Oleh:
Pembimbing
0
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh:
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 1. Klasifikasi CKD berdasarkan level penurunan faal ginjal dan jumlah
albumin dalam urin (KDIGO, 2012)
3
Keterangan: GFR dan albuminuria menggambarkan risiko progresivitas sesuai
warna (hijau, kuning, oranye, merah, merah tua). Angka di dalam kotak
menunjukkan frekuensi monitoring/tahun yang dianjurkan.
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian
Renal Registry (IRR) pada tahun 2015 didapatkan urutan etiologi terbanyak
adalah penyakit ginjal hipertensi (44%), nefropati diabetika (22%),
glomerulopati primer (8%) (IRR, 2015).
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses
yang terjadi kurang lebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan
massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan
penurunan fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang
tersisa setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat,
sedangkan nefron yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban
eksresi sehingga terjadi lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran
darah glomerulus. Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai
suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End
Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-
angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksin dan
hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.
PenatalaksanaanCKDmeliputi :
Terapi spesifik mencegah penyakit dasarnya
Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
Memperlambat perburukan (progression)
4
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi
Pada CKD, nutrisi dan diet memiliki peranan penting baik dalam
memperlambat perburukan fungsi ginjal maupun menurunkan gejala yang
ada (Sudoyo et al., 2014).
5
3. Mengurangi akumulasi toksin uremik
Parameter dari sindroma uremik adalah akumulasi dari toksin
uremi (limbah nitrogen) di dalam tubuh. Limbah nitrogen ini sebagian
besar berasal dari sisa katabolisme protein baik yang berasal dari diet
maupun katabolisme tubuh.
Pada keadaan normal limbah nitrogen akan diekskresi oleh ginjal.
Bila fungsi ginjal menurun maka akan terjadi retensi dari produk nitrogen
dengan manifestasi klinis sebagai keluh kesah uremia.
Penatalaksanaan diet pada CKD untuk mengurangi akumulasi
toksin uremia dengan mengatur asupan protein sedemikian rupa sehingga
tidak terjadi penimbunan toksin uremia tanpa diikuti malnutrisi.
6
Dari percobaan didapatkan bahwa DRP dapat menurunkan SNGFR. Di
lain pihak, Ando dkk (1989) membuktikan bahwa pemberian diet protein
tinggi, yaitu 1,2-1,5 g/kgBB/hari dapat menaikkan SNGFR akibat
peninggian glukagon plasma. Terbukti bahwa DRP dapat mempengaruhi
progresivitas CKD karena efek langsungnya terhadap SNGFR. Lamanya
progresivitas CKD dapat dihambat oleh DRP tergantung banyak faktor
antara lain aktifitas penyakit dasarnya, komposisi DRP, kepatuhan pasien
terhadap DRPdan adanya faktor predisposisi.
3. Mempertahan Status Nutrisi secara Optimal
Terjadinya malnutrisi pada pasien gagal ginjal dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain :
a. Asupan nutrisi yang kurang atau tidak seimbang
b. Adanya gangguan metabolisme yang menyertai
c. Adanya kondisi penyakit lain yang menyertai seperti infeksi, stres,
dan lain-lain
Terjadinya malnutrisi menimbulkan percepatan progresivitas penyakit
maupun penurunan daya tahan pasien. Sebaliknya mempertahankan status
nutrisi dengan baik dapat memperbaiki penyakit yang menyertai, seperti
gangguan kardiovaskular dan lain-lain.
7
kelebihan fosfat akan menimbulkan kelainan tulang (osteodistrofi renal)
(Prazella, 2005).
8
Tes hipersensitivitas kutaneus lambat
Tes fungsional Kekuatan genggaman
(Bircher dan Woodrow, 2013)
9
Kapan kita memulai diit rendah protein pada PGK sampai saat ini
masih diperdebatkan. Batasan laju filtrasi glomerulus (LFG) untuk
memulai diet rendah protein belum ditetapkan. Sebagian besar nefrologist
menganjurkan agar diet rendah protein sudah dimulai pada saat LFG <60
ml/mnt/1.73 m (PGK stadium 3). Penurunan tersebut harus dilakukan
secara progresif berdasarkan stadium PGK dan banyaknya intake protein
dari setiap pasien. Modifikasi diet protein pada pasien PGK dapat dibagi
menjadi : 1) protein sangat rendah, kurang dari 0,3 g/kg BB; 2) diet
protein rendah, 0,6-0,8 g/kg BB, dan 3) diet protein normal, 1-1,2 g/kg
BB. (Pernefri, 2011)
Diet protein sangat rendah secara nyata dapat menurunkan
progresifitas penyakit ginjal kronik, namun risiko malnutrisi meningkat
pada pasien. (Rasyid, 2014) Oleh karena itu pasien gagal ginjal kronis
disarankan diberikan α-ketoacid atau asam amino esensial untuk
menghindari malnutrisi. Suplemen α-ketoacid lebih efektif daripada asam
amino esensial dalam memperlambat perjalanan gangguan ginjal. Manfaat
diet rendah protein dengan terapi α-ketoacid : memperbaiki azotemia dan
asidosis metabolik, menyediakan asam amino esensial dan memperbaiki
metabolisme protein, mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki
metabolisme karbohidrat, meningkatkan aktivitas lipase dan memperbaiki
metabolisme lemak, menurunkan kadar fosfor serta meningkatkan kadar
kalsium, mengurangi gejala hiperparatiroid sekunder, dan menurunkan
ekskresi protein urine dan menghambat perjalanan PGK. (Fouque, 2013)
C. Kalium
Dengan menurunnya LFG kemampuan tubulus untuk mensekresikan
kalium berkurang. sehingga perlu dilakukan restriksi kalium untuk
mempertahankan kadar kalium pada kadar normal yaitu 3,5-5,0 mEq/L.
Obat-obat juga dapat meningkatkan kadar kalium yaitu: ACE inhibitor,
ARB, aldosterone receptor blokers. Rekomendasi untuk kalium pada
pasien hemodialisis adalah 2000-3000 mg/hari (50-80 mmol/hari). Pada
pasien dengan Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) bisa
10
mengkonsumsi kalium lebih banyak yaitu 3000-4000 mg/hari (80-105
mmol/hari). (Fuchs dan Pierre, 2014)
D. Sodium/Garam dan Air
Restriksi garam merupakan salah satu strategi untuk
mengoptimalkan terapi antihipertensi dan mengatasi edema. Restriksi
sodium tergantung pada status hidrasi pasien, ekskresi natrium urine, ada
atau tidak hipertensi. Asupan garam yang direkomendasikan pada PGK
adalah 1,5-2 gram perhari. (Fuchs dan Pierre, 2014 dan Fouque and Mitch,
2012)
Pada pasien yang menjalani hemodialisis produksi urine akan
semakin menurun sampai menjadi anuria, sehingga asupan cairan harus
dikontrol dan disesuaikan pada kondisi masing-masing pasien. Pada pasien
yang menjalani HD asupan cairan adalah 500-1000 mL/hari ditambah
jumlah urin perhari, sedangkan pada pasien yang menjalani CAPD dan
Automated Peritoneal Dialysis (APD), kira-kira 2000-3000 mL/hari
berdasarkan status klinis. (Fuchs dan Pierre, 2014 dan Fouque and Mitch,
2012)
E. Vitamin, Mineral dan Trace Element
Abnormalitas vitamin, mineral dan trace element pada pasien CKD
berhubungan dengan restriksi diet, kehilangan melalui dialisator, dan
menurunnya fungsi ginjal dalam metabolism beberapa vitamin. Tetapi
seberapa banyak jumlah yang dibutuhkan oleh pasien PGK sampai saat ini
belum jelas. Restriksi protein dan kalium akan menyebabkan tidak
adekuatnya intake dari pyridoxine, vitamin B12, asam folat, vitamin C,
besi dan zink. Penggunaan eritropoetin juga meningkatkan kebutuhan besi
dan asam folat. (Bircher dan Woodrow, 2013)
F. Konseling Nutrisi
Tingginya insiden malnutrisi protein dan energi yang berbanding
lurus dengan tingkat mortalitas, dan malnutrisi yang terjadi paling sering
diakibatkan kurangnya intake pasien. Oleh karena itu , pasien yang
menjalani hemodialisis harus mendapat konseling nutrisi secara intensif
11
pada awal hemodialisis. Konseling harus disesuaikan sesuai latar belakang
dan pendidikan pasien dan dapat dilanjutkan setiap 1-2 bulan sekali.
Konseling harus dilakukan kembali apabila pasien mengalami malnutrisi
atau beberapa keadaan meliputi penurunan intake energi dna protein yang
tidak dapat dijelaskan, depresi, deteriorasi oengukuran status protein dan
energi, kehamilan, inflamasi akut/pemyakit katabolik pada pasien lanjut
usia, perawatan rumah sakit, diabetes mellitus, pemberian glukokortikoid,
post transplantasi allograft. (KDOQI, 2000)
12
Wawancara nutrisi per bulan
nPNA
13
Berdasarkan kepentingan klinisnya, serum protein (albumin,
transferin dan prealbumin) mungkin tidak teralu sensitif terhadap
perubahan status nutrisi, karena dapat dipengaruhi perubahan parameter
seperti infeksi/inflamasi, status hidrasi, kehilangan albumin peritoneal/urin
dan asidemia. Sehingga status klinis pasein (kondisi komorbid, status
keasaman, derajat proteinuria) perlu dievaluasi saat ada perubahan level
serum albumin.Target terapi nutrisi adalah serum albumin diatas 4g/dl.
Pengukuran berat badan yang disesuaikan dengan tinggi badan
menunjukkan hubunungan berat badan dan massa lemak tubuh. SGA
direkomendasikan karena memberikan overview komprehensif ambilan
nutrisi dan kompisisi tubuh.
14
C. Manajemen Intake Protein
Pada hemodialisis rutin
Protein untuk pasien gagal ginjal kronis stabil dengan hemodialisis
rutina dalah 1,2g/kgBB/hari. Pasien hemodialisis memiliki kecenderungan
untuk mengalami malnutrisi karena penurunan intake, anoreksia akibat
uremia, prosedur dialisis (pembuangan asam amino (10-12 g tiap HD),
beberapa peptide, protein (10-12 gram/HD) dan glukosa (12-25g tiap HD
apabila dialisator-bebaas gula digunakan)), hiperkatabolisme akibat
penyakit kronik dan asidemia. Kurangnya intake sendiri akan
menyebabkan penyakit komorbid yang mengganggu gastrointestinal,
depresi, penyakit psikiatri lain, penyakit otak organik, faktor
sosioekonomi. Intake protein hewani lebih direkomendasikan karena
memiliki asam amino yang mirip dengan manusia.
Pada hemodialisis peritoneal rutin
Protein yang dibutuhkan untuk pasien gagal ginjal kronis stabil
dengan hemodialisis peritoneal rutin lebih tinggi dibandingkan populasi
normal yaitu sebesar 1,2-1,3g/kgBB/hari, dengan komposisi minimal 50%
memiliki nilai biologis tinggi. Hal ini dikarenakan kehilangan protein pada
hemodialisis peritoneal lebih tinggi dibandingkan hemodialisis biasa.
Kehilangan protein sebesar 5-15g/24jam, asam amino sekitar 3g/d, dan
absorpsi glukosa dari dialisator. Asam amino dapat ditambahkan pada
dialisator untuk menggganti kehilangan asam amino pada dialisator.
15
Pemberian 35kcal/kgBB/hari sudah mencukupi kebutuhan pada pasien
hemodialiss peritoneal yang mengalami absorbsi glukosa. Pada pasien
lebih dari atau sama dengan 60 tahun dilakukan pengurangan intake energi
karena kecenderungan adanya penurunan aktivitas.
E. Cartinine
Masih diperlukan data terbaru untuk mendukung penggunaan rutin
L-cartinine pada pasien dengan hemodialisis. Penggunaan L-cartinine pada
pasien maisih sebatas teori karena pasien dengan hemodialisis biasanya
memiliki adar serum L-carnitine bebas dan carnitine otot rangka yang
menurun. Sedangkan cartinine merupakan ko-faktor esensial dalam
metabolism asam lemak dan energi.
L-cartinine secara intravena dapat memperbaiki status nutrisi,
terutama pada pasien dengan intake kurang. Selain itu, l-cartinne berfungsi
untuk mengatasi beberapa kelainan metabolism seperti hipertrigliserid,
hiperkolesterol dan anemia. L-cartinine juga berfungsi untuk mengatasi
beberapa komplikasi hemodialisis seperti aritmia, hipotensi, curha janutng
rendah saat dialisis, malaise, lemah/rasa lelah, kram otot dan penuurnan
kapasitas/konsumsi oksigen dosis rendah. (KDOQI, 2000)
16
malnutrisi pada saat inisiasi hemodialisis agar memberikan hasil luaran
yang baik. Untuk pasien nonhemodialisis terdapat lebih banyak data
berhubungan dengan serum albumin dibandingkan serum prealbumin,
karena prealbumin dipengaruhi oleh GFR.
17
Resume dari kebutuhan nutrisi harian pada pasien PGK, baik pada stadium
pradialisis maupun dialisis dapat dilihat
Energi (jika pasien 35-40 kkal/kg, ≥60 tahun: ≥60 tahun : 30-35
<90% atau >115% tergantung status 30-35 kkal/kg <60 kkal/kg termasuk
dari rata-rata BB nutrisi dan faktor tahun : kalori dialisat <60
standar, gunakan stres 35 kkal/kg tahun: 35 kkal/kg
aBWef) termasuk kalori
dialisat
Fosfat 10-20 mg/g protein 900 mg/hari atau7 900 mg/hari atau
atau 600-800 mg/kg/hari <17 mg/kg/hari
mg/hari
Sodium Bervariasi menurut 2000-3000 mg/hari Tergantung
penyebab CKD; (88-130 mmol/hari) pemeriksaan fisik
biasanya “no added CAPD dan APD,
salt” (i.e., 2-4 3000-4000 mg/hari
g/hari) (130-175
mmol/hari)
Potassium Biasanya tidak 40 mg/kg atau kira- Tidak dilarang pada
dilarang sampai kira 2000-3000 CAPD and APD:
LFG <10 mg/hari (50-80 kira-kira 3000-4000
18
mL/min/1.73 m2 mmol/hari) mg/hari (80-105
mmol/hari) kecuali
serum level
meningkat atau
menurun
19
BAB III
PENUTUP
20
DAFTAR PUSTAKA
KDIGO. 2013. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and
Management of Chronic Kidney Disease. Kidney International
Supplements, 3: 19–62
Perazella, M.A., 2005. Chronic Kidney Disease. In: Reilly, R.F, Jr., Perazella,
M.A., ed. Nephrology In 30 Days. New York: Mc Graw Hill, 251-274.
PERNEFRI 2011. Konsensus nutrisi pada penyakit ginjal kronik. Perhimpunan
Nefrologi Indonesia. Jakarta
21
Rasyid H, 2014. Manfaat diet rendah protein pada penyakit ginjal kronik. Dalam:
Siregar P, Dharmeizar, Nainggolan G, Lydia A, Marbun MB, Hustrini M,
Umami V, editors. Naskah Lengkap The 14th Jakarta Nephrology and
Hypertension Course and Symposium on Hypertension. PERNEFRI:
Jakarta: 35-40.
Sudoyo A, et al. 2014. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FK UI; p. 2159–
2165.
Tim Indonesian Renal Registry. 2016. 8th Report Of Indonesian Renal Registry
2015. Perkumpulan Nefrologi Indonesia
22