Anda di halaman 1dari 38

REFLEKSI KASUS

KERATITIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

Ilmu Penyakit Mata RSUD dr.Tjitrowardojo Purworejo

Diajukan Kepada :
dr. Evita Wulandari, Sp. M

Disusun Oleh :
Ruly Dwi Rintayani
20164011119

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

REFLEKSI KASUS

Disusun Oleh:
Ruly Dwi Rintayani
20164011119

Telah disetujui dan dipresentasikan pada Maret 2018

Mengetahui,
Dokter pembimbing

dr. Evita Wulandari, Sp. M

2
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Nn. Sanya Rahmadani
2. Usia : 21 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Pekerjaan : Mahasiswa
5. Alamat : Sumbersari RT 01/02 Purwodadi

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Mata kanan terasa nyeri sejak 7 hari
2. Keluhan Tambahan:
Mata kanan terasa nyeri disertai rasa mengganjal (+) pegel (+), pandangan kabur (+),
silau (+) gatal (-), mata merah(+)
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak satu minggu sebelum periksa ke poli mata, pasien merasa mata kanan
terasa nyeri saat setelah memakai lensa kontak. Pasien juga mengeluh matanya merah,
pegel, silau, pandangan agak kabur dan merasa ada yang mengganjal di kedua matanya.
Pasien tidak mengeluh gatal, dan tidak keluar kotoran pada mata. Keluhan
tersebut dirasakan berkurang setelah ditetesi obat tetes mata Insto dan minum
obat dexametashone yang dibeli oleh pasien.
Namun , sejak ± 4 hari yang lalu pasien merasa keluhannya tidak membaik dan
pasien merasa kedua matanya bertambah nyeri ketika memakai lensa kontak.Pasien
juga merasa ada yang mengganjal di matanya, karena keluhan dirasa belum membaik
pasien kemudian berobat ke dokter Spesialis mata..
4. Riwayat Penyakit Dahulu:
 Riwayat sering mengalami keluhan serupa sebelumnya disangkal
 Riwayat alergi disangkal
 Riwayat Hipertensi dan Diabetes Mellitus disangkal
 Riwayat trauma, operasi disangkal

3
5. Riwayat Penyakit Keluarga:
 Riwayat keluarga mengalami keluhan serupa disangkal
 Riwayat alergi dan asma disangkal
 Riwayat Hipertensi dan Diabetes Mellitus disangkal

6. Riwayat Personal Sosial :


 Pasien adalah seorang mahasiswa
 Pasien berangkat kuliah menggunakan sepeda motor dan memakai lensa kontak,
pasien tidak menggunakan kacamata alat pelindung mata saat berkendara.
 Pasien telah memakai lensa kontak jenis soft lens dengan masa pakai 6 bulan
sebanyak 6 kali selama 3 tahun ini.
 Pasien memakai lensa kontak tersebut setiap hari Senin hingga Sabtu selama ± 10
jam. Pasien tidak memakai lensa kontak saat tidur. Setelah memakai lensa kontak,
pasien selalu membersihkan lensa kontak dengan larutan pembersih lensa
kontak. Namun -+ 1 bulan ini saat membersihkan lensa kontak terkadang pasien
lupa untuk menggantikan larutan pembersih lensa. Sehingga larutan pembersih
lensa di wadah bisa dipakai untuk 2x kali pembersihan lensa kontak.

4
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital :
Frekuensi Nadi : 80 kali/menit
Frekuensi Nafas : 20 kali/menit
Suhu : afebris
B. STATUS OPTHALMOLOGIS

OD OS

OD OS

5
Pemeriksaan OD OS
Visus DKM 5/10, TKM 5/60 DKM 5/10, TKM 5/60
Palpebra
Spasme (-) (-)
Oedem (-) (-)
Retraksi (-) (-)
Tremor (-) (-)
Sikatrik (-) (-)
Lesi (-) (-)
Folikel (-) (-)
Papil (-) (-)
Bola Mata
Pasangan Simetris
Gerakan Normal
Konjungtiva
Konjungtiva Palpebra
Oedem (-) (-)
Hiperemis (-) (-)
Sekret (-) (-)
Konjungtiva Forniks
Oedem (-) (-)
Hiperemis (-) (-)
Sekret (-) (-)
Konjungtiva Bulbi
Oedem (-) (-)
Inj. Konjungtiva (-) (-)
Inj. Perikornea (+) (-)
Inj. Episklera (-) (-)
Sub. Konj. Bleeding (-) (-)
Pigmen Coklat (-) (+)
Sekret
Serose (-) (-)
Mukoid (-) (-)
Purulen (-) (-)
Mukopurulen (-) (-)
Jaringan Fibrovaskular (-) (-)
Kornea
Kejernihan Tidak jernih Jernih
Permukaan Tidak licin Licin

6
Edema (-) (-)
Infiltrat (+) (-)
Defek (-) (-)
Neovaskularisasi (-) (-)
COA Dalam Dalam
Iris / Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Diameter 3mm 3 mm
Kedudukan Sentral Sentral
Refleks direk (+) (+)
Refleks indirek (+) (+)
Lensa
Kejernihan Jernih Jernih
Letak Sentral Sentral
TIO N N
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

7
C. USULAN PEMERIKSAAN
 Pemeriksaan slit-lamp
 Tes fluoresensi kornea
 Pemeriksaan darah rutin
 Pewarnaan gram dan giemsa
 Pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas

D. DIAGNOSIS BANDING
 OD Keratitis Viral
 OD Keratitis Bakterial
 OD Keratitis Alergi
 OD Konjungtivitis

E. DIAGNOSIS KERJA
 OD Keratitis Bakterial

F. PENATALAKSANAAN
1. Farmakologis
Topikal
 Tetes mata Ofloxacin 6xOD (antibiotic/anti infeksi, antiseptik digunakan
untuk penyakit yang disebabkan oleh bakteri gram + dan gram -
 Tetes mata lubricants 6 x OD ( yang mengandung Carboxymethyl Cellulose
Sodium  digunakan untuk mengurangi iritasi pada mata dan mengurangi rasa tidak
nyaman akibat iritasi )

Oral
 Sodium diklofenak 2x50mg tablet ( golongan AINS  anti Inflamasi Non steroid 
digunakan untuk mengurasi rasa nyeri ringan –sedang)

2. Non farmakologis dan edukasi:


 Menjaga hygiene personal dan lingkungan
 Memberitahukan kepada pasien bahwa penyakit ini disebabkan oleh pemakaian
kontak lensa yang tidak bersih

8
 Memberitahukan kepada pasien agar menggunakan pengaman mata/ kacamata
saat berkendara diluar agar tidak banyak terpapar oleh debu.
 Memberitahukan kepada pasien bahwa keluhan lain pada mata akan hilang
berangsur-angsur jika diobati secara teratur.
 Meneteskan obat mata secara teratur untuk mempercepat proses penyembuhan.
 Jangan menggosok-gosok mata jika terasa ada yang mengganjal pada mata.
 Mencuci tangan sebelum dan sesudah penggunaan soflens

G. PROGNOSIS
 Ad vitam : Dubia ad Bonam
 Ad sanationam : Dubia ad Bonam
 Ad visam : Dubia ad Bonam
 Ad kosmetikam : Dubia ad Bonam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KORNEA
1. Anatomi
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-
12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea
memberikan kontribusi 74% atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 D
kekuatan dioptri mata manusia. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi
glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai
tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah

9
satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan
sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea dewasa
rata-rata mempunyai tebal 550 µm, diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan
vertikalnya 10,6 mm1.

