Anda di halaman 1dari 32

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karuniaNya kami dapat menyelesaikan makalah skenario satu blok 11 yang berjudul
“Persetujuan Pasien”.
    Makalah skenario ini kami susun karena merupakan sebagian tugas yang telah
diberikan. Dan pada kesempatan ini kami ucapkan terimakasih kepada beberapa pihak
media dan drg. Lisa Mayasari selaku dosen tutorial blok 11 yang senantiasa membantu
dan membimbing dalam pembuatan makalah skenario satu ini sehingga dapat
diselesaikan dengan baik.
    Makalah ini pula kami susun untuk memperluas dan menambah wawasan para
pembaca khususnya mahasiswa kedokteran gigi. Untuk menunjang pemahaman dan
melatih keterampilan mahasiswa, kami lampirkan beberapa sumber dari jurnal dan
buku. Dalam pembuatan makalah ini telah disadari terdapat beberapa kekurangan dan
masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kami mengharapkan kepada semua pembaca
agar dapat menyampaikan saran dan kritik guna penyempurnaan makalah tutorial ini.
  
Semarang, 14 Mei 2016

Tim Penyusun

DAFTAR ISI

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 1


KATA PENGANTA................................................................................................1
DAFTAR ISI........................................................ ...................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.............................................................................................3


1.2 Skenario.......................................................................................................6
1.3 Rumusan Masalah........................................................................................6
1.4 Tunjuan Pembelajaran.................................................................................7
1.5 Manfaat........................................................................................................7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hak dan Kewajiban Pasien..........................................................................8


2.2 Pengertian Informed Consent.....................................................................11
2.3 Tujuan Informed Consent............................................ .............................13
2.4 Isi Infromasi Informed Consen..................... ............................................14
2.5 Tindakan Medis yang Memerlukan Informed Consent.............................14
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Konsep Mapping.......................................................................... ........16
3.2 Landasan Informed Consent......................................................................17
3.3 Dasar Hukum Informed Consent...............................................................18
3.4 Macam-Macam Informed Consent............................................................21
3.5 Syarat-Syarat Informed Consent................................................................23
3.6 Proses dalam Melaksanakan Informed Consent........................................24
3.7 Berlakunya Informed Consent...................................................................28
3.8 Sanksi Hukum Jika Tidak Ada Informed Consent.....................................29
3.9 Dalil............................................................................................................34
BAB IV
4. 1 Kesimpulan................................................................................................35
4. 2 Saran ................................................................................................ ........35
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................36

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan medis modern memberikan kesempatan melalui informed
consent sebagai prinsip-prinsip dasar yang benar kepada pasien untuk menerima
atau menolak bermacam tindakan medis tertentu. Para profesional dalam

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 2


pelayanan kesehatan meningkatkan perhatian tentang pentingnya informasi yang
cukup sebagai isi pernyataan Informed Consent dari pasien yang meliputi
prioritas prosedur treatment atau clinical trial. Dengan sederhana Informed
Cconsent disifikasi lebih rinci atau dikhususkan sebagai aturan pelaksanaan
pelayanan kesehatan. Dalam hukum Belanda Informed Consent dicontohkan
dengan bentuk draft sebagai prosedur perlakuan medis yang benar atau (Medical
Resert With Human Beings Bill). Tujuannya adalah untuk regulasi/memberikan
kesempatan peran aktif pasien dalam pengambilan keputusan medis.
Pendekatan dalam pelaksanaan Informed Consent yang legal dan benar
itu sendiri tidak hanya berisi keputusan medis. Legalitasnya sangat dibutuhkan,
hal ini bukan hanya dianggap sebagai kewajiban melainkan sebagai dasar dalam
komunikasi antara dokter-pasien. Jika dilaksanakan ketika pasien tidak tahu atau
memahami, maka mereka dianggap sudah paham padahal tidak. Secara empiris
penelitian menghasilkan kesimpulan dari berbagai kasus, pasien cenderung
merasa harus melakukan apa saja yang disampaikan oleh dokter, menjadi kurang
agresif untuk mencari alternatif dan menjadi lemah tidak mempunyai kekuatan
dari berbagai macam informasi yang disampaikan. Komunikasi yang efektif
bukan berarti informasi yanag terlalu banyak, penelitian menunjukkan bahwa
informasi yang berlebihan dari pernyataan-pernyataan memungkinkan
diterlupakan oleh si sakit, menjadi cemas dan kadang-kadang bertentangan oleh
pasien. Hal ini merupakan konsekuensi kognitif dan fisik serta kemampuan
pengambilan keputusan rusak oleh sebab keadaan stress.
Hasil penelitian terhadap realita Informed Consent mendapat beberapa
kesimpulan, sebuah penelitian yang difokuskan pada interaksi antara pasien dan
tindakan medis dalam kejadian sehari-hari tentang Informed Consent. Penelitian
menunjukkan bahwa pengambilan keputusan dalam pelayanan kesehatan tidak
cukup hanya konseptual jika dilihat sebagai proses pertukaran informasi sebagai
acuan keputusan pasien. Informasi dinyatakan dalam banyak faktor yang
berkaitan dengan pengambilan keputusan pasien untuk mengikuti tindakan
medis. Banyak aspek perlakuan klinis yang relevan dinyatakan dalam Informed
Consent, hal ini tidak sama dengan mempengaruhi pasien untuk mengikuti atau
menyetujui perlakuan klinis. Legalitas dibutuhkan dalam Informed

