MIRANTI ARIANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
i
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Inventarisasi Emisi Gas
Rumah Kaca Sektor Pertanian dan Opsi Mitigasinya dengan Pendekatan Marginal
Abatement Cost adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014
Miranti Ariani
NIM 110181
iii
RINGKASAN
MIRANTI ARIANI. Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian dan
Opsi Mitigasinya dengan Pendekatan Marginal Abatement Cost. Dibimbing oleh
MUHAMMAD ARDIANSYAH dan PRIHASTO SETYANTO.
Eugenia polyantha yang dikenal dengan nama salam adalah tanaman obat
yang baSektor Pertanian menyumbang sebesar 5% dari total emisi Gas Rumah
Kaca (GRK) nasional pada tahun 2000 dan meningkat menjadi sebesar 7% pada
tahun 2005. Emisi ini diperkirakan akan terus meningkat apabila tidak ada
kegiatan penurunan emisi yang dilakukan. Pemerintah melalui Peraturan Presiden
(Perpres) No 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
GRK dan Peraturan Presiden No 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan
Inventarisasi GRK Nasional, mewajibkan setiap kementrian/lembaga dan
pemerintah daerah untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% secara nasional.
Pelaksanaan Perpres 61/2011, melibatkan keikutsertaan pemerintah daerah secara
aktif, karena dalam Perpres tersebut pemerintah daerah diharuskan menyusun
Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi GRK. Masing-masing daerah
berkewajiban memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi secara nasional.
Perencanaan aksi-aksi untuk penurunan emisi GRK, perlu mengetahui secara pasti
besaran emisi dan serapan GRK. Sektor pertanian dalam Lampiran Perpres No
61/2011 harus menurunkan tingkat emisinya sebesar 8 Gg CO2e. Berbagai
perencanaan ditingkat nasional telah dilakukan untuk mencapai target tersebut,
akan tetapi partisipasi daerahlah, khususnya pemerintah kabupaten, yang akan
sangat menentukan.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis status emisi GRK Sektor
Pertanian di Kabupaten Grobogan Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Tanjung
Jabung Timur Propinsi Jambi melalu inventarisasi dan identifikasi kategori kunci
(Key Categories Analysis) terhadap sumber-sumber emisi GRK dan
perhitungannya serta menyusun BAU Baseline dan (2) menganalisis opsi-opsi
mitigasi pada pengelolaan lahan sawah yang mungkin dilakukan dengan
pendekatan Marginal Abatement Cost.
Inventarisasi GRK membutuhkan masukan data aktivitas yang sangat
komplek dan detail, untuk menghasilkan data status emisi GRK yang tepat.
Pembangkitan data aktivitas bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya
dengan melakukan wawancara langsung dengan para ahli, survey lapangan
maupun membangun asumsi. Status emisi GRK Kabupaten Grobogan dan
Tanjung Jabung Timur berbeda, meski sumber emisi utama adalah gas CH4 dari
pengelolaan lahan sawah yang mencapai 50%. Total emisi GRK Kabupaten
Grobogan dengan metode IPCC 2006 adalah sekitar 678-758 Gg CO2e dan
diperkirakan akan terus meningkat mencapai angka 898 Gg CO2e di tahun 2020
jika tidak ada aksi mitigasi, sedangkan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
sekitar 543-659 Gg CO2e dan mencapai angka 820 Gg CO2e tahun 2020. Total
emisi GRK Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur dengan modifikasi
metode IPCC 2006 adalah sebesar 670-744 Gg CO2e and 540-658 Gg CO2e. Hasil
perhitungan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola di kedua kabupaten
dengan metode IPCC 2006 dan modifikasinya hanya berbeda sekitar 4% atau
tidak berbeda nyata dengan uji t pada taraf p=0,05.
ii
Penentuan teknologi mitigasi dapat dilakukan melalui studi literature
terhadap hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, sementara penentuan luasan
area yang berpotensi untuk penerapan teknologi mitigasi, dilakukan dengan
membangun asumsi-asumsi. Besaran biaya dapat ditentukan berdasarkan pada
biaya yang berlaku setempat. Potensi pengurangan emisi pada kurva biaya
pengurangan emisi GRK di Kabupaten Grobogan mencapai 212.822 tCO2e/th atau
sekitar 24% dapat diturunkan sampai tahun 2020 dengan tambahan biaya dibawah
Rp 1.000,-/tCO2e, sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebesar 66.317
tCO2e/th atau sekitar 8,1% dapat diturunkan dengan biaya tambahan dibawah Rp
1.000,-/tCO2e. Teknologi mitigasi yang berpotensi besar menurunkan emisi GRK
dengan biaya rendah di Kabupaten Grobogan adalah penerapan teknik budidaya
padi dengan penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan penggantian
varietas padi dengan varietas padi yang rendah emisi GRK. Sementara di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur, teknologi ameliorasi dengan kompos, pupuk
kandang dan penerapan teknologi tanpa olah tanah+tanam benih langsung
merupakan teknologi mitigasi yang memiliki potensi besar menurunkan emisi
dengan biaya yang rendah.
iii
SUMMARY
iv
tCO2e/yr or about 24 % up to 2020 can be derived with the additional cost of less
than Rp 1,000,-/tCO2e, while in East Tanjung Jabung 66,317 tCO2e/yr, or about
8.1 % by 2020 can be derived at an additional cost of less than Rp 1,000, -/tCO2e.
