Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

ILMU PENYAKIT MATA


KONJUNGTIVITIS ALERGI

Pembimbing :
dr. Indira Retno Artanti, Sp.M

Penyusun
Dhaifina Fitrie Adanie 2016.04.2.0051
Dwitya Fidianti 2016.04.2.0054
Arif Fahmi 2017.04.2.0019

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANGTUAH


RSAL Dr. RAMELAN SURABAYA
2018
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
ILMU PENYAKIT MATA
KONJUNGTIVITIS ALERGI

Judul Referat ” Konjungtivitis Alergi ” telah diperiksa dan disetujui


sebagai salah satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan studi
kepaniteraan Dokter Muda di bagian Ilmu Mata RSAL dr. Ramelan
Surabaya.

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkah dan rahmat-Nya, kami bisa menyelesaikan referat dengan
topik “Konjungtivitis Alergi” dengan lancar. Referat ini disusun sebagai
salah satu tugas wajib untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian
Mata RSAL Dr. RAMELAN Surabaya, dengan harapan dapat dijadikan
sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan penulis
maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari bantuan
dan dukungan berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan terima kasih
kepada:
a. dr. Indira Retno Artati, Sp.M selaku pembimbing Referat.
b. Para dokter di bagian Mata RSAL Dr. RAMELAN Surabaya.
c. Para perawat dan pegawai di bagian Mata RSAL Dr. RAMELAN
Surabaya.
Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan.Semoga referat ini dapat memberi manfaat.

Surabaya, 04 Februari 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................. ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

BAB I ......................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1

BAB II ........................................................................................................ 2

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 2


2.1 Anatomi ........................................................................................... 2
2.1.1 Bola Mata ................................................................................... 2
2.1.2 Aparatus Lakrimal .................................................................... 2
2.1.3 Konjungtiva ................................................................................ 3
2.2 Histologi .......................................................................................... 4
2.2.1 Konjungtiva ................................................................................ 4
2.3 Fisiologi........................................................................................... 6
2.3.1 Konjungtiva ................................................................................ 6
2.4 Konjungtivitis ............................................................................... 7
2.4.1 Definisi...................................................................................... 7
2.5 Konjungtivitis Alergi .................................................................... 7
2.5.1 Definisi...................................................................................... 7
2.5.2 Reaksi Hipersensitifitas ............................................................ 7
2.5.3 Patofisiologi .............................................................................. 9
2.5.4 Manifestasi klinis .................................................................... 10
2.5.5 Klasifikasi Konjungtivitis Alergi ............................................... 10
2.5.6 Penatalaksanaan .................................................................... 17

Daftar Pustaka ........................................................................................ 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Radang konjungtiva (konjungtivitis) adalah penyakit mata paling
umum di dunia. Konjungtivitis disebabkan oleh berbagai hal diantaranya
disebabkan oleh alergi (Vaughan, 2008). Konjungtivitis alergi merupakan
bentuk radang konjungtiva akibat reaksi alergi terhadap noninfeksi, dapat
berupa reaksi cepat seperti alergi biasanya dan reaksi lambat sesudah
beberapa hari kontak seperti pada reaksi terhadap obat, bakteri dan toksik
(Khurana, 2007). Konjungtiva merupakan tempat umum terjadinya suatu
reaksi alergi dikarenakan memiliki vaskularisasi yang tinggi, memiliki
keterpaparan konstan terhadap polutan, dan zat alergen seperti serbuk
sari (Komi et al, 2017).
Di negara-negara maju dan berkembang, 20-30% populasi
mempunyai riwayat alergi, dan 50% individu tersebut mengidap
konjungtivitis alergi. Konjungtivitis alergi bisa berlangsung dari
peradangan ringan seperti konjungtivitis alergi musiman atau bentuk
kronik yang berat seperti keratokonjungtivitis alergi. Morbiditas utama
dikaitkan dengan frekuensi terjadinya yang tinggi di masyarakat daripada
tingkat keparahannya, walaupun bentuk yang lebih kronis dapat
melibatkan kornea dan menyebabkan kondisi yang mengancam
penglihatan (Komi et al, 2017).
Pada dasarnya penyakit konjungtivitis adalah penyakit ringan
namun pada beberapa kasus namun dapat berlanjut menjadi penyakit
yang serius jika penangnannya kurang baik. Berdasarkan hal tersebut di
atas, maka kami merasa perlu mengkaji lebih lanjut terkait konjungtivitis
alergi itu sendiri, cara mendiagnosis, dan bagaimana penanganan yang
baik pada konjungtivitis alergi sehingga tidak terjadi komplikasinya dan
mendapatkan prognosis yang baik ke depannya.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Bola Mata

Gambar 2.1 Anatomi Mata Potongan Coronal (Netter, 2014)


Bentuk normal dari bola mata dewasa adalah sferis, dengan
rata-rata diameter anterposterior adalah 24 mm (Vaughan, 2011). Segmen
Anterior terdiri dari lensa (yang difiksasi oleh zonula yang berasal dari
corpus cilliary) dan struktur yang ada di depannya yaitu iris, kornea, dan 2
ruangan yang terisi aqueous humour : bilik mata depan dan belakang.
Batas dari bilik mata depan bagian anterior adalah dinding posterior
kornea dan batas posteriornya adalah iris dan sebagian dari corpus
cilliary. Sedangkan batas dari bilik mata belakang bagian anterior adalah
iris dan batas posteriornya adalah lensa serta zonulanya. Sedangkan
segmen posterior Terdiri dari struktur yang berada di posterior dari lensa
seperti vitreous humour, retina, choroid, dan optic disc. (Khurana, 2007).