Gambar 1. Anatomi Kornea


2. Lapisan Kornea
a. Epitel kornea1,3

Epitel kornea merupakan lanjutan dari konjungtiva disusun oleh epitel


gepeng berlapis tanpa lapisan tanduk. Lapisan ini merupakan lapisan kornea terluar
yang langsung kontak dengan dunia luar dan terdiri atas 5-6 lapis sel. Basal sel
kolumnar pada lapis sel pertama melekat dengan membran basement dibagian
bawahnya dengan hemidesmosome. Dua lapisan diatas sel basal tersebut merupakan
sel ”wing”, atau sel payung, dan dua lapisan diatas berikutnya merupakan sel
gepeng.

Epitel kornea ini mengandung banyak ujung- ujung serat saraf bebas. Sel-
sel yang terletak di permukaan cepat menjadi aus dan digantikan oleh sel-sel yang
terletak di bawahnya yang bermigrasi dengan cepat. Stem cell epitelial ini terletak
pada superior dan inferior limbus.

b. Membran Bowman1,2

10
Membran Bowman merupakan lapisan fibrosa aseluler yang terletak di
bawah epitel tersusun dari serat kolagen tipe-1.

c. Stroma Kornea1,2

Stroma kornea tersusun dari serat-serat kolagen tipe-1 yang berjalan secara
paralel membentuk lamel kolagen dengan sel-sel fibroblast diantaranya. Lamela
kolagen ini berjalan paralel dengan permukaan kornea dan bertanggung jawab
terhadap kejernihan kornea. Ketebalan stroma kornea mencakup 90% dari
ketebalan kornea. Stroma kornea tidak dapat beregenerasi.

d. Membran Descemet1,2,3

Membran descemet merupakan membran dasar yang tebal tersusun dari


serat-serat kolagen yang dapat dibedakan dari stroma kornea. Memiliki ketebalan
sekitar 3 mm pada saat lahir dan meningkat ketebalannya sepanjang usia. Membran
Descemet memiliki potensi untuk beregenerasi.

e. Endotel kornea

Lapisan ini merupakan lapisan kornea yang paling dalam tersusun dari epitel
selapis gepeng atau kuboid rendah. Sel-sel ini mensintesa protein yang mungkin
diperlukan untuk memelihara membran Descement. Sel-sel ini mempunyai banyak
vesikel dan dinding selnya mempunyai pompa natrium yang akan mengeluarkan
kelebihan ion-ion natrium ke dalam kamera okuli anterior. Ion-ion klorida dan air
akan mengikuti secara pasif. Kelebihan cairan di dalam stroma akan diserap oleh
endotel sehingga stroma tetap dipertahankan dalam keadaan sedikit dehidrasi
(kurang cairan), suatu faktor yang diperlukan untuk mempertahankan kualitas
refraksi kornea.

Kornea bersifat avaskular (tak berpembuluh darah) sehingga nutrisi


didapatkan dengan cara difusi dari pembuluh darah perifer di dalam limbus dan dari
humor aquoeus di bagian tengah. Kornea menjadi buram bila endotel kornea gagal
mengeluarkan kelebihan cairan di stroma. Pada manusia dewasa, densitas dari
endotel kornea adalah sekitar 2.500 sel/mm2. Densitas ini berkurang sepanjang usia
kurang lebih 0,6% setiap tahun dan sel-sel endotel tetanga membesar berusaha untuk
mengisi ruang kosong. Sel-sel endotel ini tidak dapat beregenerasi. Pada densitas
500 sel/mm2, akan terjadi edema kornea dan transparansi menjadi berkurang.

11
3. Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui berkas
cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang
uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif
jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh
fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih
penting daripada epitel. Kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh
lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan
edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya
menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel epitel
telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan
hipertonisitas ringan pada lapisan air mata tersebut. Hal ini mungkin merupakan faktor
lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan
keadaan dehidrasi. Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-
lemak dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh.
Agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel adalah
sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali
kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran Bowman mudah terkena infeksi
oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur.7

12
Adapun faktor-faktor yang sering menyebabkan kelainan pada kornea adalah:

1. Dry eye

Kelainan ini muncul ketika lapisan air mata mengalami defisiensi sehingga
tidak dapat memenuhi batas-batas kecukupan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif,
yang kemudian diikuti dengan keluhan subjektif. Kekurangan cairan lubrikasi fisiologis
merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi mikroba pada mata. 2

2. Defisiensi vitamin A

Kelainan kornea oleh karena defisiensi vitamin A dapat menyebabkan


kekeringan yang menggambarkan bercak Bitot yang warnanya seperti mutiara yang
berbentuk segitiga dengan pangkal di daerah limbus. Bercak Bitot seperti ada busa di
atasnya. Bercak ini tidak dibasahi oleh air mata dan akan terbentuk kembali bila
dilakukan debridement. Terdapat dugaan bahwa bentuk busa ini merupakan akibat
kuman Corynebacterium xerosis. Hipovitamin A ini juga dapat menyebabkan
keratomalasia dan tukak kornea dimana akan terlihat kornea nekrosis dengan
vaskularisasi ke dalamnya.2

3. Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea

Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea yang terjadi adalah mikrokornea dan
megalokornea. Mikrokornea adalah suatu kondisi yang tidak diketahui penyebabnya,
bisa berhubungan dengan gangguan pertumbuhan kornea fetal pada bulan ke-5. Selain
itu bisa juga berhubungan dengan pertumbuhan yang berlebihan dari puncak anterior
optic cup yang meninggalkan sedikit ruang bagi kornea untuk berkembang.
Mikrokornea bisa berhubungan dengan autosomal dominan atau resesif dengan
prediksi seks yang sama, walaupun transmisi dominan lebih sering ditemukan.
Megalokornea adalah suatu pembesaran segmen anterior bola mata. Penyebabnya bisa
berhubungan dengan kegagalan optic cup untuk tumbuh dan anterior tip menutup yang
meninggalkan ruangan besar bagi kornea untuk untuk diisi.