Mitigation activity such as low methane rice varieties and Integrated Crop
Management could be applied at Grobogan with low cost, while using
amelioration such as compost or manure and non tillage+direct seeded could be
applied at East Tanjung Jabung with low cost as well.
v
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vi
INVENTARISASI EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR
PERTANIAN DAN OPSI MITIGASINYA DENGAN
PENDEKATAN MARGINAL ABATEMENT COST
MIRANTI ARIANI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan sumberdaya Alam dan
Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
i
Penguji Luar Komisi
Pada Ujian Tesis : Jumat 30 Mei 2014 Pukul 08.30 WIB
ii
Judul Tesis : Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian dan Opsi
Mitigasinya dengan Pendekatan Marginal Abatement Cost
Nama : Miranti Ariani
NIM : P052110181
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
iii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Pebruari 2013 ini ialah
perubahan iklim, dengan judul Inventarisasi Emisi GRK Sektor Pertanian dan
Opsi Mitigasinya dengan Pendekatan Marginal Abatement Cost.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Muhammad Ardiansyah
dan Bapak Dr. Prihasto Setyanto selaku pembimbing yang telah banyak memberi
saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh Kelompok
Peneliti Emisi dan Absorbsi GRK Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, yang
telah membantu selama pengumpulan data dan pelaksanaan penelitian. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada suami, ayah, ibu, serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Miranti Ariani
iv
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 4
2 STATUS EMISI GRK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN
GROBOGAN DAN TANJUNG JABUNG TIMUR 6
Pendahuluan 6
Bahan dan Metode 8
Hasil 16
Pembahasan 30
Simpulan 35
3 BIAYA PENGURANGAN (MARGINAL ABATEMENT COST)
EMISI GRK 36
Pendahuluan 36
Bahan dan Metode 38
Hasil 39
Pembahasan 43
Simpulan 46
4 PEMBAHASAN UMUM 48
5 SIMPULAN DAN SARAN 51
Simpulan 51
Saran 51
DAFTAR PUSTAKA 53
LAMPIRAN 59
RIWAYAT HIDUP 78
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil perhitungan status emisi dengan IPCC 2006 worksheet ........ 59
Lampiran 2. Analisis Usahatani............................................................................. 76
viii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
metodologi yang dapat diperbandingkan dan disetujui oleh para pihak (Boer,
2009).
Para pihak berkomitmen untuk menyusun dokumen Komunikasi Nasional
yang berisikan informasi Inventarisasi GRK Nasional, deskripsi tentang langkah-
langkah yang diambil untuk mencapai tujuan konvensi meliputi adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim, dan informasi lainnya yang relevan dengan tujuan
konvensi.
Peran serta Indonesia terkait upaya-upaya mitigasi perubahan iklim, salah
satunya adalah pernyataan Non-Binding Commitment yang dikemukakan oleh
Presiden RI pada pertemuan G-20 di Pittsburgh – USA, 25 September 2009 yang
lalu. Komitmen yang tidak mengikat ini mencakup upaya-upaya Indonesia
mengurangi tingkat emisi GRK sebesar 26% di tahun 2020 dengan sumber-
sumber pendanaan dari dalam negeri dan lebih jauh sampai dengan 41% di tahun
2020 apabila ada bantuan donor internasional (Gambar 1.1).
2
3
dengan adanya penelitian ini diharapkan akan menjadi pedoman bagi stakeholder
di daerah dalam pelaksanaan kegiatan inventarisasi GRK. Fokus penelitian ini
hanya pada sektor pertanian, hal ini lebih karena sektor pertanian mempunyai
fungsi multidimensi terhadap perubahan iklim, yaitu berperan sebagai korban
karena sifatnya yang rentan terhadap perubahan iklim, sebagai sumber
penyumbang emisi GRK dan sekaligus juga sebagai solusi untuk penurunan emisi
GRK. Dalam RAN (Rencana Aksi Nasional) GRK, sektor pertanian mempunyai
kewajiban untuk menurunkan emisi sebesar 8 Gg CO2e. Untuk bisa mencapai
target tersebut, berbagai kegiatan mitigasi, baik yang berdampak langsung
maupun tidak langsung terhadap penurunan emisi sektor pertanian harus
dilakukan. Kegiatan mitigasi bisa berupa kegiatan yang baru maupun kegiatan
yang sudah ada yang mempunyai potensi menurunkan emisi GRK.
Penelitian ini dilaksanakan di 2 Kabupaten yaitu Kabupaten Grobogan
Propinsi Jawa Tengah mewakili ekosistem dengan tanah mineral dan Kabupaten
Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi mewakili ekosistem dengan tanah gambut.
Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Jambi adalah propinsi yang sampai dengan
awal tahun 2012 telah menerbitkan Peraturan Gubernur mengenai RAD GRK,
yaitu Pergub Jambi No. 36 tahun 2012 dan Pergub Jateng No. 43 tahun 2012.
Kabupaten Grobogan dipilih sebagai lokasi penelitian karena berdasarkan kajian
awal merupakan kabupaten yang berperan sebagai lumbung padi Jawa Tengah,
kegiatan pertanian sangat bervariasi (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
peternakan, perikanan), areal lahan sawah terluas kedua di Jawa Tengah dan
beberapa data sekunder terkait pertanian tersedia pada website resmi masing-
masing SKPD dan BPS. Sementara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah
kabupaten di Propinsi Jambi yang juga merupakan lumbung padi Propinsi Jambi,
dengan karakteristik lahan pertanian sebagian besar merupakan lahan marjinal
(lahan gambut, rawa dan lebak), kegiatan pertaniannya juga bervariasi, dimana
kebanyakan adalah pertanian kebun campur (karet dengan hortikultura atau buah-
buahan di sela-selanya).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status emisi dan serapan GRK
dari lahan pertanian di Kabupaten Grobogan (Jawa Tengah) dan Kabupaten
Tanjung Jabung Timur (Jambi) serta upaya-upaya mitigasi yang dapat dilakukan.
Terkait hal tersebut maka diperlukan langkah-langkah yang dituangkan dalam
beberapa tujuan khusus, yaitu :
1. Menganalisis status emisi GRK Sektor Pertanian di Kabupaten Grobogan
Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi
melalui inventarisasi dan identifikasi kategori kunci (key categories analysis)
terhadap sumber-sumber emisi GRK dan perhitungannya serta menyusun BAU
baseline,
2. Menganalisis opsi-opsi mitigasi pada pengelolaan lahan sawah yang mungkin
dilakukan dengan pendekatan marginal abatement cost.
