PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rheumatoid Arhritis (RA) adalah penyakit inflamasi kronis yang belum
diketahui pasti sebabnya yang ditandai dengan poliarthritis simetris dan perifer.
Hal itu merupakan akibat dari inflamasi arthritis kronis dan sering menimbulkan
kerusakan sendi dan kelemahan fisik. Karena RA merupakan penyakit sistemik,
RA dapat menimbulkan berbagai manifestasi dari ekstraartikulasi, termasuk
kelemahan, nodul subcutaneous, pericarditis, neuropati perifer, vasculitis, dan
abnormal hematologi (Braunwald, 2012).
Pemahaman yang diperoleh dari sejumlah hal mendasar dan penelitian
kesehatan selama lebih dari dua dekade telah merubah paradigma tentang
diagnosis dan manajemen RA saat ini. Serum antibodi untuk cyclic citrullinated
peptides (anti-CCPs) sekarang telah menjadi penanda penting dari diagnosis dan
prognosis. Selain itu, kemajuan akan penggunaan suara ultrasonik dan resonansi
magnetik dapat meningkatkan kemampuan kita untuk mendeteksi inflamasi dan
kerusakan sendi pada Rheumatoid Arthritis. Ilmu pengetahuan mengenai RA telah
mengambil lompatan besar dengan mengidentifikasi penyakit baru yang
berhubungan dengan genetik dan menguraikan lebih lanjut mengenai jalur
molekuler dari patogenesis penyakit. Hal yang relatif penting dari beberapa
perbedaan mekanisme telah digambarkan melalui penelitian baru mengenai terapi
biologis dengan target tinggi. Disamping kemajuan tersebut, pemahaman yang
belum sempurna mengenai pengenalan jalur patogen dari RA menjadi penghalang
yang cukup besar dalam pengobatan dan pencegahan (Braunwald, 2012).
Pada dua dekade terakhir terlihat peningkatan hasil yang luar biasa dari
Rheumatoid Arthritis. Deskripsi mengenai kelumpuhan persendian pada saat ini
telah jarang ditemukan. Banyak dari kemajuan tersebut yang dapat ditelusuri
untuk terapi yang lebih luas dan mengadopsi terkait pengobatan dini. Perubahan
strategi pengobatan menentukan pemikiran baru pada praktisioner primary care,
salah satu yang menuntut penyerahan pasien dengan inflamasi arthritis untuk
rheumatologist dengan tujuan mendukung diagnosis dan permulaan terapi. Dan
1
kemudian mereka akan memperoleh hasil yang terbaik dari beberapa strategi
pengobatan tersebut (Braunwald, 2012).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit inflamasi kronik yang tidak
diketahui pasti penyebabnya yang ditandai dengan poliarthritis perifer dan
simetris. Keduanya pada umumnya merupakan akibat dari inflamasi arthritis dan
kerusakan sendi, serta gangguan fisik. Karena RA merupakan penyakit sistemik,
RA menimbulkan berbagai manifestasi ekstraarticular, termasuk kelelahan, nodul
pada lapisan subcutaneous, lung involvement, pericarditis, neuropati perifer,
vaskulitis, dan keabnormalan dari hematologi. (Braunwald, et.al., 2012)
2. Hormon Seks
Prevelansi RA lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki,
sehingga diduga hormon seks berperanan dalam perkembangan penyakit ini. Pada
3
observasi didapatkan bahwa terjadi perbaikan gejala RA selama kehamilan.
Perbaikan ini diduga karena adanya aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang
menyerang HLA-DR sehingga terjadi hambatan fungsi epitop HLA-DR yang
mengakibatkan perbaikan penyakit. Selain itu, terdapat juga perubahan profil
hormon. Placental corticotropin releasing hormone secara langsung menstimulasi
sekresi dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama pada
perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus (Suarjana, 2009).
Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun selular dan
humoral. DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta.
Estrogen dan progesteron menstimulasi respon imun humoral (Th2) dan
menghambat respon imun selular (Th1). Oleh karena pada RA respon Th1 lebih
dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan
terhadap perkembangan RA. Pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah
kemungkinan RA atau berhubungan dengan penurunan insiden RA yang lebih
berat (Suarjana, 2009).
3. Faktor Infeksi
Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab. Organisme
diduga menginfeksi sel induksi sel (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel
T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum ditemukan agen
infeksi yang secara nyata terbukti sebagai penyakit (Suarjana, 2009).
