Anda di halaman 1dari 29

Nama anak : An “L”

Umur : 4 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Nomor Register : 10261115
Lahir : Normal (Spontan B)
Tempat/tanggal lahir : Surabaya, 3 Januari 2003
Diagnosa Medis : Meningtis
Tanggal MRS : 13 April 2003 jam 23.30 WIB
Nama Ibu : Ny. “H”
Umur : 34 tahun
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : -
Penghasilan : -
Alamat : Pucang Jajar 42 Surabaya

Nama Ayah : Tn. “B”


Umur : 36 tahun
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Pucang Jajar 42 Surabaya

A. Riwayat kesehatan
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Perjalanan penyakit sekarang
Tanggal 7-9-2001 jam 14.30 WIB Anak mulai panas lalu diberi obat penurun panas
(Sirup Salmol) 1 kali dan dikompres, disertai batuk dan pilek. Tetapi panas tidak turun.
Muntah sebanyak 2 kali yaitu jam 23.30 WIB dan 01.30 WIB sebanyak ± 2-3 sendok
makan dengan berisi makanan. Lalu kejang terjadi pada jam 02.30 WIB sebanyak 1 kali,
lamanya ± 5-10 menit, tidak mengeluarkan busa dari mulut. Keadaan saat kejang adalah
mata melirik ke atas, kedua tangan fleksi, dan kedua kaki kaku (ekstensi). Setelah kejang
terjadi anak langsung menangis. Batuk tidak mengeluarkan dahak, suara grok-grok,
konsistensi pilek agak kental, jernih, dan keluar kadang-kadang, tetapi tidak sesak.
b. Keluhan utama : Kejang
c. Penyakit Riwayat Dahulu
Sebelumnya anak tidak pernah menderita/mengalami kejang, epilepsi, trauma kepala,
radang selaput otak, ostitis media akut. Penyakit yang pernah diderita anak yaitu panas,
batuk, pilek tetapi jarang terjadi.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Ayah : tidak ada keluarga yang menderita penyakit epilepsi, kelainan syaraf, penyakit
menular ataupun menurun dari ayah.
Ibu : ibu menderita hipotensi. Orang tua perempuan ibu menderita penyakit diabetes
mellitus sejak tahun 1992, dari keluarga ibu tidak ada yang menderita kelainan
syaraf, epilepsi.
Anak : kakaknya menderita sakit batuk dan pilek selama satu minggu

B. Pola Kebiasaan dan Fungsi


1. Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat
Sebelum sakit : mandi 2 kali/hari, keramas 2 kali/minggu, ganti celana setiap ngompol,
baju ganti tiap pagi dan sore.
Setelah sakit : mandi 2 kali/hari, tidak pernah keramas, ganti baju tiap pagi dan sore
dan celana ganti tiap ngompol.
Keluarga sangat khawatir saat anaknya kejang karena selama ini tidak ada keluarga yang
kejang. Keluarga tidak tahu cara pencegahan dan pertolongan kejang. Kalau anak sakit
biasanya dibawa ke dokter atau rumah sakit bila setelah diberi obat paracetamol atau
bodrexin tidak sembuh. Anak bila sakit rewel, sering minta digendong. Anak tampak
takut bila ada petugas kesehatan yang akan melakukan perawatan/ tindakan medik.
2. Pola Nutrisi
Sebelum sakit : makan 3-4 kali/hari, dengan porsi satu mangkuk kecil habis, tidak ada
pantangan dalam makanan, komposisinya nasi tim dan lauknya
bervariasi tiap hari yaitu tahu, tempe, ikan laut, telur dan daging
kadang-kadang dengan ukuran 1 satu porsi sebesar korek api. Sayurnya
seperti bayam, sup, soto, dan lain-lain.
Minum : air putih ± 3 – 5 gelas (ukuran 100 cc), anak masih menetek.
Selama sakit : sehari makan 3 kali/hari, porsi yang disediakan rumah sakit dimakan
separuh. Komposisinya nasi tim, lauk, sayur, dan buah. Anak lebih
sering menetek. Minum air putih ± 4 – 6 kali/100 cc, pasi (SGM 2) baru
diberikan 2 sendok lalu dimuntahkan.
3. Pola Eliminasi
Sebelum sakit : BAK ± 4 – 5 kali/hari, warna kuning, nyeri tidak ada. BAB lancar
setiap pagi hari, konsistensi lembek, warna kuning.
Selama sakit : BAK ± 4 – 5 kali/hari, warna kuning, nyeri tidak ada. BAB setiap hari,
konsistensi lembek, warna kuning.
4. Pola Aktivitas dan Latihan
Sebelum sakit : Bermain bersama kakaknya ± 4 – 5 jam sehari, waktu terbanyak
bersama ibu. Bersama ayah kadang–kadang, antara 3 – 4 jam. Biasanya
anak juga bermain sendiri sambil melihat TV atau mendengarkan musik
sambil menari.
Selama sakit : aktivitas anak menjadi menurun karena terpasang infus di tangan kiri,
anak sering minta digendong ibu.
5. Pola Tidur dan Istirahat
Sebelum sakit : tidur malam antara jam 20.00 – 05.00 WIB, siang tidur antara jam
12.00 – 15.00 WIB, terbangun bila ngompol.
Selama sakit : pada siang hari tidurnya sulit ± ½ - 1 jam, tidurnya sering terbangun
dan rewel minta digendong. Pada malam hari tidurnya jam 01.00 –
04.00 WIB, anak rewel dan tidurnya sering terjaga.
C. Pemeriksaan Umum
1. Keadaan umum : lemah
2. Kesadaran : composmentis
3. Tekanan darah :-
Nadi : 132 kali/menit
Respirasi : 30 kali/menit
Suhu : 38,2 ºC
4. BB / TB : 9 kg / 77 cm
Status gizi : 2n + 8
2(1,5) + 8 = 11 kg
9/11 x 100 % = 81,8 % (gizi kurang)
5. Pemeriksaan Fisik Umum
1. Kepala
Tak ada tanda – tanda mikrochepali ataupun makrochepali, lingkar kepala 46 cm,
ubun – ubun besar menutup, bentuk kepala normal.
2. Rambut
Warna pirang, rambut tidak mudah dicabut, ketebalan rambut cukup, tidak terdapat
kutu.
3. Muka / wajah
Tidak ada rhisus sardonicus, simetris, tidak terdapat oedema, wajah tidak tampak
pucat.
4. Mata
Ketajaman penglihatan baik, palpebra simetris, tak ada midriasis atau
miosis, sklera tidak ikterus, konjungtiva tak anemis, pergerakan normal, tak ada
strabismus.
5. Hidung
Bentuk normal, tidak terdapat epistaksis, nampak keluar sekret
berwarna kental dan jumlahnya sedikit, tidak ada polip, tidak ada pernapasan
cuping hidung.