3
4
Manfaat Penelitian
4
5
Berikut adalah gambaran atau skema dari alur pemikiran yang dilaksanakan dalam
penelitian ini
Perubahan Iklim
Konsentrasi GRK
Adaptasi Mitigasi
INDONESIA
Perpres 61/2011 RANGRK
Perpres 71/2011 INVENTORI
Data Aktivitas
Penentuan Metode
5
6
Pendahuluan
6
7
emisi CO2 dari penggunaan energi untuk kegiatan pertanian (72.000 Gg CO2e) dan
emisi CH4 dari pengelolaan kotoran (45.000 Gg CO2e).
Beberapa negara dengan tingkat konsumsi daging yang tinggi (seperti Uni
Eropa dan AS) cenderung memberikan sumbangan emisi GRK dari peternakan
yang tinggi. Sementara negara-negara Asia, seperti China dan Indonesia dengan
tingkat konsumsi beras yang tinggi, sumbangan emisi GRK dari lahan sawah akan
cenderung lebih tinggi.
Komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK-nya sebesar 26%
sampai tahun 2020 telah menjadi kegiatan wajib dengan disyahkannya Peraturan
Presiden (Perpres) No 61 tahun 2011 (Perpres 61, 2011) dan Peraturan Presiden
No 71 tahun 2011 (Perpres 71, 2011). Pelaksanaan Perpres 61/2011, melibatkan
keikutsertaan daerah secara aktif, karena dalam Perpres tersebut pemerintah
daerah diharuskan menyusun RAD Penurunan Emisi GRK. Masing-masing
daerah berkewajiban memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi secara
nasional. Perencanaan aksi-aksi untuk penurunan emisi GRK, perlu mengetahui
secara pasti besaran emisi dan serapan GRK, Berbagai perencanaan ditingkat
nasional telah dilakukan untuk mencapai target tersebut, akan tetapi partisipasi
daerahlah yang akan sangat menentukan.
Dalam skala global dan nasional, perhitungan besaran emisi telah banyak
dilakukan, baik dalam bentuk studi ilmiah maupun laporan nasional terkait status
emisi di suatu negara (Chen dan Bo Zhang, 2010). Kegiatan inventarisasi dalam
skala wilayah yang lebih sempit, diharapkan dapat memudahkan kompilasi dalam
skala wilayah yang lebih luas (Neufeldt et al, 2006), sehingga perencanaan
penurunan emisi dapat lebih tepat. Hal yang masih menjadi kendala utama dalam
inventarisasi GRK di Indonesia adalah ketersediaan data aktivitas. Pembangkitan
data aktivitas dalam skala kabupaten akan menjadi kunci dalam penyusunan basis
data di tingkat nasional untuk menghasilkan inventarisasi yang berkualitas.
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi pedoman bagi daerah dalam melakukan
kegiatan inventarisasi, dimulai dari pembangkitan data aktivitas, melakukan
perhitungan serta membandingkan estimasi emisi antara metode IPCC 2006 dan
modifikasi IPCC 2006 untuk Sektor Pertanian tahun 2006-2011. Metode IPCC
2006 adalah metode yang telah disepakati secara internasional untuk perhitungan
emisi GRK. Hasil perhitungan akan sangat berguna sebagai acuan dalam
penentuan aksi mitigasi yang akan dilakukan. Kabupaten Grobogan merupakan
salah satu kabupaten dengan luas lahan pertanian yang besar di Propinsi Jawa
Tengah, begitu juga Kabupaten Tanjung Jabung Timur di Propinsi Jambi.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status emisi GRK Sektor
Pertanian di Kabupaten Grobogan Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Tanjung
Jabung Timur Propinsi Jambi melalu inventarisasi dan identifikasi kategori kunci
(key categories analysis) terhadap sumber-sumber emisi GRK dan pendugaan
emisi N2O langsung dari tanah yang di kelola dengan metode IPCC 2006 dan
modifikasinya serta menyusun BAU baseline.
Perhitungan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola memerlukan
masukan data aktivitas berupa jumlah N anorganik dan organik yang dimasukkan
ke dalam tanah setiap tahunnya. Data aktivitas ini relatif sulit didapat dan harus
menggunakan perhitungan yang kompleks serta membangun asumsi-asumsi,
karena itu modifikasi metode IPCC 2006 pada persamaan perhitungan emisi N2O
7
8
8
9
Metode Perhitungan
Penelitian ini menggunakan metode IPCC Guidelines 2006 dengan
pendekatan tier 1 dan 2. Tier 1 adalah penghitungan emisi GRK dengan
menggunakan persamaan dasar (basic equation) dan default EF (emission factor)
yang disediakan dalam IPCC Guidelines, sedangkan tier 2 merupakan metoda
yang lebih detail, persamaan yang sedikit kompleks, faktor emisi lebih spesifik
lokasi berdasarkan hasil-hasil penelitian.
Perhitungan emisi GRK meliputi emisi CH4 dari budidaya padi sawah, emisi
N2O dan CO2 dari pemupukan, emisi N2O dari pengelolaan tanah. Subsektor
peternakan yang dihitung adalah emisi CH4 dari sendawa ternak (enteric
fermentation) dan kotoran ternak serta emisi N2O dari pengelolaan kotoran. Emisi
N2O langsung dari tanah sawah irigasi selain dihitung dengan menggunakan
metode perhitungan IPCC 2006, juga menggunakan metode modifikasi IPCC
2006.
