Anda di halaman 1dari 12

Blepharitis and Demodex spp.

infection

ABSTRAK
Menurut penelitian terakhir, kutu Demodex ikut berperan penting dalam pathogenesis
penyakit blefaritis kronis. Kutu Demodex ini umum dan dapat ditemukan di banyak
spesies mamalia. Pada jurnal ini, kami mendeskripsikan menjadi 2 spesies yang
ditemukan dimanusia : Demodex folliculorum and Demodex brevis. Infeksi dapat terjadi
saat kontak langsung dengan penderita dan juga melalui kontak dengan debu yang
berisi telur parasit, dengan kain ranjang serta melalui kosmetik yang digunakan
penderita. Penatalaksanaan blefaritis kronis yang disebabkan Demodex folliculorum
dan Demodex brevis susah dan butuh waktu lama. Beberapa perkembangan bisa
didapat setelah penggunaan topical salep merkuri kuning, salep sulfur, minyak
camfora, crotamiton, cholinesterase inhibitor, sulfacetamide, steroid, antibiotic, dan obat
antijamur. Hasil baik ditemukan setelah pemberian ivermectin oral dan krim permethrin.
Namun, hasil yang paling baik didapatkan setelah penggunaan metronidazole.
Kata kunci : pathogenesis, infeksi, demodikosis ocular, pengobatan

PENDAHULUAN
Penyakit blefaritis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri atau jamur, reaksi alergi,
penyakit metabolik, kelainan refraksi yang tidak terkoreksi dan Demodex spp. Blefaritis
anterior seringkali disebakan oleh infeksi stafilokokus sedangkan blefaritis posterior
biasanya berkaitan dengan disfungsi kelenjar meibomian atau blefarokonjungtivitis
seborrheic. Penelitian terbaru menunjukkan pentingnya kutu Demodex pada
pathogenesis blefaritis kronis terutama pada kasus dengan reaksi yang tidak membaik
setelah pengobatan. Demodex spp. juga dapat menyebabkan hordeolum rekuren dan
chalazion.
Kutu Demodex sendiri berkaitan dengan perkotaan dan ditemukan pada
berbagai spesies mamalia. 2 spesies yang ditemukan pada manusia yaitu Demodex
brevis (Akbulatova, 1963) dan Demodex folliculorum (Simon, 1842). Akhir- akhir ini,
kedua spesies tersebut diklasifikasikan sebgai parasit yang sebelumnya masuk sebagai
microorganisme komensal. Namun, pathogenesis kedua spesies kutu masih kontroversi
karena mereka juga dapat ditemukan pada individu sehat. Menurut hasil studi terakhir,
diperkirakan kutu Demodex terdapat pada 10% orang sehat dan ditemukan 12% di
folikel rambut mereka. Hal tersebut beranggapan bahwa D. folliculorum menjadi
patogenik saat terjadi reproduksi sehingga menyebabkan gejala okuler.

LANDASAN TEORI
DEFINISI BLEFARITIS
Radang yang sering terjadi pada kelopak merupakan radang kelopak dan tepi
kelopak. Radang ini biasanya melibatkan folikel dan kelenjar rambut.