6. Telinga
Simetris kanan dan kiri, pendengaran normal, tak tampak keluar cairan.
7. Mulut
Simetris, tak tampak cyanosis, gigi berjumlah 8 buah, tak ada karies, lidah bersih,
tidak terdapat stomatis, tak ada strismus, bibir tampak kering dan pecah-pecah
8. Tenggorokan
Tonsil tak tampak kemerahan dan tak tampak pembesaran, faring tampak
kemerahan, tak ada eksudat.
9. Leher
Tak ada kaku kuduk, tak ada pembesaran kelenjar tiroid, tak ada pembesaran vena
jugularis, tak ada pembesaran kelenjar getah bening.
10. Dada / Thorax
Lingkar dada 46 cm, bentuk dada normal, tak ada refraksi intercostal, tidak terdapat
ronchi, tak ada wheezing, pernaasan cepat dan iramanya teratur.
11. Jantung
Detak jantung normal dan frekwensinya teratur
12. Abdomen
Turgor kulit cukup, tak ada meteorismus, keadaan lien dan hepar normal, tidak
teraba benjolan / tumor, gerak peristaltik normal.
13. Kulit
Kebersihan kulit cukup, tidak ada hemangioma, tidak ada oedem, kulit teraba
panas.
14. Ekstrimitas
Ekstrimitas atas: tak ada oedem, pergerakan normal, pada tangan kiri terpasang
infus sejak8 september 2001, tak ada tanda – tanda flebitis, akral hangat, lila = 14
cm.
Ekstrimitas bawah: tak ada oedem, pergerakan normal, akral hangat.
15. Genetalia
Vulva : kebersihan cukup, tidak tampak keluar sekret, tidak ada oedema
maupun iritasi.
Anus : kebersihan cukup, haemorroid tidak tampak.
D. Pemeriksaan Penunjang
Data Laboratorium
Laboratorium 8 – 9 2001 jam 03.30
Pemeriksaan darah
HB : 12,00 gr % (P 11,4 – 15,1)
Leukosyt : 19 x 109/L (P 4,3 – 11,3)
Trombosyt : 173 x 109/L (150 – 350)
PCV : 0,35 (P 0,38 – 0,42)
Glukosa darah acak : 288 mq/dl (< 200)
Elektrolit : Kalium = 3,60 meq/L (3,8 - 5)
Natrium : 133 meq/L (135 - 144)
LP (lumbal pungsi) : Keluarga menolak walaupun sudah diberikan penjelasan
tujuan dan prosedurnya.
Data Lain
Therapi yang diberikan :
8-9-2001 : Ampicilin 3x300 mg IV
Paracetamol 3x100 mg P.O
Diazepam 2,7 mg IV (bila kejang)
Infus D5 ¼ S 500 cc/24 jam.
E. Analisa Data
Tabel Analisa dan Sintesa Data
No Pengelompokan data Kemungkinan Penyebab Diagnosa/masalah
1 Tanggal 8-9-2001 Hipertermia Potensial kejang
jam 11.00 WIB ¯ ulang
S : Ibu mengatakan bahwa gangguan metabolisme
anaknya masih panas dan otak
rewel minta menetek terus, ¯
sebelumnya anak tidak Perubahan
pernah sakit kejang. keseimbangan dari sel
O : keadaan composmentis neuron
Tanda vital : ¯
S : 38,2oC difusi ion kalium dan
N : 132x/mnt natrium
RR : 30x/mnt ¯
Kulit terasa panas, akral Lepas muatan listrik
hangat, anak tampak rewel ¯
dan sedang menetek. Bibir kejang
tampak kering dan pecah-
pecah , turgor kulit cukup.
Pemeriksaan
laboratorium: Hb : 12 gr %
(N : 11,4-15,1)
Leucocyt : 9x109/L
(N : 4,3-11,3)
Trombocyt : 173x109/L
(N : 150-350)
PCV : 0,35
(N : 0,38-0,42)
Glukosa darah acak :
288 mq/dl
(N kurang dari 200)
Elektrolit :
- Kalium : 3,6 meq/L (N :
3,8-5)
- Natrium : 133 meq/L (N :
135-144)
1 Tanggal 8-9-2001 Hipertermia Potensial kejang
jam 11.00 WIB ¯ ulang
S : Ibu mengatakan bahwa gangguan metabolisme
anaknya masih panas dan otak
rewel minta menetek terus, ¯
sebelumnya anak tidak Perubahan
pernah sakit kejang. keseimbangan dari sel
O : keadaan composmentis neuron
Tanda vital : ¯
S : 38,2oC difusi ion kalium dan
N : 132x/mnt natrium
RR : 30x/mnt ¯
Kulit terasa panas, akral Lepas muatan listrik
hangat, anak tampak rewel ¯
dan sedang menetek. Bibir kejang
tampak kering dan pecah-
pecah , turgor kulit cukup.
Pemeriksaan
laboratorium: Hb : 12 gr %
(N : 11,4-15,1)
Leucocyt : 9x109/L
(N : 4,3-11,3)
Trombocyt : 173x109/L
(N : 150-350)
PCV : 0,35
(N : 0,38-0,42)
Glukosa darah acak :
288 mq/dl
(N kurang dari 200)
Elektrolit :
- Kalium : 3,6 meq/L (N :
3,8-5)
- Natrium : 133 meq/L (N :
135-144)
2 Tanggal 8-9-2001 Proses penyakit Gangguan
jam 11.00 WIB (faringitis) pemenuhan nutrisi
S : Ibu mengatakan porsi dari ¯
rumah sakit dihabiskan kesulitan dalam menelan
separuh, pasi (SGM 2) baru ¯
diberikan 2 sendok, lalu asupan nutrisi berkurang
dimuntahkan, anak sering
menetek, dan minum air
putih + 4 - 6x/100cc
O : turgor kulit cukup, wajah
dan telapak tangan tidak
pucat. Konjungtiva tidak
anemis.
BB : 9 kg (N : 11 kg)
Status gizi kurang
Lila : 14 cm
3 Tanggal 8-9-2001 jam 11.00 Kurangnya atau Kurangnya
WIB keterbatasan informasi pengetahuan
S . Ibu bertanya mengapa bisa ¯
terjadi kejang padahal sering bertanya
sebelumnya anak tidak
pernah kejang dan panasnya
belum turun setelah diberi
obat penurun panas.
O : Ibu tampak khawatir dengan
keadaan anaknya. Ibu sering
bertanya tentang keadan
anaknya dan setiap tindakan
yang akan dilakukan.
E. Diagnosa Keperawatan
1. Potensial terjadi kejang ulang berhubungan dengan hiperthermi
2. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan nyeri saat menelan yang ditandai
dengan porsi makan tidak dihabiskan, BB kurang dari normal, anak tidak mau PASI.
3. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan informasi yang ditandai dengan
keluarga sering bertanya tentang penyakit anaknya.