Dimana :
Emisi CH4 = emisi metan dari pengelolaan lahan sawah (Gg CH4/tahun)
EF rice = Faktor emisi metana dari lahan sawah (nilai lokal Indonesia adalah
1,61 kg CH4/ha/hari)
A = Luas panen (ha)
t = umur tanam padi (hari)
CF = faktor koreksi untuk jenis tanah dan varietas padi (jika tersedia)
SF = faktor skala untuk rejim pengairan (jika tersedia)
Faktor koreksi rejim pengelolaan air, jenis tanah dan sebagian varietas padi yang
umum digunakan disajikan pada Tabel 2.2, 2.3 dan 2.4. Faktor emisi default
dalam IPCC 2006 diperoleh dari hasil-hasil penelitian tentang sumber emisi
terkait di dunia.
9
10
Tabel 2.2 Faktor emisi dan faktor skala rejim air pengelolaan lahan sawah
1
SF (faktor skala) SF
(berdasarkan (berdasarkan
Kategori Sub-kategori Kisaran**
IPCC Guidelines riset di
1996) Indonesia)*
Dataran
Tidak ada 0
tinggi
Tergenang terus
1 1
menerus
Single
Irigasi 0,5 (0,2-0,7)
Pengairan Aeration
0,46 0,38-0,53
berselang Multiple
0,2 (0,1-0,3)
Dataran Aeration
rendah Rawan banjir 0,8 (0,5-1,0)
Tadah hujan 0,49 0,19-0,75
Rawan kekeringan 0,4 (0-0,5)
Kedalaman air 50-100
0,8 (0,6-1,0)
cm
Air dalam
Kedalaman air < 50 cm 0,6 (0,5-0,8)
10
11
11
12
2. Pemupukan urea
Penambahan urea pada lahan pertanian, menyebabkan terlepasnya CO2 yang
digunakan selama proses pembuatan urea tersebut di pabrik dan emisi ini dihitung
sebagai rosot di sektor industri. Urea (CO(NH)2)2) terlepas menjadi ammonium
(NH4+), ion hidroksil (OH-), dan bikarbonat (HCO3-) dengan adanya air dan
enzim urease. Pendekatan perhitungan emisi CO2 dari penggunaan pupuk urea di
suatu wilayah harus mengetahui terlebih dulu jumlah penggunaan urea
pertahunnya (data aktivitas) yang kemudian dikalikan dengan faktor emisi.
Persamaan untuk menghitungnya adalah sebagai berikut :
3. Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola (Direct N2O from managed
soil)
Keterangan :
N2O langsung = emisi N2O langsung dari pupuk N anorganik yang diberikan pada
tanah dikelola dan lahan sawah irigasi (kg N2O/th)
FSNMS = jumlah pupuk N anorganik yang digunakan pada tanah dikelola (kg
N/th)
FONMS = jumlah pupuk organik N yang digunakan pada tanah dikelola (kg
N/th)
FSNFR = jumlah pupuk N anorganik yang digunakan pada tanah sawah irigasi
(kg N/th)
FONFR = jumlah pupuk N organik yang digunakan pada tanah sawah irigasi
(kg N/th)
EF1MS = faktor emisi N2O dari N yang digunakan pada tanah dikelola (kg
N2O-N/kg N input)
EF1FR = faktor emisi N2O dari N yang digunakan pada tanah sawah irigasi
(kg N2O-N/kg N input)
12
13
Tabel 2.5 Faktor emisi N2O langsung dari tanah dikelola (Default direct N2O
emission factor from managed soil)
4. Emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola (Indirect N2O from
managed soil)
Perhitungan emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola, tidak perlu
membedakan penggunaannya di lahan kering maupun lahan sawah, karena
besarnya fraksi deposisi N yang tervolatilisasi hanya berbeda pada jenis pupuk N,
yaitu N anorganik dan organik. Pemberian pupuk N dalam tanah, selain secara
langsung menghasilkan N2O pada tanah yang ditambahkan pupuk N, juga
menghasilkan emisi N2O tidak langsung dari volatilisasi NH3 dan NOx dari tanah
yang kemudian gas-gas ini dan produknya yang berupa nitrat dan nitrit
diendapkan kembali ke dalam tanah dan air. Persamaan untuk menghitungnya
adalah sebagai berikut :
Keterangan :
Emisi N2O = emisi N2O dari deposisi N yang divolatilisasi dari tanah (kg N2O/th)
FSN = jumlah pupuk N anorganik yang diberikan ke tanah ( kg N/th)
FracGASF = Fraksi pupuk N anorganik yang divolatilisasi menjadi NH3 dan NOx
FON = jumlah pupuk kandang yang diberikan ke tanah (kg N/th)
FracGASM = Fraksi pupuk N organik yang divolatilisasi menjadi NH3 dan NOx
EF4 = faktor emisi N2O dari N atmosferik tanah dan permukaan air
FracGASF = 0,10 dan FracGASM = 0,20
Tabel 2.6 Faktor emisi N2O tidak langsung dari tanah dikelola (Default
indirect N2O emission factor from managed soil)
13
14
14
15
EF (T) = faktor emisi pengelolaan kotoran dari jenis ternak tertentu (kg
CH4/ekor/th)
N(T) = jumlah populasi ternak tertentu di suatu wilayah
N2O Pengelolaan Kotoran = [ΣS [ΣT (N(T) x Nex(T) x MS(T,S))] x EF3(S) ] x 44/28
N2O pengelolaan kotoran = emisi N2O dari pengelolaan kotoran di suatu wilayah
(kg N2O/th)
N(T) = jumlah populasi ternak tertentu di suatu wilayah
Nex(T) = jumlah kotoran ternak per jenis ternak di suatu wilayah (kg N/ekor/th)
MS(T,S) = fraksi dari kotoran ternak yang disimpan dengan cara tertentu di suatu
wilayah
EF = faktor emisi N2O dari cara pengelolaan kotoran tertentu (kg N2O-N/kg
N pada cara pengelolaan tertentu)
Perhitungan emisi dengan metode IPCC 2006 untuk emisi N2O langsung dari
tanah dikelola
15
16
Emisi N2O langsung dari tanah dikelola = ((FSN + FON)MS x EF1MS x 44/28)+(A
x EFN2O)
Setelah dipeoleh besaran emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola dengan
metode IPCC 2006 dan modifikasinya, maka untuk melihat apakah ada perbedaan
antara 2 metode perhitungan tersebut adalah dengan menggunakan uji t pada taraf
kepercayaan p=0,05. Uji t ini biasa digunakan untuk menentukan perbedaan
masing-masing nilai tengah dari hasil 2 pengukuran yang berbeda.
