Anda di halaman 1dari 14

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Modified Cassava Flour (MOCAF)


MOCAF yang juga dikenal dengan istilah MOCAL merupakan produk
tepung dari singkong (Manihot esculenta Crantz) yang diproses menggunakan
prinsip memodifikasi sel singkong secara fermentasi, dimana mikrobia BAL
(Bakteri Asam Laktat) mendominasi selama fermentasi tepung singkong ini.
Mikroba yang tumbuh menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang
dapat menghancurkan dinding sel singkong sedemikian rupa sehingga terjadi
liberasi granula pati. Mikroba tersebut juga menghasilkan enzim-enzim yang
menghidrolisis pati menjadi gula dan selanjutnya mengubahnya menjadi asam-
asam organik, terutama asam laktat. Hal ini akan menyebabkan perubahan
karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan
gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut. Demikian pula, cita rasa
MOCAF menjadi netral karena menutupi cita rasa singkong sampai 70%
(Subagio et al., 2008). Pada Gambar 1 ditunjukkan produk MOCAF komersial
yang dijual oleh BBPP Pascapanen Pertanian Bogor.

Gambar 1. Produk MOCAF komersial dari BBPP Pascapanen Pertanian


Bogor

Secara teknis, cara pengolahan MOCAF sangat sederhana, mirip dengan


cara pengolahan tepung singkong biasa namun disertai proses fermentasi.
Tahapan proses pembuatan MOCAF berdasarkan Prosedur Operasi Standar
(POS) berbasis klaster dan pabrik induk (Subagio et al., 2008) dapat dilihat pada
Gambar 2.

3
S in g k o n g S e g a r

P e n e r im a a n
S in g k o n g

C h ip s S in g k o n g P en gu p asan K u lit
(± 1 O n s)

A ir A ir P e n c u c ia n L im b a h c a ir
E n z im
K u ltu r M ik r o b a P e n g e c ila n U k u r a n
( T e b a l c h ip = 1 - 1 ,5 m m )
P eren d am an
(t = 2 4 -3 0 ja m )
A ir

S e n y a w a A k tif A P eren d am an I
t = 1 2 -7 2 ja m

S e n y a w a A k tif B L im b a h c a ir

P eren d am an II
S e n y a w a A k tif C L im b a h c a ir
( t > 1 0 m e n it)

P r e s s in g ,
P em b u b u ran,
P e n g e r in g a n

C h ip s K e r in g

P e n g a n g k u ta n
P e n y im p a n a n
C h ip s K e r in g

AA

P e n e r im a a n
C h ip K e r in g

P e n g e r in g a n
(A r tific ia l d r y in g )

P enepungan

P engayakan S o r tir a n

M O CAL

P en gem asan

P e n y im p a n a n P e n g a n g k u ta n

P roduk
M O CAL

Gambar 2. Diagram alir proses pengolahan singkong menjadi chips


kering (pada klaster) dan pengolahan chips kering menjadi
MOCAF (pada pabrik induk) (Subagio et al., 2008)