2.1.2 Aparatus Lakrimal


Sistem sekresi air mata atau lakrimal terletak di daerah temporal
bola mata. Sistem ekskresi mulai dari pungtum lakrimal , kanalikuli

2
lakrimal, sakus lakrimal, duktus nasolakrimal, meatus inferior. Sistem
lakrimal terdiri dari dua bagian, yaitu :
1. Sistem produksi atau glandula lakrimal. Terletak di tempero antero
superior rongga orbita,
2. Sistem ekskresi, terdiri atas pungtum lakrimal, kanlikuli lakrimal,
sakus lakrimal dan dukter nasolakrimal. Sakus lakrimal terletak di
bagian depan rongga orbita. Air mata dari duktus lakrimal akan
mengalir ke dalam rongga hidung di dalam meatus inferior (Ilyas,
2014)

2.1.3 Konjungtiva

Gambar 2.2 Anatomi Konjungtiva (Khurana, 2007)


Konjungtiva merupakan lapisan membran mukus tipis dan
transparan yang melapisi bagian posterior dari kelopak mata (konjungtiva
palpebral) dan bagian anterior dari sclera (konjungtiva bulbar).
Konjungtiva berhubungan dengan kulit pada tepi kelopak mata
(mucocutaneus junction) dan berhubungan dengan epitel kornea pada
limbus (Vaughan, 2011).
Konjungtiva palpebral melapisi permukaan posterior kelopak mata
dan melekat secara kuat pada tarsus (Vaughan, 2011).Konjungtiva
palpebral dibagi menjadi bagian marginal, tarsal, dan orbital (Khurana,
2007).

3
Konjungtiva marginal dimulai dari tepi kelopak mata hingga 2 mm
belakang kelopak mata sampai dengan sulkus subtarsalis. Daerah
tersebut merupakan zona transisi antara kulit dan konjungtiva. Konjungtiva
tarsal merupakan lapisan yang tipis, transparent, dan sangat vaskular.
Melekat secara kuat pada tarsal plate di kelopak mata atas. Pada kelopak
mata bawah, hanya menempel di setengah panjang dari tarsus. Kelenjar
tarsal terlihat sebagai garis kekuningan (Khurana, 2007).
Konjungtiva bulbar merupakan lapisan tipis, transparan dan
melapisi struktur dibawahnya secara kendor sehingga memungkinkan
untuk dapat bergerak dengan mudah. Dipisahkan dari sclera anterior
melalui jaringan episklera dan kapsula Tenon. Daerah puncak dari
konjungtiva bulbar (kurang lebih 3 mm) di sekitar kornea disebut dengan
limbal conjunctiva. Pada daerah limbus, konjungtiva, kapsula Tenon, dan
jaringan episklera konjungtiva bergabung menjadi jaringan ikat padat yang
melekat kuat pada corneoscleral junction (Khurana, 2007).
2.2 Histologi
2.2.1 Konjungtiva

Gambar 2.3 Histologi Konjungtiva (C) (Junqueira, 2013)


Konjungtiva merupakan lapisan mukosa tipis yang melapisi bagian
anterior sclera yang terpapar dengan dunia luar dan kemudian
melanjutkan diri untuk melapisi bagian dalam kelopak mata. Konjungtiva
terdiri dari epitel berlapis silindris, dengan sejumlah sel goblet, dan
mengandung lamina propia yang tipis dari jaringan ikat kendor. Sekresi

4
mukus dari sel-sel konjungtiva dialirkan ke lapisan air mata (tear film)
untuk melapisi konjungtiva dan kornea (Junqueira, 2013).

Gambar 2.4 Gambaran mikroskopis konjungtiva menunjukkan tiga lapisan (A) dan
susunan sel epitel pada daerah konjungtiva (B)
Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu, (1)
epitel, (2) lapisan adenoid, dan (3) lapisan fibrosa.
Lapisan epitel, lapisan sel epitel pada konjungtiva bervariasi dari
satu daerah ke daerah lain dan pada bagian yang berbeda sebagai
berikut: Konjungtiva marjinal memiliki 5 lapisan epitel dengan tipe
epitelnya adalah epitel berlapis pipih. Konjungtiva Tarsal memiliki 2
lapisan epitel dengan tipe epitelnya adalah epitel berlapis silindris pada
bagian superficialnya dan inferiornya lapisan sel pipih. Fornix dan bulbar
conjunctiva memiliki epitel berlapis 3: lapisan sel silindris yang dangkal,
lapisan tengah sel polyhedral dan lapisan dalam sel kuboidal. Limbal
conjunctiva memiliki banyak lapisan berlapis (5 sampai 6) epitel skuamosa
berlapis.
Lapisan adenoid, juga disebut lapisan limfoid dan terdiri dari
retikulum jaringan ikat halus yang didalamnya terdapat limfosit. Lapisan ini
paling berkembang di fornices. Lapisan adenoid tidak ada saat lahir