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 3


Consent sebagai bagian dari prosedur pelaksanaan tindakan medis. Faktor utama
yang sangat berpengaruh dalam Informed Consent adalah kerelaan dan
berpartisipasi. Umumnya tindakan yang berkaitan dengan Informed
Consent mengarah pada pelayanan kesehatan, penelitian dan institusi yang
cenderung tidak hanya berdampak pada pasien jika mengikuti treatment.
Prioritas utamanya adalah memberikan kontribusi penting pada pasien untuk
membentuk persepsi tentang informasi yang diberikan serta mengevaluasi proses
pengambilan keputusan.
Penelitian menunjukkan bahwa keikutsertaan pasien dalam tindakan
medis tidak hanya sebagai hasil dari penerimaan informasi tentang manfaat dan
resiko, serta membandingkan kondisi dan keputusan yang rasional. Hal ini
kadang cukup sulit untuk membangun interaksi antara pasien dan dokter.
Bentuk-bentuk panduan keputusan/decision idealnya dibuat dengan informasi
yang konkrit dan obyektif. Dari standar Informed Consent yang ditampilkan
ternyata mendapat reaksi yang bermacam-macam. Dalam bentuk
pertama Informed Consent berkemungkinan tidak tercapai. Bentuk
kedua informed consent, memberikan solusi dengan penyajian informasi yang
lebih baik serta menjamin bahwa pasien membuat keputusannya dengan sengaja
dan indefendent. Bagaimanapun kesulitan yang mana memberikan kesempatan
kepada pasien untuk berperan aktif menambah informasi dan opsi-opsi yang
seimbang. Banyak program yang biasanya digunakan, dari program tersebut
mendorong pasien mempertimbangkan dalam membuat keputusan dengan
menyimak faktor-faktor kunci yang disajikan yang dapat diaksesdengan mudah
oleh pasien.
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004
Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka
Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh
pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no
585/Men.Kes/Per/IX/1989tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 4


menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya,
kehadiran seorang perawat / paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis
(dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang
mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai
“obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai
subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang
akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh
dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan
medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi
dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun
perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat
diterapkan.
Untuk itu, sebagai calon dokter gigi, perlu untuk mengetahui tentang aspek
hukum informed consent. Selain itu perlu pula mengetahui isi dari informed
consent serta format informed consent yang sah secara hukum.

1.2 Skenario
PERSETUJUAN PASIEN

Seorang pasien laki-laki berumur 26 tahun mencabut gigi di klinik gigi


yang dilakukan oleh dokter intership-pengganti dokter gigi yang jaga. Pada saat
mencabut, giginya patah, pasien tersebut lalu dibolehkan pulang dan diberi resep
tanpa penjelaskan pemakaian obatnya.
Beberapa hari kemudian pasien tersebut mengalami perdarahan dan
lebam pada gigi. Badannya terasa lemah akibat pengaruh obat yang diminum.
Alhasil dia harus dibawa ke rumah sakit. Dirumah sakit tetrsebut, dia ditangani
oleh drg Spesialis bedah mulut oleh drg tersebut pasien diberi informasi bahwa
patahan gigi yang tertinggal harus diambil. Jika pasien sudah siap untuk di
operasi, pasien harus menandatangani surat kesediaan terlebih dahulu.
Kemungkinan pasien tersebut akan membawa kasus itu kedalam ranah hukum
jika dia sudah sembuh.

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 5


1.3 Rumusan Masalah
1.3.1 Landasan informed consent
1.3.2 Dasar hukum dari informed consent
1.3.3 Macam-macam dari informed consent
1.3.4 Syarat-syarat untuk mengisi informed consent
1.3.5 Proses dalam melaksanakan informed consent
1.3.6 Berlakunya informed consent
1.3.7 Sanksi hukum jika tidak ada informed consent

1.4 Tujuan Pembelajaran


1.4.1 Mahasiswa mampu menjelaskan landasan informed consent
1.4.2 Mahasiswa mampu menjelaskan dasar hukum dari informed consent
1.4.3 Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam dari informed consent
1.4.4 Mahasiswa mampu menjelaskan syarat-syarat untuk mengisi informed
consent
1.4.5 Mahasiswa mampu menjelaskan proses dalam melaksanakan informed
consent
1.4.6 Mahasiswa mampu menjelaskan berlakunya informed consent
1.4.7 Mahasiswa mampu menjelaskan sanksi hukum jika tidak ada informed
consent

1.5 Manfaat
1.5.1 Mahasiswa mampu memahami landasan informed consent
1.5.2 Mahasiswa mampu memahami dasar hukum dari informed consent
1.5.3 Mahasiswa mampu memahami macam-macam dari informed consent
1.5.4 Mahasiswa mampu memahami syarat-syarat untuk mengisi informed
consent
1.5.5 Mahasiswa mampu memahami proses dalam melaksanakan informed
consent
1.5.6 Mahasiswa mampu memahami berlakunya informed consent
1.5.7 Mahasiswa mampu memahami sanksi hukum jika tidak ada informed
consent

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 6


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hak dan Kewajiban Pasien


Hak pasien dalam memperoleh pelayanan kesehatan termasuk perawatan
tercantum pada UU Kesehatan no 23 tahun 1992 yaitu :
- Pasal 14 mengungkapkan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan
kesehatan optimal.
- Pasal 53 menyebutkan bahwa setiap pasien berhak atas informasi, rahasia
kedokteran, dan hak opini kedua.
- Pasal 55 menyebutkan bahwa setiap pasien berhak mendapatkan ganti rugi
karena kesalahan dan kelalaian petugas kesehatan.

Secara rinci, hak dan kewajiban pasien adalah sebagai berikut :


HAK PASIEN :
1. Mendapatkan pelayanan kesehatan optimal /sebaik-baiknya sesuai
dengan standar profesi kedokteran.
2. Hak atas informasi yang jelas dan benar tentang penyakit dan tindakan
medis yang akan dilakukan dokter/ suster.
3. Hak memilih dokter dan rumah sakit yang akan merawat sang pasien.
4. Hak atas rahasia kedokteran / data penyakit, status, diagnosis dll.
5. Hak untuk memberi persetujuan / menolak atas tindakan medis yang
akan dilakukan pada pasien.
6. Hak untuk menghentikan pengobatan.
7. Hak untuk mencari pendapat kedua / pendapat dari dokter lain / Rumah
Sakit lain.
8. Hak atas isi rekaman medis / data medis.
9. Hak untuk didampingi anggota keluarga dalam keadaan kritis.
10. Hak untuk memeriksa dan menerima penjelasan tentang biaya yang
dikenakan / dokumen pembayaran / bon /bill.
11. Hak untuk mendapatkan ganti rugi kalau terjadi kelalaian dan tindakan
yang tidak mengikuti standar operasi profesi kesehatan.

