Refleksi Kasus 1

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 36

REFLEKSI KASUS

KERATITIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

Ilmu Penyakit Mata RSUD dr.Tjitrowardojo Purworejo

Diajukan Kepada :
dr. Evita Wulandari, Sp. M

Disusun Oleh :
Ruly Dwi Rintayani
20164011119

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

REFLEKSI KASUS

Disusun Oleh:
Ruly Dwi Rintayani
20164011119

Telah disetujui dan dipresentasikan pada Maret 2018

Mengetahui,
Dokter pembimbing

dr. Evita Wulandari, Sp. M


BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Nn. Sanya Rahmadani
2. Usia : 21 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Pekerjaan : Mahasiswa
5. Alamat : Sumbersari RT 01/02 Purwodadi

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Mata kanan terasa nyeri sejak 7 hari
2. Keluhan Tambahan:
Mata kanan terasa nyeri disertai rasa mengganjal (+) pegel (+), pandangan kabur (+),
silau (+) gatal (-),
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak satu minggu sebelum periksa ke poli mata, pasien merasa mata kanan
terasa nyeri saat setelah memakai lensa kontak. Pasien juga mengeluh matanya merah,
pegel, silau, pandangan agak kabur dan merasa ada yang mengganjal di kedua matanya.
Pasien tidak mengeluh gatal, dan tidak keluar kotoran pada mata. Keluhan
tersebut dirasakan berkurang setelah ditetesi obat tetes mata Insto dan minum
obat amoxicilin yang dibeli oleh pasien.
Namun , sejak ± 4 hari yang lalu pasien merasa keluhannya tidak membaik dan
pasien merasa kedua matanya bertambah nyeri ketika memakai lensa kontak.Pasien
juga merasa ada yang mengganjal di matanya, karena keluhan dirasa belum membaik
pasien kemudian berobat ke dokter Spesialis mata..
4. Riwayat Penyakit Dahulu:
 Riwayat sering mengalami keluhan serupa sebelumnya disangkal
 Riwayat alergi disangkal
 Riwayat Hipertensi dan Diabetes Mellitus disangkal
 Riwayat trauma, operasi disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga:
 Riwayat keluarga mengalami keluhan serupa disangkal
 Riwayat alergi dan asma disangkal
 Riwayat Hipertensi dan Diabetes Mellitus disangkal
6. Riwayat Personal Sosial :
 Pasien adalah seorang mahasiswa
 Pasien berangkat kuliah menggunakan sepeda motor dan memakai lensa kontak,
pasien tidak menggunakan kacamata alat pelindung mata saat berkendara.
 Pasien telah memakai lensa kontak jenis soft lens dengan masa pakai 6 bulan
sebanyak 6 kali selama 3 tahun ini.
 Pasien memakai lensa kontak tersebut setiap hari Senin hingga Sabtu selama ± 10
jam. Pasien tidak memakai lensa kontak saat tidur. Setelah memakai lensa kontak,
pasien selalu membersihkan lensa kontak dengan larutan pembersih lensa
kontak. Pasien kadang spontan menggosok matanya saat memakai lensa kontak
karena gatal.
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital :
Frekuensi Nadi : 80 kali/menit
Frekuensi Nafas : 20 kali/menit
Suhu : Afebris
B. STATUS OPTHALMOLOGIS

OD OS

OD OS
Pemeriksaan OD OS
Visus DKM 5/10, TKM 5/60 DKM 5/10, TKM 5/60
Palpebra
Spasme (-) (-)
Oedem (-) (-)
Retraksi (-) (-)
Tremor (-) (-)
Sikatrik (-) (-)
Lesi (-) (-)
Folikel (-) (-)
Papil (-) (-)
Bola Mata
Pasangan Simetris
Gerakan Normal
Konjungtiva
Konjungtiva Palpebra
Oedem (-) (-)
Hiperemis (-) (-)
Sekret (-) (-)
Konjungtiva Forniks
Oedem (-) (-)
Hiperemis (-) (-)
Sekret (-) (-)
Konjungtiva Bulbi
Oedem (-) (-)
Inj. Konjungtiva (-) (-)
Inj. Perikornea (+) (-)
Inj. Episklera (-) (-)
Sub. Konj. Bleeding (-) (-)
Pigmen Coklat (-) (+)
Sekret
Serose (-) (-)
Mukoid (-) (-)
Purulen (-) (-)
Mukopurulen (-) (-)
Jaringan Fibrovaskular (-) (-)
Kornea
Kejernihan Tidak jernih Jernih
Permukaan Tidak licin Licin
Edema (-) (-)
Infiltrat (+) (-)
Defek (-) (-)
Neovaskularisasi (-) (-)
COA Dalam Dalam
Iris / Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Diameter 3mm 3 mm
Kedudukan Sentral Sentral
Refleks direk (+) (+)
Refleks (+) (+)
indirek
Lensa
Kejernihan Jernih Jernih
Letak Sentral Sentral
TIO N N
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

C. USULAN PEMERIKSAAN
 Pemeriksaan slit-lamp
 Tes fluoresensi kornea
 Pemeriksaan darah rutin
 Pewarnaan gram dan giemsa
 Pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas

D. DIAGNOSIS BANDING
 OD Keratitis Bakterial
 OD Keratitis Viral
 OD Keratitis Alergi
 OD Keratitis Jamur
 OD keratitis Parasit

E. DIAGNOSIS KERJA
 OD Keratitis Bakterial
F. PENATALAKSANAAN
1. Farmakologis
Topikal
 Tetes mata Ofloxacin 6xOD (antibiotic/anti infeksi, antiseptik digunakan
untuk penyakit yang disebabkan oleh bakteri gram + dan gram -
 Tetes mata lubricants 6 x OD ( yang mengandung Carboxymethyl Cellulose
Sodium  digunakan untuk mengurangi iritasi pada mata dan mengurangi rasa tidak
nyaman akibat iritasi )