F. Intervensi

No. Rencana Rasional

1. Tanggal 8-9-2017 jam 11.30 WIB


Potensial kejang berulang
berhubungan dengan hipertermi
Tujuan : kejang ulang tidak terjadi
dalam waktu 2x24 jam
Kriteria :
- Tidak terjadi serangan ulang
- Suhu tubuh normal (36-37,5oC)
- Nadi (100-110 x /mnt)
- RR (24-28 x /mnt)
- Kesadaran composmentis
Rencana :
1. 1. Longgarkan pakaian, berikan
1. Proses konveksi akan terhaalang
pakaian tipis yang menyerap keringat oleh pakaian ketat dan tidak menyerap
2. 2. Berikan kompres dingin pada kepala keringat
dan ketiak 2. Perpindahan panas secara konduksi
3. Berikan ekstra cairan (pasi, asi, sari
buah, dan lain-lain) 3. Saat demam kebutuhan akan cairan
Cairan: 1150–1300 cc/24 Jam tubuh semakin meningkat
4. Observasi kejang dan tanda vital
tiap 4 jam 4. Pemantauan yang teratur
menentukan tindakan yang akan
5. Batasi aktivitas selama anak panas dilakukan selanjutnya
5. Aktivitas dapat meningkatkan
metabolisme sehingga meningkatkan
6. Berikan anti piretika dan suhu tubuh
pengobatan sesuai advise dokter
- Valium 2,7 mg IV (bila kejang) 6. Menurunkan panas pada pusat
- Ampicillin 3 x 300 mgIV hipotalamus dan sebagai propilaksis
- Paracetamol 3 x 100 mg (per oral)
7. Berikan health education kepada
keluarga tentangpersonal hygene:
membersihkan daerah bibir dengan
7. Menjaga kebersihan dan
air hangat 2 x/hari dan mengolesi kelembaban bibir
bibir dengan madu
Tanggal 8-9-2001 jam 11.10 WIB
Diagnosa / masalah :
Gangguan pemenuhan nutrisi
berhubungan dengan nyeri saat
2 menelan
Tujuan : nutrisi terpenuhi dalam 2x24
jam
Kriteria :
- porsi makan yang disediakan
dihabiskan
- anak mau minum pasi
- BB anak meningkat
- turgor kulit baik, konjungtiva tidak
anemis
Rencana :
1. Beri penjelasan pada keluarga
tentang penyebab gangguan
pemenuhan nutrisi, pentingmya nutrisi
1. Dengan pemberian penjelasan
bagi tubuh dan cara mengatasinya keluarga diharapkan mengerti, dan
2. Berikan health educational kepada dapat mendukung program perawatan
keluarga tentang : yang diberikan
- berikan makanan pada anak dengan
porsi kecil dan frekuensinya sering 2. Untuk mengurangi nyeri saat
- berikan pasi ditambah dengan menelan dan untuk mencukupi
madu secara bertahap kebutuhan nutrisi
3. Kolaborasi dengan tim gizi untuk
pemberian diit :
TKTP 900 kalori, 20 gr protein
PASI 6 x 100 cc
4. Observasi intake dan output 3. Sebagai fungsi dependen
perawat/bidan dengan ahli lain.
5. Lakukan penimbangan BB tiap hari