4
Pada tahap perendaman I, perendaman dilakukan pada air yang telah
ditambah dengan senyawa aktif A dengan ketentuan 1 kubik air sawah dilakukan
penambahan senyawa aktif A sebanyak 1 sendok teh, dan untuk 1 kubik air
sumber/gunung dilakukan penambahan senyawa aktif A sebanyak 1 sendok
makan. Lalu setelah dipastikan bahan terendam semua, dilakukan penambahan
senyawa aktif B yang sebelumnya dipersiapkan terlebih dahulu. Senyawa aktif B
dibuat dengan cara merendam chips singkong segar sebanyak 1 ons dalam air
yang telah dicampur oleh enzim (1 sendok teh) dan kultur mikroba (1 sendok
makan), perendaman dilakukan selama 24-30 jam untuk menghasilkan senyawa
aktif B yang diinginkan. Senyawa aktif B yang dihasilkan dapat dipergunakan
semua untuk air sebanyak 1 meter kubik. Setelah dimasukkan semua,
perendaman dilakukan selama 12 – 72 jam, dimana tiap 24 jam air diganti
dengan yang baru. Penggantian ini penting untuk mencegah terlewatinya fase
pertumbuhan tetap dari bakteri asam laktat, dan bergantinya mikrobia menjadi
bakteri pembusuk. Lama perendaman mempengaruh mutu MOCAF yang
dihasilkan (Subagio et al., 2008).
Setelah dilakukan perendaman I maka dilanjutkan dengan perendaman II.
Pada perendaman II, bahan direndam pada larutan senyawa aktif C (1 sendok
makan dalam 1 kubik air) selama 10 menit. Tujuan dari proses perendaman ini
adalah untuk mencuci protein dari ubi yang dapat menyebabkan warna coklat
ketika proses pengeringan. Selain itu juga akan menghentikan pertumbuhan lebih
lanjut dari mikrobia (Subagio et al., 2008).
Pada perendaman I, senyawa A adalah senyawa yang mengandung enzim
pektinolitik atau selulotik yang dapat memecah dinding sel singkong sehingga
granula pati keluar. Pada pembuatan senyawa B ditambahkan enzim dan kultur
mikroba. Enzim ini merupakan enzim α-amilase yang digunakan untuk
menghidrolisis pati menjadi suatu produk yang larut dalam air serta mempunyai
berat molekul rendah yaitu glukosa (Anonim, 2010). Sedangkan mikroba yang
ditambahkan merupakan bakteri asam laktat yaitu bakteri dari famili
Lactobacillaceae yang mempunyai kemampuan untuk mengubah gula menjadi
asam laktat (Syarief dan Halid, 1991). Senyawa C adalah senyawa yang
mengandung enzim protease yang merupakan enzim pemecah protein yang

5
diproduksi di dalam sel kemudian dilepaskan keluar dari sel (Anonim, 2010).
Sehingga dalam hal ini protein yang dipecah akan larut dalam air rendaman.
Proses fermentasi ubi kayu dilakukan dengan merendam ubi kayu dalam air
selama 3-4 hari. Hasil dari fermentasi adalah umbi menjadi lembut dan mudah
hancur jika digenggam. Proses fermentasi terjadi sebagai akibat reaksi antara
mikroorganisme dengan lingkungan. Pengontrolan perlu dilakukan agar tidak
muncul mikroba lain yang mengganggu proses fermentasi dan menimbulkan bau
yang tidak enak (Achi dan Akomas, 2006).
Menurut Subagio et al. (2008), komposisi kimia MOCAF tidak jauh
berbeda dengan tepung singkong, tetapi MOCAF mempunyai karakteristik
organoleptik yang spesifik. Komposisi kimia dan karakteristik organoleptik antara
MOCAF dan tepung singkong dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Secara
organoleptik warna MOCAF yang dihasilkan lebih putih jika dibandingkan
dengan warna tepung singkong biasa. Hal ini disebabkan karena kandungan
protein MOCAF yang lebih rendah dibandingkan dengan tepung singkong.
Kandungan protein dapat menyebabkan warna coklat ketika pengeringan atau
pemanasan.

Tabel 1. Perbedaan komposisi kimia MOCAF dengan tepung singkong

Parameter MOCAF Tepung Singkong


Kadar Air (%) Max. 13 Max. 13
Kadar protein (%) Max. 1.0 Max. 1.2
Kadar abu (%) Max. 0.2 Max. 0.2
Kadar pati (%) 85 - 87 82 – 85
Kadar serat (%) 1.9 – 3.4 1.0 – 4.2
Kadar lemak (%) 0.4 – 0.8 0.4 – 0.8
Kadar HCN (mg/kg) tidak terdeteksi tidak terdeteksi
Sumber : Subagio et al. (2008)

Tabel 2. Perbedaan sifat organoleptik MOCAF dengan tepung singkong

Parameter MOCAF Tepung Singkong


Warna Putih Putih agak kecoklatan
Aroma Netral Kesan singkong
Rasa Netral Kesan singkong
Sumber : Subagio et al. (2008)