4. Distrofi kornea

Deposit abnormal yang disertai oleh perubahan arsitektur kornea, bilateral


simetrik dan herediter, tanpa sebab yang diketahui. Proses dimulai pada usia bayi 1-2
tahun dapat menetap atau berkembang lambat dan bermanisfestasi pada usia 10-20

13
tahun. Pada kelainan ini tajam penglihatan biasanya terganggu dan dapat disertai
dengan erosi kornea.2

5. Trauma kornea

Trauma kornea bisa disebabkan oleh trauma tumpul, luka penetrasi atau
perforasi benda asing. Kemungkinan kontaminasi jamur atau bakteri harus diingat
dengan kultur untuk bakteri dan jamur diambil pada saat pemeriksaan pertama jika
memungkinkan. Trauma tumpul kornea dapat menimbulkan aberasi, edema, robeknya
membran Descemet dan laserasi korneoskleral di limbus. Trauma penetrasi merupakan
keadaan yang gawat untuk bola mata karena pada keadaan ini kuman akan mudah
masuk ke dalam bola mata selain dapat mengakibatkan kerusakan susunan anatomik
dan fungsional jaringan intraokular.2 Perforasi benda asing yang terdapat pada kornea
dapat menimbulkan gejala berupa rasa pedas dan sakit pada mata. Keluhan ini mungkin
terjadi akibat sudah terdapatnya keratitis atau tukak pada mata tersebut.2

B. KERATITIS
1. Definisi
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea
yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat terjadinya kekeruhan pada
media kornea ini, maka tajam penglihatan akan menurun. Mata merah pada keratitis
terjadi akibat injeksi pembuluh darah perikorneal yang dalam atau injeksi siliar.
Keratitis biasanya diklasifikasikan dalam lapis yang terkena seperti keratitis superfisial
dan profunda atau interstisial.2
2. Etiologi
Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor.2 Penyebab keratitis 90%
disebabkan oleh bakteri, jenis bakteri seperti Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis, Stapylococcus aeroginosa, dan Moarxella. Selain bakteri, sisanya
disebabkan oleh antara lain:7
1. Virus
2. Bakteri
3. Jamur
4. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari
5. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak
6. Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak cukupnya
pembentukan air mata

14
7. Adanya benda asing di mata
8. Reaksi terhadap obat seperti neomisin, tobramisin, polusi, atau partikel
udara seperti debu, serbuk sari.
3. Patofisiologi
Mata yang kaya akan pembuluh darah dapat dipandang sebagai pertahanan
imunologik yang alamiah. Pada proses radang, mula-mula pembuluh darah mengalami
dilatasi, kemudian terjadi kebocoran serum dan elemen darah yang meningkat dan
masuk ke dalam ruang ekstraseluler. Elemen-elemen darah makrofag, leukosit polimorf
nuklear, limfosit, protein C-reaktif imunoglobulin pada permukaan jaringan yang utuh
membentuk garis pertahanan yang pertama. Karena tidak mengandung vaskularisasi,
mekanisme kornea dimodifikasi oleh pengenalan antigen yang lemah. Keadaan ini
dapat berubah, kalau di kornea terjadi vaskularisasi. Rangsangan untuk vaskularisasi
timbul oleh adanya jaringan nekrosis yang dapat dipengaruhi adanya toksin, protease
atau mikroorganisme. Secara normal kornea yang avaskuler tidak mempunyai
pembuluh limfe. Bila terjadi vaskularisasi terjadi juga pertumbuhan pembuluh limfe
dilapisi sel. Reaksi imunologik di kornea dan konjungtiva kadang-kadang disertai
dengan kegiatan imunologik dalam nodus limfe yang masuk limbus (kornea perifer)
dan sklera yang letaknya berdekatan dapat ikut terkait dalam sindrom iskhemik kornea
perifer, suatu kelainan yang jarang terjadi, tetapi merupakan kelainan yang serius.
Patofisiologi keadaan ini tidak jelas, Antigen cenderung ditahan oleh komponen
polisakarida di membrana basalis. Dengan demikian antigen dilepas dari kornea yang
avaskuler, dan dalam waktu lama akan menghasilkan akumulasi sel-sel yang memiliki
kompetensi imunologik di limbus. Sel-sel ini bergerak ke arah sumber antigen di kornea
dan dapat menimbulkan reaksi imun di tepi kornea. Sindrom iskemik dapat dimulai
oleh berbagai stimuli. Bahwa pada proses imunologik secara histologik terdapat sel
plasma, terutama di konjungtiva yang berdekatan dengan ulkus. Penemuan sel plasma
merupakan petunjuk adanya proses imunologik. Pada keratitis herpetika yang khronik
dan disertai dengan neo-vaskularisasi akan timbul limfosit yang sensitif terhadap
jaringan kornea.

15
Gambar 2. Morfologi Keratitis

16
4. Klasifikasi
Keratitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

 Berdasarkan morfologinya

o Keratitis superfisial

 Keratitis superfisial difus.


 Keratitis pungtata superfisialis.

o Keratitis dalam

 Keratitis non supuratif.


 Keratitis supuratif.

 Berdasarkan etiologinya

o Keratitis infektif.

 Keratitis Bakterial.
 Keratitis Viral
 Keratitis Fungal.
 Keratitis Klamidial.
 Keratitis Protozoal.
 Keratitis Spirochaetal.

o Keratitis alergik.

 Keratitis phlyctenular.
 Keratitis vernal.
 Keratitis atopik.

o Keratitis trofik.

 Keratitis pajanan.
 Keratitis neuroparalitik.

o Keratitis terkait penyakit kulit dan membran mukosa.

o Keratitis terkait kelainan gangguan kolagen sistemik.

o Keratitis traumatik (mekanik, kimia, radiasi).

o Keratitis idiopatik.

