Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

NUTRISI PADA CHRONIC KIDNEY DISEASE

Oleh:

Nikko Rizky Amanda G99162025


Muhammad Fariza Audi G99162031
Safira Nurulita G99162026

Pembimbing

dr. Wachid Putranto, Sp.PD-KGH, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
JAWA TENGAH
2018

0
HALAMAN PENGESAHAN

Referat Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:


NUTRISI PADA CHRONIC KIDNEY DISEASE

Oleh:

Nikko Rizky Amanda G99162025


Muhammad Fariza Audi G99162031
Safira Nurulita G99162026

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:

dr. Wachid Putranto, Sp.PD-KGH, FINASIM

1
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit ginjal kronik merupakan suatu proses patofisiologis dengan


etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal
ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal dan ditandai dengan
adanya uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah)
(Sudoyo et al., 2014).
. Gejala-gejala sindroma uremik ini terutama disebabkan penumpukan
sisa-sisa katabolisme protein dan muncul sebagai gejala dari gangguan
berbagai sistem dalam tubuh. Gejala yang terlihat mencolok pada sistem
gastrointestinal adalah berupa rasa mual, muntah dan penurunan nafsu makan
(anoreksia). Hal ini menyebabkan banyak penderita CKD menunjukkan
gejala malnutrisi (Dobrea, 2015)
Tujuan pengaturan gizi/nutrisi pada penderita CKD adalah
1. Mempertahankan status gizi yang optimal agar kualitas hidup dan rehabilitasi
penderita CKD sebaik mungkin.
2. Mengurangi atau mencegah gejala sindroma uremik.
3. Mengurangi progresivitas gagal ginjal dengan memperlambat turunnya laju
fultrasi glomerular.
Tujuan ini dicapai dengan mengatur asupan-asupan bahan-bahan nutrisi
baik asupan protein, lemak, energi (kalori) serta asupan mineral-mineral lainnya.
Dalam referat ini penulis akan membahas mengenai tujuan dan pengaturan
pemberian nutrisi pada penderita gagal ginjal kronik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Chronic Kidney Disease


Penyakit Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease/CKD) didefinisikan
sebagai kelainan pada fungsi atau struktur ginjal dan telah berlangsung lebih
dari 3 bulan berdasarkan manifestasi kelainan patologis atau petanda
kerusakan ginjal termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau
kelainan dalam tes pencitraan (imaging test). Definisi kedua menyebutkan
diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus
kurang dari 60 ml/menit/1,73m²dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Sudoyo
et al, 2014).
Sesuai rekomendasi The National Kidney Foundation Kidney Disease
Improving Global Outcome (NKF-KDIGO) tahun 2012, klasifikasi penyakit
ginjal kronik berdasarkan pada penyebab, level penurunan faal ginjal dan
jumlah albumin dalam urin, yaitu:

Gambar 1. Klasifikasi CKD berdasarkan level penurunan faal ginjal dan jumlah
albumin dalam urin (KDIGO, 2012)

3
Keterangan: GFR dan albuminuria menggambarkan risiko progresivitas sesuai
warna (hijau, kuning, oranye, merah, merah tua). Angka di dalam kotak
menunjukkan frekuensi monitoring/tahun yang dianjurkan.

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian
Renal Registry (IRR) pada tahun 2015 didapatkan urutan etiologi terbanyak
adalah penyakit ginjal hipertensi (44%), nefropati diabetika (22%),
glomerulopati primer (8%) (IRR, 2015).
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses
yang terjadi kurang lebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan
massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan
penurunan fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang
tersisa setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat,
sedangkan nefron yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban
eksresi sehingga terjadi lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran
darah glomerulus. Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai
suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End
Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-
angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksin dan
hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.

PenatalaksanaanCKDmeliputi :
 Terapi spesifik mencegah penyakit dasarnya
 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
 Memperlambat perburukan (progression)

4
 Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
 Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi
Pada CKD, nutrisi dan diet memiliki peranan penting baik dalam
memperlambat perburukan fungsi ginjal maupun menurunkan gejala yang
ada (Sudoyo et al., 2014).

B. Tujuan Terapi Nutrisi pada CKD


Tujuan terapi nutrisi pada gagal ginjal kronik yang belum menjalani terapi
ginjal pengganti adalah sebagai berikut. (Prazella, 2005)
1. Mempertahankan status nutrisi yang optimal
Pada penderita gagal ginjal sering terjadi keadaan malnutrisi yang
akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas gagal ginjal. Dalam
memberikan nutrisi pada penderita gagal ginjal harus diperhatikan keadaab
sebagai berikut : (1) status nutrisi penderita, (2) kecepatan katabolisme, (3)
laju filtrasi glomerulus.
2. Menghambat progresivitas gagal ginjal
Terbukti bahwa diet rendah protein dan fosfor dapat menghambat
progresivitas gagal ginjal, mencegah hiperfosfatemi, hiperparatiroid
sekunder, hipokalsemia dan osteodistrofi renal.
Diet rendah protein selain akan menurunkan kadar toksin uremik
dan keluh kesah uremia juga akan menghambat progresivitas gagal ginjal
melalui beberapa factor diantaranya menurunkan tekanan intraglomerulus,
menghambat hiperfiltrasi, hipertensi, hiperkatabolisme dan menghambat
sistem imun.
Beberapa factor penyebab progresivitas CKD sebagai berikut : (1)
aktivitas penyakit dasar, (2) hiperfiltrasi, (3) toksin uremik, (4)
katabolisme, dan lain-lain : (a) toksin eksogen, (b) asidosis, (c)
hiperuriksemia, (d) hiperkalsemia, (e) hipertensi, (f) depresi natrium, (g)
dehidrasi, (h) hiperparatiroid.

5
3. Mengurangi akumulasi toksin uremik
Parameter dari sindroma uremik adalah akumulasi dari toksin
uremi (limbah nitrogen) di dalam tubuh. Limbah nitrogen ini sebagian
besar berasal dari sisa katabolisme protein baik yang berasal dari diet
maupun katabolisme tubuh.
Pada keadaan normal limbah nitrogen akan diekskresi oleh ginjal.
Bila fungsi ginjal menurun maka akan terjadi retensi dari produk nitrogen
dengan manifestasi klinis sebagai keluh kesah uremia.
Penatalaksanaan diet pada CKD untuk mengurangi akumulasi
toksin uremia dengan mengatur asupan protein sedemikian rupa sehingga
tidak terjadi penimbunan toksin uremia tanpa diikuti malnutrisi.

Meskipun prinsip dasarnya sama, ada sedikit perbedaan tujuan terapi


nutrisi pada pasien CKD yang menjalani dialisis dengan yang tidak. Tujuan
terapi nutrisi pada dialisis adalah sebagai berikut (Prazella, 2005).
1. Menjaga Keseimbangan Nitrogen
Keseimbangan nitrogen menggambarkan keseimbangan metabolisme
protein. Artinya adalah degradasi protein harus seimbang dengan
asupannya Dalam keadaan seimbang maka pada pasien yang sudah
anefrik, ekskresi kreatinin dalam urin harus seimbang dengan creatinine
generation (pembentukan kreatinin dalam tubuh)
2. Memperlambat Progresivitas CKD
Pada CKD dimana sebagian besar nefron sudah rusak, nefron sisa yang
masih ada akan mengalami hiperperfusi. Ini merupakan usaha kompensasi
untuk memperbaiki fungsi ginjal. Laju filtrasi suatu unit nefron disebut
sebagai Single Nephron Glomerular Filtration Rate (SNGFR). Keadaan
hiperperfusi ini akan diikuti oleh hiperfiltrasi glomeruli. Bila keadaan ini
berlanjut , akan terjadi kenaikan tekanan intraglomeruli yang selanjutnya
akan mengakibatkan proses glomerulosklerosis dipercepat. Makin cepat
proses glomerulosklerosis akan makin progresif pula CKD secara klinis.

6
Dari percobaan didapatkan bahwa DRP dapat menurunkan SNGFR. Di
lain pihak, Ando dkk (1989) membuktikan bahwa pemberian diet protein
tinggi, yaitu 1,2-1,5 g/kgBB/hari dapat menaikkan SNGFR akibat
peninggian glukagon plasma. Terbukti bahwa DRP dapat mempengaruhi
progresivitas CKD karena efek langsungnya terhadap SNGFR. Lamanya
progresivitas CKD dapat dihambat oleh DRP tergantung banyak faktor
antara lain aktifitas penyakit dasarnya, komposisi DRP, kepatuhan pasien
terhadap DRPdan adanya faktor predisposisi.
3. Mempertahan Status Nutrisi secara Optimal
Terjadinya malnutrisi pada pasien gagal ginjal dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain :
a. Asupan nutrisi yang kurang atau tidak seimbang
b. Adanya gangguan metabolisme yang menyertai
c. Adanya kondisi penyakit lain yang menyertai seperti infeksi, stres,
dan lain-lain
Terjadinya malnutrisi menimbulkan percepatan progresivitas penyakit
maupun penurunan daya tahan pasien. Sebaliknya mempertahankan status
nutrisi dengan baik dapat memperbaiki penyakit yang menyertai, seperti
gangguan kardiovaskular dan lain-lain.

Hasil terapi nutrisi untuk jangka pendek adalah membantu meregulasi


dan menghindari akumulasi dari zat toksin maupun ekses air dan elektrolit
yang seharusnya diekskresi oleh ginjal. Akumulasi air dalam tubuh dapat
mengakibatkan edema paru akut, sedangkan hiperkalemi dapat menimbulkan
aritmia jantung. Kedua komplikasi ini adalah yang paling sering menimbulkan
kematian pasien. Untuk jangka panjang diharapkan terapi nutrisi dapat
menghindarkan terjadinya malnutrisi atau gangguan metabolisme lain. Adanya
malnutrisi menurunkan daya tahan dan mempermudah komplikasi infeksi.
Gangguan metabolisme lemak antara lain hipertrigliseridemia mempermudah
terjadinya aterosklerosis pada pasien. Terjadinya defisiensi kalsium dan

7
kelebihan fosfat akan menimbulkan kelainan tulang (osteodistrofi renal)
(Prazella, 2005).

C. Manajemen Nutrisi pada CKD


I. Manajemen Nutrisi secara Umum
A. Penilaian Status Nutrisi
Penilaian status nutrisi tidak bisa dilakukan dengan satu tes sederhana,
harus dilakukan serangkaian penilaian untuk skrining status nutrisi yang
optimal.

Tabel 3.1 Penilaian status nutrisi


Area Penilaian

Penilaian intake Riwayat makan, catatan makan, kuesioner


Makanan peniliana nafsu makan
Pengukuran Berat badan, tinggi badan, BMI
antopometri Persen perubahan berat badan
Ketebalan lipatan kulit
Lingkar lengan atas
Kompoisisi tubuh Aktivasi neutron
Near-infrared resistance
Bioelectrical impedance
Dual-energy x-ray absorptiometry (DEXA)
Potassium tubuh total
Determinasi biokimia Elektrolit serum
Protein serum
PNA, PCR
Kolesterol serum
Indeks kreatinin
Sistem skoring nutrisi Subjective global assessment (SGA)
Immunologic assay Limfosit

8
Tes hipersensitivitas kutaneus lambat
Tes fungsional Kekuatan genggaman
(Bircher dan Woodrow, 2013)

Tabel 3.2 Parameter malnutrisi pada pasien penyakit ginjal kronis


Penilaian Indeks
Parameter Albumin serum dibawah batas normal
Biokimia Prealbumin serum <300 mg/l (30 mg/dl) (hanya untuk
pemeliharaan pada pasien dialisis), karena kadarnya
kemungkinan bervariasi sesuai LFG untuk PGK sta dium 2-
5
Kretinin serum rendah, fosfat, potassium, urea pada pasien
dialisis
Kolesterol serum <150 mg/dl (3.8 mmol/l)
Indeks kreatinin rendah
Protein Nitrogen Appearance ( PNA) dan PCR rendah
Parameter Penuranan berat badan secara terus menerus, ketebalan
Antropometrik lipatan kulit, lingkar otot lengan atas
Kekuatan otot abnormal
Indeks Massa Tubuh <20 kg/m2
Berat Badan <90% dari ideal
(Bircher dan Woodrow, 2013)

B. Kalori dan Protein


Peningkatan asupan protein atau asam amino telah terbukti dapat
mempengaruhi hemodinamik ginjal dan berperan terhadap kerusakan
fungsi dan jaringan ginjal. Terapi diet rendah protein pada pasien PGK
telah diperkenalkan sejak lama dan memberi manfaat untuk menurunkan
akumulasi bahan buangan yang tidak dapat diekskresikan oleh ginjal.
Terapi diet rendah protein dapat mengurangi gejala uremia, menurunkan
proteinemia dan memperlambat inisiasi dialisis. (Bellizi, 2013)

9
Kapan kita memulai diit rendah protein pada PGK sampai saat ini
masih diperdebatkan. Batasan laju filtrasi glomerulus (LFG) untuk
memulai diet rendah protein belum ditetapkan. Sebagian besar nefrologist
menganjurkan agar diet rendah protein sudah dimulai pada saat LFG <60
ml/mnt/1.73 m (PGK stadium 3). Penurunan tersebut harus dilakukan
secara progresif berdasarkan stadium PGK dan banyaknya intake protein
dari setiap pasien. Modifikasi diet protein pada pasien PGK dapat dibagi
menjadi : 1) protein sangat rendah, kurang dari 0,3 g/kg BB; 2) diet
protein rendah, 0,6-0,8 g/kg BB, dan 3) diet protein normal, 1-1,2 g/kg
BB. (Pernefri, 2011)
Diet protein sangat rendah secara nyata dapat menurunkan
progresifitas penyakit ginjal kronik, namun risiko malnutrisi meningkat
pada pasien. (Rasyid, 2014) Oleh karena itu pasien gagal ginjal kronis
disarankan diberikan α-ketoacid atau asam amino esensial untuk
menghindari malnutrisi. Suplemen α-ketoacid lebih efektif daripada asam
amino esensial dalam memperlambat perjalanan gangguan ginjal. Manfaat
diet rendah protein dengan terapi α-ketoacid : memperbaiki azotemia dan
asidosis metabolik, menyediakan asam amino esensial dan memperbaiki
metabolisme protein, mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki
metabolisme karbohidrat, meningkatkan aktivitas lipase dan memperbaiki
metabolisme lemak, menurunkan kadar fosfor serta meningkatkan kadar
kalsium, mengurangi gejala hiperparatiroid sekunder, dan menurunkan
ekskresi protein urine dan menghambat perjalanan PGK. (Fouque, 2013)
C. Kalium
Dengan menurunnya LFG kemampuan tubulus untuk mensekresikan
kalium berkurang. sehingga perlu dilakukan restriksi kalium untuk
mempertahankan kadar kalium pada kadar normal yaitu 3,5-5,0 mEq/L.
Obat-obat juga dapat meningkatkan kadar kalium yaitu: ACE inhibitor,
ARB, aldosterone receptor blokers. Rekomendasi untuk kalium pada
pasien hemodialisis adalah 2000-3000 mg/hari (50-80 mmol/hari). Pada
pasien dengan Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) bisa

10
mengkonsumsi kalium lebih banyak yaitu 3000-4000 mg/hari (80-105
mmol/hari). (Fuchs dan Pierre, 2014)
D. Sodium/Garam dan Air
Restriksi garam merupakan salah satu strategi untuk
mengoptimalkan terapi antihipertensi dan mengatasi edema. Restriksi
sodium tergantung pada status hidrasi pasien, ekskresi natrium urine, ada
atau tidak hipertensi. Asupan garam yang direkomendasikan pada PGK
adalah 1,5-2 gram perhari. (Fuchs dan Pierre, 2014 dan Fouque and Mitch,
2012)
Pada pasien yang menjalani hemodialisis produksi urine akan
semakin menurun sampai menjadi anuria, sehingga asupan cairan harus
dikontrol dan disesuaikan pada kondisi masing-masing pasien. Pada pasien
yang menjalani HD asupan cairan adalah 500-1000 mL/hari ditambah
jumlah urin perhari, sedangkan pada pasien yang menjalani CAPD dan
Automated Peritoneal Dialysis (APD), kira-kira 2000-3000 mL/hari
berdasarkan status klinis. (Fuchs dan Pierre, 2014 dan Fouque and Mitch,
2012)
E. Vitamin, Mineral dan Trace Element
Abnormalitas vitamin, mineral dan trace element pada pasien CKD
berhubungan dengan restriksi diet, kehilangan melalui dialisator, dan
menurunnya fungsi ginjal dalam metabolism beberapa vitamin. Tetapi
seberapa banyak jumlah yang dibutuhkan oleh pasien PGK sampai saat ini
belum jelas. Restriksi protein dan kalium akan menyebabkan tidak
adekuatnya intake dari pyridoxine, vitamin B12, asam folat, vitamin C,
besi dan zink. Penggunaan eritropoetin juga meningkatkan kebutuhan besi
dan asam folat. (Bircher dan Woodrow, 2013)
F. Konseling Nutrisi
Tingginya insiden malnutrisi protein dan energi yang berbanding
lurus dengan tingkat mortalitas, dan malnutrisi yang terjadi paling sering
diakibatkan kurangnya intake pasien. Oleh karena itu , pasien yang
menjalani hemodialisis harus mendapat konseling nutrisi secara intensif

11
pada awal hemodialisis. Konseling harus disesuaikan sesuai latar belakang
dan pendidikan pasien dan dapat dilanjutkan setiap 1-2 bulan sekali.
Konseling harus dilakukan kembali apabila pasien mengalami malnutrisi
atau beberapa keadaan meliputi penurunan intake energi dna protein yang
tidak dapat dijelaskan, depresi, deteriorasi oengukuran status protein dan
energi, kehamilan, inflamasi akut/pemyakit katabolik pada pasien lanjut
usia, perawatan rumah sakit, diabetes mellitus, pemberian glukokortikoid,
post transplantasi allograft. (KDOQI, 2000)

II. Pasien dengan Hemodialisis


A. Evaluasi Status Nutrisi Energi-Protein
Untuk mengevaluasi status nutrisi pasien harus dilakukan dengan
pengukuran lebih dari satu pengukuran status nutrisi. Pengukuran asupan
energi dan protein, persediaan protein visceral, massa otot, komposisi
tubuh, dan identifikasi status fungsional. Untuk pasien dialisis, sebaiknya
dilakukan evaluasi predialisis meliputi serum albumin, persen berat badan
biasa, persen berat badan standar (20%).

Tabel 3.1 Monitoring Status Nutrisi Pasien


Kategori Pengukuran Frekuensi
minimum
pengukuran
Pengukuran yang harus  Serum albumin  per bulan
dilakukan pada seluruh predialisis/stabil  per bulan
pasien  % berat badan biasa  setiap 4 bulan
postdialisis/post-drain
 % berat badan standar  setiap 6 bulan
(NHAES II)
 Subjective global  setiap 6 bulan
assessment (SGA)

12
 Wawancara nutrisi  per bulan
 nPNA

Pengukuran yang  serum prealbumin Jika dibutuhkan


berguna untuk predialisis/stabil
mengkonfirmaasi data  ketebalan lipatan kulit
yang didapat pada  lingkar lengan atas
kategori I  dual energy x-ray
absorpmetri
 serum predialisis.stabil
creatinine
nitrogen urea
kolesterol
 indeks creatinin
Secara klinis  serum prealbumin Jika dibutuhkan
pengukuran bermanfaat, predialisis/stabil
yang mungkin cratinine
diperlukan pemeriksaan ureum
energi protein, status cholesterol
nutrisi  indeks cratinine
(KDOQI, 2000).

Penelitian terbaru menyebutkan evaluasi dan monitoring status


nutrisi dapat pasien hemodialisis dapat dilakukan setiap 6 bulan sekali
(Fuchs dan Pierre, 2014). Serum albumin direkomendasikan untuk
dilakukan pengukuran rutin karena serum albumin dapat menunjukkan
simpanan protein visceral. Serum albumin pada inisiasi dialisis
menunjukkan resiko mortalitas. Setelah dilakukan penelitian lanjut,
intervensi nutrisi yang mempertahankan atau meningkatkan konsentrasi
serum albumin akan memperbaiki kerbelangsungan jangka panjang.

13
Berdasarkan kepentingan klinisnya, serum protein (albumin,
transferin dan prealbumin) mungkin tidak teralu sensitif terhadap
perubahan status nutrisi, karena dapat dipengaruhi perubahan parameter
seperti infeksi/inflamasi, status hidrasi, kehilangan albumin peritoneal/urin
dan asidemia. Sehingga status klinis pasein (kondisi komorbid, status
keasaman, derajat proteinuria) perlu dievaluasi saat ada perubahan level
serum albumin.Target terapi nutrisi adalah serum albumin diatas 4g/dl.
Pengukuran berat badan yang disesuaikan dengan tinggi badan
menunjukkan hubunungan berat badan dan massa lemak tubuh. SGA
direkomendasikan karena memberikan overview komprehensif ambilan
nutrisi dan kompisisi tubuh.

B. Manajemen Status Asam-Basa


Serum bikarbonat harus diukur setiap bulan pada pasien dialisis.
Pasien yang menjalani hemodialisis sering mengalami asidemia. Asidemia
menunjukkan peningkatan konsentrasi ion hidrogen dalam darah. asidosis
menunjuk pada keberadaan satu atau lebih kondisi yang memicu asidemia.
Asidemia diukur dari serum bikarbonat dan atau pH darah. Rendahnya
serum bikarbonat mengindikasikan asidosis metabolic, karena
berhubungan dengan peningkatan oksidasi rantai asam amino (valin,
leusin dan isoleusin), peningkatan degradasi protein dan PNA, dan
penurunan sintesis albumin.
Asidemia juga berefek pada sistensis vitamin D dan metabolism
tulang. Normalisasi serum bikarbonat predialisis/stabil dapat didapat
dengan pemberian konsentrasi anion dasar yang lebih tinggi (38 mmol/L)
pada dialisator atau dengan suplementasi oral garam bikarbonat (2-4 gr/dl
atau 25-50 mEq/d). Peningkatan serum bikarbonat dapat meningkatkan
berat badan, lingkar lengan atas, lipatan kulit dan mempercepat perawatan
rumah sakit. Target serum bikarbonat adalah diatas 22mmol/L. (KDOQI,
2000)

14
C. Manajemen Intake Protein
 Pada hemodialisis rutin
Protein untuk pasien gagal ginjal kronis stabil dengan hemodialisis
rutina dalah 1,2g/kgBB/hari. Pasien hemodialisis memiliki kecenderungan
untuk mengalami malnutrisi karena penurunan intake, anoreksia akibat
uremia, prosedur dialisis (pembuangan asam amino (10-12 g tiap HD),
beberapa peptide, protein (10-12 gram/HD) dan glukosa (12-25g tiap HD
apabila dialisator-bebaas gula digunakan)), hiperkatabolisme akibat
penyakit kronik dan asidemia. Kurangnya intake sendiri akan
menyebabkan penyakit komorbid yang mengganggu gastrointestinal,
depresi, penyakit psikiatri lain, penyakit otak organik, faktor
sosioekonomi. Intake protein hewani lebih direkomendasikan karena
memiliki asam amino yang mirip dengan manusia.
 Pada hemodialisis peritoneal rutin
Protein yang dibutuhkan untuk pasien gagal ginjal kronis stabil
dengan hemodialisis peritoneal rutin lebih tinggi dibandingkan populasi
normal yaitu sebesar 1,2-1,3g/kgBB/hari, dengan komposisi minimal 50%
memiliki nilai biologis tinggi. Hal ini dikarenakan kehilangan protein pada
hemodialisis peritoneal lebih tinggi dibandingkan hemodialisis biasa.
Kehilangan protein sebesar 5-15g/24jam, asam amino sekitar 3g/d, dan
absorpsi glukosa dari dialisator. Asam amino dapat ditambahkan pada
dialisator untuk menggganti kehilangan asam amino pada dialisator.

D. Manajemen Intake Energi


Pada hemodialisis rutin dan hemodialisis peritoneal
Rekomendasi intake energi harian untuk pasien hemodialisis rutin
adalah 35 kcal/kgBB/hari untuk usia kurang dari 60 tahun dan 30-
35kcal/kgBB/hari untuk usia lebih dari atau sama dengan 60tahun.
Pemberian 35 kcal/kgBB/hari pada pasien hemodialisis akan
menyebabkan terjadinya keseimbangan nitrogen dan komposisi tubuh.

15
Pemberian 35kcal/kgBB/hari sudah mencukupi kebutuhan pada pasien
hemodialiss peritoneal yang mengalami absorbsi glukosa. Pada pasien
lebih dari atau sama dengan 60 tahun dilakukan pengurangan intake energi
karena kecenderungan adanya penurunan aktivitas.

E. Cartinine
Masih diperlukan data terbaru untuk mendukung penggunaan rutin
L-cartinine pada pasien dengan hemodialisis. Penggunaan L-cartinine pada
pasien maisih sebatas teori karena pasien dengan hemodialisis biasanya
memiliki adar serum L-carnitine bebas dan carnitine otot rangka yang
menurun. Sedangkan cartinine merupakan ko-faktor esensial dalam
metabolism asam lemak dan energi.
L-cartinine secara intravena dapat memperbaiki status nutrisi,
terutama pada pasien dengan intake kurang. Selain itu, l-cartinne berfungsi
untuk mengatasi beberapa kelainan metabolism seperti hipertrigliserid,
hiperkolesterol dan anemia. L-cartinine juga berfungsi untuk mengatasi
beberapa komplikasi hemodialisis seperti aritmia, hipotensi, curha janutng
rendah saat dialisis, malaise, lemah/rasa lelah, kram otot dan penuurnan
kapasitas/konsumsi oksigen dosis rendah. (KDOQI, 2000)

III. Pasien Non Hemodialisis


A. Evaluasi Status Nutrisi Energi-Protein
Pada individu dengan GFR <20mL/menit, status nutrisi energi-
proteun harus dievaluasi dengan pengukuran serial marker panel minimal
satu diantara berikut: (1) serum albumin, berat badan aktual tanpa edema,
(2) persen berat badan standar (NHES II) atau subjective global assessmen
(SGA) 1-3 bulan sekali (3) normalized protein nitrogen appearance
(nPNA)/wawancara diet setiap 3-4 bulan sekali.
Untuk pasien dengan GFR <15mL/menit, harus dilakukan
monitoring penyakit lain, intake nutrisi inadekuat, deteriorasi status
nutrisi. Monitoring nutrisi adalah komponen esensial untuk mencegah atau

16
malnutrisi pada saat inisiasi hemodialisis agar memberikan hasil luaran
yang baik. Untuk pasien nonhemodialisis terdapat lebih banyak data
berhubungan dengan serum albumin dibandingkan serum prealbumin,
karena prealbumin dipengaruhi oleh GFR.

B. Manajemen Intake Protein


Untuk individu dengan gagal ginjal kronis (GFR<25mL/min) yang
tidak menjalani hemodialisis rutin, konsumsi protein yang disarankan
sebesar 0.60 g/kgBB/hari. Apabila individu mengalami malnutrisi dengan
jumlah protein diatas, konsumsi protein dapat dinaikan hingga 0.75
g/kgBB/hari. Pasien non hemodialisis harus dilakukan evaluasi secara
rutin karena protein berpotensi membuat keracunan nitrogen, sindorm
uremik dan komplikasi metabolisme lainnya. Beberapa penelitian
menyebutkan konsumsi protein yang rendah pada pasien non hemodialisis
dapat mengurangi hiperfosfatemia, asidosis metabolik, hiperkaemia dan
gangguan elektrolit. Pasien dengan GFR >50mL/min juga disarankan
pemberian nutrisi rendah protein karena dapat mengurangi progresivitas
gagal ginjal. (KDOQI, 2000)

C. Manajemen Intake Nutrisi


Pengeluaran energi pasien gagal ginjal kronis (GFR>25mL/min)
sama dengan individu sehat lainnya.penelitian keseimbanagn metabolic
mengatakan bahwa individu dengan diet 35 kcal/kgBB/hari akan
menyebbakan netralisasi nitrogen, mempertahankan serum albumin dan
indikator antropometri. Dikarenakan individu >60 tahun memiliki
kecenderungan aktivitas rendah, maka energi yang diperlukan adalah 30 to
35 kcal/kgBB/hari . Intake energi pasien dengan GFR <25ml/min
didasarkan pada intake energi rendah yang mampu membuat pasien stabil
secara klinis. (KDOQI, 2000)

17
Resume dari kebutuhan nutrisi harian pada pasien PGK, baik pada stadium
pradialisis maupun dialisis dapat dilihat

Nutrisi Stadium 1-4 Hemodialisis Peritoneal Dialisis


Protein LFG >30 ≥1.2 g/kg/hari ≥1.2-1.3 g/kg/hari
mL/min/1.73 m2: dengan paling paling sedikit 50%
≥0.8 g/kg/hari sedikit 50% HBV HBV
LFG 15-29
mL/min/1.73 m2:
0.6-0.75 g/kg/hari
Sindrom Nefrotik:
0.8-1.0 g/kg/hari

Energi (jika pasien 35-40 kkal/kg, ≥60 tahun: ≥60 tahun : 30-35
<90% atau >115% tergantung status 30-35 kkal/kg <60 kkal/kg termasuk
dari rata-rata BB nutrisi dan faktor tahun : kalori dialisat <60
standar, gunakan stres 35 kkal/kg tahun: 35 kkal/kg
aBWef) termasuk kalori
dialisat
Fosfat 10-20 mg/g protein 900 mg/hari atau7 900 mg/hari atau
atau 600-800 mg/kg/hari <17 mg/kg/hari
mg/hari
Sodium Bervariasi menurut 2000-3000 mg/hari Tergantung
penyebab CKD; (88-130 mmol/hari) pemeriksaan fisik
biasanya “no added CAPD dan APD,
salt” (i.e., 2-4 3000-4000 mg/hari
g/hari) (130-175
mmol/hari)
Potassium Biasanya tidak 40 mg/kg atau kira- Tidak dilarang pada
dilarang sampai kira 2000-3000 CAPD and APD:
LFG <10 mg/hari (50-80 kira-kira 3000-4000

18
mL/min/1.73 m2 mmol/hari) mg/hari (80-105
mmol/hari) kecuali
serum level
meningkat atau
menurun

Cairan Berdasarkan status 500-1000 mL/hari CAPD dan APD,


klinis ditambah jumlah kira-kira 2000-3000 mL/hari be
urin perhari 800 mg
bila pe
menjaga
serum
Kalsium 800 mg/hari atau Sama seperti PGK Sama seperti PGK
bila perlu untuk stadium 1-4 stadium 1-4
menjaga target level
serum

Vitamin dan RDA untuk vitamin Vitamin C, 60-100 Sama seperti


mineral B komplek dan C; mg; vitamin B6, 5- hemodialisis
zinc, besi, kalsium, 10 mg; asam folat,
and vitamin D 0.8-1 mg; DRI
untuk yang lain;
zinc tersendiri,
kalsium, besi, dan
vitamin D

(Fuchs dan Pierre, 2014)

19
BAB III
PENUTUP

Pengaturan gizi dan nutrisi pada penderita CKD dapat mempertahankan


status gizi yang optimal sehingga kualitas hidup dan rehabilitasi penderita CKD
dapat berjalan sebaik mungkin; mengurangi atau mencegah gejala sindroma
uremik dan mengurangi progresivitas gagal ginjal dengan memperlambat
turunnya laju tiltrasi glomerular. Tujuan ini dicapai dengan mengatur asupan
asupan bahan-bahan nutrisi baik asupan protein, lemak, energi (kalori) serta
asupan mineral-mineral lainnya.
Melalui pengaturan diet yang baik, malnutrisi pada CKD dapat dicegah oleh
karena mortalitas dan morbiditas penderita sangat dipengaruhi oleh status nutrisi
penderita, sehingga nutrisi merupakan hal yang penting dalam kerangka
pengelolaan CKD. Edukasi untuk penderita rnerupakan faktor yang ikut
menentukan keberhasilan usaha ini.

20
DAFTAR PUSTAKA

Bellizzi V. 2013. Low protein diet or nutritional therapy in chronic kidney


disease?. Blood Purif 36:41-46.
Bircher G, Woodrow G. 2013. Gastroenterology and nutrition in chronic kidney
disease. Dalam: Johnson RJ, Feehally F, Floege J. editors. Comprehensive
Clinical Nephrology 5th edition. Elseiver Saunders: Philadelphia,1010-
1014.
Dobrea MA , Meyerb TW, Hostetter TH. 2015. The Uremic Syndrome. Academic
Press of Stanford University School of Medicine; Chapter 8
Fouque D and Mitch WE. 2012. Dietary approaches to kidney disease. Dalam:
Taal MW, Chertow GM, Mars PA, Skorecki K, Yu AS and Brenner BM.
Editors. Brenner & Rector’s The Kidney 9th ed. USA: Elsiver Saunders,
2170-2204.
Fouque D. 2013. Low protein, amino acid and ketoacid diets to slow the
progression of chronic kidney disease and improved metabolic control of
uremia. NutrManag Renal Dis: 209-231.
Goldstein-Fuchs, D, LaPierre AM. 2014. Nutrition and kidney disease. Dalam:
Gilbert GJ, Weiner ME. Editors. National Kidney Foundation’s Primer on
Kidney Diseases. Philadelphia: Elseiver Saunderz, 467-474.
KDOQI. 2000. Nutrition in chronic renal failure. American Journal of Kidney
Diseases, Vol 35, No 6, Suppl 2 (June), 2000: pp S9-S10

KDIGO. 2013. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and
Management of Chronic Kidney Disease. Kidney International
Supplements, 3: 19–62
Perazella, M.A., 2005. Chronic Kidney Disease. In: Reilly, R.F, Jr., Perazella,
M.A., ed. Nephrology In 30 Days. New York: Mc Graw Hill, 251-274.
PERNEFRI 2011. Konsensus nutrisi pada penyakit ginjal kronik. Perhimpunan
Nefrologi Indonesia. Jakarta

21
Rasyid H, 2014. Manfaat diet rendah protein pada penyakit ginjal kronik. Dalam:
Siregar P, Dharmeizar, Nainggolan G, Lydia A, Marbun MB, Hustrini M,
Umami V, editors. Naskah Lengkap The 14th Jakarta Nephrology and
Hypertension Course and Symposium on Hypertension. PERNEFRI:
Jakarta: 35-40.
Sudoyo A, et al. 2014. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FK UI; p. 2159–
2165.
Tim Indonesian Renal Registry. 2016. 8th Report Of Indonesian Renal Registry
2015. Perkumpulan Nefrologi Indonesia

22

Anda mungkin juga menyukai