4. Mengetahui keseimbangan jumlah


nutrisi tubuh.
5. deteksi perubahan BB sebagai
evaluasi pemberian diit
3 Tanggal 8-9-2001 jam 11.30 WIB
Masalah : kurangnya pengetahuan
keluarga tentang penyakit
berhubungan dengan keterbatasan
informasi
Tujuan : pengetahuan keluarga
bertambah tentang penyakit anaknya
dalam 24 jam
Kriteria :
- keluarga tidak sering bertanya
tentang penyakit anaknya
- keluarga mampu diikutsertakan
dalam proses perawatan
- keluarga mentaati setiap proses
perawatan 1. Mengetahui sejauh mana
Rencana : pengetahuan yang dimiliki keluarga
1. Kaji tingkat pengetahuan keluarga dan kebenaran informasi yang didapat
2. Agar keluarga dapat menerima
informasi dengan mudah dan tepat
2. Beri penjelasan tentang penyakit sehingga tidak timbul kesalahpahaman
yang diderita anak dan semua prosedur sehingga keluarga lebih kooperatif
perawatan yang akan dilakukan 3. Sebagai upaya alih informasi dan
mendidik keluarga agar mandiri dalam
3. Berikan health education cara mengatasi masalah kesehatan
menolong anak kejang dan mencegah
kejang :
- jangan panik saat kejang
- baringkan anak di tempat rata dan
lembut
- kepala dimiringkan
- pasang gagang sendok di mulut
yang telah dibungkus kain bersih
- setelah kejang berhenti dan anak
sadar segera minumkan obat dan
tunggu sampai keadaan tenang
- jika suhu tinggi, lakukan kompres
4. Mencegah peningkatan suhu lebih
dingin dan beri minum banyak tinggi dan serangan kejang ulang
- segera bawa ke RS bila kejang
lama
4. Berikan helath education agar selalu
sedia obat penurun panas (sesuai
5. Sebagai upaya preventif serangan
dengan anjuran dokter) bila anak panas kejang ulang
segera bawa RS bila suhu belum turun
24 jam berikutnya
5. Jika anak sembuh, jaga agar tidak
6. Imunisasi pertusis memberikan
terkena penyakit infeksi dengan reaksi panas yang dapat menyebabkan
menghindari penderita penyakit kejang ulang
menular sehingga tidak mencetuskan
kenaikan suhu
6. Beritahu keluarga agar memberikan
informasi pada petugas imunisasi
bahwa anaknya pernah mendapat
serangan kejang sehingga pemberian
imunisasi DPT tidak diberikan
pertusis, hanya DT saja

3.5
Pelaksanaan

Tabel 3.3
Pelaksanaan
Pelaksanaan
Pada Kasus
Kejang
Demam

Tanggal / Jam
Tanggal 8-9- Diagnosa : potensial terjadi kejang ulang berhubungan dengan
2001 hiperthermi
1. Melonggarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah
Jam 11.30 menyerap keringat
WIB 2. Memberikan kompres dingin pada kepala dan ketiak
3. Memberikan ekstra cairan :
infus : D5 ¼S . 500 cc/24 jam,ASI
Jam 11.31 minum pasi : anak menolak (dimuntahkan)
WIB 4. Mengobservasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam
N : 132x/mnt RR : 30x/mnt
Jam 11.32 Taxila : 38,2oC
WIB 5. Membatasi aktivitas selama anak panas. Terapi : bed rest
6. Memberikan antipiretika dan pengobatan sesuai advise :
Terapi :
- Valium 2,7 mg IV (bila kejang)
Jam 11.35
- Ampicillin 3x300 mgIV
WIB - Paracetamol 3x100 mg (per oral)
7. Memberikan health education kepada keluarga tentang personal
hygiene : membersihkan daerah bibir dengan air hangat 2 x/hari, dan
mengolesi bibir dengan madu
Jam 11.40 Diagnosa/masalah : ganggguan pemenuhan nutrisi berhubungan
WIB dengan nyeri saat menelan
1. Memberikan penjelasan pada keluarga tentang penyebab
Jam 07.00 gangguan pemenuhan nutrisi, pentingnya nutrisi bagi tubuh dan cara
WIB mengatasinya
Jam 15.00
2. Memberikan health education kepada keluarga tentang :
WIB - Berikan makanan kepada anak dengan porsi kecil dan
Jam 23.00 frekuensinya sering
WIB - Berikan pasi ditambah dengan madu secara bertahap
3. Melakukan kolaborasi dengan tim gizi untuk pemberian diit.
TKTP : 900 kalori, 20 gr protein
PASI : 6 x 100 cc/24 jam
4. Mengobservasi intake dan output.
Jam 11.50 PASI : diberi 2-3 sendok lalu dimuntahkan
WIB 5. Melakukan penimbangan BB tiap hari
BB : 9 kg

Tanggal 8-9-
2001

Jam 11.45
WIB

Jam 11.50
WIB

Jam 11.52
WIB
Jam 12.00
WIB

Jam 11.55
WIB

.Tanggal 8 Masalah : Kurangnya pengetahuan keluarga tentang penyakit


September berhubungan dengan keterbatasan informasi.
2001 1. Mengkaji tingkat pengetahuan keluarga.
2. Memberikan penjelasan tentang penyakit yang diderita anak dan semua
prosedur perawatan yang akan dilakukan
3. Memberikan health education cara menolong anak kejang dan
Jam 11.55 mencegah kejang :
WIB 1. Jangan panik saat kejang
2. Baringkan anak di tempat rata dan lembut.
Jam 12.003. Kepala dimiringkan.
WIB 4. Pasang batang sendok di mulut yang telah dibungkus kain bersih.
5. Setelah kejang berhenti dan anak sadar segera minumkan obat dan
tunggu sampai keadaan tenang.
6. Jika suhu tinggi, lakukan kompres dingin dan beri minum banyak.
Jam 12.057. Segera bawa ke RS bila anak kejang.
WIB 4. Memberikan health education agar selalu sedia obat penurun panas
(sesuai dengan advis) bila anak panas, segera bawa ke RS bila suhu
belum turun 24 jam berikutnya.
5. Jika anak sembuh, jaga agar tidak terkena penyakit infeksi dengan
menghindari penderita penyakit menular sehingga tidak mencetuskan
kenaikan suhu.
6. Memberitahukan keluarga agar memberikan informasi pada petugas
imunisasi bahwa anaknya pernah mendapat kejang sehingga
pemberian imunisasi DPT tidak diberikan pertusis, hanya DT saja.

Jam 12.10
WIB

Jam 12.15
WIB

Jam 12.20
WIB
Evaluasi dan Catatatan Perkembangan
1. Diagnosa / masalah : potensial terjadi kejang berulang berhubungan dengan hiperthermi
Catatan Perkembangan
Tanggal 9-9-2001 jam 09.00 WIB
S : Ibu mengatakan kalau anaknya tidak mengalami kejang ulang dan badannya masih
panas, anak masih rewel, ibu sudah membersihkan bibir anaknya dan mengolesi dengan
madu.
O : Kejang ulang tidak terjadi, badan teraba panas akral hangat, turgor kulit baik, anak
tampak rewel, kelembaban bibir cukup, bibir tampak bersih.
Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda vital :
S : 38oC N : 128 x/mnt RR : 28 x/mnt
A : Tujuan belum berhasil
P : Rencana dipertahankan
1. Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah menyerap keringat
2. Berikan kompres dingin pada kepala dan ketiak
3. Berikan ekstra cairan
Infus : D5 ¼ S 500cc / 24 jam, ASI, PASI : 6 x 100cc
4. Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam
5. Batasi aktivitas selama anak panas
6. Berikan pengobatan sesuai dengan advis dokter.
Terapi : Valium 2,7 mgIV (bila kejang)
Ampicilin 3 x 300 mgIV
Paracetamol 3 x 100 mg per oral
Evaluasi
Tanggal 10-9-2001 jam 11.00 WIB
S : Ibu mengatakan kalau anaknya tidak mengalami kejang ulang, badannya tidak panas lagi,
anak tidak rewel dan bisa tidur nyenyak, anak kembali ceria lagi.
O : Kejang ulang tidak terjadi kulit tidak teraba panas, turgor kulit baik anak tampak ceria,
infus dilepas sejak jam 09.00 WIB
Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda vital :
S : 37,2oC N : 100 x/mnt RR : 25 x/mnt
A : Tujuan berhasil
P : Rencana dihentikan
2. Diagnosa / masalah : gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan nyeri saat
menelan
Catatan Perkembangan
Tanggal 9-9-2001 jam 10.00 WIB
S : Ibu mengatakan porsi makan yang disediakan dimakan separuh, anak mau minum PASI 2
- 3 x 100cc
O : BB : 9 kg, turgor kulit baik, akral tidak pucat, konjungtiva tidak anemi, PASI yang
diberikan diminum 2 – 3 x 100cc
A : Tujuan berhasil sebagian
P : Rencana no. 4 dan 5 dipertahankan
4. Obserasi intake dan output
5. Lakukan penimbangan BB tiap hari
Evaluasi
Tanggal 10-9-2001 jam 11.10 WIB
S : Ibu mengatakan nafsu makan anak bertambah, porsi makan yang disediakan habis,, PASI
yang diberikan diminum 5 – 6 x 100cc
O : BB : 9 kg, turgor lebih baik, akral tidak pucat, conjungtiva tidak anemis, anak masih
menetek, anak tampak ceria kembali
A : Tujuan berhasil sebagian
P : Rencana no. 4 dan 5 dipertahankan
4. Obserasi intake dan output
5. Lakukan penimbangan BB tiap hari

Catatan Perkembangan
Tanggal 11-9-2001 jam 08.00 WIB
S : Ibu mengatakan nafsu makan anak bertambah, porsi makan yang disediakan habis PASI
yang diberikan diminum 5 – 6 x 100 cc.
O : BB : 9 kg, turgor kurang baik, akral tidak pucat, conjungtiva tidak anemis, anak masih
menetek, anak tampak ceria dan bisa diajak bercanda
A : Tujuan berhasil sebagian
P : Rencana hari ini pulang.
3. Diagnosa / masalah : kurangnya pengetahuan keluarga tentang penyakit berhubungan dengan
keterbatasan informasi

Evaluasi
Tanggal 8-9-2001 jam 12.30 WIB
S : Ibu mengatakan sudah mengerti tentang penyakit anaknya dan cara pencegahannya.
O : Ibu / keluarga dapat mengulang kembali penjelasan yang diberikan
Keluarga mau dan mampu diikutsertakan dalam proses perawatan,
Keluarga tidak sering bertanya lagi tentang penyakit anaknya,
Keluarga mentaati setiap proses perawatan
A : Tujuan berhasil
P : Rencana dihentikan