Tabel dibawah ini adalah beberapa istilah yang terdapat dalam metode
perhitungan emisi GRK dengan IPCC 2006 :
Hasil
Karakteristik Wilayah
Kabupaten Grobogan
Kabupaten Grobogan secara geografis terletak di provinsi Jawa Tengah
dengan posisi 110º15’ BT - 111º25’ BT dan 7º LS - 7º30’ LS dengan landform
berupa daerah pegunungan kapur, perbukitan dan dataran di bagian tengahnya.
Wilayahnya terletak di antara dua Pegunungan Kendeng yang membujur dari arah
barat ke timur, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Semarang dan
Demak, sebelah utara dengan Kabupaten Kudus, Pati dan Blora. Sebelah timur
dengan Kabupaten Blora serta sebelah selatan dengan Kabupaten Ngawi, Sragen
dan Boyolali. Secara administratif terdiri dari 273 desa dan 7 kelurahan yang
tersebar di 19 kecamatan dengan ibu kota kabupaten di Purwodadi.
16
17
17
18
18
19
Tabel 2.11 Data aktivitas sub sektor peternakan Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Populasi Ternak (Ekor)
Jenis Ternak
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Sapi 8.746 9.742 10.225 11.458 13.327 13.627
Kerbau 449 451 458 530 178 197
Kambing 13.497 14.444 15.142 24.080 24.156 32.378
Domba 118 99 123 118 104 115
Ayam
kampung/buras 237.136 237.942 239.798 387.270 416.146 621.988
Ayam broiler 56.980 58.360 22.480 33.050 127.931 112.161
Itik 27.737 30.186 31.460 28.303 29.744 32.860
Faktor emisi untuk perhitungan emisi GRK dari pengelolaan lahan sawah,
menggunakan angka hasil berbagai penelitian mengenai emisi CH4 di Indonesia
yaitu 160,9 kg CH4/ha/musim, angka ini merupakan nilai rata-rata dari berbagai
hasil-hasil penelitian di Indonesia terkait emisi CH4 dari lahan sawah, dan sudah
digunakan dalam perhitungan emisi untuk Second National Commmunication
(Second Natcom, 2009). Selain faktor emisi, pada perhitungan emisi ini juga
digunakan faktor skala untuk rejim pengairan dan faktor koreksi untuk jenis tanah
dan varietas. Jenis pengairan di Kabupaten Grobogan yaitu irigasi terus menerus
(faktor skala = 1), irigasi berselang (faktor skala = 0,46), tadah hujan (faktor skala
= 0,49), sedangkan Kabupaten Tanjung Jabung Timur hanya ada tadah hujan dan
pasang surut (faktor skala = 0,6). Jenis tanah sawah di Kabupeten Grobogan
adalah termasuk dalam jenis tanah entisol (jenis tanah sawah umumnya di
Indonesia - Second Natcom) dengan faktor koreksi sebesar 1,02 (Setyanto et al,
19
20
2002). Kabupaten Tanjung Jabung Timur, jenis tanah sawah termasuk dalam
kategori histosol yaitu tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi (tanah
gambut) dengan faktor koreksi sebesar 2,39 (Setyanto et al, 2002). Faktor koreksi
ini diperoleh berdasarkan emisi CH4 rata-rata yang dihasilkan oleh masing-masing
jenis tanah. Sementara faktor emisi untuk emisi N2O langsung maupun tidak
langsung dan faktor emisi dari kegiatan peternakan masih menggunakan angka
default dari IPCC 2006 karena faktor emisi lokal Indonesia belum tersedia.
Tabel 2.12 Faktor emisi GRK sektor pertanian Kabupaten Grobogan dan Tanjung
Jabung Timur
Variabel Faktor Emisi Faktor Skala Faktor Koreksi
Emisi GRK
Emisi GRK dari sektor pertanian di Kabupaten Grobogan dan Tanjung
Jabung Timur dihitung dengan menggunakan worksheet IPCC 2006 tier 1. Data
aktivitas yang digunakan berasal dari data dinas terkait di daerah yang
dikombinasikan dengan data dari BPS dan beberapa dari expert judgement.
Beberapa asumsi juga digunakan dalam pembangkitan data aktivitas karena
keterbatasan data. Emisi dihitung secara detail dari tahun 2006-2011 yang
kemudian diproyeksikan sampai tahun 2020 sebagai gambaran BAU (business as
usual) baseline. Emisi dinyatakan dalam satuan jenis gas (Gg CH4, Gg N2O, Gg
CO2 dan Gg CO2e per tahun). Konversi ke dalam CO2-equivalen (CO2e) dengan
menggunakan nilai Global Warming Potential (GWP) yaitu 21 untuk CH4 dan
310 untuk N2O sesuai dalam IPCC Second Assesment Report ( IPCC SAR, 1996)
dan Standart Nasional Indonesia (SNI ISO 14064, 2009).
