Disusun Oleh :
Mengetahui,
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas rahmat dan
karunianya makalah ini dapat disusun tanpa adanya halangan yang berarti. Makalah ini
merupakan wujud keprihatinan penulis terhadap kondisi pendidikan dalam situasi dunia saat
ini yang sangat berbeda dibandingkan dengan beberapa abad yang lalu saat sistem pendidikan
pertama kali dikembangkan. Makalah ini memberikan perspektif tentang kesesuaian sistem
pendidikan dengan tuntutan zaman, juga perspektif visi penulis mengenai prinsip-prinsip
sekolah yang lebih sesuai untuk mempersiapkan anak menghadapi masa depan.
Besar harapan penulis bahwa makalah ini dapat memberikan inspirasi dan wawasan baru
bagi rekan-rekan yang bekerja dalam bidang pendidikan, khususnya praktisi dalam
pendidikan dasar. Semoga makalah ini dapat memberikan sumbangan dan manfaat untuk
perbaikan dalam bidang pendidikan dasar sehingga mampu memberikan layanan maksimal
bagi peserta pendidikan dasar, yaitu anak-anak bangsa.
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Daftar Gambar iii
Daftar Tabel
Bab I: Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 3
1.4 Manfaat 3
Bab II: Tinjauan Pustaka 4
2.1 Pendidikan Dasar Berkualitas: Kritik terhadap Pendidikan Tradisional 4
2.2 Pendidikan Dasar Berkualitas: Karakteristik Peserta Didik 7
2.3 Pendidikan Dasar Berkualitas: Filosofi dan Model Pembelajaran 12
Bab III: Pembahasan 16
3.1 Sekolah Masa Depan: Relevansi Pendidikan dengan Situasi Dunia 16
3.2 Mendidik untuk Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak 20
3.3 Transformasi Pendidikan Dasar: Menuju Sekolah Masa Depan 24
Bab IV: kesimpulan dan Saran 25
Daftar Pustaka 26
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
1.4 Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi institusi pendidikan dasar: memberikan gambaran mengenai sistem sekolah
masa depan dan langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mencapainya
2. Bagi pendidik: memberikan gambaran mengenai proses pembelajaran dan strategi
pendidikan yang efektif mengoptimalkan tumbuh kembang peserta didik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik anak tidak sekadar terkait dengan usia dan tahapan perkembangannya, tetapi
juga pada variasi dalam bakat dan cara belajar. Gardner (1985) menjabarkan hasil risetnya
mengenai berbagai tipe kecerdasan yang dimiliki oleh manusia menjadi tujuh jenis yang
kemudian ditambahkan menjadi delapan (Gardner, dalam Nicholl & Rose, 1997), yaitu:
1. Kecerdasan linguistik (bahasa); terkait dengan kemampuan membaca, menulis,
berkomunikasi secara verbal, menguasai bahasa baru.
2. Kecerdasan logis-matematis; terkait dengan kemampuan bernalar, menjalankan operasi
hitung, logika, dan matematika.
3. Kecerdasan visual-spasial; kemampuan berpikir dengan gambar, membayangkan,
memahami petunjuk visual, mengenal arah atau lokasi
4. Kecerdasan musikal; kemampuan mencipta musik, peka nada, apresiasi dan pemahaman
terhadap musik, menjaga irama.
5. Kecerdasan kinestetik-tubuh; terampil dalam bergerak, menggunakan seluruh tubuh untuk
memecahkan masalah, mengekspresikan emosi.
6. Kecerdasan interpersonal (sosial); kemampuan bekerja sama, membangun hubungan,
berempati dan pengertian terhadap orang lain.
7. Kecerdasan intrapersonal; kemampuan melakukan analisis diri dan perenungan, meninjau
perilaku dan perasaan terdalam orang, membuat rencana dan menyusun tujuan pribadi,
mengenal diri sendiri.
8. Kecerdasan naturalis (alam); kemampuan mengenali flora dan fauna, memilah-milah
berbagai benda alam dan menggunakannya untuk tujuan yang produktif.
Semua orang memiliki setiap jenis kecerdasan tersebut dalam porsi yang berbeda-beda. Ada
sebagian orang yang sangat menonjol pada kecerdasan tertentu, ada pula yang cenderung
mengembangkan semua kecerdasan tersebut secara merata. Pendidikan tradisional pada
umumnya hanya memusatkan pengembangan kecerdasan linguistik dan logis-matematis,
sehingga aspek kecerdasan lain tidak berkembang dengan seimbang. Nicholl & Rose (1987)
menjabarkan konsekuensi dari pengembangan kecerdasan yang tidak seimbang tersebut
dalam ilustrasi, seseorang yang sangat ahli dalam matematika hingga menemukan persamaan
yang baru (kecerdasan logis-matematis) tetapi tak dapat mengajarkan atau menyampaikannya
pada orang lain (kecerdasan interpersonal). Pada umumnya, semakin baik berkembangnya
seluruh segi kecerdasan, orang akan menjadi lebih luwes dalam menerima tantangan di
seluruh aspek kehidupan.
Berikutnya, keunikan karakteristik anak-anak terletak pada variasi dalam gaya belajar,
atau cara yang paling efektif dalam menyerap informasi. Secara garis besar, gaya belajar
dibagi menjadi tiga jenis yaitu visual yang menyerap informasi paling efektif melalui indra
penglihatan, auditori yang paling efektif belajar melalui perangkat mendengar dan berbicara,
serta kinestetik yang belajar paling baik dengan aktivitas fisik atau terlibat secara langsung.
Penelitian terhadap 5000 siswa sekolah di berbagai negara menunjukkan proporsi gaya
belajar dominan pada siswa mendekati persentase berikut (Nicholl & Rose, 1997):
- Visual 29%
- Auditori 34%
- Kinestetik 37%
Seiring meningkatnya usia, gaya belajar visual cenderung menjadi semakin dominan. Namun
Grinder (dalam Nicholl & Rose, 1997) menyatakan pula bahwa dua pertiga siswa
sesungguhnya memiliki cukup kecenderungan visual, auditori dan kinestetik sehingga dapat
belajar dengan cara apapun. Sekitar 1% siswa memiliki kesulitan untuk belajar karena
kondisi dirinya, misalnya kondisi fisik atau kematangan mental, sehingga sulit belajar dengan
pendekatan manapun. Sedangkan 20% siswa sangat cenderung pada gaya belajar tertentu
sehingga akan mengalami kesulitan jika harus belajar tidak sesuai dengan gayanya. Anak-
anak ini disebut Grinder sebagai Hanya Visual (HV), Hanya Auditori (HA), atau Hanya
Kinestetik (HK), dan dalam kajian terhadap anak-anak yang beresiko dikeluarkan dari
sekolah, dari 26% anak yang dianggap beresiko adalah anak-anak HK.
Variasi lain dalam cara belajar ternyata berhubungan dengan jenis kelamin atau gender.
Gurian & Ballew (2003) menunjukkan bahwa pada usia sekolah dasar, anak laki-laki dan
perempuan telah memiliki identitas gender yang tetap, pada umumnya setelah menginjak
kelas 4. Anak perempuan mengembangkan kemampuan belajar yang lebih luwes dan
mengalami lebih sedikit masalah dibandingkan anak laki-laki. Sebagian besar guru sekolah
dasar adalah perempuan, dan 99 persennya belum pernah memperoleh pelatihan tentang
perbedaan cara belajar anak laki-laki dan perempuan. Konsekuensinya, jika terjadi kesalahan
struktural di dalam kelas, anak perempuan mungkin dapat beradaptasi secara lebih alamiah
karena cara-cara yang digunakan gurunya lebih mendekati cara belajar mereka. Anak laki-
laki cenderung lebih impulsif dan kurang disiplin daripada anak perempuan. Banyak anak
laki-laki yang kesulitan membaca dan menulis, kesulitan memusatkan perhatian, juga
berprestasi di bawah kemampuannya.
Perbedaan cara belajar berdasarkan jenis kelamin ini disebabkan oleh perbedaan struktur
otak akibat perbedaan hormon perempuan dan laki-laki. Gurian & Ballew (2003)
menjabarkan sepuluh perbedaan cara belajar tersebut seperti ditunjukkan dalam tabel 1.
Perlu diperhatikan bahwa perbedaan cara belajar antara anak perempuan dan laki-laki
tersebut lebih berupa kecenderungan dan tidak mutlak, karena struktur otak manusia
sesungguhnya sangat bervariasi. Sebagai contoh, seorang anak perempuan yang memiliki
otak-jembatan (struktur otaknya menyerupai otak anak laki-laki) mungkin memiliki
kemampuan visual-spasial yang lebih baik daripada anak laki-laki. Secara budaya, saat ini
pun anak perempuan dan laki-laki pun memperoleh perlakuan yang sama, misalnya anak
laki-laki diberi kesempatan lebih banyak untuk mengungkapkan perasaan lewat kata-kata
sehingga kemampuan verbalnya meningkat, atau anak perempuan belajar berkompetisi
melalui aneka lomba. Di sisi lain, secara fisiologis ternyata makin banyak pula anak laki-laki
dan perempuan yang terlahir dengan hormon tinggi sehingga sifat gender mereka semakin
kuat. Semua variasi ini perlu dipertimbangkan agar tidak menyamaratakan semua anak
perempuan dan laki-laki, serta tetap mempertimbangkan keunikan individual masing-masing.
Nicholl & Colin (1997), Kagan & Chapman (1999), serta Gilbert (2011) menekankan
pentingnya mengembangkan keterampilan berpikir mandiri, kreatif dan kritis untuk
menjawab tantangan dunia abad 21 yang terus berubah. Pendidikan untuk masa depan perlu
memusatkan perhatian pada berkembangnya kemampuan siswa untuk belajar secara mandiri
dan memilih respon yang bermanfaat bagi diri maupun lingkungannya. Kapasitas untuk
melakukan hal tersebut berasal dari kemampuan mengakses keterampilan berpikir tingkat
tinggi seperti aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi, seperti pada gambar 2.
EVALUASI
SINTESIS
ANALISIS
APLIKASI
PEMAHAMAN
PENGETAHUAN
3.1 Sekolah Masa Depan: Relevansi Pendidikan Dasar dengan Situasi Dunia
Piaget (dalam Gilbert, 2011) memberikan definisi kecerdasan sebagai “…what you use
when you don’t know what to do,” dengan kata lain kecerdasan teruji di saat seseorang
menghadapi situasi baru yang tidak ia ketahui cara menghadapi atau menyikapinya. Seperti
telah digambarkan pada bab pendahuluan, dunia saat ini berubah dengan kecepatan tinggi,
kita dihadapkan pada berbagai situasi dan permasalahan yang tidak pernah ada sebelumnya.
Dalam konteks ini pernyataan Piaget tersebut sangat relevan. Pendidikan pada abad 21 harus
mempersiapkan anak agar mampu merespon perubahan-perubahan tersebut dengan baik.
Untuk menjawab tantangan tersebut, terdapat konsep-konsep pembelajaran yang perlu
diterapkan dalam kegiatan belajar di sekolah masa depan, begitu pula perubahan peran guru
sebagai ujung tombak pendidikan, seperti akan dibahas berikut ini.
Adapun pengelolaan lingkungan belajar dan proses pembelajaran yang sesuai untuk
mengembangkan kreativitas dijabarkan oleh Hurlock (1978) sebagai berikut:
- Adanya waktu bebas untuk bermain-main dengan gagasan dan konsep, serta untuk
bereksperimen menciptakan sesuatu yang baru
- Kesempatan untuk menyendiri dan bebas dari tekanan sosial
- Dorongan positif untuk kreatif, bebas dari ejekan dan kritik
- Sarana yang mendorong eksperimentasi dan eksplorasi, dalam hal ini dapat berupa
lingkungan belajar yang kaya dengan stimuli pembelajaran
- Lingkungan yang merangsang kreativitas – kreativitas dihargai secara sosial sehingga
menjadi pengalaman yang menyenangkan
- Hubungan antara pendidik dan peserta didik demokratis, mendorong anak untuk mandiri
dan percaya diri
- Kesempatan yang besar untuk memperoleh pengetahuan – makin banyak pengetahuan yang
dimiliki anak, makin baik dasar untuk mencapai hasil yang kreatif.
Ekspresi kreativitas untuk masa sekolah dapat dilakukan dengan membuat permainan
konstruktif, misalnya membuat hastakarya, membangun kemah, rumah-rumahan, boneka
raksasa dan sebagainya.
Keterampilan hidup yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan untuk hidup
bermasyarakat, seperti pernyataan Delors (1996) bahwa salah satu tujuan belajar adalah
“learning to live together.” Sekolah masa depan adalah miniatur masyarakat, dan kegiatan
belajar tidak boleh memisahkan anak dengan masyarakat yang menjadi lingkungan tumbuh-
kembangnya. Karena itu sekolah perlu mendukung berbagai kegiatan yang berbasiskan
keterampilan dasar untuk berhubungan dengan lingkungan sekitar, antara lain bagaimana
anak bersikap terhadap orang lain, terhadap lingkungan kelas, maupun terhadap lingkungan
masyarakat. Keterampilan berkomunikasi secara efektif dan setara juga merupakan aspek
penting dalam bermasyarakat. Keterampilan bermasyarakat dapat dikembangkan melalui
aktivitas-aktivitas belajar seperti kunjungan dan riset langsung di masyarakat, diskusi,
presentasi, serta kerja kelompok.
Dalam konteks tersebut, tes dapat menjadi salah satu bentuk penilaian tetapi bukan satu-
satunya. Penekanan pada penguasaan bidang pelajaran berarti bahwa penilaian harus
dilakukan berdasarkan proses belajar yang dialami siswa. Karena itu pembuatan karya dapat
menjadi alat penilaian yang memadai. Dalam pembuatan karya ilmiah anak dapat melakukan
proses belajar mandiri dalam menghimpun, memilah dan mengolah fakta, kemudian
menyusun fakta tersebut dalam bentuk karya. Untuk anak-anak usia sekolah dasar, format
karya ini tidak selalu harus berupa tulisan tetapi dapat berupa karya kreatif seperti poster,
atau maket seperti tampak pada gambar 3.
Agar dapat belajar mengenai kehidupan nyata, diperlukan berbagai latihan praktek dan
praktis yang bisa dilakukan oleh siswa. Kegiatan eksploratif seperti kunjungan ke pasar pada
gambar 4 merupakan kesempatan luar biasa untuk menerapkan berbagai ilmu yang telah
dipelajari di sekolah, misalnya:
- Matematika (menimbang benda dan menghitung harga belanjaan)
- IPA (mengenali berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang dijual di pasar)
- IPS (aktivitas jual-beli, sistem sosial di pasar)
- Bahasa-komunikasi (menambah kosa kata dari benda di pasar, tawar-menawar harga)
- PLH (sampah di pasar, asal-usul berbagai bahan makanan)
- Keterampilan hidup (sopan-santun dengan warga sekitar, saling menjaga teman)
- Seni rupa (menggambar suasana pasar)
D. Peran guru: memotivasi siswa untuk mau dan mampu mempelajari sesuatu
Dengan ditemukannya internet sebagai sumber informasi yang luar biasa besar, juga
banyaknya media massa serta kemudahan akses terhadap buku pengetahuan, peran guru
sebagai sumber pengetahuan tidak lagi relevan dalam dunia saat ini. Siswa bahkan dapat
menguasai suatu topik lebih baik dari guru karena telah membaca atau mempelajarinya
terlebih dahulu sebelum diajarkan di kelas. Peran guru perlu didefinisikan ulang dalam sistem
pendidikan yang berorientasi pada masa depan.
Dalam sekolah masa depan, tugas guru bukan memberi pengetahuan dan mentransfer
ilmu. Guru lebih berperan sebagai motivator penggerak energi dalam diri anak. Guru sebagai
motivator berarti guru memahami apa yang diingini dan diharapkan anak. Guru memberikan
motivasi agar anak mampu belajar secara mandiri serta menemukan pengetahuan yang belum
diberikan. Peran guru adalah menciptakan lingkungan dan suasana yang mendukung proses
belajar, sehingga anak dapat berproses sendiri dengan aman serta optimal. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Heidegger (dalam Gilbert, 2011) bahwa kata “teaching” sesungguhnya
bermakna “membiarkan seseorang belajar” bukan “mengajari.”
Guru di abad 21 perlu mengambil peran dalam mewujudkan demokratisasi belajar
(Gilbert, 2011), yaitu membantu anak belajar menghimpun, mengelola dan memanfaatkan
pengetahuan yang diperoleh sehingga bermanfaat untuk dirinya maupun orang lain. Melalui
berbagai aktivitas belajar lewat pengalaman, guru dapat membantu anak mengembangkan
berbagai keterampilan hidup dan pemahaman akan perannya dalam masyarakat, intinya
membantu anak berkembang menjadi manusia yang utuh sesuai keunikan dirinya.
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan telaah literatur dalam makalah ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Untuk memenuhi tuntutan dunia abad 21, sekolah masa depan perlu memiliki prinsip-
prinsip berikut:
a. Membelajarkan keterampilan hidup seperti keterampilan berpikir, kreativitas,
kemampuan hidup bersama dan berkomunikasi
b. Sistem penilaian berbasis karya dan penguasaan bidang-bidang yang dipelajari
c. Pendidikan berbasis pada kehidupan dan praktek-praktek lapangan
d. Guru berperan sebagai motivator yang mendorong siswa untuk belajar secara mandiri
2. Agar dapat mengoptimalkan tumbuh kembang anak menjadi manusia yang utuh, sekolah
masa depan perlu memiliki prinsip-prinsip berikut:
a. Mempertimbangkan karakteristik siswa (sifat dasar, kecerdasan, gaya belajar, dan
tahap perkembangan) dalam perencanaan dan penyelanggaraan proses belajar
b. Fokus menemukan dan memupuk potensi unggul setiap anak
c. Mengembangkan moral anak dan kecerdasan beragam secara berimbang
4.2 Saran
Adapun saran-saran untuk mewujudkan sekolah masa depan adalah sebagai berikut:
1. Menggunakan berbagai aspek sistem pendidikan di sekolah untuk menyisipkan prinsip-
prinsip sekolah masa depan: memetakan praktek-praktek dan potensi yang telah ada di
sekolah, mengintegrasikan dalam kurikulum melalui RPP, melengkapi dengan kegiatan
ekstra kurikuler
2. Guru perlu mengembangkan kapasitas diri untuk mampu berperan sebagai motivator dan
fasilitator bagi siswa
DAFTAR PUSTAKA
Arthur, J., Grainger, T., Wray, D. (eds.) (2006) Learning to Teach in Primary School. New
York: Routledge.
Delors, J. (1996) Learning: The Treasures Within. Paris: UNESCO
Gardner, H. (1985) Frames of Mind: Multiple Intelligences.
Gilbert, I. (2011) Why Do I Need A Teacher When I’ve Got Google? The Essential Guide to
the Big Issues for Every Twenty-first Century Teacher. London: Routledge.
Gurian, M., Ballew, A.C. (2003) The Boys and Girls Learn Differently: Action Guide for
Teachers. San Fransisco: Jossey-Bass.
Hurlock, E.B. (1987) Perkembangan Anak, Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga
Kagan, M., Chapman, C. (1999) Higher-Level Thinking: Questions in Life and Earth
Sciences. California: Kagan Publishings.
Kamil, M. (2008) Panduan Praktis Perencanaan PNF. Bandung: Penerbit Dewa Ruchi
McKeown, R. (2002) ESD Toolkit version 2. Portland: Prtland State University.
Mudyahardjo, R. (2006) Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.
Nicholl, M.J., Rose, C. (1997) Accelerated Learning for the 21st Century. Bandung: Penerbit
Nuansa.
Sudjana, D. (2004) Pendidikan Non Formal. Bandung: Falah Production
Thoresen, V.W. (2001) Education: A Constraint or A Catalyst to Sustainable Development?
Paper. 5th Annual Conference of the International Environment Forum.
Sumber internet:
http://www.teachersfirst.nl/Teaching/TheImportanceofBasicEducation/tabid/235/Default.asp
x
http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45
Sumber lain-lain:
BPIP (2007) Pengantar psikologi perkembangan untuk fasilitator non-psikologi (slide).
Bandung: Universitas Padjadjaran