Tabel 1. Agen Infeksi yang Diduga sebagai Penyebab RA
Agen infeksi Mekanisme patogenik
Mycoplasma Infeksi sinovial langsung, superantigen
Parvovirus B19 Infeksi sinovial langsung
Retrovirus Infeksi sinovial langsung
Enteric bacteria Kemiripan molekul
Mycobacteria Kemiripan molekul
Epstein-Barr Virus Kemiripan molekul
Bacterial Cell Walls Aktivasi mikrofag
4
4. Protein heat shock (HSP)
HSP adalah protein yang diproduksi oleh sel pada semua spesies sebagai
respon terhadap stress. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino
homolog. HSP tertentu manusia dan HSP mikobacterium tuberkulosis mempunyai
untain 65% yang homolg. Hipotesisnya dalah antibodi dan sel T mengenali epitop
HSP pad agen infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit
dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi imunologis. Mekanisme ini dikenal
sebagai kemiripan molekul (molecular mimcry) (Suarjana, 2009).
5
2) Diartrosis
Diartrosis adalah persambungan antara dua tulang atau lebih yang
memungkinkan tulang-tulang bergerak satu sama lain. Diantara tulang-tulang
yang bersendi tersebut terdapat rongga yang disebut kavum artikulare. Diartrosis
ini juga disebut sebagai sendi sinovial yang tersusun atas bonggol sendi (kapsul
retikuler), bursa sendi dan ikat sendi (ligamentum).
Dapat dikelempokkan menjadi:
a. Sendi peluru: persendian yang memungkinkan pergerakan ke segala arah.
Contoh: hubungan tulang lengan atas dengan tulang belikat.
b. Sendi pelana: persendian yang memungkinkan beberapa gerakan rotasi,
namun tidak ke segala arah. Contoh: hubungan tulang telapak tangan dan jari
tangan.
c. Sendi putar: persendian yang memungkinkan gerakan berputar (rotasi).
Contoh: hubungan tulang tengkorak dengan tulang belakang I (atlas).
d. Sendi luncur: persendian yang memungkinkan gerak rotasi pada satu bidang
datar. Contoh: hubungan tulang pergerlangan kaki.
e. Sendi engsel: persendian yang memungkinkan gerakan satu arah. Contoh:
sendi siku antara tulang lengan atas dan tulang hasta.
3) Amfiartosis
Persendian yang dihubungkan oleh jaringan tulang rawan sehingga
memungkinkan terjadinya sedikit gerakan. Misalnya sendi sacro iliaka dan sendi-
sendi antara corpus vertebra. Sendi sinovial umumnya dijumpai pada ekstremitas.
Pada sendi ini ditemukan adanya celah sendi, rawan sendi, membran sinovium
serta kapsul sendi.
4) Simfisis
Tulang dihubungkan oleh jaringan tulang rawan yang berbentuk seperi
cakram. Contoh: hubungan antara ruas-ruas tulang belakang. (Velyn C. Pearce. 2006).
6
2.4 Peran Sinovium Dalam Kerusakan Sendi
Sinovium merupakan bagian penting dari sendi diartrodial dan secara
fisiologis berfungsi dalam transpor nutrien ke dalam rongga sendi serta
mengeluarkan sisametabolismenya, membantu stabilitas sendi dan bersifat low-
friction lining. Secara normal, sinovium diharapkan mampu memelihara,
mendukung dan mengganti substansiyang diperlukan dalam kerja sendi sebagai
suatu organ sepanjang hidup individu yang bersangkutan. Perubahan- perubahan
yang terjadi pada sinovium tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap sendi.
Sebagian besar perubahan tersebut disebabkan oleh peningkatan dari volume
sinovium itu sendiri seperti perubahan dari jumlah dan komposisi dari sel yang
secara normal ditemukan pada sinovium yaitu sinoviosit, fibroblast, makrofag, sel
mast, sel vaskular dan sel limfatik ataupun adanya infiltrasi sel- sel tertentu ke
dalam sinovium .Peranan sinovium dalam kerusakan sendi pada berbagai penyakit
memiliki mekanisme yang berbeda. Pada RA ditemukan pada sinovium adanya
hyperplasia yang didominasi oleh sel sinoviosit A dan sinoviosit B pada bagian
luar. Selain hyperplasia sinovium ditemukan juga vaskularisasi yang meningkat
dan infiltrasi sel-sel inflamasi terutama sel limfosit T CD4, yang merupakan peran
utama pada respon imun seluler. Daerah utama terjadinya kerusakan sendi terletak
pada pertemuan jaringan sinovium yang meradang (pannus) dengan rawan sendi
dan tulang. Pada stadium lanjut terdapat kerusakan periartikuler dan erosi tulang
(16). (Bermawan, Penyakit Radang Sendi 2011).
