Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pemicu

Seorang laki-laki usia 20 tahun datang ke UGD dengan perut mulas sejak 1 hari
sebelumnya. Nyeri dirasakan seperti diremas dan seperti tertusuk-tusuk, dirasakan di seluruh
perut terutama daerah kanan. Nyeri dirasakan terutama saat akan buang air besar. Penderita juga
mengalami buang air besar cair, disertai lendir dan sedikit kemerahan sebanyak 4x pada hari ini.
Selain itu terdapat rasa mual dan muntah 2 kali. Demam dirasakan sejak 4 jam sebelumnya.
Pasien sudah meminum obat diare dan obat muntah, namun tidak ada perubahan. Buang Air
Kecil tidak ada sejak 8 jam sebelum datang ke RS.

Hasil pemeriksaan fisik:


Tekanan Darah 90/60mmHg, HR 114x/menit, RR 20x/menit, T 38°C
Abdomen : Auskultasi bising usus (+) meningkat, perkusi hipertimpani
Kulit : Turgor kembali lambat

1.2 Klarifikasi Definisi

1. HR : jumlah detak jantung per satuan waktu dan biasanya dinyatakan


dalam menit (Heart Rate)
2. RR : jumlah napas per menit (Respiratory Rate)
3. Hipertimpani : suara yang dihasilkan akibat adanya udara yang berlebih di
abdomen
4. Turgor kulit : derajat elastisitas kulit

1.3 Kata Kunci

1. Laki-laki 20 tahun
2. Mulai sejak 1 hari
3. Nyeri abdomen seperti diremas dan ditusuk-tusuk terutama bagian kanan
4. Nyeri saat BAB
5. BAB cair, berlendir dan kemerahan
6. Frekuensi BAB 4x sehari
7. Mual, muntah, demam
8. Riwayat konsumsi obat diare dan muntah
9. Tidak ada BAK sejak 8 jam
10. Tekanan darah 90/30 mmHg
11. HR 114x/menit
12. RR 20x/menit
13. Bising usus (+) ↑

1.3 Rumusan Masalah

Laki-laki 20 tahun mengalami diare dengan tekstur cair, berlendir, dan kemerahan
disertai demam, mual, dan muntah.

1.4 Analisis Masalah

1.5 Hipotesis

Laki-laki 20 tahun mengalami disentri basiler

1.6 Pertanyaan Diskusi

1. Diare
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Etiologi
d. Epidemiologi
e. Manifestasi Klinis
f. Patofisiologi
g. Faktor Resiko
h. Diagnosis
i. Prognosis
j. Pencegahan
k. Komplikasi
l. Tatalaksana
m. Pemeriksaan Penunjang
2. Disentri
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Etiologi
d. Manifestasi Klinis
e. Patofisiologi
3. Disentri basiler
a. Definisi
b. Manifestasi Klinis
c. Patofisiologi
d. Diagnosis
e. DD
4. Perbedaan disentri basiler dan disentri amoebiasis
5. Dehidrasi
a. Patofisiologi
b. Komplikasi
6. Mengapa pasien mengalami nyeri pada seluruh bagian perut?
7. Hubungan demam dan kejadian diare pada pasien
8. Tatalaksana demam
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Diare