KLASIFIKASI BLEFARITIS
BLEFARITIS ANTERIOR
Blefaritis anterior adalah radang bilateral kronik yang umum di tepi palpebra. Ada
dua jenis utamanya: stafilokok dan seborreik.
 Blefaritis stafilokok dapat disebabkan oleh infeksi StaplryIococcus aureus, yang
sering ulseratif, atau Staphylococcus epidermidis (stafilokok koagulase-negatif).
 Blefaritis seborreik (non-ulseratif) umumnya berkaitan dengan keberadaan
Pityrosporum ovale rneskipun organisme ini belum terbukti menjadi
penyebabnya.
 Sering kali kedua jenis blefaritis ada secara bersamaan (infeksi campur).
Seborrea kulit kepala, alis, dan telinga sering menyertai blefaritis seborreik.
Gejala utamanya adalah iritasi, rasa terbakar, dan gatal pada tepi palpebra. Mata yang
terkena "bertepi merah." Banyak sisik atau " granulasi" terlihat mengantung di bulu mata
palpebra superior maupun inferior.
 Pada tipe stafilokokus sisiknya kering, palpebra merata, terdapat ulkus-ulkus
kecil di sepanjang tepi palpebra, dan bulu mata cenderung rontok.
 Pada tipe seborreik, sisik berminyak, tidak terjadi ulserasi, dan tepian palpebra
tidak begitu merah.
 Pada tipe campuran yang lebih umum, kedua jenis sisik ada, tepian palpebra
merah dan mungkin berulkus. S. aureus dan P. ovale mungkin muncul
bersamaan atau sendiri-sendiri pada pulasan materi kerokan dari tepi palpebra.
Blefaritis stafilokok dapat disertai komplikasi hordeolum, kalazion, keratitis epitel
sepertiga bawah kornea, dan infittrat kornea marginal. Kedua bentuk blefaritis anterior
merupakan presdiposisi terjadinya konjungtivitis berulang.
Kulit kepala, alis mata, dan tepi palpebra harus selalu dibersihkan, terutama
pada blefaritis tipe seborreik, dengan memakai sabun dan shampo. Sisik-sisik harus
dibersihkan dari tepi palpebra dengan kain basah dan shampoo bayi setiap hari.
Blefaritis stafilokok diobati dengan antibiotik antistafilokok atau pemberian salep mata
sulfonamide dengan aplikator kapas sekali sehari pada tepian palpebra.
Tipe seborreik dan stafilokok umumnya bercampur dan menjadi kronik selang
beberapa bulan atau tahun jika tidak diobati dengan memadai; konjungtivitis atau
keratitis stafilokok penyerta umumnya cepat teratasi setelah pengobatan antistafilokok
lokal.

BLEFARITIS POSTERIOR
Blefaritis posterior adalah peradangan palpebra akibat disfungsi kelenjar
meibom. Seperti blefaritis anterior, kelainan ini terjadi secara kronik dan bilateral.
Blefaritis anterior dan posterior dapat timbul bersamaan. Dermatitis seborreik umumnya
disertai dengan disfungsi kelenjar meibom. Kolonisasi atau infeksi strain stafilokok
dalam jumlah memadai sering disertai dengan penyakit kelenjar meibom dan bisa
menjadi salah satu penyebab gangguan fungsi kelenjar meibom. Lipase bakteri dapat
menimbulkan peradangan pada kelenjar meibom dan konjungtiva serta menyebabkan
terganggunya film air mata.
Blefaritis posterior bermanifestasi dalam aneka macam gejala yang mengenai
palpebra, air mata, konjungtiva, dan kornea.
 Perubahan pada kelenjar meibom mencakup peradangan muara meibom
(meibomianitis), sumbatan muara kelenjar oleh sekret yang kental, pelebaran
kelenjar meibom dalam lempeng tarsus, dan keluarnya sekret abnormal lunak
mirip keju bila kelenjar itu dipencet.
 Dapat juga timbul hordeolum dan kalazion.
 Tepi palpebra tampak hiperemis dan telangiektasia. Palpebra juga membulat dan
menggulung ke dalam sebagai akibat parut pada konjungtiva tarsal; membentuk
hubungan yang abnormal antara film air mata prakornea dan muara-muara
kelenjar meibom.
 Air mata mungkin berbusa atau sangat berlemak.
 Hipersensitivitas terhadap stafilokok mungkin menyebabkan keratitis epitelial.
 Kornea juga bisa membentuk vaskularisasi perifer dan menjadi tipis, terutama di
bagian inferior, terkadang dengan infiltrat marginal yang jelas.
 Perubahan-perubahan makroskopik pada blefaritis posterior identik dengan
kelainan-kelainan mata yang ditemukan pada acne rosacea.
Terapi blefaritis posterior tergantung pada perubahan-perubahan di konjungtiva
dan kornea terkait. Peradangan yang jelas pada struktur-struktur ini mengharuskan
pengobatan aktif, termasuk terapi antibiotik sistemik dosis rendah jangka panjang-
biasanya doxycycline (100 mg dua kali sehari) atau erythromycin (250 mg tiga kali
sehari), tetapi juga berpedoman pada hasil biakan bakteri dari tepi palpebra-dan steroid
fopikal lemah (sebaiknya jangka pendek), misalnya: prednisoIone, 0,125% dua kali
sehari. Terapi topikal dengan antibiotik atau substitusi air mata umumnya tidak perlu
dan dapat berakibat bertambah rusaknya film air mata atau reaksi toksik terhadap
bahan pengawetnya.
Pengeluaran isi kelenjar meibom secara periodik bisa membantu, khususnya
pada pasien dengan penyakit ringan yang tidak memerlukan terapi antibiotik oral atau
steroid topikal jangka panjang. Hordeolum dan kalazion hendaknya diterapi dengan
baik.