6
MOCAF menghasilkan aroma dan cita rasa khas yang dapat menutupi
aroma dan citarasa singkong yang cenderung tidak menyenangkan konsumen
apabila bahan tersebut diolah. Hal ini disebabkan oleh hidrolisis granula pati
menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku penghasil asam-asam organik,
terutama asam laktat yang akan terimbibisi dalam bahan. Hal ini membuat
aroma dan rasa MOCAF menjadi netral.
MOCAF dapat digunakan sebagai bahan baku dari berbagai jenis
makanan mulai dari mi, bakery, cookies, hingga makanan semi basah. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Demiate et al. (1999) menunjukkan bahwa
fermentasi ubi kayu dapat menghasilkan tepung yang dapat digunakan untuk
membuat roti dan biskuit spesial bebas gluten. Namun demikian, MOCAF tidak
sama persis karakteristiknya dengan tepung terigu, tepung beras, atau tepung
lainnya. Sehingga dalam aplikasinya, diperlukan sedikit perubahan dalam
formula atau prosesnya sehingga akan dihasilkan produk dengan mutu optimal.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, produk-produk makanan yang dibuat
dengan bahan baku 100 % MOCAF mempunyai karakteristik yang tidak jauh
berbeda dengan produk yang dibuat dengan menggunakan tepung terigu
berprotein rendah (pastry flour). Selain itu, hasil uji coba yang telah dilakukan
dengan mensubtitusi MOCAF terhadap tepung terigu menunjukkan bahwa
MOCAF dapat mensubtitusi tepung terigu hingga tingkat 15 % pada produk mi
instan, dan hingga 25 % untuk mi bermutu rendah (Subagio et al., 2008).

B. Bumbu (Seasoning)
Bumbu (seasoning) merupakan bahan campuran terdiri dari satu atau
lebih rempah-rempah yang ditambahkan ke dalam bahan makanan selama
pengolahan atau saat persiapan (sebelum disajikan), untuk meningkatkan flavor
alami makanan sehingga lebih disukai oleh konsumen (Farrell, 1985). Menurut
Hambali et al. (2005), bumbu dapat berbentuk kering seperti campuran beragam
rempah-rempah kering dan bumbu berbentuk pasta. Bumbu yang berbentuk
kering memiliki kelebihan dibandingkan bumbu yang berbentuk pasta, yaitu
lebih mudah dalam pemakaian dan tidak mengotori tangan pada saat hendak
digunakan. Komponen-komponen yang digunakan dalam pembuatan bumbu

7
siap pakai oleh industri antara lain senyawa yang menghasilkan flavor misalnya
rempah-rempah, senyawa yang dapat memperkaya flavor misalnya garam dan
monosodium glutamat, dan senyawa yang dapat memberikan warna (Hanas,
1994).
Pemberian bumbu dimaksudkan untuk meningkatkan flavor alami dari
bahan pangan sehingga dapat meningkatkan penerimaan konsumen. Selain itu,
pemberian bumbu dilakukan untuk memodifikasi suatu bahan pangan dengan
cara menambahkan ramuan yang dapat memperkaya dan memberikan
karakteristik rasa dan aroma terhadap bahan pangan (Underriner dan Hume,
1994). Bahan pangan yang sudah dibumbui tersebut nantinya akan mempunyai
citarasa yang dapat menimbulkan selera dan kenikmatan sehingga dapat
membantu proses pencernaan secara psikologis (Wijayakusuma, 1997).