20
21
R² = 0,9324
18
16
14
(Gg CH4/th)
12
10 y = -0,1216x + 11,499
8 R² = 0,5719 Tanjabtim
6 Grobogan
4 Poly. (Tanjabtim)
2 Linear (Grobogan)
0
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Gambar 2.1 Emisi CH4 pengelolaan lahan sawah di (Gg CH4/tahun): a)
Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur
21
22
80
y = -0,2019x2 + 1,095x + 57,231
70
Emisi CO2 pemupukan urea (Gg CO2/th)
R² = 0,118
60
50
40 Tanjabtim
y = 5,0792x + 33,814
R² = 0,9268
30 Grobogan
20 Linear (Tanjabtim)
10 Poly. (Grobogan)
0
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Gambar 2.2 Emisi CO2 penggunaan pupuk urea (Gg CO2/tahun):di a) Kabupaten
Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur
22
23
pola yang meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun dengan nilai sebesar
0,40; 0,47; 0,45; 0,55; 0,60 dan 0,69 Gg N2O/tahun (Gambar 2.3).
0,80
y = 0,0048x3 - 0,0651x2 + 0,2513x + 0,3547
Emisi N2O langsung dari tanah yang
0,70 R² = 0,792
0,60
dikelola (Gg N2O/th)
0,50
0,40 y = 0,0545x + 0,3344 Tanjabtim
R² = 0,934
0,30 Grobogan
0,20 Linear (Tanjabtim)
0,10
Poly. (Grobogan)
0,00
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Gambar 2.3 Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola di (Gg N2O/tahun): a)
Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur
23
24
0,08
0,07
0,06
Tanjabtim
(Gg N2O/th)
0,05
Grobogan
0,04 y = 0,0054x + 0,0377
R² = 0,9365 Linear
0,03 (Tanjabtim)
Poly. (Grobogan)
0,02
0,01
0,00
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Gambar 2.4 Emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola di (Gg
N2O/tahun): a) Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung
Jabung Timur
24
25
a)
12
0
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
b)
1,2
penegelolaan kotoran (Gg CH4/th)
Emisi CH4 fermentasi enterik dan
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Gambar 2.5 Emisi CH4 dari Fermentasi Enterik dan Pengelolaan kotoran di (Gg
CH4/tahun) a) Kabupaten Grobogan, b) Kabupaten Tanjung Jabung
Timur
6. Emisi N2O dari pengelolaan kotoran
Emisi N2O dari pengelolaan ternak menggambarkan emisi yang
dikeluarkan selama masa penyimpanan dan perlakuan pada kotoran ternak baik
padatan maupun cair, sebelum diaplikasikan sebagai pupuk pada lahan pertanian.
Besarnya emisi ini tergantung pada kandungan nitrogen dan karbon pada kotoran,
lama penyimpanan dan perlakuan. Perhitungan emisi N2O menngunakan data
jumlah dan jenis ternak di tiap kabupaten, nilai faktor emisi N2O menggunakan
angka default IPCC 2006, kemudian data berat badan ternak menggunakan rata-
rata berat badan masing-masing jenis ternak di Indonesia.
Hasil perhitungan menunjukkan besarnya emisi N2O dari pengelolaan
kotoran ternak di Kabupaten Grobogan tahun 2006-2011 menunjukkan pola yang
sama dengan emisi CH4-nya namun dengan nilai yang jauh lebih kecil yaitu
25
26
sebesar 0,159; 0,160; 0,166; 0,194; 0,194 dan 0,224 Gg N2O/tahun (Gambar 2.6
a). Sementara, di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebesar 0,016; 0,017; 0,018;
0,023; 0,025 dan 0,029 Gg N2O/tahun (Gambar 2.6 b).
a) 0,30
Emisi N2O pengelolaan kotoran
0,25
y = 0,0129x + 0,1377
0,20 R² = 0,8936
(Gg N2O/th)
0,15
0,10
0,05
0,00
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
b)
0,03
y = 0,0028x + 0,0115
R² = 0,9466
Emisi N2O penegelolaan kotoran (Gg
0,02
N2O/th)
0,01
0,00
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Gambar 2.6 Emisi N2O dari Pengelolaan kotoran di (a) Kabupaten Grobogan dan
(b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur
26
27
karbondioksida, 21 untuk gas CH4 dan 310 untuk gas N2O sehingga diperoleh
hasil secara total. Perhitungan total diperlukan untuk mengetahui tingkat emisi
tahunan. Emisi Kabupaten Grobogan menunjukkan kecenderungan yang
meningkat dari tahun ke tahun meski sangat kecil (±3-4%). Emisi pada tahun
2010 menunjukkan penurunan, hal ini disebabkan karena emisi dari masing-
masing sumber terutama yang berkaitan dengan lahan seperti pengelolaan lahan
sawah, emisi N2O langsung dan tidak langsung serta emisi CO2 pemupukan urea
juga mengalami penurunan yang disebabkan karena penurunan penggunaan pupuk
N anorganik, dan meningkat di tahun 2011 karena peningkatan yang cukup
signifikan pada populasi ternak. Sumber-sumber emisi GRK sektor pertanian dari
Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur disajikan pada Tabel 2.13 dan
2.14.
Emisi total Kabupaten Tanjung Jabung Timur juga menunjukkan
kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun, dengan rata-rata kenaikan
sebesar 5-6%. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan data aktivitas pada
masing-masing sumber emisi.