BIOLOGICAL PROPERTIES
Kutu Demodex mempunyai bentuk vermiform dan dibungkus oleh kutikula tipis.
Demodex folliculorum berukuran lebih besar (0,3 – 0,4 mm) dan lebih panjang. Mereka
hidup orificium folikel rambut. Demodex brevis berukuran lebih kecil (0,2 – 0,3 mm) dan
mempunyai bentuk fusiform dan kaki yang pendek. Kutu ini dapat ditemukan pada
kelenjar sebacea pada kulit wajah dan juga di kelenjar meibomian di palpebra. Bagian
tubuh dari kutu Demodex dapat dipisah menjadi bagian mulut dengan gnathosoma,
bagian podosome, dan bagian opisthosoma. Pada podosome kedua spesies memiliki 4
pasang kaki dan 3 pasang larva. Bagian gnathosoma dari D. folliculorum tajam dan
seperti belati mirip mandibula dibanding D, brevis, yang digunakan untuk memasukkan
makanan dan bagian palp untuk menggengam makanan. Bagian mandibula digunakan
untuk memotong epitel kulit. Parasit tersebut mengekskresi enzim yang digunakan
untuk mencerna makanan setelah kutu menelan makanan tersebut. Cara dari memakan
tersebut menyebabkan kerusakan epitel dan penetrasi ke bagian dalam dari kulit.
Sumber makanan utama untuk semua tingkat perkembangan adalah komponen dari
serum. Hasilnya, parasit cenderung menyerang ke area kaya dengan kelenjar sebasea.
Siklus hidup dari D. folliculorum dapat bertahan sekitar 14 hingga 18 hari.
Perkembangan dari kutu tersebut sederhana dan terjadi cukup 1 inang. Kutu betina
mengeluarkan telur dimana larva tanpa kaki akan menetas. Larva tersebut akan
mengembangkan 3 pasang kaki tanpa segmen. Setelah perubahan yang pertama, larva
akan menjadi nimfa dengan 8 kaki dan setelah perubahan ke 2 kali setelahnya akan
menjadi bentuk dewasa, baik betina maupun jantan.
Kutu Demodex spp. sensitive terhadap perubahan temperature dan pH.
Temperature optimal untuk perkembangan Demodex spp. berkisar antara 16 hingga
20°C. Parasit akan berhenti memakan saat termperatur dibawah 0°C dan diatas 37°C.
Pada temperature diatas 54-58°C mereka akan mati. Kutu Demodex cenderung hidup
di lingkungan asam dan sensitive terhadap radiasi sinar UV.