Oral
 Sodium diklofenak 2x50mg tablet ( golongan AINS  anti Inflamasi Non steroid 
digunakan untuk mengurasi rasa nyeri ringan –sedang)

2. Non farmakologis dan edukasi:


 Menjaga hygiene personal dan lingkungan
 Memberitahukan kepada pasien bahwa penyakit ini disebabkan oleh pemakaian
kontak lensa yang tidak bersih
 Memberitahukan kepada pasien agar menggunakan pengaman mata/ kacamata
saat berkendara diluar agar tidak banyak terpapar oleh debu.
 Memberitahukan kepada pasien bahwa keluhan lain pada mata akan hilang
berangsur-angsur jika diobati secara teratur.
 Meneteskan obat mata secara teratur untuk mempercepat proses penyembuhan.
 Jangan menggosok-gosok mata jika terasa ada yang mengganjal pada mata.
 Mencuci tangan sebelum dan sesudah penggunaan soflens

G. PROGNOSIS
 Ad vitam : Dubia ad Bonam
 Ad sanationam : Dubia
 Ad visam : Dubia
 Ad kosmetikam : Dubia ad Bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KORNEA
1. Anatomi
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-
12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea
memberikan kontribusi 74% atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 D
kekuatan dioptri mata manusia. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi
glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai
tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah
satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan
sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea dewasa
rata-rata mempunyai tebal 550 µm, diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan
vertikalnya 10,6 mm1.
Gambar 1. Anatomi Kornea
2. Lapisan Kornea

a. Epitel kornea

Epitel kornea merupakan lanjutan dari konjungtiva disusun oleh epitel


gepeng berlapis tanpa lapisan tanduk. Lapisan ini merupakan lapisan kornea terluar
yang langsung kontak dengan dunia luar dan terdiri atas 5-6 lapis sel. Basal sel
kolumnar pada lapis sel pertama melekat dengan membran basement dibagian
bawahnya dengan hemidesmosome. Dua lapisan diatas sel basal tersebut merupakan
sel ”wing”, atau sel payung, dan dua lapisan diatas berikutnya merupakan sel
gepeng.

Epitel kornea ini mengandung banyak ujung- ujung serat saraf bebas. Sel-
sel yang terletak di permukaan cepat menjadi aus dan digantikan oleh sel-sel yang
terletak di bawahnya yang bermigrasi dengan cepat. Stem cell epitelial ini terletak
pada superior dan inferior limbus.

b. Membran Bowman1,2

Membran Bowman merupakan lapisan fibrosa aseluler yang terletak di


bawah epitel tersusun dari serat kolagen tipe-1.
c. Stroma Kornea

Stroma kornea tersusun dari serat-serat kolagen tipe-1 yang berjalan secara
paralel membentuk lamel kolagen dengan sel-sel fibroblast diantaranya. Lamela
kolagen ini berjalan paralel dengan permukaan kornea dan bertanggung jawab
terhadap kejernihan kornea. Ketebalan stroma kornea mencakup 90% dari
ketebalan kornea. Stroma kornea tidak dapat beregenerasi.

d. Membran Descemet

Membran descemet merupakan membran dasar yang tebal tersusun dari


serat-serat kolagen yang dapat dibedakan dari stroma kornea. Memiliki ketebalan
sekitar 3 mm pada saat lahir dan meningkat ketebalannya sepanjang usia. Membran
Descemet memiliki potensi untuk beregenerasi.

e. Endotel kornea

Lapisan ini merupakan lapisan kornea yang paling dalam tersusun dari epitel
selapis gepeng atau kuboid rendah. Sel-sel ini mensintesa protein yang mungkin
diperlukan untuk memelihara membran Descement. Sel-sel ini mempunyai banyak
vesikel dan dinding selnya mempunyai pompa natrium yang akan mengeluarkan
kelebihan ion-ion natrium ke dalam kamera okuli anterior. Ion-ion klorida dan air
akan mengikuti secara pasif. Kelebihan cairan di dalam stroma akan diserap oleh
endotel sehingga stroma tetap dipertahankan dalam keadaan sedikit dehidrasi
(kurang cairan), suatu faktor yang diperlukan untuk mempertahankan kualitas
refraksi kornea.

Kornea bersifat avaskular (tak berpembuluh darah) sehingga nutrisi


didapatkan dengan cara difusi dari pembuluh darah perifer di dalam limbus dan dari
humor aquoeus di bagian tengah. Kornea menjadi buram bila endotel kornea gagal
mengeluarkan kelebihan cairan di stroma. Pada manusia dewasa, densitas dari
endotel kornea adalah sekitar 2.500 sel/mm2. Densitas ini berkurang sepanjang usia
kurang lebih 0,6% setiap tahun dan sel-sel endotel tetanga membesar berusaha untuk
mengisi ruang kosong. Sel-sel endotel ini tidak dapat beregenerasi. Pada densitas
500 sel/mm2, akan terjadi edema kornea dan transparansi menjadi berkurang.

3. Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui berkas
cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang
uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif
jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh
fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih
penting daripada epitel. Kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh
lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan
edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya
menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel epitel
telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan
hipertonisitas ringan pada lapisan air mata tersebut. Hal ini mungkin merupakan faktor
lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan
keadaan dehidrasi. Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-
lemak dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh.
Agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel adalah
sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali
kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran Bowman mudah terkena infeksi
oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur.7

4. faktor-faktor yang sering menyebabkan kelainan pada kornea adalah:

a. Dry eye

Kelainan ini muncul ketika lapisan air mata mengalami defisiensi sehingga
tidak dapat memenuhi batas-batas kecukupan, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif, yang kemudian diikuti dengan keluhan subjektif. Kekurangan cairan
lubrikasi fisiologis merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi
mikroba pada mata. 2

b. Defisiensi vitamin A

Kelainan kornea oleh karena defisiensi vitamin A dapat menyebabkan


kekeringan yang menggambarkan bercak Bitot yang warnanya seperti mutiara yang
berbentuk segitiga dengan pangkal di daerah limbus. Bercak Bitot seperti ada busa
di atasnya. Bercak ini tidak dibasahi oleh air mata dan akan terbentuk kembali bila
dilakukan debridement. Terdapat dugaan bahwa bentuk busa ini merupakan akibat
kuman Corynebacterium xerosis. Hipovitamin A ini juga dapat menyebabkan
keratomalasia dan tukak kornea dimana akan terlihat kornea nekrosis dengan
vaskularisasi ke dalamnya.2
c. Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea

Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea yang terjadi adalah mikrokornea dan
megalokornea. Mikrokornea adalah suatu kondisi yang tidak diketahui
penyebabnya, bisa berhubungan dengan gangguan pertumbuhan kornea fetal pada
bulan ke-5. Selain itu bisa juga berhubungan dengan pertumbuhan yang berlebihan
dari puncak anterior optic cup yang meninggalkan sedikit ruang bagi kornea untuk
berkembang. Mikrokornea bisa berhubungan dengan autosomal dominan atau
resesif dengan prediksi seks yang sama, walaupun transmisi dominan lebih sering
ditemukan. Megalokornea adalah suatu pembesaran segmen anterior bola mata.
Penyebabnya bisa berhubungan dengan kegagalan optic cup untuk tumbuh dan
anterior tip menutup yang meninggalkan ruangan besar bagi kornea untuk untuk
diisi.

d. Distrofi kornea

Deposit abnormal yang disertai oleh perubahan arsitektur kornea, bilateral


simetrik dan herediter, tanpa sebab yang diketahui. Proses dimulai pada usia bayi
1-2 tahun dapat menetap atau berkembang lambat dan bermanisfestasi pada usia
10-20 tahun. Pada kelainan ini tajam penglihatan biasanya terganggu dan dapat
disertai dengan erosi kornea.2

e. Trauma kornea

Trauma kornea bisa disebabkan oleh trauma tumpul, luka penetrasi atau
perforasi benda asing. Kemungkinan kontaminasi jamur atau bakteri harus diingat
dengan kultur untuk bakteri dan jamur diambil pada saat pemeriksaan pertama jika
memungkinkan. Trauma tumpul kornea dapat menimbulkan aberasi, edema,
robeknya membran Descemet dan laserasi korneoskleral di limbus. Trauma
penetrasi merupakan keadaan yang gawat untuk bola mata karena pada keadaan ini
kuman akan mudah masuk ke dalam bola mata selain dapat mengakibatkan
kerusakan susunan anatomik dan fungsional jaringan intraokular.2 Perforasi benda
asing yang terdapat pada kornea dapat menimbulkan gejala berupa rasa pedas dan
sakit pada mata. Keluhan ini mungkin terjadi akibat sudah terdapatnya keratitis atau
tukak pada mata tersebut.
B. KERATITIS
1. Definisi
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea
yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat terjadinya kekeruhan pada
media kornea ini, maka tajam penglihatan akan menurun. Mata merah pada keratitis
terjadi akibat injeksi pembuluh darah perikorneal yang dalam atau injeksi siliar.
Keratitis biasanya diklasifikasikan dalam lapis yang terkena seperti keratitis superfisial
dan profunda atau interstisial.2
2. Etiologi
Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor.2 Penyebab keratitis 90%
disebabkan oleh bakteri, jenis bakteri seperti Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis, Stapylococcus aeroginosa, dan Moarxella. Selain bakteri, sisanya
disebabkan oleh antara lain:7
a. Virus
b. Jamur
c. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari
d. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak
e. Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak cukupnya
pembentukan air mata
f. Adanya benda asing di mata
g. Reaksi terhadap obat seperti neomisin, tobramisin, polusi, atau partikel udara
seperti debu, serbuk sari.
3. Patofisiologi
Mata yang kaya akan pembuluh darah dapat dipandang sebagai pertahanan
imunologik yang alamiah. Pada proses radang, mula-mula pembuluh darah mengalami
dilatasi, kemudian terjadi kebocoran serum dan elemen darah yang meningkat dan
masuk ke dalam ruang ekstraseluler. Elemen-elemen darah makrofag, leukosit polimorf
nuklear, limfosit, protein C-reaktif imunoglobulin pada permukaan jaringan yang utuh
membentuk garis pertahanan yang pertama. Karena tidak mengandung vaskularisasi,
mekanisme kornea dimodifikasi oleh pengenalan antigen yang lemah. Keadaan ini
dapat berubah, kalau di kornea terjadi vaskularisasi. Rangsangan untuk vaskularisasi
timbul oleh adanya jaringan nekrosis yang dapat dipengaruhi adanya toksin, protease
atau mikroorganisme. Secara normal kornea yang avaskuler tidak mempunyai
pembuluh limfe. Bila terjadi vaskularisasi terjadi juga pertumbuhan pembuluh limfe
dilapisi sel. Reaksi imunologik di kornea dan konjungtiva kadang-kadang disertai
dengan kegiatan imunologik dalam nodus limfe yang masuk limbus (kornea perifer)
dan sklera yang letaknya berdekatan dapat ikut terkait dalam sindrom iskhemik kornea
perifer, suatu kelainan yang jarang terjadi, tetapi merupakan kelainan yang serius.
Patofisiologi keadaan ini tidak jelas, Antigen cenderung ditahan oleh komponen
polisakarida di membrana basalis. Dengan demikian antigen dilepas dari kornea yang
avaskuler, dan dalam waktu lama akan menghasilkan akumulasi sel-sel yang memiliki
kompetensi imunologik di limbus. Sel-sel ini bergerak ke arah sumber antigen di kornea
dan dapat menimbulkan reaksi imun di tepi kornea. Sindrom iskemik dapat dimulai
oleh berbagai stimuli. Bahwa pada proses imunologik secara histologik terdapat sel
plasma, terutama di konjungtiva yang berdekatan dengan ulkus. Penemuan sel plasma
merupakan petunjuk adanya proses imunologik. Pada keratitis herpetika yang khronik
dan disertai dengan neo-vaskularisasi akan timbul limfosit yang sensitif terhadap
jaringan kornea.
4. Gejala umum keratitis
Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan,
 adanya sensasi benda asing,
 mata merah,
 mata berair,
 penglihatan yang sedikit kabur,
 dan silau (fotofobia) serta sulit membuka mata (blepharospasme).
Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki banyak
serabut nyeri, sehingga amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea superfisialis maupun
yang sudah dalam menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperberat oleh
kuman kornea bergesekan dengan palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai media
untuk refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang masuk ke
mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila
lesi terletak sentral pada kornea.
Fotofobia yang terjadi biasanya terutama disebabkan oleh kontraksi iris yang
meradang. Dilatasi pembuluh darah iris adalah fenomena refleks yang disebabkan
iritasi pada ujung serabut saraf pada kornea. Pasien biasanya juga berair mata namun
tidak disertai dengan pembentukan kotoran mata yang banyak kecuali pada ulkus
kornea yang purulen
5. Klasifikasi
Keratitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Berdasarkan morfologinya
o Keratitis superfisial
 Keratitis superfisial difus.
 Keratitis pungtata superfisialis.
o Keratitis dalam
 Keratitis non supuratif.
 Keratitis supuratif.
b. Berdasarkan etiologinya
o Keratitis alergik.
 Keratitis phlyctenular.
 Keratitis vernal.
 Keratitis atopik.
o Keratitis trofik.
 Keratitis pajanan.
 Keratitis neuroparalitik.
o Keratitis infektif.
 Keratitis Bakterial.
 Keratitis Viral
 Keratitis Fungal.
 Keratitis Klamidial.
 Keratitis Protozoal.
 Keratitis Spirochaetal.
o Keratitis terkait penyakit kulit dan membran mukosa.
o Keratitis terkait kelainan gangguan kolagen sistemik.
o Keratitis traumatik (mekanik, kimia, radiasi).
o Keratitis idiopatik.
1. Keratitis superfisial
Pada lesi superfisial, dapat ditemukan:

 Erosi epitel pungtata, merupakan tanda awal dari defek epitel, berupa defek
berukuran sangat kecil pada pulasan dengan fluorescein dan rose bengal.
 Keratitis epitel pungtata, berupa gambaran sel epitel yang granular, opalescent,
membengkak, disertai dengan infiltrat intraepitelial fokal, umumnya dapat terlihat
tanpa pulasan khusus.
 Infiltrat subepitelial.
 Keratitis pungtata superfisialis, dengan morfologi seperti titik.
 Filamen, berupa struktur seperti benang yang terdiri atas mukus dan sel epitel yang
telah mengalami degenerasi, bergerak dengan mengedip, dan menempel pada
ujung kornea.
 Edema epitel, umumnya disertai vesikel kecil dalam jumlah banyak atau bula.
 Neovaskularisasi superfisial, merupakan pertana adanya iritasi permukaan okular
kronik maupun hiposkia.
 Pannus, yaitu neovaskularisasi yang disertai dengan perubahan subepitelial dari
limbus yang bersifat degeneratif.

Gambar Lesi Superfisial Kornea – Erosi epitel pungtata, Keratitis epitel pungtata, filamen, edema kornea
dengan bula, neovaskularisasi superfisial, pannus.

2. Keratitis dalam
Pada lesi dalam, dapat ditemukan:
 Infiltrat, merupakan area fokal dengan inflamasi stromal akut yang tersusun atas sel
inflamatori disertai debris seluler maupun ekstraseluler dan nekrosis. Temuan yang
tampak adalah gambaran berwarna kekuningan atau putih kelabu pada stroma anterior