Tabel 2.14 Emisi GRK total Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Gg CO2e/tahun)
Sumber emisi utama di Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur adalah
gas CH4 yang berasal dari 3 sumber yaitu pengelolaan lahan sawah, fermentasi
enterik pada ternak ruminansia dan pengelolaan kotoran ternak yaitu masing-
masing sebesar 55% dan 66% terhadap emisi total kabupaten. Sementara, gas N2O
27
28
yang berasal dari emisi langsung dan tidak langsung dari tanah yang dikelola serta
pengelolaan kotoran ternak berkontribusi sebesar 36% di Kabupaten Grobogan
dan 26% di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
26%
36% 55%
66%
Gambar 2.7 Kontribusi tiap jenis gas terhadap total emisi GRK a) Kabupaten
Grobogan, b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Jika dilihat kontribusi masing-masing sumber emisi GRK, maka emisi CH4 dari
pengelolaan lahan sawah adalah yang dominan di kedua kabupaten, yaitu sebesar
29% dan 50% terhadap emisi total wilayah tersebut tahun 2011 (Gambar 2.8)
N2O pengelolaan N2O Langsung dari
a) kotoran tanah dikelola
CH4 fermentasi 9% 23%
enterik dan
N2O tidak langsung
pengelolaan
dari tanah dikelola
kotoran
3%
28%
CO2 pemupukan
urea
8%
Pengelolaan lahan
sawah
29%
CH4 fermentasi N2O pengelolaan
b) enterik dan kotoran
pengelolaan 1%
kotoran N2O Langsung dari
3% tanah dikelola
32%
Gambar 2.8 Kontribusi masing-masing sumber emisi terhadap total emisi GRK
a) Kabupaten Grobogan, b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur
28
29
1000
900 BAU Baseline
y = 15,201x + 670,75
800
Total emisi (Gg CO2e/year)
R² = 0,9841
700
600 y = 19,348x + 529,74
R² = 0,9895
500
400
300
200
100
0
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
Gambar 2.9 BAU Baseline emisi GRK a) Kabupaten Grobogan dan , b)
Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Perhitungan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola dengan persamaan
modifikasi IPCC 2006
Pada penelitian ini, estimasi emisi N2O dari lahan yang dikelola
menggunakan modifikasi IPCC 2006 hanya dikembangkan untuk lahan sawah.
Dengan penelitian lebih lanjut, modifikasi juga dapat digunakan untuk
menghitung emisi N2O dari lahan kering dengan pendekatan yang sama, yaitu luas
panen dikalikan dengan faktor emisinya. Selain itu, dengan penelitian lebih lanjut,
perhitungan dengan faktor skala jenis tanah dan rezim air mungkin bisa
ditambahkan juga seperti halnya pada emisi CH4 berdasarkan pada hasil-hasil
penelitian yang akurat. Perhitungan emisi N2O dari lahan yang dikelola (lahan
kering) masih sama seperti sebelumnya. Emisi N2O langsung dari tanah yang
dikelola adalah jumlah dari dua sumber emisi ini. Estimasi emisi N2O dengan
kedua pendekatan disajikan pada Tabel 2.15, sedangkan emisi total GRK dari
kedua pendekatan disajikan pada Tabel 2.16.
29
30
Tabel 2.15 Perbandingan emisi N2O langsung metode IPCC 2006 dan modifikasi
Tabel 2.16 Perbandingan total emisi GRK metode IPCC 2006 dan modifikasi
Pembahasan
30
31
dinas terkait, BPS dan juga wawancara langsung dengan petani. Dengan
menggunakan data aktivitas sebagai dasar perhitungan besarnya emisi GRK,
maka semakin besar data aktivitasnya akan semakin besar pula emisi GRK yang
ditimbulkan. Hasil pengumpulan dan tabulasi data aktivitas Kabupaten Grobogan
untuk luas panen sawah menunjukkan kenaikan dari tahun ke tahun, sementara di
Tanjung Jabung Timur sebaliknya. Demikian berimbas pada penggunaan pupuk N
di lahan sawah yang menunjukkan pola yang sama. Akan tetapi sebaliknya
dengan penggunaan pupuk N di lahan kering, di Grobogan menunjukkan pola
yang menurun. sementara di Tanjung Jabung Timur meningkat. Populasi ternak-
ternak besar (sapi perah, sapi potong, kerbau, kambing, dll) di Grobogan dan
Tanjung Jabung Timur menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun ( Tabel 2.10
dan 2.11).
Laporan Komunikasi Nasional Indonesia kedua (Second Natcom, 2010)
menyebutkan bahwa besaran emisi nasional berdasarkan jenis gas, sektor
pertanian menyumbang 79,2 % N2O dan 21,5 % CH4. Emisi CH4 dari pertanian,
berasal dari 2 sumber utama yaitu pengelolaan padi sawah dan pengelolaan
kotoran ternak (IPCC, 2006). Dekomposisi anaerobik dari bahan organik tanah
pada lahan padi sawah irigasi menghasilkan gas metana (CH4) yang lepas ke
atmosfer terutama melalui tanaman. Besarnya gas CH4 yang teremisikan ke
atmosfer dari luasan lahan sawah irigasi dipengaruhi oleh umur tanaman, rejim air
sebelum dan selama penanaman, input bahan organik dan anorganik, jenis tanah,
suhu dan varietas padi (Cao et al, 1995). Data untuk menghitung besarnya emisi
CH4 dari lahan sawah berasal dari data luas lahan pertanian di masing-masing
kabupaten dari tahun 2006-2011 yang terbagi dalam beberapa jenis irigasi serta
musim tanam, dalam hal ini data sudah tersedia di dinas terkait. Faktor koreksi
jenis varietas dan jenis tanah serta faktor skala rejim pengairan sebagai faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah,
masing-masing sudah tersedia berdasarkan hasil kajian dan penelitian di Indonesia.
Kabupaten Grobogan dengan rata-rata luas lahan sawah hampir 2 kali lebih besar
dari Kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki emisi CH4 yang lebih rendah hal
ini disebabkan karena di Grobogan sekitar 1/3 luasan lahan sawah adalah lahan
tadah hujan dimana pengairannya hanya tergantung hujan sehingga lahan tidak
selalu tergenang (faktor skala rejim pengairan lebih kecil) bahkan cenderung
kering. Sementara di Tanjung Jabung Timur sekitar 98% lahan sawah merupakan
lahan pasang surut dengan jenis tanah gambut dimana emisi CH4 dari jenis tanah
ini adalah 2 kali lipat lebih besar dari tanah mineral (faktor koreksi jenis tanah
gambut lebih besar hampir 2x lipat faktor koreksi jenis tanah mineral - Setyanto et
al, 2002). Emisi di Kabupaten Grobogan dengan luas panen lahan sawah rata-rata
103.500 ha dalam 6 tahun (2006-2011) adalah sebesar 230 Gg CO2e/th. sementara
Kabupaten Tanjung Timur dengan luas panen lahan sawah rata-rata selama 6
tahun seluas 30.500 ha, menurut perhitungan menghasilkan emisi CH4 sebesar 330
CO2e/th.
