Anda di halaman 1dari 15

A.

ANATOMI FISIOLOGI

Anatomi kandung empedu

(Dikutip dari Amirudin 2006)

Kandung Empedu adalah kantong berotot yang berbentuk buah pir, yang berada
dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu memiliki panjangn sekitar 7-9 cm dan
dapat berisi kira-kira 60 cc. Kandung empedu menempel pada hati oleh jaringan ikat
longgar, yang mengandung vena dan saluran limfatik yang menghubungkan kandung
empedu dengan hati. Kandung empedu dibagi menjadi empat area anatomi: fundus,
korpus, infundibulum, dan kolum. . Fungsi utamnya adalah untuk menyimpan dan
memekatkan empedu, yang di produksi di hati.

B. Definisi
Kolangitis adalah infeksi bakteri dari saluran empedu yang terseumbat baik
secara parsiil atau total, sumbatan biasanya disebabkan dari dalam lumen saluran
empedu misalnya batu koledokus atau dari luar lumen misalnya karsinoma caput
pankreas yang menekan duktus koledokus, atau dari dinding saluran empedu misalnya
kolangio-karsinoma atau struktur saluran empedu (Nurman, 1999)
Kolangitis adalah suatu infeksi bakteri akut pada sistem saluran empedu.
Charcot ditahun 1877 menjelaskan tentang keadaan klinis dari kolangitis, sebagai trias,
yaitu demam, ikterus dan nyeri abdomen kuadran kanan atas, yang dikenal dengan
’’Charcot triad’’. Charcot mendalilkan bahwa ’’empedu stagnan’’ karena obstruksi
saluran empedu menyebabkan perkembangan kolangitis
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa cholangitis adalah
infeksi akut oleh bacteri pada saluran empedu yang diakibatkan kolonisasi atau
perkembangan bacteri dalam saluran empedu,hal tersebut dikarenakan ada stagnasi
aliran garam empedu dari kantung empedu akibat adanya sumbatan seperti kolelithiasis,
striktur saluran empedu, sirosis hati dan lain lain.

C. Etiologi
Sebagian besar kasus cholangitis disebabkan oleh infeksi bakteri. Saluran empedu
yang tersumbat, misalnya diakibatkan oleh batu empedu atau tumor, bisa menyebabkan
bakteri berkembang biak di dalamnya dan menyerang saluran empedu.
Selain pada seseorang yang mengalami penyumbatan saluran empedu, risiko terkena
cholangitis juga bisa terjadi pada:

 Pemilik riwayat batu empedu


 Penderita sclerosing cholangitis
 Penderita penyempitan saluran empedu
 Penderita HIV/AIDS
 Seseorang yang mengunjungi wilayah rawan infeksi parasit

D. Klasifikasi
Klasifikasi kolangitis menurut Tokyo Guidelines (Wada et al, 2007):
Kriteria Mild (Grade I) Moderate (Grade Severe (Grade
II) III)
Disfungsi Organ Tidak Tidak Ya
Respon terhadap
Ya Tidak Tidak
terapi
Mild (Grade I) didefinisikan sebagai kolangitis yang dapat berespon terhadap terapi.
Moderate (Grade II) didefinisikan sebagai kolangitis yang tidak dapat berespon dengan
pengobatan dan tidak menimbulkan disfungsi organ.
Severe (Grade III) didefinisikan kolangitis yang tidak dapat berespon dengan
pengobatan dan menimbulkan disfungsi organ seperti:
1. Kardiovaskuler: hipotensi
2. Saraf: penurunan kesadaran
3. Pernapasan: PaO2 < 300
4. Renal: Serum kreatinin > 2.0 mg/dl
5. Liver: PT-INR > 1.5
6. Hematology: Platelet count < 1000.000/ul

E. Tanda dan Gejala


Seseorang yang menderita cholangitis biasanya akan mengalami gejala-gejala berupa:

 Nyeri pada perut atas bagian tengah atau kanan


 Warna tinja cokelat tua (warna tanah liat)
 Warna urine menjadi gelap
 Mual
 Muntah
 Demam
 Badan menggigil
 Kulit menguning (penyakit kuning) yang dapat hilang timbul