EPIDEMIOLOGI
Demodex folliculorum dan D. brevis seringkali ditemukan pada pasien berusia
tua. Cheng dkk menemukan rasio prevalensi 84% pada populasi dengan usia 60 tahun
dan nyaris 100% pada populasi diatas 70 tahun. Garbacewicz dkk juga mencatat
prevalensi rendah pada usia muda (5%), dengan kemungkinan dimana ekskresi sebum
oleh kelenjar sebacea Zeiss dan kelenjar tarsal Meibomian lebih kecil jumlahnya pada
anak dan remaja.
Infeksi dapat terjadi melalui kontak langsung dengan penderita dan kemungkinan
besar melalui kontak dengan debu berisi telur parasit, kontak dengan kain kasur atau
bersama-sama memakai kosmetik dengan penderita. Bahkan, telah ditemukan bahwa
telur Demodex spp. dapat ditemukan di bagian lensa okuler di mikroskop. Hasil dari
studi yang dilakukan Garbacewicz dkk menunjukkan bahwa 30% orang menggunakan
mikroskop terinfeksi Demodex spp.
Beberapa factor yang mempengaruhi infeksi Demodex spp. adalah profesi
pekerjaan, jenis kulit, penyakit dermatologi, standar hidup, standar di tempat kerja dan
rumah juga kebiasaan kebersihan diri. Wesolowska dkk menemukan bahwa Demodex
spp. terjadi pada 40% orang di bidang kesehatan seperti dokter, perawat dan fisioterapi
dan 33,7% pada mahasiswa kedokteran dan 23,5% pada pasien penyalahgunaan obat.
Demodikosis okuler bisa menjadi hasil dari adanya kutu pada permukaan kulit wajah.
Infeksi Demodex spp. telah diobservasi pada 47% pada orang dengan wajah
berminyak, 26,6% pada orang dengan wajah kering dan 33,9% pada orang dengan
gabungan keduanya. Orang-orang dengan penyakit dermatologi seperti rosacea dan
akne di kulit lebih rentan terhadap infeksi Demodex spp. (62%) dibandingkan dengan
orang sehat (27,6%). Rasio lebih besar dari infeksi juga telah diobservasi pada
penduduk di area iklim lembab (67,9%) dibandingkan penduduk di area iklim kering
(24,5%). Wesolowska dkk juga mendeskripsikan prevalensi yang lebih besar dari infeksi
Demodex spp. pada orang yang hidup di perumahan lama (43,5%) dibandingakan
orang yang hidup di perumahan baru (39,4%). Namun, perbedaannya tidak signifikan
secara statistic.
Beberapa peneliti mendeskripsikan prevalensi dari infeksi Demodex spp.
berhubungan dengan jenis kelamin penderita. Raszeja-Kotelba dkk dan Forton dkk juga
mengemukakan bahwa infeksi dengan intensitas lebih tinggi pada wanita dibandingkan
pria, dimana hal tersebut diikuti dengan penggunaan krim dan bubuk juga dipengaruhi
oleh hormone seks. Namun, Horvath dkk mengobservasi bahwa tingkat infeksi lebih
tinggi di pria dibanding wanita. Menurut Yamashita dkk dan Kuzna-Grygiel dkk serta
Wesolowska dkk tidak ditemukan hubungan antara seks dan prevalensi infeksi
Demodex spp. Dokuyucu dkk juga telah melakukan tes korelasi dari infeksi D.
folliculorum dan indeks masa tubuh. Hasilnya diindikasikan bahwa peningkatan IMT
mempengaruhi prevalensi dari infeksi Demodex spp. Sebanyak 26,3% dari pasien
dengan berat badan berlebih atau obesitas (IMT>35) memiliki D. folliculorum.
Prevalensi lebih besar juga ditemukan pada pasien dengan berat badan kurang
(13,3%). Namun, Gokce dkk tidak menemukan hubungan antara prevalensi D.
folliculorum dan IMT.
Hal ini juga telah diobservasi pada tingkat kejadian Demodex spp. lebih sering
pada pasien dengan imun lemah. Infeksi Demodex spp. juga telah ditemukan pada
pasien dengan HIV, leukemia atau kanker dan juga pada pasien yang telah didiagnosa
diabetes, gagal ginjal serta pasien yang menjalani hemodialisa rutin.
Ada beberapa publikasi yang membuktikan hubungan antara infeksi Demodex
spp. dengan blefaritis. Tian dan Chao-Pin telah melakukan pemeriksaan pada 507
passien dengan blefaritis dan dicatat bahwa sebesar 50,7% pasien mempunyai
Demodex spp. Penulis jurnal juga telah mengobservasi 58 pasien dengan penyakit
mata memiliki Demodex spp. (11,7%). Turk dkk juga telah melakukan observasi D.
folliculorum pada 29,7% pasien dengan blefaritis, 9,1% pasien dengan
blefarokonjungtivitis dan 4,2% pada grup terkontrol. Bhandari dan Reddy telah
menemukan kutu pada 78,7% pasien dengan blefaritis kronis. Namun, Kemal dkk tidak
mengobservasi perbedaan signifikan secara statistic pada prevalensi infeksi Demodex
spp. pada pasien dengan atau tanpa blefaritis. Mirip dengan Wesolowska dkk juga tidak
mengobservasi prevalensi demodikosis pada orang yang menggunakan kacamata atau
lensa kontak.