17
1) Keratitis Superfisial dan Dalam

Pada lesi superfisial, dapat ditemukan:3

 Erosi epitel pungtata, merupakan tanda awal dari defek epitel, berupa defek berukuran
sangat kecil pada pulasan dengan fluorescein dan rose bengal.
 Keratitis epitel pungtata, berupa gambaran sel epitel yang granular, opalescent,
membengkak, disertai dengan infiltrat intraepitelial fokal, umumnya dapat terlihat
tanpa pulasan khusus.
 Infiltrat subepitelial.
 Keratitis pungtata superfisialis, dengan morfologi seperti titik.
 Filamen, berupa struktur seperti benang yang terdiri atas mukus dan sel epitel yang
telah mengalami degenerasi, bergerak dengan mengedip, dan menempel pada ujung
kornea.
 Edema epitel, umumnya disertai vesikel kecil dalam jumlah banyak atau bula.
 Neovaskularisasi superfisial, merupakan pertana adanya iritasi permukaan okular
kronik maupun hiposkia.
 Pannus, yaitu neovaskularisasi yang disertai dengan perubahan subepitelial dari limbus
yang bersifat degeneratif.

Gambar 4. Lesi Superfisial Kornea – Erosi epitel pungtata, Keratitis epitel pungtata, filamen, edema kornea
dengan bula, neovaskularisasi superfisial, pannus.3

18
Pada lesi dalam, dapat ditemukan:3

 Infiltrat, merupakan area fokal dengan inflamasi stromal akut yang tersusun atas sel
inflamatori disertai debris seluler maupun ekstraseluler dan nekrosis. Temuan yang
tampak adalah gambaran berwarna kekuningan atau putih kelabu pada stroma anterior.
Secara umum, infiltrat yang terbentuk dapat bersifat infektif maupun steril, dengan
pembeda sesuai dengan parameter pada tabel berikut:

Tabel 1. Karakteristik Infiltrat Kornea3

Parameter Infiltrat Infektif Infiltrat Steril

(Supuratif) (Non Supuratif)

Ukuran Besar Kecil

Progresi Cepat Lambat

Defek Epitel Umumnya ada dan besar Umumnya tidak ada dan kecil

Nyeri (Pain) Sedang – berat Ringan

Sekret (Discharge) Purulen Mukopurulen

Jumlah Lesi Tunggal Jamak

Lokasi pada Mata Unilateral Bilateral

Reaksi COA Berat Ringan

Lokasi Sentral Perifer

Reaksi Kornea Ekstensif Terbatas

di sekitarnya

 Ulserasi, merupakan tanda adanya ekskavasi jaringan terkait dengan defek epitel.
 Vaskularisasi.
 Deposisi lemak, penanda inflamasi kronik dengan kebocoran dari pembuluh darah
kornea yang baru.
 Lipatan pada membran Descemet, dapat dihasilkan dari edema kornea yang telah
melampaui batas toleransi endotelium.
 Descemetocele, merupakan herniasi dari membran Descemet ke dalam kornea dengan
gambaran menyerupai gelembung.

19
 Kerusakan pada membran Descemet.
 Gambaran kebocoran cairan pada tes Seidel. Tes ini dilakukan menggunakan tetes
fluorescein 2% pada slit lamp dengan cobalt blue filter untuk mendeteksi perubahan
dari warna jingga jelap menjadi hijau kuning terang.

Gambar 5. Lesi Dalam Kornea – Infiltrasi, ulserasi, vaskularisasi, deposisi lemak, lipatan pada membran
Descemet, kerusakan traumatik pada membran Descemet.3

20
2) Keratitis Infektif
a. Keratitis Bakterial

Keratitis bakterial dapat terjadi melalui dua mekanisme utama, yaitu kerusakan
epitelium kornea maupun infeksi pada area yang telah mengalami erosi. Kerusakan
epitel kornea dapat terjadi karena adanya abrasi kornea akibat benda asing,
misdireksi silia, ataupun trauma dalam penggunaan lensa kontak. Di samping itu,
kerusakan epitel juga dapat disebabkan oleh kekeringan epitel, nekrosis misalnya
pada keratomalasia, deskuamasi epitel akibat edema kornea, dan perubahan secara
trofik.

Sumber infeksi dapat berasal dari eksogen, misalnya sakus konjungtiva, sakus
lakrimalis, benda asing, maupun bagian tumbuhan yang terinfeksi, serta infeksi
melalui air. Infeksi dapat pula menyebar dari jaringan mata lain di sekitar kornea,
ataupun secara endogen walaupun cukup jarang terjadi.4

Organisme yang sering menyebabkan infeksi ini adalah Staphylococcus aureus,


Pseudomonas pyocyanea, Streptococcus pneumoniae, E. Coli, Proteus, Klebsiella,
N.gonorrhoea, N.meningitidis, dan C.diphtheriae.2-7 Secara umum, beratnya
infeksi bakteri yang terjadi bergantung pada virulensi organisme penyebab, toksin
yang dikeluarkan, enzim, serta respons jaringan pejamu.

 Gejala dan Tanda

 nyeri dan sensasi benda asing sebagai akibat dari efek mekanik dari kelopak
mata dan efek kimia dari toksin pada ujung saraf.

 hiperlakrimasi sebagai refleks mata,

 fotofobia karena stimulasi ujung saraf,

 pandangan buram, dan kemerahan pada mata karena kongesti pembuluh


darah.

Tanda Temuan dari pemeriksaan kornea yang diperoleh :

 defek epitel dengan infiltrat berwarna putih kelabu dengan batas tegas. Defek
kemudian meluas dan terjadilah efema stromal serta pelipatan membran
Descemet serta uveitis anterior.

21
 Tampakan ulkus bakteria adalah area berwarna putih kekuningan dengan
bentuk oval atau iregular, batas ulkus membengkak dan terangkat, basis ulkus
tertutup oleh jaringan nekrotik, dengan edema stroma di sekitar area ulkus

 gambaran hipopion maupun descemetocele, terutama pada infeksi


Pseudomonas.3,4

Gambar 3. Keratitis Bakterial – Defek epitel dan infiltrasi, pelebaran infiltrat,


hipopion, penyakit tahap lanjut, perforasi.3

 Pemeriksaan Penunjang

 umumnya dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan rutin, yaitu


hemoglobin, jumlah leukosit, hitung jenis, laju endap darah, glukosa, urinalisis,
serta analisa feses.

 pemeriksaan mikrobiologi untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan


menentukan tatalaksana. Spesimen yang dipakai adalah kerokan pda basis dan
batas ulkus kornea setelah pemberian anestesi lokal silokain 2%. Kemudian,

22
dilakukan pemeriksaan Gram dan Giemsa dan kultur pada medium agar darah.
Kerokan kornea umumnya tidak dilakukan apabila hanya terdapat infiltrat kecil
tanpa defek epitel yang jelas.2,3,4,5

Gambar 4. Pemeriksaan Penunjang pada Keratitis Bakteri.3

 Tatalaksana Umum

prinsip tatalaksana adalah terapi spesifik untuk agen penyebab, terapi suportif non
spesifik, serta tatalaksana tambahan.

