M DODDY NURHADI
ABSTRACT
I. Pendahuluan
Pertumbuhan penduduk yang pesat disertai dengan meningkatnya
intensitas pembangunan di segala bidang, menyebabkan permasalahan dan konflik
di bidang pertanahan juga semakin meningkat. Permasalahan yang paling utama
adalah terbatasnya ketersediaan lahan, terutama di kota-kota besar. Wilayah
pesisir atau pantai merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan,
baik perubahan alam maupun perubahan akibat ulah manusia. Fenomena yang
terjadi saat ini sungguh sangat memprihatinkan dan membuat hati miris, dimana
eksploitasi wilayah pantai hanya demi kepentingan pemilik modal besar. Sekitar
M DODDY NURHADI | 2
80% wilayah pantai telah dikuasai oleh swasta, termasuk pengusaha. Pantai-pantai
di seluruh wilayah Indonesia mestinya terbuka untuk kepentingan umum. Namun
ketika hotel-hotel, resort, cottage serta pemukiman mewah semakin menjamur
dibangun di sepanjang pantai, maka pantai tidak lagi menjadi ruang publik dan
terbebas dari monopoli pihak bermodal besar. Seperti yang terjadi di sepanjang
pantai Anyer atau pantai-pantai di Bali, bangunan atau properti yang seharusnya
dibangun paling minim berjarak 20 m dari garis batas air pasang, ternyata berdiri
dan berpagar kokoh serta begitu mepet dengan bibir pantai bahkan sampai
menjorok ke laut.
Kondisi tersebut memberikan dampak terhadap kelestarian lingkungan
pantai dan kehidupan nelayan tradisional. Dampak lainnya adalah nelayan kecil
atau tradisional merasa diabaikan hak-haknya, karena adanya bangunan-bangunan
tersebut di sepanjang pantai telah jelas akan menutup akses nelayan kecil atau
tradisional terhadap ruang laut. Fenomena banyaknya bangunan-bangunan di
sepanjang pantai dan kerusakan lingkungan pantai serta kepentingan nelayan
tradisional yang termarjinalkan harus segera mendapat perhatian sekaligus
penangan serius. Untuk mencegah terjadinya kerusakan pantai lebih jauh,
diperlukan adanya kawasan sempadan pantai. Seringkali penggunaan istilah
”pantai dan “pesisir tidak didefinisikan dengan jelas dan pasti. Apabila ditinjau
secara yuridis tampaknya kedua istilah tersebut harus diberi pengertian secara
jelas.
Berikut ini definisi “pantai dan “pesisir :1
1
Diraputra, Suparman A. 2001. Sistem Hukum dan Kelembagaan dalam Pengelolaan
Wilayah Pesisir secara Terpadu. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu.Bogor:
PKSPL IPB.
M DODDY NURHADI | 3
a) keperluan negara;
2
Tim Pustaka Yustisia, Standar Keamanan dan Keselamatan Jasa Penerbangan, Pustaka
Yustisia, Jakarta, 2007, hlm 20
M DODDY NURHADI | 4
3
Andik Hardiyanto, Pembaruan Agraria di Sektor Perairan dalam Tim Lapera, Prinsip-
prinsip Reforma Agraria Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, (Yogyakarta : Lapera
Pustaka Utama, 2001), hal. 277.
M DODDY NURHADI | 5
4
Bambang Sungono, 2002,Metode Penelian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hlm.89.
5
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad,Op.cit, hlm.51.
M DODDY NURHADI | 7
bumi dibawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi sebagai bagian
dari bumi juga disebut tanah. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur
tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya,
yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak-hak penguasaan atas
tanah.6
6
Wayan Suhendra, Hukum Pertanahan Indonesia, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1994),
hal. 20
M DODDY NURHADI | 8
Hak atas tanah adalah hak yang diterima oleh perseorangan atau badan
hukum selaku pemegang kuasa atas tanah. Hak atas tanah memberi wewenang
kepada yang mempunyainya untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan.
