Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karuniaNya kami dapat menyelesaikan makalah skenario satu blok 11 yang berjudul
“Persetujuan Pasien”.
Makalah skenario ini kami susun karena merupakan sebagian tugas yang telah
diberikan. Dan pada kesempatan ini kami ucapkan terimakasih kepada beberapa pihak
media dan drg. Lisa Mayasari selaku dosen tutorial blok 11 yang senantiasa membantu
dan membimbing dalam pembuatan makalah skenario satu ini sehingga dapat
diselesaikan dengan baik.
Makalah ini pula kami susun untuk memperluas dan menambah wawasan para
pembaca khususnya mahasiswa kedokteran gigi. Untuk menunjang pemahaman dan
melatih keterampilan mahasiswa, kami lampirkan beberapa sumber dari jurnal dan
buku. Dalam pembuatan makalah ini telah disadari terdapat beberapa kekurangan dan
masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kami mengharapkan kepada semua pembaca
agar dapat menyampaikan saran dan kritik guna penyempurnaan makalah tutorial ini.
Semarang, 14 Mei 2016
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Skenario
PERSETUJUAN PASIEN
1.5 Manfaat
1.5.1 Mahasiswa mampu memahami landasan informed consent
1.5.2 Mahasiswa mampu memahami dasar hukum dari informed consent
1.5.3 Mahasiswa mampu memahami macam-macam dari informed consent
1.5.4 Mahasiswa mampu memahami syarat-syarat untuk mengisi informed
consent
1.5.5 Mahasiswa mampu memahami proses dalam melaksanakan informed
consent
1.5.6 Mahasiswa mampu memahami berlakunya informed consent
1.5.7 Mahasiswa mampu memahami sanksi hukum jika tidak ada informed
consent
KEWAJIBAN PASIEN :
1. Memberi keterangan yang jujur tentang penyakit dan perjalanan penyakit
kepada petugas kesehatan
2. Mematuhi nasihat dokter dan perawat
KEWAJIBAN PASIEN
1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya kepada dokter yang merawat
2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi dan perawat
dalam pengobatanya
3. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berkewajiban
memenuhi hal-hal yang telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya
(sumber: Undang-undang RI 23 Tahun 1992
HAK KEWAJIBAN
INFORMED CONSENT
Pasal 2
1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan
secara tertulis maupun lisan.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya
tindakan kedokteran dilakukan.
Pasal 3
1. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus
memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang
berhak memberikan persetujuan.
Dalam hukum perdata, suami atau isteri dari pasien lebih berhak dari pada anak
atau orang tuanya.
1. Penganiayaan (Mishandeling)
Malpraktik kedokteran dapat menjadi penganiayaan jika ada
kesengajaan, baik terhadap perbuatan maupun akibat perbuatan. Pada
umumnya, pembedahan tanpa informed consent termasuk penganiayaan.
Selain itu, alasan pembenar pembedahan sebagai penganiayaan juga terletak
pada maksud atau tujuannya, yakni untuk mencapai tujuan yang patut.
Dengan demikian, sebaliknya walaupun mendapatkan informed consent, jika
untuk mencapai tujuan yang tidak patut maka pembedahan tetap merupakan
penganiayaan. Menurut doktrin pun, perbuatan fisik yang ditujukan pada
fisik orang lain yang mengakibatkan rasa sakit, kehilangan sifat melawan
hukum apabila ditujukan untuk mencapai tujuan yang patut.
Sama halnya dengan pembedahan tanpa infoemed consent dalam
keadaan mendesak, sesungguhnya tetap merupakan penganiayaan. Tidak
dipidana karena kehilangan sifat melawan hukum perbuatan. Syarat dalam
keadaan mendesak diserahkan pada pertimbangan ilmu kedokteran dan ilmu
hukum. Dari sudut ilmu kedokteran, pertimbangannya ialah: tanpa segera
mendapat pertolongan medis, pasien akan mati atau akibat fatal lainnya.
Disamping itu keadaan mendesak juga berdasarkan pertimbangan hukum.
Hukum telah menentukan bahwa seseorang yang mampu menolong orang
lain yang dalam bahaya kematiannya tanpa membahayakan dirinya tidak
melakukan pertolongan karena tanpa diberi pertolongan orang itu mati.
Dengan demikian, orang yang tidak menolong bertanggung jawab hukum
atas kematian orang lain itu (Pasal 531 KUHP).
Tindakan medis darurat yang mengabaikan informed consent dapat
dibenarkan berdasarkan asas subsidiariteit dalam hukum. Hukum telah
memberikan jalan untuk mempertahankan kepentingan hukum yang saling
berhadapan, artinya tidak dapat mepertahankan kedua-duanya. Dengan
4.1 Kesimpulan
Informed consent memang sangat diperlukan dan merupakan suatu keharusan
bagi dokter dan pasien karena informed consent merupakan suatu proses komunikasi
antara dokter dan pasien untuk menentukan terapi pengobatan yang terbaik.
Pelaksanaan informed consent dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran. Oleh karena itu, diharapkan kepada dokter yang
akan melakukan tindakan medis untuk melakukan persetujuan tindakan medis
(informed consent), hal ini untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak
diingikan dalam proses tindakan medis, baik untuk kepentingan dokter itu sendiri
maupun pasien. Komunikasi yang baik akan mempermudah dokter dalam meminta
persetujuan tindakan medis (informed consent) kepada pasien.
4.2 Saran
Saran dari penulis adalah diharapkan para pembaca dapat mengetahui
tentang Informed Consent dan memahami tentang bagaimana pemberian
informed consent pada pasien agar dapat meningkatkan kesehatan di masyarakat
untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Guwandi J. 1996. Dokter, Pasien, dan Hukum. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Guwandi J. 2004. Medical Law. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Hanafiah J; Amir A. 2007. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran, EGC.
Helm A. 2003. Malpraktik Keperawatan, Menghindari masalah hukum. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Juliawati, Mita.2014. Pentingnya Surat Persetujuan Tindakan Medik (Informed
Consent) pada Praktek Dokter Gigi. Jurnal PDGI vol 63
Konsil Kedokteran Indonesia. 2006. Manual Komunikasi Efektif Dokter-Pasien. Jakarta.
KKI.
Lestari, E.G dan Maliki, M.A. 2003. Komunikasi Efektif. Jakarta. Lembaga
Administrasi Negara.
Sampurna, Zulhasmar Syamsu. 2005. Bioetik dan Hkum Kedokteran, Pengantar bagi
Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Penerbit Pustaka Dwipar
Sofwan, Dahlan. 2000. Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu bagi Profesi Dokter.
Semarang: Badan Penerbit Universits Diponegoro.