KEWAJIBAN PASIEN :
1. Memberi keterangan yang jujur tentang penyakit dan perjalanan penyakit
kepada petugas kesehatan
2. Mematuhi nasihat dokter dan perawat

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 7


3. Harus ikut menjaga kesehatan dirinya
4. Memenuhi imbalan jasa pelayanan.

Sedangkan menurut Surat edaran DirJen Yan Medik No: YM.02.04.3.5.2504


Tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit,
th.1997; UU.Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek
Kedokteran dan Pernyataan/SK PB. IDI, sebagai berikut :
Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien,
yaitu :
1. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang
berlaku di rumah sakit. Hak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan
jujur
2. Hak untuk mendapatkan pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan
standar profesi kedokteran/kedokteran gigi dan tanpa diskriminasi
3. Hak memperoleh asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi
keperawatan
4. Hak untuk memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan
keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit
5. Hak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinik
dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar
6. Hak atas ”privacy” dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk
data-data medisnya kecuali apabila ditentukan berbeda menurut
peraturan yang berlaku
7. Hak untuk memperoleh informasi /penjelasan secara lengkap tentang
tindakan medik yg akan dilakukan terhadap dirinya
8. Hak untuk memberikan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan
oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya
9. Hak untuk menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya
dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab
sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
10. Hak didampingi keluarga dan atau penasehatnya dalam beribad dan
atau masalah lainya (dalam keadaan kritis atau menjelang kematian)
11. Hak beribadat menurut agama dan kepercayaannya selama tidak
mengganggu ketertiban & ketenangan umum/pasien lainya
12. Hak atas keamanan dan keselamatan selama dalam perawatan di rumah
sakit

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 8


13. Hak untuk mengajukan usul, saran, perbaikan atas pelayanan rumah
sakit terhadap dirinya
14. Hak transparansi biaya pengobatan/tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap dirinya (memeriksa dan mendapatkan penjelasan
pembayaran)
15. Hak akses /’inzage’ kepada rekam medis/ hak atas kandungan ISI
rekam medis miliknya

KEWAJIBAN PASIEN
1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya kepada dokter yang merawat
2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi dan perawat
dalam pengobatanya
3. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berkewajiban
memenuhi hal-hal yang telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya
(sumber: Undang-undang RI 23 Tahun 1992

2.2 Pengertian Informed Consent


Dalam sejarahnya, Informed Consent berakar pada banyak disiplin ilmu
pengetahuan, termasuk dalam ilmu kesehatan/kedokteran, ilmu hukum, ilmu
perilaku sosial, dan ilmu filsafat moral/etika. Belakangan ini, bidang ilmu yang
sangat berpengaruh dalam hal informed consent adalah ilmu hukum dan ilmu
filsafat moral atau filsafat etika. Kedua disiplin ilmu ini, keduanya dengan
metoda dan objektifnya tersendiri, mempunyai fungsi sosial dan intelektual yang
berbeda.
Walaupun pendekatan kedua bidang ilmu ini terhadap Informed
Consent rumit dan kontroversial, intisari dari pendekatan secara hukum, dan
pendekatan secara etika mudah dimengerti. Hukum memfokuskan diri terutama
pada konteks klinis, tidak pada riset. Dalam kacamata hukum, dokter
mempunyai kewajiban untuk pertama memberi informasi kepada pasiennya dan
kedua untuk mendapatkan izinnya. Apabila seorang pasien cedera akibat dokter
lalai dengan tidak memberikan informasi yang lengkap mengenai suatu
pengobatan atau tindakan, maka pasien dapat menerima kompensasi finansial
dari si dokter karena telah menyebabkan cedera tersebut. Visi legal ini lebih

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 9


berfokus pada kompensasi finansial daripada pada pemberian informasi dan izin
yang diberikan pasien secara umum.
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004
Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008.
maka InformedConsent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan
oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut.
Informed consent adalah suatu proses komunikasi antara pasien dan
dokter yang menghasilkan pemberian izin oleh pasien untuk menjalankan suatu
intervensi medik tertentu. Informed Consent adalah persetujuan atau izin oleh
pasien atau keluarga yang berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan
medis pada pasien, seperti pemriksaan fisik dan pemeriksaan lain-lain untuk
menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikan, menolong bersalin,
melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak lanjut jika
terjadi kesulitan, dan sebagainya. Selanjutnya kata informed terkait dengan
informasi atau penjelasan.
Informed Consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya
tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan itu bisa dalam
bentuk lisan maupun tertulis. Pada hakikatnya Informed Consent adalah suatu
proses komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis
yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh
dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah cukup.
Penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis hanya
merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya. Formulir ini
juga merupakan suatu tanda bukti yang akan disimpan di dalam arsip rekam
medis pasien yang bisa dijadikan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi kontrak
terapeutik antara dokter dan pasien. Pembuktian tentang adanya perjanjian
terapeutik dapat dilakukan pasien dengan mengajukan arsip rekam medis atau
dengan persetujuan tindakan medis (Informed Consent) yang diberikan oleh
pasien. Bahkan dalam kontrak terapeutik adanya kartu berobat atau dengan

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 10


kedatangan pasien menemui dokter untuk meminta pertolongannya, dapat
dianggap telah terjadi perjanjian terapeutik.
Dapat disimpulkan bahwa Informed Consent adalah persetujuan atau izin
oleh pasien (atau keluarga yang berhak) kepada dokter untuk melakukan
tindakan medis atas dirinya, setelah kepadanya oleh dokter yang bersangkutan
diberikan informasi atau penjelasan yang lengkap tentang tindakan itu.
Mendapat penjelasan lengkap itu adalah salah satu hak pasien yang diakui oleh
UU sehingga dengan kata lain Informed Consent adalah persetujuan setelah
penjelasan.

2.3 Tujuan Informed Consent


Tujuan Informed Consent adalah memberikan perlindungan kepada
pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara
medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan
pasiennya serta memberi perlindungan hukum kepada dokter/Perawat terhadap
terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern
bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko
( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal,
ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang
“informed consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988.
Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang
“Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Isi dari informed
berkaitan dengan penyakit pasien, mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat
dari terapi yang akan dilaksanakan dan alternatif terapi.

Tujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi adalah :


1. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien;
2. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang
tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment
yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan
dengan cara semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 11


dan teliti. Guwandi (II), Rahasia Medis, (Jakarta : Penerbit Fakultas
Kedokteran UI, 2005), hal. 32
Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan / tujuannya dibagi
tiga, yaitu:
a. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek
penelitian).
b. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.
c. Yang bertujuan untuk terapi

2.4 Isi Informasi Informed Consent


Materi/isi informasi yang harus disampaikan :
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis/kedokteran tersebut
b. Tujuan tindakan medis/kedokteran yang akan dilakukan
c. Alternatif tindakan lain, dan risikonya
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan
f. Perkiraan biaya
Informasi cukup disampaikan secara lisan, supaya bisa terjalin
komunikasi dua arah (tanya-jawab). Bisa ditambah dengan alat bantu, brosur,
atau menggunakan media informasi lain. Menggunakan bahasa yang sesuai
dengan kondisi pasien, sehingga mudah dipahami oleh pasien. Sebelum
penjelasan ditutup, buka sesi tanya-jawab, dan pastikan pemahaman pasien
dengan mengajukan beberapa pertanyaan.
Penjelasan yang diberikan tersebut, dicatat dalam berkas rekam medis
pasien, dengan mencantumkan, tanggal,waktu, dan nama yang menerima
informasi, disertai tandatangannya.
Dalam hal pasien menolak untuk menerima informasi, maka dokter dapat
memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi
oleh seorang tenaga kesehatan lain sebagai saksi (Permenkes 290 th 2008).

2.5 Tindakan Medis yang Memerlukan Informed Consent


Mengacu pada UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan
Peraturan Menteri Kesehatan No. 290 Tahun 2008, maka semua tindakan

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 12


medis/kedokteran harus mendapatkan persetujuan dari pasien, jadi sifatnya
adalah non-selective. Hanya disebutkan bahwa tindakan medis yang berisiko
tinggi harus mendapatkan informed consent secara tertulis ( written consent).
Pada keadaan emergensi atau penyelamatan jiwa maka tidak
diperlukan informed consent. Dalam konteks praktik dilapanganinformed
consent tetap merupakan hal yang penting, namun tidak boleh menjadi
penghalang bagi tindakan penyelamatan jiwa.
Sedangkan pada kasus pasien anak-anak, tindakan medis tetap dapat
dilakukan oleh dokter walaupun tanpa persetujuan orang tua dengan syarat :
a. Tindakan medis yang akan dilakukan harus merupakan tindakan medis
terapetik, bukan eksperimental.
b. Tanpa tindakan medis tersebut, anak akan mati, dan
c. Tindakan medis tersebut memberikan harapan atau peluang pada anak
untuk hidup normal, sehat dan bermanfaat.

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 13


BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Konsep Mapping

KODE ETIK KEDOKTERAN


GIGI

PASIEN DOKTER GIGI

HAK KEWAJIBAN

INFORMED CONSENT

DEFINISI LANDASAN TUJUAN LATAR SYARAT KLASIFIKASI SANKSI


BELAKANG

ETIK FILOSOFIS HUKUM IMPLIED EXPRESS


TINDAKAN
MEDIS

PREVENTIF DIAGNOSTIK THERAPEUTIC PROGNOSIS REHABILITATIF


F

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 14


3.2 Landasan Informed Consent
a. Landasan Filosofis
Adanya doktrin “ A man is the master of his own body” yang bersumber
pada hak asasi manusia, yaitu “ the right to self determination”, atau hak
untuk menentukan nasibnya sendiri, adalah landasan filosofis dari informed
consent. Berdasarkan doktrin tersebut tindakan apapun yang sifatnya
adalah offensive touching (termasuk tindakan medis) harus mendapat
persetujuan lebih dahulu dari yang memiliki tubuh. Sehingga tindakan medis
tanpa informed consent secara filosofis dianggap melanggar hak, meskipun
tujuannya baik serta demi kepentingan pasien.
b. Landasan Etika
Landasan etika dari informed consent adalah 4 prinsip dasar moral, yaitu :
- Beneficence
- Non maleficence
- Autonomy
- Justice
Dalam hal ini informed consent adalah perwujudan dari prinsipautonomy
c. Landasan Hukum
Peraturan perundangan yang menjadi landasan hukum bagi
pelaksanaan informed consent adalah :
 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (pasal 45)
Non- selective ( berlaku untuk semua tindakan medis). Harus didahului
dengan penjelasan yang cukup sebagai landasan bagi pasien untuk
mengambil keputusan. Dapat diberikan secara tertulis atau lisan ( dapat
dengan ucapan ataupun anggukan kepala). Untuk tindakan medis
berisiko tinggi harus diberikan secara tertulis. Dalam keadaan emergensi
tidak diperlukan informed consent, tetapi sesudah sadar wajib diberitahu
dan diminta persetujuan. Ditandatangani oleh yang berhak. Disini yang
dimaksud tindakan medis berisiko tinggi adalah tindakan bedah dan
tindakan invasif lainnya.
 UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pasal 56
 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit, pasal 32 (k)
 Peraturan Menteri Kesehatan RI No 290/MENKES/PER/III/ 2008

3.3 Dasar Hukum Informed Consent


Sebagai suatu perbuatan hukum, persetujuan tindakan medik tentu harus
dilatarbelakangi oleh sektor yuridis agar dapat berlaku dan sesuai dengan aturan

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 15


hukum yang berlaku. Di Indonesia, yang menjadi dasar hukum bagi suatu
transaksi persetujuan tindakan medik adalah sebagai berikut :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran pasal
45 ayat (1) sampai dengan (6)
Sebagaimana dinyatakan setiap tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap
pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan sebagaimana dimaksud
diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap, sekurang-
kurangnya mencakup : diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan
tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya,risiko
dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan
yang dilakukan.20 Persetujuan tersebut dapat diberikan baik secara tertulis
maupun lisan. Disebutkan didalamnya bahwa setiap tindakan kedokteran
atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan
dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
3. UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1419/Menkes/Per/X/2005 tentang penyelenggaraan praktik dokter dan
dokter gigi
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
749a/Men.Kes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medik/ Medical Record
7. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1951 tentang Kesehatan Kerja.
8. Surat Keputusan Dirjen Yan Dik No. HK.00.06.6.5.1866 Tahun 1999
tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medik ditetapkan tanggal 21 April
1999 (selanjutnya disebut Pedoman Pertindik)
9. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008 tentang
persetujuan tindakan Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2, dan 3 yaitu :
Pasal 1
2. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
akan dilakukan terhadap pasien.