Seperti yang tertulis dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria
7
Hasil Wawancara dengan Aryo Nodya P, Residen Manger, tanggal 13 september 2016
8
UUPA, Pasal 1 ayat (4)
9
Ibid, Pasal 4 ayat (1)
M DODDY NURHADI | 9
bahwa atas dasar hak menguasai dari negara ditentukanlah adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama dengan orang-orang lain
serta badan-badan hukum.
Hak atas tanah yang dimiliki seseorang dalam perkembangannya dapat
beralih atau berpindah kepada pihak lain. Beralih artinya berpindahnya Hak atas
tanah dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan suatu peristiwa hukum.
Contohnya adalah beralihnya hak atas tanah karena pewarisan. Sedangkan
pemindahan hak artinya berpindahnya Hak atas tanah dari pemiliknya kepada
pihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum. Contohnya : jual beli,
tukar menukar, pemasukan ke dalam perusahaan dan lelang. Berpindahnya Hak
Milik atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.10
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria dengan peraturan pelaksananya yakni Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang kini telah diganti dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka jual beli tanah hanya boleh dilakukan
dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa peralihan hak atas tanah melalui jual
beli hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat Pejabat
Pembuat Akta Tanah yang berwenang menurut ketentuan perundang-undangan.11
Jadi perjanjian jual beli tanah hanya boleh dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat
Akta Tanah sebagai buktinya untuk mendaftarkan peralihan hak atas tanahnya di
Kantor Pertanahan.
Dengan dilakukannya jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
maka dipenuhi syarat terang dan untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah dan hak-hak
lain yang terdaftar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang
hak yang bersangkutan, dengan perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan
10
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Cet. 2, Kencana, Jakarta,
2010, hal. 134
11
Ibid, Pasal 37 ayat (1)
M DODDY NURHADI | 10
hukum yang gelap yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Akta jual beli yang
ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari penjual
kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya. Hal ini telah memenuhi
syarat tunai dan juga syarat riil karena telah menunjukkan secara nyata telah
terjadi perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan. Akta tersebut membuktikan
bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-
lamanya dan pembayaran harganya. Oleh kerana perbuatan hukum yang
dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut
membuktikan bahwa penerima hak (pembeli) sudah menjadi pemegang haknya
yang baru.12
Penguasaan tanah hubungan hukum antara orang perorang, kelompok
orang atau badan hukum terentu dengan tanah tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok
Pokok Agraria.13 Dan hubungan tersebut ditujukan dengan adanya alat-alat bukti
yang ditentukan oleh ketentuan hukum yang ada dan berlaku, baik secara tertulis,
pengakuan dan kesaksian pihak lain maupun secara faktual yang di tunjukkan
dengan adanya tanda-tanda pada obyek tanahnya, sepertinya tanda batas bidang
tanah berupa patok, parit, pagar atau tanda batas alam seperti jalan, sungai,
lembah, bukit, perpohonan dan lain-lain, maupun bentuk penguasaan atau
pengguasaan secara fisik di lapangan.14
Dalam penguasaan tanah sepadan pantai untuk memperoleh haknya tidak
mendapat jual beli yang tidak riil dari tanah sepadan pantai yang tealah berubah
disebabkan oleh alam, sifat tanah dalam kepemilikan tanah tidak dapat diganggu
gugat karena telah memiliki ketentuan kepemilikan atas tanah tetapi tanah dapat
berubah nilai sesuai dengan kepemilikan dan faktor kesesuaian untuk memperoleh
nilai objek tanah, Hak bangsa adalah hak penguasaan yang tertinggi atas tanah
bersama yang bersifat abadi dan merupakan induk bagi hak-hak penguasaan yang
12
BoediHarsono, “Beberapa Analisis Tentang Hukum Agraria”, Penerbit Esa Studi Klub,
Jakarta, 1978, hal. 298
13
Pasal 1 butir Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 penatagunaan Tanah
14
Boedi Harisono, Hukum Agraria Indonersia, (Jakarta: Penerbit Djaambatan, 1994),