 Ulserasi, merupakan tanda adanya ekskavasi jaringan terkait dengan defek epitel.
 Vaskularisasi.
 Deposisi lemak, penanda inflamasi kronik dengan kebocoran dari pembuluh darah
kornea yang baru.
 Lipatan pada membran Descemet, dapat dihasilkan dari edema kornea yang telah
melampaui batas toleransi endotelium.
 Descemetocele, merupakan herniasi dari membran Descemet ke dalam kornea dengan
gambaran menyerupai gelembung.
3. Keratitis Alergi
a. Phlyctenular Keratoconjuntivitis
 Merupakan penyakit hipersensitivitas (hipersensitivitas tipe-4) biasanya
karena human tubercle bacillus.
 Phlyctenular merupakan akumulasi lokal limfosit, monosit, makrofag, dan
neutrofil. Muncul pertama kali di limbus dan serangan rekurensi dapat
meliputi kojungtiva bulbi dan kornea. Kornea phlyctenular biasanya
bilateral, sikatrik dan vaskularisasi. Konjungtiva phlyctenular tidak
meninggalkan jejas. Pada phlyctenular yang tidak mendapatkan terapi akan
sembuh dalam 10-14 hari, terapi topikal dengan kortikosteroid dapat
menurunkan prosesnya menjadi 1-2 hari
 Alergen Penyebab:
 Pretein tuberkulosa, dulu dipikirkan sebagai penyebab tersering
 Protein stafilokokus, saat ini dipikirkan sebagai penyebab terbanyak
 Alergen lain, dapat berasal dari protein Moraxella Axenfeld dan parasit
tertentu.
 Faktor Predisposisi:
 Usia. Kelompok usia puncak 3-15 tahun.
 Jenis Kelamin. Insidens lebih banyak terjadi pada anak wanita
daripada anak laki-laki.
 Kurang gizi. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak kurang gizi.
 Kondisi lingkungan. Terutama pada daerah padat an tidak higienis.
 Musim. Muncul pada seluruh iklim tapi insidens jauh lebih tinggi
pada musim semi dan panas.
 Keratitis ini dapat muncul dalam 2 bentuk: keratitis fliktenular ulseratif atau
keratitis infiltratif difus.
b. Keratitis vernal
 Keratitis vernal atau keratokonjungtivitis vernal. Keratitis ini terjadi
berulang, bilateral, interstisial, self-limiting, inflamasi alergik dari
konjungtiva yang mengalami inflamasi pada musim-musim tertentu.
 Keratokonjungtivitis dikarakteristikan dengan sensasi panas (burning) dan
gatal yang tidak dapat ditoleransi dan meningkat pada atmosfir yang panas
dan lembab. Gejala lainnya berupa fotofobia ringan, lakrimasi, dan kelopak
mata yang berat.
 Keratokonjungtivitis vernal merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang
disebabkan oleh alergen eksogen, seperti sebuk sari. Keratokonjungtivitis
vernal dianggap sebagai kelainan alergik atopi dimana mekanisme yang
memediasi Ig-E berperan penting. Riwayat atopik lainnya perlu ditanyakan.
 Faktor Predisposisi:
 Umur dan jenis kelamin. 4-20 tahun. Lebih sering terjadi pada anak
laki-laki daripada anak perempuan.
 Musim. Paling sering terjadi pada musim panas. Nama lain dari
penyakit ini adalah warm weather conjunctivitis/ spring catarrh.
 Iklim. Lebih sering pada iklim tropis, sangat jarang terjadi pada
musim dingin.
c. Keratitis atopik
 Keratitis ini dapat dianalogikan sebagai tipe dewasa dari
keratokonjungtivitis vernal. Kebanyakan dari pasien ini adalah dewasa
muda atopik dengan predominansi pada laki-laki.
 Gejala mencakup gatal, sakit, sensai kering, discharge mukoid, fotofobia,
pandangan buram.
 Pada pemeriksaan ditemukan:Inflamasi kronis di batas posterior berbentuk
bulat di batas kelopak mata. Konjungtiva tarsal menunjukkan kenampakan
seperti susu dan terdapat papila halus, hiperemia, dan jaringan parut yang
mengkisut. Kornea dapat terlihat keratitis epitelial pungtata, seringnya lebih
parah di bagian bawah. Dapat ditemukan adanya vaskularisasi kornea,
penipisan, dan plak.
 Manifestasi klinis dari keratokonjungtivitis atopik, seperti atopi lainnya
dapat terjadi fase eksaserbasi dan remisi. Seperti keratokonjungtivitis
vernal, keratokonjungtivitis atopik cenderung menjadi inaktif saat
memasuki umur >50 tahun.
4. Keratitis Tropik
a. Keratitis neuroparalisis
 Keratitis ini muncul karena interupsi dari saraf sensorik trigeminus yang
menyuplai kornea. Interupsi ini bisa disebabkan oleh trauma, pembedahan,
tumor, inflames, atau penyebab lainnya. Hal ini menyebabkan kornea
kehilangan sensitivitasnya terhadap simulasi kedip yang merupakan salah
satu mekanisme pertahanan terbaik untuk mencegah degenerasi, ulserasi dan
infeksi.
 Etiologi
 Kongenital
 Disautonomia (sindrom Riley-Day)
 Insensitivitas kongenital terhadap nyeri
 Displasia ektodermal anhidrosis
 Didapat
 Setelah blok alkohol atau elektrokoagulasi ganglion Gasseria atau
seksio akar sensorik saraf trigeminus karena neuralgia trigeminus
 Neoplasma yang menekan ganglion Gasserian
 Destruksi ganglion Gasserian karena infeksi akut pada herpers zoster
oftalmikus
 Infeksi akut ganglion gasserian karena virus herpes simplex
 Neuropati sifilitik
 Progresi dari morbus hansen
 Trauma pada ganglion Gasserian
b. Keratitis pajanan
 Kornea secara normal tertutup oleh kelopak mata selama tidur dan secara
konstan dijaga kelembabannya melalui mekanisme berkedip saat terjaga. Ketika
kelopak tidak dapat tertutup secara adekuat, muncullah keratopati pajanan /
keratitis lagoftalmus. Proses ini diikuti oleh mengeringnya epitel kornea,
desikasi / pembuangan epitel, dan akhirnya invasi dari mikroorganisme.
Desikasi umumnya muncul pada area interpalpebral sehingga terjadi keratitis
epitelial pungtata diikuti dengan nekrosis, ulserasi, dan vaskularisasi.

5. Keratitis infektif

\
a. Keratitis jamur
 Secara umum, etiologi penyebab keratitis jamur antara lain :
 Jamur berfilamen, contohnya Aspergillus, Fusarium, Alternaaria,
Cephalosporium, Curvularia, dan Penicillium.
 Jamur beragi, misalnya Candida dan Cryptococcus
 infeksi jamur dapat terjadi karena adanya trauma pada mata yang berkaitan
dengan tumbuhan (daun, ranting), perlukaan oleh ekor binatang, ataupun ulkus
fungal sekunder pada pasien dengan imunosupresi ataupun pasien dengan mata
kering, pasien dengan lensa kontak, keratitis herpetikum, atau setelah operasi
keratoplasti.
 Gejala yang umumnya dirasakan oleh penderitanya mirip degan gejala pada
ulkus kornea bakterial sentral, akan tetapi dengan ukuran yang lebih kecil dan
pertumbuhan yang lambat. Adapun tanda yang ditemukan antara lain:
 Ulkus terlihat kering, nampak putih kelabu, dengan batasnya terelevasi
ke luar.
 Di bawah epitelium yang intak, terdapat gambaran ekstensi seperti jari.
 Infiltrat supuratif berwarna putih kekuningan pada infeksi Candida.
 Gambaran infiltrat cincin berwarna kekuningan, bila terdapat interaksi
dengan antibodi pejamu.
 Tanda klinis yang dapat membantu penegakan diagnosis keratitis jamur
filamentosa adalah ulkus kornea yang bercabang dengan elevasi, batas
luka yang iregular dan seperti kapas, permukaan yang kering dan kasar,
serta lesi satelit
 Lesi satelit kecil dan banyak di sekitar area luka.
 Hipopion besar.
gambar keratitis fungal dengan lesi satelit

 Diagnosis dari keratitis jamur dapat ditegakkan melalui manifestasi klinis yang
muncul setelah trauma terkait dengan bagian dari tanaman, perburukan ulkus
yang bersifat kronik walaupun dengan terapi adekuat, serta pemeriksaan
laboratorium, dalam hal ini kerokan kornea. Kerokan korena diperiksa secara
mikroskopik dengan menggunakan KOH 10%. Kerokan keratitis jamur kecuali
Candida akan memberikan gambaran unsur hifa sedangkan kerokan candida
umumnya mengandung psedohifa atau bentuk ragi. Di samping itu, dapat pula
dilakukan pewarnaan Calcoflour White untuk melihat filamen fungi ataupun
kultur pada agar Saboraud

 Tatalaksana yang dapat dilakukan antara lain:4

 Terapi spesifik, yaitu berupa tetes mata antifungal dengan natamisin 5%,
flukonazol 0,2% selama 6 – 8 minggu atau menggunakan salep mata nistatin
3,5%. Pada kasus berat, dapat pula diberikan obat – obatan sistemik, yaitu
flukonazole dan ketoconazole selama 2 – 3 minggu.
 Terapi non spesifik, yaitu rawat inap.
 Keratoplasti penetrasi terapeutik, pada kasus yang tidak responsif

b. Keratitis virus
1) Herpes Simples Keratitis.
 Penyakit mata akibat herpes merupakan salah penyakit menular tersering
yang menyebabkan kebutaan kornea pada negara berkembang. Sebanyak
60% ulkus korna pada negara berkembang disebabkan oleh virus herpes
simpleks dan 10 juta orang di dunia mengalami penyakit mata akibat herpes.
 HSV merupakan virus dengan kapsul kuboidal dengan double stranded DNA
genome. Terdapat dua subtype dari HSV yaitu HSV-1 dan HSV-2. HSV-1
menyebabkan infeksi diatas pinggang (pada muka, bibir dan mata) dan HSV-
2 disebabkan oleh infeksi veneral (genital herpes).
 Gejala pada umumnya berupa kemerahan, berair, iritasi, fotofobia dan
mild discomfort. Bila kornea bagian pusat yang terkena, terjadi sedikit
gangguan penglihatan (blurred vision). Karena anestesi kornea umumnya
timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal. Sering ada riwayat lepuh-
lepuh demam atau infeksi herpes lain, namun ulserasi kornea kadang-kadang
merupakan satu-satunya gejala infeksi herpes rekurens.

Lesi paling khas adalah ulkus dendritik pada epitel kornea dengan pola
percabangan linear khas dengan tepian kabur dan bulbus-bulbus
terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat
dendrit.

 Ulserasi geografik penyakit dendritik kronik dengan lesi dendritiknya


lebih lebar. Sensasi kornea pada penyakit dendritik ini akan berkurang
sehingga harus diperiksa. Lesi kornea lainnya yang dapat disebabkan
oleh HSV adalah blotchy ephitelial keratitis, stellate epthelial keratitis,
dan filamentery keratitis

Gambar . Epitelial Keratitis Herpes Simpleks, A, Lesi Stelata, B, Ulkus Dendritik


 Terapi keratitis HSV bertujuan untuk menghentikan replikasi virus pada
kornea dan menahan efek merusak dari respon radang.

 Debridement  Untuk keratitis dendritik secara efektif adalah


dengan debridement epitelial, karena virus berlokasi dalam
epitel. Selain itu juga mengurangi beban antigenik virus pada
stroma kornea. Permukaan kornea dibersihkan dengan spons
selulose steril hingga 2 mm di luar ujung-ujung dendrite. Agen
antiviral harus digunakan sebagai konjungsi.

 Terapi obat  Agen anti-virus topikal yang dipakai pada


keratitis herpes adalah idoxuridine, trifluridine, vidarabine, dan
acyclovir. Acyclovir oral (5x400mg) memiliki manfaatnya
untuk pengobatan penyakit herpes mata yang berat, khususnya
pada pasien dengan atopik yang rentan terhadap herpes mata dan
kulit (eczema herpeticum). Pada peningkatan TIO maka
penggunaan derivat prostalglandin harus dihindari karena dapat
meningkatkan aktivitas virus herpes simples dan inflamasi.

2) Keratitis Herpes Zooste


 Infeksi virus varicella-zoster (VZV) terjadi dalam dua bentuk: primer
(varicella) dan rekurens (zooster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada
varicella, namun sering terjadi pada zoster oftalmik. Pada varicella, lesi
mata umumnya terjadi pada kelopak, jarang timbul keratitis. Sedangkan
zooster oftalmik relatif lebih sering dijumpai, kerap disertai keratouveitis
yang bervariasi tergantung keadaan imun pasiennya. Pada orang dewasa
(umumnya pada umur 60-70 tahun), penyakit ini termasuk penyakit berat
dan terkadang dapat mengakibatkan kebutaan. Komplikasi kornea pada
zooster oftalmik dapat diperkirakan jika terdapat erpsi kulit di daerah yang
dipersarafii oleh cabang nervus nasociliaris (pada bagian membrane mukus
hidung ujung hidung dan konjungtiva)
 Lesi epitelnya berbercak dan amorf, sesekali terlihat pseudodendrit yang
mirip dengan dendrit sejati pada keratitis Herpes simplex virus. Kekeruhan
stroma disebabkan oleh edema dan sedikit infiltrat sel yang awalnya hanya
terdapat pada daerah subepitelial. Kehilangan sensasi kornea, dengan risiko
terjadinya keratitis neurotopik selalu merupakan ciri khas dan sering
menetap hingga berbulan bulan setelah lesi kornea tampak sembuh

 Obat antiviral intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk
mengobati herpes zoster oftalmik, khususnya pada pasien dengan sistem
imun yang terganggu. Dosis oral asiklovir adalah 800 mg lima kali sehari
untuk 10-14 hari; valasiklovir 1 g tiga kali sehari selama 7-10 hari;
famsiklovir 500 mg per 8 jam selama 7-10 hari. Terapi hendaknya dimulai
72 jam setelah timbulnya rash. Setelah 72 jam tetapi dilakukan terapi yang
sama untku dapat mengurangi tingkat keparahan dari episode akut dan
resiko postherpetic neuralgia

c. Keratitis Acanthamoeba

 Keratitis acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang dapat ditemukan di tanah,
air kotor ataupun bersih dan traktus respiratori bagian atas. Infeksi ini biasanya
dihubungkan dengan penggunaan lensa kontak yang dipakai semalaman atau pada
individu memakai lensa kontak setelah terpapar air atau tanah yang tercemar.