Bentuk nyeri akibat cholangitis bervariasi, ada yang terasa tajam, tumpul, atau
menyerupai kram. Selain pada perut bagian tengah atau kanan, kadang-kadang nyeri
bisa terasa sampai punggung dan bagian bawah tulang belikat kanan.
Cholangitis bisa diderita oleh siapa saja, baik laki-laki atau perempuan. Sebagian
besar kasus terjadi pada usia 50-60 tahun. Pada kondisi yang parah, cholangitis berisiko
menyebabkan kematian jika diabaikan atau tidak ditangani secara benar. Tingkat
kematian akibat cholangitis dilaporkan berkisar antara 13-88 persen.

F. Patofisiologi
Adanya hambatan dari aliran cairan empedu akan menimbulkan stasis cairan
empedu dan apabila berlangsung lama maka akan terjadi kolonisasi bakteri dan
pertumbuhan kuman yang berlebihan. Bakteri ini berasal dari flora duodenum yang
masuk melalui sfingter Oddi, dapat juga dari penyebaran limfogen dari kandung
empedu yang meradang akut (Nurman, 1999). Mikroorganisme yang menyebabkan
infeksi pada kolangitis akut yang sering dijumpai adalah bakteri gram (-) enterik E.
Coli, Klebsiella, Streptococcus faecalis dan bakteri anaerob. Bakteri seperti
Proteus,Pseudomonas dan Enterobacter enterococci juga tidak jarang ditemukan (Malet,
1996). Kolangitis terjadi akibat kombinasi dari adanya hambatan dari aliran cairan
empedu yang berlangsung lama dan terjadi kolonisasi dan proliferasi bakteri.
Adanya tekanan yang tinggi dari saluran empedu yang tersumbat, bakteri akan
kembali (refluks) ke dalam saluran limfe dan aliran darah dan dapat mengakibatkan
sepsis (Nurman, 1999). Selain itu, beberapa dari efek serius kolangitis dapatdisebabkan
oleh endotoksemia yangdihasilkan oleh produk pemecahan bakterigram negatif.
Endotoksin diserap di usus lebih mudah bila terdapat obstruksi bilier, karena ketiadaan
garam empedu yang biasanya mengeluarkan endotoksin sehingga mencegah
penyerapannya. Selanjutnya kegagalan garam empedu mencapai intestin dapat
menyebabkan perubahan flora usus. Selain itu fungsi sel-sel Kupfer yang jelek dapat
menghambat kemampuan hati untuk mengekstraksi endotoksin dari darah portal. Bila
mana kolangitis tidak diobati, dapat timbul bakteremia sistemik yang dapat
menimbulkan abses hati (Malet, 1996).
PATH WAY
G. Manifestasi Klinis
Adanya manifestasi klinis pada 54% kasus berupa Trias Charcot yaitu demam,
ikterus dan nyeri abdomen kuadran kanan atas. Nyeri ini bersifat kolik, menjalar ke
belakang atau ke skapula kanan, kadang-kadang nyeri bersifat konstan (Nurman, 1999).
Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala lain seperti mual dan muntah yang
dapat mengakibatkan penurunan nafsu makan sehingga asupan nutrisi berkurang yang
dapat mengakibatkan kelelahan serta menurunnya berat badan pada penderita
kolangitis. Pasien dengan kolangitis supuratif selain menunjukkan manifestasi klinis
berupa trias charcot tapi juga menunjukkan adanya penurunan kesadaran dan hipotensi
(Cameron, 1997).