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 16


3. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung,
anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
4. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut
tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif,
diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien.
5. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat
mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.
6. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan
medis yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat
mengakibatkan kematian atau kecacatan.
7. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan
dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran
gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
8. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak
menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah,
tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara
wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi)
mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu
membuatkeputusan secara bebas.

Pasal 2
1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan
secara tertulis maupun lisan.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya
tindakan kedokteran dilakukan.

Pasal 3
1. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus
memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang
berhak memberikan persetujuan.

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 17


2. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan
persetujuan lisan.
3. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat
dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus
yang dibuat untuk itu.
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan
dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan
kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju.
5. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat
dimintakan persetujuan tertulis

3.4 Macam-Macam Dari Informed Consent


Ada dua bentuk informed consent:
1. Implied constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan , telah diketahui, telah
dimengerti oleh masyarakat umum, sehingga tidak perlu lagi di buat
tertulis misalnya pengambilan darah untuk laboratorium, suntikan,
atau hecting luka terbuka.
2. Implied Emergency Consent (keadaan Gawat Darurat)
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa
tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis
(dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi
tiga bentuk, yaitu :
a. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis
yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam
PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK
PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan
medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya
persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh
informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko
yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent)
Pasal 45 UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
ayat (5) menyatakan bahwa “ Setiap tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 18


dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.” Umumnya disebutkan bahwa contoh
tindakan yang berisiko tinggi adalah tindakan invasif (tertentu) atau
tindakan bedah yang secara langsung mempengaruhi keutuhan
jaringan tubuh (lihat pengertian di depan). Persetujuan tertulis juga
dibutuhkan bila memang dibutuhkan bukti persetujuan Dengan
mengacu kepada anjuran General Medical Council (GMC) di
Inggris, KKI melalui buku manual ini memberikan petunjuk bahwa
persetujuan tertulis diperlukan pada keadaan-keadaan sebagai
berikut:
- Bila tindakan terapetik bersifat kompleks atau menyangkut risiko
atau efek samping yang bermakna;
- Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi;
- Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna
bagi kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial
pasien;
- Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.

b. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang


bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang
diberikan oleh pihak pasien
Untuk informed consent yang tidak tertulis, dibatasi untuk
tindakan-tindakan medis yang :
a. Risikonya kecil
b. Ada saksi ( misalnya perawat, bidan, dll) yang melihat proses
pemberian informasi.
c. Dicatat dalam rekam medis pasien dengan
mencantumkan tanggal, waktu, dan nama penerima informasi
serta saksi.

c. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat,


misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya,
langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan
yang akan dilakukan terhadap dirinya.

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 19


3.5 Syarat-Syarat Untuk Mengisi Informed Consent
a. Voluntary ( suka rela, tanpa unsur paksaan)
Voluntary maknanya bahwa pernyataan tersebut harus bebas dari tiga F,
yaitu force (paksaan), fear (rasa takut) dan fraud (diperdaya).
b. Unequivocal ( dengan jelas dan tegas)
c. Conscious ( dengan kesadaran )
d. Naturally ( sesuai kewajaran )
Naturally maknanya sesuai kewajaran disrtai iktikad baik, serta isinya tidak
mengenai hal-hal tang dilarang oleh hukum. Oleh sebab itu tidak dibenarkan
adanya kalimat yang menyatakan bahwa ....”pasien tidak berhak menuntut
atau menggugat jika terjadi sesuatu yang merugikannya”.

Pembatalan informed consent :


Informed consent dapat dibatalkan :
a. Oleh pasien sendiri sepanjang tindakan medis tersebut belum
dilakukan,atau secara medis tidak mungkin lagi untuk dibatalkan.
b. Dalam hal informed consent diberikan oleh wali atau keluarga
terdekatnya, maka sepatutnya pembatalan tersebut adalah oleh anggota
keluarga yang bersangkutan, atau oleh anggota keluarga lainnya yang
mempunyai kedudukan hukum lebih berhak untuk bertindak sebagai
wali.

Dalam hukum perdata, suami atau isteri dari pasien lebih berhak dari pada anak
atau orang tuanya.

3.6 Proses Dalam Melaksanakan Informed Consent


Menurut SK Dirjen Pelayanan Medik No.HK.00.06.6.5.1866 Kebijakan dan
Prosedur tentang Informed Consent adalah sebagai berikut:
1. Pengaturan persetujuan atau penolakan tindakan medis harus dalam
bentuk kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh pimpinan Rumah
Sakit.
2. Memperoleh informasi dan penjelasan merupakan hak pasien dan
sebaliknya memberikan informasi dan penjelasan adalah hak dokter.
3. Formulir Informed Consent dianggap benar jika memenuhi ketentuan
sebagai berikut :
a. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan untuk
tindakan medis yang dinyatakan secara spesifik.
b. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa
paksaan (voluntary).