a. Definisi
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah
cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau
200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih
dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah(1).
b. Klasifikasi
1. Berdasarkan lama diare
a) Diare Akut
Diare akut dimana terjadi sewaktu-waktu dan berlangsung selama
14 hari dengan pengeluaran tinja lunak atau cair yang dapat atau tanpa
disertai lendir atau darah. Diare akut dapat menyebabkan dehidrasi dan
bila kurang megonsusmsi makanan akan mengakibatkan kurang gizi.
b) Diare Kronik
Diare kronik berlangsung secara terus-menerus selama lebih dari 2
minggu atau lebih dari 14 hari secara umum diikuti kehilangan berat
badan secara signifikan dan malasah nutrisi.
c) Diare persisten
Diare persisten adalah diare akut dengan atau tanpa disertai darah
berlanjut sampai 14 hari atau lebih. Jika terdapat dehidrasi sedang atau
berat diklasifikasikan sebagai berat atau kronik. Diare persisten
menyebabkan kehilangan berat badan karena pengeluaran volume faces
dalam jumlah banyak dan berisiko mengalami diare. Diare persisten dibagi
menjadi dua yaitu diare persisten berat dan diare persisten tidak berat atau
ringan. Diare persisten berat merupakan diare yang berlangsung selama ≥
14 hari, dengan tanda dehidrasi, sehingga anak memerlukan perawatan di
rumah sakit. Sedangkan diare persisten tidak berat atau ringan merupakan
diare yang berlangsung selama 14 hari atau lebih yang tidak menunjukkan
tanda dehidrasi.
d) Diare malnutrisi berat
Diare malnutrisi berat disebabkan karena infeksi. Infeksi dapat
menyebabkan anak mengalami malnutrisi karena selama sakit,mengalami
infeksi, anak mengalami penurunan asupan makanan, gangguan
pertahanan dan fungsi imun.
2. Berdasarkan patofisiologik diklasifikasi menjadi dua yaitu:
a) Diare sekresi
Diare sekresi disebabkan karena infeksi virus baik yang patogen
maupun apatogen, hiperperistaltik usus yang dapat disebabkan oleh bahan-
bahan kimia misalnya keracunan makanan atau minuman yang terlalu
pedas, selain itu juga dapat disebabkan defisiensi imun atau penurunan
daya tahan tubuh.
b) Diare osmotic
Diare osmotik disebabkan karena meningkatnya tekanan osmotik
intralumen dari usus halus yang disebabkan oleh obat-obat/zat kimia,
makanan tertentu seperti buah, gula/manisan, permen karet, makanan diet
dan pemanis obat berupa karbohidrat yang tidak diabsorbsi seperti sorbitol
atau fruktosa. Diare osmotik dapat terjadi akibat gangguan pencernaan
kronik terhadap makanan tertentu seperti buah, gula/manisan dan permen
karet(2).
c. Etiologi
I. Virus
Merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70-80%). Beberapa
jenis virus penyebab diare akut antara lain Rotavirus serotype 1, 2, 8, dan 9
pada manusia, Norwalk virus, Astrovirus, Adenovirus (tipe 40, 41), Small
bowel structured virus, Cytomegalovirus.
II. Bakteri
Enterotoxigenic E. coli (ETEC), Enteropathogenic E. coli (EPEC),
Enteroaggregative E. coli (EAggEC), Enteroinvasive E. coli (EIEC),
Enterohemorrhagic E. coli (EHEC), Shigella spp., Campylobacter jejuni
(Helicobacter jejuni), Vibrio cholerae 01, dan V. choleare 0139, Salmonella
(non-thypoid).
III. Protozoa
Giardia lamblia, Entamoeba histolytica, Cryptosporidium, Microsporidium
spp., Isospora belli, Cyclospora cayatanensis.
IV. Helminths
Strongyloides stercoralis, Schistosoma spp., Capilaria philippinensis,
Trichuris trichuria(3).
d. Epidemiologi
Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh dunia. Di Amerika
Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan pasien pada ruang
praktek dokter, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia data menunjukkan diare
karena infeksi terdapat peringkat pertama s/d ke empat pasien dewasa yang datang
berobat ke rumah sakit. Dikutip dari 8 Di negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2
episode/orang/tahun sedangkan di negara berkembang lebih dari itu. Di USA dengan
penduduk sekitar 200 juta diperkirakan 99 juta episode diare akut pada dewasa terjadi
setiap tahunnya. WHO memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun
dengan mortalitas 3-4 juta pertahun. Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun
sekitar 100 juta episode diare pada orang dewasa per tahun. Dari laporan surveilan
terpadu, di Indonesia jumlah kasus diare didapatkan 13,3 % di Puskesmas, di rumah sakit
didapat 0,45% pada penderita rawat inap dan 0,05 % pasien rawat jalan(2).
e. Manifestasi Klinis
Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah dan demam, tenesmus,
hematochezia, nyeri perut atau kejang perut. Diare yang berlangsung beberapa saat tanpa
penanggulangan medis adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan
tubuh yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi
berupa asidosis metabolik lanjut. Kehilangan cairan menyebabkan haus, berat badan
berkurang, mata cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun, serta
suara serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonik.
Kehilangan bikarbonat akan menurunkan pH darah. Penurunan ini akan
merangsang pusat pernapasan, sehingga frekuensi napas lebih cepat dan lebih dalam
(Kussmaul). Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonat agar pH
dapat naik kembali normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi,
bikarbonat standar juga rendah, pCO2 normal, dan base excess sangat negatif.
Gangguan kardiovaskuler pada hipovolemia berat dapat berupa renjatan dengan
tandatanda denyut nadi cepat, tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai
gelisah, wajah pucat, ujung-ujung ekstremitas dingin, dan kadang sianosis. Kehilangan
kalium juga dapat menimbulkan aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan akan
timbul anuria; bila tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa nekrosis tubulus
ginjal akut, yang berarti gagal ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih
berat, akan terjadi pemusatan sirkulasi paru-paru dan dapat menyebabkan edema paru
pada pasien yang menerima rehidrasi cairan intravena tanpa alkali.
Pada pasien diare berat dengan demam, nyeri abdomen, atau kehilangan cairan
harus diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin, analisis gas
darah, dan pemeriksaan darah lengkap. Pemeriksaan radiologis, seperti sigmoidoskopi,
kolonoskopi dan lainnya, biasanya tidak membantu evaluasi diare akut infeksi(4).
f. Patofisiologi
Wabah diare pada bayi, anak-anak dan dewasa biasanya disebabkan oleh
mikroorganisme yang menyebar melalui air atau makanan yang sudah tercemar oleh tinja
yang terinfeksi. Infeksi juga dapat ditularkan dari orang ke orang, yaitu bila seorang
penderita diare tidak mencuci tangannya dengan bersih, setelah buang air besar.
Diare akut dapat disebabkan oleh infeksi, alergi, reaksi obat-obatan, dan juga
faktor psikis. Klasifikasi dan patofisologi diare akut yang disebabkan oleh proses infeksi
pada usus atau Enteric infection. Pendekatan klinis yang sederhana dan mudah adalah
pembagian diare akut berdasarkan proses patofisiologi enteric infection, yaitu membagi
diare akut atas mekanisme Inflammatory, Non inflammatory, dan Penetrating.
Inflamatory diarrhea akibat proses invasion dan cytotoxin di kolon dengan
manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah (disebut juga
Bloody diarrhea). Biasanya gejala klinis yang menyertai adalah keluhan abdominal
seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, serta gejala dan tanda
dehidrasi.
Non Inflammatory diarrhea dengan kelainan yang ditemukan di usus halus bagian
proksimal. Keluhan abdominal biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun
gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak segera mendapat
cairan pengganti.
Penetrating diarrhea lokasi pada bagian distal usus halus. Penyakit ini disebut
juga Enteric fever, Chronic Septicemia, dengan gejala klinis demam disertai diare(2).
g. Faktor Resiko
Faktor-faktor yang dapat memengaruhi kejadian diare yaitu faktor lingkungan, faktor
sosiodemografi, dan faktor perilaku. Faktor lingkungan yang dominan dalam penyebaran
diare yaitu pembuangan tinja dan air minum karena berkaitan dengan penyebaran
penyakit diare, yang merupakan penyakit menular berbasis lingkungan. Faktor
sosiodemografi yang lain yaitu umur, semakin muda usia anak, semakin tinggi
kecenderungan terserang diare karena daya tahan tubuh yang rendah. Faktor perilaku
yang dapat mencegah penyebaran kuman enterik dan menurunkan risiko diare yaitu
kebiasaan mencuci tangan, mencuci buah dan sayur sebelum di konsumsi(5).
h. Diagnosis
Diagnosis diare berdasarkan gejala klinik seharusnya sudah memadai dan sudah
cukup untuk kepentingan terapi. Hal ini karena diare yang disebabkan oleh infeksi dan
karena intoleransi makanan mencakup sebagian besar kasus diare. Namun demikian
diagnosis pasti atau tetap perlu diupayakan demi kepentingan penelitian, pendidikan dan
upaya pencegahan pada masyarakat.
Langkah-langkah diagnosis gastroenteritis adalah sebagai berikut:
1) Anamnesis, meliputi: lama diare, frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau,
ada/tidak adanya lendir dan darah.
2) Pemeriksaan fisik, perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung
dan pernapasan serta tekanan darah.
3) Laboratorium
a) Darah: darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes
kepekaan terhadap antibiotika.
b) Urine: Urine lengkap, kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotika.
c) Tinja: Pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik(6)
i. Prognosis
Dengan penggantian Cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan terapi
antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya sangat baik dengan
morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan penyakit, morbiditas dan
mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut usia. Di Amerika Serikat, mortalits
berhubungan dengan diare infeksius < 1,0 %. Pengecualiannya pada infeksi EHEC
dengan mortalitas 1,2 % yang berhubungan dengan sindrom uremik hemolitik(7).
j. Pencegahan
Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya dapat
dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering mencuci tangan
setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah makanan. Kotoran manusia
harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan ternak harus terjaga dari kotoran
manusia.
Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama, ini harus diberikan
perhatian khusus. Minum air, air yang digunakan untuk membersihkan makanan, atau air
yang digunakan untuk memasak harus disaring dan diklorinasi. Jika ada kecurigaan
tentang keamanan air atau air yang tidak dimurnikan yang diambil dari danau atau air,
harus direbus dahulu beberapa menit sebelum dikonsumsi. Ketika berenang di danau atau
sungai, harus diperingatkan untuk tidak menelan air.
Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang bersih
(air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah manusia atau hewan
yang tidak diolah tidak dapat digunakan sebagai pupuk pada buah-buahan dan sayuran.
Semua daging dan makanan laut harus dimasak. Hanya produk susu yang dipasteurisasi
dan jus yang boleh dikonsumsi. Wabah EHEC terakhir berhubungan dengan meminum
jus apel yang tidak dipasteurisasi yang dibuat dari apel terkontaminasi, setelah jatuh dan
terkena kotoran ternak.
Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius, tetapi efektivitas
dan ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini, vaksin yang tersedia adalah untuk
V. colera, dan demam tipoid. Vaksin kolera parenteral kini tidak begitu efektif dan tidak
direkomendasikan untuk digunakan. Vaksin oral kolera terbaru lebih efektif, dan durasi
imunitasnya lebih panjang. Vaksin tipoid parenteral yang lama hanya 70 % efektif dan
sering memberikan efek samping. Vaksin parenteral terbaru juga melindungi 70 %, tetapi
hanya memerlukan 1 dosis dan memberikan efek samping yang lebih sedikit. Vaksin
tipoid oral telah tersedia, hanya diperlukan 1 kapsul setiap dua hari selama 4 kali dan
memberikan efikasi yang mirip dengan dua vaksin lainnya(7,8,9,11).
k. Komplikasi
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama, terutama
pada lanjut usia dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera, kehilangan cairan terjadi
secara mendadak sehingga cepat terjadi syok hipovolemik. Kehilangan elektrolit melalui
feses dapat mengarah terjadinya hipokalemia dan asidosis metabolik, Pada kasus-kasus
yang terlambat mendapat pertolongan medis, syok hipovolemik sudah tidak dapat diatasi
lagi, dapat timbul nekrosis tubular akut ginjal dan selanjutnya terjadi gagal multi organ.
Komplikasi ini dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat,
sehingga rehidrasi optimal tidak tercapai. Haemolityc Uremic Syndrome (HUS) adalah
komplikasi terutama oleh EHEC. Pasien HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolisis,
dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS meningkat setelah infeksi
EHEC dengan penggunaan obat anti-diare, tetapi hubungannya dengan penggunaan
antibiotik masih kontroversial. Sindrom Guillain – Barre, suatu polineuropati
demielinisasi akut, merupakan komplikasi potensial lain, khususnya setelah infeksi C.
jejuni; 20-40% pasien Guillain – Barre menderita infeksi C. jejuni beberapa minggu
sebelumnya. Pasien menderita kelemahan motorik dan mungkin memerlukan ventilasi
mekanis. Mekanisme penyebab sindrom Guillain – Barre belum diketahui. Artritis pasca-
infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare karena Campylobacter,
Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp(3).
l. Tatalaksana
1) Penggantian cairan dan elektrolit
Aspek paling penting adalah menjaga hidrasi yang adekuat dan
keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral,
yang harus dilakukan pada semua pasien, kecuali jika tidak dapat minum atau
diare hebat membahayakan jiwa yang memerlukan hidrasi intavena. Idealnya,
cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 gram natrium klorida, 2,5 gram natrium
bikarbonat, 1,5 gram kalium klorida, dan 20 gram glukosa per liter air. Cairan
seperti itu tersedia secara komersial dalam paket yang mudah disiapkan dengan
dicampur air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral
pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh
baking soda, dan 2-4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir
jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium. Pasien harus minum cairan tersebut
sebanyak mungkin sejak merasa haus pertama kalinya. Jika terapi intravena
diperlukan, dapat diberikan cairan normotonik, seperti cairan salin normal atau
ringer laktat, suplemen kalium diberikan sesuai panduan kimia darah. Status
hidrasi harus dipantau dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital,
pernapasan, dan urin, serta penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus
diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin(3).
2) Antibiotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa
pemberian antibiotik. 2 Antibiotik diindikasikan pada pasien dengan gejala dan
tanda diare infeksi, seperti demam, feses berdarah, leukosit pada feses,
mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan
jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised.
Pemberian antibiotik dapat secara empiris, tetapi terapi antibiotik spesifi k
diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman(3).
3) Obat anti-diare
a) Kelompok Anti-sekresi Selektif
Terobosan terbaru milenium ini adalah mulai tersedianya secara
luas racecadotril yang bermanfaat sebagai penghambat enzim
enkephalinase, sehingga enkephalin dapat bekerja normal kembali.
Perbaikan fungsi akan menormalkan sekresi elektrolit, sehingga
keseimbangan cairan dapat dikembalikan. Hidrasec sebagai generasi
pertama jenis obat baru anti-diare dapat pula digunakan dan lebih aman
pada anak(1,3).
b) Kelompok Opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl, serta
kombinasi difenoksilat dan atropin sulfat. Penggunaan kodein adalah 15-
60 mg 3x sehari, loperamid 2-4 mg/3-4 kali sehari. Efek kelompok obat
tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi cairan,
sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekuensi
diare. Bila diberikan dengan benar cukup aman dan dapat mengurangi
frekuensi efekasi sampai 80%. Obat ini tidak dianjurkan pada diare akut
dengan gejala demam dan sindrom disentri(1,3).
c) Kelompok Absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin,
atau smektit diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat
menyerap bahan infeksius atau toksin. Melalui efek tersebut, sel mukosa
usus terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang
sekresi elektrolit(1,3).
m. Pemeriksaan Penunjang
Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari pemeriksaan
feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit, jika ada itu dianggap
sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non infeksi. Karena netrofil akan
berubah, sampel harus diperiksa sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit feses terhadap
inflamasi patogen (Salmonella, Shigella dan Campylobacter) yang dideteksi dengan
kultur feses bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis patogennya.
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin. Laktoferin
adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil, keberadaannya dalam feses
menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu dapat terjadi pada bayi yang minum ASI.
Pada suatu studi, laktoferin feses, dideteksi dengan menggunakan uji agglutinasi lateks
yang tersedia secara komersial, sensitifitas 83 – 93 % dan spesifisitas 61 – 100 %
terhadap pasien dengan Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang dideteksi
dengan biakan kotoran.
Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau menderita diare
inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test lekosit feses atau latoferin positip,
atau keduanya. Pasien dengan diare berdarah yang nyata harus dilakukan kultur feses
untuk EHEC O157 : H7.
Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan cairan harus
diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin, analisa gas darah dan
pemeriksaan darah lengkap.
Pemeriksaan radiologis seperti sigmoidoskopi, kolonoskopi dan lainnya biasanya
tidak membantu untuk evaluasi diare akut infeksi(1).