H. Pemeriksaan Diagnostik
1. Anamnesa
Pada saat anamnesa biasanya klien mengeluh nyeri abdomen kanan atas, perut terasa
mual dan kadang pasien juga muntah. Selain itu, pada saat anamnesa ditemukan
riwayat penyakit terdahulu seperti batu kandung empedu dan saluran empedu, pasca
cholecystectomy, riwayat cholangitis sebelumnya (Brunicardi et al, 2007),
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan triad charcot yaitu berupa demam, ikterus, dan
nyeri abdomen kanan atas. Gejala lain yaitu kekakuan, pruritus, tinja yang acholis
atau hypocholis, dan malaise, hepatomegali ringan, hipotensi, sepsis. Pada
pemeriksaan abdomen selain ada nyeri biasanya ditemukan hepatomegali, asites
dengan shifting dulness, dan jika sudah parah bisa menimbulkan peritonitis.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagian besar penderita mengalami hiperbilirubinemia sedang. Peningkatan
bilirubin yang tertinggi terjadi pada obstruksi maligna. Tes fungsi hati termasuk
alkali fosfatase (GGT) dan transaminase serum (SGOT/SGPT) juga sedikit
meningkat yang menggambarkan proses kolestatik (Cameron, 1997). Pada beberapa
pasien bahkan dapat meningkat secara menyolok menyerupai hepatitis virus akut.
Pemeriksaan darah rutin : leukosit  pada pasien dengan cholangitis 79% memiliki
sel darah putih melebihi 10.000/ml dengan angka rata rata 13.600. pasien sepsis
dapat leukopenik.
4. Foto Polos Abdomen
Pada pemeriksaan ini diharapkan dapat melihat batu opak dikandung empedu atau di
duktus koledokus. Kadang-kadang pemeriksaan ini dipakai untuk skrening, melihat
keadaan secara keseluruhan dalam rongga abdomen (Soetikno, 2007).
5. Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG sangat mudah melihat pelebaran duktus biliaris intra/ekstra
hepatal sehingga dengan mudah dapat mendiagnosis apakah ada ikterus onstruksi
atau ikterus non obstruksi. Apabila terjadi sumbatan daerah duktus biliaris yang
paling sering adalah bagian distal maka akan terlihat duktus biliaris komunis melebar
dengan cepat yang kemudian diikuti pelebaran bagian proximal.Untuk membedakan
obstruksi letak tinggi atau letak rendah dengan mudah dapat dibedakan karena pada
obstruksi letak tinggi atau intrahepatal tidak tampak pelebarandari duktus biliaris
komunis. Apabila terlihat pelebaran duktus biliaris intra dan ekstrahepatal maka ini
dapat dikategorikan obstruksi letak rendah (distal) (Soetikno, 2007).
6. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP) adalah pemeriksaan duktus
billiaris dan duktus pankreatikus dengan memakai pesawat MRI, dengan memakai
heavily T2W acquisition untuk memaksimalkan signal dari cairan yang menetap
pada duktus biliaris dan duktus pankreatikus (Soetikno, 2007).
7. ERCP
Endoskopik merupakan selang kecil yang mudah digerakkan yang menggunakan
lensa atau kaca untuk melihat bagaian dari traktus gastro intestinal. Endoscope
Retrograde Cholangiopancreotography (ERCP) dapat lebih akurat menentukan
penyebab dan letak sumbatan serta keuntungannya juga dapat mengobati penyebab
obstruksi dengan mengeluarkan batu dan melebarkan peyempitan.
Gambar. 4 Menunjukkan endoscope Cholangiopancreotography
(ERCP) dimana menunjukkan duktus biliaris yang berdilatasi
pada bagian tengah dan distal (dengan gambaran feeling defect)

I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan berdasarkan derajat kolangitis (Erina et al, 2011):
a. Kolangitis grade I
Pemberian terapi medikamentosa direspon dengan baik oleh pasien. Setelah itu,
dapat dipertimbangkan untuk melakukan drainase bilier dengan menggunakan
endoskopi, perkuatneus, ataupun drainase terbuka.
b. Kolangitis grade II
Pada pasien ini tidak berespon baik dengan medikamentosa. Selain itu, muncul
tanda-tanda gagal organ. Pada pasien ini, dilakukan drainase bilier awal dengan
menggunakan endoskopi atau perkutaneus drainase. Terapi definitif dengan
menghilangkan sumber sumbatan dilakukan setelah kondisi klien stabil.
c. Kolangitis grade III
Pada pasien ini memerlukan terapi suportif seperti ventilator, obat-obatan inotropik,
terapi medikamentosa. Drainase bilier dilakukan secepatnya segera setelah kondisi
pasien stabil.
Penalaksnaan Konservatif
Penatalaksanaan awal kolangitis adalah terapi konservatif dimana keseimbangan
cairan dan elektrolit harus dikoreksi dan penggunaan antibiotik. Antibiotik yang dipakai
pada kasus ringan sampai berat adalah cephalosporin (misalnya cefazolin, cefixitin).
Pada kasus berat digunakan aminoglikosida ditambah dengan clindamycin atau
metronidazole. Saluran empedu yang mengalami obstruksi harus didrainase sesegera
munkin pada pasien dengan kondisi stabil.