2.5 Patofisiologi
Peranan sinovial mediator pada AR Synovial mediator ataupun sitokin
yang dihasilkan akibat adanya aktivasi berbagai sel imunokompeten mengaktivasi
endotel vaskuler, dan sel-sel inflamasi lainnya yang akhirnya sel-sel tersebut
mensekresi sitokin. Pada AR tampak gangguan keseimbangan sitokin pro
inflamasi dan anti inflamasi yang menyebabkan otoimunitas berjalan. Berbagai
sitokin terlibat pada kerusakan dan inflamasi sinovium. Interleukin-1 dan TNF-α
merupakan sitokin yang memiliki peran penting dalam pathogenesis AR. Kedua
sitokin ini merupakan stimulator yang kuat sel-sel fibroblastsinovium, osteoklas
dan kondrosit.( Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L., 2007).
7
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan
diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel
seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi
determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah diproses akan
dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan determinan HLA-DR yang
terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu kompleks
trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1) yang
dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya
aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan
mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-2 yang
diekskresi oleh sel CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada
permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi
sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap
berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga
mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis
factor β (TNF-β), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-
macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain
yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya
dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi.
Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.
8
Tabel 1. Sitokin- sitokin yang terlibat dalam patologi RA
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan
membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang
sendi. Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang
akan membebaskan komponen-komplemen C5a. Komponen-komplemen C5a
9
merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular
juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah
lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan
bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada AR adalah peningkatan permeabilitas
mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada
membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan
dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease
neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi
dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi
hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi.
Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan
sendi.
Prostaglandin E2(PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat
merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan
TNFβ. Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen
penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR,
antigen atau komponen antigen umumnya akan menetap pada struktur persendian,
sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus. Tidak terhentinya
destruksi persendian pada AR kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya
faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop
fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 % pasien AR. Faktor reumatoid akan
berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses
peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan
terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan
histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat.
(
Kumar, 2007), (velyn,c pearce,2006)
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan
kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang
paling destruktif dalam patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi
yang terbentuk dari makrofag dan sel-sel radang lainnya, factor pertumbuhan
10
(Fibroblast Growth Factor, FGF) yang menyebabkan proliperasi fibroblast serta
faktor angiogenesis (Vascular Endothelial Growth Factor, VEGF) yang
membentuk pembuluh darah baru ( neovaskularisasi).
Secara histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan pannus
terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai kerusakan jaringan
kolagen dan proteoglikan. Kumar, 2007), (velyn,c pearce,2006)
11
Gambar 3. Peran sentral IL-1 dan TNF- α dalam pathogenesis AR
12
2.7 Penegakan Diagnosis
Rheumatoid arthritis umumnya hadir dengan nyeri dan kekakuan pada
beberapa sendi, biasanya pasien mengalami gejala awalnya hanya di satu lokasi
atau beberapa lokasi persendian (Harris, 2005).
Sendi yang paling sering terkena adalah persendian dengan rasio tertinggi
sinovium pada tulang rawan artikular. Peradangan sinovium dapat menyerang dan
merusak tulang dan kartilago. Sel penyebab radang melepaskan enzim yang dapat
mencerna tulang dan kartilago. Sehingga dapat terjadi kehilangan bentuk dan kelurusan
pada sendi, yang menghasilkan rasa sakit dan pengurangan kemampuan bergerak
(Harris, 2005).
Atritis Reumatoid biasanya mengalami kekakuan, bengkak, dan eritematosa.
Akibat artritis, timbul inflamasi umum yang dikenal sebagai artritis reumatoid yang
merupakan penyakit autoimun. Beberapa pasien mengeluh "bengkak" pada persendian
tangan, bengkak tersebut terjadi dikarenakan untuk peningkatan aliran darah ke daerah
meradang. Otot di dekat sendi meradang sering atrofi. Kekakuan pada pagi hari yang
berlangsung setidaknya 45 menit sebelum melakukan aktivitas. Pada umunya
persendian dengan posisi fleksi dapat meminimalkan distensi menyakitkan dari kapsul
sendi. Beberapa penelitian mengatakan, Seseorang dapat didiagnosis AR jika onsetnya
telah 6 bulan dengan beberapa kriteria gejala AR. Biasanya diagnosis disertai dengan
gejala-gejala non spesifik seperti, malaise, kelemahan otot, berat badan turun, demam
ringan, kelelahan, dan keluhan sistemik lainnya mungkin timbul, terutama dalam
presentasi akut (Chan, 2004 ; Harris, 2005).
Kurang lebih 70% penderita AR mengalami erosi tulang dalam 2 tahun
pertama penyakit , dimana hal ini menunjukan penyakit berjalan progresif.
Keterlibatan sendi pergelangan tangan, metacarpophalangeal (MCP) dan
proximal inter phalangeal (PIP) hampir selalu dijumpai, sementara keterlibatan
distal interphalangeal (DIP) lebih jarang dijumpai. Bentuk awal dari deformitas
adalah tenosinovitis yang menyebabkan tendon menjadi lemah, memanjang,
bahkan ruptur. Selain itu, penderita AR dengan keterbatasan mobilitas memiliki
kemungkinan terjadinya penurunan kekuatan otot sebesar 30-70% dibandingkan
orang normal, dengan penurunan endurans mencapai 50% (Widiani, 2011).
13
1. Anamnesis :
Beberapa pemeriksaan anamnesis yaitu (Daud, 2006):
14
2. Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan fisik pada sistem musculoskeletal meliputi:
1) Gaya berjalan yang abnormal pada pasien RA yaitu pasien akan segera
mengangkat tungkai yang nyeri atau deformasi, sementara tungkai yang
nyeriakan lebih lama diletakkan dilantai, biasanya diikut oleh gerakan lengan
yang asimetris, disebut gaya berjalan antalgik.
2) Sikap/postur badan, pasien akan berusaha mengurangi tekanan artikular pada
sendi yang sakit dengan mengatur posisi sendiri tersebut senyaman mungkin,
biasanya dalam posisi fleksi.
3) Deformasi, akan lebih terlihat pada saat bergerak.
4) Perubahan kulit, kemerahan disertai dengan kemerahan disertai deskuamasi
pada kulit disekitar sendi menunjukan adanya inflamasi pada sendi.
5) Kenaikan suhu sekitar sendi, menandakan adanya proses inflamasi di daerah
sendi tersebut.
6) Bengkak sendi bisa disebabkan karena cairan, jaringa lunak, atau tulang.
7) Nyeri raba
8) Pergerakan sinovitis menyebabkan berkurangnya luas gerak sendi pada
semua arah.
9) Krepitus, merupakan bunyi yang dapat diraba sepanjang gerakan struktur
yang diserang.
10) Atrofi dan penurunan kekuatan otot.
11) Ketidakstabilan.
12) Gangguan fungsi, gangguan fungsi sendi dinilai dengan observasi pada
penggunaan normal seperti bangkit dari kursi atau kekuatan menggenggam.
13) Nodul sering ditemukan dalam berbagai atopic, umunya ditemukan pada
permukaan ekstensor (punggung tangan, siku, tumit belakang, sacrum).
14) Perubahan kuku, adanya jari tangan, timble pitting onycholysis atau serpihan
darah.
15) Pemeriksaan sendi satu persatu, meliputi pemeriksaan rentang pergerakan
sendi, adanya bunyi krepitus dan bunyi lainnya.
15
16) AR mempengaruhi berbagai organ dan sistem lainnya yaitu :
a) Kulit : nodul subkutan (nodul rheumatoid) terjadi pada banyak pasien dengan
RA yang nilai RF-nya normal, sering lebih dari titik-titik tekanan (misalnya,
olekranon. Lesi kulit dapat bermanifestasi sebagai purpura teraba atau
ulserasi kulit).
b) Jantung : morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler yang meningkat pada
pasien RA. Faktor resiko non tradisional tampak memainkan peran penting.