Terapi spesifik mencakup administrasi antibiotik topikal dengan terapi inisial


mencakup organisme gram negatif dan positif. Umumnya, dipilih tetes mata
gentamycin 14 mg/ml atau tobramisin bersamaan dengan sefazolin (50 mg/ml) setiap
½ hingga 1 jam untuk beberapa hari pertama, kemudian dikurangi menjadi setiap 2 jam
sekali.2,4

Ketika telah diperoleh hasil kultur maupun tes sensitivitas, terapi dapat
disesuaikan dengan etiologi penyebabnya. Dalam hal ini, antibiotik sistemik umumnya
tidak dibutuhkan.2-7

23
Tabel 1. Pilihan Terapi pada Keratitis2,7

Terapi non spesifik yang dapat diberikan adalah agen siklopegik, analgesik, anti
inflamasi, serta vitamin. Agen siklopegik yang umumnya dipakai adalah tetes mata atau
salep atropin 1% untuk mengurangi nyeri dari spasme silier atau mencegah
pembentukan sinekia posterior, sekaligus meningkatkan suplai darah pada uvea anterior
dengan cara menurunkan tekanan pada arteri siliaris anterior, sehingga lebih banyak
antibodi yang dapat dibawa. Analgesik dan anti inflamasi yang umumnya digunakan
adalah parasetamol dan ibuprofen, untuk meredakan nyeri dan mengurangi edema.
Vitamin yang dipakai adalah A, B kompleks, dan C untuk membantu penyembuhan
ulkus.

Di samping itu, dapat pula dilakukan tatalaksana tambahan berupa pemberian


kompres hangat untuk menimbulkan vasodilatasi dan mengurangi nyeri, penggunaan
kacamata hitam untuk mencegah fotofobia, serta tirah baring.4

b. Keratitis Jamur

Secara umum, etiologi penyebab keratitis jamur antara lain:2-6

 Jamur penyebab, dapat berupa:

24
o Jamur berfilamen, contohnya Aspergillus, Fusarium, Alternaaria,
Cephalosporium, Curvularia, dan Penicillium.

o Jamur beragi, misalnya Candida dan Cryptococcus.

 Mode infeksi

Infeksi jamur dapat terjadi karena adanya trauma pada mata yang berkaitan
dengan tumbuhan (daun, ranting), perlukaan oleh ekor binatang, ataupun ulkus fungal
sekunder pada pasien dengan imunosupresi ataupun pasien dengan mata kering, pasien
dengan lensa kontak, keratitis herpetikum, atau setelah operasi keratoplasti.

Gejala yang umumnya dirasakan oleh penderitanya mirip degan gejala pada
ulkus kornea bakterial sentral, akan tetapi dengan ukuran yang lebih kecil dan
pertumbuhan yang lambat. Adapun tanda yang ditemukan antara lain:4

 Ulkus terlihat kering, nampak putih kelabu, dengan batasnya terelevasi ke luar.
 Di bawah epitelium yang intak, terdapat gambaran ekstensi seperti jari.
 Infiltrat supuratif berwarna putih kekuningan pada infeksi Candida.
 Gambaran infiltrat cincin berwarna kekuningan, bila terdapat interaksi dengan
antibodi pejamu.
 Lesi satelit kecil dan banyak di sekitar area luka.
 Hipopion besar.

Diagnosis dari keratitis jamur dapat ditegakkan melalui manifestasi klinis


yang muncul setelah trauma terkait dengan bagian dari tanaman, perburukan ulkus
yang bersifat kronik walaupun dengan terapi adekuat, serta pemeriksaan
laboratorium, dalam hal ini kerokan kornea. Kerokan korena diperiksa secara
mikroskopik dengan menggunakan KOH 10%. Kerokan keratitis jamur kecuali
Candida akan memberikan gambaran unsur hifa sedangkan kerokan candida
umumnya mengandung psedohifa atau bentuk ragi. Di samping itu, dapat pula
dilakukan pewarnaan Calcoflour White untuk melihat filamen fungi ataupun kultur
pada agar Saboraud.2,3,4,5

25
Gambar 9. Keratitis Mikotik.5

Tatalaksana yang dapat dilakukan antara lain:4


 Terapi spesifik, yaitu berupa tetes mata antifungal dengan natamisin 5%,
flukonazol 0,2% selama 6 – 8 minggu atau menggunakan salep mata nistatin
3,5%. Pada kasus berat, dapat pula diberikan obat – obatan sistemik, yaitu
flukonazole dan ketoconazole selama 2 – 3 minggu.
 Terapi non spesifik, yaitu rawat inap.
 Keratoplasti penetrasi terapeutik, pada kasus yang tidak responsif.

c. Keratitis Viral
I. Herpes Simples Keratitis.

Penyakit mata akibat herpes merupakan salah penyakit menular tersering yang
menyebabkan kebutaan kornea pada negara berkembang. Sebanyak 60% ulkus korna
pada negara berkembang disebabkan oleh virus herpes simpleks dan 10 juta orang di
dunia mengalami penyakit mata akibat herpes.

26
HSV merupakan virus dengan kapsul kuboidal dengan double stranded DNA
genome. Terdapat dua subtype dari HSV yaitu HSV-1 dan HSV-2. HSV-1
menyebabkan infeksi diatas pinggang (pada muka, bibir dan mata) dan HSV-2
disebabkan oleh infeksi veneral (genital herpes). Pada beberapa kasus HSV-2 dapat
menginfeksi mata melalui sekresi yang terinfeksi pada saat melahirkan (neonatal
konjungtivitis). Infeksi okuler Herpes Simpleks Virus (HSV) pada hospes
imunokompeten biasanya dapat sembuh dengan sendirinya, akan tetapi pada hospes
yang yang non-imunokompeten, termasuk pasien yang mendapat pengobatan
kortikosteroid topikal, perjalanannya mungkin terjadi menahun. Kortikosteroid topikal
dapat mengendalikan respons peradangan, namun memberikan peluang terjadinya
replikasi virus. Sehingga pada pengobatan dengan kortikosteroid topikal, harus
ditambahkan anti-virus. 2,3

Infeksi Primer3

Infeksi primer dari HSV tanpa adanya pajanan virus sebelumnya biasanya
muncul pada masa kanak-kanak. Infeksi ini disebarkan melalui transmisi droplet atau
inokulasi langsung. Karena antibodi dari maternal sehingga jarang sekali infeksi ini
muncul pada bayi berumur 6 bulan, walaupun pada beberapa kasus, dapat muncul
penyakit sistemuk neonatal. Kebanyakan infeksi sistemik muncul secara subklinis
hanya terdapat demam sedang, malaise, dan gejala traktur respiratori bagian atas.
Blepahiritis dan konjungtivits folikular dapat muncul akan tetapi biasanya ringan dan
dapat sembuh tanpa pengobatan. Pemberian tatalaksana biasanya dengan asiklovir
topikal ointment pada mata atau krim pada lesi kulit. Sesudah infeksi primer, virus ini
akan menetap di ganglion trigeminum.