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 20


c. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan oleh
seorang (pasien) yang sehat mental dan yang memang berhak
memberikannya.
d. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan setelah
diberikan cukup informasi dan penjelasan yang diberikan.
4. Isi informasi dan penjelasan yang diberikan.
Informasi dan penjelasan dianggap cukup jika paling sedikit enam hal
pokok dibawah ini disampaikan dalam memberikan informasi dan
penjelasan.
a. Informasi dan penjelasan tentang tujuan dan prospek keberhasilan
tindakan medis yang akan dilakukan.
b. Informasi dan penjelasan tentang tata cara tindakan medis yang akan
dilakukan.
c. Informasi dan penjelasan tentang resiko dan komplikasi yang
mungkin akan terjadi.
d. Informasi dan penjelasan tentang alternatif tindakan lain yang
tersedia dan serta resikonya dari masing-masing tindakan tersebut.
e. Informasi dan penjelasan tentang prognosis penyakit apabila
tindakan tersebut dilakukan.
f. Diagnosis.
5. Kewajiban memberikan informasi dan penjelasan.
Dokter yang akan melakukan tindakan medis mempunyai tanggung
jawab utama memberikan informasi dan penjelasan yang diperlukan.
Apabila berhalangan, informasi dan penjelasan yang diberikan dapat
diwakili pada dokter lain dengan sepengetahuan dokter yang
bersangkutan.
6. Cara menyampaikan informasi.
Informasi dan penjelasan disampaikan secara lisan. Informasi secara
tertulis hanya dilakukan sebagai pelengkap penjelasan yang telah
disampaikan secara lisan.
7. Pihak yang menyatakan persetujuan.
a. Pasien sendiri, yaitu apabila pasien telah berumur 21 tahun atau
sudah menikah.
b. Bagi pasien dibawah umur 21 tahun, persetujuan (Informed Consent)
atau penolakan tindakan medis diberikan oleh mereka, menurut
urutan hak sebagai berikut :
1. Ayah/Ibu adopsi
2. Saudara-saudara kandung

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 21


c. Bagi pasien dibawah umur 21 tahun atau tidak mempunyai orang tua
atau orang tuanya berhalangan hadir. Persetujuan (Informed
Consent) atau penolakan tindakan medis diberikan oleh mereka,
menurut hak sebagai berikut:
1. Ayah/Ibu adopsi
2. Saudara-saudara kandung
d. Bagi pasien dewasa dengan gangguan mental, persetujuan (Informed
Consent) atau penolakan tindakan medis diberikan oleh mereka
menurut urutan hak sebagai berikut :
1. Ayah/Ibu kandung
2. Wali yang sah
3. Saudara-saudara kandung
e. Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampunan (curatelle)
persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan menurut urutan
hak tersebut :
1. Wali
2. Curator
f. Bagi pasien dewasa yang telah menikah /orang tua, persetujuan atau
penolakan tindakan medis diberikan oleh mereka menurut urutan
hak tersebut:
1. Suami/isteri
2. Ayah/ibu kandung
3. Anak-anak kandung
4. Saudara-saudara kandung.
8. Cara menyatakan persetujuan.
Cara pasien menyatakan persetujuan dapat secara tertulis (expressed)
maupun lisan. Persetujuan secara tertulis mutlak diperlakukan pada
tindakan medis yang mengandung resiko tinggi, sedangkan persetujuan
secara lisan diperlukan pada tindakan medis yang tidak mengandung
resiko tinggi.
9. Semua jenis tindakan medis yang mengandung resiko harus disertai
Informed Consent. Jenis tindakan medis memerlukan Informed Consent
disusun oleh komite medik dan kemudian ditetapkan oleh pimpinan
Rumah Sakit. Bagi rumah sakit yang belum mempunyai komite medik
atau keberadaan komite medik belum lengkap, maka dapat mengacu
pada jenis tindakan medis yang sudah ditetapkan oleh rumah sakit lain
yang fungsi dan kelasnya sama.

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 22


10. Perluasan tindakan medis yang telah disetujui tidak dibenarkan
dilakukan dengan alasan apapun juga, kecuali apabila perluasan
tindakan medis tersebut terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan jiwa
pasien.
11. Pelaksanaan Informed Consent untuk tindakan medis tertentu, misalnya
Tubektomi/Vasectomi dan Caesarean Section yang berkaitan dengan
program keluarga berencana, harus merujuk pada ketentuan lain melalui
konsultasi dengan perhimpunan profesi yang terkait.
12. Demi kepentingan pasien, Informed Consent tidak diperlukan bagi
pasien gawat darurat dalam keadaan tidak sadar dan tidak didampingi
oleh keluarga pasien yang berhak memberikan persetujuan/penolakan
tindakan medis.
13. Format isian persetujuan tindakan medis (Informed Consent) atau
penolakan tindakan medis, digunakan seperti pada contoh formulir
terlampir, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Diketahui dan ditandatangani oleh dua orang saksi. Perawat
bertindak sebagai salah satu saksi.
b. Formulir asli dalam berkas rekam medis pasien.
c. Formulir harus sudah diisi dan ditandatangani 24 jam sebelum
tindakan medis dilakukan.
d. Dokter harus ikut membubuhkan tandatangan sebagai bukti bahwa
telah diberikan informasi dan penjelasan secukupnya.
e. Sebagai ganti tanda tangan, pasien atau keluarganya yang buta huruf
harus membubuhkan cap jempol ibu jari tangan kanan.
(MenKes, 2008)

Sedangkan menurut Jurnal PDGI vol 63 proses pemberian informed consent


adalah sebagai berikut:
Pasien datang ke klinik gigi -> dokter anamnesa, mendiagnosis lalu menjelaskan
informasi kepada pasien, resiko tindakan medik, dll. (isi informasi dan penjelasan) ->
apabila pasien sudah mengerti pasien menentukan perserujuan/penolakan (hak pasien)
-> tidak beresiko (persetujuan tidak tertulis) -> beresiko tinggi (persetujuan tertulis) ->
penandatanganan informed consent secara tertulis oleh pasien sebagai penegasan/
pengukuhan dari persetujuan yang diberikan setelah dokter memberi informasi

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 23


3.7 Berlakunya Informed Consent
Tidak ada satu ketentuan pun yang mengatur tentang lama keberlakuan
suatu persetujuan tindakan kedokteran. Teori menyatakan bahwa suatu
persetujuan akan tetap sah sampai dicabut kembali oleh pemberi persetujuan
atau pasien. Namun demikian, bila informasi baru muncul, misalnya tentang
adanya efek samping atau alternatif tindakan yang baru, maka pasien harus
diberitahu dan persetujuannya dikonfirmasikan lagi. Apabila terdapat jedah
waktu antara saat pemberian persetujuan hingga dilakukannya tindakan, maka
alangkah lebih baik apabila ditanyakan kembali apakah persetujuan tersebut
masih berlaku. Hal-hal tersebut pasti juga akan membantu pasien, terutama bagi
mereka yang sejak awal memang masih ragu-ragu atau masih memiliki
pertanyaan.
Informed consent dapat dibatalkan :
a. Oleh pasien sendiri sepanjang tindakan medis tersebut belum
dilakukan, atau secara medis tidak mungkin lagi untuk dibatalkan.
b. Dalam hal informed consent diberikan oleh wali atau keluarga
terdekatnya, maka sepatutnya pembatalan tersebut adalah oleh
anggota keluarga yang bersangkutan, atau oleh anggota keluarga
lainnya yang mempunyai kedudukan hukum lebih berhak untuk
bertindak sebagai wali.
Dalam hukum perdata, suami atau isteri dari pasien lebih berhak dari
pada anak atau orang tuanya.

