Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas (kanker) yang berasal dari sel epitel
nasofaring, bagian atas tenggorokan belakang hidung dan dekat dengan dasar tengkorak. 1 Kejadian
KNF masih jarang di temukan di dunia, sekitar 1% dari seluruh keganasan pada anak.2 Namun di
Indonesia, karsinoma nasofaring (KNF) merupakan kanker daerah kepala leher dengan prevalensi
terbanyak. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher di Indonesia merupakan karsinoma
nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan paranasal, laring, dan tumor ganas rongga
mulut, tonsil dan hipofaring dalam persentase yang sedikit. 3
Nasofaring merupakan bagian nasal dari faring yang mempunyai struktur berbentuk kuboid.
Banyak terdapat struktur anatomis penting di sekitarnya. Banyak syaraf kranial yang berada di
dekatnya, dan juga pada nasofaring banyak terdapat limfatik dan suplai darah. Struktur anatomis ini
mempengaruhi diagnosis, stadium, dan terapi dari kanker tersebut. 4
Penanggulangan KNF sampai saat ini masih merupakan suatu masalah karena etiologi yang
masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi sehinggasulit
untuk diperiksa. Akibatnya diagnosis sering terlambat dengan ditemukannya metastasis pada leher
sebagai gejala pertama. Makin terlambatnya diagnosis maka prognosis (angka bertahan hidup 5
tahun) semakin buruk.

1.2 Batasan Masalah


Batasan masalah dari penulisan case report ini adalah anatomi, fisiologi, definisi, klasifikasi,
epidemiologi, faktor resiko, etiopatogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi
dan prognosis KNF.
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat penulisan case report ini adalah untuk menambah pengetahuan mengenai anatomi,
fisiologi, definisi, klasifikasi, epidemiologi, faktor resiko, etiopatogenesis, manifestasi klinis,
diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis KNF.
1.4 Metode Penelitian
Metode penulisan case report ini adalah dengan merujuk tinjauan pustaka dari berbagai literatur
dengan temuan yang didapatkan pada pasien tumor nasofaring suspek keganasan di bangsal THT-
KL RSUP Dr. M. Djamil Padang.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Nasofaring
Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang berhubungan dengan orofaring dan
terletak di superior palatum mole. Ukuran nasofaring pada orang dewasa yaitu tinggi 4 cm, lebar 4
cm, dan 3 cm pada dimensi anteroposterior. Dinding posteriornya sekitar 8 cm dari aparatus
piriformis sepanjang dasar hidung. Bagian atap dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang
melandai dibatasi oleh basis sfenoid, basis oksiput dan vertebra servikal 1 dan 2. Dinding anterior
nasofaring adalah daerah sempit jaringan lunak yang merupakan batas koana posterior. Batas
inferior nasofaring adalah palatum molle. Batas dinding lateral merupakan fasia faringobasilar dan
m. konstriktor faring superior.5,6
Tuba Eustachius masuk dari telinga tengah ke nasofaring melalui celah di fasia faringobasilar
di daerah posterosuperior, tepat di atas batas superior muskulus konstriktor faring superior yang
disebut fossa russenmuller (resessus faringeal). Fossa Rossenmuller merupakan tepi dinding
posterosuperior nasofaring yang merupakan tempat asal munculnya sebagian besar kanker
nasofaring dan yang paling sensitif terhadap penyebaran keganasan pada nasofaring. 5,6

Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring


Tepat di atas apeks dari fossa Rossenmuller terdapat foramen laserum, yang berisi arteri karotis
interna dengan sebuah lempeng tipis fibrokartilago. Tepat di anterior fossa russenmuller, terdapat
nervus mandibula (V3) yang berjalan di dasar tengkorak melalui foramen ovale. Kira-kira 1.5 cm
posterior dari fossa russenmuller terdapat foramen jugulare, yang dilewati oleh saraf kranial IX-XI,
dengan kanalis hipoglosus yang terletak paling medial.7,8
Gambar 2.2 Fossa Of Rosenmuller
Nasofaring dilapisi oleh mukosa dengan epitel kubus berlapis semu bersilia pada daerah dekat
koana dan daerah di sekitar atap, sedangkan pada daerah posterior dan inferior nasofaring terdiri
dari epitel skuamosa berlapis. Daerah dengan epitel transisional terdapat pada daerah pertemuan
antara atap nasofaring dan dinding lateral. Lamina propria seringkali diinfiltrasi oleh jaringan limfoid,
sedangkan lapisan submukosa mengandung kelenjar serosa dan mukosa.5
Arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring adalah arteri faringeal asendens, arteri
palatina asendens, arteri palatina desendens, dan cabang faringeal arteri sfenopalatina. Pembuluh
darah tersebut berasal dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena
berada di bawah membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah superior
dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya. Daerah nasofaring dipersarafi oleh
pleksus faringeal yang terdapat di atas otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeal terdiri dari
serabut sensoris saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X), dan serabut saraf
ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf
glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim tuba yang mendapat
persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila
saraf trigeminus (V1).7,8
Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena dindingnya dari
tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Nasofaring akan tertutup bila palatum
molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu.
Struktur penting yang ada di Nasopharing
1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena
cartilago tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan
karena musculus levator veli palatini.
4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari
musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba
auditiva terutama ketika menguap atau menelan.
6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi
Karsinoma Nasofaring.
7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika ada
pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.
8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan oropharing
karena musculus sphincterpalatopharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei

Gambar 2.3 Nasofaring


Fungsi nasofaring :
 Sebagai jalan udara pada respirasi
 Jalan udara ke tuba eustachii
 Resonator
 Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

2.2 Definisi Karsinoma Nasofaring


Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi
di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah
kepala leher yang terbanyak di Indonesia.

Gambar 2.4. Tumor Nasofaring


2.3 Epidemiologi Karsinoma Nasofaring
Angka kejadian karsinoma nasofaring di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus baru per tahun
per 100.000 penduduk. Catatan dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa karsinoma
nasofaring menduduki urutan ke empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker
kulit. Namun, bagian THT (telinga hidung dan tenggorokan) di Indonesia sepakat mendudukan
karsinoma nasofaring pada peringkat pertama penyakit kanker pada daerah ini. Hampir 60% tumor
ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung
dan sinus paranasal (18%), tumor ganas laring (16%), serta tumor ganas rongga mulut, tonsil,
hipofaring dalam persentase rendah.9,10
Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring sehingga kekerapan
cukup tinggi pada penduduk Cina bagian Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,
Singapura, dan Indonesia. Kanker nasofaring lebih sering ditemukan pada laki-laki yang mungkin
ada hubungannya dengan faktor genetik, kebiasaan hidup, pekerjaan, dan lain-lain.9

2.4 Faktor Resiko


Penyebab dari kanker nasofaring adalah virus Epstein-Barr karena pada semua pasien
nasofaring didapatkan titer anti-EBV yang cukup tinggi. Virus ini bukan satu-satunya faktor penyebab
timbulnya kanker nasofaring. Faktor-faktor lain yang memungkinkan timbulnya kanker ini adalah
faktor genetik dan faktor lingkungan.9
a. Faktor Genetik

Berdasarkan penelitian, kanker nasofaring berhubungan dengan kelemahan lokus pada region
HLA-A2, HLAB17 dan HLA-Bw26. Orang dengan yang memiliki gen ini memiliki risiko dua kali lebih
besar menderita karsinoma nasofaring. Pada sel normal pertumbuhan (pembelahan/proliferasi) dan
diferensiasi diatur oleh gen yang disebut proto-onkogen. Pembelahan pada sel normal terjadi bila
ada rangsang pertumbuhan yang diterima oleh reseptor faktor pertumbuhan (growth factor receptor)
yang terletak pada membran sel. Pesan tersebut kemudian diteruskan melalui membran sel ke dalam
sitoplasma, yang seterusnya melalui penghantar isyarat di dalam sitoplasma akan disampaikan ke
dalam inti. Rangsang pertumbuhan selanjutnya akan mengaktifkan faktor pengatur inti untuk
memulai transkripsi DNA.11,12
Onkogen terjadi melalui mutasi somatik proto-onkogen. Dalam keadaan normal ekspresi proto-
onkogen diperlukan untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel dan tidak mengakibatkan keganasan,
karena aktivitasnya dikontrol secara ketat. Aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen dapat terjadi
melalui perubahan struktural dalam gen, translokasi kromosom, amplifikasi gen atau mutasi dalam
berbagai elemen yang dalam keadaan normal berfungsi untuk mengontrol ekspresi gen
bersangkutan. Mutasi proto-onkogen relatif sering terjadi dalam sel yang berproliferasi aktif, namun
perubahan ke arah ganas dapat dicegah dengan bantuan ekspresi berbagai gen supresor (tumor
suppresor gen atau anti-onkogen) yang berperan menginduksi terhentinya siklus sel atau
menginduksi proses apoptosis. Apabila fungsi gen-gen yang berperan dalam pengawasan ini
terganggu akibat mutasi atau hilang (delesi), maka sel bersangkutan akan menjadi rentan terhadap
transformasi ganas. Perubahan yang dialami proto-onkogen seluler pada aktivasi menjadi onkogen
selalu menstimulasi suatu fungsi sel yang mengakibatkan pertumbuhan dan diferensiasi sel. Sejauh
aktivasi ini terjadi karena mutasi, hal ini disebut mutasi dominan. 11,12
b. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu,
kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan
terlalu panas. Komsumsi ikan asin dan makanan yang diawetkan yang mengandung volatile
nitrosamin merupakan faktor karsinogenik yang berhubungan dengan kanker nasofaring. Telah
terbukti bahwa mengkonsumsi ikan asin sejak anak-anak meningkatkan risiko kanker nasofaring di
Cina Selatan. Ventilasi rumah yang jelek dengan asap yang terperangkap di dalam rumah juga dapat
meningkatkan angka kejadian kanker nasofaring karena asap yang berasal dari kayu bakar
mengandung zat karsinogen yang akan terakumulasi pada dinding nasofaring posterior dan lateral,
dengan waktu terpapar sampai beberapa jam sehari selama bertahun-tahun. Merokok juga
berhubungan dengan peningkatan resiko karsinoma nasofaring. Penelitian menunjukkan adanya
paparan jangka panjang dari bahan-bahan polusi memegang peranan dalam patogenesis karsinoma
nasofaring.9,13,14
2.5 Klasifikasi dan Stadium Kanker Nasofaring
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), dibagi atas 3 tipe, yaitu :15
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).
Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma).
Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa
jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma).
Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau
bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat
radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.
Penentuan stadium untuk karsinoma nasofaring digunakan sistem menurut American Joint
Committee on Cancer (AJCC) edisi ke-7 tahun 2010.
Klasifikasi TNM menurut AJCC 2010:
Tumor Primer (T)
Tx :Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 :Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis :Karsinoma in situ
T1: Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan /kavum nasi tanpa perluasan
ke parafaring.
T2 :Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring.
T3 :Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus paranasal
T4 :Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya saraf kranial, hipofaring, orbita atau
dengan perluasan ke fossa infratemporal / ruang mastikator.
KGB Regional (N)
NX : KGB regional tidak dapat dinilai
N0 :Tidak ada metastasis ke KGB regional
N1: Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang,
di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring
dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.
N2: Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas
fossa supraklavikular.
N3:Metastasis pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada fossa supraklavikular:
N3a: Diameter terbesar lebih dari 6 cm
N3b :Meluas ke fossa supraklavikular
Metastasis Jauh (M)
M0: Tanpa metastasis jauh
M1 :Metastasis jauh
Stadium T N M
I T1 N0 M0
II T1 N1 M0
III T2 N0-1 M0
IVA T1-2 N2 M0
IVB T3 N0-2 M0
IVC T4 N0-2 M0
Semua T N3 M0
Semua T Semua N M1
Tabel 1. Stadium KNF berdasarkan AJCC 2010
2.1 Gejala dan Tanda

Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam empat kelompok, yaitu gejala nasofaring
sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher. Gejala nasofaring
dapat berupa epitaksis ringan atau sumbatan hidung. Gangguan pada telinga merupakan gejala dini
yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara eutachius (fosa rosenmuller). Gangguan dapat
berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia) serta gangguan
pendengaran.16,17
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang,
maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Perjalanan
melalui laserum akan mengenai saraf otak ke II,IV,VI dan V, sehingga tidak jarang pasien datang
dengan keluhan diplopia. Neuralgia trigeminal adalah gejala yang sering ditemui oleh ahli saraf jika
belum terdapat keluhan lainnya.16,17
Proses karsinoma lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran
melalui foramen jugulare. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah
mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang
tengkorak dan bila sudah terjadi demikian, biasanya prognosisnya buruk. 16
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien untuk
berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain. Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi
hiperplastik nasofaring atau LHN telah diteliti di China, yaitu 3 bentuk yang mencurigakan pada
nasofaring, seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan mukositis berat
pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun-tahun kemudian akan menjadi karsinoma
nasofaring.16
2.2 Patogenesis

Kanker nasofaring (NPC) merupakan tumor ganas yang diasosiasikan dengan virus EBV
(Epstein Barr virus). Telah ditemukan bahwa perkembangan NPC salah satunya dipengaruhi faktor
risiko yang sudah sering dikemukakan yaitu kenaikan titer antibody anti-EBV yang konsisten. Akan
tetapi, mekanisme molekuler dan hubungan patofisiologis dari karsinogenesis terkait EBV masih
belum sepenuhnya jelas.18 Selain itu, meski NPC seringkali diasosiasikan dengan EBV, EBV tidak
mengubah sel-sel epitel nasofaring menjadi sel-sel klon yang proliferative, meski ia dapat
mentransformasi sel B primer. Agar terbentuk NPC, mula-mula dibutuhkan infeksi laten dan litik EBV
yang diduga disokong oleh perubahan genetik yang dapat diidentifikasi pada epitel nasofaring
premalignan. Setelah itu infeksi laten dan litik terjadi dan menghasilkan produk-produk tertentu,
barulah ekspansi klonal dan transformasi sel epitel nasofaring premalignan menjadi sel kanker.
Selain faktor genetik, faktor lingkungan berupa konsumsi karsinogen dalam diet pada masa kanak-
kanak juga dapat mengakibatkan akumulasi dari lesi genetik dan peningkatan risiko NPC. Selain
diet, faktor-faktor lainnya adalah pajanan zat-zat kimia pada pekerjaan, misalnya formaldehida dan
debu kayu yang mengakibatkan inflamasi kronis di nasofaring. 19
Seperti yang telah dijelaskan, setelah faktor genetik dan lingkungan merangsang perubahan
pada epitel nasofaring, virus EBV memperparah keadaan epitel tersebut. Virus EBV menginfeksi sel
NPC secara laten. Virus ini kemudian memasuki fase infeksi litik yang produktif. Tumor NPC
diketahui mengekspresikan tiga protein yang dikode EBV, RNA kecil dan mikroRNA. Protein-protein
yang diekspresikan di antaranya adalah EBNA1, LMP1, dan LMP2. Dalam perkembangan NPC,
diduga LMP1 memiliki peran sentral. LMP1 disekresi melalui eksosom dan masuk ke dalam sel-sel
yang tidak terinfeksi EBV melalui endositosis. LMP1 juga mempengaruhi lingkungan di sekeliling
tumor. LMP1 merupakan onkogen primer yang dapat meniru fungsi salah satu reseptor TNF, yakni
CD40. Akibatnya, ia dapat menginisasi beberapa pathway persinyalan yang merangsang perubahan
fenotip dan morfologi sel epitel. LMP 1 juga mengakibatkan peningkatan EMT (epithelial-
mesenchymal transition).18 Pada proses EMT, sel-sel karsinoma akan menurunkan penanda epitel
tertentu dan meningkatkan penanda mesenkim tertentu sehingga menimbulkan perkembangan
fenotip promigratori yang penting dalam metastasis. 20 Oleh karena itu, LMP 1 juga berperan dalam
menimbulkan sifat metastasis dari NPC. Peningkatan EMT oleh LMP1 ini diikuti dengan ekspresi
penanda sel punca kanker/sel progenitor kanker serta pemberian sifat-sifat mirip sel punca/sel
progenitor kepada sel.18
Protein-protein lainnya serta ekspresi RNA virus juga memiliki peranan dalam
karsinogenesis NPC, contohnya LMP2 yang mempertahankan latensi virus.18 Peran-peran protein
dan RNA serta proses patogenesis NPC terangkum dalam Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Peran-peran protein dan RNA serta proses patogenesis NPC18
2.3 Diagnosis

Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.


2.6.1 Anamnesis

Terdiri dari gejala hidung, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta gejala metastasis /
leher. Gejala tersebut mencakup hidung tersumbat, lendir bercampur darah, tinitus, telinga terasa
penuh, otalgia, diplopia dan neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI), dan muncul benjolan pada
leher.21,22

2.6.2 Pemeriksaan fisik22


 Dilakukan pemeriksaan status generalis dan status lokalis.
 Pemeriksaan nasofaring:
 Rinoskopi posterior
 Nasofaringoskop ( fiber / rigid )
 Laringoskopi
 Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging) digunakan untuk skrining,
melihat mukosa dengan kecurigaan kanker nasofaring, panduan lokasi biopsi, dan follow
up terapi pada kasus-kasus dengan dugaan residu dan residif.

2.6.3 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Radiologik21,22
 CT Scan
Pemeriksaan radiologik berupa CT scan nasofaring mulai setinggi sinus frontalis sampai dengan
klavikula, potongan koronal, aksial, dan sagital, tanpa dan dengan kontras. Teknik pemberian
kontras dengan injector 1-2cc/kgBB, delay time 1 menit. CT berguna untuk melihat tumor primer
dan penyebaran ke jaringan sekitarnya serta penyebaran kelenjar getah bening regional.
 USG abdomen
Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen. Apabila dapat keraguan pada kelainan
yang ditemukan dapat dilanjutkan dengan CT Scan Abdomen dengan kontras.
 Foto Thoraks
Untuk melihat adanya nodul di paru atau apabila dicurigai adanya kelainan maka dilanjutkan
dengan CT Scan Thoraks dengan kontras.
 Bone Scan
Untuk melihat metastasis tulang.
Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut diatas untuk menentukan TNM.

Pemeriksaan Patologi Anatomi21


Karsinoma nasofaring dibuktikan melalui pemeriksaan patologi anatomi dengan spesimen
berasal dari biopsi nasofaring. Hasil biopsi menunjukkan jenis keganasan dan derajat diferensiasi.
Pengambilan spesimen biopsi dari nasofaring dapat dikerjakan dengan bantuan anestesi lokal
ataupun dengan anestesi umum.
 Biopsi Nasofaring
Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaan PA dari biopsi nasofaring. Sementara biopsi Aspirasi
Jarum Halus (BAJH) atau biopsi insisional/eksisional kelenjar getah bening leher bukan
merupakan diagnosis pasti. Biopsi dilakukan dengan menggunakan tang biopsi yang dimasukkan
melalui hidung atau mulut dengan tuntunan rinoskopi posterior atau tuntunan nasofaringoskopi
rigid/fiber.
Pelaporan diagnosis karsinoma nasofaring berdasarkan kriteria WHO yaitu:
a. Karsinoma sel skuamosa berkeratin (WHO 1)
b. Karsinoma tidak berkeratin: berdiferensiasi (WHO 2) dan tidak berdiferensiasi (WHO 3)
c. Karsinoma basaloid skuamosa
Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan adalah; hematologik berupa pemeriksaan darah
perifer lengkap, LED, hitung jenis, Alkali fosfatase, LDH, dan fungsi liver seperti SGPT-SGOT.
Eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum dilakukan jika dari biopsi dengan anestesi lokal
tidak didapatkan hasil yang positif sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri
karsinoma nasofaring, atau suatu kanker yang tidak diketahui primernya (Unknown Primary
Cancer).
Prosedur eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum dapat langsung dikerjakan pada
penderita anak, penderita dengan keadaan umum kurang baik, keadaan trismus sehingga
nasofaring tidak dapat diperiksa, penderita yang tidak kooperatif, dan penderita yang laringnya
terlampau sensitif, atau dari CT Scan paska kemoradiasi/ CT ditemukan kecurigaan residu
/rekuren, dengan Nasoendoskopi Nasofaring menonjol.

 Biopsi Aspirasi Jarum Halus


Kelenjar Leher Pembesaran kelenjar leher yang diduga keras sebagai metastasis tumor ganas
nasofaring yaitu, internal jugular chain superior, posterior cervical triangle node, dan
supraclavicular node jangan di biopsi terlebih dulu sebelum ditemukan tumor induknya. Yang
mungkin dilakukan adalah Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJH).

Serologi17
Diagnosis KNF ditunjang beberapa pemeriksaan tambahan yaitu pemeriksaan serologi,
misalnya imunoglobulin A anti-viral capsid antigen (Ig anti-VCA), Ig G anti-early antigen (EA),
imunohistokimia, dan polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan serologi dapat dilakukan
sebagai skrining untuk deteksi dini, sering mendahului munculnya KNF dan berfungsi sebagai
petanda tumor remisi dan kekambuhan. Window period selama 3 tahun sesudah peningkatan
antibodi dan menetap tinggi sampai muncul gejala klinis.
Bentuk endemik KNF dikaitkan dengan VEB, meskipun peran VEB yang tepat dalam
patogenesis KNF masih belum jelas. Deteksi antibodi IgG (dijumpai pada masa awal infeksi virus)
dan antibodi IgA VCA mendukung diagnosis karsinoma nasofaring. Titer antibodi IgA untuk VEB viral
capsid antigen (EBV-IgAVCA) dan VEB antigen awal (EBV-EA) pada pemeriksaan
immunofluorescent dapat digunakan untuk skrining KNF. Peningkatan titer IgA antibodi pada VEB
viral capsid antigen (VCA) biasa ditemukan pada pasien KNF. Antibodi terhadap VEB baik IgG
maupun IgA penderita KNF meningkat 8-10 kali lebih tinggi dibandingkan penderita tumor lain atau
orang sehat. Peningkatan titer IgA ini dapat diketahui sebelum perkembangan KNF dan berkorelasi
dengan besar tumor, remisi, dan rekurensi. Dalam beberapa tahun terakhir, tes enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) yang menggunakan antigen VEB rekombinan dimurnikan makin
dianjurkan untuk menggantikan immunofluorescent tradisional.
Virus juga dapat dideteksi pada tumor dengan pemeriksaan hibridisasi in situ dan teknik
imunohistokimia. Selain itu, dapat juga dideteksi dengan teknik PCR pada material aspirasi biopsi
jarum metastasis kelenjar getah bening leher.

Gambar 2.2 Algoritma diagnosis karsinoma nasofaring21,22

2.4 Diangnosis Banding17

Kanker nasofaring dapat menginvasi beragam struktur di sekitarnya, termasuk basis kranii
dan leher, sehingga gejala klinisnya bervariasi. Pada tahap awal berupa gejala hidung dapat
menyerupai kondisi jinak, seperti rinitis, sinusitis, atau polip nasal. Gejala telinga yaitu gangguan
dengar unilateral pada usia dewasa, yang harus dicurigai karsinoma nasofaring, khususnya di area
endemik. Kanker nasofaring berkaitan dengan paresis saraf kranial, sehingga dapat menyerupai
penyakit neurologi. Defisit saraf kranial yang tidak jelas penyebabnya sebaiknya diperiksa dengan
endoskopi nasal, terutama pada orang dengan risiko tinggi.
Kanker nasofaring juga dapat didiagnosis banding dengan hipertrofi adenoid, namun
biasanya adenoid memiliki permukaan licin, alur longitudinal, dan letaknya di tengah nasofaring.
Pada laki-laki remaja dapat pula dibandingkan dengan angiofibroma juvenil, hal ini dapat dikonfirmasi
dengan endoskopi dan pemeriksaan MRI. Tumor lain di nasofaring di antaranya adalah limfoma,
karsinoma sinonasal, chordoma, rhabdomyosarcoma, melanoma, dan teratoma.
Pada pasien dengan benjolan leher, harus dilakukan biopsi nodus. Benjolan leher dapat
terjadi pada kondisi infeksi atau inflamasi, limfoma, atau tumor ganas regio kepala leher ataupun
bagian tubuh lain.
2.5 Tatalaksana
2.6.1 Radioterapi

Radioterapi merupakan modalitas utama pada penatalaksanaan KNF yang masih terbatas
lokoregional, karena tumor ini bersifat radiosensitif. Kemajuan yang sangat penting pada radioterpi
adalah IMRT (Intensity-Modulated Radiation Therapy). Teknologi ini memungkinkan pemberian dosis
radiasi konformal terhadap target melalui optimalisasi intensitas beberrapa beam. Kelebihan dari
IMRT ini diantaranya memiliki kemampuan untuk memberikan radioterapi conformal pada target yang
tidak beraturan (irrigular). Ini sangat bermanfaat pada tumor yang berada disekitar struktur vital
seperti batang otak dan medula spinalis. Teknik ini sudah dilaporkan dapat meningkatkan kontrol
tumor dan juga menurunkan risiko komplikasi.18
2.6.2 Kombinasi Kemoradiasi
Kemoradiasi konkuren saat ini menjadi terapi pilihan pada KNF lokoregional yang advanced.
Sebagian besar penelitian kemoterapi pada KNF menggunakan Cisplatin-based. Berdasarkan waktu
pemberian kemoterapi terhadap radioterapi dibedkan menjadi Induction/ Neoadjuvan (sebelum),
concurrent (selama radiasi) dan adjuvan (setelah radioterapi).23
Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer terutama diberikan pada pasien dengan T2-
T4 dan N1-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan preparat platinum based 30-40 mg/m2
sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum dilakukan radiasi. Kemoterapi
kombinasi/dosis penuh dapat diberikan pada N3 > 6 cm sebagai neoadjuvan dan adjuvan setiap 3
minggu sekali, dan dapat juga diberikan pada kasus rekuren/metastatik.21,22
Terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring adalah dengan kemoradiasi dilanjutkan dengan
kemoterapi adjuvant, yaitu Cisplatin + RT diikuti dengan Cisplatin/5-FU atau Carboplatin/5-FU. Dosis
preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap seminggu sekali.21,22
Adapun terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring kasus Rekuren/Metastatik adalah: 21,22
a. Terapi Kombinasi : Cisplatin or carboplatin + docetaxel or paclitaxel, Cisplatin/5-FU, Carboplatin,
Cisplatin/gemcitabine , Gemcitabine, Taxans + Patinum +5FU
b. Terapi Tunggal : Cisplatin, Carboplatin, Paclitaxel, Docetaxel, 5-FU, Methotrexate, Gemcitabine

2.6.3 Brachytherapy

Brachyterapy efektif dan digunakan hanya pada tumor yang dangkal di nasofaring dan tanpa
invasi ke tulang.23 Cara brakhiterapi nasofaring adalah dengan menggunakan aplikator Levendag
dengan menggunakan sumber radiasi Ir 192 HDR. Dilakukan tindakan anestesi lokal atau anestesi
umum.22 Dengan guide NGT 100 cm dengan penampang ±2 mm dimasukkan melalui hidung dan
keluar dari mulut. Dengan guide ini dipasang aplikator lavendag lalu difiksasi.21
2.6.4 Nasofaringektomi

Nasofaringektomi diindikasikan pad tumor persisten atau rekuren yang terlalu besar untuk
brakiterapi dan terdapat perluasan ke parafaring. 23 Pada tumor kecil namun tebal, reseksi adekuat
dapat dilakukan menggunakan endoskopi melalui kavum nasi atau oral. Tumor yang lebih ekstensif
memerlukan reseksi terbuka.17
2.6.5 Terapi Target

Cetuximab merupakan terapi target yang diberikan pada KNF yang mengalami rekuren atau
persisten dengan metastasis jauh.23

Gambar 2.3 Algoritma tatalaksana karsinoma nasofaring21,22


2.6 Edukasi

Hal-hal yang perlu diedukasikan kepada pasien telah dibahas dalam subbab sebelumnya.
Berikut ini adalah rangkuman mengenai hal-hal yang penting untuk diedukasikan kepada pasien.
Tabel 2.1 Edukasi kepada pasien21,22
Kondisi Informasi Dan Anjuran
Radioterapi  Efek samping radiasi akut yang dapat muncul (xerostomia, gangguan
menelan, nyeri saat menelan), maupun lanjut (fibrosis, mulut kering, dsb)
 Anjuran untuk selalu menjaga kebersihan mulut dan perawatan kulit (area
radiasi) selama terapi
Kemoterapi Efek samping kemoterapi yang mungkin muncul (mual, muntah, dsb)
Nutrisi Edukasi jumlah nutrisi , jenis dan cara pemberian nutrisi sesuai dengan
kebutuhan
Metastasis pada  Kemungkinan fraktur patologis sehingga pada pasien yang berisiko
tulang diedukasi untuk berhati-hati saat aktivitas atau mobilisasi.
 Mobilisasi menggunakan alat fiksasi eksternal dan/atau dengan alat bantu
jalan dengan pembebanan bertahap
Lainnya  Anjuran untuk kontrol rutin pasca pengobatan
 Anjuran untuk menjaga pola hidup yang sehat

2.7 Follow-up21,22

Kontrol rutin dilakukan meliputi konsultasi & pemeriksaan fisik:


 Tahun 1 : setiap 1-3 bulan
 Tahun 2 : setiap 2-6 bulan
 Tahun 3-5 : setiap 4-8 bulan
 5 tahun : setiap 12 bulan

Follow-up imaging terapi kuratif dilakukan minimal 3 bulan pasca terapi:


a. MRI dengan kontras sekuens T1, T2, Fatsat, DWI + ADC
b. Bone Scan untuk menilai respons terapi terhadap lesi metastasis tulang.

Follow Up Terapi Paliatif (dengan terapi kemoterapi); follow-up dengan CT Scan pada siklus
pertengahan terapi untuk melihat respon kemoterapi terhadap tumor.
2.8 Prognosis

Prognosis pasien dengan KNF dapat sangat berbeda antara subkelompok yang satu
dengan subkelompok yang lain. Penelitian tentang faktor-faktor yang dapat memengaruhi prognosis
masih terus berlangsung hingga saat ini. Kebanyakan faktor-faktor prognosis bersifat genetik
ataupun molekuler. klinik (pemeriksaan fisik maupun penunjang). Sampai saat ini belum ada uji meta
analisis yang menggabungkan angka kesintasan dari berbagai studi yang telah ada. 22
Prognosis pada pasien keganasan paling sering dinyatakan sebagai kesintasan 5 tahun.
Menurut AJCC tahun 2010, kesintasan relatif 5-tahun pada pasien dengan KNF Stadium I hingga IV
secara berturutan sebesar 72%, 64%, 62%, dan 38%.22
BAB 3
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 38 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
No MR : 01007029
Alamat : pintas tuo, muaro tebo
Tanggal masuk: 14 Februari 2018

ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berusia 38 tahun datang RSUP Dr.M.Djamil Padang pada tanggal 18
Februari 2018 dengan:

Keluhan Utama :
- Bengkak di leher kiri sejak 2 bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang :


- Bengkak di leher kiri sejak 2 bulan yang lalu sebesar telur, semakin menbesar dan tidak
nyeri.
- Awalnya, pasien merasakan ada benjolan di leher sebelah kiri sejak 2 bulan yang lalu.
Benjolan awalnya sebesar kelereng, lalu bertambah besar menjadi sebesar telur ayam.
Benjolan tidak nyeri, permukaan licin, tidak ada keluar sekret, tidak merah. Satu bulan
kemudian, pasien merasakan susah menelan dan terasa ada yang mengganjal di
tenggorok. Pasien memiliki riwayat bengkak di leher sebelah kanan dan sudah dioperasi 1
tahun yang lalu. Namun sekarang bengkak lagi sebesar telur puyuh.
- Hidung tersumbat hilang timbul sejak 1 bulan yang lalu. Keluar sekret apabila pasien pilek
saja.
- Penurunan berat badan ada sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya, berat badan pasien 55 kg
kemudian turun menjadi 30 kg sekarang.
- Telinga terasa penuh ada, telinga berdenging ada.
- Penurunan pendengaran ada sejak 2 bulan yang lalu.
- Hidung berdarah ada sejak 2 bulan yang lalu.
- Riwayat keluar cairan dari telinga tidak ada.
- Penurunan kesadaran tidak ada.
- Kejang tidak ada.
- Sakit kepala ada sejak 2 bulan yang lalu.
- Muntah tidak ada.
- Penglihatan ganda tidak ada.
- Sesak nafas ada sejak 2 bulan yang lalu.
- Bengkak di ketiak tidak ada.
- Bengkak di lipat paha tidak ada.
- Wajah terasa kebas tidak ada.
- Gigi goyah tidak ada.
- Bengkak di wajah tidak ada.
- Bengkak di langit-langit mulut di tidak ada.
- Nyeri tulang tidak ada.
- Batuk tidak ada.
- Demam tidak ada.
- Suara serak ada sejak 2 bulan yang lalu.

Riwayat penyakit dahulu :


- Pasien pernah melakukan operasi tumor nasofaring leher kanan tahun 2017.
- Riwayat hipertensi tidak ada.
- Riwayat Diabetes militus tidak ada
Riwayat penyakit keluarga :
- Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti ini.

Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi dan kebiasaan :


● Pasien seorang petani
● Pasien merokok selama 20 tahun. Pasien biasanya mengkonsumsi 1 bungkus rokok/hari.

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis kooperatif
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi nadi : 88 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x/menit
Suhu : afebris

Pemeriksaan Sistemik
Kepala : normochepal
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Wajah : tidak ditemukan kelainan
Thorax : paru dan jantung dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Extremitas : akral hangat dan refilling kapiler <2”
Status Lokalis THT
Telinga
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Kel kongenital Tidak ada Tidak ada
Daun telinga Trauma Ada Tidak ada
Radang Ada Tidak ada
Kel. Metabolik Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tarik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
tragus
Cukup lapang Cukup lapang Cukup lapang
Dinding liang (N)
telinga Sempit - -
Hiperemi Tidak ada Tidak ada
Edema Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Ada / Tidak Ada Ada
Sekret/serumen Bau Tidak ada Tidak ada
Warna Kuning Kuning
Jumlah Sedang Sedang
Jenis Lunak Lunak

Membran timpani
Warna Putih mutiara Putih mutiara
Reflek cahaya Ada , arah jam 5 Ada, arah jam 7
Utuh Bulging Tidak ada Tidak ada
Retraksi Tidak ada Tidak ada
Atrofi Tidak ada Tidak ada
Jumlah - -
Perforasi perforasi
Jenis - -
Kwadran - -
Pinggir - -

Tanda radang Tidak ada Tidak ada


Fistel Tidak ada Tidak ada
Mastoid Sikatrik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada
Rinne negatif Negatif
Tes garpu tala Schwabach Lebih panjang dari Lebih panjang dari pemeriksa
pemeriksa
Weber Tidak ada lateralisasi
Kesimpulan Gangguan konduksi
Audiometri Tidak ada

Hidung
Pemeriksaan Kelainan Dektra Sinistra
Deformitas Ada Ada
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Hidung luar Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada

Sinus paranasal
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada

Rinoskopi Anterior
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Vestibulum Vibrise Ada Ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapang
Cavum nasi Sempit - -
Lapang - -
Lokasi Dinding medial nasal -
Sekret Jenis Darah -
Jumlah 2 cc -
Bau - -
Konka inferior Ukuran Edema Normal
Warna Hiperemis Tidak hiperemis
Permukaan Licin Licin
Edema Ada Tidak ada
Konka media Ukuran Sulit dinilai Sulit dinilai
Warna Sulit dinilai Sulit dinilai
Permukaan Sulit dinilai Sulit dinilai
Edema Sulit dinilai Sulit dinilai
Cukup Deviasi
lurus/deviasi
Permukaan Licin
Septum Warna Hiperemis
Spina Tidak ada
Krista Tidak ada
Abses Tidak ada
Perforasi Tidak ada
Lokasi - -
Bentuk - -
Ukuran - -
Permukaan - -
Massa Warna - -
Konsistensi - -
Mudah digoyang - -
Pengaruh - -
vasokonstriktor
Gambar Rinoskopi Anterior

Rinoskopi Posterior
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Koana Cukup lapang (N) + Sulit dinilai
Sempit - Sulit dinilai
Lapang - Sulit dinilai
Mukosa Warna Merah muda Sulit dinilai
Edema - Sulit dinilai
Jaringan granulasi Tidak ada Sulit dinilai
Konka superior Ukuran Eutrofi Sulit dinilai
Warna Merah muda Sulit dinilai
Permukaan Rata Sulit dinilai
Edema - -
Adenoid Ada/ tidak Tidak Tidak
Muara tuba eustachius Tertutup sekret Terbuka Sulit dinilai
Massa Lokasi Fosa Rossenmulleri Fosa Rossenmuleri
Ukuran - -
Bentuk - -
Permukaan Berbenjol-benjol Berbenjol-benjol
Post nasal drip Ada/ tidak Tidak ada Tidak ada
Jenis

Orofaring dan mulut


Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Simetris/tidak Simetris
Palatum mole + Warna Hiperemis
Arkus Faring Edem Tidak ada
Bercak/eksudat Ada
Dinding faring Warna Hiperemis
Permukaan Berbenjol
Ukuran T1 T1
Warna Hiperemis Hiperemis
Permukaan Tenang Tenang
Muara kripti Tidak Melebar Tidak Melebar
Tonsil Detritus Ada Ada
Eksudat Ada Ada
Perlengketan dengan
Tidak ada Tidak ada
pilar
Warna Merah muda Merah muda
Peritonsil Edema Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Lokasi Tidak ada
Bentuk -
Tumor Ukuran -
Permukaan -
Konsistensi -
Gigi Karies/Radiks Ada Ada
Kesan -
Warna Putih
Bentuk Simetris
Lidah Deviasi Tidak ada
Massa Tidak ada

Laringiskopi Indirek
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Epiglotis Bentuk Tenang Tenang
Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Pinggir rata/ tidak Rata Rata
Massa Tidak ada Tidak ada
Aritenoid Warna Sulit dinilai Sulit dinilai
Edema Sulit dinilai Sulit dinilai
Massa Sulit dinilai Sulit dinilai
Gerakan Sulit dinilai Sulit dinilai
Ventrikular band Warna - -
Edema - -
Massa - -
Plika vokalis Warna Sulit dinilai Sulit dinilai
Gerakan Sulit dinilai Sulit dinilai
Pinggir medial Sulit dinilai Sulit dinilai
Massa Sulit dinilai Sulit dinilai
Subglotis/ trakea Massa Tidak ada Tidak ada
Sekret ada / tidak Tidak ada Tidak ada
Sinus piriformis Massa Tidak ada Tidak ada
Sekret Tidak ada Tidak ada
Valekulae Massa Tidak ada Tidak ada
Sekret (jenisnya) Tidak ada Tidak ada

Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher


● Dextra I : terlihat pembesaran KGB leher, tanda radang (-).
P : teraba pembesaran KGB leher dengan ukuran sebesar telur puyuh, nyeri
tekan (-)
● Sinistra I : Terlihat pembesaran KGB leher, tanda radang (-).
P : Teraba pembesaran KGB leher dengan ukuran sebesar telur ayam, nyeri
tekan (-)

Pemeriksaan penunjang
● Laboratorium (13/02/2018)
Parameter Hasil
Hb 13,2 g/dl
Leukosit 8.610/mm3
Trombosit 552.000/mm3
Ht 36 %
PT 11,3 detik
APTT 42,6 detik
GDS 111 mg/dl
Ureum 19 mg/dl
Kreatinin 0,4 mg/dl
Natrium 125 mmol/L
Kalium 3,3 mmol/L
Klorida 84 mmol/l

Kesan : trombositosis, APTT melenihi nilai rujukan.

 Sitologi (9/2/2018)

Makroskopik : hasil aspirasi sebanyak 0.5 cc berwarna putih kekuningan


Mikroskopik : sedian smear dari leher kiri terdiri dari sebaran dan kelompokan sel-sel dengan
inti melebar, hiperkromatik, sitoplasma sedikit, eosinophil, dijumpai daerah
nekrosis serat-serat fibrin.
Kesimpulan CS malignant smear, cenderung suatu metastase squamous cell dari nasofaring.

 CT scan (09/02/2018)

Kesimpulan :
 massa padat sugestif malignant di nasofaring sisi kiri hingga ke choanae dan sinus
sphenoid, etmoid dan maksila.
 Tampak limfadenopati berukuran besar diregio colli kiri
 Parafaring bilateral menyempit

Pemeriksaana Anjuran :
Biopsi nasofaring
Diagnosis : Karsinoma squamous cell nasofaring stadium IIB (T1N1M0) dengan gangguan elektrolit.
Diagnosis banding: -
Diagnosis tambahan: -
Tatalaksana: Protokol Kemoterapi
Hari 1:
- Hidrasi dengan NaCl 0,9% 1 liter/24 jam (14 tetes/menit selama 24 jam)
- Deksametason 20 mg iv
- Ondansentron 8 mg iv
- Ranitidin 50 mg iv
- Difenhidramin 50 mg iv
Hari 2:
- Paclitaxel 205,2 mg dalam 250 ml Dextrose 5% 24 tetes/menit, dilanjutkan Dextrose 5% 36
tetes/menit, kemudian Cisplatin 117,2 mg dalam NaCl 0,9% 42 tetes/menit, dilanjutkan NaCl
0,9% dan Dextrose 5% 20 tetes/menit.

Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

BAB 4
DISKUSI

Dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 38 tahun datang RSUP Dr. M. Djamil Padang
pada tanggal 14 Februari 2018 dengan diagnosis Karsinoma squamous cell nasofaring stadium IIB
(T1N1M0) dengan gangguan elektrolit. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang
tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.
Awalnya, pasien merasakan ada benjolan di leher sebelah kiri sejak 2 bulan yang lalu.
Benjolan awalnya sebesar kelereng, lalu bertambah besar menjadi sebesar telur ayam. Benjolan
tidak nyeri, permukaan licin, tidak ada keluar sekret, tidak merah. Satu bulan kemudian, pasien
merasakan susah menelan dan terasa ada yang mengganjal di tenggorok. Pasien memiliki riwayat
bengkak di leher sebelah kanan dan sudah dioperasi 1 tahun yang lalu. Timbul bnjolan lagi sebesar
telur puyuh.
Pembesaran kelenjer limfe leher merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari
karsinoma nasofaring. Yang khas jika timbulnya di daerah samping leher, 3-5 cm di bawah daun
telinga dan tidak nyeri. Benjolan biasanya berada di level II-III dan tidak dirasakan nyeri, karenanya
sering diabaikan oleh pasien. Sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan
mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini
merupakan gejala yang lebih lanjut. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang
mendorong pasien datang ke dokter.
Hidung tersumbat hilang timbul sejak 1 bulan yang lalu. Keluar sekret apabila pasien pilek
saja. Hidung berdarah ada sejak 2 bulan yang lalu. Sumbatan hidung terjadi akibat pertumbuhan
tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang
disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.
Pasien mengeluhkan telinga terasa penuh, berdenging dan penurunan pendengaran sejak
2 bulan yang lalu. Gangguan ini merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat
muara eutachius (fosa rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga
sampai rasa nyeri di telinga (otalgia) serta gangguan pendengaran.
Sesak nafas dan suara serak ada sejak 2 bulan yang lalu. Tumor meluas ke intra kranial
menjalar sepanjang fosa medialis, disebut penjalaran petrosfenoid. Biasanya melalui foramen
laserum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu n.II s/d n.VI. Perluasan ke atas lebih sering
ditemukan di Indonesia, tersering mengenai n.VI dengan keluhan berupa diplopia, kemudian n.V
cabang 1 dengan keluhan berupa hipestesia pipi/wajah.Perluasan ke belakang secara ekstra kranial
sepanjang fosa posterior, disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior
saraf otak yaitu n.VII s/d n.XII beserta nervus simpatikus servikalis. Tumor dapat mengenai otot dan
menyebabkan kekakuan otot-otot rahang sehingga terjadi trismus. Sindrom retroparotidian terjadi
akibat kelumpuhan n.IX,X,XI, dan XII. Manifestasi kelumpuhan ialah :
a. n.IX :Kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta gangguan
pengecap pada sepertiga belakang lidah.
b n.X :Hiper/hipo/anastesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai gangguan
respirasi.
c. n.XI :Kelumpuhan atau atropi otot-otot trapezius, sternokleidomastoideus, serta
hemiparesis palatum mole.
d n.XII :Hemiparalisis dan atropi sebelah lidah
Penurunan berat badan ada sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya, berat badan pasien 55kg
kemudian turun menjadi 30kg sekarang. Pasien seorang tukang jahit. Pasien adalah perokok sejak
berusia 12 tahun dan berhenti sejak 6 bulan yang lalu. Pasien biasanya mengkonsumsi 2 bungkus
rokok/hari.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan, pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan kavum nasi
dextra dan sinistra lapang. Konka inferior dextra tampak edema hiperemis, permukaan berbenjol,
dan serta ditemukan sekret darah di medial dengan jumlah 2cc. Konka inferior sinistra tampak normal
tidak hiperemis, permukaan licin dan tidak ada edem. Pada rinoskopi posterior ditemukan masa di
fosa Rossenmuller. Fossa Rosenmulleri merupakan tempat perubahan atau pergantian epitel dari
epitel kolumnar/kuboid menjadi epitel pipih. Tempat pergantian ini dianggap merupakan predileksi
terjadinya keganasan nasofaring. Diagnosis karsinoma nasofaring dapat ditegakkan berdasarkan
hasil biopsi. Pemeriksaan CT-scan daerah kepala dan leher dapat mengetahui tumor primer dan
arah perluasannya.
Rencana tatalaksana yang akan dilakukan adalah pasien akan direncanakan melakukan
kemoterapi. Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat pertumbuhan
kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Tujuan kemoterapi untuk menyembuhkan pasien dari
penyakit tumor ganas. Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal dan juga
untuk mengatasi sel tumor apabila ada metastasis jauh.
Obat yang akan diberikan adalah Paclitaxel 205,2 mg dalam 250 ml Dextrose 5% 24
tetes/menit, dilanjutkan Dextrose 5% 36 tetes/menit, kemudian Cisplatin 117,2 mg dalam NaCl 0,9%
42 tetes/menit, dilanjutkan NaCl 0,9% dan Dextrose 5% 20 tetes/menit.
Paclitaxel merupakan obat yang paling efektif melawan kanker kepala dan leher. Obat ini
dianggap sebagai lini pertama pengobatan kanker kepala dan leher tingkat lanjut. Karsinoma sel
skuamosa biasanya sangat sensitif terhadap kemoterapi ini. Cisplatin merupakan obat utama dan
paling sering sering dipakai pada terapi kanker kepala dan leher.
DAFTAR PUSTAKA

1. National Comprehensive Cancer Network (NCCN). NCCN Clinical Practice Guidelines in


Oncology (NCCN Guidelines) : Head and Neck Cancers Version 2.2013. NCCN; 2013.
2. American cancer society. Nasopharyngeal cancer. American Cancer Society; 2013.
3. Soepardi EA, Iskandar N, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan
Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
4. Titcomb C P. High incidence of nasopharyngeal carcinoma in Asia. J Insur Med. 2001; 33:
235-8.
5. Yang XR, Diehl S, Pfeiffer R, et al, 2005, Evaluation of Risk Factors for Nasopharyngeal
Carcinoma in High-Risk Nasopharyngeal Carcinoma Families in Taiwan, Cancer
Epidemiology Biomarkers Prevention, vol.14, no.4.
6. Chew CT, 1997 Nasopharynx (the Postnasal Space), Scott-Brown’s Otolaryngology, 6th
edition, Butterworth-Heinemann, Great Britain.
7. Ballenger JJ, 1994, Anatomy Bedah Faring dan Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher, Binarupa Aksara, Edisi 13, Jilid 1.
8. Brennan, Bernadette. Nasopharyngeal Carcinoma. Manchester. BioMed Central Ltd. 2006.
9. Roezin A & Adham M, 2010, Karsinoma Nasofaring, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher, Balai Penerbit FK-UI, Edisi Kelima, Jakarta.
10. Yang XR, Diehl S, Pfeiffer R, et al, 2005, Evaluation of Risk Factors for Nasopharyngeal
Carcinoma in High-Risk Nasopharyngeal Carcinoma Families in Taiwan, Cancer
Epidemiology Biomarkers Prevention, vol.14, no.4.
11. Japaris, Willie. Karsinoma Nasofaring Dalam: Onkologi Klinis. Jakarta : FKUI. 2008.
12. Holt GR & Shockley WW, 1993, Head & Neck Cancer, Clinical Oncology, A Lange Medical
Book, London.
13. McDermott AL, Dutt SN, Watkinson JC, 2001, The Etiology of Nasopharyngeal Carcinoma,
Clin. Otolaryngol, vol. 26.
14. Chew CT, 1997 Nasopharynx (the Postnasal Space), Scott-Brown’s Otolaryngology, 6th
edition, Butterworth-Heinemann, Great Britain.
15. Chua MLK, Wee JTS, Hui EP. 2015. Nasopharingeal carcinoma.
http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(15)00055-0. Diunduh pada 17 Februari 2018.
16. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, dan Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala dan leher ed 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2012, pp 158-
163.
17. Wijaya FO dan Soeseno B. Deteksi dini dan diagnosis karsinoma nasofaring.
Kalbemed.com. CDK-254/vol.44 no.7. 2017
18. Yoshizaki T, Kondo S, Wakisaka N, Murono S, Endo K, Sugimoto H, et al. Pathogenic role
of Epstein-Barr virus latent membrane protein-1 in the development of nasopharyngeal
carcinoma. Cancer Lett. j.canlet. 2013, 337:1
19. Tsao SW, Yip YL, Tsang CM, Pang PS, Lau VMY, Zhang G, et al. Etiological factors of
nasopharyngeal carcinoma. Oral oncol. j.oraloncology. 2014; 50:330-338.
20. Komang SK. Patogenesis, patofisiologi, dan manifestasi kliis kanker nasofaring. Ltm
Pemicu 3 Modul Penginderaan. FKUI. 2016
21. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman nasional pelayanan kedokteran kanker nasofaring.
Jakarta. 2017.
22. Kementrian Kesehatan RI. Panduan penatalaksanaan kanker nasofaring. Jakarta. 2017
23. Rahman S. Update diagnosis dan tatalaksana karsinoma nasofaring. ResearchGate.net.
2014.

Anda mungkin juga menyukai