Anda di halaman 1dari 27

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................. 2

B. Rumusan Masalah .............................................................................4

C. Tujuan Penulisan ...............................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

a. Apakah pengertian rahasia bank?...................................................................6

b. Bagaimanakah teori-teori rahasia bank?........................................................9

c. Bagaimanakah pengecualian rahasia bank?..................................................9

d. Bagaimanakah rahasia bank di Indonesia?.................................................13

e. Bagaimanakah pelanggaran-pelanggaran dalam rahasia bank?................15

f. Apa saja Peran atau kedudukan Lembaga Simpan Pinjam dalam

perbankan?......................................................................................................16

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................27

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara. Bahkan

pada era globalisasi sekarang ini, bank juga telah menjadi bagian dari system keuangan dan

system pembayaran dunia. Mengingat hal yang demikian itu, maka begitu suatu bank telah

memperoleh izin berdiri dan beroperasi dari otoritas moneter dari Negara yang bersangkutan,

bank tersebut menjadi "milik" masyarakat. Oleh karena itu eksistensinya bukan saja hanya

harus dijaga oleh para pemilik bank itu sendiri dan pengurusnya, tetapi juga oleh masyarakat

nasional dan global.

Kepentingan masyarakat untuk menjaga eksistensi suatu bank menjadi sangat penting,

lebih-lebih bila diingat bahwa ambruknya suatu bank akan mempunyai akibat rantai atau

domino effect, yaitu menular kepada bank-bank yang lain, yang pada gilirannya tidak mustahil

dapat sangat mengganggu fungsi sistem keuangan dan system pembayaran dari negara yang

bersangkutan. Hal ini adalah seperti yang pernah terjadi ditahun 1929-1933 ketika kurang lebih

9000 bank di Amerika Serikat, atau kurang lebih setengah dari jumlah bank yang ada pada

waktu itu gulung tikar.

Bank adalah suatu lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung mutlak pada

kepercayaan dari para nasabahnya yang mempercayakan dana simpanan mereka pada bank.

Oleh karena itu bank sangat berkepentingan agar kadar kepercayaan masyarakat, yang telah

maupun yang akan menyimpan dananya, terpelihara dengan baik dalam tingkat yang tinggi.

Mengingat bank adalah bagian dari sistem keuangan dan system pembayaran, yang masyarakat

luas berkepentingan atas kesehatan dari sistem-sistem tersebut, sedangkan kepercayaan

masyarakat kepada bank merupakan unsur paling pokok dari eksistensi suatu bank, maka

2
terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada perbankan adalah juga kepentingan masyarakat

banyak.

Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat

terhadap suatu bank. Faktor-faktor tersebut adalah:

1. Integritas pengurus

2. Pengetahuan dan Kemampuan pengurus baik berupa pengetahuan kemampuan manajerial

maupun pengetahuan dan kemampuan teknis perbankan.

3. Kesehatan bank yang bersangkutan

4. Kepatuhan bank terhadap kewajiban rahasia bank.

Sebagaimana dikemukakan di atas, salah satu faktor untuk dapat memelihara dan

meningkatkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank pada khususnya dan

perbankan pada umumnya ialah kepatuhan bank terhadap kewajiban rahasia bank. Oleh karena

itu, dalam makalah ini, penulis hendak mendeskripsikan materi terkait rahasia bank, dan apa

saja teori-teori yang berkaitan dengan rahasia bank.

Dalam perekonomian di Indonesia bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang

sangat diakui. Keberadaan lembaga keuangan dalam system perekonomian dan sektor

keuangan pada khusunya merupakan hal yang penting. Hal ini terutamaberkaitan dengan

masalah permodalan dan perputaran uang. Kegiatan usaha yang lazim dilakukan oleh bank

dalam menyalurkan dana adalah pemberian kredit, investasi surat berharga, mendanai transaksi

perdagangan nasional, penempatan dana di bank lain dan penyertaan modal saham. Dalam

praktek lembaga keuangan terdiri dari perbankan dan non perbankan[1]Krisis moneter dan

perbankan yang menghantam Indonesia pada tahun 1998 ditandai dengan dilikuidasinya 16

bank yang mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem

perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan

diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk

3
simpanan masyarakat (blanket guarantee). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden

Nomor 26 Tahun 1998 tentang "Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum" dan

Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang "Jaminan Terhadap Kewajiban

Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat".

Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat menumbuhkan kembali

kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang

terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi pengelola bank maupun

masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah

penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas

lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan

pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana

masyarakat. Oleh karena itu maka UU LPS ditetapkan pada 22 September 2004.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, agar pembahasan makalah ini tidak terlalu

melebar, maka penulis membatasinya dengan beberapa rumusan masalah, yakni sebagai

berikut:

1. Apakah pengertian rahasia bank?

2. Bagaimanakah teori-teori rahasia bank?

3. Bagaimanakah pengecualian rahasia bank?

4. Bagaimanakah rahasia bank di Indonesia?

5. Bagaimanakah pelanggaran-pelanggaran dalam rahasia bank?

6. Apa saja kedudukan Lembaga Simpan Pinjam dalam perbankan?

4
C. Tujuan Penulisan

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai

dalam penulisan makalah ini, yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengertian rahasia bank.

