Anda di halaman 1dari 3

Pembangunan Apartemen Grand Dharma Husada Lagoon di Jalan Dharma Husada Mas,

Mulyorejo, membawa dampak bagi rumah warga sekitar. Rumah warga mengalami
kerusakan. Bahkan ada warga yang pindah rumah karena dampak tersebut.

Ada puluhan rumah yang terdampak yakni di kawasan Wisma Permai I dan Sutorejo Indah.
Ruko, asrama mahasiswa, yayasan serta lembaga pendidikan Al-Azhar di dekatnya juga
terdampak.

Kerusakan pada umumnya adalah retak pada tembok rumah mulai dari retak ringan hingga
retak dengan rekahan besar. Retak pada lantai juga terjadi pada beberapa rumah.
Kerusakan lain yang bervariasi juga terjadi termasuk gangguan debu.

"Pembangunan apartemen itu sudah berjalan sekitar setahun lalu," ujar Bambang Dewo,
salah satu warga Wisma Permai I kepada detikcom, Jumat (3/1/2017).

Rumah Dewo sendiri mengalami keretakan pada temboknya. Ada banyak ruangan yang
temboknya retak seperti tembok pada teras, kamar mandi, dapur, dan lantai dua. Lantai di
teras rumah juga ikut mengalami keretakan.

Bambang Dewo mengaku bahwa keretakan pada tembok rumahnya sudah diperbaiki
sebagai kompensasi. Dua kali diperbaiki, dua kali pula retakan itu muncul lagi. Dan hingga
saat ini retakan pada temboknya belum diperbaiki lagi. Dan Bambang Dewo membiarkannya
saja.

"Sekarang saya juga tak bisa membuang air ke bagian belakang rumah. Terpaksa saya
sedot dan saya buang sendiri ke belakang rumah," kata Bambang Dewo.
Tidak puasnya warga terhadap penanganan dampak Pembangunan Apartemen Grand
Dharma Husada Lagoon (GDL) di Jalan Dharma Husada Mas, Mulyorejo, Surabaya, Jawa
Timur dianggap sebagai miskomunikasi atau salah paham. Pihak GDL mengaku tetap
bertanggung jawab terhadap semua dampak tersebut.

"Sejak awal kami sudah melakukan sosialisasi dan menyampaikan tentang planning
pembangunan kepada warga yang wilayahnya terdampak," ujar Project Director GDL Bagus
Febu Saptono kepada detikcom, Senin (6/2/2017).

Selain puluhan rumah warga, bangunan lain yang terdampak adalah sejumlah ruko, sebuah
sekolah, dan sebuah asrama mahasiswa. Bagus mengatakan, pada akhirnya warga
membentuk tim gabungan.

Tim yang terdiri dari 13 perwakilan warga ini dibentuk untuk menjembatani masalah serta
keinginan antara warga dengan pihak GDL. Tim gabungan ini membawahi aspirasi dari 3
RW terdampak yakni RW 5, 6, dan 8. Masing-masing RW mempunyai perwakilan yakni 7
orang dari RW 5, 2 orang dari RW 6, dan 4 orang dari RW 8.

Bagus menambahkan, semua hal yang datang dari tim gabungan direvisi oleh warga sendiri
dan tidak ada klausul dari GDL karena permintaan warga akan dikabulkan sepanjang itu
relevan dan masuk akal. GDL juga selalu berusaha terbuka untuk keinginan warga.

"Tim gabungan ini disahkan oleh muspika di hadapan notaris. Secara hukum, kedudukan
tim gabungan ini kuat," kata Bagus.

Karena itu, kata Bagus, pihaknya tidak mau main-main dengan tanggung jawab mengenai
dampak pembangunan GDL. Saat tim gabungan dibentuk, sudah disadari bahwa
pembangunan akan membawa dampak. Warga pun meminta kepastian dan jaminan kepada
GDL akan hal tersebut.

GDL menjawab keraguan warga itu melalui pernyataan dengan dua poin utama. Pertama,
semua dampak kerusakan merupakan tanggung jawab GDL. Kedua, GDL menaruh deposito
sebanyak Rp 5 miliar sebagai jaminan bila nantinya GDL bertindak secara wanprestasi.

Pada awal pembentukan tim gabungan, disepakati juga penunjukan tim independen dalam
kajian teknik. Tim yang ditunjuk adalah tim dari ITS. Biaya untuk tim yang diposisikan
sebagai nara sumber itu ditanggung oleh GDL.

Dalam perjalanannya sejak pembangunan dimulai sekitar setahun yang lalu, Bagus
mengaku komunikasi antara GDL dengan tim gabungan berlangsung secara intensif.
Identifikasi masalah selalu dibahas bersama, termasuk saat rumah warga mengalami
kerusakan. Kerusakan rumah warga yang sebagian besar berupa keretakan pada tembok
itu disepakati akan diperbaiki.

GDL merespons kesepakatan itu dengan melakukan perbaikan dari rumah ke rumah dan
juga ruko yang terdampak. Warga pun setuju dengan perbaikan, meski ada pula warga yang
tidak mengizinkan rumahnya diperbaiki. Rupanya kerusakan tidak hanya terjadi sekali saja.
Setelah diperbaiki, rumah warga kembali rusak dan direspon GDL dengan memperbaikinya
lagi.

Warga pun mengeluh dengan hal itu. Menurut warga, berapa kalip un diperbaiki, rumah
tetap akan rusak karena pembangunan apartemen masih terus berlanjut. Warga merasa
bahwa perbaikan rumah saja tidak cukup. Warga ingin lebih yakni kompensasi. Terhadap
tuntutan kompensasi yang diminta warga, GDL menyadari bahwa hal itu memang sudah ada
sejak awal pembentukan tim gabungan.

"Untuk kompensasi memang sejak awal sudah dipertanyakan. Kompensasi akan


dibicarakan lebih lanjut di kemudian hari. Dan kami menunggu," lanjut Bagus.

Bagus menyangkal pernyataan ketua tim gabungan, Edi, bahwa untuk urusan kompensasi
diserahkan pada tim independen ITS. "Yang benar adalah warga sendiri yang melakukan
survei untuk kompensasi. Itu dilakukan warga sendiri," terang Bagus.

Karena belum ada keputusan mengenai kompensasi dari tim gabungan, pihak GDL hanya
bisa menunggu. "Kami selalu menunggu. Sepanjang (kompensasi) itu relevan dan masuk
akal," kata Bagus.

Bagus mendengar ada warga yang bahkan belum tahu tentang rencana adanya
kompensasi. Bagus menduga warga tersebut mungkin memang belum tahu karena tidak
menghadiri pertemuan tim gabungan dengan GDL.

"Kalau ada pertemuan, memang tak banyak warga yang menghadiri. Mungkin dari situ ada
warga yang belum tahu," tambah Bagus.

Bagus menerangkan, saat ini yang dilakukan GDL adalah melakukan pembangunan dinding
penahan tanah (secant pile). Pembangunan ini tentu saja dimaksudkan agar pembangunan
berjalan lebih aman dan meminimalisir kerusakan terhadap bangunan yang ada di areal
pembangunan apartemen.

"Kami juga telah melakukan CSR yakni pavingisasi dan pemasangan box culvert," pungkas
Bagus.
(iwd/idh)

Anda mungkin juga menyukai