2.2 Disentri

a. Definisi
Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron (usus),
yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala meluas dengan gejala buang air besar
dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume sedikit, buang air besar dengan tinja
bercampur lender (mucus) dan nyeri saat buang air besar (tenesmus).
Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit perut
dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang bercampur lendir dan
darah(11).
b. Klasifikasi
Penyakit infeksi saluran pencernaan dapat disebabkan oleh bakteri dan protozoa.
Infeksi yang disebabkan oleh bakteri dikenal sebagai disentri basiler yang disebabkan
oleh bakteri Shigella, sedangkan infeksi yang disebabkan oleh protozoa dikenal sebagai
disentri amuba.
Penyebab diare yang terpenting dan tersering adalah Shigella, salah satunya
Shigella flexneri. Entamoeba histolytica merupakan penyebab disentri pada anak yang
usianya di atas lima tahun dan jarang ditemukan pada balita(12).
c. Etiologi
Etiologi dari disentri ada 2, yaitu(11):
I. Disentri basiler
Disebabkan oleh Shigella,sp. Shigella adalah basil non motil, gram
negatif, famili enterobacteriaceae. Ada 4 spesies Shigella, yaitu S.dysentriae,
S.flexneri, S.bondii dan S.sonnei. Terdapat 43 serotipe O dari shigella.
S.sonnei adalah satu-satunya yang mempunyai serotipe tunggal. Karena
kekebalan tubuh yang didapat bersifat serotipe spesifik, maka seseorang dapat
terinfeksi beberapa kali oleh tipe yang berbeda. Genus ini memiliki
kemampuan menginvasi sel epitel intestinal dan menyebabkan infeksi dalam
jumlah 102 -103 organisme. Suatu keadaan lingkungan yang jelek akan
menyebabkan mudahnya penularan penyakit. Secara klinis mempunyai tanda-
tanda berupa diare, adanya lendir dan darah dalam tinja, perut terasa sakit dan
tenesmus.
II. Disentri amoeba
Disebabkan Entamoeba hystolitica. E.histolytica merupakan protozoa
usus, sering hidup sebagai mikroorganisme komensal (apatogen) di usus besar
manusia. Apabila kondisi mengijinkan dapat berubah menjadi patogen dengan
cara membentuk koloni di dinding usus dan menembus dinding usus sehingga
menimbulkan ulserasi. Siklus hidup amoeba ada 2 bentuk, yaitu bentuk
trofozoit yang dapat bergerak dan bentuk kista.
Bentuk trofozoit ada 2 macam, yaitu trofozoit komensal (berukuran < 10
mm) dan trofozoit patogen (berukuran > 10 mm). Trofozoit komensal dapat
dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkan gejala penyakit. Bila pasien
mengalami diare, maka trofozoit akan keluar bersama tinja. Sementara
trofozoit patogen yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus
(intraintestinal) maupun luar usus (ekstraintestinal) dapat mengakibatkan
gejala disentri. Diameternya lebih besar dari trofozoit komensal (dapat sampai
50 mm) dan mengandung beberapa eritrosit di dalamnya. Hal ini dikarenakan
trofozoit patogen sering menelan eritrosit (haematophagous trophozoite).
Bentuk trofozoit ini bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala penyakit
namun cepat mati apabila berada di luar tubuh manusia.
d. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala disentri antara lain adalah(13):
1. Buang air besar dengan tinja berdarah
2. Diare encer dengan volume sedikit
3. Buang air besar dengan tinja bercampur lender(mucus)
4. Nyeri saat buang air besar (tenesmus)
e. Patofisiologi
1) Disentri basiler
Semua strain bakteri shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan
yang ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak, disertai
eksudat inflamasi yang mengandung leukosit polymorfonuclear (PMN) dan darah.
Bakteri shigella secara genetik bertahan terhadap pH yang rendah, maka dapat
melewati barrier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air, makanan, dan
alat yang tercemar oleh ekstrets pasien. Setelah melewati lambung dan usus halus,
bakteri ini menginvansi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak
didalamnya. Kolon merupakan tempat utama yang diserang shigella namun
ileumterminalis dapat juga terserang. Kelainan yang terberat biasanya terlettak
pada daerah sigmoid, sedangkan pada ileum hanya hiperemik saja. Pada keadaan
akut dan fatal ditemukan mukosa usus hiperemik, lebam dan tebal, nekrosis
superfisial, tapi biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan subakut, terbentuk ulkus pada
daerah folikel limfoid, dan pada selaput lendir lipatan transversum didapatkan
ulkus yang dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan infiltrat tetapi tidak
berbentuk ulkus bergaung S.dysentriae, S.flexeneri, dan S.sonei menghasilkan
eksotoksin antara lain ShET1, ShET2, dan toksin Shiga yang mempunyai sifat
enterotoksik mempunyai sifat enterotoksik. Enterotoksik tersebut merupakan
salah satu faktor virulen sehingga kuman lebih mampu menginvansi sel epitel
mukosa kolon dan menyebabkan kelainan pada selaput lendi. Enterotoksik
tersebut merupakan salah satu faktor virulen sehingga kuman lebih mampu
menginvansi sel epitel mukosa kolon dan menyebabkan kelainan pada selaput
lendi. Enterotoksik tersebut merupakan salah satu faktor virulen sehingga kuman
lebih mampu menginvansi sel epitel mukosa kolon dan menyebabkan kelainan
pada selaput lendir yang mempunyai warna hijau yang khas. Pada infeksi yar
yang mempunyai warna hijau yang khas. Pada infeksi yar yang mempunyai warna
hijau yang khas. Pada infeksi yanng menahun akan terbentuk selaput yang
tebalnya sampai 1,5 cm sehingga dinding usus menjadi kaku, tidak rata dan lumen
usus mengecil. Dapat terjadi perlekatan dengan peritoneum.
2) Disentri Amoebiasis
Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komersial dilumen usus besar
dapat berubah menjadi patogen sehingga dapat menembus mukosa usus dan
menimbulkan ulkus. Akan tetapi faktor yang menyebabkan perubahan ini sampai
saat ini belum diketahui secara pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh pasien,
sifat keganasan (virulensi) amoeba, maupun lingkungannya memiliki peran.
Amoeba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan lisozim
yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus. Bentuk
ulkus amoeba sangat khas yaitu dilapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi dilapisan
submukosa dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya terjadi ulkus
dipermukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi reaksi radang yang
minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Ulkus dapat terjadi
disemua bagian usus besar, tetapi berdasarkan frekuensi dan urutan tempatnya
adalah sekum, kolon accendent, rektum sigmoid, apendiks, dan ileum
terminalis(2).

2.3 Disentri basiler

a. Definisi
Shigellosis atau disentri basiler merupakan penyakit infeksi saluran pencernaan yang
ditandai dengan diare cair akut atau dan disentri (tinja bercampur darah, lender, dan
nanah), pada umumnya disertai demam dan nyeri perut(14,15)
b. Manifestasi Klinis
Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai yang
berat. Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti pengeluaran tinja
sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Bentuk yang berat (fulminating cases)
biasanya disebabkan oleh S. dysentriae. Gejalanya timbul mendadak dan berat,
berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air dengan lendir dan darah, muntah-muntah,
suhu badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi, renjatan septik dan dapat meninggal bila
tidak cepat ditolong. Akibatnya timbul rasa haus, kulit kering dan dingin, turgor kulit
berkurang karena dehidrasi. Muka menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin dan
viskositas darah meningkat (hemokonsentrasi). Kadang-kadang gejalanya tidak khas,
dapat berupa seperti gejala kolera atau keracunan makanan.
Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria dan koma
uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dan tindakan pengobatan. Angka ini
bertambah pada keadaan malnutrisi dan keadaan darurat misalnya kelaparan.
Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat membaik secara perlahan-lahan tetapi
memerlukan waktu penyembuhan yang lama.
Pada kasus yang sedang keluhan dan gejalanya bervariasi, tinja biasanya lebih
berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit darah/lendir. Sedangkan pada kasus yang
ringan, keluhan/gejala tersebut di atas lebih ringan. Berbeda dengan kasus yang menahun,
terdapat serangan seperti kasus akut secara menahun. Kejadian ini jarang sekali bila
mendapat pengobatan yang baik(11).
c. Patofisiologi
Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan yang
ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak, disertai eksudat inflamasi
yang mengandung leukosit polymorfonuclear (PMN) dan darah.
Kuman Shigella secara genetik bertahan terhadap pH yang rendah, maka dapat
melewati barrier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air, makanan, dan lalat
yang tercemar oleh ekskreta pasien. Setelah melewati lambung dan usus halus, kuman ini
menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak didalamnya.
Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum terminalis
dapat juga terserang. Kelainan yang terberat biasanya di daerah sigmoid, sedang pada
ilium hanya hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal ditemukan mukosa usus
hiperemik, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan
subakut terbentuk ulkus pada daerah folikel limfoid, dan pada selaput lendir lipatan
transversum didapatkan ulkus yang dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan infiltrat
tetapi tidak berbentuk ulkus bergaung.
S.dysentriae, S.flexeneri, dan S.sonei menghasilkan eksotoksin antara lain ShET1,
ShET2, dan toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik, sitotoksik, dan
neurotoksik. Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor virulen sehingga kuman
lebih mampu menginvasi sel eptitel mukosa kolon dan menyebabkan kelainan pada
selaput lendir yang mempunyai warna hijau yang khas. Pada infeksi yang menahun akan
terbentuk selaput yang tebalnya sampai 1,5 cm sehingga dinding usus menjadi kaku,
tidak rata dan lumen usus mengecil. Dapat terjadi perlekatan dengan peritoneum(11).
d. Diagnosis
Diagnosis klinis dapat ditegakkan semata-mata dengan menemukan tinja
bercampur darah. Diagnosis etiologi biasanya sukar ditegakkan. Penegakan diagnosis
etiologi melalui gambaran klinis semata sukar, sedangkan pemeriksaan biakan tinja untuk
mengetahui agen penyebab seringkali tidak perlu dilakukan karena memakan waktu lama
(minimal 2 hari) dan umumnya gejala membaik dengan terapi antibiotika empiris(13,16).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan(17):
1) Pemeriksaan tinja
 Makroskopis : suatu disentri amoeba dapat ditegakkan bila ditemukan
bentuk trofozoit dalam tinja
 Benzidin test
 Mikroskopis : leukosit fecal (petanda adanya kolitis), darah fecal .
2) Biakan tinja :
Media : agar MacConkey, xylose-lysine deoxycholate (XLD), agar SS.
3) Pemeriksaan darah rutin : leukositosis (5.000 – 15.000 sel/mm3), kadang-kadang
dapat ditemukan leukopenia.
e. DD
1. Escherichia coli Enteroinvasive (EIEC)
Patogenesisnya seperti Shigelosis yaitu melekat dan menginvasi epitel usus
sehingga menyebabkan kematian seldan respon radang cepat (secara klinis dikenal
sebagai kolitis).Serogroup ini menyebabkan lesi seperti disentri basiller,ulserasi atau
perdarahan dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear dengan khas edem mukosa dan
submukosa.Manifestasi klinis berupa demam, toksisitas sistemik, nyeri kejang abdomen,
tenesmus, dan diare cair atau darah.
2. Escherichia coli Enterohemoragik (EHEC)
Manifestasi klinis dari EHEC dapat menyebabkan penyakit diare sendiri atau
dengan nyeri abdomen. Diare padamulanya cair tapi beberapa hari menjadi berdarah
(kolitishemoragik). Meskipun gambarannya sama dengan Shigelosis yang membedakan
adalah terjadinya demam yang merupakanmanifestasi yang tidak lazim. Beberapa infeksi
disertai dengan sindrom hemolitik uremik(2).

2.4 Perbedaan disentri basiler dan disentri amoebiasis

Disentri Bailer disebabkan oleh Shigella,sp. Shigella adalah basil non motil, gram
negatif, famili enterobacteriaceae. Ada 4 spesies Shigella, yaitu S.dysentriae, S.flexneri, S.bondii
dan S.sonnei. Terdapat 43 serotipe O dari shigella. S.sonnei adalah satu-satunya yang
mempunyai serotipe tunggal. Karena kekebalan tubuh yang didapat bersifat serotipe spesifik,
maka seseorang dapat terinfeksi beberapa kali oleh tipe yang berbeda. Genus ini memiliki
kemampuan menginvasi sel epitel intestinal dan menyebabkan infeksi dalam jumlah 102-103
organisme. Penyakit ini kadang-kadang bersifat ringan dan kadang-kadang berat. Suatu keadaan
lingkungan yang jelek akan menyebabkan mudahnya penularan penyakit. Secara klinis
mempunyai tanda-tanda berupa diare, adanya lendir dan darah dalam tinja, perut terasa sakit dan
tenesmus.
Sedangkan pada Disentri Amoebasis Disebabkan Entamoeba hystolitica.E.histolytica
merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai mikroorganisme komensal (apatogen) di usus
besar manusia. Apabila kondisi mengijinkan dapat berubah menjadi patogen dengan cara
membentuk koloni di dinding usus dan menembus dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi.
Siklus hidup amoeba ada 2 bentuk, yaitu bentuk trofozoit yang dapat bergerak dan bentuk kista.
Bentuk trofozoit ada 2 macam, yaitu trofozoit komensal (berukuran < 10 mm) dan trofozoit
patogen (berukuran > 10 mm). Trofozoit komensal dapat dijumpai di lumen usus tanpa
menyebabkan gejala penyakit. Bila
pasien mengalami diare, maka trofozoit akan keluar bersama tinja. Sementara trofozoit
patogen yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus (intraintestinal) maupun luar usus
(ekstraintestinal) dapat mengakibatkan gejala disentri. Diameternya lebih besar dari trofozoit
komensal (dapat sampai 50 mm) dan mengandung beberapa eritrosit di dalamnya. Hal ini
dikarenakan trofozoit patogen sering menelan eritrosit (haematophagous trophozoite). Bentuk
trofozoit ini bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala penyakit namun cepat mati apabila
berada di luar tubuh manusia.Bentuk kista juga ada 2 macam, yaitu kista muda dan kista dewasa.
Bentuk kista hanya dijumpai di lumen usus. Bentuk kista bertanggung jawab terhadap
terjadinya penularan penyakit dan dapat hidup lama di luar tubuh manusia serta tahan terhadap
asam lambung dan kadar klor standard di dalam sistem air minum. Diduga kekeringan akibat
penyerapan air di sepanjang usus besar menyebabkan trofozoit berubah menjadi kista.
Jika ditinjau dari Patofisiologinya Disentri basiler dapat diketahui sebagai berikut.
Shigella dan EIEC MO  kolonisasi di ileum terminalis/kolon, terutama kolon distal invasi ke
sel epitel mukosa usus  multiplikasi  penyebaran intrasel dan intersel  produksi
enterotoksin  ↑ cAMP  hipersekresi usus (diare cair, diare sekresi).  produksi eksotoksin
(Shiga toxin)  sitotoksik  infiltrasi sel radang  nekrosis sel epitel mukosa  ulkus-ulkus
kecil  eritrosit dan plasma keluar ke lumen usus  tinja bercampur darah.  invasi ke lamina
propia bakteremia (terutama pada infeksi S.dysenteriae serotype 1)
Untuk patofisiologi pada Disentri Amoebasi dapat berupa:
Bentuk histolitika (trofozoit)  invasi ke sel epitel mukosa usus  nekrosis jaringan mukosa
ususproduksi enzim histolisin  invasi ke jaringan submukosa  ulkus amoeba  ulkus
melebar dan saling berhubungan membentuk sinus-sinus submukosa  malabsorpsi
kerusakan permukaan absorpsi  ↑ massa intraluminal  tekanan osmotik intraluminal 
diare osmotik
Namun jika dilihat dari gejala klinisnya dapat terlihat perbedaannya seperti:
Disentri basiler
1. Diare mendadak yang disertai darah dan lendir dalam tinja. Pada disentri shigellosis, pada
permulaan sakit, bisa terdapat diare encer tanpa darah dalam 6-24 jam pertama, dan
setelah 12-72 jam sesudah permulaan sakit, didapatkan darah dan lendir dalam tinja.
2. Panas tinggi (39,5 - 40,0 C), kelihatan toksik.
3. Muntah-muntah.
4. Anoreksia.
5. Sakit kram di perut dan sakit di anus saat BAB.
6. Kadang-kadang disertai dengan gejala menyerupai ensefalitis dan sepsis (kejang, sakit
kepala, letargi, kaku kuduk, halusinasi).
Disentri amoeba
1. Diare disertai darah dan lendir dalam tinja.
2. Frekuensi BAB umumnya lebih sedikit daripada disentri basiler (≤10x/hari)
3. Sakit perut hebat (kolik)
4. Gejala konstitusional biasanya tidak ada (panas hanya ditemukan pada 1/3 kasus).
 Disentri amoeba sedang
Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berta dibanding disentri ringan, tetapi pasien
masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Tinja biasanya disertai lendir dan darah.
Pasien mengeluh perut kram, demam dan lemah badan disertai hepatomegali yang nyeri
ringan.
 Disentri amoeba berat
Keluhan dan gejala klinis lebih berta lagi. Penderita mengalami diare disertai darah yang
banyak, lebih dari 15 kali sehari. Demam tinggi (400C-40,50C) disertai mual dan anemia.
 Disentri amoeba kronik
Gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan, serangan-serangan diare diselingi dengan
periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan berbulan-bulan hingga
bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala neurastenia. Serangan diare yang
terjadi biasanya dikarenakan kelelahan, demam atau makanan yang sulit dicerna(18).

2.5 Dehidrasi

a. Patofisiologi
Pada dehidrasi terjadi keseimbangan negatif cairan tubuh akibat penurunan
asupan cairan dan meningkatnya jumlah air yang keluar (lewat ginjal, saluran cerna atau
insensible water loss/IWL), atau karena adanya perpindahan cairan dalam tubuh.
Berkurangnya volume total cairan tubuh menyebabkan penurunan volume cairan intrasel
dan ekstrasel. Manifestasi klinis dehidrasi erat kaitannya dengan deplesi volume cairan
intravaskuler. Proses dehidrasi yang berkelanjutan dapat menimbulkan syok hipovolemia
yang akan menyebabkan gagal organ dan kematian(19).
b. Komplikasi
1. Asidosis Metabolik
Asidosis Metabolik adalah keasaman darah yang berlebihan, yang ditandai
dengan rendahnya kadar bikarbonat dalam darah. Bila peningkatan keasaman
melampaui sistem penyangga pH, darah akan benar-benar menjadi asam. Seiring
dengan menurunnya pH darah, pernafasan menjadi lebih dalam dan lebih cepat
sebagai usaha tubuh untuk menurunkan kelebihan asam dalam darah dengan cara
menurunkan jumlah karbon dioksida. Pada akhirnya, ginjal juga berusaha
mengkompensasi keadaan tersebut dengan cara mengeluarkan lebih banyak asam
dalam air kemih. Tetapi kedua mekanisme tersebut bisa terlampaui jika tubuh
terus menerus menghasilkan terlalu banyak asam, sehingga terjadi asidosis berat
dan berakhir dengan keadaan koma(20).

2. Hipokalemia
Hipokalemia didefinisikan sebagai kalium plasma kurang dari 3,5 mEq/L.
Hipokalemia dapat terjadi akibat asupan yang kurang, perpindahan kalium ke
dalam sel atau kehilangan kalium renal maupun non renal. Terdapat 3 mekanisme
terjadinya hipokalemia yaitu berkurangnya asupan kalium, peningkatan ekskresi
kalium melalui ginjal dan traktus urinarius dan redistribusi kalium dari
ekstraseluler ke intraseluler. Ambilan kalium sel dipicu oleh alkalinemia, insulin,
stimulasi beta adrenergik dan santin. Aldosteron juga mampu mencetuskan
ambilan kalium oleh sel setelah konsumsi makanan(21,22).
3. Hiponatremia
Hiponatremia adalah suatu konsentrasi natrium plasma yang kurang dari
135 mmol/L.1 Hiponatremia dapat berhubungan dengan tonisitas yang rendah,
normal atau tinggi.. Konsentrasi natrium serum dan osmolaritas serum secara
normal dipertahankan oleh mekanisme homeostatik melibatkan stimulasi haus,
sekresi antidiuretik hormon (ADH), dan filtrasi natrium oleh ginjal. Secara klinis
hiponatremia presentasinya relatif tidak biasa dan tidak spesifik. Hiponatremia
dapat dibagi menjadi hipovolemik hiponatremia, euvolemik hiponatremia,
hipervolemik hiponatremia, redistributif hiponatremia, dan pseudo
hiponatremia(23).
4. Seizure
Seizure (kejang) adalah bentuk serangan cetusan potensial abnormal berlebihan
dari sekelompok neuron kortek/subkortek, bisa sebagai serangan epilepsi maupun
bukan (misalnya akibat uremia, gangguan elektrolit dan lain-lain). Seizure adalah
respon fisik terhadap peningkatan aktifitas elektrik di otak(24).
5. Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut adalah sindrom yang terdiri dari penurunan kemampuan
filtrasi ginjal (jam sampai hari), retensi produk buangan dari nitrogen, gangguan
elektrolit dan asam basa. Komplikasi gagal ginjal akut menyebabkan 5% pasien
masuk RS dan 30% masuk di ICU. Terjadi oliguri (pengeluaran urin < 400mL/d)
namun jarang terjadi sebagai manifestasi klinis. Gagal ginjal akut sering
asimtomatik dan sering didapat dengan tanda peningkatan konsentrasi ureum dan
kreatinin. Diagnosis dan penatalaksanaan gagal ginjal terbagi 3 yaitu(25)
 Gangguan pada prerenal tanpa gangguan renal (55%);
 Penyakit yang mengakibatkan gangguan pada parenkim renal.(40%) dan;
 Penyakit dengan obstruksi saluran kemih(5%). Kebanyakan gagal ginjal
reversible karena dapat kembali kefungsi normal setelah penyakit
mendasar diterapi.

2.6 Mengapa pasien mengalami nyeri pada seluruh bagian perut?

Nyeri kolik dapat tejadi karena diare. Nyeri kolik merupakan nyeri visceral akibat spasme
otot polos organ berongga dan biasanya disebabkan oleh hambatan pasase dalam organ tersebut
seperti obstruksi usus, batu ureter, batu empedu, peningkatan tekanan intraluminar, peradangan,
trauma, gangguan sirkulasi darah, neoplasma dan lain-lain. Didalam perut terdapat organ-organ
penting berongga sehingga nyeri kolik dapat dirasakan pada seluruh bagian perut ini. Nyeri ini
timbul karena hipoksia yang dialami oleh jaringan dinding saluran. Karena kontraksi ini berjeda,
kolik dapat dirasakan hilang timbul(26).

2.7 Hubungan demam dan kejadian diare pada pasien

Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan langsung dengan
tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang, misalnya terhadap
toksin bakteri, peradangan, dan rangsang pirogenik lain. Bila produksi sitokin pirogen secara
sistemik masih dalam batas yang dapat ditoleransi maka efeknya akan menguntungkan tubuh
secara keseluruhan; tetapi bila telah melampaui batas kritis tertentu maka sitokin ini
membahayakan tubuh. Batas kritis sitokin pirogen sistemik tersebut sejauh ini belum diketahui.
Sebagai respons terhadap rangsangan pirogenik,maka monosit, makrofag, dan sel-sel Kupffer
mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (IL-1, TNFα, IL-6 dan
interferon) yang bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan patokan
termostat. Hipotalamus mempertahankan suhu di titik patokan yang baru dan bukan di suhu
tubuh normal. Sebagai contoh, pirogen endogen meningkatkan titik patokan menjadi 38,9 0C,
hipotalamus merasa bahwa suhu normal prademam sebesar 37 0C terlalu dingin, dan organ ini
memicu mekanismemekanisme respon dingin untuk meningkatkan suhu tubuh. Berbagai laporan
penelitian memperlihatkan bahwa peningkatan suhu tubuh berhubungan langsung dengan tingkat
sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang. Rangsangan eksogen seperti
eksotoksin dan endotoksin menginduksi leukosit untuk mengeluarkan pirogen endogen, dan yang
poten diantaranya adalah IL-1 dan TNFα, selain IL-6 dan interferon (IFN). Pirogen endogen ini
akan bekerja pada sistem syaraf pusat pada tingkat Organum Vasculosum Laminae Terminalis
(OVLT) yang dikelilingi oleh bagian medial dan lateral nucleus preoptik, hipotalamus anterior,
dan septum palusolum. Sebagai respons terhadap sitokin tersebut maka pada OVLT terjadi
sintesis prostaglandin, terutama prostaglandin E2 melalui metabolisme asam arakidonat jalur
siklooksigenase 2 (COX-2), dan menimbulkan peningkatan suhu tubuh terutama demam.
Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin melalui sinyal aferen
nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal macrophage inflammatory protein-1 (MIP-1),
suatu kemokin yang bekerja secara langsung terhadap hipotalamus anterior. Berbeda dengan
demam dari jalur prostaglandin, demam melalui aktivitas MIP-1 ini tidak dapat dihambat oleh
antipiretik. Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi panas, sementara
vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat mengurangi pengeluaran panas. Kedua
mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan demikian, pembentukan demam sebagai
respons terhadap rangsangan pirogenik adalah sesuatu yang disengaja dan bukan disebabkan
oleh kerusakan mekanisme termoregulasi(27).