Infeksi Rekurensi3

Infeksi rekurensi dapat muncul:

1. Setelah infeksi primer. Virus yang menetap di ganglian trigenminum akan dapat
muncul sebagai infeksi laten bagian dermatomnya dan tidak dapat dieradikasi
karena virus laten ini telah terinkorporasi dengan DNA host.

2. Reaktivasi subklinis. Reaktivasi subklinis dapat muncul pada secara periodik,


dan pada masa ini HSV dapat terpancarkan dan pasien dapat menularkan.

27
3. Reaktivasi klinis. Beberapa stressor seperti demam, perubahan hormonal,
radiasi UV, trauma atau kerusakan pada trigeminus dapat menyebabkan
reaktivasi klinis saat virus bereplikasi dan di transportasikan dari akson sensoris
kearah perifer.

4. Pola penyakit. Pola dari penyaki bergantung pada tempat reaktivasi yang dapat
muncul jauh daripada tempat penyakit primernya.

5. Perkiraan kemunculan ocular keratitis. Pada penyakit ini, 1 episode perkiraan


kemunculannya dalam 1 tahun adalah 10% dan 50% dalam 10 tahun. Semakin
banyak munculnya penyaki ini, makan resiko kemunculannya akan semakin
tinggi.

6. Faktor resiko penyakit lainnya. Karena adanya penyakit mata lainnyam maka
kemunculan rekurensi dapat semkain meningkat contohnya penyakit mata
atopic, imunodefisiensi atau supresi, malnutrisi, malaria, campak atau cacar air.
Penggunaan steroid topikal dapat meningkatkan perkembangan geografis dari
ulserasi.

Gejala dan Tanda2,3

Gejala pada umumnya berupa kemerahan, berair, iritasi, fotofobia dan mild
discomfort. Bila kornea bagian pusat yang terkena, terjadi sedikit gangguan penglihatan
(blurred vision). Karena anestesi kornea umumnya timbul pada awal infeksi, gejala
mungkin minimal. Sering ada riwayat lepuh-lepuh demam atau infeksi herpes lain,
namun ulserasi kornea kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala infeksi herpes
rekurens.

Gambar 5. Epitelial Keratitis Herpes Simpleks, A, Lesi Stelata, B, Ulkus Dendritik3

Lesi

28
Lesi paling khas adalah ulkus dendritik pada epitel kornea dengan pola
percabangan linear khas dengan tepian kabur dan bulbus-bulbus terminalis pada
ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendrit.

Ulserasi geografik penyakit dendritik kronik dengan lesi dendritiknya lebih


lebar. Sensasi kornea pada penyakit dendritik ini akan berkurang sehingga harus
diperiksa. Lesi kornea lainnya yang dapat disebabkan oleh HSV adalah blotchy
ephitelial keratitis, stellate epthelial keratitis, dan filamentery keratitis. Kesemua tipe
lesi ini merupakan transisi yang nanyia akan berubah menjadi dendrit tipikal dalam 24-
48 jam.

Kekeruhan subepitelial dapat disebabkan infeksi HSV. Bayangan mirip hantu,


yang bentunya sesuai dengan defek epitelial asli namun sedikit lebih besar, terlihat di
daerah tepat di bawah lesi epitel. Lesi subephitelial ini akan menghilang lebih dari 1
tahun.

Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi
HSV. Stroma pada daerah pusat mengalami edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi
yang berarti, dan umumnya tanpa vaskularisasi.Persipitat keratik tepat dapat berada di
bawah lesi diskiformis itu ataupun dapat beada di bawah endotel bersamaan dengan
anterior uveitis. Patogenesisnya dari keratitis diskiformis ini adalah sebuah reaksi
imunologik terhadap antigen virus dalam stroma atau endotel, bersamaan dengan
adanya penyakit virus aktif yang tidak dapat dikesampingkan. Edema merupakan tanda
terpenting, dan penyembuhan dapat terjadi dengan akhir jaringan parut dan
vaskularisasi minimal. Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal,
yang sering disertai vaskularisasi, terutama disebabkan replikasi virus. Penipisan dan
perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika ditambah dengan penggunaan
kortikosteroid topikal.

Lesi perifer kornea dapat pula ditimbulkan oleh HSV. Lesi-lesi ini umumnya
linear dan menunjukan kehilangan epitelial sebelum stroma kornea di bawahnya
mengalami infiltrasi (hal ini berlawanan dengan ulkus marginal pada hipersensitivitas
bakteri seperti pada blepharitis stafilokokus).

Terapi

Terapi keratitis HSV bertujuan untuk menghentikan replikasi virus pada kornea
dan menahan efek merusak dari respon radang.

29
1. Debridement
Untuk keratitis dendritik secara efektif adalah dengan debridement epitelial,
karena virus berlokasi dalam epitel. Selain itu juga mengurangi beban antigenik virus
pada stroma kornea. Permukaan kornea dibersihkan dengan spons selulose steril hingga
2 mm di luar ujung-ujung dendrite. Agen antiviral harus digunakan sebagai konjungsi.

2. Terapi obat
Agen anti-virus topikal yang dipakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Acyclovir oral (5x400mg) memiliki manfaatnya
untuk pengobatan penyakit herpes mata yang berat, khususnya pada pasien dengan
atopik yang rentan terhadap herpes mata dan kulit (eczema herpeticum).
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada
epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal
ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpontensi sangat merusak.
Pada peningkatan TIO maka penggunaan derivat prostalglandin harus dihindari akrena
dapar meningkatkan aktivitas virus herpes simples dan inflamasi.

3. Terapi bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi penglihatan
pasien yang mempunyai sikatrik kornea berat. Perforasi kornea akibat penyakit herpes
stroma atau superinfeksi bakteri atau fungi memungkinkan untuk dilakukan
keratoplasti penetrans darurat.

4. Pengendalian pemicu HSV rekurensi


Untuk mengendalikan mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi
HSV, aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, dan dapat diminum sebelum
menstruasi, pajanan berlebih terhadap sinar ultra-violet dapat dihindari dan keadaan-
keadaan yang dapat memicu timbulnya stres psikis dapat dikurangi.