C. Tepung Bumbu
Tepung bumbu adalah bahan makanan berupa campuran tepung dan
bumbu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan
makanan yang diijinkan (BSN 1998). Tepung bumbu merupakan kombinasi
antara tepung dan bumbu (rempah-rempah). Penambahan tepung bertujuan
untuk memberikan karakteristik bentuk dari suatu bahan makanan sehingga
dapat meningkatkan selera makan dan untuk menganekaragamkan pangan.
Tepung bumbu biasa digunakan sebagai tepung pelapis atau coating
bahan pangan. Secara umum, tepung bumbu yang biasanya digunakan sebagai
tepung pelapis merupakan campuran dari berbagai macam tepung antara lain
tepung terigu, maizena, tepung beras, dan tapioka. Bahan-bahan tambahan
lainnya yang digunakan antara lain soda kue dan bumbu-bumbu untuk
meningkatkan cita rasa.
Tepung bumbu merupakan bahan pangan yang dalam relatif singkat
dapat disajikan dan dapat dengan mudah diperoleh dengan berbagai varian rasa
dan dalam bentuk siap pakai (instan). Syarat mutu tepung bumbu sesuai SNI 01-
4476-1998 tentang tepung bumbu, dapat dilihat pada Tabel 3.

8
D. Pengemasan
Pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan,
memegang peranan penting dalam pengawetan bahan hasil pertanian (Syarief et
al., 1989). Saat ini pengemasan menjadi sangat penting penggunaannya.
Pengemasan dapat melindungi bahan yang dikemas selama penanganan bahan
saat mulai diproduksi di pabrik hingga sampai ke tangan konsumen (Robertson,
1993). Adanya wadah atau pembungkus dapat membantu mencegah atau
mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada di dalamnya,
melindungi dari bahaya pencemaran serta gangguan fisik (gesekan, benturan,
dan getaran).

Tabel 3. Spesifikasi persyaratan mutu tepung bumbu menurut SNI 01-4476-


1998 (BSN 1998)

No. Jenis Uji Satuan Persyaratan


1 Keadaan :
1.1 Bau - Normal khas
1.2 Rasa - Normal khas
1.3 Warna - Normal
2 Benda-benda asing - Tidak boleh ada
3 Serangga (dalam bentuk - Tidak boleh ada
stadia dan potongan)
4 Air %, b/b Maks 12
5 Abu %, b/b Maks 1,5
6 Abu silikat %, b/b Maks 1
7 Serat Kasar %, b/b Maks 1,5
8 Derajat asam ml NaOH 1 N/100 g Maks 4,0
9 Bahan Tambahan :
9.1 Pengawet - Sesuai SNI 01-0222-
1995 dan Permenkes
No. 722/ Men.Kes/
Per/IX/1988

9.2 Pewarna - -“-


10 Cemaran logam :
10.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 1
10.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 10,0
10.3 Seng (Zn) mg/kg Maks 40,0
10.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,05
11 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks 0,5
12 Cemaran Mikroba
12.1 Angka lempeng total koloni/gram Maks 1,0 x 106
12.2 E.coli APM/gram negatif
12.3 Kapang dan Kamir koloni/gram Maks 1,0 x 102

9
1. Fungsi dan Peranan Kemasan
Menurut Syarief et al. (1989), bahan kemasan baik bahan logam, maupun
bahan lain seperti macam-macam plastik, gelas, kertas, dan karton harus
mempunyai enam fungsi utama seperti :
a. Menjaga produk bahan pangan tetap bersih dan merupakan pelindung
terhadap kotoran dan kontaminasi lain.
b. Melindungi makanan terhadap kerusakan fisik, perubahan kadar air, dan
penyinaran (cahaya).
c. Mempunyai fungsi yang baik, efisien, dan ekonomis khususnya selama
proses penempatan makanan ke dalam wadah kemasan.
d. Mempunyai kemudahan dalam membuka atau menutup dan juga
memudahkan dalam tahap-tahap penanganan, pengangkutan, dan
distribusi.
e. Mempunyai ukuran, bentuk, dan bobot yang sesuai dengan norma atau
standar yang ada, mudah dibuang, dan mudah dibentuk atau dicetak.
f. Menampakkan identifikasi, informasi, dan penampilan yang jelas agar
dapat membantu promosi dan penjualan.
Pengemasan dapat melindungi produk dari tiga pengaruh luar, yaitu
kimia, biologis, dan fisik. Perlindungan kimia dapat mengurangi perubahan
komposisi yang cepat oleh pengaruh lingkungan, seperti terpapar gas
(oksigen), uap air, dan cahaya (cahaya tampak, infra merah, atau ultraviolet).
Perlindungan biologis mampu menahan dari mikroorganisme (patogen dan
agen pembusuk), serangga, hewan pengerat, dan hewan lainnya. Perlindungan
fisik mampu menjaga produk dari bahaya mekanis dan menghindari
goncangan dan getaran selama pendistribusian (Marsh dan Bugusu, 2007).

2. Jenis dan Sifat Bahan Kemasan


Menurut Syarief et al., (1989), dengan banyaknya persyaratan yang
diperlukan bagi bahan kemas, maka tentu saja bahan kemas alami tidak akan
dapat memenuhi sebagian besar persyaratan. Karena itulah dengan bantuan
teknologi, manusia berhasil membuat bahan kemasan sintetik. Bahan
kemasan sintetik itu salah satunya adalah plastik.

10
Plastik merupakan bahan kemasan yang penting di dalam industri
pengemasan. Bahan kemasan plastik dibuat dan disusun melalui proses yang
disebut polimerisasi dengan menggunakan bahan mentah monomer yang
disusun sambung menyambung menjadi satu dalam bentuk polimer. Dalam
plastik juga berisi beberapa aditif yang diperlukan untuk memperbaiki sifat-
sifat fisiko-kimia plastik itu sendiri. Bahan aditif yang ditambahkan disebut
komponen non-plastik yang berupa senyawa anorganik atau organik yang
memiliki berat molekul rendah. Bahan aditif tersebut dapat berfungsi sebagai
pewarna, pemlastis, antioksidan, penyerap sinar UV, anti lekat, dan lain-lain
(Winarno, 1994).
Kemasan plastik memiliki beberapa keunggulan yaitu sifatnya yang kuat
tetapi ringan, inert, tidak karatan, bersifat thermoplastic (heat seal), dapat
dibentuk dalam berbagai rupa, dapat diberi warna serta memiliki harga yang
relatif rendah, dan mengurangi biaya transportasi (Hanlon, 1971). Kemasan
plastik lemas memiliki kelemahan, khususnya terhadap daya permeabilitas
(barrier) terhadap beberapa jenis gas dan uap air sehingga memungkinkan
terjadinya perpindahan molekul-molekul gas baik dari luar plastik (udara)
maupun sebaliknya dari makanan ke luar melalui lapisan plastik. Adanya
perpindahan senyawa-senyawa tersebut dapat menimbulkan berbagai bentuk
penyimpangan organoleptik (Winarno, 1994).
Menurut Syarief dan Halid (1993), penggunaan plastik untuk kemasan
bahan pangan sangat menarik karena sifat-sifatnya menguntungkan seperti
lunak, mudah dibentuk, mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap
produk, tidak korosif seperti wadah dari logam, dan mudah dalam
penanganannya.
a. Polypropilene (PP)
Polipropilen (PP) termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer
dari propilen. Sifat-sifat utama dari polipropilen, yaitu :
1) Ringan (densitas 0.9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang, dan
jernih dalam bentuk film.
2) Mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari PE. Pada suhu rendah akan
rapuh dan tidak dapat digunakan untuk kemasan beku.

11
3) Lebih kaku dari PE dan tidak gampang sobek.
4) Permeabilitas uap air rendah, permeabititas gas sedang.
5) Tahan terhadap suhu tinggi sampai dengan 150ºC.
6) Titik leburnya tinggi.
7) Tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak.
8) Pada suhu tinggi PP akan bereaksi dengan benzene, silken, toluen,
terpentin, dan asam nitrat kuat.
Untuk memperbaiki sifat-sifatnya, polipropilen dapat dimodifikasi
menjadi Oriented Polyprophylene (OPP) jika dalam proses pembuatannya
ditarik satu arah atau Biaxially Oriented Polyprophylene (BOPP) jika dalam
proses pembuatannya ditarik dua arah (Syarief et al., 1989).

b. Oriented Polypropilene/Vacuum Metalized Cast Polypropilene


(OPP/VMCPP)

Oriented Polypropilene (OPP) mempunyai sifat yang transparan, cukup tahan


terhadap uap air, tidak tahan minyak, cukup tahan panas, dan pada suhu tinggi akan
menyusut atau mengkerut (Bureau dan Multon, 1996). Sedangkan Cast
Polypropilene (CPP) merupakan material yang tahan terhadap uap air dan baik
sebagai barrier gas. Penggunaan CPP sebagai bahan kemasan terbatas karena daya
tahan sobek CPP rendah. Oleh karena itu CPP tidak disarankan untuk mengemas
produk yang berat dan tajam kecuali dilapisi oleh bahan yang lebih kuat dan lebih
tahan sobek (Robertson, 1993).
Vacuum Metalized Cast Polypropilene (VMCPP) merupakan CPP yang
mengalami pelogaman alumunium dengan cara vakum. Kelebihan dari
VMCPP adalah tahan terhadap kelembaban, permeabilitas udara rendah,
melindungi produk dari cahaya, dan tahan terhadap goresan (Matsumoto,
1999).
Metallizing adalah teknik untuk membentuk membran tipis dengan
menyalurkan logam melalui permukaan kertas atau plastik film dalam kondisi
vakum. Walaupun lapisan pelogaman ini sangat tipis yaitu sekitar 300-1000
Å (0,03-0,1 µm) tetapi lapisan ini mampu meningkatkan perlindungan,
menahan bau, memberikan efek kilap, dan menahan gas (Matsumoto, 1999).
Plastik yang dilapisi logam (metalized plastic) dapat meningkatkan

12
penampilan dan mengurangi transmisi gas dan uap air, serta dapat melindungi
produk dari cahaya.

E. Pendugaan Umur Simpan


Umur simpan dari suatu produk makanan dapat didefinisikan sebagai
waktu antara diproduksinya dan dikemasnya suatu produk hingga titik dimana
produk tersebut tidak dapat diterima pada kondisi tertentu. Selama penyimpanan
dan pendistribusian, produk akan terpapar dengan kondisi lingkungan. Faktor
lingkungan seperti suhu, kelembaban udara, oksigen, dan cahaya dapat memacu
beberapa reaksi kimia yang dapat meningkatkan kerusakan produk (Man dan
Jones, 1999). Hal ini akan membuat produk mengalami penyusutan mutu
sehingga produk tersebut tidak dapat diterima oleh konsumen.
Penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya disebut deteriorasi.
Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Selain akibat
faktor lingkungan, reaksi deteriorasi dapat pula diawali oleh hentakan mekanis
seperti vibrasi, kompresi, dan abrasi. Tingkat deteriorasi dipengaruhi oleh
lamanya penyimpanan, sedangkan laju deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan penyimpanan (Arpah, 2001).
Lebih lanjut Arpah (2001) menyatakan bahwa reaksi deteriorasi pada
produk pangan juga dapat disebabkan oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik
yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk berupa reaksi kimia,
enzimatis, atau lainnya seperti proses fisik dalam bentuk penyerapan uap air atau
gas dari lingkungan. Hal ini akan menyebabkan perubahan-perubahan terhadap
produk yang meliputi perubahan tekstur, flavor, warna, penampakan fisik, nilai
gizi, maupun mikrobiologis.
Umur simpan dari suatu produk bermacam-macam. Menurut Syarief et
al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan makanan yang
dikemas adalah sebagai berikut :
1. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisasi berlangsungnya
perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan
terjadinya kimia internal dan fisik.
2. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volumenya.

13
3. Kondisi atmosfir (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat
bertahan selama transit dan sebelum digunakan.
4. Ketahanan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan
bau, termasuk perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat.
Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan dua
metode yaitu Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies
(ASS). ESS atau yang sering disebut metode konvensional adalah penentuan
tanggal kadaluarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi
normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya
hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun
memerlukan waktu yang lama dan analisis parameter yang relatif banyak.
Menurut Arpah (2001), metode lain yang digunakan dalam menentukan umur
simpan produk ialah dengan metode dipercepat (ASS). Metode ini
menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi
deteriorasi produk pangan, sehingga membutuhkan waktu pengujian yang relatif
singkat akan tetapi tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi. Pada
metode ASS ini produk disimpan pada kondisi lingkungan yang ekstrim, antara
lain produk disimpan pada suhu dan kelembaban yang ekstrim, atau produk
dapat pula disimpan dalam ruangan yang dialiri radiasi ataupun kombinasi dari
beberapa perlakuan tersebut.
Penurunan mutu suatu produk dapat mengikuti laju reaksi ordo. Di
bawah ini akan dijelaskan laju reaksi ordo nol dan laju reaksi ordo satu.
1. Reaksi Ordo Nol
Reaksi ordo nol adalah reaksi-reaksi yang laju reaksinya tidak tergantung
pada konsentrasi pereaksinya (berlangsung dengan laju yang tetap). Pada
reaksi, A adalah hasil reaksi. Laju reaksi ordo nol dapat ditulis dengan
persamaan sebagai berikut :

……………….. persamaan (1)

Persamaan tersebut dapat diintegrasikan secara langsung. Karena pada


awalnya, pada t = 0, konsentrasi reaktan A adalah [A]0, dan pada t = t,
konsentrasi A adalah [A]t, dapat dituliskan :

14
………………. persamaan (2)

diperoleh : [A]t = [A]0 – k.t ……………………… persamaan (3)

atau

………………………… persamaan (4)

………………………….. persamaan (5)

2. Reaksi Ordo Satu


Reaksi ordo satu adalah reaksi-reaksi dimana laju reaksi hanya
tergantung pada konsentrasi sebuah zat yang bereaksi. Hukum laju reaksi
ordo satu adalah sebagai berikut :

……………………….. persamaan (6)

atau

………………………. persamaan (7)

yang dapat diintegrasikan secara langsung. Karena pada awalnya, pada t = 0,


konsentrasi reaktan A adalah [A]0, dan pada t = t, konsentrasi A adalah [A]t,
sehingga dapat dituliskan :

…………………. persamaan (8)

Hasil integrasi adalah :

…………………………. persamaan (9)

15
atau

…………………………. persamaan (10)

[A]t = [A]0. e –k.t atau ln [A]t = ln [A]0 – k.t…. persamaan (11)

Dalam pemilihan penggunaan ordo reaksi pada pendugaan umur simpan


produk dapat dilihat dari hasil korelasi terbesar data hubungan antara
penurunan mutu dan waktu simpan diantara ordo nol dan ordo satu.
Pada penelitian ini digunakan asumsi bahwa penurunan mutu produk
mengikuti reaksi ordo nol sehingga umur simpan produk dapat dihitung dengan
persamaan (5). Nilai konstanta (k) pada persamaan tersebut dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan Arrhenius seperti pada persamaan berikut ini :

................................. persamaan (12)

dimana: k = konstanta penurunan mutu


ko = konstanta pre-eksponensial
Ea = energi aktivasi (kal/mol)
R = konstanta gas (1.986 kal/mol K)
T = suhu (K)

Nilai konstanta pada persamaan Arrhenius dapat dihitung apabila


dilakukan penyimpanan produk pada suhu 28⁰C, 30⁰C, 35⁰C, 40⁰C, 45⁰C, dan
55⁰C (Labuza, 1982). Persamaan (12) dapat diubah menjadi bentuk persamaan
sebagai berikut :
ln k = ln k0 – (Ea/RT)………………… persamaan (13)

Dengan meregresikan hubungan antara ln k dan 1/T maka dapat diperoleh nilai
–Ea/R yang merupakan slope dari persamaan garis dan juga dapat diperoleh
nilai ln k0 yang merupakan intersep dari persamaan garis. Dari nilai ln k0 dapat
diketahui nilai k0-nya. Apabila sudah diketahui nilai –Ea/R dan juga nilai k0
maka selanjutnya dimasukkan dalam persamaan (12).

16

Anda mungkin juga menyukai