 Gejala awal adalah rasa nyeri yang tidak sebanding dengan temuan klinisnya,
kemerahan, dan fotofobia. Tanda klinis yang khas adalah ulkus kornea indolen,
cincin stroma, dan infiltrat perineural, tetapi sering kali hanya ditemukan perubahan-
perubahan yang terbatas pada epitel kornea.
 Investigasi penyebab dapat dilakukan dengan:
 Pewarnaan. kerokan kornea yang diwarnai dengan periodic acid-
Schiff atau calcofluor white. Pada pewarnaan gram dan giemsa juga
dapat ditemukan kista.
 Kultur. kultur dilakuan pada di atas media khusus (agar nonnutrien
yang dilapisi E coli), spesimen diambil melalui biopsi kornea agar
didapatkan bentuk-bentuk amuba. Perlu diketahui bahwa 30%
pasien memiliki hasil kultur negative dan kultis pada lensa kontak
dapat ditemukan acanthamoeba dan gram negatif. Larutan dan
tempat lensa kontak harus dikultur, karena bentuk amuba dapat
ditemukan pada cairan tempat lensa kontak.1
 Teknik yang lebih modern adalah sitologi impresi dan confocal
microscopy. Immunochemistry, PCR dan biopsi kornea.
 Terapi dapat dilakukan dengan debridemen. Debridemen epitel bisa
bermanfaat pada tahap awal penyakit. Terapi dengan obat umumnya
dimulai dengan isethionate propamidine topikal (larutan 1 %) dan
polyhexamethylene biguanide (larutan 0,01-0,02%) dan tetes mata
neomycin forte. Mungkin diperlukan keratoplasti pada penyakit
yang telah lanjut
d. Keratitis bakterial
 Keratitis bakterialis adalah keratitis yang disebabkan oleh bakteri patogen dan dapat
menyebabkan kebutaan .
 Keratitis bakterial dapat terjadi melalui dua mekanisme utama, yaitu kerusakan
epitelium kornea maupun infeksi pada area yang telah mengalami erosi.
Kerusakan epitel kornea dapat terjadi karena adanya abrasi kornea akibat benda
asing, misdireksi silia, ataupun trauma dalam penggunaan lensa kontak. Di samping
itu, kerusakan epitel juga dapat disebabkan oleh kekeringan epitel, nekrosis misalnya
pada keratomalasia, deskuamasi epitel akibat edema kornea, dan perubahan secara
trofik.
 Sumber infeksi dapat berasal dari eksogen, misalnya sakus konjungtiva, sakus
lakrimalis, benda asing, maupun bagian tumbuhan yang terinfeksi, serta infeksi
melalui air. Infeksi dapat pula menyebar dari jaringan mata lain di sekitar kornea,
ataupun secara endogen walaupun cukup jarang terjadi.4
 Organisme yang sering menyebabkan infeksi ini adalah Staphylococcus aureus,
Pseudomonas pyocyanea, Streptococcus pneumoniae, E. Coli, Proteus, Klebsiella,
N.gonorrhoea, N.meningitidis, dan C.diphtheriae.2-7 Secara umum, beratnya infeksi
bakteri yang terjadi bergantung pada virulensi organisme penyebab, toksin yang
dikeluarkan, enzim, serta respons jaringan pejamu

 Patofisiologi

 Gejala dan Tanda

 nyeri dan sensasi benda asing sebagai akibat dari efek mekanik dari kelopak
mata dan efek kimia dari toksin pada ujung saraf.

 hiperlakrimasi sebagai refleks mata,

 fotofobia karena stimulasi ujung saraf,

 pandangan buram, dan kemerahan pada mata karena kongesti pembuluh darah.
Tanda Temuan dari pemeriksaan kornea yang diperoleh :

 Defek epitel dengan infiltrat berwarna putih kelabu dengan batas tegas. Defek
kemudian meluas dan terjadilah efema stromal serta pelipatan membran
Descemet serta uveitis anterior.

 Tampakan ulkus bakteria adalah area berwarna putih kekuningan dengan bentuk
oval atau iregular, batas ulkus membengkak dan terangkat, basis ulkus tertutup
oleh jaringan nekrotik, dengan edema stroma di sekitar area ulkus

 gambaran hipopion maupun descemetocele, terutama pada infeksi Pseudomonas

Gambar Descemetocele pada keratitis ulseratif yang diakibatkan oleh


P. aeruginosa pada pengguna lensa konta

Keratitis Bakterial – Defek epitel dan infiltrasi, pelebaran infiltrat,


hipopion, penyakit tahap lanjut, perforasi
 Pemeriksaan Penunjang
 umumnya dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan rutin, yaitu
hemoglobin, jumlah leukosit, hitung jenis, laju endap darah, glukosa, urinalisis,
serta analisa feses.
 pemeriksaan mikrobiologi untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan
menentukan tatalaksana. Spesimen yang dipakai adalah kerokan pda basis dan
batas ulkus kornea setelah pemberian anestesi lokal silokain 2%. Kemudian,
dilakukan pemeriksaan Gram dan Giemsa dan kultur pada medium agar darah.
Kerokan kornea umumnya tidak dilakukan apabila hanya terdapat infiltrat kecil
tanpa defek epitel yang jelas.
 Kerokan dari kornea yang terinfeksi akan memperlihatkan kumpulan neutrofil
di antara jaringan debris nekrotik. Organisme dapat ditemukan pada
pemeriksaan pewarnaan Gram. Pemeriksaan kultur sangat membantu
identifikasi organisme penyebab dan sensitivitas antibiotik

 Tatalaksana Umum

 prinsip tatalaksana adalah terapi spesifik untuk agen penyebab, terapi suportif non
spesifik, serta tatalaksana tambahan.