Keratitis Herpes Zooster2,3

Infeksi virus varicella-zoster (VZV) terjadi dalam dua bentuk: primer (varicella)
dan rekurens (zooster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella, namun
sering terjadi pada zoster oftalmik. Pada varicella, lesi mata umumnya terjadi pada
kelopak, jarang timbul keratitis. Sedangkan zooster oftalmik relatif lebih sering
dijumpai, kerap disertai keratouveitis yang bervariasi tergantung keadaan imun

30
pasiennya. Pada orang dewasa (umumnya pada umur 60-70 tahun), penyakit ini
termasuk penyakit berat dan terkadang dapat mengakibatkan kebutaan. Komplikasi
kornea pada zooster oftalmik dapat diperkirakan jika terdapat erpsi kulit di daerah yang
dipersarafii oleh cabang nervus nasociliaris (pada bagian membrane mukus hidung
ujung hidung dan konjungtiva).

Gambar 6. Lesi Dendrit Keratitis Herpes Zooster.4

Keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior dari awal. Lesi epitelnya
berbercak dan amorf, sesekali terlihat pseudodendrit yang mirip dengan dendrit sejati
pada keratitis Herpes simplex virus. Kekeruhan stroma disebabkan oleh edema dan
sedikit infiltrat sel yang awalnya hanya terdapat pada daerah subepitelial. Kehilangan
sensasi kornea, dengan risiko terjadinya keratitis neurotopik selalu merupakan ciri khas
dan sering menetap hingga berbulan bulan setelah lesi kornea tampak sembuh. Uveitis
yang timbul cenderung menetap tetapi akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi
masalah berat pada keratitis jenis ini.

Obat antiviral intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk
mengobati herpes zoster oftalmik, khususnya pada pasien dengan sistem imun yang
terganggu. Dosis oral asiklovir adalah 800 mg lima kali sehari untuk 10-14 hari;
valasiklovir 1 g tiga kali sehari selama 7-10 hari; famsiklovir 500 mg per 8 jam selama
7-10 hari. Terapi hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulnya rash. Setelah 72 jam
tetapi dilakukan terapi yang sama untku dapat mengurangi tingkat keparahan dari
episode akut dan resiko postherpetic neuralgia.

Keratitis Acanthamoeba 2,3

Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang dapat ditemukan di tanah, air
kotor ataupun bersih dan traktus respiratori bagian atas. Infeksi ini biasanya
dihubungkan dengan penggunaan lensa kontak yang dipakai semalaman atau pada
individu memakai lensa kontak setelah terpapar air atau tanah yang tercemar.

31
Gejala awal adalah rasa nyeri yang tidak sebanding dengan temuan klinisnya,
kemerahan, dan fotofobia. Tanda klinis yang khas adalah ulkus kornea indolen, cincin
stroma, dan infiltrat perineural, tetapi sering kali hanya ditemukan perubahan-
perubahan yang terbatas pada epitel kornea.

Investigasi penyebab dapat dilakukan dengan:

1. Pewarnaan. kerokan kornea yang diwarnai dengan periodic acid-Schiff atau


calcofluor white. Pada pewarnaan gram dan giemsa juga dapat ditemukan kista.

2. Kultur. kultur dilakuan pada di atas media khusus (agar nonnutrien yang dilapisi
E coli), spesimen diambil melalui biopsi kornea agar didapatkan bentuk-bentuk
amuba. Perlu diketahui bahwa 30% pasien memiliki hasil kultur negative dan
kultis pada lensa kontak dapat ditemukan acanthamoeba dan gram negatif.
Larutan dan tempat lensa kontak harus dikultur, karena bentuk amuba dapat
ditemukan pada cairan tempat lensa kontak.1

3. Teknik yang lebih modern adalah sitologi impresi dan confocal microscopy.
Immunochemistry, PCR dan biopsi kornea.

Terapi dapat dilakukan dengan debridemen. Debridemen epitel bisa bermanfaat


pada tahap awal penyakit. Terapi dengan obat umumnya dimulai dengan isethionate
propamidine topikal (larutan 1 %) dan polyhexamethylene biguanide (larutan 0,01-
0,02%) dan tetes mata neomycin forte. Mungkin diperlukan keratoplasti pada penyakit
yang telah lanjut.

3) Keratitis Non Infektif


a. Keratitis Alergi

Phlyctenular Keratoconjuntivitis

Merupakan penyakit hipersensitivitas (hipersensitivitas tipe-4) biasanya


karena human tubercle bacillus. Phlyctenular merupakan akumulasi lokal limfosit,
monosit, makrofag, dan neutrofil. Muncul pertama kali di limbus dan serangan
rekurensi dapat meliputi kojungtiva bulbi dan kornea. Kornea phlyctenular biasanya
bilateral, sikatrik dan vaskularisasi. Konjungtiva phlyctenular tidak meninggalkan
jejas. Pada phlyctenular yang tidak mendapatkan terapi akan sembuh dalam 10-14
hari, terapi topikal dengan kortikosteroid dapat menurunkan prosesnya menjadi 1-
2 hari.2

32
Alergen Penyebab: 2
1. Pretein tuberkulosa, dulu dipikirkan sebagai penyebab tersering
2. Protein stafilokokus, saat ini dipikirkan sebagai penyebab terbanyak
3. Alergen lain, dapat berasal dari protein Moraxella Axenfeld dan parasit
tertentu.

Faktor Predisposisi:2

1. Usia. Kelompok usia puncak 3-15 tahun.


2. Jenis Kelamin. Insidens lebih banyak terjadi pada anak wanita daripada anak
laki-laki.
3. Kurang gizi. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak kurang gizi.
4. Kondisi lingkungan. Terutama pada daerah padat an tidak higienis.
5. Musim. Muncul pada seluruh iklim tapi insidens jauh lebih tinggi pada musim
semi dan panas.

Terlibatnya kornea dapat terjadi sekunder dari ekstensi fikten


konjungtiva, kejadian primer jarang terjadi. Keratitis ini dapat muncul dalam 2
bentuk: keratitis fliktenular ulseratif atau keratitis infiltratif difus2,4.

33
Keratitis Vernal4

Keratitis vernal atau keratokonjungtivitis vernal. Keratitis ini terjadi


berulang, bilateral, interstisial, self-limiting, inflamasi alergik dari konjungtiva yang
mengalami inflamasi pada musim-musim tertentu. Keratokonjungtivitis
dikarakteristikan dengan sensasi panas (burning) dan gatal yang tidak dapat
ditoleransi dan meningkat pada atmosfir yang panas dan lembab. Gejala lainnya
berupa fotofobia ringan, lakrimasi, dan kelopak mata yang berat.