-
2.8 Tatalaksana demam

Penanganan Demam Pada Dewasa


Dilakukan Sendiri
1. Istirahat, makan yang teratur, hindari stres.
2. Minum obat penurun demam.
3. Perbanyak minum untuk menghindari dehidrasi.
4. Hindari tempat atau lingkungan yang terlalu panas.

Dilakukan Dokter

 Terapi yang diberikan dokter biasanya rehidrasi, pemberian obat penurun demam seperti
paracetamol dan ibuprofen
 Untuk terapi definitifnya akan sangat tergantung dari penyebab terjadinya demam.

Pencegahan Demam Pada Dewasa

1. Mencegah agar jangan sampai terpapar oleh agen infeksi dan pyrogenlainnya.
2. Memberikan kekebalan kepada tubuh dari berbagai penyakit yang sudah ada vaksinnya
dengan cara melengkapi vaksinasi dewasa yang ada.
3. Menghindari kontak dengan orang sakit.
4. Mengkonsumsi multivitamin dan antioxidant secara alami atau menggunakan suplemen.
5. Menghindari diri dari kondisi dehidrasi.
6. Bergaya hidup sehat dengan makan teratur, istirahat yang cukup, berolahraga
rutin, hindari stres.

Tidak mengkonsumsi narkoba, alkohol dan berhenti merokok serta menjauhi diri dari asap rokok
orang lain(2).
DAFTAR PUSTAKA

1. Zein U, Khalid HG, Josia G. Diare Akut Disebabkan Bakteri. USU; 2004. p: 1-15
2. Muttaqin A,. Gangguan Gastrointestina. Jakarta: Salemba Medika; 2011
3. Farthing M, Salam MA, Lindberg G, Dite P, Khalif I, Salazar-Lindo E, et al. Acute
diarrhea in adults and children: A global perspective. World Gastroenterology
Organisation Global Guidelines. J Clin Gastroenterol. 2013; 47(1): 12-20.
4. Simadibrata M, Daldiyono. Diare akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing; 2010. p.548-56.
5. Farrar J, Hotez FJ, Junghanss T, Kang G, Lalloo D, White N. Acute diarrhea. Manson’s
Tropical Diseases. Elsevier; 2013.
6. Juffrie, M., Soenarto, SSY., Oswari, H., Arief, S., Rosalina, I., dan Mulyani, NS., 2010,
Gastroenterologi-Hepatologi, Badan Penerbit IDAI : Jakarta
7. Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK, et al
editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease. New York: Lange Medical
Books, 2003. 225 - 68.
8. Lung E, Acute Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH, editors.
nd
Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2 edition. New York: Lange
Medical Books, 2003. 131 - 50.
9. Kolopaking MS. Penatalaksanaan Muntah dan Diare akut. Dalam: Alwi I, Bawazier LA,
Kolopaking MS, Syam AF, Gustaviani, editor. Prosiding Simposium Penatalaksanaan
Kedaruratan di Bidang Ilmu penyakit Dalam II. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2002. 52-70.
10. Procop GW, Cockerill F. Enteritis Caused by Escherichia coli & Shigella & Salmonella
Species. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK,et al, Editors. Current Diagnosis and
Treatment in Infectious Disease, New York: Lange Medical Books, 2003. 584 - 66.
11. Sya’roni A., Hoesadha Y.,. Disentri Basiler. Buku Ajar Penyakit Dalam. FKUI :Jakarta.
2010
12. Handrianto, Tri. Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Buah Kemukus (Piper cubeba
L.F.) Secara In Vitro Dan In Silico Pada Bakteri Shigella Flexneri. Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta; 2016. P: 1-60.
13. Dharma, Andi Pratama. Buku Saku Diare Edisi 1. Bandung : Bagian/SMF IKA FK-
UP/RSHS; 2001
14. Krugman S, Katz SL, Gershon AA, Wilfert CM. Infec-tious disease of children. Edisi ke-
9. St.Louis: Mosby Year Book; 1992.h.109-19.
15. Levine MM. Shigellosis. Dalam :Strickland GT. Hunters‟ Tropical Medicine and
emerging Infectious Diseases. Edisi ke-8. Philadelphia: W.B Saunders
Company;2000.h.319-323.
16. Behrman, et al. Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. UK : Saunders; 2004
17. Lengkong, John B. Prosedur Tetap (Standard Operating Procedure) Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta; 2004
18. Setiati,Siti, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta :
IntenaPublishing; 2015.
19. Leksana, Eri. Strategi Terapi Cairan pada Dehidrasi. CDK – 244. 2015 ; 42(1) Hal: 70-74
20. Stein,Jay H. Kelainan ginjal dan elektrolit. panduan klinik ilmu penyakit dalam.edisi ke-
3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001.
21. Siregar P, Gangguan Keseimbangan Air Dan Elektrolit Dalam, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, editor Sudoyo AW SB, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Jakarta: Interna
Publishing, 2009, 2241-2257
22. Nugroho P, Hipokalemia dalam EIMED : Kegawat Daruratan Penyakit Dalam, editor :
Setyohadi B, Arsana PM, Suryanto A, Soeroto, Abdullah M. Buku I, Pusat Penerbitan
Ilmu penyakit Dalam, 2012. 279.
23. Androque Horacio J, Nicholaos E Madison. Hyponatremia. New Eng J Med 2000;
342:1581-9.
24. Stein,Jay H. Kelainan ginjal dan elektrolit. panduan klinik ilmu penyakit dalam.edisi ke-
3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001.
25. Dennis L. Kasper, Eugene Braunwald, Anthony Fauci. Harrison's Principles of Internal
Medicine 16th Edition. USA : McGraw-Hill, 2004.
26. Prodjosudjadi, W., Suhardjono, Suwitra, K., Pranawa, Widiana, I. G. R., Loekman, J. S.,
Nainggolan, G., Prasanto, H., Wijayanti, Y., Dharmeizar, Sja'bani, M., Nasution, M. Y.,
Basuki, W., Aditiawardana, Harris, D. C., Pugsley, D. J. & For The Working Group of
the Indonesian Society of, N. (2009) Detection and prevention of chronic kidney disease
in Indonesia: Initial community screening. Nephrology, 14, 669-674.
27. Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th Ed.
Philadelphia, PA, USA: Elsevier Saunders

Anda mungkin juga menyukai