PATOGENESIS
Kutu Demodex hidup dengan memakan sel yang melapisi folikel rambut.
Metabolit dan sisa makanan yang tidak dicerna dapat terakumulasi di bagian basal bulu
mata dan menyebabkan dandruff (ketombe) silindris, yang merupakan patognomonis
pada demodikosis ocular. Demodex spp secara mekanis menghambat kelenjar
sebasea, mengiritasi palpebra dan menyebabkan hipertrofi dari epitel dan
hiperkeratisasi. Demodex spp dapat menyebabkan inangnya mengalami inflamasi
granulomatosa dan respon immunologi. Koksal dkk juga mengobservasi granuloma
pada kelenjar Meibomian dimana Demodex spp. berkumpul dan dikelilingi oleh sel
epitel, sel stromal, fibroblast, limfosit dan sel plasma. Pada penelitian yang telah
dilakukan Liang dkk, demodikosis lebih sering ditemukan dengan chalazion 69,2%
dibandingkan grup terkontrol 20,3%. Sebagai tambhan, pasien dengan demodikosis
mempunyai kecenderungan untuk relaps (33,3%) terutama pada penderita yang
terinfeksi D. brevis, dimana lebih sering ditemukan dibandingkan D. folliculorum pada
pasien dengan chalazion.
Yam dkk juga telah meneliti kutu Demodex sebanyak 72,9% pada pasien
chalazion rekuren. Mereka menyimpulkan bahwa chalazion rekuren mempunyai
hubungan dengan demodikosis ocular.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pada aqueous humour di pasien yang
terinfeksi Demodex spp. ditemukan lebih banyak interleukin 17 (IL-17), yang dimana
menyebabkan inflamasi dan blockade kelenjar. Sebagai tambahan, hal tersebut juga
bisa merusak permukaan mata. Menurut Akilov dan Mumcuoglu, menunjukkan bahwa
level CD95+ meningkat sedangkan level CD3+, CD4+, CD8+, CD16+ dan rasio
CD3+/CD20+ lebih rendah pada pasien dengan demodikosis. Tidak ada perbedaan
yang ditemukan pada konsentrasi IgA, IgM, dan IgG. Kim dkk juga meneliti respon
immunologi dan klinis terhadap infeksi Demodex spp. dimana ditemukan penurunan
yang signifikan pada IL-1β dan IL-17 pada pasien yang mendapatkan terapi. Telah
terjadi penurunan juga pada level IL-5, IL-7, IL-12, IL-13, G-CSF dan MIP-1β namun
perbedaannya tidak signifikan secara statistic. Kutu Demodex dapat menghindari atau
melemahkan respon imun penderita denga menginhibisi ketiga jalur system komplemen
(klasik, lectin dan alternative) melalu kutu scabies deaktivasi serine protease paralog
dan serin protease inhibitor.