Keratokonjungtivitis vernal merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang


disebabkan oleh alergen eksogen, seperti sebuk sari. Keratokonjungtivitis vernal
dianggap sebagai kelainan alergik atopi dimana mekanisme yang memediasi Ig-E
berperan penting. Riwayat atopik lainnya perlu ditanyakan.

Faktor Predisposisi:
1. Umur dan jenis kelamin. 4-20 tahun. Lebih sering terjadi pada anak laki-laki
daripada anak perempuan.
2. Musim. Paling sering terjadi pada musim panas. Nama lain dari penyakit ini
adalah warm weather conjunctivitis/ spring catarrh.
3. Iklim. Lebih sering pada iklim tropis, sangat jarang terjadi pada musim dingin.
Keratitis Atopik4

Keratitis ini dapat dianalogikan sebagai tipe dewasa dari


keratokonjungtivitis vernal. Kebanyakan dari pasien ini adalah dewasa muda atopik
dengan predominansi pada laki-laki. Gejala mencakup gatal, sakit, sensai kering,
discharge mukoid, fotofobia, pandangan buram. Pada pemeriksaan ditemukan:
1. Inflamasi kronis di batas posterior berbentuk bulat di batas kelopak mata.
2. Konjungtiva tarsal menunjukkan kenampakan seperti susu dan terdapat papila
halus, hiperemia, dan jaringan parut yang mengkisut.
3. Kornea dapat terlihat keratitis epitelial pungtata, seringnya lebih parah di
bagian bawah. Dapat ditemukan adanya vaskularisasi kornea, penipisan, dan
plak.
Manifestasi klinis dari keratokonjungtivitis atopik, seperti atopi lainnya
dapat terjadi fase eksaserbasi dan remisi. Seperti keratokonjungtivitis vernal,
keratokonjungtivitis atopik cenderung menjadi inaktif saat memasuki umur >50
tahun.

34
Keratitis Neuroparalisis2,4

Keratitis ini muncul karena interupsi dari saraf sensorik trigeminus yang
menyuplai kornea. Interupsi ini bisa disebabkan oleh trauma, pembedahan, tumor,
inflames, atau penyebab lainnya. Hal ini menyebabkan kornea kehilangan
sensitivitasnya terhadap simulasi kedip yang merupakan salah satu mekanisme
pertahanan terbaik untuk mencegah degenerasi, ulserasi dan infeksi.

Etiologi
1. Kongenital
 Disautonomia (sindrom Riley-Day)
 Insensitivitas kongenital terhadap nyeri
 Displasia ektodermal anhidrosis
2. Didapat

 Setelah blok alkohol atau elektrokoagulasi ganglion Gasseria atau seksio


akar sensorik saraf trigeminus karena neuralgia trigeminus

 Neoplasma yang menekan ganglion Gasserian

 Destruksi ganglion Gasserian karena infeksi akut pada herpers zoster


oftalmikus

 Infeksi akut ganglion gasserian karena virus herpes simplex

 Neuropati sifilitik

 Progresi dari morbus hansen

 Trauma pada ganglion Gasserian

Patogenesis

Belum dikatahui secara jelas pathogenesis dari keratitis ini, menurut


teorinya gangguan dalam refleks kornea antidromik yang muncul karena paralisis
saraf V. Sebagai konsekuensinya aktivitas metabolis epitel kornea terganggu,
sehingga terjadi akumulasi metabolit yang selanjutnya menyebabkan edema dan
eksfoliasi dari sel epitel karena ulserasi. Perubahan kornea dapat muncul pada
kehadiran refleks kedip normal dan sekresi lakrimal normal.

Manifestasi klinis

35
a. Gambaran khasnya tidak terdapat nyeri, tidak ada lakrimasi, dan hilangnya
seluruh sekresi kornea
b. Kongesti silier
c. Kornea kusam
d. Perubahan awal kornea adalah dengan pembentukan erosi epitel di area intra-
palpebra diikuti oleh ulserasi karena eksfoliasi epitel kornea
e. Sering terjadi relaps, jaringan parut yang telah terbentuk bahkan dapat rusak.
Tatalaksana

Tatalaksana awal sebelumnya adalah dengan artificial tear drops dan


lubricant ointment untuk menjaga agar kornea tetapi lembab. Pada kasus telah
berkembang menjadi keratitis, maka talaksana awal adalah dengan salep mata
antibiotik dan atropin dan dipasang penutup mata. Penyembuhan biasnaya sangat
lambat. Modalitas tatalaksana yang juga dapat dijadikan pilihan adalah tetes mata
topikal faktor pertumbuhan saraf dan transplantasi membran amniosis.

Jika terjadi relaps, dapat dilakukan tarsorafi lateral yang paling tidak harus
dijaga hingga satu tahun bersaman dengan penggunaan air mata buatan.

Keratitis Pajanan

Kornea secara normal tertutup oleh kelopak mata selama tidur dan secara
konstan dijaga kelembabannya melalui mekanisme berkedip saat terjaga. Ketika
kelopak tidak dapat tertutup secara adekuat, muncullah keratopati pajanan / keratitis
lagoftalmus. Proses ini diikuti oleh mengeringnya epitel kornea, desikasi /
pembuangan epitel, dan akhirnya invasi dari mikroorganisme. Desikasi umumnya
muncul pada area interpalpebral sehingga terjadi keratitis epitelial pungtata diikuti
dengan nekrosis, ulserasi, dan vaskularisasi.4

36
37
5. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi dan prognosis bergantung pada perjalanan dan lokasi penyakit.
Pada VKC dan AKC jika memberi komplikasi ulkus kornea akan menyebabkan visual
loss. Penggunaan steroid topikal jangka panjang memberi komplikasi berupa katarak
dan glaukoma.

DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan D. Opthalmologi Umum. Edisi 14. Widya Medika, Jakarta, 2010


2. Ilyas, Sidartha. 2009. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-6. Balai Penerbit FK UI, Jakarta
3. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. External disease and cornea. Italia: American
Academy of Ophtalmology; 2014.
4. Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. Oxford American handbook of
ophthalmology. New York: Oxford University Press; 2011
5. Ferrer FJG, Schwab IR, Shetlar DJ. Conjunctiva. In Vaughan and Asbury’s General
Ophthalmology.16th ed. USA: Mc.Graw-Hill companies; 2007.
6. Lang GK. Conjunctiva. In Lang ophthalmology. New York: Thieme; 2000.
7. Nischal, Pearson. Kanski Clinical Ophtalmology. 7th ed. [ebook]. Elsevier. 2011

38

Anda mungkin juga menyukai