Serangan jantung, disfungsi miokard, dan efusi perikrdial tanpa gejala yang
umum dan gejala perikarditis konstriktif jarang. Miokarditis, vaskulitis
koroner, penyakit katup, dan cacat konduksi kadang-kadang diamati.
c) Paru : RA mempengaruhi paru-paru dalam beberapa bentuk termasuk efusi
pleura, fibrosis interstisial, nodul (Caplan sindrom), dan obliterans
bronchiolitis-pengorganisasian pneumonia.
d) Ginjal : ginjal biasanya tidak terpengaruh oleh RA langsung. Umumnya
akibat pengaruh obat-obatan (misalnya : obat anti-inflamatory peradangan
(amyloidosis)).
e) Vascular : lesi vaskuler dapat terjadi diorgan mana saja namun yang paling
sering ditemukan di kulit. Lesi dapat hadir sebagai perpura gambling, borok
kulit, atau infak digital.
f) Hematologi : sebagian besar pasien aktif memiliki penyakit anemia kronis,
termasuk anemia normokromik-normositik, trombositiosis, dan eosinofilik,
meskipun yang terakhir ini sering terjadi. Leukopenia ditemukan pada pasien
dengan sindrom Felty.
g) Neurologis : biasanya saraf jeratan, seperti padasaraf median di carpal, lesi
vasculitis, multiple mononeuritis, dan myelopathy leher rahim dapat
menyebabkan konsekuensi serius neurologis.
h) Okular : keratoconjunctivitis siscca adalah umum pada orang dengan RA dan
sering manifestasi awal dari sindrom Sjogren sekunder. Mata mungkin juga
episkleritis uveitis, dan scleritis nodular yang dapat menyebabkan
scleromalacia.
i)
16
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratoris
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk
mendiagnosis artritis reumatoid. Beberapa hasil uji serologis laboratorium
menunjukan adanya kenaikan titer antibodi IgM yang bereaksi terhadap
perubahan IgG α-1 dan IgG α-2 yang juga meningkat. Faktor reumatoid (RF)
ditemukan negatif (<5%) pada 30% penderita AR stadium dini, meskipun
begitu tidak serta-merta mematahkan diagnosis AR selama masih memenuhi
4 dari 7 kriteria utama. Kenaikan C-Reactive Protein (CRP) umumnya terjadi
sampai >0,7 pg/mL (Suarjana, 2009).
Pada pemeriksaan darah rutin sering ditemukan kenaikan laju endap
darah (LED) hingga >30mm/jam. Kenaikan CRP atau LED dapat digunakan
untuk memonitor perjalanan penyakit (Suarjana, 2009). Pada AR sering pula
ditemukan penurunan kadar Hb yang bila kemudian diperiksa melalui apusan
darah tepi menunjukan anemia normositik normokrom akibat pengaruhnya
pada sumsum tulang (Price, 2005). Hitung sel leukosit (WBC) meningkat
mencapai 2000/µL dengan lebih dari 75% leukosit PMN, hal ini merupakan
karakteristik peradangan pada artritis, namun hal tersebut tidak mendiagnosis
RA (Kasper et al., 2005).
Pemeriksaan cairan sinovial diperlukan bila diagnosis meragukan.
Pada AR tidak ditemukan kristal, kultur negatif, dan kadar glukosa rendah
(Suarjana, 2009). Analisi cairan sinovial tidak menunjukkan satupun temuan
spesifik untuk artritis reumatois, namun menunjukkan keadaan inflamasi pada
sendi. Cairan sinovial biasanya keruh, dengan kekentalan yang menurun, dan
peningkatan kandungan protein (Kasper et al., 2005).
b. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos sendi mungkin normal atau tampak adanya osteopenia atau
erosi dekat celah sendi pada stadium dini penyakit, Foto pergelangan tangan
dan pergelangan kaki penting untuk data dasar, sebagai pembanding dalam
penelitian selanjutnya (Suarjana, 2009). Setelah sendi mengalami kerusakan
yang lebih berat, dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya
17
struktur rawan sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan
penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan ini biasanya irreversibel
(Price, 2005).
c. Pemeriksaan MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan gambaran yang
jelas dari perubahan jaringan lunak, kerusakan kartilago, dan erosi tulang-
tulang yang dihubungkan dengan artritis reumatoid. MRI mampu mendeteksi
adanya erosi sendi lebih awal dibandingkan dengan foto polos dan dilengkapi
dengan tampilan struktur sendi yang lebih rinci (Suarjana, 2005).
18
minimal 1 jam dan artritis yang simetrk juga menjadi gejala khas dari RA
(Suarjana, 2009).
19
yang harus menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang
berlokasi pada sendi atau daerah yang berdekatan sendi.
