Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tukak peptik merupakan penyakit akibat ketidakseimbangan fisiologis
antara faktor agresif (asam lambung dan pepsin) dengan faktor pelindung
(pertahanan dan perbaikan mukosa). Tukak peptik dapat disebabkan oleh
Helicobacter pylori, penggunaan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan
tukak stress. Tujuan terapi tukak peptik yaitu menghilangkan rasa nyeri,
mengobati tukak, mencegah kekambuhan dan mengurangi terjadinya komplikasi
yang berkaitan dengan tukak (Berardi and Welage, 2008).
Tukak peptik termasuk dalam daftar 10 besar penyakit rawat inap di
rumah sakit tahun 2009 (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Angka kejadian tukak lambung yang tersebar di seluruh dunia bergantung pada
status sosial ekonomi dan demografi. Kejadian tukak lambung lebih banyak
dijumpai pada pria usia lanjut dengan status sosial ekonomi yang rendah.
Kejadian tukak lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita (1,3:1) (Sanusi,
2011). Angka kejadian tukak peptik menempati urutan ke-7 dari 10 penyakit
terbanyak di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten (Alfiawati, 2014). Hasil
diagnosis pasien di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten menunjukkan bahwa
kejadian penyakit tukak peptik lebih banyak terjadi dibandingkan dengan tukak
stress, tukak duodenum, gastritis, dan dispepsia (Alfiawati, 2014).
Drug Related Problems adalah kejadian yang tidak diinginkan yang
dialami oleh pasien terkait dengan terapi obat sehingga dapat mengganggu
keberhasilan terapi yang diinginkan (Cipolle et al., 2004). Farmasis memiliki
tanggung jawab untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan terapi obat yang
aman, tepat, dan cost effective, serta memastikan bahwa terapi yang diberikan
adalah yang diinginkan oleh pasien. Hal tersebut terkait dengan adanya paradigma
baru yaitu asuhan kefarmasian (pharmaceutical care). Pharmaceutical Care yaitu

1
2

pemberian terapi obat yang dibutuhkan oleh pasien dan menjamin bahwa terapi
obat yang diterima pasien aman serta menjamin penggunaan obat yang rasional
(Cipolle et al., 1998). Dengan adanya paradigma tersebut praktek farmasi klinik
perlu diterapkan dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan
dengan obat (Drug Related Problem) serta menjamin penggunaan obat yang aman
dan tepat bagi setiap pasien (Nita, 2004). Permasalahan obat jika tidak diatasi atau
diperhatikan akan sangat mempengaruhi hasil terapi. Permasalahan obat dapat
berkaitan dengan indikasi, efektivitas, keamanan, dan kepatuhan pasien (Priyanto,
2009).
Terapi pada pasien tukak peptik biasanya sering menggunakan obat
kombinasi. Penggunaan beberapa obat sekaligus memudahkan terjadinya interaksi
obat. Kejadian efek samping pada pasien yang menerima 0 - 5 macam obat adalah
3,5%, sedangkan yang menerima 16 - 20 macam obat adalah 54%. Peningkatan
kejadian efek samping yang jauh melebihi peningkatan jumlah obat yang
digunakan bersama ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat yang juga
semakin meningkat (Setiawati, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Alfiawati
(2015), tentang evaluasi penggunaan obat pada pasien tukak peptik di instalasi
rawat inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2014 ditemukan kejadian
ketidaktepatan pemberian dosis obat sebesar 96%. Data ketidaktepatan dosis
tersebut menunjukkan dosis obat yang kurang atau berlebih. Hasil penelitian
Abidullah et al (2013) di Pakistan ditemukan kejadian interaksi obat pada terapi
tukak peptik sebanyak 27,64%.
Penggunaan obat dengan dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan
kegagalan terapi atau timbul efek berbahaya (Priyanto, 2009). Interaksi obat
menjadi penting secara klinik apabila berakibat meningkatkan toksisitas atau
menurunkan efektivitas obat yang berinteraksi (Setiawati, 2008). Adanya interaksi
obat menyebabkan berkurangnya efek terapi bahkan lebih bahaya karena dapat
menyebabkan kegagalan terapi yang diharapkan (Abidullah et al., 2013).
Berdasarkan hal tersebut dan tingginya angka kejadian tukak peptik di instalasi
rawat inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten serta tingginya kejadian
ketidaktepatan dosis pada pengobatan penyakit tukak peptik maka perlu dilakukan
3

penelitian mengenai Drug Related Problems kategori ketidaktepatan dosis


meliputi dosis kurang, dosis lebih dan kategori interaksi obat.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan
suatu permasalahan, yaitu “Berapa besar angka kejadian Drug Related Problems
kategori ketidaktepatan dosis meliputi dosis kurang, dosis lebih dan kategori
interaksi obat pada pasien dengan penyakit gangguan lambung di Instalasi Rawat
Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2015?”

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian Drug
Related Problems kategori ketidaktepatan dosis meliputi dosis kurang, dosis lebih
dan kategori interaksi obat pada pasien dengan penyakit gangguan lambung di
Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2015.

D. Tinjauan Pustaka
1. Penyakit gangguan lambung
a. Pengertian

Dispepsia merupakan suatu kumpulan gejala seperti nyeri ulu hati, mual,
muntah, kembung, rasa penuh atau cepat kenyang, dan sendawa (Sanusi, 2011).
Gastritis merupakan proses inflamasi pada mukosa dan sub – mukosa lambung
(Djojoningrat, 2001). Tukak peptik adalah kondisi putusnya kontinuitas mukosa
yang melebar di bawah epitel dan terjadinya kerusakan jaringan mukosa, sub
mukosa sampai lapisan otot di suatu daerah saluran gastrointestinal yang
berhubungan secara langsung dengan cairan asam lambung atau pepsin (Sanusi,
2011), sedangkan tukak stress merupakan luka atau beberapa perlukaan pada
lambung yang berkembang selama stress fisiologi dari penyakit yang parah
(Avunduk, 2008).
4

b. Etiologi dan faktor resiko


Dispepsia sebagai suatu gejala atau kumpulan gejala dapat disebabkan
oleh berbagai penyakit, seperti gastritis, tukak peptik dan lainnya. Pada sebagian
besar kasus, keadaan klinis yang sering menjadi penyebab timbulnya gastritis
erosif misalnya operasi besar, gagal ginjal, gagal nafas, luka bakar, dan penyakit
hati yang berat. Penyebab lain dispepsia dan gastritis yaitu akibat penggunaan
obat anti inflamasi non steroid (OAINS). Gastritis kronis juga disebabkan oleh
aspek imunologis dan aspek bakteriologis yang sebagian besar disebabkan karena
bakteri H. pylori (Djojoningrat, 2001).
Tiga penyebab utama terjadinya tukak peptik yaitu akibat penggunaan
OAINS, infeksi kronis yang disebabkan oleh Helicobacter pylori, dan keadaan
hipersekresi asam pada Zollinger-Ellison syndrome (Sanusi, 2011). Terdapat
beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tukak peptik
diantaranya yaitu mengkonsumsi alkohol, merokok, stress, penggunaan
kortikosteroid dan penyakit kronis seperti gagal ginjal, pankreatitis, sirosis, atau
transplantasi organ (Alldredge et al., 2013). Etiologi pada tukak stress meskipun
tidak terbukti, namun kurangnya oksigenasi pada mukosa, perbedaan dalam
keseimbangan asam basa, dan peningkatan penggunaan kortikosteroid dapat
berkontribusi dalam pembentukan tukak (Avunduk, 2008).

c. Patofisiologi
Peningkatan asam lambung atau sensitivitas mukosa lambung terhadap
asam lambung bertanggung jawab untuk terjadinya gangguan lambung (Sanusi,
2011). Asam yang dihasilkan karena infeksi H. pylori dan penggunaan OAINS
merupakan faktor independen yang berkontribusi terhadap gangguan integritas
mukosa (Berardi and Welage, 2008).
Penggunaan OAINS dapat mengakibatkan pembentukan HCO₃- menurun
yang berarti proteksi terhadap mukosa juga menurun serta menghambat efek
inhibisi sekresi asam. Selain itu, OAINS dapat menyebabkan kerusakan mukosa
secara lokal dengan aksi difusi non ionik pada sel mukosa. H. pylori mampu
bertahan dalam suasana asam. Hal tersebut dimungkinkan karena H. pylori
mempunyai kemampuan membentuk senyawa urease khusus yang membantu
5

dalam pembentukan CO₂, NH₃ dan HCO₃ serta NH₄⁺ sehingga mampu menjadi
dapar terhadap ion H⁺ (Sanusi, 2011).

d. Gambaran klinis
Gambaran klinis gastritis sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik,
mual, muntah, nyeri ulu hati, hingga hematemesis dan melena (Djojoningrat,
2001). Gambaran klinis tukak stress yaitu berupa tukak yang dangkal dan terbatas
pada mukosa dan disebut sebagai erosi. Tukak juga dapat menembus ke
submukosa, dan mungkin mengikis ke dalam pembuluh darah submukosa
sehingga menyebabkan perdarahan (Avunduk, 2008). Sedangkan pasien tukak
peptik secara umum biasanya merasakan keluhan dispepsia, seperti mual, muntah,
kembung, sendawa, rasa cepat kenyang, nyeri ulu hati dan rasa terbakar (Sanusi,
2011). Menurut Berardi and Welage (2008) tanda dan gejala tukak peptik yaitu
nyeri perut pada bagian epigastrum seperti terbakar, perut terasa tidak nyaman,
penuh, dan kram, serta sering disertai rasa kembung.

e. Diagnosis
Diagnosis gangguan lambung dapat ditegakkan berdasarkan:
1) Pengamatan klinis dan Anamnesis
2) Hasil pemeriksaan endoskopi dan radiologi
3) Hasil biopsi untuk tes pemeriksaan CLO (Campilobacter Like Organism),
histopatologi kuman H. pylori.
(Sanusi, 2011)

f. Terapi
Tujuan terapi tukak peptik yaitu menghilangkan keluhan,
menyembuhkan tukak, mencegah kekambuhan serta mencegah komplikasi
(Sanusi, 2011). Berikut terapi untuk tukak peptik berdasarkan klasifikasinya:

1) Terapi non farmakologi


a) Istirahat yang cukup dan meminimalisir stres
b) Mengurangi penggunaan OAINS dan rokok
6

c) Menghindari makanan dan minuman yang memperparah gejala tukak dan


merangsang sekresi asam seperti makanan pedas, asam, mengandung alkohol,
kafein.
(Priyanto, 2009)

2) Terapi farmakologi
Obat-obat anti sekretori dan pelindung mukosa dapat mempercepat
penyembuhan gangguan lambung. Beberapa jenis obat yang dapat digunakan
untuk menyembuhkan gangguan lambung (Tabel. 1) :
a) Proton pump inhibitors (PPIs)
PPIs bekerja hampir sepenuhnya menghambat sekresi asam lambung
dengan berikatan kovalen dengan H⁺-K⁺-ATPase atau proton pump dalam aspek
lumen dari membran sel parietal. Penyembuhan tukak biasanya membutuhkan
waktu 2 minggu dan paling lama 4 minggu. PPIs merupakan obat pilihan untuk
terapi tukak peptik karena aman, memiliki sedikit efek samping, dan memberikan
kesembuhan yang lebih cepat pada tukak peptik dibanding H₂ antagonis
(Avunduk, 2008). Semua jenis PPIs dimetabolisme di hati. PPIs meningkatkan pH
lambung dan mungkin dapat menurunkan bioavailabilitas obat yang memerlukan
asam lambung untuk absorbsinya (Wecker et al., 2010).
b) H₂ reseptor antagonis
H₂ reseptor antagonis adalah agen yang memblok reseptor histamin pada
sel parietal. Histamin merupakan stimulan yang poten dari sekresi asam lambung
sehingga H₂ reseptor antagonis dapat secara efektif menghambat sekresi asam
lambung. H₂ antagonis tidak hanya menghambat stimulasi histamin dalam sekresi
asam, namun juga menghambat stimulasi asam oleh saraf vagus (asetilkolin) dan
lambung (Avunduk, 2008). Obat jenis H₂ antagonis terutama diekskresikan lewat
urin sehingga perlu pengurangan dosis untuk pasien dengan gangguan fungsi
ginjal. Semua obat jenis H₂ antagonis dapat meringankan gejala tukak peptik
seperti nyeri epigastrum dan memberikan kesembuhan pada tukak (Wecker et al.,
2010).
7

c) Sukralfat
Penguat mukosa seperti sukralfat melindungi tukak dari asam lambung.
Sukralfat juga menghambat pepsin, mengikat garam empedu, dan menstimulasi
produksi prostaglandin untuk pelindung mukosa. Efektivitas sukralfat dalam
menyembuhkan tukak peptik sama dengan H₂ reseptor antagonis dengan sedikit
efek samping (Wecker et al., 2010).
d) Analog prostaglandin
Misoprostol meningkatkan mukus, sekresi bikarbonat, dan aliran darah
mukosa serta menghambat pergantian sel mukosa yang dapat meningkatkan
pertahanan mukosa. Misoprostol memiliki efek sebagai anti sekretori dan efek
pertahanan mukosa lambung dan duodenum. Namun efek terapi prostaglandin
utamanya sebagai stimulasi mekanisme pertahanan mukosa (Wecker et al., 2010).
e) Bismuth
Bismuth memiliki aktivitas anti bakteri secara langsung terhadap H.
pylori dan dapat digunakan untuk eradikasi bersamaan dengan antibiotik lain
(Sanusi, 2011). Sukralfat dan bismuth harus digunakan dalam keadaan lambung
kosong karena dapat membentuk kompleks dengan protein makanan (Neal, 2007).
f) Antasida
Antasida efektif untuk meringankan gejala tukak (Avunduk, 2008).
Antasida dapat meningkatkan pH lumen lambung yang berakibat pada
peningkatan kecepatan pengosongan lambung sehingga efek dari antasida menjadi
lebih singkat (Neal, 2007).
Tabel. 1 Obat – obat untuk terapi tukak peptik
Golongan Obat Dosis
Proton Pump Inhibitor Omeprazol 40 mg per hari
Lansoprazol 30 mg per hari
Rabeprazol 20 mg per hari
Pantoprazole 40 mg per hari
Esomeprazol 20 – 40 mg per hari
H₂ reseptor antagonis Simetidin 400 mg 2 x sehari
Famotidin 20 mg 2 x sehari
Nizatidin 150 mg 2 x sehari
Ranitidin 150 mg 2 x sehari
Pelindung mukosa Sukralfat 2 g 2 x sehari
Bismuth subsalisilat 525 mg 4 x sehari
Analog prostaglandin Misoprostol 200 mcg 4 x sehari
Antasida Alumunium hidroksida 500 mg 4 x sehari
8

Tabel. 1 Lanjutan
Golongan Obat Dosis
Magnesium karbonat 10 mL 3 x sehari
Magnesium trisilikat 250 mL 3 x sehari
(Berardi and Welage, 2008); (BNF, 2011); (Lacy et al., 2009)

3) Terapi akibat penggunaan OAINS


Pasien dengan kondisi gangguan lambung yang harus tetap menggunakan
OAINS maka dosis OAINS harus dikurangi atau beralih menggunakan
parasetamol, non asetilsalisilat, atau COX-2 selektif inhibitor karena selektif
menghambat COX-2 yang berperan dalam proses inflamasi namun tidak
menghambat COX-1 yang memiliki peran dalam menjaga integritas mukosa
lambung (Berardi and Welage, 2008; Matsui et al., 2011). PPI merupakan obat
pilihan ketika OAINS harus tetap digunakan, PPI sebagai penekan asam yang
diperlukan untuk mempercepat penyembuhan tukak (Berardi and Welage, 2008).

4) Terapi pencegahan stress related mucosal bleeding (SRMB)


Pasien dengan tukak stress beresiko mengalami SRMB, oleh karena itu
perlu dilakukan pencegahan terhadap SRMB. Pilihan terapi untuk pencegahan
Stess Related Mucosal Bleeding yaitu antasida, obat anti sekretori (H2 reseptor
antagonis dan PPI), sukralfat, dan pelindung mukosa (Berardi and Welage,
2008).

5) Terapi eradikasi H. Pylori


Tukak peptik yang positif disebabkan karena infeksi H. pylori perlu
dilakukan terapi eradikasi H. pylori (Tabel. 2). Penggunaan antibiotik tunggal
untuk eradikasi H. pylori tidak efektif. Rejimen terapi tripel yang terdiri dari
kombinasi antibiotik dengan obat anti sekretori sebagai lini pertama efektif untuk
eradikasi H. pylori (Wecker et al., 2010).

Tabel. 2 Rejimen terapi untuk eradikasi H. pylori


Obat Dosis
Rejimen terapi tripel PPI (esomeprazol atau 20 mg 2 x sehari
omeprazol)
Klaritomisin 500 mg 2 x sehari
Amoksisilin atau metronidazol Amoksisilin 1 g 2 x sehari
atau metronidazol 500 mg 2 x
sehari
9

Tabel. 2 Lanjutan
Obat Dosis
Rejimen terapi kuadrupel PPI (esomeprazol atau 20 mg 2 x sehari
omeprazol)
Bismuth subsalisilat 4 x 2 tab
Amoksisilin atau metronidazol Amoksisilin 1 g 2 x sehari
atau metronidazol 250 mg 4 x
sehari
Tetrasiklin 500 mg 4 x sehari
(Avunduk, 2008); (Lockrey and Lim, 2011); (Sanusi, 2011)

Amoksisilin tetap menjadi terapi lini pertama. Metronidazol hanya


disarankan untuk pasien yang alergi terhadap penisillin. Regimen terapi kuadrupel
disarankan apabila terapi tripel tidak memberikan hasil atau gagal (Sanusi, 2011).

2. Drug Related Problems (DRPs)


a. Pengertian
DRPs adalah seluruh kejadian yang tidak diinginkan yang dialami oleh
pasien yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan benar-benar atau
berpotensi mengganggu hasil terapi yang diinginkan pasien (Cipolle et al., 1998).
DRPs terdiri dari DRPs aktual dan DRPs potensial. DRPs aktual yaitu masalah
yang sedang terjadi kaitannya dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh
penderita, sedangkan DRPs potensial yaitu masalah yang diperkirakan akan
terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh penderita (Nita,
2004).

b. Klasifikasi
Klasifikasi Drug Related Problems menurut Pharmaceutical Care
Network Europe (PCNE) tahun 2006 sebagai berikut:
1) Adverse Drug Reaction (Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki)
Obat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Efek yang
ditimbulkan dapat berupa alergi, non alergi, atau efek toksik.
2) Drug Use Problem (Masalah Terkait Penggunaan Obat)
Termasuk dalam masalah terkait penggunaan obat yaitu obat tidak diambil
atau tidak diberikan dan obat yang diambil atau diberikan salah.
10

3) Drug Choice Problems (Masalah Terkait Pemilihan Obat)


Pasien mendapatkan obat yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan kondisi
serta penyakit yang diderita. Obat yang diberikan tidak sesuai dengan
indikasi, kontraindikasi dengan keadaan pasien, bentuk sediaan yang tidak
tepat serta adanya duplikasi obat.
4) Dosing Problem (Masalah Terkait Dosis)
Pemberian dosis obat yang kurang atau melebihi dari dosis yang dibutuhkan
pasien. Termasuk frekuensi dan durasi yang kurang atau lebih.
5) Drug Interaction (Interaksi Obat)
Terdapat interaksi aktual dan potensial. Interaksi dapat terjadi antara obat
dengan obat lain atau obat dengan makanan.
6) Others (Masalah Lain)
Keberhasilan terapi tidak tercapai meskipun obat yang digunakan tepat,
kurangnya pengetahuan pasien mengenai penyakit yang diderita.
(PCNE, 2006)
3. Interaksi obat
a. Pengertian
Interaksi obat adalah peristiwa pengubahan aksi suatu obat yang
menyebabkan perubahan kadar suatu obat dalam darah akibat penggunan obat lain
atau senyawa lain yang diberikan bersamaan (Helmyati et al., 2014).
Hasil farmakologis akibat adanya interaksi obat yakni sebagai berikut:
1) Obat yang satu memperkuat efek obat yang lain sehingga efek total obat yang
dihasilkan melebihi jumlah total efek kedua obat tersebut
2) Obat yang satu menghambat kerja obat yang lain, sehingga efeknya
berkurang
3) Inaktivasi obat yang satu oleh obat yang lain menyebabkan obat pertama
tidak/kurang memberikan efek yang diinginkan
(Joenoes, 2009)
11

b. Mekanisme interaksi obat


Secara garis besar mekanisme interaksi obat dapat dibedakan menjadi 3
mekanisme, yakni interaksi farmasetik atau inkompatibilitas, interaksi
farmakokinetik, dan interaksi farmakodinamik (Setiawati, 2008).
1) Interaksi farmasetik atau inkompatibilitas
Interaksi farmasetik merupakan interaksi fisiko-kimiawi antara suatu obat
dengan obat lain sehingga menaikkan atau menghilangkan aktivitas farmakologi
suatu obat (Helmyati et al., 2014). Interaksi berupa inkompatibilitas terjadi di luar
tubuh, sebelum obat digunakan. Inkompatibilitas terjadi antara obat yang tidak
dapat bercampur. Pencampuran obat menyebabkan tejadinya interaksi langsung
baik secara fisik atau kimiawi (Setiawati, 2008). Interaksi fisik sangat bergantung
terhadap sifat-sifat fisik obat dan bentuk sediaan yang diberikan. Interaksi
kimiawi terjadi jika dua atau lebih obat dicampurkan sehingga membentuk zat
baru dengan khasiat yang berbeda dari bahan asalnya (Joenoes, 2009).
2) Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi apabila suatu obat mempengaruhi atau
mengubah proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dari obat lain
(Helmyati et al., 2014). Interaksi ini menyebabkan kadar plasma obat kedua
meningkat atau menurun sehingga terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan
efektivitas obat tersebut (Setiawati, 2008).
3) Interaksi farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada
sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga
mengakibatkan terjadinya efek aditif, sinergistik atau antagonistik, tanpa terjadi
perubahan kadar obat dalam plasma (Setiawati, 2008).
Menurut Tatro dalam Kigen et al (2011), klasifikasi keparahan interaksi
obat terbagi menjadi 3 yaitu :
a) Major : berhubungan dengan toksisitas yang signifikan secara klinis.
b) Moderate : dapat menyebabkan penurunan status klinis.
c) Minor : memiliki konsekuensi ringan dan tidak mempengaruhi hasil terapi.
(Kigen et al., 2011)
12

E. Keterangan Empiris
Berdasarkan hasil penelitian Alfiawati (2015), tentang evaluasi
penggunaan obat pada pasien tukak peptik di instalasi rawat inap RSUP Dr.
Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2014 ditemukan kejadian ketidaktepatan
pemberian dosis obat sebesar 96%. Data ketidaktepatan dosis tersebut meliputi
dosis obat yang kurang atau berlebih. Berdasarkan hasil penelitian Abidullah et al
(2013) di Pakistan ditemukan kejadian interaksi obat pada terapi tukak peptik
sebanyak 27,64%.
Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh data yang sesuai kriteria inklusi
dan diharapkan dapat diketahui kejadian Drug Related Problems kategori
ketidaktepatan dosis meliputi dosis kurang, dosis lebih dan kategori interaksi obat
potensial pada pasien dengan penyakit gangguan lambung di Instalasi Rawat Inap
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2015.

Anda mungkin juga menyukai