BAB IV

ANALISIS JURNAL

Jurnal I

Kejadian Meningitis Bakterial pada Anak usia 6-18


bulan yang Menderita Kejang Demam Pertama
Anggraini Alam
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr.
Hasan Sadikin, Bandung
Latar belakang. Kebijakan melakukan pungsi lumbal pada anak yang menderita kejang demam
pertama sudah ditinggalkan di negara maju seiring dengan penurunan kejadian meningitis
bakterial sebagai keberhasilan imunisasi terhadap Haemophilus influenzae tipe B (Hib) dan
Streptococcus pneumonia. Namun cakupan kedua jenis imunisasi tersebut di negara berkembang
masih sangat rendah, sehingga kebijakan melakukan prosedur pungsi lumbal pada penderita
kejang demam pertama masih perlu dipertimbangkan.
Tujuan. Mengetahui kejadian meningitis bakterial pada pasien yang mengalami kejang demam
pertama pada usia 6-18 bulan.
Metode. Penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang dilaksanakan di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, dari 1 November 2007
sampai dengan 31 Desember 2010. Subyek penelitian adalah anak usia 6–18 bulan yang
mengalami kejang demam pertama. Semua subyek dilakukan pungsi lumbal, diagnosis
meningitis bakterial ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan likuor cerebrospinal (LCS)
adalah jumlah sel >7/mm3, perbandingan kadar gula dengan serum <0,4; protein > 80 mg/dL,
apus Gram ditemukan bakteri atau hasil biakan positif.
Hasil. Di antara 183 subyek penelitian, 72 (39,3%) pasien menderita meningitis bakterial yang
terutama ditemukan pada kelompok umur 6–12. Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok
meningitis dan bukan, yaitu lama kejang ≥15 menit (p=0,001), frekuensi kejang/24 jam
(p=0,001), penonjolan ubun-ubun besar (p=0,001), keluhan muntah, malas minum (p=0,001),
serta pernah mendapat antibiotik sebelumnya (p=0,001). Analisis regresi logistik menunjukkan
bahwa lama kejang ≥15 menit merupakan faktor utama yang berhubungan secara bermakna
dengan kejadian meningitis bakterialis (OR 15,84, IK95% 4,91–51,11, p=0,001).
Kesimpulan. Kejadian meningitis bakterial pada kejang demam pertama usia 6–18 bulan masih
cukup tinggi terutama pada usia 6–12 bulan. Lama kejang ≥15 menit secara bermakna
berhubungan dengan kejadian meningitis bakterial. Disarankan pemeriksaan pungsi lumbal tetap
harus dilakukan pada setiap anak usia kurang dari 18 bulan yang menderita kejang demam
pertama terutama apabila mengalami kejang lebih dari 15 menit. Sari Pediatri 2011;13(4):293-8.
Kejang demam sering dijumpai pada anak, sering membuat panik orang tua sehingga anak
dibawa ke rumah sakit, namun jarang sekali berakibat fatal.1,2 Insidensi kejang demam
bervariasi, yaitu 2%–5% di Amerika Serikat dan Eropa Barat, 5%–10% di India, 8,8% di Jepang,
dan 14% di Guam, sedangkan data dari negara berkembang lainnya sangat terbatas. Kejang
demam umumnya muncul di sekitar usia 6 bulan sampai 3 tahun, dan insidensi tertinggi pada
usia 18 bulan. Kejang pertama jarang disebabkan oleh meningitis,3-6 namun apabila disebabkan
meningitis akan menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, sehingga sangat penting
memastikan apakah kejang merupakan manifestasi infeksi susunan saraf pusat (SSP) atau
bukan.7 Meningitis bakterial merupakan infeksi SSP, terutama menyerang anak usia <2 tahun,
dengan puncak angka kejadian pada usia 6-18 bulan.8 Dibandingkan dengan beberapa dekade
yang lalu, pemberian antibiotic hanya berhasil menurunkan angka kematian meningitis bakterial
sekitar separuhnya, sedangkan beberapa infeksi lain dapat ditekan hingga duaratus kali.9
Penyebab utama meningitis pada anak adalah Haemophilus influenzae tipe B (Hib) dan
Streptococcus pneumoniae (invasive pneumococcal diseases/IPD). Insidens meningitis
bakterialis dinegara maju sudah menurun sebagai akibat keberhasilan imunisasi Hib dan IPD.10
Kejadian meningitis bakterial oleh Hib menurun 94%, dan insidensi penyakit invasif oleh
S.pneumoniae menurun dari 51,5-98,2 kasus/100.000 anak usia 1 tahun menjadi 0 kasus setelah
4 tahun program imunisasi nasional PCV7 dilaksanakan.11,12 Di Indonesia, kasus tersangka
meningitis bakterialis sekitar 158/100.000 per tahun, dengan etiologi Hib16/100.000 dan bakteri
lain 67/100.000, angka yang tinggi apabila dibandingkan dengan negara maju.13 Tindakan
pungsi lumbal adalah cara yang sangat penting untuk mengetahui apakah kejang demam
merupakan tanda dan gejala suatu infeksi SSP,6 namun sejak berbagai penelitian yang
dilaksanakan di negara maju memperlihatkan risiko meningitis pada anak kejang demam
sederhana setara dengan anak demam tanpa kejang, yaitu <1,3%, maka tindakan invasive
tersebut mulai jarang dilakukan di negara maju.14-18 Meningitis bakterial yang memberikan
gejala pertama kejang demam terjadi pada 24% kasus anak,19 pada anak usia prasekolah
angkkejadian tersebut lebih tinggi.20 Di Indonesia dengan cakupan imunisasi Hib dan IPD
sangat rendah, perlu dipertimbangkan meningitis bakterial sebagai salah satu penyebab kejang
demam pertama. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kejadian meningitis bakterial pada anak
usia 6–18 bulan yang menderita kejang demam pertama.
Metode
Penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang dilaksanakan di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Dr. Hasan Sadikin dari tanggal 1 November 2007 sampai dengan 31
Desember 2010. Subyek penelitian adalah anak usia 6–18 bulan yang mengalami kejang demam
pertama. Semua subyek dilakukan pungsi lumbal, diagnosis meningitis bakterial ditegakkan
berdasarkan hasil pemeriksaan likuor cerebrospinal (LCS): yaitu jumlah sel >7/mm3,
perbandingan kadar gula dengan serum <0,4; protein >80 mg/dL, apus LCS Gram ditemukan
bakteri atau hasil kultur positif. Pasien sindrom epilepsi, kelainan neurologis kronik (palsi
serebral, hidrosefalus, tumor otak), serta gangguan metabolik dan elektrolit, tidak diikutsertakan
dalam penelitian.
Variabel lama kejang, jumlah episode kejang dalam 24 jam, penonjolan ubun-ubun besar,
muntah, malas minum/menetek, serta pemberian antibiotik sebelum timbul kejang demam,
dibandingkan antara kelompok yang menderita meningitis bakterial dengan kelompok yang
bukan meningitis bakterial dengan menggunakan uji tabulasi silang (metode kai kuadrat) dan uji
Fischer
exact. Variabel yang menunjukkan perbedaan yang bermakna dianalisis lebih lanjut dengan
metode regresi logistik multipel. Penelitian telah mendapat persetujuan Bagian Komite Etik
Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin.
Hasil
Didapatkan 259 kasus kejang demam pertama anak usia 6–18 bulan berobat ke RSUP Dr. Hasan
Sadikin pada periode 1 November 2007 sampai 31 Desember 2010. Sebagian besar pasien
berasal dari daerah urban sekitar RSUP Dr. Hasan Sadikin dan belum pernah mendapat imunisasi
Hib maupun IPD. Enampuluh delapan (26,3%) pasien kejang demam pertama menolak tindakan
pungsi lumbal. Pungsi lumbal dilakukan terhadap 191 (73,7%) pasien yang telah
menandatangani surat persetujuan untuk mengikuti penelitian, namun 8 subyek tidak memiliki
data LCS
lengkap sehingga didapatkan 183 subyek yang dapat dianalisis (Gambar 1). Di antara 183
subyek, 88 (48,1%) adalah lakilaki dan 95 (51,9%) bayi perempuan, rata-rata usia subyek 11,4
bulan, kisaran suhu tubuh saat masuk rawat di rumah sakit 37,7–40,50C (median 38,70C).
Jumlah leukosit berkisar antara 3.000-54.000 (median 18.353/mm3, nilai normal untuk usia 6–18
bulan 5.000 17.500/mm3).21 Hasil analisis LCS tertera pada
Tabel 1.
Didapatkan 72 (39,3%) pasien kejang demam pertama memenuhi kriteria meningitis bakterial
sedangkan 111 (60,7%) pasien bukan meningitis. Semua subyek pada kelompok meningitis
bacterial mengalami peningkatan jumlah sel di atas >7 sel/ mm3, pada 37/72 (51,2%) dan 29/72
(40,3%) subyek berturut-turut disertai dengan perbandingan glukosa LCS/darah <0,4 dan
peningkatan nilai protein. Hasil kultur LCS positif ditemukan pada 20/72
(27,7%) kasus meningitis, yaitu S. pneumoniae (1), S. viridans (1), Enterococcus sp. (1), K.
pneumoniae (1), A. baumannii (1), S. aureus (2), S. hemolyticus (2), S. maltophilia (2), M.
catarrhalis (2), E. aerogenes (2), S.typhi (2), dan B. cepacia (2). Apus Gram LCS bakteri gram-
positif kokus tersusun duplo didapat dari pasien dengan hasil kultur LCS B. cepacia dan S.
viridans. Delapan (11,1%) pasien meningitis meninggal memiliki hasil kultur LCS S.
pneumoniae, H. influenzae
B, S. aureus, S. epidermidis, S. viridans, sedangkan 3 pasien tidak ditemukan pertumbuhan
bakteri. Tidak ada pasien dari kelompok bukan meningitis yang meninggal.
Tabel 2 memperlihatkan kelompok usia, jenis
kelamin, kondisi kejang, tanda dan gejala meningitis, serta riwayat pemberian antibiotik
sebelumnya, pada pasien meningitis bakterialis dan yang bukan menderita meningitis bakteralis.
Ditinjau dari variabel usia subyek, meningitis bakterial lebih sering ditemukan pada usia 6-<12
bulan (55,6% versus 36.9%, p=0,015), sedangkan pada usia 12–18 bulan dan jenis kelamin tidak
menunjukkan perbedaan bermakna diantara kelompok meningitis bakterial dan non meningitis.
Lama kejang ≥15 menit, frekuensi kejang >1 kali dalam 24 jam, penonjolan ubun-ubun besar,
keluhan muntah, malas minum atau menetek, serta telah mendapatkan antibiotic. sebelumnya,
terdapat perbedaan bermakna diantara kedua kelompok. Untuk mengetahui faktor utama yang
paling berperan dalam membedakan antara pasien meningitis dan yang bukan, dilakukan analisis
regresi logistic multipel (Tabel 3).
Dari analisis tersebut, lama kejang ≥15 menit adalah faktor risiko yang berhubungan secara
bermakna dengan kejadian meningitis (OR 15,84, IK95% 4,91–51,11, p=0,001)

