Anda di halaman 1dari 6

HUBUNGAN OBESITAS DAN OSA

19 Aug, 2017 By etcadm 0 Comments

Obesitas dilaporkan sebagai faktor utama yang dapat meningkatkan risiko OSA. Penderita OSA
memiliki indek masa tubuh (IMT) satu tingkat di atas normal. Obat anti obesitas dapat diberikan
pada penderita OSA dengan obesitas.

Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah salah satu bagian dari gangguan tidur atau sleep disorder
breathing syndrome yang kompleks. Di sini, terjadi obstruksi jalan nafas atas secara periodik selama
tidur. Selanjutnya menyebabkan nafas berhenti secara intermiten, baik komplit (apnea = henti napas
yang terjadi > 10 detik) atau parsial (hipopnea = sumbatan parsial pada jalan napas disertai turunnya
saturasi oksigen > 3%, lamanya > 10 detik).

Menurut dr. Khairan Irmansyah, MKes, SpTHT-KL, dari RS OMNI Alam Sutera, Tangerang Selatan,
prevalensi OSA sekitar 2-4% pada orang dewasa. Angka kejadian OSA derajat sedang hingga berat
yang tidak terdiagnosis, mencapai 82% pada laki-laki dan 93% pada wanita.

Diagnosis OSA dapat ditegakkan, jika jumlah frekuensi penurunan aliran udara yang berhubungan
dengan kolapsnya saluran nafas atau apnea-hipopnea index (AHI), lebih dari 5 kali dalam 1 jam tidur.
Kondisi tersebut selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya periode arousal (terbangun atau gelisah
dalam tidur), lalu tidur kembali.

Berdasar sejumlah kepustakaan diketahui, 24% pria dan 9% wanita dewasa mempunyai angka
kejadian atau AHI lebih dari 5x/jam. Dilaporkan juga, gejala OSA setidaknya terjadi pada 4% pria, 2%
wanita dan 1 - 3% pada anak-anak; termasuk gejala daytime hyper somnolence (mengantuk
berlebihan) akibat kejadian apnea-hipopnea.

Empat penelitian dengan prevalensi berskala besar, juga menyatakan bahwa 1 dari 5 orang dewasa
kulit putih dengan rata-rata indeks masa tubuh (IMT) 25-28 kg/m2 memiliki AHI > 5x/jam. Dan, 1 dari
15 pasien OSA akan memiliki AHI > 15.

Derajat beratnya OSA, dinilai berdasarkan nilai apnea-hypopnea index (AHI) menggunakan
polisomnografi. Derajat beratnya OSA setidaknya bisa dibagi menjadi; 1) ringan AHI 5-14; 2) sedang
AHI 15-29; 3) berat AHI > 30. “Jika AHI masih kurang dari <4, pasien masih dinyatakan dalam kondisi
normal,” jelas dr. Khairan.
Faktor presdisposisi

Beberapa faktor presdisposisi OSA di antaranya adalah obesitas, ukuran lingkar leher, umur, jenis
kelamin, hormon, dan kelainan anatomi saluran nafas. Obesitas dilaporkan sebagai faktor utama,
yang dapat meningkatkan risiko terjadinya OSA. Berbagai kepustakaan menyatakan bahwa penderita
OSA setidaknya memiliki indeks masa tubuh (IMT) satu tingkat di atas normal. Dalam beberapa
penelitian diketahui, pada populasi dewasa dengan IMT >30 kg/m2, memiliki prevalensi OSA > 50%.

Penelitian lain melaporkan bahwa ukuran lingkar leher >43 cm untuk laki-laki dan >37 cm untuk
perempuan, berhubungan dengan peningkatan AHI. Obesitas juga dapat mengubah volume dan
bentuk anatomi saluran napas. Lidah bisa terangkat sehingga mengurangi volume saluran nafas atas.
Demikian juga dengan kelainan anatomi seperti hipertrofi tonsil, deviasi septum, hipertrofi konka,
dan anomaly maksilofasial seperti mikrognatia, retrognatia, hipertrofi adenoidtonsil, makroglosia
dan akromegali. “Disarankan agar pasien OSA mengurangi berat badan,” kata dr. Rimawati.

Patogenesis dan patofisiologi

Setidaknya ada 3 faktor utama yang berperan dalam pathogenesis OSA. Di antaranya, obstruksi
saluran nafas daerah faring akibat pendorongan lidah dan palatum ke belakang, yang dapat
menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring. Selanjutnya menyebabkan terhentinya aliran udara,
meski pernafasan masih berlangsung saat tidur. Kondisi ini mengakibatkan apnea, afiksia sampai
periode arousal.

Faktor kedua yang berperan, adalah ukuran lumen faring yang berfungsi menjaga keseimbangan
tekanan faring saat terjadinya tekanan negatif, intratorakal akibat kontraksi diagfragma. Kelainan
fungsi kontrol neuromuskular pada otot dilator faring, berperan terhadap kolapsnya saluran nafas.
Defek kontol ventilasi di otak, menyebabkan kegagalan atau terlambatnya refleks otot di lator faring,
saat pasien mengalami periode apnea hipopnea.

Faktor ketiga adalah kelainan kraniofasial, mulai dari hidung sampai hipofaring yang dapat
menyebabkan penyempitan pada saluran nafas atas. Kelainan daerah ini dapat menghasilkan
tahanan tinggi. Tahanan ini juga merupakan predisposisi kolapsnya saluran nafas atas. Kolaps
nasofaring ditemukan pada 81% dari 64 pasien OSA, 75% di antaranya memiliki lebih dari satu
penyempitan saluran nafas atas.
Periode apnea adalah waktu saat terjadinya henti nafas, yang berlangsung selama 10 detik atau
lebih. Semantara periode hipopnea adalah terjadinya keadaaan reduksi aliran udara, sebanyak
kurang lebih 30% selama 10 detik, yang berhubungan dengan penurunan saturasi oksigen darah
sebesar 4%. Dalam kasus ini, apnea terjadi karena kolapsnya saluran nafas atas secara total,
sedangkan hipopnea merupakan kolaps sebagian.

Gejala Klinis

OSA sering tidak terdeteksi, karena terjadi saat pasien tidur. Namun, dapat diketahui melalui gejala
yang terjadi pada siang hari, salah satunya adalah daytime hypersomnolence. Sayangnya, gejala ini
tidak dapat dinilai secara kuantitatif, karena pasien sering sulit membedakan rasa kantuk dengan
kelelahan. Hampir 30% pria dan 40% wanita dewasa dengan nilai AHI >5x/jam, mengeluh tidak segar
saat bangun. Dilaporkan 25% pria dan 30% wanita dewasa mengeluh mengantuk berlebihan di siang
hari.

Menurut dr. Rima, gejala klinis yang juga timbul pada penderita OSA, di antaranya adalah;
mendengkur (95%), mengantuk (75%), tidur tidak nyenak (69%), perubahan mental (58%),
perubahan perilaku (48%), impotensi (40%), sakit kepala (35%) dan nokturia (30%).

Epworth Sleepiness Scale (ESS) dan Standford Sleepiness Scale (SSS) merupakan quisioner yang
mudah dan cepat digunakan, untuk menilai gejala rasa kantuk. Skala ini tidak berhubungan secara
langsung dengan indeks apnea-hipopnea. Penyebab daytime hyper somnolence, adalah karena tidur
yang terputus-putus (terfragmentasi), pasien terbangun (micro arusal) karena adanya gangguan
pernafasan saat tidur.

Dilaporkan, 50% penderita OSA mempunyai tekanan darah di atas normal, banyak penelitian
membuktikan hipertensi terjadi akibat apnea tidur. Risiko serangan jantung dan stroke, juga
dilaporkan meningkat pada penderita OSA.

Diagnosis

Diagnosis OSA ditegakkan dengan melakukan anamnesis mengenai pola tidur, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan radiologi dan polisomnografi. Gabungan data yang akurat dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang baik, dapat mengarahkan pada indikasi untuk melakukan pemeriksaan baku
emas OSA, yaitu polisomnografi.

Kuisioner ESS dan SSS dapat digunakan untuk menanyakan keluhan, yang berhubungan dengan
gejala OSA. ESS digunakan untuk menilai, bagaimana kebiasaan tidur dan rasa mengantuk pasien
dalam kegiatan sehari-hari. Sedangkan SSS, untuk mengetahui seberapa mengantuknya pasien pada
kegiatan tersebut.

Multiple Sleep Latency Testing (MSLT) adalah pemeriksaan yang bersifat objektif, untuk
mengevaluasi derajat beratnya rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari. Dokter yang
memeriksa juga harus menanyakan kepada pasien, tentang pengalaman terbangun saat tidur karena
tersedak, mendengkur (dapat ditanyakan pada teman tidur) dan bangun dari tidur dengan badan
yang terasa tidak segar.

Beberapa hal yang tidak boleh dilupakan saat pemeriksaan fisik adalah IMT, lingkar leher, melihat
keadaan rongga hidung, perasat Mueller (untuk menilai penyempitan veloorofaring), penilaian
Fiedman tounge position, bentuk palatum mole, bentuk uvula, palatal flutter, palatal floppy, ukuran
tonsil dan penyempitan peritonsil lateral.

Pemeriksaan oksimetri pada saat tidur malam hari sebagai skrining OSA, memiliki sensitifitas sebesar
31%. Kombinasi dari semua faktor di atas, dapat meningkatkan predictive abilities antara 60-70%.

Untuk memudahkan diagnosis, dalam hal ini menilai saluran nafas atas, Friedman membuat sebuah
standard pemeriksaan daerah naso-velo-orofaring. Selanjutnya dibagi menjadi 4 derajat Friedman
Tounge position. Disebut derajat I, jika seluruh uvula tervisualisasi. Derajat II, uvula tervisualisasi
tetapi tonsil tidak terlihat. Derajat III, palatum mole tervisualisasi tetapi uvula tidak terlihat. Derajat
IV, jika hanya palatum durum yang tervisualisasi. “Dalam pemeriksaan ini, pasien diharuskan
membuka mulut tanpa mengeluarkan lidah, untuk dapat memprediksi ada tidaknya OSA pada
pasien,” jelasnya.

Pemeriksaan perasat Mueller yang dilakukan saat terjaga, dapat mencerminkan keadaan
mendengkur pasien OSA saat tidur. Juga dapat digunakan untuk memperdiksi keberhasilan operasi
Uvulopalatopharyngealplasty (UPPP). Caranya adalah dengan memposisikan pasien duduk,
kemudian dilakukan nasoendoskopi. Dalam kondisi ini, pasien diinstruksikan untuk melakukan
inspirasi kuat, sambil menutup hidung dan mulut. Pada pemeriksaan ini, dilakukan penilaian luas
saluran nafas atas pada ruang retropalatal dan retroglosal. Penyempitan pada ruang ini dapat terjadi
anteroposterior, laterolateral atau konsentrik.

Pemeriksaan sleep endoscopy, digunakan untuk memvisualisasikan obstruksi jalan nafas saat pasien
tidur. Ada 5 daerah yang perlu diperhatikan, yaitu: palatum mole, dinding faring lateral, tonsil
palatina, tonsil lingual/dasar lidah dan epiglotis. Derajat obstruksi dibagi menjadi 4 kategori, yaitu;
simple palatal snoring, suara mendengkur yang berasal dari geratarn palatum mole, dinding sfingter
velofaring dan orofaring bagian atas.

Sementara pada lateral wall collapse, penyebab obstruksi berasal dari area orofaring dan tonsil
palatina. Tounge base/epiglotis, jika fungsi sfingter velofaring baik, obstruksi terdapat pada dasar
lidah atau karena hipertrofi tonsil lingua. Epiglotis mungkin memiliki kontribusi terhadap dengkuran.
Dikatakan mengalami multi segmental collapse, jika tampak obstruksi pada beberapa tingkatan
anatomi.

Pemeriksaan sefalometri dan foto polos saluran nafas atas, dapat digunakan untuk mengevaluasi
kelainan anatomi kranofasial. Komputer tomografi dan magnetic resonance imaging (MRI), juga
dapat dimanfaatkan untuk mengetahui dan memahami hubungan antara kelainan anatomi
kranofasial dengan gangguan pernafasan.

Sampai saat ini polisomnografi (PSG) merupakan pemeriksaan baku emas untuk menegakkan
diagnosis OSA. PSG merupakan uji diagnostik, untuk mengevaluasi gangguan tidur yang dilakukan
malam hari, di sebuah laboratorium tidur. Ini digunakan untuk membantu pemilihan terapi dan
evaluasi hasil terapi.

Setidaknya, ada 3 sinyal utama yang dimonitor dalam pemeriksaan PSG. Yaitu, sinyal untuk
mengonfirmasi keadaan stadium tidur seperti elektroensefalogram (EEG), elektroekulogram (EOG)
dan submental elektromiogram (EMG).

Yang kedua adalah sinyal yang berhubungan dengan irama jantung, yaitu elektrokardiogram(ECG).
Sinyal ketiga yang berhubungan dengan respirasi seperti airflow (thermistor dan nasal pressure
tranducer), oksimetri, Snoring sensor, dan respiratory effort (impedance plethysmography). Juga
secara rutin digunakan EMG pada M. Tibialis Anterior untuk monitor gerakan tungkai (untuk
mendiagnosis Periodic Limb Movement Disorder). Pada keadaan khusus, bisa ditambahkan
kapnografi atau trans cutaneous CO2 (terutama pada anak-anak), EMG interkostal dan balon
manometri esofageal (untuk diagnosis Upper Airway Resistance Syndrome).

Turunkan Berat Badan

Terapi OSA bisa dimulai dengan menurunkan berat badan, terutama pada kasus OSA ringan. Atau,
dengan menghindari kebiasaan mengonsumsi alkohol atau minum obat tidur. Bisa juga dengan tidur
dalam posisi miring. Terapi menggunakan alat bantu oral yang dipakai di mulut dan pembedahan,
dapat dilakukan untuk penanganan OSA sedang hingga berat.

Diperkirakan, 70% pasien OSA memiliki berat badan berlebih bahkan obesitas. Sehingga, dokter
yang merawat umumnya akan menganjurkan pasien menurunkan berat badan. Dari beberapa
penelitian diketahui bahwa penurunan berat badan pada penderita OSA yang mengalami obesitas,
dapat meningkatkan volume dan fungsi saluran nafas atas. Mendengkur dan kejadian apnea dan
hypopnea saat tidur, juga berkurang. Dalam kondisi tertentu, dimungkinkan dokter memberikan
obat untuk menurunkan berat badan pada pasien OSA.

Menghindari konsumsi minuman beralkohol, obat penenang, nikotin dan kafein pada malam hari,
bertujuan untuk memperbaiki tonus otot saluran nafas atas serta mekanisme pernafasan sentral.
Preparat efedrin walau pun tidak memberi efek jangka panjang, dilaporkan mampu membantu
memperbaiki aliran udara pada saluran nafas atas.

Jika berbicara mengenai pengobatan untuk kasus obesitas secara global, banyak regimen yang bisa
digunakan, di antaranya: Diethylpropion, Orlistat, Phentermine, Sibutramin, dan Rimonabran.
Sayangnya hanya ada 2 jenis obat yang masuk di Indonesia, yaitu Diethylpropion dan Orlistat.
“Sebelumnya kita masuk di era Sibutramine, namun karena efek samping penggunaan obat ini, yang
dapat meningkatkan kejadian risiko penyakit kardiovaskuler, obat ini di tarik dari peredaran,” ujar dr.
Johanes Chandrawinata, MND, SpGK.

Dalam sebuah studi yang dimuat disebuah jurnal obesitas di Amerika Serikat tahun 2009,
menyebutkan bahwa dari sekian banyak anti obesitas yang digunakan oleh para ahli obesitas dunia,
diethylpropion menempati urutan ke dua, setelah phentermine. Dengan penggunaan mencapai 65%.
“Ini bisa dikatakan merupakan obat anti obesitas yang banyak direkomendasikan para ahli, dan
sudah ada di Indonesia” ujar dr. Johanes.

Anda mungkin juga menyukai