2.9 Penatalaksanaan
1. Non-farmakologis
a. Edukasi
Edukasi yang cukup penting bagi pasien, keluarga, dan orang-orang yang
berhubungan dengan penderita.:
20
1) Pengertian tentang patofisiologi
2) Penyebab penyakit
3) Prognosis penyakit
4) Semua komponen program penatalaksanaan termasuk regimen obat yang
kompleks
5) Sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini
6) Metode-metode efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tenaga
kesehatan (Price,2005)
b. Istirahat
Perencanaan aktivitas mutlak diperlukan bagi pasien rheumatoid arthritis
karena penderita biasanya disertai dengan rasa lelah yang hebat. Kekakuan
dan rasa kurang nyaman biasanya dapat diperingan dengan beristirahat
(Price,2005).
c. Latihan-latihan spesifik
Latihan spesifik ini dapat berupa :
1) Gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, minimal dua kali dalam
sehari.
2) Kompres panas pada sendi. Tujuan dari kompres panas ini untuk mengurangi
nyeri pada sendi.
3) Mandi parafin dengan suhu yang dapat diatur. Latihan ini paling baik diatur
dan diawasi oleh tenaga kesehatan yang sudah mendapat latihan khusus,
seperti fisioterapi atauterapis kerja.
Latihan latihan ini bertujuan untuk mempertahankan fungsi sendi
(Price,2005)
d. Alat pembantu dan adaptif
Alat pembantu dan adaptif ini mungkin diperlukan saat melakukan
aktivitas sehari-hari, seperti tongkat untuk membantu berdiri dan berjalan
(Price,2005)
e. Terapi yang lain
21
Terapi lain yang dimaksud yaitu : terapi puasa, suplementasi asam lemak
esensial, terapi spa dan latihan, suplementasi minyak ikan (cod liver oil)
sebagai NSAID-sparing agent (Suarjana, 2009).
2. Farmakologis
a. Aspirin dan semua golongan obat-obatan antiinflamasi nonsteroid (OAINS)
Tujuan : terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan (Suarjana,
2009).
b. Glukokortikoid
Steroid dengan prednisone dengan dosis kurang 10 mg/hari.
Mekanisme kerja : untuk meredakan gejala dan memperlambat kerusakan
sendi. Pemberian glukokortikoid harus disertai pemberian kalsium 1500 mg
dan vitamin D 400-800 IU/hari (Suarjana, 2009).
c. DMARD (Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs)
Pemberian DMARD harus mempertimbangkan aspek :
1) Kepatuhan pasien
2) Beratnya penyakit
3) Pengalaman dokter
4) Adanya penyakit penyerta
Table 2. DMARD yang paling banyak digunakan (Suarjana, 2009).
DMARD Mekanisme Dosis Waktu Efek
kerja timbulnya samping
respon
Hidroksiklor Menghambat 200-400 2-6 bulan Mual,
-okuin sekresi sitokin, mg p.o. sakit
(Plaquenil), enzim lisosomal, per hari kepala,
klorokuin dan fungsi 250 mg sakit
fosfat makrofag p.o. per perut,
hari myopati,
toksisitas
pada
retina
Methorexate Inhibitor 7,5-25 1-2 bulan Mual,
22
(MTX) dihidrofolat mg p.o, diare,
reduktase, IM atau kelemahan
hambat SC per , ulkus
kemotaksis, efek minggu mulut,
anti inflamasi gangguan
fungsi
hati, dll
sulfasalazin Menhambat 2-3 gr 1-3 bulan Mual,
respon sel B dan p.o. per diare,
hambat hari leukopeni,
angiogenesis gangguan
fungsi
hati, dll
d. Terapi kombinasi
Kombinasi terbukti memiliki efikasi terapi yang lebih tinggi daripada
terapi tunggal. Beberapa kombinasi yang sudah banyak diteliti dan memiliki
efektivitas yang lebih besar yaitu :
1) MTX + hidroksiklorokuin
2) MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine
23
3) MTX + sulfasalazine + prednisolon
4) MTX + leflunomide
5) MTX + infiximab
6) MTX + etanercept
7) MTX + adalimumab
8) MTX + anakinra
9) MTX + rituximab
Terapi kombinasi ini memberikan respon yang lebih baik dan efektif dalam
menghambat progresivitas penyakit dan kerusakan radiografi (Suarjana,
2009).
e. Emas
Natrium auritiomalat diberikan melalui injeksi IM dengan dosis 50
mg/minggu sampai terdapat bukti remisi (biasanya setelah pemberian 500
mg). pasien yang memberikan respons, interval dosis ditingkatkan secara
bertahap setiap bulan. Pengobatan bisa dilanjutkan sampai mencapai 5 tahun.
Diperlukan pemeriksaan darah dan urinalisis rutin. Leucopenia dan
trombositopenia atau proteinuria biasanya bersifat reversible jika pemberian
emas dihentikan (Rubenstein, David. et al., 2005).
f. Penatalaksanaan bedah
Tindakan bedah perlu dipertimbangkan bila :
1) Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi yang
ekstensif
2) Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat
3) Ada ruptur tendon
(Suarjana, 2009).
Sinovektomi, khususnya pada sendi lutut berguna untuk meluruskan
kembali dan memperbaiki tendon. Sendi buatan dapat dilakukan misalnya
pada sendi panggul, lutut, jari-jari tangan. Artrodesis mungkin perlu
dilakukan pada nyeri atau deformitas yang berat (Rubenstein, David. et al.,
2005).
24
2.10 Kriteria Remisi
Lima dari kriteria di bawah ini harus terpenuhi minimal selama 2 bulan
berurutan.
Kaku pagi hari < 15 menit
Tidak ada kelelahan
Tidak ada nyeri sendi
Tidak dijumpai pembengkakakn jaringan lunak sekitar sendi atau pada
tendon sheats
LED (westergren) < 30mm/jam (wanita), < 20 mm/jam (pria).
2.11 Prognosis
Perjalanan penyakit dan hasil pengobatan artritis reumatoid pada
setiap pasien tidak dapat di prediksi. Faktor-faktor yang menjadikan
prognosis buruk
1. Poliartritis generalisata (jumlah sendi yang terkena > 20)
2. LED dan CRP yang tinggi walaupun sudah menjalani terapi
3. Manifestasi ekstraartikuler, misalnya nodul/vaskulitis
4. Ditemukannya erosi pada radiografi polos dalam kurun waktu 2 tahun sejak
onset
2.12 Komplikasi
Terjadinya penyakit Rheumatoid Arthritis (RA) akan meningkatkan
resiko timbulnya berbagai komplikasi seperti :
1. Osteoporosis
Osteoporosis merupakan komplikasi yang paling sering dialami oleh
penderita RA. Hal ini terjadi karena kurangnya aktivitas tubuh terutama
tulang akibat nyeri yang dirasakan. Osteoporosis adalah penyakit tulang
sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas masa tulang dan perburukan
mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah
(Sudoyo, 2009).
Menurut National Institute of Health (NIH), 2001 Osteoporosis
adalah kelainan tulang, ditandai dengan kekuatan tulang yang
25
mengkhawatirkan dan dipengaruhi oleh meningkatnya risiko patah tulang.
Sedangkan kekuatan tulang merefleksikan gabungan dari dua faktor, yaitu
densitas tulang dan kualitas tulang (Junaidi, 2007).
2) Carpal Tunnel Sydrome (CTS)
Carpal tunnel syndrome, atau neuropati saraf medianus di pergelangan
tangan, adalah kondisi medis di mana saraf median dikompresi di
pergelangan tangan, menyebabkan parestesia, mati rasa dan kelemahan otot di
tangan. Bangun di malam hari merupakan karakteristik gejala carpal tunnel
syndrome (Shiel, 2006).
Pengobatan definitif untuk sindrom carpal tunnel adalah rilis operasi
dekompresi saraf. Metode ini efektif menghilangkan gejala dan mencegah
kerusakan saraf lebih lanjut, hanya saja disfungsi saraf biasanya dalam bentuk
statis (konstan) mati rasa, atrofi, atau kelemahan yang bersifat permanen
(Shiel, 2006).
Kebanyakan kasus CTS adalah idiopatik (tanpa alasan tertentu).
Beberapa pasien secara genetik cenderung untuk mengembangkan kondisi
tersebut. Diagnosis CTS sering dihubungkan pada pasien yang memiliki
aktivitas yang berhubungan dengan nyeri lengan, seperti RA (Shiel, 2006).
26
BAB III
KESIMPULAN
27
DAFTAR PUSTAKA
28
reumatoidhttp://cpddokter.com/home/index.php?option=com_content&task=
view&id=1670&Itemid=1
15. Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L., 2007. BUKU AJAR PATOLOGI
Edisi 7. Jakarta : EGC
29