Anda di halaman 1dari 5

TAENIASIS SOLIUM

Etiologi
Taeniasis solium disebabkan oleh Taenia Solium (cacing pita babi, pork tapeworm).
Telur cacing ini bulat, 30-40 mikron, kuning tengguli, dinding berstruktur radier, terdapat
embrio heksakan dengan 6 alat pengait. Lokalisasi di otak, otot, kulit, mata, lidah. Ukuran 5-8
x 3-6 mm. Skoleks: Rostelum dengan pengait. Panjang 4-10 meter. Cacing ini banyak dijumpai
di Papua.

Siklus Hidup
Cacing dewasa hidup di dalam tubuh manusia pada usus halus. Cacing dewasa
melepaskan segmen gravid paling ujung yang akan pecah di dalam usus sehingga telur cacing
dapat dijumpai pada feses penderita. Apabila telur cacing yang matur mengkontaminasi
tanaman rumput atau pun peternakan dan termakan oleh ternak seperti babi, telur akan
pecah di dalam usus hospes perantara dan mengakibatkan lepasnya onkosfer. Dengan
bantuan kait, onkosfer menembus dinding usus, masuk ke dalam aliran darah, lalu menyebar
ke organ-organ tubuh babi, terutama otot lidah, leher, otot jantung, dan otot gerak. Dalam
waktu 60-70 hari pasca infeksi, onkosfer berubah menjadi larva sistiserkus yang infeksius.
Manusia terinfeksi dengan cara makan daging babi mentah atau kurang masak, yang
mengandung larva sistiserkus. Di dalam usus manusia, skoleks akan mengadakan eksvaginasi
dan melekatkan diri dengan alat isapnya pada dinding usus, lalu tumbuh menjadi cacing
dewasa dan kemudian membentuk strobila. Dalam waktu 5-12 minggu atau 3 bulan, cacing
Taenia solium menjadi dewasa dan mampu memproduksi telur. Seekor cacing Taenia solium
dapat memproduksi 50.000 sampai 60.000 telur setiap hari. Proglotid yang telah lepas, telur
atau keduanya akan dilepaskan dari hospes definitif (manusia) dalam bentuk feses. Kemudian
babi akan terinfeksi jika pada makanannya telah terkontaminasi dengan telur yang berembrio
atau proglotid gravid. Manusia juga dapat menjadi hospes perantara untuk Taenia solium
(sistiserkorsis). Hal ini dapat terjadi apabila manusia termakan telur dari cacing tersebut dari
hasil ekskresi manusia. Teori lainnya adalah autoinfeksi. Namun, teori ini belum dibuktikan.
Jika terdapat cacing pita dewasa pada usus, peristaltik yang berlawanan pada gravid proglotid
akan menyebabkan proglotid bergerak secara retrograd dari usus ke lambung. Telur hanya
dapat menetas apabila terpapar dengan sekresi gaster diikuti dengan sekresi usus sehingga
setelah terjadi peristaltik yang bersifat retrograd, onkosfer akan menetas dan menembus
dinding usus, mengikuti aliran kelenjar getah bening atau aliran darah. Larva selanjutnya akan
bermigrasi ke jaringan subkutan, otot, organ viseral, dan sistem saraf pusat dan membentuk
sistiserkus. Sistiserkosis dapat terjadi pada berbagai organ dan gejala yang timbul tergantung
dari lokasi sistiserkus. Proglotid dari Taenia solium kurang aktif dibandingkan dengan Taenia
saginata sehingga kemungkinan untuk ditemukan pada lokasi yang tidak seharusnya lebih
jarang.
Faktor risiko
Penelitian yang dilakukan oleh Carrique-Mas (2001) menyebutkan bahwa faktor risiko
penyebaran taeniasis dan sistiserkosis adalah umur, sanitasi yang buruk, tingkat pendidikan
yang rendah dan tidak mampu mengenal daging babi yang terinfeksi larva Taenia solium. Fan
(1992) menyebutkan kebiasaan komsumsi makanan juga merupakan faktor risiko terjadinya
penyakit taeniasis. Orang Asia Timur memiliki kebiasaan mengkomsumsi makanan
mentah/setengah matang daging atau usus hewan. Penelitian yang dilakukan oleh Purba
(2002) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya sistiserkosis yaitu: jenis
kelamin, kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan mandi, tingkat pendidikan, jenis penerjaan,
penyajian daging babi, kebiasaan buang air besar, sumber air minum, dan masak air minum.

Hospes dan Nama Penyakit


Hospes definitif T.solium adalah manusia, sedangkan hospes perantaranya adalah babi.
Manusia yang dihinggapi cacing dewasa Taenia solium, juga menjadi hospes perantara cacing
ini. Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing dewasa adalah taeniasis solium dan yang
disebabkan stadium larva adalah sistiserkosis.