hal.203
M DODDY NURHADI | 11
lain atas tanah. Hak bangsa tersebut diatur dalam pasal Undang-Undang Pokok
Agraria. Hak Bangsa dalam hukum Tanah Nasional adalah hak kepunyaan, yang
memungkinkan penguasaan bagian-bagian tanah bersama dengan hak milik oleh
para warga negara secara individual. Sesuai dengan konsepsi hukum tanah
nasional yang terdapat dalam pasal 20 sampai dengan pasal 27 Undang-Undang
Pokok Agraria. Pernyataan tanah yang dikuasai oleh bangsa indonesia sebagai
tanah bersama tersebut menunjukkan adanya hubungan hukum dibidang hukum
perdata. Selain merupakan hubungan hukum perdata hak bangsa menggandung
tugas dan kewenangan untuk mengatur dan mengelola tanah bersama tersebut
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang termasuk di bidang hukum
publik. Pelaksanaannya ditugaskan kepada Negara Republik Indonesia, sebagai
organisasi bangsa yang tertinggi, sebagimana yang dinyatakan dalam pasal 33 (3)
UUD 1945 dengan kata’’ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkadung
didalamnya dikuasai oleh negara dan di pergunakan untuk sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.’’ Hak bangsa bersifat abadi mengandung arti, bahwa selama
tanah bersama tersebut masih ada, dalam keadaan bagaimanapun tidak ada suatu
kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan hukum
tersebut.
Ruang lingkup bumi menurut UUPA adalah permukaan bumi, dan tubuh
bumi dibawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi sebagai bagian
dari bumi juga disebut tanah. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur
tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya,
yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak-hak penguasaan atas
tanah.15
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada yang
mempunyai hak untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah
yangdihakinya. Dalam hukum tanah sebutan ”tanah” dipakai dalam arti
yuridis,sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA.
15
Wayan Suhendra, Hukum Pertanahan Indonesia, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1994),
hal. 20
M DODDY NURHADI | 12
16
Ibid
M DODDY NURHADI | 14
yang berwenang menetapkan hak atas tanah tersebut bahkan tidak memiliki data
sama sekali tentang tanah-tanah hilang tersebut. Padahal, para pemegang hak atas
tanah yang telah tidak diketahui wujud fisiknya tersebut sampai sekarang masih
M DODDY NURHADI | 15
diwajibkan membayar pajak. Sampai tidak tahu berapa luasan tanah yang hilang
karena abrasi. Tidak pernah mendata. Yang tahu Kelurahan labuhan atau Kepala
tersebut. pemegang hak atas tanah yang mestinya menyadari bahwa tanahnya
menyayangkan mengapa pemegang hak atas tanah tidak melapor atau memohon
penghapusan hak atas tanahnya yang musnah tersebut agar tidak lagi terbebani
keadaan tanah mereka dihentikan Pemerintah, pasti konflik yang terjadi, mereka
Dan juga meminta BPN agar secepatnya melakukan pendataan atas tanah
yang hilang karena abrasi, kemudian menghapus hak atas tanah tersebut. Sebab
dalam Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 yang menjadi rujukan
semua regulasi pertanahan, disebutkan tanah yang hilang secara alami karena
abrasi atau bencana alam, sehingga batas-batasnya tidak diketahui dan keadaan
17
Wawancara dengan Lurah Carita, Tanggal 13 September 2016
M DODDY NURHADI | 16
B. Saran
1. Perlu dilakukan sosialisasi bagaimana pendaftaran tanah sempadan pantai
baik perorangan maupun badan hukum oleh pihak badan pertanahan
nasional.
2. Perlu diketahui abrasi menjadi ancaman serius dan pasti akan terus
merambah ke wilayah daratan. Namun disisi lain masyarakat disana masih
M DODDY NURHADI | 17
V. Daftar Pustaka
Arief Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, (Surabaya : Usaha
Nasional, 1997)
Patlis Jason M. Dkk. 2005. Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar
Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. Jakarta: Bappenas.
M DODDY NURHADI | 18
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994,
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),
Penerbit Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002, hal. 82-83.
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, (Surabaya : Prenada
Media Group, 2005).
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003).