Pembahasan
Subyek dari penelitian ini dipilih anak usia 6–18 bulan karena memiliki insidens meningitis
bacterial yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lain. Disamping memiliki kesesuaian
dengan fokus usia pada rekomendasi AAP untuk melakukan evaluasi prosedur neurodiagnostik
pada anak dengan kejang demam.24 Penelitian kami memperlihatkan kejadian meningitis
bakterialis yang cukup tinggi pada anak dengan kejang. demam pertama usia 6–18 bulan yaitu
39,3%. Penelitian di negara berkembang lain seperti di Pakistan, Iran, dan Nigeria, menunjukkan
bahwa kejadian meningitis ditemukan pada sekitar 25%–30% dari anak yang mengalami kejang
demam.3,20,23 Namun berbeda apabila dibandingkan dengan di negara maju, dengan semakin
baik keadaan sosioekonomi, pelayanan kesehatan, dan cakupan imunisasi Hib dan IPD, telah
menurunkan kejadian meningitis bakterialis pada anak dengan kejang demam menjadi 0,4%
1,2%.25 Ditinjau dari segi usia, meningitis bakterial lebih sering ditemukan pada anak usia 6-
<12 bulan yang mengalami kejang demam pertama (p<0,05). Temuan tersebut harus mendapat
perhatian khusus karena pada anak berusia muda tanda dan gejala meningitis seringkali tidak
khas sehingga sulit membedakan apakah kejang demam yang terjadi merupakan tanda dan gejala
meningitis atau bukan meningitis.24 Lama kejang ≥15 menit pada kelompok meningitis
bakterial ditemukan pada 59,7% subyek, lama kejang ini termasuk dalam kriteria kejang demam
kompleks.25 Penelitian kami menunjukkan bahwa lama kejang ≥15 menit merupakan faktor
risiko utama untuk terjadi meningitis bakterial pada anak usia 6–18 bulan yang mengalami
kejang pertama. Subyek yang mengalami kejang sama atau lebih dari 15 menit memiliki risiko
lebih dari 15 kali lipat untuk mengalami meningitis bacterial dibanding dengan subyek dengan
lama kejang kurang dari 15 menit. Penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa meningitis
bakterial dengan gejala pertama kejang demam, pada umumnya kejang demam yang terjadi
berbentuk kejang demam kompleks.3,20,23 Hal lain yang menarik dari hasil penelitian kami
adalah pemberian antibiotik sebelum anak mengalami kejang demam pertama memiliki
hubungan dengan gejala meningitis. Pemberian antibiotik sebelum terjadinya kejang demam
pertama baik sistemik
maupun oral tampaknya berhubungan dengan kejadian meningitis. Rosenberg dkk,26 melakukan
review terhadap pasien meningitis yang mendapat antibiotic oral sebelumnya, ternyata tanda dan
gejala meningitis menjadi tidak khas yaitu hanya berupa kejang demam. Penelitian lain bahkan
menunjukkan bahwa profil LCS mendekati normal dan sulit mendapatkan hasil apus Gram dan
kultur apabila pasien telah mendapat antibiotik >12 jam.27 Hasil penelitian kami diharapkan
dapat menjadi pertimbangan para klinisi dalam mengelola pasien yang
mengalami kejang demam pertama. Tindakan pungsi lumbal perlu dilakukan pada anak kejang
demam pertama usia 6–18 bulan terutama yang mengalami kejang ≥15 menit, dengan
mempertimbangkan pula kondisi lain seperti pemberian antibiotik sebelumnya serta status
imunisasi Hib dan IPD. The American Academy of Pediatrics pada tahun 2011 menyatakan
bahwa status imunisasi Hib dan IPD pasien merupakan salah satu kondisi yang harus
diperhitungkan dalam menentukan apakah pemeriksaan neurodiagnostik seperti pungsi lumbal
perlu dilakukan atau tidak.24 Keterbatasan penelitian ini adalah subyek yang diambil adalah
pasien yang datang ke RSUP Dr. Hasan Sadikin, rumah sakit tipe A yang merupakan rujukan
untuk Propinsi Jawa Barat. Penelitian lanjutan diperlukan dengan mengikutsertakan sejawat di
fasilitas kesehatan primer dan di rumah sakit kota/kabupaten untuk menggambarkan lebih baik
kejadian meningitis bakterial di masyarakat.
Kesimpulan
Prinsip kewaspadaan pada tiap anak usia 6–18 bulan yang mengalami kejang demam pertama
harus diterapkan terutama bila mengalami kejang ≥15 menit karena memiliki risiko tinggi
mengalami meningitis bakterial. Tindakan pungsi lumbal perlu dilaksanakan untuk memastikan
ada/tidaknya meningitis bakterial atau infeksi SSP lain. Keterlambatan penegakkan diagnosis
dan tata laksana akan berbahaya bagi keselamatan pasien di samping meningkatkan
kemungkinan kecacatan di kemudian hari. Penundaan tindakan lumbal pungsi tidak
direkomendasikan pada anak usia 6–18 bulan yang mengalami kejang demam pertama ≥ 15
menit.

Daftar pustaka
1. Hampers LC, Trainer JL, Listernick R. Setting based practice variation in the management of
simple fbrile seizure. Acad Emerg Med 2000; 7:21-7.
2. Verity CM. Do seizures damage the brain? The epidemiological evidence. Arch Dis Child.
1998;78:70-8.
3. Green SM, Rothrock SG, Clem KJ, Zurcher RF, Mellick L. Can seizures be the sole
manifestation of meningitis in febrile children? Pediatrics 1993; 92:527-34.
4. American Academy of Pediatrics, provisional Committee on Quality Improvement,
Subcommittee on Febrile
Seizures. Practice parameter: the neurodiagnostic evaluation of the child with a frst simple
febrile seizure. Pediatrics 1996; 97:769-72.
5. Trainor JL, Hampers LC, Krug SE, Listernick R. Children with frst-time simple febrile
seizures are at low risk of serious bacterial illness. Academic Emerg Med 2001; 8:781-7.
6. Rosman NP. Evaluation of the child who convulses with fever. Pediatr Drugs 2003; 5:457-61.
7. Sadleir LG, Scheffer IE. Febrile seizures. BMJ 2007; 334: 307-11.
8. Novariani M, Herini ES, SY Patria. Faktor risiko sekuele meningitis bakterial pada anak. Sari
Pediatri 2008; 9:342-7.
9. Feigin RD, Cutrer WB. Bacterial meningitis beyond the neonatal period. Feigin RD, Cherry
JD, DemmlerHarrison GJ, Kaplan SL, penyunting. Textbook of pediatric infectious diseases.
Edisi ke-6. Philadelphia. Sauders elsevier; 2009. h. 439 71.
10. Golnik A. Pneumococcal meningitis presenting with a simple febrile seizure and negative
blood-culture result.
Pediatrics 2007; 120:c428-33

Analisi Jurnal dengan metode PICOT

1. Populasi dan Sampel


Populasi : Meningitis pada anak RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Sampel :
2. Intervensi
Penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang dilaksanakan di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, dari 1 November
2007 sampai dengan 31 Desember 2010. Subyek penelitian adalah anak usia 6–18 bulan
yang mengalami kejang demam pertama. Semua subyek dilakukan pungsi lumbal,
diagnosis meningitis bakterial ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan likuor
cerebrospinal (LCS) adalah jumlah sel >7/mm3, perbandingan kadar gula dengan serum
<0,4; protein > 80 mg/dL, apus Gram ditemukan bakteri atau hasil biakan positif.
3. Comparasion
4. Out Came
Berdasarkam hasil penelitian dari jurnal tersebut diperoleh hasil di antara 183 subyek
penelitian, 72 (39,3%) pasien menderita meningitis bakterial yang terutama ditemukan
pada kelompok umur 6–12. Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok meningitis
dan bukan, yaitu lama kejang ≥15 menit (p=0,001), frekuensi kejang/24 jam (p=0,001),
penonjolan ubun-ubun besar (p=0,001), keluhan muntah, malas minum (p=0,001), serta
pernah mendapat antibiotik sebelumnya (p=0,001). Analisis regresi logistik menunjukkan
bahwa lama kejang ≥15 menit merupakan faktor utama yang berhubungan secara
bermakna dengan kejadian meningitis bakterialis (OR 15,84, IK95% 4,91–51,11,
p=0,001).
5. Time

Anda mungkin juga menyukai