Distribusi geografik
Taenia solium adalah kosmopolit, akan tetapi jarang ditemukan di negara Islam. Cacing
tersebut banyak ditemukan di negara yang mempunyai banyak peternakan babi dan di
tempat daging babi banyak disantap seperti Eropa, (Czech, Slowakia, Kroatia, Serbia), Amerika
Latin, Cina, India, Amerika Utara dan juga di beberapa daerah di Indonesia antara lain di
Papua, Bali dan Sumatera Utara.

Patologi dan Gejala Klinis


Cacing dewasa, yang biasanya berjumlah seekor, tidak menyebabkan gejala klinis yang
berarti. Bila ada, dapat berupa nyeri ulu hati, mencret, mual, obstipasi dan sakit kepala. Darah
tepi dapat menunjukkan eosinofilia.
Gejela klinis yang lebih berarti dan sering diderita, disebabkan oleh larva yang disebut
sistiserkosis.
Infeksi ringan biasanya tidak menunjukkan gejala, kecuali bila alat yang dihinggapi
adalah alat tubuh yang penting.
Pada manusia, sistiserkus atau larva Taenia solium sering menghinggapi jaringan
subkutis, mata, jaringan otak, otot, otot jantung, hati, paru dan rongga perut. Walaupun
sering dijumpai, kalsifikasi (pengapuran) pada sistiserkus tidak menimbulkan gejala, akan
tetapi sewaktu-waktu terdapat pseudohipertrofi otot, disertai gejala miositis demam tinggi
dan eosinofilia.
Pada jaringan otak atau medula spinalis, sistiserkus jarang mengalami kalsifikasi.
Keadaan ini sering menimbulkan reaksi jaringan dan dapat mengakibatkan serangan ayan
(epilepsi), meningo-ensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan intrakranial yang tinggi
seperti nyeri kepala dan kadang-kadang kelainan jiwa. Hidrosefalus internus dapat terjadi,
bila timbul sumbatan aliran cairan serebrospinal. Sebuah sistiserkus tunggal yang ditemukan
dalam ventrikel IV otak, dapat menyebabkan kematian.

Diagnosis
Diagnosis taeniasis solium dilakukan dengan menemukan telur dan proglotid. Telur
sukar dibedakan dengan Taenia saginata.
Diagnosis sistiserkosis dapat dilakukan dengan cara:
1. Ekstirpasi benjolan yang kemudian diperiksa secara histopatologi
2. Radiologis dengan CT Scan atau Magnetic Resonance Imaging (MRI)
3. Deteksi antibodi dengan metode ELISA, Western Blot (EIBT), uji hemaglutinasi, Counter
Immuno Electrophoresis (CIE)
4. Deteksi coproantigen pada tinja
5. Deteksi DNA dengan teknik PCR.

Pengobatan
Untuk pengobatan penyakit taeniasis solium digunakan prazikuantel. Untuk
sistiserkosis digunakan prazikuantel, albendazol atau dilakukan pembedahan.
- Piraziquantel: dosis tunggal, 10mg/KgBB, dua jam kemudian diberi laksans MgSO4
- Albendazol: 400 mg, 2 kali/hari, selama 8-30 hari

Prognosis
Prognosis untuk taeniasis solium cukup baik, dapat disembuhkan dengan pengobatan.
Pada sistiserkosis, prognosis terganting berat ringannya infeksi dan alat tubuh yang
dihinggapi. Bila yang dihinggapi alat penting, prognosis kurang baik.

Pencegahan
Upaya pencegahan penularan penyakit taeniasis dan sistiserkosis dapat di lakukan
dengan cara antara lain

 Mendinginkan daging sampai -100C


 Mengobati penderita (praziquantel, mebendazole, albendazole, niclosamide dan
atabrin) untuk menghilangkan sumber infeksi dan mencegah terjadinya autoinfeksi
dengan larva cacing.
 Pengawasan terhadap penjualan daging babi agar tidak tercemar oleh larva cacing
(sistiserkus).
 Memasak daging babi di atas suhu 50˚C selama 30 menit untuk mematikan larva
sistiserkus
 Menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak buang air besar di sembarang tempat
(pemakaian jamban keluarga) agar tidak mencemari tanah dan rumput
 Menjaga higiene personal dengan rajin mandi, mencuci tanggan sebelum makan atau
mengolah makanan.
 Memberikan vaksin pada hewan ternakbabi (penggunaan crude antigen yang berasal
dari onkosfer, sistisersi, atau cacing dewasa Taenia solium)
 Memberikan Cestosida (praziquantel, dan oxfendazole) pada hewan ternak babi.
 Sebaiknya untuk ternak babi harus digunakan kandang yang bersih dan makanan
ternak yang sesuai.

Sumber:
1. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran, Edisi keempat. FKUI
2. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi IV
3. Sandy, Semuel. Kajian Aspek Epidemiologi Taeniasis dan Sistiserkosis di Papua, volume
2, No.1. 2014. Jurnal Penyakit Bersumber Binatang
4. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32576/4/Chapter%20II.pdf
[diakses tanggal 13 November 2016, pukul 15.45 WITA]

Anda mungkin juga menyukai