Dekompresi Biliaris
Sebagian besar pasien (sekitar 70%) dengan kolangitis akut akan berespon terhadap
terapi antibiotik saja. Pada kasus tersebut demam menghilang dan tes fungsi hati
kembali ke normal dalam 24 sampai 48 jam. Jika pasien tidak menunjukkan perbaikan
dalam 12 sampai 24 jam pertama, dekompresi biliaris darurat harus dipertimbangkan.
Pada sebagian besar kasus, dekompresi biliaris dilakukan segera secara non operatif
baik dengan jalur endoskopik maupun perkutan. Yaitu: (Sabiston, 1968 dan Cameron,
1997).
a. Penanggulangan sfingterotomi endoskopik
Apabila setelah tindakan di atas keadaan umum tidak membaik atau malah semakin
buruk, dapat dilakukan sfingterotomi endoskopik, untuk pengaliran empedu dan
nanah serta membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa
nasobilier. Apabila batu duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm,
sfingterotomi endoskopik mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada
penderita ini mungkin dianjurkan litotripsi terlebih dahulu (De Jong, 1997 dan
Burkitt, 1996).
b. Lisis batu
Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil pada batu
kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita dengan pengobatan selama satu
sampai dua tahun. Lisis kontak melalui kateter perkutan kedalam kandung empedu
dengan metil eter berhasil setelah beberapa jam. Terapi ini merupakan terapi invasif
walaupun kerap disertai dengan penyulit (De Jong, 1997).
c. ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) adalah penghancuran batu saluran
empedu dengan menggunakan berbagai jenis lithotripter yang dilengkapi dengan
pencitraan flouroskopi sebelum prosedur, diperlukan sfingterotomi endoskopik dan
pemasangan kateter nasobiliaris untuk memasukkan material kontras. Terapi
dilanjutkan sampai terjadi penghancuran yang adekuat atau telah diberikan
pelepasan jumlah gelombang kejut yang maksimum (Cameron, 1997; De Jong, 1997;
Josh, 2006).
d. PTBD ( Percutaneous Transhepatik Biliar Drainage)
Pengaliran bilier transhepatik biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai salah
satu alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau mengurangi ikterus
berat pada obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Pada pasien dengan
pipa T pada saluran empedu dapat juga dimasukkan koledokoskop dari luar untuk
membantu mengambil batu intrahepatik (De Jong, 1997; Brunicardi, 2000).

Penatalaksanaan Definitif
a. Kolesistektomi Terbuka
Merupakan operasi yang membutuhkan anestesi umum kemudian dilakukan irisan
pada bagian anterior dinding abdomen dengan panjang 12-20cm
Teknik operasi kolesistektomi terbuka
Dilakukan dengan insisi subtotal kanan (Kocher) sebagai salah satu insisi yang serbs
guna dalam diseksi lambung empedu dan saluran empedu.
b. Kolangiografi operatif
Dilakukan secara rutin untuk mendapatkan peta anatomik di daerah yang sering
mengalami anomalidan untuk menyingkirkan batu empedu yang tidak dicurigai.
Kolangiografi dilakukan mengan menggunakan kanlua kangiografi seperti Berci
Lehman dn Colangiocath. Insisi dibuat di saluran sistikus Insisi harus cukup besar
untuk memasukkan kanula Kanula dipertahankan ditempatnya dengan hemoclip.
Kemudian material kontras dimasukkan yaitu hypaque 25%. Sistem operasi
kolangiografi adalah fluorokolangiopatidengan penguatan citra serta monitor televisi.
Ini memungkinkan pengisian saluran empedu secara lambat dan pemaparan multiple
saluran sistem saat diisi.
c. Laparoskopi Kolesistektomi
Merupakan cara invasif untuk mengangkat batu empedu dengan menggunakan teknik
laparoskopi. Kontraindikasinya adalah sepsis abdomen, gangguan pendarahan
kehamilan.
d. Eksplorasi koledokus: eksplorasi laparoskopi duktus empedu
Umumnya sebelum tindakan operatif batu duktus empedu dideteksi dengan
kolangiografi intraoperatif mengalirkan saline melalui kateter kolangiografi setelah
sfingter oddi direlaksasikan dengan glukagoN. Jika irigasi tidak berhasil, dapat
dilakuakan pemasangan kateter balon melalui duktus sisikus dan turun ke duktus
empedu.

J. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dari penyakit kolangitis terutama yang derajat tinggi
(kolangitis supuratif) adalah sebagai berikut:
1. Abses hati piogenik
Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada anak
dan dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada orang tua
sebagai komplikasi penyakit saluran empedu seperti kolangitis. Infeksi pada
saluran empedu intrahepatik menyebabkan kolangitis yang menimbulkan
kolangiolitis dengan akibat abses multiple (De Jong, 1997).
2. Bakteremia, sepsis bakteri gram negatif
Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam aliran darah (25-40%).
Komplikasi bakteremia pada kolangitis dapat terjadi oleh karena etiologi utama
penyebab terjadinya kolangitis adalah infeksi bakteri. Demam merupakan keluhan
utama sekitar 10-15%
3. Peritonitis sistem bilier
Kebocoran empedu dalam ruang peritoneal menyebabkan iritasi dan peritonitis.
Jika empedu terkena infeksi, maka akan menyebabkan peritonitis dan sepsis yang
mempunyai resiko tinggi yang sangat fatal.
4. Kerusakan duktus empedu
Duktus empedu dapat dengan mudah rusak pada tindakan kolesistektomi atau
pada eksplorasi duktus empedu yang tidak sesuai dengan anatominya. Kesalahan
yang sangat fatal adalah tidak mengetahui cara melakukan transeksi atau ligasi
pada duktus.
5. Perdarahan
Arteri hepatik dan arteri sistikus serta vaskularisasi hepar lainnya dapat
mengalami trauma dan perdarahan pada saat melakukan operasi. Perdarahan yang
terjadi kadang susah untuk dikontrol.
6. Kolangitis asendens dan infeksi lain
Kolangitis asendens adalah komplikasi yang terjadinya lambat pada pembedahan
sistem bilier yang merupakan anastomosis yang dibentuk antara duktus empedu
dan usus besar bagian asendens. Refluks pada bagian intestinal dapat berlanjut
menjadi infeksi aktif sehingga terjadi stagnan empedu pada sistem duktus yang
menyebabkan drainase tidak adekuat.
Komplikasi lain yang harus diperhatikan pada pembedahan sistem bilier adalah
abses subp\frenikus. Hal ini harus dijaga pada pasien yang mengalami demam
beberapa hari setelah operasi. Komplikasi yang berhubungan dengan pemakaian
kateter pada pasien yang diterapi dengan perkutaneus atau drainase endoskopik
adalah perdarahan (intra-abdomen atau perkutaneus) dan sepsis.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN SECARA UMUM

A. Pengkajian
a. Identitas
Cholangitis cukup jarang terjadi, biasanya terjadi bersamaan dengan penyakit lain
yang menimbulkan obstruksi billier dan bactibilia misal setelah prosedur ERCP,
1-3% pasien mengalami cholangitis.
b. Keluhan utama pada penderita kolangitis, klien mengeluh demam, ikterus dan
nyeri abdomen kuadran kanan atas. Nyeri ini bersifat kolik, menjalar ke belakang
atau ke skapula kanan, kadang-kadang nyeri bersifat konstan.
c. Riwayat penyakit
 Riwayat penyakit dahulu
Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu, contohnya riwayat dari
keadaan berikut dapat meningkatkan resiko cholangitis
 Batu kandung empedu atau batu saluran empedu
 Pasca cholecystectomy
 ERCP cholangiogram
 Riwayat cholangitis sebelumnya
 Riwayat HIV/AIDS: choalngitis yang berhubungan dengan aids memliki ciri
edema bilier ekstrahepatik ulserasi dan obstruksi bilier
 Riwayat penyakit sekarang
Banyak pasien yang datang dengan ascending cholangitis tidak memiliki
gejala klasik tersebut. Sebagian besar pasien mengeluh nyeri abdomen kuadran
lateral atas. Gejala lain yang dapat terjadi meliputi: jaundice, demam,
menggigil dan kekakuan.
 Riwayat penyakit keluarga
Perlu dikaji apabila klien mempunyai penyakit keturunan seperti diabetes
mellitus, hipertensi, anemia.
d. Pemeriksaan fisik
Sistem pernafasan
Inspeksi : pergerakan dinging dada simetris, pernafasan dangkal, klien tampak
gelisah
Palpasi : vocal vremitus teraba merata
Perkusi : sonor
Auskultasi : tidak terdapat suara tambahan (ronchi, wheezing)
Sistem kardiovaskuler
Terdapat takikardi dan diaphoresis
Sistem neurologi
Tidak terdapat gangguan pada system neurologi
Sistem pencernaan
Inspeksi : tampak ada distensi abdomen diperut kanan atas klien mengeluh mual
muntah
Auskultasi : peristaltic usus 5-12x / menit flatulensi
Perkusi : adanya pembengkakan di abdomen atas/ kuadran kanan atas, nyeri tekan
epigastrium
Sistem eliminasi
Warna urine lebih pekat dan warna feses seperti tanah liat
Sistem integument
Terdapat ikterik/jaundice dengan kulit berkeringat dan gatal
Sistem musculoskeletal
Terdapat kelemahan otot karena gangguan produksi ATP
B. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko infeksi berhubungan dengan supresi respon inflamasi dan statis cairan
empedu.
2. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung empedu.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual muntah, nyeri abdomen dan kurang minat pada makanan.
4. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi.
5. Gangguan pola tidur berhubungan dengan iritasi lumen.
6. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan pigmentasi (ikterus).
DAFTAR RUJUKAN

Ahern, Nancy R. Dkk, 2009. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Ed. 9. Jakarta:
EGC.Ardini,
Pearce, Evelyn C,2017. Anatomi Dab Fisiologi Untuk Paramedis.Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, dkk. Cholangitis in Schwartz Principles of Surgery,
Eight edition, New York ; McGraw-Hill, 2007, p : 1203-1213

Cameron L, John, Terapi bedah Mutakhir, Edisi 4, Binarupa Aksaram Jakarta, 1997, hal
: 476-479
De Jong, Wim. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Dorland, Newman. 2011. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.
Erina, Outry Siregar Nurhayat Usman, Kiki Lukman. 2011. Pola Kuman di Duktus
Biliaris dan Test Resistensi/Sensitifitas terhadap Antimikroba pada Pasien
Ikterus Obstruktif di Duvisi Bedah Digestif , Departemen Ilmu Bedah RSHS.
Bandung: Universitas Padjajaran
Nursing Diagnostik Nanda Nic Noc 2016
Nurman, A. 1999. Kolangitis Akut Dipandang dari Sudut Penyakit Dalam. J.
Kedokteran Trisakti 18 (3): 1-7
Peate, N. 2015. Dasar-dasar Patofisiologi Terapan. Jakarta: PT Paragonama Jaya
Soetikno, Rista D. 2007. Imaging Pada Ikterus Obstruksi. Bandung: Bagian/UPF
Radiologi FKUNPAD/RSUP dr. Hasan Sadikin.
Wada K, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y. Miura F, Yoshida M, Mayumi T, Strasberg
S, Pitt HA, Gadacz TR, Buchler MW, BelghitiJ, de Santibanes E, Gouma DJ,
Neuhaus H, Dervenis C, Fan ST, Chen MF, Ker CG, Bornman PC, Hilvano SC,
Kim SW, Liau KH, Kim MH. Diagnostic criteria and severity assessment of acute
cholangitis. Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat Surg. 2007; 14 (1) 52-8

Anda mungkin juga menyukai