5
namun berkembang setelah 3-4 bulan kehidupan. Untuk alasan ini,
peradangan konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan reaksi folikular.
Lapisan fibrous, terdiri dari jaring-jaring serat kolagen dan elastis.
Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah tarsal
conjunctiva, dimana sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh dan
saraf konjungtiva. Ini menyatu dengan kapsul Tenon yang mendasari di
wilayah konjungtiva bulbar.
Konjungtiva memiliki dua kelenjar yaitu, (1) Kelenjar sekretori
mucin, dan (2) Kelenjar aksesorius lakrimal.
Kelenjar sekretori mucin, yang terdiri dari sel goblet (kelenjar
uniseluler yang terletak di dalam epitel), kripta Henle (hadir dalam
konjungtiva tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva
limbal). Kelenjar ini mengeluarkan lendir yang penting untuk membasahi
kornea dan konjungtiva. Kelenjar lakrimal aksesori, terdiri dari Kelenjar
Krause (terdapat dalam jaringan ikat subconjunctival fornix, sekitar 42 di
bagian atas fornix dan 8 di bawah fornix) dan Kelenjar Wolfring terdapat
di bagian atas perbatasan tarsus superior dan sepanjang batas bawah
tarsus inferior) (Khurana, 2007).

2.3 Fisiologi
2.3.1 Konjungtiva
Fungsi utama konjungtiva adalah memungkinkan kelopak mata
bergerak melewati kornea tanpa menyebabkan kerusakan pada kornea
sebagai bentuk penghalang untuk melindungi bola mata dari cedera luar
dan infeksi. Epitelium dari konjungtiva membentuk penghalang fisik mikro
organisme (tight junctions). Selain itu lapisan air mata yang mengandung
lendir (disekresikan oleh sel goblet dalam konjungtiva) dan sekresi dari
kelenjar lakrimal memberikan aliran cairqan (dilusi dan pergerakan partikel
asing dan organisme) serta agen pelindung lokal (sekresi IgA, lisozim)
(Stemmer, 2015).

6
2.4 Konjungtivitis
2.4.1 Definisi
Konjungtivitis adalah inflamasi dari konjungtia yang merupakan
penyakit paling umum di dunia. Penyakit ini derajat keparahannya
bervariasi, mulai dari hiperemia ringan hingga berat dengan adanya
discharge purulent. Penyebab tersering eksogen, tetapi terkadang
endogen (Vaughan, 2011).

2.5 Konjungtivitis Alergi


2.5.1 Definisi
Konjungtivitis alergi merupakan peradangan konjungtiva yang
disebabkan karena alergi atau reaksi hipersensitivitas, dapat terjadi secara
langsung (humoral) atau lambat (cellular) yang menyebabkan gejala
kemerahan dan gatal (Khurana, 2007).
2.5.2 Reaksi Hipersensitifitas
2.5.2.1 Definisi
Merupakan suatu reaksi imun abnormal yang berlebihan atau
patologis yang disebabkan oleh respon imun tubuh terhadap paparan
berulang suatu antigen. Hipersensitivitas termasuk reaksi abnormal
terhadap jaringan tubuh sendiri (autoimmunity), reaksi terhadap jaringan
yang di transplatasikan dari orang lain (alloimunity) dan alergi yang
mrupakan reaksi terhadap suatu allergen (Guyton, 2008).
2.5.2.2 Klasifikasi
1. Immediate (Type I) Hypersensitivity
Hipersensitivitas tipe I adalah suatu reaksi yang
dimediasi oleh IgE. Reaksi ini terjadi ketika individu yang
tersensitisasi kontak dengan antigen spesifik IgE memiliki afinitas
yang kuat terhadap sel mast, dan pengikatan antigen dengan IgE
akan memicu deganulasi sel mast.
Degranulasi sel mast melepaskan berbagai mediator-
mediator inflamatori, sehingga akan menyebabkan peningkatan
permeabiltas vascular, kontraksi otot polos dan penarikan

7
eosinofil dan neutrofil. Reaksi yang dapat terjadi yaitu anafilaksis,
rhinitis alergi, asma, urtikaria (Kuby, 2007; Guyton, 2008).

Gambar 2.5 Tipe reaksi Hipersensitivitas (Kuby, 2007)

2. Antibody-mediated (type II) Hypersensitivity


Hipersensitivitas tipe II terjadi ketika IgG atau IgM
menyerang antigen yang berikatan pada permukaan sel.
Reaksinya menyebabkan aktivasi komplemen dan lisis atau
opsonisasi sel target. Makrofag akan memfagositosis dan
mengahancurkan platelet, eritrosit atau sel lainnya yang
teropsonisasi. Contoh destruksi sel oleh reaksi tipe II adalah
reaksi transfusi darah, erythroblastosis fetalis, dan anemia
hemolitik autoimun (Kuby, 2007; Guyton, 2008).
3. Immune Complex-mediated (Type III) Hypersensitivity
Hipersensitivitas tipe III terjadi ketika IgG atau IgM
membentuk kompleks antigen-antibodi yang terakumulasi dan

8
mengendap di bawah endotel pembuluh darah atau jaringan lain.
Di tempat deposisi, kompleks tersebut mengaktivasi komplemen
dan memicu inflamasi yang intens menyebabkan destruksi
jaringan dari neutrofil. Contoh reaksi tipe III adalah rheumatoid
arthritis, glomerulnefritis, necrotizing vasculitis, systemic lupus
erythematous. (Kuby, 2007).
4. Delayed cell-mediated (Type IV) Hypersensitivity
Hipersensitivitas tipe IV termasuk reaksi hipersensitivitas
tipe lambat. Reaksi ini dimulai ketika Antigen Presenting Cell
(APC) akan merangsang sel Th1 sehingga akan melepaskan
sitokin yang akan mengaktifkan makrofag atau sel Tc. Hal ini
menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan secara langsung.
Contoh reaksi tipe IV termasuk dermatitis kontak, tubercular
lesions. (Kuby, 2007; Guyton, 2008).

2.5.3 Patofisiologi
Konjungtiva merupakan tempat umum terjadinya alergi dikarenakan
permukaan mukosanya sangat mudah terpapar alergen (Komi et al, 2017).
Pada konjungtivitis alergi dapat berupa reaksi hipersensitivitas tipe 1 (tipe
cepat) yang berlaku apabila individu yang sudah tersentisisasi
sebelumnya berkontak dengan antigen yang spesifik. Respon alergi pada
mata merupakan suatu rangkaian peristiwa yang dikoordinasi oleh sel
mast. Beta chemokins seperti eotaxin dan MIP-alpha diduga memulai
aktifasi sel mast pada permukaan mata. Ketika terdapat suatu alergen,
akan terjadi sensitisasi yang akan mempersiapkan sistem tubuh untuk
memproduksi respon antigen spesifik. Sel T yang berdiferensisasi menjadi
sel TH2 akan melepaskan sitokin yang akan merangsang produksi antigen
spesifik imunoglobulin E (IgE). IgE akan berikatan dengan IgE reseptor
pada permukaan sel mast. Kemudian memicu pelepasan sitokin,
prostaglandin dan platelet activating factor. Sel mast menyebabkan
peradangan dan gejala-gejala alergi yang diaktivasi oleh sel inflamasi.
Ketika histamin dilepaskan oleh sel mast. Histamin akan berikatan

9
dengan reseptor H1 pada ujung saraf dan menyebabkan gejala pada mata
berupa gatal. Histamin juga akan akan berikatan dengan reseptor H1 dan
H2 pada pembuluh darah konjungtiva dan menyebabkan vasodlatasi.
Sitokin yang dipicu oleh sel mast seperti chemokin, interleukin IL-8 terlibat
dalam memicu netrofil.Sitokin TH2 seperti IL-5 akan memicu eosinofil dan
IL-4, IL-6,IL-13 yang akan memicu peningkatan sensitivitas (Khurana,
2007).
2.5.4 Manifestasi klinis
Gejala utama penyakit alergi ini adalah radang (merah, sakit,
bengkak, dan panas), gatal, silau berulang dan menahun. Tanda
karakteristik lainnya adalah terdapatnya papil besar pada konjungtiva,
injeksi konjungtiva, yang dapat mengganggu penglihatan. Walaupun
penyakit alergi konjungtiva sering sembuh sendiri akan tetapi dapat
memberikan keluhan yang memerlukan pengobatan. Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan sel eosinofil, sel plasma, limfosit, dan basofil yang
meningkat. Dapat juga dilakukan pemeriksaan tes alergi untuk
mengetahui penyebab dari alerginya itu sendiri (Vaughan, 2008).
2.5.5 Klasifikasi Konjungtivitis Alergi
1. Simpel Alergik Konjungtivitis
Dibagi menjadi tiga yaitu hay fever konjungtivitis, seasonal alergi
konjungtivitis (SAC), dan perennial alergi konjungtivitis (PAC).
Etiologi :
Penyebab hay fever konjungtivitis atau allergik rhinitis adalah pollen,
rumput, dan dandruff hewan. Untuk seasonal alergi konjungtivitis
merupakan alergi musiman terhadap serbuk sari tanaman. Sedangkan
perennial alergi konjungtivitis bisa disebabkan karena debu rumah dan
tungau (Khurana, 2007). Salah satu jenis debu rumah dan tungau yang
sering menyebabkan konjungtivitis adalah Dermatophagoides
pteronyssinus (Lee et. al, 2016)
Gejalanya yang dapat ditemukan adalah gatal dan sensasi terbakar
pada mata disertai dengan berair dan fotofobia. Tandanya ditemukan
hyperemia dan kemosis yang membuat konjungtiva terlihat bengkak, dan

10
edema kelopak mata. Diagnosis dibuat berdasarkan tanda dan gejala
yang tipikal, flora normal konjungtiva, adanya peningkatan eosinofil pada
sekret (Khurana, 2007).
2. Keratokonjungtivitis Vernal
Penyakit yang dikenal juga sebagai “catarrh spring” dan
“konjungtivitis musiman” atau “konjungtivitis musim kemarau” ini adalah
penyakit alergi bilateral yang jarang; biasanya mulai pada tahun-tahun
pubertas dan berlangsung selama 5-10 tahun. Penyakit ini lebih banya
pada anak laki laki dibandingkan perempuan. Alergen spesifiknya sulit
dilacak, tetapi pasien keratokonjungtivitis vernal biasanya menampilkan
manifestasi alergi lainnya, yang diketahui berhubungan dengan sensitifitas
terhadap tepung sari rumput. Penyakit ini lebih jarang di daerah beriklim
sedang daripada di daerah hangat, dan hampir tidak ada di daerah dingin.
Penyakit ini hampir selalu lebih parah selama musim semi, musim panas,
dan musim gugur daripada di musim dingin. Paling banyak ditemukan di
afrika sub-Sahara dan timur tengah (Vaughan, 2008).

Gambar 2.6 Keratokonjungtivitis vernal (Khurana, 2007)

Pasien umumnya mengeluh sangat gatal dengan kotoran mata


berserat-serat. Biasanya terdapat riwayat alergi di keluarga (hay fever,
eksim, dll), dan terkadang disertai riwayat alergi pasien itu sendiri.
Konjungtiva tampah putih-susu, dan terdapat banyak papilla halus di
konjungtiva tarsalis inferior. Konjungtiva palpebralis superior sering
menampilkan papilla raksasa yang memberikan gambaran “cobblestone”.
Setiap papilla raksasa berbentuk polygonal, dengan atap rata, dan

11
mengandung tumpukan kapiler. Mungkin terdapat kotoran mata
berserabut dan pseudomembran fibrinosa (tanda Maxwell-lyons). Pada
beberapa kasus, terutama pada orang negro turunan afrika, lesi paling
mencolok terdapat di limbus, yaitu pembengkakan glatinosa (papillae).
Sebuah pseudogerontoxon (kabut serupa-busur) sering terlihat pada
kornea dekat papilla limbus. Bintik-bintik tranta adalah bintik-bintik putih
yang terlihat di limbus pada beberapa pasien dengan fase aktif
keratokonjungtivitis vernal. Ditemukan banyak eosinofil dan granula
eosinofilik bebas didalam bintik transas dan sediaan hapus eksudat
konjungtiva yang terpulas giemsa (Vaughan, 2008).

Gambar 2.7 Keratokonjungtivitis (Khurana, 2007)

Mikropanus sering tampak pada keratokonjungtivitis vernal


palpebra dan limbus, tetapi pannus besar jarang dijumpai. Parut
konjungtiva biasanya tidak ada, kecuali pasien telah menjalani krioterapi,
pengangkatan papilla, iraidasi, atau prosedur yang dapat merusak lainnya.
Mungkin terbentuk ulkus korne superficial (perisai) (lonjong dan terletak di
superior) yang dapat berakibat parut ringan di korne. Keratitis epithelial
difus yang khas sering kali terlihat. Tidak satupun lesi kornea ini
berespons baik terhadap terapi standar. Penyakit ini mungkin disertai
keratoconus (Vaughan, 2008).
Karena keratokonjungtivitis vernal adalah penyakit yang sembuh
sendiri, perlu diingat bahwa medikasi yang dipakai untuk meredakan
gejala dapat member perbaikan dalam waktu singkat, tetapi dapat
memberikan kerugian jangka-panjang. Steroid topical atau sistemik, yang

12
mengurangi rasa gatal, hanya sedikit mempengaruhi penyakit kornea ini,
dan efek sampingnya (glaucoma, katarak, dan komplikasi lain) dapat
sangat merugikan. Kombinasi antihistamin penstabil sel mast yang lebih
baru bermanfaat sebagai agen profilaktik dan terapeutik pada kasus
sedang hingga berat. Vasokonstriktor, kompres dingin, dan kompres es
ada manfaatnya; tidur (jika mungkin juga bekerja) di ruanga sejuk ber-AC
membuat pasien nyaman.Kemungkinan besar, pemulihann terbaik dicapai
dengan pindah ke tempat beriklim sejuk dan lembab.Pasien yang
melakukan ini setidaknya membaik bila tidak sembuh total (Vaughan,
2008).
Gejala akut pada seorang pasien yang sangat fotofobik hingga
tidak dapat berbuat apa-apa sering kali diatasi dengan steroid sistemik
atau topikal jangka pendek, diikuti dengan vasokonstriktor, kompres
dingin, dan pemakaian teratur tetes mata yang memblok histamine. Obat-
obatan antiinflamasi non-steroid yang lebih baru, seperti Ketorolac dan
Iodoxamide, cukup bermanfaat untuk mengurangi gejala, tetapi bisa
memperlambat reepitalisasi ulkus “perisai” vernal. Penyuntikan depot
kortikosteroid supratarsal dengan atau tanpa eksisi papilla raksasa terbukti
efektif untuk ulkus “perisai” vernal (Vaughan, 2008).
3. Keratokonjungtivitis Atopik

Gambar 2.18 Hipertrofi Papila


Pasien dermatitis atopik (eksim) sering kali juga menderita
keratokonjungtivitis atopic. Tanda dan gejalanya adalah sensasi terbakar,
pengeluaran sekret mukoid, merah, dan fotofobia. Tepian palpebranya
eritematosa, dan konjungtiva tampak putih seperti susu. Terdapat papilla-

13
papila halus, tetapi papilla raksasa kurang nyata dibandingkan pada
keratokonjungtivitis vernal, dan lebih sering terdapat di tarsus inferior-
berbeda dengan papila raksasa keratokonjungtivitis vernal, yang ada di
tarsus superior. Tanda-tanda kornea yang berat muncul pada perjalanan
lanjut penyakit setelah eksaserbasi konjungtivitis terjadi berulang kali.
Timbul keratitis perifer superficial yang diikuti dengan vaskularisasi.Pada
kasus yang berat, seluruh kornea tampak kabur dan mengalami
vaskularisasi, ketajaman penglihatan menurun. Penyakit ini mungkin
diserta: keratokonus. Biasanya ada riwayat alergi (hay fever, asma atau
eksim) pada pasien atau keluarganya.Kebanyakan pasien pernah
menderita dermatitis atopik sejak bayi. Parut pada lipatan fleksura, lipat-
siku dan pergelangan tangan dan lutut sering ditemukan. Seperti
dermatitisnya, keratokonjungtivitis atopik berlangsung berlarut-larut dan
sering mengalami eksaserbasi dan remisi.Seperti keratokonjungtivitis
vernal, penyakit ini cenderung kurang aktif saat pasien telah berusia 50
tahun (Vaughan, 2008)
Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meskipun tidak
sebanyak yang terlihat pada keratokonjungtivitis vernal.Sering timbul
parut pada konjungtiva maupun kornea, dan terentuk katarak atopik, plak
subkapsular posterior, atau katarak mirip-perisai anterior. Keratokonus,
ablasio retina, dan keratitis herpes simpleks cukup banyak dijumpai pada
pasien dengan keratokonjungtivitis atopik; dan terdapat banyak kasus
blepharitis dan konjungtivitis bacterial sekunder, umumnya oleh
staphylococcus (Vaughan, 2008).
Penanganan konjungtivitis atopic sering mengecewakan.Setiap
infeksi sekunder harus diobati.Harus diusahakan kontrol
lingkungan.Terapi topikal jangka panjang dengan obat penstabil sel mast
adalah hal yang terpenting. Antihistamin oral juga bermanfaat.Obat obat
antiinflamasi non-steoid yang lebih baru, seperti Ketorolac dan
lodoxamida, dapat mengatasi gejala pada pasien-pasien ini. Steroid
topikal jangka pendek dapan meredakan gejala. Pada kasus-kasus berat,
plasmaferesis atau imunosupresan sistemik bisa menjadi terapi tambahan.

14
Pada kasus lanjut dengan komplikasi kornea berat, mungkin diperlukan
transplantasi kornea untuk memperbaiki ketajaman penglihatannya
(Vaughan, 2008).
4. Giant Papillary Conjunctivitis

Gambar 2.9 Giant Papil (Khurana, 2007)


Konjungtivitis papila raksasa dengan tanda dan gejala yang mirip
konjungtivitis vernal dapat dijumpai pada pasien pengguna lensa kontak
atau mata buatan dari plastik.Ini kemungkinan suatu penyakit
hipersensititas tipe lambat yang kaya basofil (hipersensitivitas Jones Mole)
dengan komponen IgE humoral. Mengganti prosthesis mata plastik
dengan kaca dan memakai kacamata bukan lensa kontak dapat
menyembuhkannya. Jika lensa kontak tetap harus dipakai, diperlukan
tindakan tambahan. Perawatan lensa kontak yang baik, termasuk dengan
zat bebas pengawet, sangat penting. Disinfeksi dengan hydrogen
peroksida dan pembersih lensa kontak secara enzimatik juga menolong
penggantian lensa kontak ke jenis weekly disposable atau daily
disposable mungkin diperlukan jika cara-cara lain tidak menolong. Bila
semua ini gagal, pemakaian lensa kontak harus dihentikan (Vaughan,
2008).
5. Fliktenulosis
Disebabkan karena reaksi terhadap protein mikroba, termasuk
protein dari basil tuberkel, Staphylococcus spp, Candida albicans,
Coccidioides immitis, Haemophilus aegyptius, dan Chlamydia trachomatis
serotype L1, L2, dan L3.

15
Dulu fliktenulosis di USA paling sering terjadi akibat hipersensitif lambat
terhadap protein basil tuberkel manusia. Basil ini masih menjadi penyebab
paling umum di daerah-daerah dengan prevalensi tuberculosis yang
tinggi. Namun, sekarang kebanyakan kasus yang berhubungan dengan
hipersensitifitas tipe lambat di USA disebabkan oleh Staphylococcus
aureus.

Gambar 2.10 Konjungtivitis Phylctenular (Khurana, 2007)

Fliktenula konjungtiva timbul sebagai lesi kecil (umumnya


berdiameter 1-3mm) yang keras, merah, meninggi, dan dikelilingi zona
hyperemia.Di limbus sering berbentuk segitiga, dengan apeks mengarah
ke korne. Di sini terbentuk pusat putih-kelabu, yang segera menjadi ulkus
dan mereda dalam 10-12 hari.Lesi awal fliktenula dan pada kebanyakan
kasus kambuh (biasanya) terjadi di limbus, tetapi ada juga yang di kornea,
bulbus, dan sangat jarang di tarsus.
Berbeda dengan fliktenula konjungtiva, yang tidak meninggalkan
jaringan parut, fliktenula kornea berkembang sebagai infiltrat kelabu amorf
dan selalu meninggalkan jaringan parut, sejalan dengan perbedaan ini,
terbentuk parut pada sisi-kornea lesi limbus dan tidak pada sisi-
konjungtiva. Hasilnya adalah suatu parut bentuk segi tiga dengan dasar
pada limbus – suatu tanda penting fliktenulosis lama yang mengenai
limbus.Fliktenula konjungtiva biasanya hanya menimbulkan iritasi dan air
mata, tetapi fliktenula di kornea dan limbus umumnya disertai fotofobia
hebat. Fliktenulosis sering dipicu oleh blefaritis aktif, konjungtifitis bacterial
akut, dan defisiensi diet. Parut fliktenular, yang mungkin minimal atau luas,
sering kali diikuti dengan degenerasi nodular Salzmann.

16
Secara histologis, fliktenula adalah infiltrasi sel-sel bulat kecil ke
perivaskular dan subepitel setempat, yang diikuti oleh sejumlah besar sel
polimorfonuklear saat epitel diatasnya mengalami nekrosis dan terkelupas
– serangkaian peristiwa yang merupakan cirri khas reaksi hipersensitivitas
tipe tuberkulin lambat.
Fliktenulosis yang diinduksi oleh tuberkuloprotein dan proten dari
infeksi sistemik lain berespons secara dramatis terhadap kortikosteroid
topikal. Terjadi pengurangan sebagian besar gejala dalan 24 jam dan lesi
hilang dalam 24 jam berikutnya. Fliktelunosis oleh protein staphylococcus
berespons agak lebih lambat. Antibiotik topikal hendaknya ditambahkan
pada blefarokonjungtivitis stafilokokal aktif. Pengobatan harus ditunjukkan
terhadap penyakit pencetus; steroid, bila efektif hendaknya hanya dipakai
untuk mengatasi gejala akut dan parut kornea yang menetap. Parut
kornea berat mungkin memerlukan transplantasi kornea.
6. Konjungtivitis ringan sekunder akibat kontak blefaritis
Disebabkan karena adanya kontak dari blefaritis yang dapat
disebabkan oleh penggunaan atropin, neomycin, antibiotik spectrum-luas,
dan obat topikal lain sering diikuti oleh konjungtivtis infiltratif ringan yang
menimbulkan hyperemia, hipertrofi papilar ringan, sekret mukoid ringan,
dan sedikit iritasi.
Pemeriksaan kerokan berpulas-Giemsa sering hanya
menampakkan sedikit sel epitel yang berdegenerasi, sedikit sel
polimorfonuklear dan mononuclear, tanpa eosinofil.Pengobatan diarahkan
pada penemuan agen penyebab dan menghilangkannya. Blefaritis kontak
cepat membaik dengan kortikosteroid topikal, tetapi pemakaiannya harus
dibatasi. Penggunaan steroid jangka-panjang di palpebra dapat
menimbulkan glaucoma steroid dan atrofi kulit dengan telangiektasis yang
memperburuk penampilan.

2.5.6 Penatalaksanaan
Penanganan dari konjungtivitis alergi adalah berdasar pada
identifikasi antigen spesifik dan eliminasi dari pathogen spesifik.

17
Pengobatan suportif seperti lubrikan dan kompres dingin dapat membantu
meredakan gejala yang dirasakan oleh pasien. Obat-obatan yang
menurunkan respon imun juga digunakan pada kasus konjungtivitis alergi
untuk menurunkan respon imun tubuh dan meredakan gejala inflamasi.
Obat –obat berikut ini berguna dalam mengobati konjungtivitis alergi:
Steroid topikal. Kortikosteroid menghambat proses inflamasi (misalnya,
edema, dilatasi kapiler, dan proliferasi fibroblast). Obat tersebut juga
membatasi migrasi makrofag dan neutrofil untuk daerah meradang serta
memblokir aktivitas fosfolipase A2 dan selanjutnya induksi asam
arakidonat cascade. Obat ini digunakan dalam pengobatan penyakit mata
akut alergi, steroid efektif dalam mengurangi gejala alergi akut, namun,
penggunaannya harus dibatasi karena potensi efek samping dengan biala
lama digunakan. Penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang dapat
menyebabkan komplikasi: katarak subkapsular posterior dan peningkatan
tekanan intraokular (TIO) (Komi et al, 2017).
Vasokonstriktor topikal / antihistamin. Agen ini menyebabkan
penyempitan pembuluh darah, menurunkan permeabilitas pembuluh
darah, dan mengurangi mata gatal-gatal dengan memblokir histamin H1
receptors. Anithistamines kompetitif terikat dengan reseptor histamin dan
dapat mengurangi gatal dan vasodilatasi. Levocabastine hidroklorida
0,05%, sebuah H1 selektif topikal antagonis reseptor histamin, efektif
dalam mengurangi tanda-tanda dan gejala alergi lain conjunctivitis. H1
selektif antagonis, azelastine hidroklorida 0,05%, efektif dalam
mengurangi gejala yang terkait dengan alergi, difumarate 0,05%, suatu
antagonis H1 selektif, mungkin lebih efektif dibandingkan levocabastine
dalam mengurangi chemosis, kelopak mata bengkak,dan tanda-tanda dan
gejala yang berhubungan dengan konjungtivitis alergi musiman pada
pasien dewasa dan anak (Komi et al, 2017).
Non-steroid anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) topikal.Obat ini
menghambat aktivitas siklooksigenase, salah satu yang bertanggung
jawab untuk konversi asam arakidonat ke enzim prostaglandins. Ketorolac
trometamin 0,5% dan diklofenak natrium 0,1% efektif dalam mengurangi

18
tanda-tanda dan gejala berhubungan dengan konjungtivitis alergi,
meskipun Makanan dan Drug Administration (FDA) telah menyetujui
hanya ketorolac untuk pengobatan konjungtivitis alergi (Komi et al, 2017).
Stabilisator sel mast topikal. Agen ini menghambat degranulasi sel
mast, sehingga membatasi pelepasan inflamasi mediator, termasuk
histamin, neutrofil dan eosinofil faktor chemotactic, dan platelet-activating
factor (Komi et al, 2017).
Imunosupresan. Siklosporin A adalah agen imunosupresan sistemik
ampuh digunakan untuk mengobati berbagai immunemediated kondisi.
Sistemik diberikan siklosporin A dapat menjadi pengobatan yang efektif
untuk pasien dengan keratokconjugtiviits atopik yang berat (Komi et al,
2017). Pada penelitian yang dilakukan oleh Hyun pada tahun 2016
menunjukan bahwa ternyata pemberian beta 1,3 glucan dapat
menurunkan respon alergi oleh sel Th 2 sehingga infiltrasi eosinofil pada
konjungtiva dapat berkurang (Hyun et al, 2016).
Antihistamin sistemik. Agen ini berguna dalam kasus-kasus tertentu
respon alergi dengan edema, dermatitis, rinitis, atau sinusitis. Mereka
harus digunakan dengan hati-hati karena penenang yang dan efek
antikolinergik dari beberapa antihistamin generasi pertama obat-obatan.
Pasien harus memperingatkan efek samping potensial. Antihistamin baru
yang jauh lebih kecil kemungkinannya untuk menyebabkan sedasi, tetapi
penggunaannya dapat mengakibatkan kekeringan okular meningkat
permukaan (Komi et al, 2017).
1. Simpel konjungtivitis alergi (Hay fever, seasonal, perennial)
 Menghindari kontak dengan alergen sebisa mungkin
 Tindakan paliatif :
i. Vasokonstriksi seperti adrenalin, ephedrine, dan
naphazoline.
ii. Tetes sodium cromogylycate sangat efektf dalam
mencegah kambuhnya pada kasus atopik.

19
iii. Tetes mata steroid harus dihindari. Namun, bisa
diberikan dalam jangka waktu pendek pada pasien
yang parah.
 Obat-obatan antihistamin sistemik dapat diberikan pada
kasus akut yang ditandai gatal (Khurana,2007).

2. Keratokonjungtivitis Vernal
 Terapi lokal
i. Steroid topikal, efektif pada konjungtivitis vernal. Namun
penggunaannya harus di minimalkan, apabila sering
maka bisa menyebabkan glaukoma. Pada terapi steroid
sangat untuk memonitor tekanan intraokular.
ii. Mast cell stabilizer. Seperti tetes sodium cromoglycate 4-
5 kali per hari cukup efektif untuk mengontrol VKC. Tetes
mata Azelastine juga efektif mengontrok VKC.
iii. Antihistamin topikal juga efektif.
iv. Cyclosporin efektif untuk kasus berat.
 Terapi sistemik
i. Antihistamin oral bisa mengurangi gatal pada kasus yang
berat.
ii. Steroid oral dalam jangka waktu pendek
direkomendasikan untuk kasus yang sangat berat
(Khurana,2007).

3. Konjungtivitis Atopik
 Terapi, terkadang tidak membuat nyaman pasien
 Diberikan sodium cromogylate tetes, steroid.
 Menerapi eczema facial dan penyakit pada tepi kelopak
mata (Kanski, 2015).

4. Konjungtivitis Giant Papilar


 Penyebab lain yang berkaitan disembuhkan terlebih dahulu.

20
 Sodium cromoglycate dikentahui dapat meringankan gejala
dan meningkatkan laju penyembuhan (Khurana,2007).

5. Konjungtivitis Phlytecnular
 Steroid topikal, dalam tetes mata atau salep
(dexamethason/Betamethason)
 Antibiotik tetes dan salep bisa diberikan untuk infeksi
sekunder (konjungtivitis mukopurulent).
 Atropin salep mata dapat diberikan satu kali sehari apabila
terkena kornea (Khurana,2007).

6. Konjungtivitis Ringan Sekunder akibat Blepharitis Kontak


 Pengobatan diarahkan pada penemuan agen penyebab dan
menghilangkannya (Khurana, 2007).
 Kortikosteroid topikal bisa diberikan, tapi pemakaian harus
dibatasi. Penggunaan jangka panjang di palpebra dapat
menimbulkan glaucoma steroid dan atrofi kulit (Khurana,
2007).

21
Daftar Pustaka

Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 11.
Jakarta: EGC.
Hyun Soo Lee, Kwon ji Young, Choun Ki joo. 2016. Topical Administration
of Beta Glucan to Modulate Allergic Conjunctivitis in a Murine
Model. Medical Research Institute. The catholic university of Korea,
Seoul, Korea. Vol 57 (3).
Ilyas, Sidarta. 2014. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Badan Penerbit FK
UI.
Mescher, Antony L. 2013. Junqueira’s Basic Histology Text & Atlas. 13th
editon. United States of America : Mc Graw Hill Education.
Netter, Frank. H. 2014. Atlas of Human Anatomy. 6th Edition.Philadelphia.
Saunders Elsivier
Kanski, J.J, 2015, Clinical Ophthalmology.
Komi Elieh Ali, Rambasek T, Bielory L. 2017. Clinical Implications of Mast
Cell Involvement in Allergic Conjunctivitis. Immunology Research
Center. University of Medical Sciences, Tabriz, Iran. Vol 44
Khurana, A.K., 2007. Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. New Delhi:
New Age International.
Kuby,Barbara A. O, Richard A. G, Thomas, J. K., 2007. Immunology. 6th
Edition. New York. Freeman and Company.
Thor, Bernard Yu-hor. 2017. Allergic Conjunctivitis in Asia. Singapore.
Department of Rheumathogy, Allergy and Immunology.
Vaughan, Asbury., 2011. General Ophtalmology. 18th edition. New York.
Mc Graw Hill.
Warner Carr, M.D, Jack Schaeffer. O.D., F.A.A.O., Eric Donnenfeld, M.D.
2016. Treating allergic conjunctivitis: A once-daily medication that
provides 24 hour symptom relief.

22
Young Ji Lee, Soo Jung Han, Hun Lee, Jin Sun Kim. 2016. Development
of Allergic Conjunctivitis Induced by House Dust Mite Extract From
Dermatophagoides pteronyssinus. Medical Research Institute.
Kwandong University of CollegueMedicine Hospital, Incheon, South
Korea. Vol 57(4).

23

Anda mungkin juga menyukai