GEJALA
Gejala klinis dari demodikosis ocular tidak terkarakteristik dan seringkali tanpa
diikuti gejala / asimptomatik. Gao dkk mencatat korelasi antara jumlah kutu Demodex
dan intensitas dari gejala. Pasien dengan blefaritis dan telah ditemukan adanya kutu
Demodex mengeluh seperti gatal, rasa terbakar, rasa berat pada kelopak mata,
pengeluaran air mata berlebih dan adanya secret mucus. Gejala lain yang juga tampak
pada demodikosis ocular seperti hiperemi kelopa mata dan konjungtiva, madarosis,
hilangnya alis mata, fotofobia, dan sensitivitas berlebih terhadap asap dan debu. Gao
dkk juga menemukan adanya disfungsi kelenjar Meibomian pada 63,6% dan hilangnya
bulu mata pada 45,5% pada pasien yang didiagnosa demodikosis palpebral. Kheikhah
dkk juga mengobservasi pasien blefaritis yang disebabkan kutu Demodex dengan
disfungsi kelenjar meibomian sebanyak 83,3%, rosacea 66,7% dan penurunan
penglihatan sebanyak 50%. Inceboz juga menambhkan adanya rasa gatal (61,7%) dan
hyperemia (59,1%) pada pasien yang ditemukan D. folliculorum.
Demodikosis ocular yang tidak diobati dengan baik dapat mengarah ke
komplikasi parah. Dimana inflamasi yang disebabkan oleh parasit dengan jumlah
banyak dan gejala serius dari blefaritis dapat mempengaruhi kornea, konjungtiva, dan
menyebabkan neovaskularisasi, hiperemi konjungtiva. Pasien yang diterapi dengan
antibiotic atau obat antiviral juga ditemukan perkembangan yang pendek serta
penurunan gejala. Namun, keterlambatan pada persiapan pengobatan yang tepat
merupakan hal utama yang menjurus kearah ulserasi kornea, cornea clouding atau
formasi dari bercak putih yang secara signifikan mempengaruhi ketajaman penglihatan.

DEMODEX SPP. AS A VECTOR


Sudah ditetapkan bahwa kutu Demodex berperan dalam transmisi pathogen,
dimana memainkan peran penting lama pathogenesis demodikosis. Demodikosis
simptomatik juga sering ditemukan pada infeksi bakteri dimana bisa dipastikan dengan
penurunan jumlah kutu Demodex setelah pengobatan pasien dengan akne dengan
menggunakan tetrasiklin. Spickett juga mencatat bahwa D. folliculorum mungkin
berperan sebagai vector organisme basil Mycobacterium leprae. Sedangkan lacey dkk
mengisolasi Bacillus oleronius pada pasien akne rosacea di D. folliculorum dan serum
antigen spesifik pasien yang diperiksa. Hasil yang sama dilaporkan oleh Szkaradkieicz
dkk dimana mereka mendeskripsikan Demodex spp. dan B. oleronius pada pasien
dengan blefaritis akut. Clifford dkk juga menyatakan adanya eksistensi dari
Staphylococcus aureus dan D, folliculorum pada pasien dengan diabetes namun
kondisi ini tidak dideskripsikan oleh Lee dkk. Demodex spp. juga dapat berperan dalam
transmisi fungi dan menurut Hallur dkk dimana mereka mendeskripsikan adanya
koinfeksi dari D.folliculorum dan Aphophysomyces elegant pada pasien yang menurun
resistensinya.

DIAGNOSIS
Bulu mata diperiksa pada diagnose demodikosis okuler yang mengambil
specimen aseptic dari kedua mata. Bahan yang diambil tersebut diperiksa dibawah
mikroskop cahaya dengan perbesaran 100x dan juga bisa diperksa dengan salin pada
perbesaran 25x. Jika dandruff silindis ditemukan, 20µL dari 100% alcohol atau 0,25%
larutan dari tetes fluoresen harus dipipet pada ujung dari penutup supaya parasit bisa
melakukan migrasi. Waktu pemeriksaannya sepanjang 20 menit. Pada kasus chalazion
rekuren, lesi bisa diambil dari pemeriksaan histopatologi untuk memastikan adanya kutu
Demodex.

PENGOBATAN
Penatalakasanaan dari blefaritis kronis yang disebabkan oleh D. folliculorum dan
D.brevis sangatlah susah dan menghabiskan waktu. Sedikit perkembangan juga bisa
didapatkan setelah penggunaan topical dari salep merkuri kuning, salep sulfur, minyak
camphora, crotamiton, cholinesterase inhibitor, sulfacetamide, steroid, antibiotic dan
obat antijamur. Hasil bagus juga bisa didapatkan pada penggunaan berulang dari
ivermectin oral dank rim permethrin. Filho dkk juga melakukan tes keefektivan dari
ivermectin oral pada pasien blefaritis yang sudah dipastikan adanya Demodex spp.
Peryembuhan total bisa didapatkan setelah 90 hari dengan penggunaan terapi secara
independen bergantung intensitas infeksi. Brown dkk juga mencatat kasus remaja
perempuan berusia 12 tahun yang memiliki demodikosis okuler serius dan rosacea
yang membaik setelah sebulan menggunakan ivermectin 12 mg single dose.
Namun, penulis juga menemukan hasil terbaik setelah pengobatan dengan
metronidazole. Oleh karena itu, penulis jurnal menyarankan penggunaan salep:
 Metronidazol 0,5
 Glycerin 2
 Vaselin album ad 20
 Misce fac unguentum ophtalmicum
 Signa – 2.d.d.1 tepi palpebra
Dan
 Metronidazol 3
 Hascobaza 100
 Misce fac unguentum
 Signa – 2.d.d.1 pada muka
Pengobatan untuk demodikosis okuler membutuhkan waktu setidaknya antara 2
hingga 3 bulan. Secara berkala, dilakukan pengecekan apakah parasit masih ada atau
tidak dan jika masih ditemukan, maka pengobatan dilanjutkan untuk 2 hingga 3 bulan
lagi.
Sebuah formula yang disiapkan dari minyak Spanish sage dan lyphophilised aloe
tersedia di took. Sarung tangan dan cairan khusus juga dapat digunakan untuk
mempertahankan higienitas kelopak mata. Gejala dari demodikosis okuler dapat
dikurangi dengan berjemur, cuci kulit wajah dengan larutan dari air hangan dan
hexaklorobenzene.
Profilaksis untuk infeksi Demodex spp. terdiri dari perawatan kelopak mata
mendalam, meningkatkan sanitasi diri dan tidak berbagi handuk atau memakai
kosmetik bersama dengan orang terinfeksi Demodex spp.
Namun, peran dari Demodex spp. sebagai komensal jangan diantisipasi terlalu
berlebihan. Pengobatan tidak boleh memusnahkan/eradikasi total dari kutu tapi lebih
cenderung untuk mengembalikan ekologi okuler ke tingkat yang seimbang.
DAFTAR PUSTAKA

Eva PR, Whitcher JP, 2008. Vaughan & Asbury’s General Ophtalmology. Edition 17. No
4, pp : 78-79. The McGraw-Hill Companies Inc.

Karolina Kot et al, 2017. Ophtalmology Journal 2017. Vol 2, No 2, pp 22-27.


Departement of Biology and Medical Parasitology, Departement of Ophtalmology.
Pomeranian Medical University, Szczecin. Poland.

Ilyas S, 2014. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke 5, pp : 91. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai