eritema Distribusi lebih
plak eritem, nodus) Distribusi tidak simetris simetris
2. Hilangnya sensasi yangHilangnya
jelas sensasi kurang
jelas
7
tidak jelas
-anestesia Jelas Jelas Tidak ada
sampai tidak
BTA jelas
-Lesi kulit Negatif Negatif atau 1 + Biasanya
negatif
-Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah (2 +) Dapat positif
lemah atau
negatif
8
BTA
-lesi kulit Banyak (ada Banyak agak banyak
globus)
-sekret hidung Banyak (globi) Biasanya negatif negatif
2.5 Penularan
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda
tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita,
yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan
penyakit kusta adalah : 1. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret
hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
2. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15
tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya
kontak yang lama dan berulang-ulang.1
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler
kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti belum
diketahui, tapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat
ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit.1,6
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu
ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain:
1) Faktor Kuman kusta
9
Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh
(solid) bentuknya, lebih besar kemungkinan menyebabkan penularan dari pada
orang yang tidak utuh lagi Mycobacterium leprae bersifat tahan asam, bermentuk
batang dengan panjang 1-8 mikron dan lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan
yang bersuhu dingin. Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1
sampai 9 hari tergantung suhu atau cuaca dan diketahui hanya kuman kusta yang
utuh (solid) saja dapat menimbulkan penularan.1,6
2) Faktor Imunitas
Sebagian manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil
penelitian menunjukan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 0rang yang tidak
menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit. Hal
ini belum lagi mempertimbangkan pengaruh pengobatan.1
3) Keadaan Lingkungan
Keadaan rumah yang berjejal yang biasanya berkaitan dengan kemiskinan,
merupakan faktor penyebab tingginya angka kusta. Sebaliknya dengan
meningkatnya taraf hidup dan perbaikan imunitas merupakan faktor utama
mencegah munculnya kusta.1
4) Faktor Umur
Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Incidence Rate penyakit ini
meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10 sampai 20 tahun dan
kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan
puncak umur 30 sampai 50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun.1
10
2.6 Masa Inkubasi
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa
peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum
dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi
muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun Hal ini dilaporan
berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah
endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Dengan rata-rata
adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk kusta
lepromatosa.1,4
Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia 3
tahun; meskipun, lebih dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-anak dibawah
usia 1 tahun, yang paling muda adalah usia 2,5 bulan. Secara umum, telah
disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun. 1,5
2.7 Reservoir
Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui berperan
sebagai reservoir. Di Lusiana dan Texas binatang Armadillo liar diketahui secara
alamiah dapat menderita penyakit yang mempunyai kusta seperti pada percobaan
yang dilakukan dengan binatang ini. Diduga secara alamiah dapat terjadi
penularan dari Armadilo kepada manusia. Penularan kusta secara alamiah
ditemukan terjadi pada monyet dan simpanse yang ditangkap di Nigeria dan
Sierra Lione.1
2.8 Patogenesis
Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih belum
diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa tersering
ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui
mukosa nasal. Pengaruh Mycobacterium leprae terhadap kulit bergantung pada
faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup Mycobacterium leprae pada suhu
tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen
dan nontoksis.6
Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang
terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada
dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila kuman Mycobacterium leprae
11
masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag
(berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk
memfagositnya.4,6
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat
bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.5
12
dipresentasikan pada sel TH. Sensitisasi ini berlangsung lebih dari 5 hari. Pada
kontak kedua, sejumlah sel T teraktivasi menjadi sel TH1. Sel ini akan merangsang
pembentukan monosit di sumsum tulang melalui IL-3 dan faktor yang
merangsang koloni makrofag-granulosit (GM-CSF) sehingga menarik monosit
dan makrofag melalui kemokin, seperti MCPs (monocyte chemoattractant
proteins) dan MIPs (monocyte inflammatory proteins), dan mengaktifkannya
melalui interfeuron γ (IFN-γ). MCPs dan MIPs bersama dengan TNF-β
meyebabkan reaksi peradangan yang hebat.5
Makrofag dalam jaringan berasal dari monosit dalam darah yang
mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel aveolar dari paru,
sel glia dari otak, dan dari kulit disebut histiosit. Dengan adanya proses
imunologik, histiosit datang ke tempat kuman. Kalau datangnya berlebihan dan
tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel
epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan berubah menjadi sel datia
Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi limfosit disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada
penderita dengan Sistem Imun Seluler (SIS) rendah atau lumpuh, histiosit tidak
dapat menghancurkan M. Lepra yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan
tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan
sebagai alat pengangkut penyebarluasan.6
13
Gambar 8. Patogenesis Morbus Hansen 12
14
ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah, Tidak mampu aduksi
ibu jari, Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah, Ibu jari kontraktur. N. radialis :
Anastesia dorsum manus, Tangan gantung (wrist/hand drop), Tidak mampu
ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan. N. poplitea lateralis : Kaki gantung
(foot drop), N.tibialis posterior, Anastesia telapak kaki, Clow toes.7
2.10 Diagnosa
Dalam menegakkan diagnosa morbus hansen, ditegakkan berdasarkan :
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dari pemeriksaan
bakterioskopik, histopatologik, dan serologik.8,9
1. Anamnesis
Subyektif : Keluhan penderita, kelainan kulit, mati rasa, gangguan fungsi
pada saraf.
Obyektif : Riwayat kontak dengan penderita, latar belakang keluarga
misalnya keadaan sosial ekonomi.
Evaluasi data : Untuk menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya,
Sebagai sumber acuan pengobatan MDT dan klasifikasi penyakit
kusta.8,9
2. Pemeriksaan fisik
Inspeksi : Ruangan membutuhkan cahaya yang adekuat (terang) diperlukan agar
petugas dapat membedakan warna dan bentuk tubuh.
Palpasi : Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada: n. auricularis
magnus, n. ulnaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis
posterior.8
Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan,
dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau
tidak saat saraf diraba.9
15
Gambar 9. Saraf Tepi Yang Dekat Dengan Kulit13
Saraf ulnaris - untuk memeriksa saraf ulnaris kiri, pegang lengan bawah
kiri penderita dengan tangan kiri Anda; raba di bawah siku penderita dengan
tangan kanan Anda. Anda akan menemukan saraf ulnaris di cekungan pada sisi
median (dalam). Lakukan sebaliknya untuk memeriksa saraf ulnaris lengan
kanan.4
16
Saraf medianus - untuk memeriksa saraf medianus, pegang pergelangan
penderita dengan telapak tangannya menghadap ke atas; raba hati-hati di tengah-
tengah pergelangan. Saraf medianus mungkin tidak teraba, tapi ada tidaknya nyeri
tekan tetap dapat terdeteksi.4
Saraf peroneus - untuk meraba saraf peroneus kanan, minta penderita
duduk di kursi dan kemudian Anda duduk atau berlutut di depannya. Gunakan
tangan kiri Anda untuk meraba saraf di sisi luar betis sedikit di bawah lutut dan
lekukan sekitar tulang di bawah lutut. Gunakan tangan kanan Anda untuk
memeriksa saraf Peroneus kiri.4
Fungsi sensorik : Dilakukan pemeriksaan fungsi saraf sensorik pada
telapak tangan, daerah yang sisarafi oleh n.ulnaris dan medianus juga pada daerah
telapak kaki untuk daerah yang disarafi oleh n.tibialis posterior.
17
maupun inverse. N.tibialis posterior, dengan memeriksa kekuatan otot truceps
surae, tibialis posterior, flexor hallucis longus dan flexor digitorum longus.4
18
diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat
ditegakkan atau disingkirkan.6
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA,
I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari
dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ harus dihitung IM nya sebab
dengan IB 3+ maksimum harus dicari dalam 100 lapangan.5
Contoh perhitungan IB dan IM
Tempat IB Solid Non solid IM
pengambilan
19
Telinga kiri 4+ 9 91 9%
Telinga kanan 3+ 8 92 8%
Ujung jari 1+ 0 5 0
tangan kiri
Ujung jari 2+ 1 22 1/23 %
tangan kanan
Lesi I 3+ 7 93 7%
Lesi II 5+ 8 92 8%
18 33 395
IB Penderita : 18 : 6 = 3+
IM penderita : 33 : (33 + 395) = ….%
Pemeriksaan Histopatologis
Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid
adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya
sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal (
subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis
yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil.
Pada tipe borderline terdapat campuran unsur-unsur tersebut. Sel virchow
adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat berkembangbiak dan
sebagai alat pengangkut penyebarluasan.5
Pemeriksaan Serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis
serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan
serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.5
Pemeriksaan Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis
lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem
imun penderita terhadap M.leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari
ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48
jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi
Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau
penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini
seperti mantoux test ( PPD) pada tuberculosis.5
20
Reaksi Mitsuda bernilai :
0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+ 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm
+ 2 Papul berdiameter 7 – 10 mm
+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi
Obat antikusta paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(Diaminodefenil Sulfon). Kemudian klofazimin, dan rifampisin. Untuk mencegah
resistensi, pengobatan tuberculosis telah menggunakan multi drug treatment
(MDT) sejak 1951, sedangkan untuk kusta baru di mulai pada tahun 1971. Pada
saat ini ada berbagai macam dan cara MDT yang dilaksanakan di Indonesia sesuai
rekomendasi WHO, dengan obat alternative sejalan dengan kebutuhan dan
kemampuan. Yang paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS, karena DDS
adalah obat antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini
sesuai dengan para penderita yang ada di Negara berkembang dengan social
ekonomi rendah.6 MDT digunakan sebagai usaha untuk :
21
Mencegah dan mengobati resistensi
Memperpendek masa pengobatan
Mempercepat pemutusan mata rantai penularan
Kemungkinan penerapannya
Obat-obat Antikusta
1. DDS (Diaminofenil Sulfon)
Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu :
relap sensitive (persisten) dan relaps resisten. Pada relaps sensitive penyakit
kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Secara klinis, bakiuterioskopik, histopatologi, dapat dinyatakan penyakit tiba-tiba
aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif kembali.
Tetapi setelah di buktikan dengan pengobatan dan inokulasi pada mencit, ternyata
Mycobakterium leprae masih sensitive terhadap DDS. Mycobacterium leprae
yang semula dorman, sleeping atau persisten, bangun dan aktif kembali.9
Resistensi hanya terjadi pada kusta multibasilar, tetapi tidak pada
pausibasilar oleh karna SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relative
singkat. Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi
primer, terjadi bila orang di tulari oleh Mycobacterium leprae, yang telah resisten
dan manifestasinya dapat dalam berbagai tipe (TT, BT, BB, BL, LL) bergantung
pada SIS penderita. Derajat resistensi yang masih rendah dpat diobat dengan dosis
DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat resistensi y’ang tinggi DDS tidak
dapat dipakai lagi. 9
Resistensi sekunder terjadi oleh karena :
Monoterapi DDS
Dosis terlalu rendah
Minum obat tidak teratur
Minum obat tidak adekuat, baik dosis maupun pemberian
Pengobatan terlalu lama setelah 4-24 tahun
2. Rifampisin
22
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah komponen kombinasi DDS
dengan dosis 10 mg/kgBB, diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin
tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan
terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak
boleh diberikan setiap minggu, setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya.10
3. Klofazimin (Lampren)
Obat ini mula dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan
Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari atau 100 mg selang
sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifar sebagai aintiinflamasi
sehingga dapat dipakai pada penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu 200-
300 mg per hari. Namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu. Resistensi
pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982. 10
4. Protionamid
Dosis diberikan 5-10 mg/kgBB setiap hari, dan untuk Indonesia obat ini
tidak atau jarang dipakai. Distribusi protionamid dalam jaringan tidak merata,
sehingga kadar hambat minimalnya sukar ditentukan.10
5. Obat Alternatif
Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif
terhadap mikobakterium lepra invitro. Dosis optimal harian adalah
400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan
membunuh kuman Mycobacterium lepra hidup sebesar 99.99%.6
Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisid lebih tinggi
dari pada laritromisin, tetapi lebih rendah dari pada rifampisin.
Dosis standar harian 100 mg.6
Klaritomisin
Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat
membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9%
dalam 56 hari.6
23
2.13 Cara Pemberian MDT
1. MDT untuk Multibasiler (BB.BL.LL atau semua tipe dengan BTA
positif) adalah10 :
Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan.
DDS 100 mg setiap hari
Klofazimin 300 mg setiap bulan dalam pengawasan, diteruskan 50
mg sehari atau 100 mg selama sehari atau 3x100 mg setiap
minggu.
2. MDT untuk Pausibasiler (I,TT,BT, dengan BTA negative ) adalah10 :
Rifampisin 600 mg setiap bulan dengan pengawasan
DDS 100 mg setiap hari
24
antigen basil.24 Pada saat terjadi reaksi, beberapa penelitian juga menunjukkan
adanya peningkatan ekspresi sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, IL-1b, IL-6,
IFN-γ dan IL-12 dan sitokin immunoregulatory seperti TGF-β dan IL-10 selama
terjadi aktivasi dari makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan
produksi IL-2 dan IFN-γ meningkat sehingga dapat terjadi lymphocytic
infiltration pada kulit dan syaraf. IFNγ dan TNF-α bertanggung jawab terhadap
terjadinya edema, inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan kerusakan jaringan
yang cepat.8
Tabel 4. Gambaran reaksi kusta tipe 18
25
(MDT). ENL diduga merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen
antibodi pada pembuluh darah. Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III menurut
Coomb & Gel. 8
Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, sehingga
banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi IgG, IgM dan
komplemen C3 membentuk kompleks imun yang terus beredar dalam sirkulasi
darah dan akhirnya akan di endapkan dalam berbagai organ sehingga
mengaktifkan sistem komplemen Berbagai macam enzim dan bahan toksik yang
menimbulkan destruksi jaringan akan dilepaskan oleh netrofil akibat dari aktivasi
komplemen. 8
Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL 13 dan IL-
10 (respon tipeTh-2) serta peningkatan, IFN-γ danTNF-α. IL-4, IL-5, IFN-γ,TNF-
α bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu dan kerusakan jaringan selama
terjadi reaksi ENL. 8
Reaksi ENL cenderung berlangsung kronis dan rekuren. Kronisitas dan
rekurensi ENL menyebabkan pasien kusta akan tergantung kepada pemberian
steroid jangka panjang.8
26
Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat
Kulit Nodus sedikit, dapat Nodus banyak, nyeri,
ulserasi berulserasi
Demam ringan dan Demam tinggi dan
malaise malaise
Syaraf tepi Membesar Sangat membesar
Tidak ada nyeri tekan Nyeri tekan
Gangguan fungsi
syaraf
Fungsi tidak ada
gangguan
Organ tubuh Tidak ada gangguan Terjadi peradangan
organ-organ dari tubuh pada:
mata: nyeri,
penurunan visus,
merah sekitar limbus
Testis: lunak, nyeri
dan membesar
27
Pengobatan ENL8
Obat paling sering dipakai ialah obat kortikosteroid, antara lain
prednisone. Dosisnya tergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednisone
15-30 mg per hari. Makin berat reaksi nya makin tinggi dosisnya tetapi sebaliknya
bila reaksi terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi
dosisnya diturun secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Pemberian dapat
ditambahkan dengan obat analgetik antipiretik dan sedatif. Obat yang dianggap
sebagai pilihan utama adalah talidomid, tetapi harus berhati-hati karena
mempunyai efek teratogenik. Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat
juga dipakai sebagai antireaksi ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Makin
berat reaksinya semakin tinggi dosisnya biasanya antara 200-300 mg sehari.
2. Pemberian Lampren
ENL yang berat dan berkepanjangan dan terdapat ketergantungan pada
steroid perlu ditambahkan lampren untuk dewasa 300 mg perhari selama
2-3 bulan. Bila ada perbaikan turunkan menjadi 200 mg per hari selama 2-
3 bulan. Bila ada perbaikan turunkan menjadi 100 mg perhari selama 2-3
bulan, dan selanjutnya kembali pada dosis lampren semula, 50 mg perhari,
bila penderita masih dalam pengobatan MDT, atau stop bila penderita
sudah dinyata RFT. Pada saat yang sama dosis prednison diturunkan
secara bertahap.8
28
Gambar 16. Reaksi Reversal8
2.15 Komplikasi
Cacat7
1. Klasifikasi Cacat
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensitibilitas, tidak ada kerusakan atau
deformitas yang terlihat
Tingakt 1 Ada gangguan sensitibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang
terlihat
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 Tidak ada kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk visus)
Tingkat 1 Ada kelainan atau kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus
sedikit berkurang
Tingkat 2 Ada kelainan mata yang terlihat dan atau visus sangat terganggu
Catatan : kerusakan atau deformitas pada tangan dan kaki termasuk ulserasi,
absorbsi, mutilasi, kontraktur, sedangkan pada mata termasuk anestesi kornea,
iridosiklitis, dan lagoftalmus.
2. Pencegahan Cacat
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities
(POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan
MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda rekasi
kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan
kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita
diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang
telah terkena, memakai sarung tangan bila berkerja dengan benda tajam atau
panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu di ajarkan
pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada
29
atautidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki di rendam,
disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.7
Rehabilitas
Usaha rehabilitas medis yang dilakukan untuk cacat tubuh antara lain
dengan cara operasi dan fisioterapi meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke
asal tetapi fungsi dan secara kosmetik dapat di perbaiki.7
2.16 Prognosis
Dengan adanya obat-obatan kombinasi, pengobatan menjadi lebih
sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada
kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik.2
DAFTAR PUSTAKA
1. Menaldi SL, dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed VII (Cetakan
Keempat 2017). Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2017
2. CDC. (2003). Hansens's Disease (Leprosy), retrieved December 2003 from
http://cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/hansen-a.htm.htm. Last update:
February 11, 2014
30
3. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penakit Kulit. Ed. 3. Jakarta: EGC,
2014
4. Ditjen PPM & PL. Buku Pedoman Program P2 Kusta Bagi Petugas
Puskesmas. Jakarta : Sub Direktorat Kusta & Frambusia, 2000
5. Dinkes Prop.Sumsel. Modul pemberantasan penyakit kusta. Palembang :
tidak diterbitkan, 2003
6. Djuanda Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2009
7. Kumar H, Kumar B. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers Ltd; 2010.
8. Graham, Robin. Lecture Notes Dermatologi. Jakarta; Erlangga, 2002
9. Agusni I, Menaldi SL. Beberapa Prosedur Diagnosis Baru Pada Penyakit
Kusta. Dalam: Syamsoe Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H,
editor. Kusta. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003
10. Djuanda.A., Menaldi. SL., Wisesa.TW., dan Ashadi. LN. Kusta : Diagnosis
dan Penatalaksanaan. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1997
11. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Mycobacterium_leprae diakses pada tanggal
24 maret 2018 jam 10.45 WIB
12. http://fales.co/blog/laporan-pendahuluan-morbus-hansen.html diakses pada
tanggal 24 maret 2018 jam 10.50 WIB
13. http://fkunand2010.files.wordpress.com/2013/05/kusta-revisi-dr-rina diakses
pada tanggal 24 maret 2018 jam 11.00
31