3.8 Sanksi Hukum Jika Tidak Ada Informed Consent


Kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang medis
meliputi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang No.
36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit
serta Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi Dan Praktik Perawat.
Jika dihubungkan dengan profesi dokter dalam pelayanan kesehatan
timbul pertanyaan, apakah unsur kesalahan tersebut dapat diterapkan terhadap

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 24


perbuatan yang dilakukan oleh dokter? Untuk menjawab pertanyaan tersebut
harus dilihat apakah kesalahan yang dilakukan oleh dokter, terjadi karena
kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman dan atau kurangnya kehati-
hatian, padahal diketahui bahwa jika dilihat dari segi profesionalisme, seorang
dokter dituntut untuk terus mengembangkan ilmunya.
Dalam pelayanan kesehatan, kelalaian yang timbul dari tindakan seorang
dokter adalah “kelalaian akibat”. Oleh karena itu yang dipidana adalah penyebab
dari timbulnya akibat, misalnya tindakan seorang dokter yang menyebabkan
cacat atau matinya orang yang berada dalam perawatannya, sehingga perbuatan
tersebut dapat dicelakan kepadanya. Untuk menentukan apakah seorang dokter
telah melakukan peristiwa pidana sebagai akibat, harus terlebih dahulu dicari
keadaan-keadaan yang merupakan sebab terjadinya peristiwa pidana itu.
Umpamanya karena kelalaian seorang dokter yang memberikan obat yang salah
kepada pasiennya menyebabkan cacat atau matinya pasien tersebut. Disamping
itu harus pula dilihat apakah perawatan yang diberikan kepada pasien
merupakan suatu kesengajaan untuk tidak memberikan pelayanan yang baik,
padahal ia sadar sepenuhnya bahwa pasien tersebut sangat membutuhkannya.
Jika hal ini terjadi, maka kesalahan tersebut disebabkan karena tindakan
dokter berupa kesengajaan, karena ia telah bersikap kurang hati-hati dan
ceroboh. Dengan demikian dari pembahasan diatas, dapat disimpilkan bahwa
kealpaan itu paling tidak memuat tiga unsur:
1. Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum
tertulis maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu
perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum.
2. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir panjang.
3. Perbuatan pelaku tidak dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus
bertanggung jawab atas akibat perbuatannya tersebut.

Dalam bidang hukum, hukum pidana termasuk dalam hukum yang


berlaku umum, dimana setiap orang harus tunduk kepada peraturan ini dan
pelaksanaan peraturan ini dapat dipaksakan. Setiap anggota masyarakat
(termasuk dokter) tanpa kecuali harus taat, juga termasuk orang asing yang
berada dalam yurisdiksi Negara Republik Indonesia. Tuntutan malpraktik

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 25


berdasarkan hukum pidana (dengan kata lain sebagai kriminalitas dalam bidang
medic) yang tercatat dalam literature-literatur sebenarnya tidaklah banyak.
Meskipun demikian, perlu diketahui beberapa perbuatan yang dikategorikan
dalam malpraktik pidana, antara lain:

1. Penganiayaan (Mishandeling)
Malpraktik kedokteran dapat menjadi penganiayaan jika ada
kesengajaan, baik terhadap perbuatan maupun akibat perbuatan. Pada
umumnya, pembedahan tanpa informed consent termasuk penganiayaan.
Selain itu, alasan pembenar pembedahan sebagai penganiayaan juga terletak
pada maksud atau tujuannya, yakni untuk mencapai tujuan yang patut.
Dengan demikian, sebaliknya walaupun mendapatkan informed consent, jika
untuk mencapai tujuan yang tidak patut maka pembedahan tetap merupakan
penganiayaan. Menurut doktrin pun, perbuatan fisik yang ditujukan pada
fisik orang lain yang mengakibatkan rasa sakit, kehilangan sifat melawan
hukum apabila ditujukan untuk mencapai tujuan yang patut.
Sama halnya dengan pembedahan tanpa infoemed consent dalam
keadaan mendesak, sesungguhnya tetap merupakan penganiayaan. Tidak
dipidana karena kehilangan sifat melawan hukum perbuatan. Syarat dalam
keadaan mendesak diserahkan pada pertimbangan ilmu kedokteran dan ilmu
hukum. Dari sudut ilmu kedokteran, pertimbangannya ialah: tanpa segera
mendapat pertolongan medis, pasien akan mati atau akibat fatal lainnya.
Disamping itu keadaan mendesak juga berdasarkan pertimbangan hukum.
Hukum telah menentukan bahwa seseorang yang mampu menolong orang
lain yang dalam bahaya kematiannya tanpa membahayakan dirinya tidak
melakukan pertolongan karena tanpa diberi pertolongan orang itu mati.
Dengan demikian, orang yang tidak menolong bertanggung jawab hukum
atas kematian orang lain itu (Pasal 531 KUHP).
Tindakan medis darurat yang mengabaikan informed consent dapat
dibenarkan berdasarkan asas subsidiariteit dalam hukum. Hukum telah
memberikan jalan untuk mempertahankan kepentingan hukum yang saling
berhadapan, artinya tidak dapat mepertahankan kedua-duanya. Dengan

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 26


demikian yang harus dipilih ialah mempertahankan kepentingan hukum yang
lebih besar (misalnya dari bahaya kematian) daripada mempertahankan
kepentingan hukum yang lebih kecil karena tanpa informed consent.
Perbuatan pada penganiayaan harus berwujud, misalnya pemukulan
atau pembedahan tubuh yang dilakukan oleh dokter. Akan tetapi, bisa juga
dengan perbuatan pasif, seperti sengaja tidak segera melakukan pembedahan
yang menurut ilmu kedoteran harus dilakukan segera dengan maksud agar
pasien mati. Dalam perlakuan tersebut berarti terjadi penganiayaan yang
menyebabkan matinya orang. Penganiayaan hanya berlaku kesengajaan
sebagai maksud (opzet als oogmerk) saja, tidak termasuk kesengajaan
sebagai kemungkinan.