2. Untuk mengetahui teori-teori rahasia bank.

3. Untuk mengetahui pengecualian rahasia bank.

4. Untuk mengetahui rahasia bank di Indonesia.

5. Untuk mengetahui pelanggaran-pelanggaran dalam rahasia bank.

6. Untuk mengetahui peran atau kedudukan Lembaga Simpan Pinjam dalam perbankan

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Rahasia Bank

Dalam sistem hukum perbankan Indonesia, pengertian mengenai rahasia bank selalu

ditentukan dalam undang-undang yang mengatur lembaga perbankan. Namun demikian, sesuai

dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat rumusan tentang rahasia bank itu pun

mengalami perubahan, baik pengertian maupun ruang lingkupnya.

Mengenai pengertian dan ruang lingkup rahasia bank, sebelum berlakunya UU No. 7

Tahun 1998 jo. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dapat ditemukan dalam UU No. 23

PrP 1960 tentang Rahasia Bank dan dalam UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok

Perbankan.

Adapun rumusan mengenai rahasia bank menurut kedua undang-undang tersebut adalah

sebagaimana diuraikan berikut ini.

1. Menurut UU No. 23 PrP 1960 tentang Rahasia Bank

Dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 23 PrP 1960 tentang Rahasia Bank, dirumuskan bahwa

yang dimaksud dengan rahasia bank adalah:

Bank tidak boleh memberikan keterangan-keterangan tentang keadaan keuangan langganannya

yang tercatat padanya dan hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman

dalam dunia perbankan.

Adapun penjelasan Pasal 2 tersebut tersebut mengemukakan bahwa yang dimaksud

dengan langganan bank adalah orang-orang yang mempercayakan uangnya pada bank,

menerima cek, bunga dari bank, dan lain sebagainya, intinya semua orang dari pelaksanaan

tugas sehari-hari dari bank.

6
2. UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan

Ketentuan Pasal 36 UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan,

merumuskan bahwa yang dimaksud dengan rahasia bank adalah:

Bank tidak boleh memberikan keterangan-keterangan tentang keadaan keuangan nasabahnya

yang tercatat padanya dan hal lain-lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman

dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan rahasia

bank adalah segala keterangan mengenai keadaan keuangan dari langganan atau nasabah dan

hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman.

Ketentuan Pasal 36 UU No. 14 Tahun 1967 tersebut tidak secara jelas merumuskan

mengenai rahasia bank. Oleh karena itu, Bank Indonesia membuat suatu penafsiran resmi

mengenai hal tersebut yang dimuat dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 2/337 UPPB/PbP

perihal penafsiran tentang Pengertian Rahasia Bank, tanggal 11 September 1969. Menurut

Surat Edaran tersebut hal-hal yang dirahasiakan mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Keadaan keuangan yang tercatat padanya, ialah keadaan mengenai keuangan yang terdapat

pada bank yang meliputi segala simpanan yang tercantum dalam semua pos pasiva, dan segala

pos aktiva yang merupakan pemberian kredit dalam berbagai macam bentuk kepada yang

bersangkutan.

b. Hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan,

ialah segala keterangan orang atau badan yang diketahui oleh bank karena kegiatan dan

usahanya, yaitu:

1) Pemberian pelayanan dan jasa dalam lalu lintas uang, baik dalam maupun luar negeri.

2) Pengdiskontoan dan jual beli surat berharga.

7
3) Pemberian kredit.

3. UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 16 UU No. 7 Tahun 1992, yang dimaksud dengan

rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari

nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan.

Berkaitan dengan itu, ketentuan Pasal 40 ayat (1) menentukan bahwa bank dilarang

memberikan keterangan yang dicatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari

nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan,

kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44.

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dikemukakan bahwa makna yang terkandung dalam

pengertian rahasia bank adalah larangan-larangan bagi perbankan untuk memberi keterangan

atau informasi kepada siapa pun juga mengenai keadaan keuangan nasabah dan hal-hal lain

yang patut dirahasiakan dari nasabahnya, untuk kepentingan nasabah maupun kepentingan dari

bank itu sendiri.

Selanjutnya ketentuan Pasal 1 angka 16 tersebut diubah menjadi Pasal 1 angka 28 UU

No. 10 Tahun 1998, yang mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan rahasia bank adalah

segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan

simpanannya. Adapun Pasal 40 ayat (1) di atas diubah menjadi Pasal 40 ayat (1) UU No. 10

Tahun 1998, yang mengemukakan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai

nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal

41, 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.

Berdasarkan ketentuan di atas, menunjukkan bahwa pengertian dan ruang lingkup

mengenai rahasia bank yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1992 dan UU No. 10 Tahun 1998

memiliki perbedaan. Dalam UU No 7 Tahun 1992 ketentuan rahasia bank tersebut lebih luas,

karena berlaku bagi setiap nasabah dengan tidak membedakan antara nasabah penyimpan dan

8
nasabah peminjam. Adapun ketentuan rahasia bank yang ditentukan dalam UU No. 10 Tahun

1998 lebih sempit, karena hanya berlaku bagi nasabah penyimpan dan simpanannya saja.

B. Teori-teori Rahasia Bank

Ketentuan mengenai rahasia bank merupakan suatu hal yang sangat penting bagi

nasabah penyimpan dan simpanannya maupun bagi kepentingan dari bank itu sendiri, sebab

apabila nasabah penyimpan ini tidak mempercayai bank di mana ia menyimpan simpanannya

tentu ia tidak akan mau menjadi nasabahnya.

Berkaitan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, sesungguhnya bagaimana sifat

dari ketentuan rahasia bank tersebut? Menurut Drs. Muhammad Djumhana, S.H. dalam

bukunya Hukum Perbankan di Indonesia, terdapat dua teori mengenai rahasia bank, yaitu

sebagai berikut:

1. Teori Rahasia Bank yang Bersifat Mutlak

Menurut teori ini bank mempunyai kewajiban untuk menyimpan rahasia nasabah yang

diketahui bank karena kegiatan usahanya dalam keadaan apa pun, baik dalam keadaan biasa

atau pun keadaan luar biasa. Teori ini sangat menonjolkan kepentingan individu, sehingga

kepentingan negara dan masyarakat sering terabaikan.

2. Teori Rahasia Bank yang Bersifat Nisbi (Relatif)

Menurut teori ini bank diperbolehkan membuka rahasia atau memberi keterangan

mengenai nasabahnya, jika untuk kepentingan yang mendesak, misalnya untuk kepentingan

negara atau kepentingan hukum. Teori ini banyak dianut oleh bank-bank di banyak negara di

dunia, termasuk Indonesia.

C. Pengecualian Rahasia Bank

Pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank dalam UU No. 7 tahun 1992 jo. UU No.

9
10 Tahun 1998 adalah mengacu kepada ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun

1998 yang menentukan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah

penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, 41A,

Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A.

Berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (1) tersebut dapatlah diuraikan secara sistematis

pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank sebagai berikut:

1. Untuk Kepentingan Perpajakan

Mengenai pembukaan rahasia bank untuk kepentingan perpajakan ini diatur dalam

ketentuan Pasal 41 ayat (1) yang menentukan bahwa:

Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan

berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan

memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah

penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.

2. Untuk Kepentingan Penyelesaian Piutang Bank yang Telah Diserahkan kepada BUPLN/PUPN

Ketentuan Pasal 41A ayat (1) adalah landasan hukum untuk pembukaan rahasia bank

untuk kepentingan piutang bank yang telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan

Lelang Negara (BUPLN) atau Panitia Urusan Piutang (PUPN). Secara lengkap ketentuan Pasal

41A ayat (1) menentukan bahwa:

Untuk penyelesaian piutang bank yang telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan

Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin

kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk

memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan nasabah debitur.

3. Untuk Kepentingan Peradilan dalam Perkara Pidana

Pembukaan atau penerobosan terhadap ketentuan rahasia bank dapat juga dilakukan

10
dengan alasan untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana ditentukan oleh

Pasal 42 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998. Ketentuan Pasal 42 ayat (1) menentukan bahwa:

Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat

memberikan izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank

mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.

4. Dalam Perkara Perdata antara Bank dengan Nasabah

Menurut ketentuan Pasal 43 UU No. 10 Tahun 1998 bahwa:

Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, direksi bank yang bersangkutan dapat

menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan

dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut.

Ketentuan ini merupakan landasan hukum dan alasan dapat dibukanya atau diterobosnya

ketentuan rahasia bank untuk kepentingan penyelesaian perkara perdata antara bank dan

nasabahnya di pengadilan. Untuk itu direksi dari bank yang bersangkutan dapat memberikan

keterangan mengenai keadaan keuangan dari nasabah tersebut.

5. Dalam Tukar-menukar Informasi Antar Bank

Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998, bahwa dalam rangka tukar-

menukar informasi antar bank juga merupakan alasan untuk pembukaan atau penerobosan

ketentuan rahasia bank.

Pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa:

Dalam rangka tukar-menukar informasi antar bank, direksi bank dapat memberitahukan

keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.

Ketentuan di atas tentu dapat dilakukan jika ada suatu kepentingan dari bank yang

bersangkutan yang berkaitan dengan nasabah tersebut, dan tidak menimbulkan kerugian bagi

nasabah. Oleh sebab itu, pelaksanaan dari ketentuan ini lebih lanjut diatur oleh Bank Indonesia

sebagaimana ditentukan oleh Pasal 44 ayat (22) UU No. 10 Tahun 1998.

11
6. Atas Permintaan, Persetujuan atau Kuasa dari Nasabah Penyimpan atau Ahli Warisnya

Alasan-alasan pembukaan atau penerobosan ketentuan rahasia bank yang telah

dikemukakan di atas, pada dasarnya mengandung suatu kepentingan dari negara, kepentingan

penyelesaian perkara, dan kepentingan dari bank.

Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga mengatur mengenai

pembukaan atau penerobosan ketentuan rahasia bank atas dasar kepentingan dari nasabah

penyimpan sebagaimana diatur dalam Pasal 44A.

Pasal 44A ayat (1) menentukan bahwa:

Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis,

bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasa bah penyimpan pada bank yang

bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penyimpan tersebut.

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 44A ayat (2) diatur bahwa:

Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari penyimpan yang

bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan

tersebut.

Dari ketentuan Pasal 44A ayat (1) dan (2) di atas, menunjukkan bahwa bank

berkewajiban untuk memberikan keterangan mengenai simpanan dari nasabah penyimpan

kepada pihak yang diberi kuasa atau ditunjuk oleh nasabah penyimpan dan/atau memberi

keterangan simpanan dari nasabah penyimpan kepada ahli warisnya apabila ia meninggal

dunia.

Selain pengecualian-pengecualian yang telah diuraikan diatas, KPK juga diberikan

kewenangan dalam membuka rahasia bank. Kewenangan tersebut didasarkan pada Surat

Edaran Mahkamah Agung No. KMA/694/R.45/XII/2004 perihal pertimbangan hukum atas

pelaksanaan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan ketentuan

12
rahasia bank yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 2

Desember 2004. Surat Keputusan Mahkamah Agung RI tersebut diterbitkan sebagai jawaban

atas Surat Gubernur Bank Indonesia No. 6/2/GBI/DHk/Rahasia, tanggal 8 Agustus 2004 yang

meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung untuk menjawab persoalan kewenangan

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam membuka rahasia bank.

Dalam Surat Keputusan memuat penegasan hukum, bahwa ketentuan Pasal 12 UU No.

30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan ketentuan khusus (lex

specialis) yang memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam

melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Dengan demikian ketentuan

prosedur izin membuka rahasia bank sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998, tidak

berlaku bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

D. Rahasia Bank di Indonesia

Ketentuan rahasia bank dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan

diatur dalam Pasal 40-50 dan dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 mengalami perubahan

dan penambahan. Adapun prinsip atau teori yang mendasari ketentuan rahasia bank di

Indonesia, yaitu prinsip atau teori nisbi. Dengan demikian, pemberian data dan informasi yang

menyangkut kerahasiaan bank kepada pihak lain dimungkinkan, berbeda dengan sistem di

Swiss yang hanya memungkinkan pembukaan rahasia bank apabila ada putusan pengadilan.

Menyangkut mengenai pihak yang harus menyimpan rahasia karena profesi dan pekerjaannya

hampir sama ketentuannya dengan di Swiss, yaitu semua pihak yang berhubungan dengan

kegiatan bank (pihak-pihak terafiliasi).

Dengan sifatnya yang demikian maka dalam memahami ketentuan-ketentuan rahasia

bank tidak perlu dipahami sebagai strict law. Jadi, ketentuan tersebut janganlah dipahami apa

adanya sebagaimana tertulis dalam Pasal tersebut yang tercantum dalam peraturan perundang-
13
undangan. Jika terlalu kaku memahami ketentuan yang ada, ketentuan tersebut akan

membelenggu karena disadari bahwa pengertian rahasia bank yang tercantum pasa Pasal 40

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (sebelum diubah) mempunyai sifat yang

sangat luas ruang lingkupnya dan sifatnya terlalu umum. Karenanya, cukup membingungkan

serta terlalu tertutup.

Namun, ketentuan rahasia bank yang ada telah mengatur mengenai hal-hal pengecualian

tertentu yang memungkinkan untuk dapat diketahuinya suatu rahasia bank dari seseorang.

Adapun mengenai kemungkinan pembukaan kerahasiaan bank dapat dilakukan apabila adanya

suatu kepentingan umum berupa kepentingan:

1. Perpajakan.

2. Penyelesaian piutang yang ditangani oleh Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia

Urusan Piutang Negara (BUPLN/PUPN).

3. Peradilan, baik untuk perkara pidana maupun perdata.

4. Kepentingan kelancaran dan keamanan kegiatan usaha bank, termasuk di dalamnya

permintaan pembukaan rahasia bank berdasarkan kuasa dari nasabah penyimpan itu sendiri

atau permintaan ahli waris yang sah.

Dalam rangka pembukaan rahasia bank karena kepentingan tertentu dan hal tersebut

telah mendapatkan izin dari Pimpinan Bank Indonesia maka bank yang bersangkutan di mana

data tersebut berada wajib memberikan keterangan yang diperlukan tersebut, sebagaimana

diatur dalam Pasal 42A Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.

Mekanisme dan prosedur permintaan untuk pembukaan rahasia bank, adalah sebagai

berikut:

1. Permohonan ditujukan kepada Pimpinan Bank Indonesia u.p. Urusan Hukum Bank Indonesia.

14
2. Atas permintaan ini Pimpinan Bank Indonesia membahasnya dan kemudian memberikan

keputusannya apakah memberikan atau menolaknya. Penolakan oleh Bank Indonesia selambat-

lambatnya empat belas hari setelah surat permintaan diterima.

3. Apabila permintaan tersebut tidak memenuhi persyaratan, dilakukan penolakan. Begitu pula

sebaliknya, apabila telah memenuhi persyaratan, diizinkan pembukaan rahasia bank tersebut.

E. Pelanggaran Rahasia Bank

Secara eksplisit ada dua jenis tindak pidana yang ditentukan oleh Pasal 47 Undang-

undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berkaitan dengan perbankan. Pertama, tindak pidana yang

dilakukan oleh mereka yang tanpa membawa perintah atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia

dengan sengaja memaksa bank atau pihak yang terafilisi untuk memberikan keterangan yang

harus dirahasiakan oleh bank. Hal ini di tentukan oleh Pasal 47 ayat (1). Kedua, tindak pidana

yang dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris, Direksi, Pegawai Bank, atau pihak terafiliasi

lainnya, yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh bank.

Tindak pidana tersebut ditentukan oleh Pasal 47 ayat (2).

Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tersebut berbunyi sebagai berikut:

1) Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari pemimpin Bank Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa

bank atau pihak terfiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekuran-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4

(empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)

dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar).

2) Anggota dewan komisaris,direksi,pegawai bank atau pihak teafiliasi lainnya yang dengan

sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan

pidana sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda

15
sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak

Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

E. Apa Saja Peran atau Kedudukan Lembaga Simpan Pinjam dalam Perrbankan?

1 Peran LPS sebagai Jaring Pengaman Sistem Perbankan Nasional

Sebelum menjelaskan peran atau tugas LPS dalam menjamin simpanan nasabah dan

memelihara stabilitas sistem perbankan perlu dijelaskan hubungan kelembagaan atau

koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, LPS, Kementerian

Keuangan, dan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK).

Untuk pengamanan sistem perbankan nasional penerapannya dapat dianalogikan

sebagai tim sepakbola ada penyerang, pemain tengah, bek (pemain belakang) dan kiper. Setiap

posisi punya peran masing-masing. Jika dianalogikan dengan sistem perbankan kita memiliki

fungsi masing-masing. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berperan sebagai ujung tombak (front

office). Dengan perannya mengatur dan mengawasi mikroprudensial dengan kuat dan efektif,

OJK diharapkan mampu mendorong perbankan untuk mencapai goal (tujuan), yaitu sistem

perbankan yang sehat, stabil, bertumbuh, dan bermanfaat bagi rakyat banyak. Selain itu,

dengan mengidentifikasi permasalahan secara dini dan tindakan perbaikan yang segera (prompt

corrective actions) diharapkan permasalahan perbankan dapat diatasi pada stadium awal.

Adapun tujuan OJK dibentuk agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

1. terselenggara secara teratur, adil. transparan, dan akuntabel;

2. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan

3. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

16
Oleh karena itu berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang OJK,

bahwa OJK menginformasikan kepada LPS mengenai bank bermasalah yang sedang dalam

upaya peyehatan oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya di belakang OJK berdiri Bank Indonesia (BI) sebagai lini tengah berperan

mengatur kebijakan makroprudensial (moneter dan sistem pembayaran) yang kondusif bagi

industri perbankan sehingga dapat membantu menciptakan peluang terjadinya goal.

Konkretnya, saat sebuah bank menghadapi masalah likuiditas, BI bisa memberikan fasilitas

pinjaman likuiditas sebagai bentuk pertahanan terhadap sistem ekonomi Indonesia.

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berada pada posisi belakang/bertahan, LPS

menjamin simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya dan melaksanakan resolusi

(penyehatan) bank gagal. Bank gagal dan bank yang dicabut izinnya pada umumnya

mengalami permasalahan solvabilitas. Pelaksanaan fungsi tersebut dimaksudkan untuk

memberikan perlindungan, rasa aman, dan ketenangan sehingga dapat meningkatkan

kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Di samping itu, berdasarkan Pasal 42 UU No. 21

Tahun 2011, LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi,

tugas dan wewenangnya serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK, karena pada dasarnya

wewenang pemeriksaan terhadap bank adalah wewenang OJK. Berdasarkan undang-undang,

lingkup pemeriksaan LPS terhadap bank meliputi pemeriksaan premi, posisi simpanan, tingkat

bunga, kredit macet dan tercatat, bank bermasalah, kualitas aset, dan kejahatan di sektor

perbankan. Selanjutnya berdasarkan Pasal 43 UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, Bank

Indonesia dan LPS wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara

terintegrasi.(zullfi diane zaini 2006 : 49)

Jika ketiga pertahanan tersebut tidak mampu bertahan juga, Kementerian Keuangan

adalah pemain terakhir yang diharapkan mampu menjaga gawang tetap aman. Kemenkeu

sebagai pemegang otoritas terhadap fiskal dan koordinator FSN mampu memberikan kebijakan

17
untuk menjaga sistem perbankan tetap stabil. Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan

dibentuklah Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). FKSSK adalah

Operasionalisasi dari Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) dengan anggota terdiri atas:

1. Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordnator;

2. Gubernur Bank Indonesia selaku anggota;

3. Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota; dan

4. Ketua Dewan Komisioner LPS selaku anggota.

Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) dibantu kesekretariatan yang

dipimpin salah seorang pejabat eselon I di Kementerian Keuangan. Dalam kondisi normal,

FKSSK:

1. wajib melakukan pemantauan dan evaluasi stabilitas sistem keuangan;

2. melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan;

3. membuat rekomendasi kepada setiap anggota untuk melakukan tindakan dan/atau membuat

kebijakan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan; dan

4. melakukan pertukaran informasi.

Dalam kondisi tidak normal untuk pencegahan dan penanganan krisis, Menteri Keuangan,

Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan/atau Ketua Dewan Komisioner

LPS yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah tejadi krisis pada sistem keuangan,

masing-masing dapat mengajukan ke FKSSK untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan

langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis. .(zullfi diane zaini 2006 : 66)

Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan

Ketua Dewan Komisioner LPS berwenang mengambil dan melaksanakan keputusan untuk dan

atas nama institusi yang diwakilinya dalam rangka pengambilan keputusan FKSSK dalam

kondisi tidak normal. .

Kebijakan FKSSK yang terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk mendapat

18
persetujuan DPR. Keputusan DPR wajib ditetapkan dalam waktu paling lama 24 jam sejak

pengajuan persetujuan.

2 Peran LPS sebagai Jaring Pengaman Sistem Perbankan Nasional

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah bagian dari sistem Jaring Pengaman

Sektor Keuangan (JPSK)/anggota FKSSK bersama dengan BI, Menteri Keuangan, dan OJK.

FKSSK menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang diperlukan dalam rangka pencegahan

dan penanganan krisis pada sistem keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Keputusan FKSSK yang terkait dengan penyelesaian dan penanganan suatu bank gagal (bank

resolotion) yang ditangani berdampak sistemik mengikat LPS.

LPS melakukan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik setelah FKSSK

menyerahkan penanganannya kepada LPS. LPS melakukan peyelesaian atau penanganan bank

gagal berdampak sistemik dengan cara: melakukan penyelamatan yang mengikutsertakan

pemegang saham lama atau tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama. Penanganan Bank

Gagal yang berdampak sistemik dengan mengikutsertakan pemegang saham lama (open bank

assistance) hanya dapat dilakukan apabila:

1. pemegang saham Bank Gagal telah menyetor modal sekurang-kurangnya 20 persen dari

perkiraan biaya penanganan;

2. ada pernyataan dari RUPS bank yang sekurang-kurangnya memuat kesediaan untuk:

3. menyerahkan kepada LPS hak dan wewenang RUPS;

4. menyerahkan kepada LPS kepengurusan bank;

5. dan tidak menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk LPS dalam hal proses penanganan tidak

berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

6. bank menyerahkan kepada LPS dokumen mengenai:

19
7. penggunaan fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia;

8. data keuangan Nasabah Debitur

9. struktur permodalan dan susunan pemegang saham tiga tahun terakhir daninformasi lainnya

yang terkait dengan aset, kewajiban dan permodalan bank yang dibutuhkan LPS. ( zulkarnain

sitompul 2002 : 86)

Terhitung sejak LPS menetapkan untuk melakukan penanganan Bank Gagal yang

berdampak sistemik dengan penyertaan modal dengan pemegang saham, berdasarkan UU No.

24 Tahun 2004:

1. pemegang saham dan pengurus bank melepaskan dan menyerahkan kepada LPS segala hak,

kepemilikan, kepengurusan dan/atau kepentingan lain pada bank dimaksud; dan

2. pemegang saham dan pengurus bank tidak dapat menuntut LPS dalam hal proses penanganan

tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

LPS bertanggung jawab atas kekurangan biaya penanganan Bank Gagal setelah

pemegang saham lama melakukan penyetoran modal sekurang-kurangnya 20 persen dari

perkiraan biaya penanganan. Biaya penanganan Bank Gagal yang dikeluarkan oleh LPS

menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank. LPS wajib menjual seluruh saham bank

dalam penanganan paling lama tiga tahun sejak penyerahan segala hak, kepemilikan,

kepengurusan dan/atau kepentingan lain pada bank dimaksud. Penjualan saham dilakukan

secara terbuka dan transparan dengan tetap mempertimbangkan tingkat pengembalian yang

optimal bagi LPS, paling sedikit sebesar seluruh penempatan modal sementara yang

dikeluarkan oleh LPS. Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal tidak dapat diwujudkan

dalam jangka waktu paling lama tiga tahun maka dapat diperpanjang sebanyak-banyaknya dua

kali dengan masing-masing perpanjangan selama satu tahun.

20
Selanjutnya dalam hal tingkat pengembalian yang optimal yaitu 3 tahun dan paling

sedikit tingkat pengembalian sebesar seluruh penempatan modal sementara yang dikeluarkan

oleh LPS tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan 2 kali dengan masing-

masing perpanjangan selama 1 tahun, LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan

ketentuan tingkat pengembalian yang optimal, tanpa memperhatikan modal sementara yang

dikeluarkan oleh LPS dalam jangka waktu satu tahun berikutnya. ( Thomas Suyatno 2005 :

102)

Penjelasan di atas adalah peran LPS dalam melakukan penanganan Bank Gagal yang

berdampak sistemik dengan penyertaan modal oleh pemegang saham. Sedangkan penanganan

bank gagal berdampak sistemik tanpa penyertaan modal oleh pemegang saham serta

penyelamatan bank gagal yang tidak berdampak sistemik yang merupakan tugas dan tanggung

jawab LPS tidak dibahas dalam artikel ini.

Selanjutnya LPS dalam melakukan penyelesaian dan penanganan Bank Gagal

mempunyai kewenangan diantaranya menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank

Gagal yang diselamatkan. Kemudian LPS menjamin simpanan nasabah bank yang berbentuk

giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan

dengan itu. Nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak

Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Nilai yang dijamin diharapkan dapat melindungi

seluruh simpanan yang dimiliki oleh nasabah kecil yang merupakan sebagian besar nasabah

bank di Indonesia.

Namun demikian, berdasarkan Perpu No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU

No. 24 Tahun 2004 Tentang LPS bahwa Nilai Simpanan yang dijamin dapat diubah apabila

dipenuhi salah satu atau lebih kriteria sebagai berikut:

1. terjadi penarikan dana perbankan dalam jumlah besar secara bersamaan;

2. terjadi inflasi yang cukup besar dalam beberapa tahun;

21
3. jumlah nasabah yang dijamin seluruh simpanannya menjadi kuran dari 90% dari jumlah

nasabah penyimpan seluruh bank; atau

4. terjadi ancaman krisis yang berpotensi mengakibatkan merosotnya kepercayaan masyarakat

terhadap perbankan dan membahayakan stabilitas sistem keuangan.

5. Selanjutnya, kemungkinan bisa saja terjadi bahwa klaim penjaminan dinyatakan tidak layak

dibayar apabila berdasarkan hasil rekonsiliasi dan/atau verifikasi terjadi:

6. data Simpanan nasabah dimaksud tidak tercatat di bank;

7. nasabah Penyimpan merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar; misalnya nasabah

yang memperoleh hasil bunga jauh di atas tingkat pasar; dan

8. nasabah Penyimpan merupakan pihak yang menyebabkan keadaan bank menjadi tidak sehat,

misalnya penerima kredit yang kreditnya macet. ( Thomas Suyatno 2005 : 102)

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 47 ayat (1) di atas, yang perlu dipermasalahkan

apakah pihak yang memaksa dapat di tuntut telah melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal

47 ayat (1), sekalipun pihak yang memaksa tidak sampai berhasil membuat pihak bank atau

pihak terafiliasi memberikan keterangan yang diminta secara paksa. Ataukah pihak yang

memaksa dapat dikenai pidana karena melakukan percobaan tindak pidana berdasarkan Pasal

47 ayat (1). Menurut Remy Sjehdeini, karena tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 47

ayat (1) itu merupakan tindak pidana formal, maka pihak yang memaksa tersebut dapat saja di

tuntut dan dikenai pidana sekalipun tidak sampai berhasil membuat pihak terafiliasi

memberikan keterangan yang diminta itu.

Mengenai mereka yang termasuk angka 1 di atas tidak di atur oleh Undang-undang

nomor 10 Tahun 1998. Artinya, Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tidakmenentukan

sebagai hal yang di larang, tetapijuga tidak menentukan sebagai hal yang di perbolehkan.

Penggunaan keterangan yang di peroleh dalam rangka pengecualian itu hanya terbatas kepada

tujuan diperolehnya keterangan itu.

22
Kemudian kepada mereka yang termasuk angka 2 di atas, dalam hal nasabah

berpendapat telah di rugikan sebagai akibat penggunaan keterangan tentang nasabah itu oleh

mereka yang memperoleh keterangan itu dari pihak bank yang membocorkannya secara

bertentangan dengan rahasia bank, maka nasabah tersebut dapat mengajukan ganti kerugian

kepada mereka berdasarkan “pebuatan melawan hukum” sebagaimana diatur oleh Pasal 1365

KUH Perdata.

23
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian materi di atas, penulis menarik beberapa poin penting dalam

pembahasan makalah ini, yaitu sebagai berikut:

1. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 16 UU No. 7 Tahun 1992, yang dimaksud dengan rahasia

bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah

bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan.

Selanjutnya ketentuan Pasal 1 angka 16 tersebut diubah menjadi Pasal 1 angka 28 UU No. 10

Tahun 1998, yang mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan rahasia bank adalah segala

sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.

2. Tinjauan teori tentang rahasia bank menunjukkan ada dua pendapat. Pertama, teori mutlak,

yaitu bahwa bank berkewajiban menyimpan rahasia nasabah yang diketahui oleh bank karena

kegiatan usahanya dalam keadaan apa pun. Kedua, teori nisbi, yaitu bank diperbolehkan

membuka rahasia nasabahnya jika untuk suatu kepentingan yang mendesak, misalnya

kepentingan negara.

3. Berdasarkan ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, ada beberapa

pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank, yaitu sebagai berikut:

a. Untuk Kepentingan Perpajakan

b. Untuk Kepentingan Penyelesaian Piutang Bank yang Telah Diserahkan kepada BUPLN/PUPN

c. Untuk Kepentingan Peradilan dalam Perkara Pidana

d. Dalam Perkara Perdata antara Bank dengan Nasabah

e. Dalam Tukar-menukar Informasi Antar Bank

f. Atas Permintaan, Persetujuan atau Kuasa dari Nasabah Penyimpan atau Ahli Warisnya.

24
g. Pengecualian terhadap KPK atas ketentuan rahasia bank yang didasarkan pada Surat Edaran

Mahkamah Agung No. KMA/694/R.45/XII/2004 perihal pertimbangan hukum atas

pelaksanaan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan ketentuan

rahasia bank.

4. Ketentuan rahasia bank di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang

perbankan diatur dalam Pasal 40-50 dan dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang

Perbankan. Adapun prinsip atau teori yang mendasari ketentuan rahasia bank di Indonesia,

yaitu prinsip atau teori nisbi.

5. Secara eksplisit ada dua jenis tindak pidana yang ditentukan oleh Pasal 47 Undang-undang

Nomor 10 Tahun 1998 yang berkaitan dengan perbankan. Pertama, tindak pidana yang

dilakukan oleh mereka yang tanpa membawa perintah atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia

dengan sengaja memaksa bank. Kedua, tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Dewan

Komisaris, Direksi, Pegawai Bank, atau pihak terafiliasi lainnya, yang dengan sengaja

memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh bank.

Lembaga Penjamin Simpanan adalah lembaga independen bentukan pemerintah yang

dibentuk berdasarkan Undang-Undang dengan tujuan menumbuhkan rasa kepercayaan

masyarakat terhadap dunia perbankan setelah terjadinya krisis moneter yang mengakibatkan

dilikuidasinya beberapa bank di Indonesia. Lembaga Penjamin Simpanan berfungsi menjamin

simpanan nasabah bank dan turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan sesuai

kewenangannya. Oleh karena itu, dalam melaksanakan fungsinya, LPS mempunyai tugas

merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan serta

melaksanakan penjaminan simpanan.

Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dibentuklah Forum Koordinasi Stabilitas

Sistem Keuangan (FKSSK), yang salah satu anggotanya adalah LPS. LPS melakukan

penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik setelah FKSSK menyerahkan

25
penanganannya kepada LPS. dan LPS menjamin simpanan nasabah sesuai peraturan

perundang-undangan.

Dalam penjaminan terhadap nasabah perbankan syariah pihak Lembaga Penjamin

Simpanan sebenarnya hampir sam dengan bank konvensionsesuai akad awal yang dipakai oleh

nasabah pada saat awal melakual. Namun yang ada dalam perbankan syariah adalah sesuai

akad awal saat nasabah melakukan penyimpanan terhadap uangnya

26
DAFTAR PUSTAKA

Djumhana, Muhammad. (2012). Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya

Bakti.

Hermansyah. (2011). Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Sutedi, Adrian. (2008). Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger,

Likuidasi, dan Kepailitan.Jakarta: Sinar Grafika.

Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1999

Perpu No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2004

Tentang LPS.

Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1/PLPS/2006

Diane Zaini, Zulfi. 2006. Aspek Hukum dan Fungsi Lembaga Penjamin Simpanan.:UBL

Sitompul, Zulkarnaen. 2008.Suatu Pemikiran tentang Pendirian Lembaga Simpanan di

Indonesia.Jakarta:Grafika

Suyatno,Thomas.2005. Kelembagaan Perbankan.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama

http://www.lps.go.id/web/guest/penjaminan-

simpanan;jsessionid=9BB6D6C1EC1B02FB9E978B8A87379B26

Lembaga penjamin Simpanan-wikipedia bahasa Indonesia, ensikopedia bebas.htm

27

Anda mungkin juga menyukai