 Terapi spesifik mencakup administrasi antibiotik topikal dengan terapi inisial


mencakup organisme gram negatif dan positif. Umumnya, dipilih tetes mata
gentamycin 14 mg/ml atau tobramisin bersamaan dengan sefazolin (50 mg/ml)
setiap ½ hingga 1 jam untuk beberapa hari pertama, kemudian dikurangi menjadi
setiap 2 jam sekali.
 Ketika telah diperoleh hasil kultur maupun tes sensitivitas, terapi dapat disesuaikan
dengan etiologi penyebabnya. Dalam hal ini, antibiotik sistemik umumnya tidak
dibutuhkan.

 Topikal

o Terapi keratitis bakterial sebelumnya adalah tetes mata fortified seperti 5%


cefazoline dan 1% gentamicin, namun terapi ini memiliki biaya yang mahal dan
kurang nyaman digunakan oleh pasien. Selain itu sediaan komersial terapi ini
tidak tersedia sehingga harus diformulasi lebih dahulu oleh dokter.
Fluorokuinolon yang merupakan antibiotik spektrum luas telah mengubah pola
terapi ini. Antibiotik dari golongan ini umumnya mampu mengatasi sebagian
besar bakteri Gram positif dan bakteri Gram-negatif anaerobik, oleh karena ini
antibiotik ini menjadi drugs of choice untuk keratitis bakterial Keratoplasti
biasanya dilakukan setelah ulkus pulih dengan antibiotik dan masih
meninggalkan sikatriks. Tindakan keratoplasti dapat dilakukan pada fase infeksi
akut jika terdapat ancaman perforasi maupun telah terjadi perforasi. Steroid
masih menjadi kontroversi dalam penatalaksanaan keratitis bakterial

 Kortikosteroid

Keuntungan penekannn peradangan dan pengurangan pembentukan jaringan
parut pada kornea

Kerugian timbulnya aktivitas infeksi baru, imunosupresi lokal, penghambatan
sintesis kolagen dan peningkatan TIO

Prinsip pada terapi kortikosteroid topikal adalah menggunakan dosis minimal
kortikosteroid yang bisa memberikan efek kontrol peradangan.

Keberhasilan pengobatan membutuhkan perkiraan yang optimal, regulasi dosis
secara teratur, penggunaan obat antibiotika yang memadai secara bersamaan,
dan follow-up.

Kepatuhan dari pasien sangat penting, dan TIO harus sering dipantau
 NSAID/AINS

Dari penelitian-penelitian tersebut telah menunjukan bahwa NSAID dapat mengurangi


keluhan subjektif pasien dan juga mengatasi peradangannya seperti halnya
kortikostroid namun lebih aman dari steroid itu sendiri karena tidak akan menyebabkan
katarak ataupun glaukoma yang terinduksi steroid

6. Komplikasi
 penipisan kornea
 Ulkus kornea
 Glaukoma sekunder
 perforasi kornea
 endophthalmitis
 hilangnya penglihatan

7. Prognosis
 Prognosis bergantung pada perjalanan dan lokasi penyakit. Pada VKC dan AKC jika
memberi komplikasi ulkus kornea akan menyebabkan visual loss. Penggunaan
steroid topikal jangka panjang memberi komplikasi berupa katarak dan glaukoma.
 Prognosis quo ad vitam pada pasien keratitis adalah bonam. Sedangkan prognosis
fungsionam pada keratitis sangat tergantung pada jenis keratitis itu sendiri. Jika lesi
pada keratitis superficial berlanjut hingga menjadi ulkus kornea dan jika lesi pada
keratitis tersebut telah melebihi dari epitel dan membran bowman maka prognosis
fungsionam akan semakin buruk. Hal ini biasanya terjadi jika pengobatan yang
diberikan sebelumnya kurang adekwat, kurangnya kepatuhan pasien dalam
menjalankan terapi yang sudah dianjurkan, terdapat penyakit sistemik lain yang
dapat menghambat proses penyembuhan seperti pada pasien diabetes mellitus,
ataupun dapat juga karena mata pasien tersebut masih terpapar secara berlebihan
oleh lingkungan luar, misalnya karena sinar matahari ataupun debu
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan D. Opthalmologi Umum. Edisi 14. Widya Medika, Jakarta, 2010


2. Ilyas, Sidartha. 2009. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-6. Balai Penerbit FK UI, Jakarta
3. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. External disease and cornea. Italia: American
Academy of Ophtalmology; 2014.
4. Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. Oxford American handbook of
ophthalmology. New York: Oxford University Press; 2011
5. Ferrer FJG, Schwab IR, Shetlar DJ. Conjunctiva. In Vaughan and Asbury’s General
Ophthalmology.16th ed. USA: Mc.Graw-Hill companies; 2007.
6. Lang GK. Conjunctiva. In Lang ophthalmology. New York: Thieme; 2000.
7. Nischal, Pearson. Kanski Clinical Ophtalmology. 7th ed. [ebook]. Elsevier. 2011
8. Ziemerman, Nixon et al. Contact lens associated microbial keratitis: practical
considerations for the optometrist. 2015. Diakses https://www.dovepress.com/contact-
lens-associated-microbial-keratitis-practical-considerations-f-peer-reviewed-fulltext-
article-OPTO
9. Palioura, et al. Role of steroids in the treatment of bacterial keratitis, 2016. Diakses
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4734801/

Anda mungkin juga menyukai