2. Kealpaan yang menyebabkan kematian


Hampir pasti pasal 359 KUHP selalu didakwakan terhadap kematian
yang diduga disebabkan karena kesalahan dokter. Pasal 359 KUHP dapat
menampung semua perbuatan yang dilakukan yang mengakibatkan
kematian, dimana kematian bukanlah dituju atau dikehendaki. Pasal 359
merumuskan bahwa “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya)
menyebabkan orang lain mati…” jadi disamping adanya sikap batin culpa
harus ada 3 unsur lagi. 3 unsur yang dimaksud merupakan rincian dari
kalimat: “menyebabkan orang lain mati”, yakni:
a. Harus ada wujud perbuatan
b. Adanya akibat berupa kematian
c. Adanya causal verband antara wujud perbuatan dengan akibat kematian.
Sikap batin culpa bukan ditujukan pada perbuatan, akan tetapi pada
akibat kematian. Pada perbuatan selalu dituju oleh sengaja. Akibat
kematian tidak perlu timbul tidak lama setelah tindakan medis. Boleh
lebih lama, asalkan kematian itu benar-benar disebabkan oleh tindakan
medis yang dilakukan akan tetapi, jika terlalu lama akan sulit
menentukan adanya hubungan causal antara tindakan medis, dengan
akibat kematian.

3. Kealapan yang menyebabkan luka-luka


Selain pasal 359 KUHP, pasal 360 KUHP juga sudah sangat lazim
digunakan jaksa untuk menuntut dokter atas dugaan malpraktik kedokteran,

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 27


selanjutnya pasal 359 jika ada kematian dan pasal 360 jika ada luka. Ada 2
macam tindak pidana menurut pasal 360. Masing-masing dirumuskan pada
ayat 1 dan 2. Bunyi kalimat ayat 1: “ … karena kesalahannya (kealpaanya)
menyebabkan orang lain mendapatkan luka berat …” kalimat ayat 2 “ …
Karen kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, ….”
Dari rumusan (kalimat) pada ayat 1 dapat dirinci unsur-unsur yang harus
dibuktikan jaksa, yakni:
a. Adanya kelalaian
b. Adanya wujud perbuatan
c. Adanya akibat luka berat
d. Adanya hubungan kausal antara luka berat dengan wujud perbuatan.
Rumusan ayat 2 mengandung unsur, yakni
e. Adanya kelalaian
f. Adanya wujud perbuatan

3.9 Dalil tentang Informed Consent

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 28


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengingatkan bahwa yang berhak
mengobati adalah ahli profesi kedokteran dengan standar kedokteran. Beliau
bersabda:
ِ‫ب ضوضل يهنعلضهم ممننهه مط ب‬
‫ب فضههضو ض‬
‫ضاَممنن‬ ‫ضمنن تض ض‬
‫طببَ ض‬

“Barangsiapa berpraktik kedokteran padahal ia belum dikenal menguasai


ilmu kedokteran, maka ia harus bertanggung jawab (atas
perbuatannya).” (HR. Abu Dawud: 3971, Ibnu Majah: 3457 dan an-Nasai:
4748 dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya dan di-shahih-kan oleh
al-Hakim dalam al-Mustadrak: 7484 (4/236) serta disepakati oleh adz-Dzahabi.
Al-Albani meng-hasan-kannya dalam Silsilah ash-Shahihah: 635)
Hadits ini menunjukkan bahwa seorang dokter harus bertanggung jawab
atas perbuatannya yang merusakkan nyawa atau yang di bawahnya (seperti
anggota tubuh, pen). Baik ia bertindak langsung terhadap pasiennya atau ia
hanya memerintahkan dan menasehatkan saja (melalui perawat atau lainnya,
pen). Baik secara sengaja atau tidak sengaja. Dan ini diakui oleh ijma’
(kesepakatan ulama).

MAKALAH SKENARIO 1 SGD 1 Page 29


BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Informed consent memang sangat diperlukan dan merupakan suatu keharusan
bagi dokter dan pasien karena informed consent merupakan suatu proses komunikasi
antara dokter dan pasien untuk menentukan terapi pengobatan yang terbaik.
Pelaksanaan informed consent dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran. Oleh karena itu, diharapkan kepada dokter yang
akan melakukan tindakan medis untuk melakukan persetujuan tindakan medis
(informed consent), hal ini untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak
diingikan dalam proses tindakan medis, baik untuk kepentingan dokter itu sendiri
maupun pasien. Komunikasi yang baik akan mempermudah dokter dalam meminta
persetujuan tindakan medis (informed consent) kepada pasien.

4.2 Saran
Saran dari penulis adalah diharapkan para pembaca dapat mengetahui
tentang Informed Consent dan memahami tentang bagaimana pemberian
informed consent pada pasien agar dapat meningkatkan kesehatan di masyarakat
untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Guwandi J. 1996. Dokter, Pasien, dan Hukum. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Guwandi J. 2004. Medical Law. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Hanafiah J; Amir A. 2007. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran, EGC.
Helm A. 2003. Malpraktik Keperawatan, Menghindari masalah hukum. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Juliawati, Mita.2014. Pentingnya Surat Persetujuan Tindakan Medik (Informed
Consent) pada Praktek Dokter Gigi. Jurnal PDGI vol 63
Konsil Kedokteran Indonesia. 2006. Manual Komunikasi Efektif Dokter-Pasien. Jakarta.
KKI.
Lestari, E.G dan Maliki, M.A. 2003. Komunikasi Efektif. Jakarta. Lembaga
Administrasi Negara.
Sampurna, Zulhasmar Syamsu. 2005. Bioetik dan Hkum Kedokteran, Pengantar bagi
Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Penerbit Pustaka Dwipar
Sofwan, Dahlan. 2000. Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu bagi Profesi Dokter.
Semarang: Badan Penerbit Universits Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai