Anda di halaman 1dari 32

MENUJU SEKOLAH MASA DEPAN:

PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR DI ABAD 21

Disusun Oleh :

Sudiana Iskandar, S.Pd


Kandi Sekarwulan, S.Si (co-author)

Sekolah Dasar Karang Pawulang


Bandung
2012
LEMBAR PENGESAHAN

Mengetahui,

Kepala Sekolah Pengawas Sekolah

(....nama lengkap...) (....nama lengkap...)


NIP: NIP:
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas rahmat dan
karunianya makalah ini dapat disusun tanpa adanya halangan yang berarti. Makalah ini
merupakan wujud keprihatinan penulis terhadap kondisi pendidikan dalam situasi dunia saat
ini yang sangat berbeda dibandingkan dengan beberapa abad yang lalu saat sistem pendidikan
pertama kali dikembangkan. Makalah ini memberikan perspektif tentang kesesuaian sistem
pendidikan dengan tuntutan zaman, juga perspektif visi penulis mengenai prinsip-prinsip
sekolah yang lebih sesuai untuk mempersiapkan anak menghadapi masa depan.
Besar harapan penulis bahwa makalah ini dapat memberikan inspirasi dan wawasan baru
bagi rekan-rekan yang bekerja dalam bidang pendidikan, khususnya praktisi dalam
pendidikan dasar. Semoga makalah ini dapat memberikan sumbangan dan manfaat untuk
perbaikan dalam bidang pendidikan dasar sehingga mampu memberikan layanan maksimal
bagi peserta pendidikan dasar, yaitu anak-anak bangsa.

Bandung, 1 Mei 2012

(Sudiana Iskandar, S.Pd)


DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Daftar Gambar iii
Daftar Tabel
Bab I: Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 3
1.4 Manfaat 3
Bab II: Tinjauan Pustaka 4
2.1 Pendidikan Dasar Berkualitas: Kritik terhadap Pendidikan Tradisional 4
2.2 Pendidikan Dasar Berkualitas: Karakteristik Peserta Didik 7
2.3 Pendidikan Dasar Berkualitas: Filosofi dan Model Pembelajaran 12
Bab III: Pembahasan 16
3.1 Sekolah Masa Depan: Relevansi Pendidikan dengan Situasi Dunia 16
3.2 Mendidik untuk Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak 20
3.3 Transformasi Pendidikan Dasar: Menuju Sekolah Masa Depan 24
Bab IV: kesimpulan dan Saran 25
Daftar Pustaka 26
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Efektivitas berbagai metode belajar 13


Gambar 2. Taksonomi berpikir Bloom 15
Gambar 3. Maket, bentuk evaluasi melalui karya 18
Gambar 4. Kunjungan ke pasar, bentuk pembelajaran langsung di masyarakat 19

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbedaan umum cara belajar anak perempuan dan laki-laki 11


Tabel 2. Jenis-jenis pertanyaan dan hubungannya dengan keterampilan berpikir 16
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan dasar memiliki peranan sangat penting dalam proses tumbuh kembang anak.
Pendidikan dasar yang berkualitas seharusnya mampu memberikan dasar-dasar kuat bagi
anak sehingga dapat melanjutkan proses tumbuh-kembangnya secara mandiri pada fase-fase
lebih lanjut dalam hidupnya, baik pengembangan kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Kegagalan pendidikan dalam memberikan dasar-dasar kapasitas tersebut memberikan
pengaruh besar pada tingkat penghidupan manusia pada masa dewasanya, seperti disebutkan
dalam World Development Report 2000/2001 di mana salah satu permasalahan terbesar
kemiskinan adalah kekurangberdayaan akibat kurangnya pengetahuan, dan hampir satu
milyar penduduk dunia tidak mampu mengembangkan pengetahuan karena tidak memiliki
keterampilan dasar keaksaraan untuk mengakses pengetahuan. Hal ini disebabkan oleh tidak
adanya pendidikan dasar, atau rendahnya mutu pendidikan dasar (http://www.teacherfirst.nl).
Nilai penting pendidikan telah tersirat sejak awal kemerdekaan Indonesia, seperti
tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 bahwa salah satu tujuan
dibentuknya pemerintahan Indonesia adalah untuk “…mencerdaskan kehidupan bangsa”
(http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45). Adapun penjelasan mengenai “kehidupan
bangsa yang cerdas” tersebut diperjelas dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
20/2003 pasal 3, di mana tujuan pendidikan Indonesia adalah “…berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab,” Pernyataan tersebut berimplikasi bahwa sistem
pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan dasarnya, harus diselenggarakan sedemikian
rupa sehingga memberikan dampak nyata terhadap proses perkembangan manusia Indonesia,
dengan kata lain pendidikan harus berkualitas. Pendidikan berkualitas berarti bahwa
pendidikan harus memenuhi kebutuhan belajar peserta didik dengan cara-cara yang paling
efektif sesuai karakteristik serta keunikan peserta didik.
Selain terkait dengan kualitas, kebutuhan akan pendidikan dasar yang relevan dan
kontekstual menjadi semakin mendesak karena dunia saat ini sedang mengalami perubahan
drastis. Salah satu titik perubahan yang berpengaruh sangat besar dalam pendidikan adalah
penemuan internet. Pada tahun 2009, populasi pengguna internet di dunia mencapai
1.668.870.408 orang, dengan kata lain hampir seperempat penduduk dunia (Gilbert, 2011).
Dengan begitu banyak orang menggunakan internet, akses terhadap informasi menjadi jauh
lebih mudah, cepat dan tingkat kesetaraannya sangat tinggi. Ini sangat jauh berbeda
dibandingkan situasi satu abad lalu, di mana sumber informasi sangat sedikit dan seringkali
hanya dapat diakses oleh orang-orang kaya dan berkuasa.
Perubahan lain terjadi dengan cepat dalam cara hidup manusia. Selama banyak generasi,
orang hanya melakukan satu jenis pekerjaan selama hidupnya. Generasi abad 20 bisa jadi
memiliki dua hingga tiga pekerjaan yang dilakukan bersamaan, misalnya menjadi dosen
sekaligus penulis buku. Sedangkan situasi abad 21 diilustrasikan oleh Nicholl & Rose (1997)
sebagi era di mana menanyakan “Apa cita-citamu waktu besar nanti?” tidak lagi relevan,
karena seseorang dapat berganti karier hingga 3-4 kali dalam hidupnya. Penemuan teknologi
pun menciptakan perubahan cara hidup yang drastis, seperti ditemukannya telepon seluler,
transaksi ekonomi melalui internet (online trading, online banking, dan lain sebagainya).
Cara hidup orang saat ini telah mengalami perbedaan dibandingkan dengan cara hidup
sepuluh tahun lalu. Dengan semakin cepatnya laju perubahan dunia, masa depan menjadi
penuh ketidakpastian, dan satu-satunya hal yang dapat dipastikan adalah perubahan akan
terus terjadi tanpa henti (Tsantis, dalam Nicholl & Rose, 1997).
Kedua hal ini, yaitu pendidikan berkualitas dan situasi dunia yang terus berubah, menjadi
tantangan utama bagi pendidikan dasar di abad 21. Bagaimana pendidikan dapat
mempersiapkan anak-anak untuk tumbuh kembang seutuhnya menjadi bahagia dan baik
dalam dunia yang terus-menerus berubah? Pemikiran tersebut menjadi dasar penyusunan
makalah ini.

1.2 Perumusan Masalah


Berikut adalah perumusan masalah yang berusaha dikaji dalam makalah ini:
1. Pendidikan dasar seperti apakah yang relevan dengan situasi dunia masa depan?
2. Bagaimana proses pembelajaran dapat mengakomodasi karakteristik peserta didik dan
mengembangkan setiap peserta didik secara optimal?
3. Bagaimana sekolah dasar dapat melakukan transformasi pendidikan sehingga efektif
mengoptimalkan tumbuh-kembang siswa, serta mempersiapkan mereka menghadapi
masa depan?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bentuk pendidikan dasar yang relevan untuk dunia masa depan
2. Mengetahui proses pembelajaran dan metode pendidikan yang sesuai dengan
karakteristik peserta didik dan dapat mengoptimalkan pengalaman belajar peserta
didik
3. Mengetahui strategi transformasi agar sekolah dapat mencapai pendidikan yang
efektif mengoptimalkan tumbuh kembang siswa serta mempersiapkan siswa
menghadapi dunia yang terus berubah

1.4 Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi institusi pendidikan dasar: memberikan gambaran mengenai sistem sekolah
masa depan dan langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mencapainya
2. Bagi pendidik: memberikan gambaran mengenai proses pembelajaran dan strategi
pendidikan yang efektif mengoptimalkan tumbuh kembang peserta didik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendidikan Dasar Berkualitas: Kritik Terhadap Pendidikan Tradisional


Dalam Gilbert (2011), Tom Peters, seorang pebisnis sukses berkata, “Never hire the
people with exceptionally high grades at university and secondary school.” Dengan kata lain,
agar sukses dalam berbisnis, Peters menyarankan agar tidak mempekerjakan orang-orang
berprestasi tinggi dalam bidang akademik.
Kasus ini merupakan penanda adanya permasalahan dalam pendidikan tradisional yang
disebut oleh Gilbert (2011) sebagai “kebohongan besar dunia pendidikan.” Frase tersebut
merupakan reaksinya terhadap pandangan umum bahwa “jika seseorang berprestasi di
sekolah (tradisional), hidupnya akan sukses.” Bantahan Gilbert terhadap pandangan tersebut
didasarkan pada fakta bahwa banyak tokoh ternama di dunia yang tidak berhasil secara
akademis, tetapi memperoleh pencapaian tinggi dalam kehidupan. Steve Jobs, salah satu
pebisnis paling sukses di dunia abad 21, tidak menamatkan pendidikan formal. Albert
Einstein dan Isaac Newton merupakan siswa-siswa yang dianggap bermasalah di sekolahnya.
Hal ini merupakan bukti bahwa sistem sekolah tradisional tidak menjamin keberhasilan
seseorang dalam kehidupan nyata.
Permasalahan pendidikan tradisional berasal dari sejarah awal sistem pendidikan itu
sendiri. Asal-usul sistem sekolah tradisional dapat dirunut hingga ke era Revolusi Industri,
saat diberlakukan aturan bahwa hanya orang dewasa yang dapat bekerja (sebelum ada aturan
tersebut, banyak pabrik juga mempekerjakan anak-anak). Dengan mayoritas orang tua
bekerja di pabrik, mereka tidak dapat mendampingi dan menjaga anak-anaknya. Sekolah
formal menjadi solusi yang diajukan pemerintah saat itu untuk mengatasi permasalahan
tersebut. Adapun tujuan utama pendidikan di sekolah saat itu adalah “…preparing workers
for their place in rationally planned manufacturing,” atau mempersiapkan anak-anak untuk
menjadi pekerja di pabrik. Sekolah, pada awal pendiriannya, digunakan oleh pemerintah
untuk “menciptakan warga negara yang setia, produktif, dan patuh secara sosial,” dengan
kata lain sekolah pada awalnya merupakan bentuk kontrol sosial (Gilbert, 2011). Jadi sejak
awal, sistem sekolah tradisional bukan dirancang untuk membebaskan manusia, melainkan
untuk membentuk mereka agar sesuai dengan kebutuhan dunia industri.
Rancangan awal sistem sekolah tersebut berdampak pada praktek-praktek pendidikan
tradisional, dan memberinya karakteristik tertentu. Beberapa karakteristik pendidikan
tradisional yang dianggap tidak berfungsi atau tidak lagi relevan dengan konteks dunia saat
ini adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan tradisional tidak mendukung tumbuh kembang mental yang optimal, karena
hanya memusatkan perhatian pada keterampilan berpikir tingkat rendah seperti menghafal
dan memahami pelajaran. Anak diminta mengadopsi pemikiran orang lain, sedangkan
pemikiran mandiri tidak hanya diabaikan tetapi juga ditekan. Sistem pembelajaran seperti
ini tidak akan menghasilkan orang-orang dewasa yang bijaksana ataupun hebat
(Wilderspin, dalam Gilbert, 2011).
2. Pendidikan tradisional mementingkan kemampuan untuk menyelesaikan tugas dengan
baik, alih-alih kemampuan memecahkan masalah atau menciptakan sesuatu yang baru.
Hal ini berhubungan dengan rancangan awal sekolah untuk menciptakan pekerja yang
terampil dalam industri, sehingga metode belajarnya berpusat pada drilling atau
pengulangan tugas-tugas sederhana. Metode tersebut efektif untuk menguasai
keterampilan tertentu, tetapi tidak memadai untuk mengembangkan sisi-sisi lain dari
potensi anak. Gilbert (2011) menyebutkan bahwa terlalu banyak melakukan pengulangan
dapat menghambat kesempatan untuk mengembangkan kreativitas, bahkan mematikan
kemampuan berpikir.
3. Aktivitas belajar utama dalam pendidikan tradisional adalah siswa menerima informasi
secara pasif dari guru. Ciri khas dari seorang manusia pembelajar yang berhasil adalah, ia
memiliki pendekatan aktif dalam belajar. Ia selalu bertanya, rasa ingin tahunya besar, ia
berusaha menemukan jawaban atar pertanyaan-pertanyaannya sesuai dengan gaya
belajarnya yang unik. Cara belajar pasif yang dilakukan sekolah tradisional, di mana anak
hanya mendengarkan atau mengerjakan sesuatu ketika disuruh, sangat tidak efektif dalam
mengembangkan kemampuan anak untuk belajar mandiri. Padahal dalam dunia yang
terus-menerus berubah, kemampuan belajar mandiri sangat dibutuhkan agar anak dapat
merespon dan beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan.
4. Dalam pendidikan tradisional, guru berperan sebagai sumber informasi sedangkan proses
belajar adalah proses transfer informasi dari guru ke siswa. Peran dan relasi guru-siswa
seperti ini tidak lagi memberikan manfaat di abad 21, saat informasi dalam jumlah besar
menjadi sangat mudah diperoleh dan perubahan berjalan sangat cepat sehingga informasi
dengan segera menjadi usang.
5. Materi dan setting belajar dalam pendidikan tradisional cenderung memencilkan siswa
dari dunia yang sebenarnya, dan tidak mengakomodasi kebutuhan belajar yang
sebenarnya. Ruang kelas merupakan lingkungan belajar yang sangat miskin dibandingkan
dunia luar, seperti dinyatakan oleh Wilderspin (dalam Gilbert, 2011) bahwa “…dalam
satu jam di taman, padang rumput, atau lapangan, saya telah mengembangkan lebih
banyak potensi anak daripada satu bulan di dalam ruang kelas.” Terlalu banyak anak
dipaksa untuk mempelajari hal-hal yang tidak mereka butuhkan, tanpa mengetahui apa
relevansi materi belajar tersebut dengan kehidupannya sehari-hari. Hal ini didukung oleh
sebuah riset yang menyimpulkan bahwa 70% siswa di sekolah merasa bahwa belajar itu
penting untuk mereka, tetapi hanya untuk mata pelajaran yang sesuai dengan cita-cita
atau karier mereka di masa depan, sedangkan untuk mata pelajaran lain mereka
menganggap tidak masalah jika gagal (Gilbert, 2008, dalam Gilbert, 2011).
6. Bentuk evaluasi pendidikan tradisional kebanyakan berupa tes atau ujian tertulis. Salah
satu kelemahan tes adalah, ia hanya menyediakan konteks artifisial sehingga tidak
mencerminkan kemampuan anak yang sebenarnya di dunia nyata (Nicholl & Rose, 1997).
Namun kelemahan fatal dari tes terletak pada kenyataan bahwa sebaik apapun prestasi
kelas secara keseluruhan, akan selalu ada 50% siswa yang nilainya di bawah rata-rata,
dan anak-anak ini akan dicap sebagai inferior (Tribus, dalam Nicholl & Rose, 1997)
seperti “bodoh,” “lambat belajar,” “tidak mampu,” atau “gagal.”
7. Pendidikan tradisional cenderung menyeragamkan semua siswa. Jumlah siswa yang
banyak dalam satu kelas membuat guru tidak dapat memberikan perhatian personal
terhadap setiap siswa, sehingga kebutuhan dan keunikan mereka tidak terfasilitasi dengan
baik.

Berbagai permasalahan dalam praktek pendidikan tradisional ini ternyata menimbulkan


dampak yang besar bagi kehidupan dan proses tumbuh kembang anak, di antaranya adalah:
1. “Over-examined, under-educated” - Walaupun berhasil menjalani berbagai tes di sekolah,
tetapi anak sebenarnya tidak terdidik dengan baik, dalam arti karakter dan potensi-potensi
uniknya tidak berkembang, ilmu yang diperoleh tak dapat diterapkan, kemampuan belajar
dan berpikir mandiri rendah, kompetensinya sebagai manusia tidak berkembang.
Akibatnya, di masa depan ia dapat mengalami kesulitan saat berhadapan dengan
kehidupan. Hal ini pun merupakan kerugian besar bagi masyarakat pada umumnya,
karena hilangnya berbagai bakat serta kecerdasan yang seharusnya dapat dikontribusikan
anak-anak ini untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
2. “Benci belajar” - Pada banyak anak, pendidikan di sekolah tradisional memberikan
trauma terhadap belajar, karena proses belajar yang mereka alami diwarnai lebih banyak
emosi negatif seperti takut dimarahi guru, frustrasi karena tidak dapat mengerjakan soal,
rendah diri karena gagal dalam ujian atau tidak naik kelas, dan lain sebagainya.
Akibatnya anak mempersepsi kegiatan belajar sebagai pengalaman yang tidak
menyenangkan dan tidak ada motivasi dari dalam untuk menuntut ilmu serta
mengembangkan diri.
3. “The burden of stupidity” atau beban cap bodoh, terjadi pada anak-anak yang dianggap
kurang berhasil secara akademik. Pandangan umum tentang pendidikan memiliki
konsekuensi bahwa para siswa yang kurang berhasil di sekolah akan dicap sebagai
“gagal” atau “tidak mampu.” Dampak penghakiman tersebut sangat negatif secara
psikologis, karena rasa rendah diri akibat citra diri yang buruk dapat bertahan seumur
hidup tak peduli seberapa sukses seseorang di masa depan. Bill Gates (2006) menyatakan
tentang caranya merekrut pekerja, “We don’t just pick employees for their brains, but for
their energy,” artinya bukan hanya masalah kompetensi atau kecerdasan, tetapi juga
„energi positif‟ yang memancar dari seseorang karena rasa percaya diri yang dimilikinya.
Ini berarti bahwa rasa rendah diri yang mempengaruhi peluang anak untuk berhasil di
masa depan, bukan tentang kecerdasan atau kapasitas yang sebenarnya.
4. “Capable but don’t feel lovable” yaitu siswa berbakat dengan citra diri yang buruk, atau
tidak menyadari bahwa ia sebenarnya berbakat. Penelitian psikologis yang dilakukan oleh
James (1998, dalam Gilbert, 2011) menunjukkan tingginya tingkat depresi pada siswi-
siswi suatu sekolah putri unggulan. Sumber depresi tersebut berasal dari rendahnya
penghargaan terhadap pencapaian mereka, karena prestasi dianggap sebagai „sudah
sewajarnya.‟
Hurlock (1978) menyatakan bahwa dalam proses belajar ada yang disebut sebagai “bobot
emosional” atau ranah afektif, yaitu emosi atau rasa yang menyertai suatu konsep. Jika bobot
emosionalnya negatif, maka konsep tersebut akan dijauhi, sebaliknya jika bobot emosional
positif maka konsep tersebut akan didekati atau dicari. Kesalahan pembelajaran secara
kognitif akan mudah diubah, artinya tinggal diperkenalkan pada konsep yang benar. Namun
dampak afektif seperti yang dijabarkan pada poin kedua hingga keempat akan jauh lebih sulit
untuk diubah. Perbaikan sikap hanya dapat terjadi jika peserta didik memperoleh bobot
emosional baru yang lebih positif terkait dengan hal tersebut.

2.2 Pendidikan Dasar Berkualitas: Karakteristik Peserta Didik


Setiap orang memiliki kebutuhan belajar yang berbeda-beda, disebabkan oleh variasi usia,
tahap perkembangan, tipe kecerdasan yang dimiliki, juga konteks dan latar belakang
kehidupan orang tersebut. Penyelenggaraan pendidikan disebut berkualitas jika ia dapat
memfasilitasi aneka kebutuhan belajar tersebut sehingga tiap peserta didik dapat memperoleh
pengalaman belajar yang memberi manfaat optimal bagi pengembangan dirinya. Ini berarti
bahwa pengenalan terhadap karakteristik peserta didik mutlak perlu dilakukan sebelum
mengembangkan konsep pendidikan yang sesuai untuk mereka. Jika prinsip tersebut
diterapkan pada sekolah dasar yang peserta didiknya berusia sekitar 6 hingga 12 tahun, ini
berarti setiap pendidik di sekolah dasar perlu terlebih dahulu mengetahui karakteristik anak
dalam kisaran usia tersebut.
Piaget (dalam Hurlock, 1978) menjabarkan tahapan perkembangan kognitif anak pada
usia 6-12 tahun sebagai “tahap operasi konkret.” Pada fase perkembangan ini, konsep anak
tentang dunia telah berkembang menjadi makin konkret dan spesifik. Anak mulai dapat
berpikir deduktif, membentuk konsep ruang dan waktu, menggolong-golongkan objek. Anak
mampu memahami sudut pandang orang lain, dan hal ini membuka jalan ke pemahamaman
terhadap realitas yang lebih besar. Bentuk penalaran masih berupa penalaran konkret, yang
berarti bahwa konsep dibentuk melalui segala sesuatu yang dapat dicerap dengan indra.
Pada kisaran usia sekolah dasar, konsep anak terhadap waktu telah lebih berkembang,
khususnya anak usia delpaan tahun ke atas. Anak memahami adanya interval dan relativitas
dalam waktu, misalnya waktu akan terasa cepat berlalu bila melakukan hal-hal yang
menyenangkan. Adapun terkait dengan penguasaan terhadap bilangan, anak tidak akan
memahami konsep „satuan‟ hingga anak dapat menerapkan dan membandingkannya.
Sedangkan mengenai penafsiran jarak, anak-anak pada usia ini masih akan mengalami
kesulitan besar jika harus menaksir jarak yang sangat jauh dan tidak berkaitan dengan tubuh
(misalnya jarak antara dua kota pada peta, karena tidak dapat diukur dengan menggunakan
bagian tubuh mereka).
Untuk anak-anak pada kisaran usia seperti ini, pemaknaan atau pembentukan konsep
mental berasal dari hal-hal berikut (Hurlock, 1978):
1. Eksplorasi indriawi, yaitu melihat, mendengar, membaui, meraba
2. Manipulasi motorik seperti memegang dan membongkar benda-benda
3. Bertanya
4. Media massa bergambar seperti komik, film dan televisi
5. Membaca, jika dilengkapi dengan diskusi dan film pendidikan
Usia 6-12 tahun merupakan tahapan yang sangat kaya untuk mengembangkan kreativitas.
Kreativitas penting bagi anak karena dapat memberikan kepuasan dan kesenangan dari proses
menciptakan sesuatu, membantu meningkatkan prestasi sehingga memperoleh pengakuan
yang dibutuhkan dari orang yang dianggap penting sehingga menjadi sumber kepuasan ego
yang besar. Kreativitas juga dapat membantu mengembangkan kepemimpinan (Hurlock,
1978).
Tahapan perkembangan dalam usia sekolah dasar juga meliputi perkembangan dalam
kemampuan hidup bersama, atau perkembangan psikososial. Tahapan perkembangan yang
dialami anak usia 6-12 tahun disebut oleh Erikson (dalam BPIP, 2007) sebagai tahapan
“Industry versus Inferiority” yang berarti menjadi produktif atau menjadi rendah diri. Berikut
ini adalah ciri-ciri tahap perkembangan tersebut:
- Anak belajar bekerja sama dan bersaing baik dalam kegiatan akademik maupun dalam
pergaulan melalui permainan yang dilakukan bersama.
- Anak selalu berusaha untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, sehingga anak pada
usia ini rajin dalam melakukan sesuatu.
- Jika dalam tahap ini anak terlalu dituntut oleh lingkungan dan anak tidak berhasil
memenuhinya maka akan timbul rasa rendah diri.
- Dorongan positif dari orang tua atau pendidik menjadi sangat penting untuk
menguatkan perasaan berhasil saat melakukan sesuatu.

Karakteristik anak tidak sekadar terkait dengan usia dan tahapan perkembangannya, tetapi
juga pada variasi dalam bakat dan cara belajar. Gardner (1985) menjabarkan hasil risetnya
mengenai berbagai tipe kecerdasan yang dimiliki oleh manusia menjadi tujuh jenis yang
kemudian ditambahkan menjadi delapan (Gardner, dalam Nicholl & Rose, 1997), yaitu:
1. Kecerdasan linguistik (bahasa); terkait dengan kemampuan membaca, menulis,
berkomunikasi secara verbal, menguasai bahasa baru.
2. Kecerdasan logis-matematis; terkait dengan kemampuan bernalar, menjalankan operasi
hitung, logika, dan matematika.
3. Kecerdasan visual-spasial; kemampuan berpikir dengan gambar, membayangkan,
memahami petunjuk visual, mengenal arah atau lokasi
4. Kecerdasan musikal; kemampuan mencipta musik, peka nada, apresiasi dan pemahaman
terhadap musik, menjaga irama.
5. Kecerdasan kinestetik-tubuh; terampil dalam bergerak, menggunakan seluruh tubuh untuk
memecahkan masalah, mengekspresikan emosi.
6. Kecerdasan interpersonal (sosial); kemampuan bekerja sama, membangun hubungan,
berempati dan pengertian terhadap orang lain.
7. Kecerdasan intrapersonal; kemampuan melakukan analisis diri dan perenungan, meninjau
perilaku dan perasaan terdalam orang, membuat rencana dan menyusun tujuan pribadi,
mengenal diri sendiri.
8. Kecerdasan naturalis (alam); kemampuan mengenali flora dan fauna, memilah-milah
berbagai benda alam dan menggunakannya untuk tujuan yang produktif.
Semua orang memiliki setiap jenis kecerdasan tersebut dalam porsi yang berbeda-beda. Ada
sebagian orang yang sangat menonjol pada kecerdasan tertentu, ada pula yang cenderung
mengembangkan semua kecerdasan tersebut secara merata. Pendidikan tradisional pada
umumnya hanya memusatkan pengembangan kecerdasan linguistik dan logis-matematis,
sehingga aspek kecerdasan lain tidak berkembang dengan seimbang. Nicholl & Rose (1987)
menjabarkan konsekuensi dari pengembangan kecerdasan yang tidak seimbang tersebut
dalam ilustrasi, seseorang yang sangat ahli dalam matematika hingga menemukan persamaan
yang baru (kecerdasan logis-matematis) tetapi tak dapat mengajarkan atau menyampaikannya
pada orang lain (kecerdasan interpersonal). Pada umumnya, semakin baik berkembangnya
seluruh segi kecerdasan, orang akan menjadi lebih luwes dalam menerima tantangan di
seluruh aspek kehidupan.

Berikutnya, keunikan karakteristik anak-anak terletak pada variasi dalam gaya belajar,
atau cara yang paling efektif dalam menyerap informasi. Secara garis besar, gaya belajar
dibagi menjadi tiga jenis yaitu visual yang menyerap informasi paling efektif melalui indra
penglihatan, auditori yang paling efektif belajar melalui perangkat mendengar dan berbicara,
serta kinestetik yang belajar paling baik dengan aktivitas fisik atau terlibat secara langsung.
Penelitian terhadap 5000 siswa sekolah di berbagai negara menunjukkan proporsi gaya
belajar dominan pada siswa mendekati persentase berikut (Nicholl & Rose, 1997):
- Visual 29%
- Auditori 34%
- Kinestetik 37%
Seiring meningkatnya usia, gaya belajar visual cenderung menjadi semakin dominan. Namun
Grinder (dalam Nicholl & Rose, 1997) menyatakan pula bahwa dua pertiga siswa
sesungguhnya memiliki cukup kecenderungan visual, auditori dan kinestetik sehingga dapat
belajar dengan cara apapun. Sekitar 1% siswa memiliki kesulitan untuk belajar karena
kondisi dirinya, misalnya kondisi fisik atau kematangan mental, sehingga sulit belajar dengan
pendekatan manapun. Sedangkan 20% siswa sangat cenderung pada gaya belajar tertentu
sehingga akan mengalami kesulitan jika harus belajar tidak sesuai dengan gayanya. Anak-
anak ini disebut Grinder sebagai Hanya Visual (HV), Hanya Auditori (HA), atau Hanya
Kinestetik (HK), dan dalam kajian terhadap anak-anak yang beresiko dikeluarkan dari
sekolah, dari 26% anak yang dianggap beresiko adalah anak-anak HK.

Variasi lain dalam cara belajar ternyata berhubungan dengan jenis kelamin atau gender.
Gurian & Ballew (2003) menunjukkan bahwa pada usia sekolah dasar, anak laki-laki dan
perempuan telah memiliki identitas gender yang tetap, pada umumnya setelah menginjak
kelas 4. Anak perempuan mengembangkan kemampuan belajar yang lebih luwes dan
mengalami lebih sedikit masalah dibandingkan anak laki-laki. Sebagian besar guru sekolah
dasar adalah perempuan, dan 99 persennya belum pernah memperoleh pelatihan tentang
perbedaan cara belajar anak laki-laki dan perempuan. Konsekuensinya, jika terjadi kesalahan
struktural di dalam kelas, anak perempuan mungkin dapat beradaptasi secara lebih alamiah
karena cara-cara yang digunakan gurunya lebih mendekati cara belajar mereka. Anak laki-
laki cenderung lebih impulsif dan kurang disiplin daripada anak perempuan. Banyak anak
laki-laki yang kesulitan membaca dan menulis, kesulitan memusatkan perhatian, juga
berprestasi di bawah kemampuannya.
Perbedaan cara belajar berdasarkan jenis kelamin ini disebabkan oleh perbedaan struktur
otak akibat perbedaan hormon perempuan dan laki-laki. Gurian & Ballew (2003)
menjabarkan sepuluh perbedaan cara belajar tersebut seperti ditunjukkan dalam tabel 1.

No Area Perbedaan Anak Perempuan Anak Laki-laki


Induktif, memulai proses berpikir dari Deduktif, memulai proses berpikir
Proses Berpikir Deduktif-
1 suatu kasus lalu membangun teori, dari suatu konsep besar lalu
Induktif
memperkaya konsep dasar. menerapkannya pada suatu kasus
Proses Berpikir Abstrak- Lebih mudah belajar dengan objek Lebih bagus dalam membayangkan
2
Konkret nyata yang dapat dimanipulasi. sesuatu, menyukai konsep abstrak
Berkata-kata lebih sedikit, dalam
Berkata-kata lebih banyak, dalam
kelompok hanya anak laki-laki
3 Penggunaan Bahasa kelompok frekuensi bicara lebih
dominan yang banyak bicara, lainnya
merata
lebih banyak diam.
Mendengarkan lebih banyak dan Cenderung lebih sedikit
4 Logika dan Pembuktian terperinci, merasa nyaman dengan mendengarkan, menuntut
percakapan yang lama serta rumit. pembuktian atas suatu pernyataan
Lebih mudah bosan, membutuhkan
Lebih baik dalam mengelola rasa
5 Kebosanan banyak stimuli agat perhatiannya
bosan secara mandiri
tetap terpusat.
Menggunakan lebih banyak ruang,
6 Penggunaan Ruang Menggunakan lebih sedikit ruang
khususnya pada usia muda
Tidak membutuhkan banyak Pergerakan membantu merangsang
7 Pergerakan
pergerakan selama belajar otak dan mengelola perilaku impulsif.
Lebih berfokus pada bagaimana
Sensitivitas dan Cenderung lebih mudah bekerja sama, menjalankan tugas dengan baik
8
Dinamika Kelompok mudah melakukan interaksi sosial daripada memperhatikan perasaan
orang di sekitar. Pengakuan sosial
sangat penting.
Mengandalkan gambar dan simbol
Menyukai gambar-gambar tetapi tidak
sebagai cara belajar, menyukai
terlalu bergantung pada gambar untuk
lambang, diagram dan grafik
belajar. Cenderung menyukai teks
9 Penggunaan Simbol khususnya pada kelas-kelas besar.
tertulis. Dalam membaca sastra, lebih
Dalam membaca sastra, cenderung
tertarik membahas perasaan dan emosi
tertarik pada kode atau pola yang
tokoh-tokohnya.
dibuat pengarang.
Membuat kelompok yang terstruktur.
Cenderung mengorganisasi secara Menghabiskan waktu lebih sedikit
Penggunaan Kelompok
10 lebih lentur. Menghabiskan banyak dalam mengelola proses tim, memilih
Belajar
waktu berproses dalam tim. ketua kelompok dengan cepat dan
berfokus pada tujuan kelompok.
Tabel 1. Perbedaan Umum Cara Belajar Anak Perempuan dan Laki-laki

Perlu diperhatikan bahwa perbedaan cara belajar antara anak perempuan dan laki-laki
tersebut lebih berupa kecenderungan dan tidak mutlak, karena struktur otak manusia
sesungguhnya sangat bervariasi. Sebagai contoh, seorang anak perempuan yang memiliki
otak-jembatan (struktur otaknya menyerupai otak anak laki-laki) mungkin memiliki
kemampuan visual-spasial yang lebih baik daripada anak laki-laki. Secara budaya, saat ini
pun anak perempuan dan laki-laki pun memperoleh perlakuan yang sama, misalnya anak
laki-laki diberi kesempatan lebih banyak untuk mengungkapkan perasaan lewat kata-kata
sehingga kemampuan verbalnya meningkat, atau anak perempuan belajar berkompetisi
melalui aneka lomba. Di sisi lain, secara fisiologis ternyata makin banyak pula anak laki-laki
dan perempuan yang terlahir dengan hormon tinggi sehingga sifat gender mereka semakin
kuat. Semua variasi ini perlu dipertimbangkan agar tidak menyamaratakan semua anak
perempuan dan laki-laki, serta tetap mempertimbangkan keunikan individual masing-masing.

2.3 Pendidikan Dasar Berkualitas: Filosofi dan Model Pembelajaran


Pendidikan untuk abad 21 perlu membebaskan potensi orang dan memampukannya
menghadapi kehidupan serta meraih kehidupan berkualitas sesuai keinginannya. Filosofi
pendidikan yang sejalan dengan prinsip tersebut adalah filosofi pendidikan humanis. Cara
pandang tentang manusia dari perpektif humanisme adalah: “Manusia memiliki kapabilitas
untuk mengembangkan pilihan untuk dirinya sendiri sesuai dengan tantangan yang terbawa
dalam keturunan, sejarah pribadi dan lingkungan” (Elias & Meriam, 1990, dalam Kamil,
2008). Dalam filosofi pendidikan humanis, prinsip-prinsip berikut perlu mendasari
penyelenggaraan pendidikan:
1. Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan baik
2. Setiap orang adalah bebas dan otonom (mandiri)
3. Setiap orang unik, tidak ada batasan dalam potensinya untuk bertumbuh
4. Konsep diri memerankan peran kunci dan mempengaruhi perkembangan
5. Setiap orang akan cenderung berusaha mencapai aktualisasi diri
6. Pemahaman seseorang terhadap kenyataan merupakan sesuatu yang dibangun oleh
dirinya pribadi.
7. Setiap orang bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan orang lain
Berdasarkan cara pandang ini terhadap manusia, pendidikan humanis memiliki karakteristik
sebagai berikut:
- Berpusat pada siswa, berusaha menjawab minat, kebutuhan-kebutuhan dan
mengembangkan potensi uniknya
- Pendidik berperan sebagai fasilitator yang menciptakan iklim, nilai, dan menekankan
pentingnya pengalaman unik siswa
- Pembelajaran personal, proses belajar harus bermakna bagi setiap siswa
- Tujuan akhir pendidikan adalah aktualisasi diri, bukan ketuntasan kurikulum semata
- Perkembangan tidak terjadi dalam isolasi, perlu ada interaksi dan kerjasama
Filosofi pendidikan humanis kemudian menghasilkan pendekatan-pendekatan belajar yang
bertujuan memanusiakan manusia, salah satunya adalah experiential learning atau belajar
lewat pengalaman. Gambar 1 menunjukkan hasil riset tentang berbagai cara untuk belajar dan
efektivitas prosesnya, tampak bahwa semakin aktif cara belajar dan semakin besar
keterlibatan serta peran siswa, semakin besar pembelajaran yang diperoleh.

Gambar 1. Efektivitas berbagai metode belajar


Menurut Gurian & Ballew (2003), salah satu kekuatan belajar dengan melakukan adalah:
keterlibatan siswa dalam proses belajar memperbesar kemungkinan internalisasi
pembelajaran sehingga tidak dianggap sebagai materi yang diberikan oleh orang lain (guru).
Siswa lebih cenderung mengajukan pertanyaan, mencari tahu secara aktif. Proses belajar
lewat pengalaman adalah proses belajar yang alami, sehingga siswa dapat memperoleh
manfaat tambahan dari mempelajari cara mereka belajar. Jika siswa memahami proses belajar
alamiah, semua peristiwa, termasuk yang tidak menyenangkan, akan dipandang sebagai
kesempatan untuk belajar. Jadi model belajar lewat pengalaman adalah model yang paling
mengasah siswa untuk menjadi manusia pembelajar.
Terdapat siklus alamiah yang terjadi saat seseorang mengalami proses belajar. Agar
model belajar lewat pengalaman dapat memberikan manfaat terbesar, setiap aktivitasnya
harus tuntas memenuhi semua tahap dalam siklus tersebut. Tahapan-tahapan tersebut adalah:
1. Mengalami – interaksi, permainan, tugas, kegiatan, bermain peran, penyelidikan, dan
sebagainya, yang dilakukan secara bersama-sama. Setiap siswa memberikan insight atau
pembelajaran yang diperolehnya dari pengalaman tersebut. Dari sini diperoleh
pemahaman yang kaya karena siswa dapat memiliki insight berbeda-beda.
2. Membicarakan tentang kesan dan perasaan yang diperoleh dari pengalaman, terutama jika
kegiatan yang dilakukan melibatkan emosi. Pemahaman atau ranah kognisi sulit
dikembangkan jika ranah afektif tidak digarap terlebih dahulu. Dari refleksi ini, siswa
juga diajak untuk menyadari bahwa kondisi emosional mereka mempengaruhi
pembelajaran yang mereka peroleh, juga dapat mengamati reaksi yang berbeda dari
teman-teman lain.
3. Menceritakan kembali dan membahas pengalaman, dengan penekanan pada dinamika,
perilaku, pola serta hasil dari pengalaman tersebut. Hasil refleksi ini adalah diperolehnya
kesimpulan dari pengalaman, dapat berupa sesuatu yang fisik (misalnya ciri-ciri sesuatu)
atau menggambarkan hubungan (misalnya A mempengaruhi B).
4. Mengidentifikasi kecenderungan umum – setelah ditemukan kesimpulan dari pengalaman
nyata, pemaknaan diperluas dengan mengaitkannya pada kasus-kasus lain sehingga
diperoleh kesimpulan umum. Misalnya, berdasarkan penyelidikan terhadap hewan amfibi
yaitu katak, diketahui bahwa telur katak akan menjadi berudu yang mengalami
metamorfosis. Apakah hal tersebut juga berlaku pada hewan amfibi lain? Jika ya, berarti
dapat disimpulkan salah satu ciri amfibi adalah mengalami metamorphosis.
5. Penerapan pengetahuan – pada tahap ini, siswa berusaha menemukan cara-cara untuk
menerapkan pengetahuannya pada kehidupan nyata. Jika siswa dapat menyebutkan
kegunaan pengetahuan tersebut bagi dirinya, ia akan cenderung mengingat pengetahuan
tersebut.
6. Merencanakan penerapan pengetahuan – jika pelajaran yang diperoleh bernilai penting,
anak-anak yang lebih besar dapat diajak untuk sungguh-sungguh menerapkannya dalam
kehidupan nyata (tahap ini tidak selalu dapat dilakukan, tergantung pada apa yang
dipelajari dan tingkat kematangan siswa). Penerapan dapat dilakukan secara individual
atau dalam kelompok.

Nicholl & Colin (1997), Kagan & Chapman (1999), serta Gilbert (2011) menekankan
pentingnya mengembangkan keterampilan berpikir mandiri, kreatif dan kritis untuk
menjawab tantangan dunia abad 21 yang terus berubah. Pendidikan untuk masa depan perlu
memusatkan perhatian pada berkembangnya kemampuan siswa untuk belajar secara mandiri
dan memilih respon yang bermanfaat bagi diri maupun lingkungannya. Kapasitas untuk
melakukan hal tersebut berasal dari kemampuan mengakses keterampilan berpikir tingkat
tinggi seperti aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi, seperti pada gambar 2.

Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

EVALUASI

SINTESIS

ANALISIS

APLIKASI

PEMAHAMAN

PENGETAHUAN

Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah

Gambar 2. Taksonomi berpikir (Kagan & Chapman, 1999)

Metode drilling yang digunakan dalam pendidikan tradisional cenderungmenekankan


pada pengetahuan dan pemahaman, yaitu keterampilan berpikir tingkat rendah. Untuk
mengembangkan keterampilan berpikir pada tingkat yang lebih tinggi, dibutuhkan
pendekatan lain seperti pendidikan hadap masalah (Freire, dalam Mudyahardjo, 2006).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Sekolah Masa Depan: Relevansi Pendidikan Dasar dengan Situasi Dunia
Piaget (dalam Gilbert, 2011) memberikan definisi kecerdasan sebagai “…what you use
when you don’t know what to do,” dengan kata lain kecerdasan teruji di saat seseorang
menghadapi situasi baru yang tidak ia ketahui cara menghadapi atau menyikapinya. Seperti
telah digambarkan pada bab pendahuluan, dunia saat ini berubah dengan kecepatan tinggi,
kita dihadapkan pada berbagai situasi dan permasalahan yang tidak pernah ada sebelumnya.
Dalam konteks ini pernyataan Piaget tersebut sangat relevan. Pendidikan pada abad 21 harus
mempersiapkan anak agar mampu merespon perubahan-perubahan tersebut dengan baik.
Untuk menjawab tantangan tersebut, terdapat konsep-konsep pembelajaran yang perlu
diterapkan dalam kegiatan belajar di sekolah masa depan, begitu pula perubahan peran guru
sebagai ujung tombak pendidikan, seperti akan dibahas berikut ini.

A. Membelajarkan life skill atau keterampilan hidup


Seperti pernyataan Nicholl & Rose (1987) mengenai filosofi pendidikan abad 21,
“Sekolah harus menjadi persiapan bagi siswa untuk menghadapi dunia nyata.” Sekolah masa
depan perlu membelajarkan dan mengembangkan berbagai keterampilan hidup yang
bermanfaat secara nyata bagi siswa. Jika dikaitkan dengan situasi dunia saat ini, maka
terutama sekali perlu dibelajarkan keterampilan yang berhubungan dengan definisi Piaget,
yaitu keterampilan untuk belajar, berpikir dan kreatif mencari solusi untuk merespon situasi
tak terduga. Kagan & Chapman (1999) menekankan perlunya keterampilan berpikir secara
mandiri dan kreatif dalam hal apapun, bahkan menyebutnya sebagai penentu sukses seorang
anak di masa depan.
Pengembangan keterampilan belajar, berpikir dan kreativitas dapat dilakukan melalui
berbagai aktivitas. Salah satu teknik yang dapat dilakukan pendidik untuk menstimulus
proses berpikir adalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berkualitas. Tabel 2
merangkum karakteristik pertanyaan yang dapat diajukan untuk membiasakan anak
mengakses keterampilan berpikir tingkat tinggi.

No Jenis Pertanyaan Berpikir Tingkat Rendah Berpikir Tingkat Tinggi


1 Pertanyaan „gemuk‟ vs Pertanyaan ‘kurus’ Pertanyaan ‘gemuk’
pertanyaan „kurus‟ Jawaban ya-tidak atau jawaban pendek Jawaban panjang, argumentatif
Kurang merangsang pemikiran Merangsang pemikiran
2 Konsensus tinggi Konsensus rendah
Konsensus tinggi vs Jawaban benar-salah Ada lebih dari satu jawaban benar
konsensus rendah Mengembangkan cara berpikir terpusat Mengembangkan cara berpikir meluas
Yang dipikirkan adalah “Apa” Yang dipikirkan adalah “Bagaimana”
3 Pertanyaan Ujian Pertanyaan Sejati
Pertanyaan ujian vs Penanya mengetahui jawaban Penanya tidak mengetahui jawaban
pertanyaan sejati Diajukan untuk menguji apakah siswa Merupakan undangan untuk berpikir
sudah memahami dengan benar bersama
Tabel 2. Jenis-jenis Pertanyaan dan Hubungannya dengan Keterampilan Berpikir

Adapun pengelolaan lingkungan belajar dan proses pembelajaran yang sesuai untuk
mengembangkan kreativitas dijabarkan oleh Hurlock (1978) sebagai berikut:
- Adanya waktu bebas untuk bermain-main dengan gagasan dan konsep, serta untuk
bereksperimen menciptakan sesuatu yang baru
- Kesempatan untuk menyendiri dan bebas dari tekanan sosial
- Dorongan positif untuk kreatif, bebas dari ejekan dan kritik
- Sarana yang mendorong eksperimentasi dan eksplorasi, dalam hal ini dapat berupa
lingkungan belajar yang kaya dengan stimuli pembelajaran
- Lingkungan yang merangsang kreativitas – kreativitas dihargai secara sosial sehingga
menjadi pengalaman yang menyenangkan
- Hubungan antara pendidik dan peserta didik demokratis, mendorong anak untuk mandiri
dan percaya diri
- Kesempatan yang besar untuk memperoleh pengetahuan – makin banyak pengetahuan yang
dimiliki anak, makin baik dasar untuk mencapai hasil yang kreatif.
Ekspresi kreativitas untuk masa sekolah dapat dilakukan dengan membuat permainan
konstruktif, misalnya membuat hastakarya, membangun kemah, rumah-rumahan, boneka
raksasa dan sebagainya.
Keterampilan hidup yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan untuk hidup
bermasyarakat, seperti pernyataan Delors (1996) bahwa salah satu tujuan belajar adalah
“learning to live together.” Sekolah masa depan adalah miniatur masyarakat, dan kegiatan
belajar tidak boleh memisahkan anak dengan masyarakat yang menjadi lingkungan tumbuh-
kembangnya. Karena itu sekolah perlu mendukung berbagai kegiatan yang berbasiskan
keterampilan dasar untuk berhubungan dengan lingkungan sekitar, antara lain bagaimana
anak bersikap terhadap orang lain, terhadap lingkungan kelas, maupun terhadap lingkungan
masyarakat. Keterampilan berkomunikasi secara efektif dan setara juga merupakan aspek
penting dalam bermasyarakat. Keterampilan bermasyarakat dapat dikembangkan melalui
aktivitas-aktivitas belajar seperti kunjungan dan riset langsung di masyarakat, diskusi,
presentasi, serta kerja kelompok.

B. Sistem penilaian berbasiskan hasil karya dan peningkatan kemampuan penguasaan


bidang-bidang yang dipelajari
Salah satu kelemahan terbesar sistem sekolah tradisional adalah penggunaan tes atau
ujian tertulis dalam bidang akademik sebagai satu-satunya sistem penilaian pembelajaran.
Seperti telah dijabarkan dalam tinjauan pustaka, hasil tes tidak selalu mencerminkan
kecerdasan dan kemajuan belajar siswa secara akurat. Anak hanya dinilai dari apa yang
tertulis sedangkan berbagai aspek kecerdasan lain tidak terukur ataupun dipertimbangkan.
Akibatnya salah sasaran dalam pendidikan seringkali terjadi – walaupun menjalani berbagai
tes, penguasaan anak terhadap bidang-bidang yang dipelajari belum tentu meningkat dan ilmu
yang didapat mungkin tidak dapat diterapkan untuk memperbaiki kualitas kehidupannya.
Evaluasi pendidikan di sekolah masa depan harus diarahkan untuk memetakan secara
efektif hasil belajar siswa, dengan mempertimbangkan berbagai ranah pembelajaran serta
mengapresiasi berbagai jenis kecerdasan. Konsep “learning school” atau sekolah pembelajar
berarti bahwa sistem penilaian digunakan untuk memastikan proses belajar terjadi secara
tuntas dan berdampak pada siswa dalam mengasah kekuatan serta mengatasi kelemahan
masing-masing (Gilbert, 2011).

Gambar 3. Maket, bentuk evaluasi melalui karya

Dalam konteks tersebut, tes dapat menjadi salah satu bentuk penilaian tetapi bukan satu-
satunya. Penekanan pada penguasaan bidang pelajaran berarti bahwa penilaian harus
dilakukan berdasarkan proses belajar yang dialami siswa. Karena itu pembuatan karya dapat
menjadi alat penilaian yang memadai. Dalam pembuatan karya ilmiah anak dapat melakukan
proses belajar mandiri dalam menghimpun, memilah dan mengolah fakta, kemudian
menyusun fakta tersebut dalam bentuk karya. Untuk anak-anak usia sekolah dasar, format
karya ini tidak selalu harus berupa tulisan tetapi dapat berupa karya kreatif seperti poster,
atau maket seperti tampak pada gambar 3.

C. Sekolah yang berbasiskan pada kehidupan dan praktek-praktek lapangan


Inti dari sekolah masa depan adalah menjadi pusat pembelajaran sejati untuk menghadapi
kehidupan, jadi sangat tidak adil jika proses pembelajaran di sekolah malah menghalangi
anak belajar dari lingkungan hidup dan masyarakat. Pendapat Freire (dalam Mudyahardjo,
2006) adalah bahwa pendidikan perlu dilakukan secara hadap-masalah, di mana guru maupun
siswa melakukan „komunikasi‟ dengan berbagai hal di kehidupan nyata, kemudian
mengembangkan pengetahuan bersama-sama melalui proses dialog.
Pada hakikatnya, sekolah perlu mendorong pembelajaran mengenai kehidupan. Anak
belajar untuk memecahkan permasalahan nyata, beradaptasi dan berinteraksi dengan berbagai
lapisan masyarakat, mengenal lingkungan sekitar serta merasakan berpartisipasi aktif dalam
berbagai aspek kehidupan.

Gambar 4. Kunjungan ke pasar, bentuk pembelajaran langsung di masyarakat

Agar dapat belajar mengenai kehidupan nyata, diperlukan berbagai latihan praktek dan
praktis yang bisa dilakukan oleh siswa. Kegiatan eksploratif seperti kunjungan ke pasar pada
gambar 4 merupakan kesempatan luar biasa untuk menerapkan berbagai ilmu yang telah
dipelajari di sekolah, misalnya:
- Matematika (menimbang benda dan menghitung harga belanjaan)
- IPA (mengenali berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang dijual di pasar)
- IPS (aktivitas jual-beli, sistem sosial di pasar)
- Bahasa-komunikasi (menambah kosa kata dari benda di pasar, tawar-menawar harga)
- PLH (sampah di pasar, asal-usul berbagai bahan makanan)
- Keterampilan hidup (sopan-santun dengan warga sekitar, saling menjaga teman)
- Seni rupa (menggambar suasana pasar)

D. Peran guru: memotivasi siswa untuk mau dan mampu mempelajari sesuatu
Dengan ditemukannya internet sebagai sumber informasi yang luar biasa besar, juga
banyaknya media massa serta kemudahan akses terhadap buku pengetahuan, peran guru
sebagai sumber pengetahuan tidak lagi relevan dalam dunia saat ini. Siswa bahkan dapat
menguasai suatu topik lebih baik dari guru karena telah membaca atau mempelajarinya
terlebih dahulu sebelum diajarkan di kelas. Peran guru perlu didefinisikan ulang dalam sistem
pendidikan yang berorientasi pada masa depan.
Dalam sekolah masa depan, tugas guru bukan memberi pengetahuan dan mentransfer
ilmu. Guru lebih berperan sebagai motivator penggerak energi dalam diri anak. Guru sebagai
motivator berarti guru memahami apa yang diingini dan diharapkan anak. Guru memberikan
motivasi agar anak mampu belajar secara mandiri serta menemukan pengetahuan yang belum
diberikan. Peran guru adalah menciptakan lingkungan dan suasana yang mendukung proses
belajar, sehingga anak dapat berproses sendiri dengan aman serta optimal. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Heidegger (dalam Gilbert, 2011) bahwa kata “teaching” sesungguhnya
bermakna “membiarkan seseorang belajar” bukan “mengajari.”
Guru di abad 21 perlu mengambil peran dalam mewujudkan demokratisasi belajar
(Gilbert, 2011), yaitu membantu anak belajar menghimpun, mengelola dan memanfaatkan
pengetahuan yang diperoleh sehingga bermanfaat untuk dirinya maupun orang lain. Melalui
berbagai aktivitas belajar lewat pengalaman, guru dapat membantu anak mengembangkan
berbagai keterampilan hidup dan pemahaman akan perannya dalam masyarakat, intinya
membantu anak berkembang menjadi manusia yang utuh sesuai keunikan dirinya.

3.2 Mendidik untuk Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak


Pendidikan disebut berkualitas jika mampu memenuhi kebutuhan belajar seseorang dan
memberikan manfaat optimal bagi perkembangannya. Mendidik untuk mengoptimalkan
tumbuh kembang anak berarti menaruh perhatian pada keunikan dan kebutuhan spesifik tiap
anak. Konsep-konsep yang dijabarkan berikut adalah metode dan pendekatan mendidik yang
diperlukan untuk menciptakan sekolah masa depan.
Mendidik sesuai karakteristik dan kebutuhan anak
 Sifat dasar
Sifat dasar anak adalah suka bermain dan selalu bergembira. Sekolah masa depan adalah
sekolah yang mampu merancang pembelajaran yang dilakukan dengan bermain dan dalam
suasana yang menyenangkan. Penekanan, stressing, ancaman merupakan sifat guru kuno
yang harus ditinggalkan.
Bermain sebagai cara untuk belajar pada umumnya dipandang sebagai pendekatan untuk
anak-anak berusia lebih muda, tetapi anak pada usia sekolah dasar sebenarnya juga
memperoleh manfaat lebih dari bermain. Jika anak diberi kesempatan untuk bermain,
ditemukan bahwa (David, dalam Arthur, Grainger & Wray, 2006):
- Anak lebih berminat untuk terlibat dalam proses belajar
- Anak lebih berani mengajukan pertanyaan dalam permainan, tidak berusaha mencari
jawaban. Artinya, bermain tidak „menakutkan‟ bagi anak.
- Rasa terlibat dan kendali atas situasi merupakan penguat bagi motivasi belajar anak
- Sifat eksploratif dari bermain mendorong tumbuhnya kreativitas, peraturan dapat
ditambahkan atau diubah
- Bermain membangun kecerdasan sosial
- Bermain itu menyenangkan bagi anak-anak, melepaskan stres dan meningkatkan energi
positif
Wilderspin (dalam Gilbert, 2011) juga menekankan pentingnya bermain sebagai cara untuk
meningkatkan kebugaran fisik anak, yang memberi pengaruh besar pada kesehatan mental
serta kemampuan belajar.
Dalam sekolah masa depan, proses belajar perlu diselenggarakan dalam setting gembira
dan bebas tekanan mental sehingga anak mempersepsi kegiatan belajar sebagai sesuatu yang
menyenangkan. Tekanan yang bermanfaat untuk membangun daya juang masih diperlukan,
tetapi sebaiknya dirancang sebagai bagian dari aktivitas sehingga menjadi tantangan untuk
dihadapi oleh anak-anak.
Jika kegiatan belajar diselenggarakan dalam suasana informal dan santai, kemampuan
anak untuk menyerap pengetahuan ternyata juga meningkat. Secara fisiologis, hal ini
disebabkan oleh aktivitas otak yang bekerja pada frekuensi gelombang tertentu, yaitu
gelombang alfa, ketika berada dalam keadaan rileks. Ketika berada pada kondisi gelombang
alfa, otak anak akan lebih terbuka terhadap informasi, lebih mudah menyimpan informasi
dalam ingatan jangka panjang, dan cenderung lebih kreatif (Nicholl & Rose, 1997).
 Cara dan gaya belajar
Setiap anak belajar sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Ada yang memiliki kelebihan
gaya belajar dalam auditori, ada yang lebih di visual maupun memiliki keunggulan di
kinestetik. Guru masa depan harus bisa menemukan dan mengembangkan model
pembelajaran berdasarkan gaya belajar di atas. Pembelajaran harus lebih banyak
menggunakan proses aktif, yaitu metode-metode yang berada di bagian bawah pada piramida
belajar (lihat gambar 1), karena proses aktif memfasilitasi baik gaya belajar visual, auditori
maupun kinestetik. Memadukan ketiga gaya belajar merupakan kreativitas tertinggi guru
dalam strategi pembelajaran yang diterapkannya.
 Potensi unggul
Jika di kelas ada 40 siswa, maka di kelas itu ada 40 potensi yang unik, yang berbeda
antara siswa satu dengan yang lainnya. Idealnya diperlukan 40 strategi belajar yang memadai
untuk masing-masing anak. Tugas guru adalah menemukan potensi masing-masing anak dan
mengaplikasikannya dalam proses belajar mengajar di kelas.
Terdapat beberapa strategi untuk memungkinkan terjadinya pembelajaran yang
mengakomodasi keunikan personal, di antaranya memperkecil rasio guru dan siswa, di mana
satu guru idealnya mendampingi tidak lebih dari lima belas siswa (Gurian & Ballew, 2003).
Hal ini mungkin sulit diterapkan pada konteks sekolah dasar di Indonesia karena terbatasnya
fasilitas sekolah dan tingginya kebutuhan masyarakat untuk mendaftarkan anak-anak di
sekolah dasar, sehingga ukuran kelas akan selalu besar. Cara lain untuk menyiasati kondisi
ini adalah teknik “pembelajaran vertikal" di mana anak-anak dari kelas yang lebih besar,
khususnya anak-anak yang berprestasi cukup baik, diajak untuk mengajari adik kelasnya
secara personal (Gurian & Ballew, 2003), misalnya satu kakak mengajari satu adik. Selain
bermanfaat dalam proses belajar adik-adik kelas, teknik ini juga bermanfaat bagi anak-anak
di kelas besar. Anak-anak yang berprestasi baik diberi tantangan lebih untuk menguji
pemahamannya tentang materi, serta memberi kesempatan anak-anak yang belajar lebih
lambat untuk mengejar teman-temannya.
 Psikologi perkembangan
Sekolah masa depan memandang anak sebagai individu yang sedang dalam proses
perkembangan. Anak di sekolah merupakan anak yang sedang berkembang sesuai dengan
karakter masing-masing. Fase perkembangan anak yang bebeda setiap usianya memberikan
landasan kuat bagi sekolah dan guru dalam merancang pembelajaran dan kurikulum. Sekolah
masa depan mengakomodasi fase perkembangan dalam rangka memahami anak sesuai
dengan fitrahnya. Dalam praktek pembelajaran berbasis tahapan perkembangan anak,
kegiatan-kegiatan dirancang untuk memenuhi tugas perkembangan anak pada usia sekolah
dasar, antara lain belajar bersosialisasi dan berperan sesuai jenis kelamin, mengembangkan
konsep berpikir, mengembangkan kebiasaan-kebiasaan baik.
Menurut Piaget, pada usia 6-12 tahun secara kognitif anak berada dalam tahap operasi
konkret, artinya anak membentuk konsep melalui pengalaman yang menggunakan indra
(belajar dengan melihat langsung, mendengar langsung, mencoba melakukan secara
langsung). Agar anak membentuk konsep yang sesuai dengan dunia nyata, maka proses
belajar harus dirancang agar menjadi pengalaman nyata pula dengan sebanyak mungkin
menggunakan praktek dan menghadirkan objek-objek sungguhan untuk dipelajari, bukan
gambar atau cerita semata. Banyak kesalahan konsep yang dialami siswa pada pendidikan
tradisional terjadi karena kurangnya pengalaman indriawi tersebut.
Tugas perkembangan yang tak kalah penting bagi anak di usia sekolah dasar adalah
belajar bersosialisasi dan berperan sesuai jenis kelamin. Sekolah dapat memfasilitasi
pencapaian tugas perkembangan tersebut melalui aktivitas bersama seperti kerja kelompok,
berkemah, juga mengundang orang dari berbagai profesi untuk menceritakan pekerjaannya
pada anak-anak.

B. Fokus menemukan dan memupuk potensi unggul setiap anak


Sekolah masa depan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak untuk
menemukan potensi unggulnya. Dalam pembelajaran di sekolah, anak dapat menemukan apa
yang menjadi kelebihannya. Dengan bimbingan guru, anak diarahkan untuk membangkitkan
berbagai potensi yang dimiliki. Sekolah melalui guru memberikan berbagai kegiatan belajar
yang dapat mengeksplorasi semua kemampuan setiap siswa.
Setelah menemukan potensi, sekolah juga harus menyediakan sarana dan prasarananya
untuk memupuk potensi itu. Sangat disayangkan jika anak sudah menemukan potensinya
namun tidak ada wahana untuk memupuk potensi itu agar melejit. Untuk itu sebuah sekolah
masa depan perlu memiliki sarana pendukung pendidikan yang lengkap seperti perpustakaan,
multimedia, internet, laboratorium kecil (sains, sosial), dan tempat unjuk kreativitas.

C. Mengembangkan moral anak dan kecerdasan beragam secara berimbang


Seperti telah disebutkan pada tinjauan pustaka, sekolah tradisional pada umumnya hanya
mengembangkan aspek kognitif saja, lebih sempit lagi hanya pada kecerdasan linguistik dan
logis-matematis. Akibatnya, anak yang menikmati sekolah tradisional hanya anak-anak yang
berbakat di bidang bahasa atau matematika, sementara anak yang memiliki kecerdasan
kinestetik atau musikal, misalnya, tidak dapat menikmati proses belajar di sekolah tradisional.
Sekolah masa depan adalah sekolah yang memberikan kesempatan terbuka kepada semua
anak untuk mengembangkan berbagai jenis kecerdasan yang dimilikinya. Nicholl & Rose
(1987) menyebut pendekatan pendidikan seperti ini sebagai membangun “otak yang utuh,”
yaitu mengembangkan seluruh jenis kecerdasan secara seimbang sesuai dengan bakat pribadi
tiap anak. Salah satu contoh penerapan kecerdasan beragam dalam proses belajar misalnya
pada saat mempelajari tata surya, anak diajak untuk:
- Membaca buku dan menulis laporan tentang berbagai jenis planet (linguistik)
- Menghitung jarak antar planet (logis-matematis)
- Membuat peta skala tata surya (visual-spasial)
- Mengarang lagu tentang karakteristik planet dan menyanyikannya (musikal)
- Membuat tarian atau melakukan simulasi gerakan planet mengitari matahari (kinestetik)
- Kerja kelompok untuk melakukan tugas-tugas tersebut (interpersonal)
- Mengasosiasikan planet mana yang paling menyerupai diri anak (intrapersonal)
- Melakukan pengamatan bintang dan planet di alam (naturalis)
Dengan pendekatan seperti ini, anak yang cerdas musik dapat menikmati pembelajaran musik
yang disukainya, begitu pula anak yang cerdas kinestetik melakukan berbagai kegiatan yang
disukainya. Kegiatan belajar menjadi lebih menyenangkan bagi semua, dan setiap anak dapat
menemukan bakat-bakat uniknya masing-masing. Pembelajaran dengan cara seperti ini
memungkinkan setiap anak untuk “menang” dalam bidang kecerdasannya, sehingga rasa
percaya diri setiap anak akan meningkat.
Sekolah masa depan juga memiliki peran besar dalam mengembangkan moral anak. Ciri
yang terlihat dari usaha mengembangkan moral dan kebiasaan baik adalah adanya
pembiasaan yang konsisten diterapkan oleh sekolah, seperti kebiasaan membuang sampah di
tempatnya, menghormati guru, belajar secara terbuka dan demokratis menjadi ciri utamanya.

3.3 Transformasi Pendidikan Dasar: Menuju Sekolah Masa Depan


Sekolah masa depan merupakan suatu konsep yang relevan menjawab kebutuhan dunia
abad 21 akan pendidikan. Untuk membawa konsep tersebut menjadi kenyataan di lapangan,
diperlukan strategi transformasi agar praktek-praktek pendidikan di sekolah tradisional saat
ini dapat digantikan secara bertahap oleh prinsip-prinsip sekolah masa depan. Perlu
diperhatikan bahwa mengubah praktek pendidikan sekolah dasar bukan sekadar memberikan
tambahan atau pengayaan pada materi yang ada, melainkan mengubah cara-cara yang sudah
tidak efektif dalam belajar. Ini bahkan bisa berarti mengurangi materi-materi yang tidak lagi
dianggap relevan untuk situasi dunia saat ini maupun untuk tumbuh kembang siswa.
Proses perubahan menuju sekolah masa depan dapat dilakukan melalui perubahan
bertahap pada berbagai aspek dari sistem sekolah, antara lain:
1. Penggunaan strategi strength model (McKeown, 2002), yaitu memetakan prinsip-prinsip
mana yang telah diterapkan maupun belum diterapkan di sekolah, baik dalam kebijakan,
kurikulum, materi, proses maupun evaluasi pembelajaran. Mengidentifikasi wilayah-
wilayah yang potensial untuk mulai menyisipkan prinsip-prinsip tersebut baik dari segi
pengetahuan, keterampilan, maupun nilai.
2. Integrasi dalam kurikulum: mengubah cara menyampaikan suatu materi melalui inovasi
RPP, menggunakan metode-metode belajar yang lebih aktif dan kreatif. Sebagai contoh,
untuk membelajarkan tentang konsep ekonomi, tidak melalui metode ceramah atau guru
mengajar di kelas, tetapi pada jam pelajaran siswa diajak melakukan permainan peran
tentang pasar dan jual-beli.
3. Pengayaan melalui ekstrakurikuler: Terkait dengan sistem sekolah tradisional yang
bersifat cukup kaku, ada kemungkinan proses perubahan tidak akan berjalan optimal jika
hanya mengandalkan perubahan kurikulum. Thoresen (2001) menganalisis bahwa
pendidikan non formal dalam sistem sekolah formal dapat mempercepat proses
perubahan, karena itu ekstrakurikuler dapat menjadi salah satu titik strategis untuk
membangun prinsip dan nilai sekolah masa depan. Pengembangan program
ekstrakurikuler dapat didasarkan pada prinsip-prinsip sekolah masa depan, dan menjadi
pembelajaran untuk diterapkan secara intra kurikuler.
4. Peningkatan kapasitas guru: pergeseran peran guru menjadi motivator dan fasilitator
membutuhkan kompetensi tertentu dari guru. Karena itu perubahan menuju sekolah masa
depan pertama-tama perlu diawali dengan peningkatan kapasitas guru.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan telaah literatur dalam makalah ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Untuk memenuhi tuntutan dunia abad 21, sekolah masa depan perlu memiliki prinsip-
prinsip berikut:
a. Membelajarkan keterampilan hidup seperti keterampilan berpikir, kreativitas,
kemampuan hidup bersama dan berkomunikasi
b. Sistem penilaian berbasis karya dan penguasaan bidang-bidang yang dipelajari
c. Pendidikan berbasis pada kehidupan dan praktek-praktek lapangan
d. Guru berperan sebagai motivator yang mendorong siswa untuk belajar secara mandiri
2. Agar dapat mengoptimalkan tumbuh kembang anak menjadi manusia yang utuh, sekolah
masa depan perlu memiliki prinsip-prinsip berikut:
a. Mempertimbangkan karakteristik siswa (sifat dasar, kecerdasan, gaya belajar, dan
tahap perkembangan) dalam perencanaan dan penyelanggaraan proses belajar
b. Fokus menemukan dan memupuk potensi unggul setiap anak
c. Mengembangkan moral anak dan kecerdasan beragam secara berimbang

4.2 Saran
Adapun saran-saran untuk mewujudkan sekolah masa depan adalah sebagai berikut:
1. Menggunakan berbagai aspek sistem pendidikan di sekolah untuk menyisipkan prinsip-
prinsip sekolah masa depan: memetakan praktek-praktek dan potensi yang telah ada di
sekolah, mengintegrasikan dalam kurikulum melalui RPP, melengkapi dengan kegiatan
ekstra kurikuler
2. Guru perlu mengembangkan kapasitas diri untuk mampu berperan sebagai motivator dan
fasilitator bagi siswa
DAFTAR PUSTAKA

Arthur, J., Grainger, T., Wray, D. (eds.) (2006) Learning to Teach in Primary School. New
York: Routledge.
Delors, J. (1996) Learning: The Treasures Within. Paris: UNESCO
Gardner, H. (1985) Frames of Mind: Multiple Intelligences.
Gilbert, I. (2011) Why Do I Need A Teacher When I’ve Got Google? The Essential Guide to
the Big Issues for Every Twenty-first Century Teacher. London: Routledge.
Gurian, M., Ballew, A.C. (2003) The Boys and Girls Learn Differently: Action Guide for
Teachers. San Fransisco: Jossey-Bass.
Hurlock, E.B. (1987) Perkembangan Anak, Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga
Kagan, M., Chapman, C. (1999) Higher-Level Thinking: Questions in Life and Earth
Sciences. California: Kagan Publishings.
Kamil, M. (2008) Panduan Praktis Perencanaan PNF. Bandung: Penerbit Dewa Ruchi
McKeown, R. (2002) ESD Toolkit version 2. Portland: Prtland State University.
Mudyahardjo, R. (2006) Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.
Nicholl, M.J., Rose, C. (1997) Accelerated Learning for the 21st Century. Bandung: Penerbit
Nuansa.
Sudjana, D. (2004) Pendidikan Non Formal. Bandung: Falah Production
Thoresen, V.W. (2001) Education: A Constraint or A Catalyst to Sustainable Development?
Paper. 5th Annual Conference of the International Environment Forum.

Sumber internet:
http://www.teachersfirst.nl/Teaching/TheImportanceofBasicEducation/tabid/235/Default.asp
x
http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45

Sumber lain-lain:
BPIP (2007) Pengantar psikologi perkembangan untuk fasilitator non-psikologi (slide).
Bandung: Universitas Padjadjaran

Anda mungkin juga menyukai