Penambahan urea pada lahan sawah pada saat pemupukan menyebabkan
teremisikannya gas CO2 yang terbentuk pada saat proses pembuatan pupuk
tersebut di pabrik (IPCC, 2006). Urea (CO(NH2)2) terpecah menjadi ion
ammonium (NH4+), ion hidroksil (OH-) dan bikarbonat (HCO3-) pada saat
bereaksi dengan air dan enzim urease. Hal ini menyebabkan ion bikarbonat yang
terbentuk berubah menjadi CO2 dan air. Sumber GRK dari kategori ini perlu
31
32
dihitung karena besarnya CO2 yang berubah bentuk pada saat pembuatan urea di
pabrik, juga dihitung sebagai removal pada sektor industri. Besarnya emisi dari
sumber ini di Kabupaten Grobogan berada pada kisaran 54 – 61 Gg CO2/tahun
dan menunjukkan penuruan hingga tahun 2011. Hal ini disebabkan karena
penggunaan pupuk urea di sektor pertanian memang menurun seiring dengan
penurunan luasan lahan perkebunan. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS,
2011) luas perkebunan tahun 2008 adalah 16.118 ha dan turun menjadi 7.748 ha
pada tahun 2009 serta terus menurun sampai tahun 2011. Sementara di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur sebaliknya, menunjukkan kenaikan yang relatif signifikan
dari tahun ke tahun yang disebabkan karena perluasan areal perkebunan terutama
kelapa sawit yang menggunakan pupuk urea cukup besar. Berdasarkan BPS
(2011) luas perkebunan pada tahun 2006 adalah 98.435 ha dan bertambah luas
menjadi 150.172 ha pada tahun 2011.
Penggunaan pupuk urea dan pupuk mengandung N yang lain juga
berkontribusi terhadap gas N2O. Gas N2O diproduksi secara alami di dalam tanah
melalui proses nitrifikasi dan denitrifikasi (Bouwman, 1996; Jones et al, 2007).
Nitrifikasi adalah proses oksidasi ammonium menjadi nitrat oleh mikroba yang
terjadi dalam kondisi aerobik, sedangkan denitrifikasi adalah proses reduksi nitrat
menjadi gas nitrogen (N2) oleh mikroba dan terjadi dalam kondisi anaerobik. Gas
N2O merupakan gas yang terbentuk sebagai produk samping dari proses nitrifikasi.
Salah satu faktor penentu dari reaksi proses ini adalah ketersediaan N inorganik
dalam tanah (Mosier 1999, 2006). Emisi N2O dari tanah yang dikelola keluar
melalui 2 cara yaitu secara langsung dan tidak langsung.
Input N inorganik terutama adalah dari penggunaan pupuk N baik tunggal
maupun majemuk (urea, ZA, NPK). Perhitungan emisi N2O langsung dari tanah
yang dikelola melibatkan semua jenis pertanaman yaitu padi sawah dilahan
basah/irigasi dan semua pertanaman di lahan kering (palawija, hortikultura dan
perkebunan). Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola di Grobogan
menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dari 2006-2008 yaitu sebesar
171 menjadi 213 Gg CO2 e/th. Hal ini disebabkan karena meningkatnya pupuk N
yang diaplikasikan pada tanah. Tapi emisi ini cenderung menurun pada tahun
2008-2011 dengan jumlah 213-174 Gg CO2 e/th yang disebabkan karena adanya
penurunan signifikan pada areal perkebunan. Sementara di Tanjung Jabung Timur
tahun 2006-2011 menunjukkan peningkatan yang signifikan yaitu sebesar 124-
212 Gg CO2e/th. Hal ini karena peningkatan yang signifikan pada areal
perkebunan dari 98.435 ha di 2006 menjadi 150.172 ha pada tahun 2011.
Kenaikan ini terutama di perkebunan sawit, baik oleh perusahaan swasta atau
petani (BPS, 2011). Perkebunan kelapa sawit mengaplikasikan pupuk N yang
tinggi. Penggunaan urea dan pupuk lain yang mengandung N juga berkontribusi
terhadap emisi N2O.
Emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola melalui 2 jalur, yang
pertama yaitu volatilisasi N menjadi NH3 dan oksidasi N (NOx), serta deposisi
gas ini dan produk yang terbentuk yaitu NH4+ dan NO3- ke dalam tanah dan
permukaan air (IPCC, 2006; Glenn et al, 2012). Sumber N yang membentuk NH4+
dan NO3- bukan saja berasal dari tanah pertanian, tapi juga dari pembakaran bahan
bakar, pembakaran biomas dan proses industri. Maka dari itu, emisi N2O yang
dikeluarkan dari lahan pertanian adalah yang terkait dengan penggunaan pupuk
sintetis, pupuk organik dan penggunaan kotoran hewan sebagai pupuk. Jalur
32
33
kedua adalah proses leaching atau pencucian dan aliran dari lahan pertanian yang
telah dipupuk. Kehilangan nitrogen melalui proses pencucian pada umumnya
dalam bentuk nitrat (IPCC, 2006). Bentuk NO3- ini sangat mudah tercuci karena
selalu dalam keadaaan larut dalam tanah, tidak terikat dan tidak dapat membentuk
senyawa sukar larut. Hasil perhitungan menunjukkan emisi N2O tidak langsung di
Grobogan untuk tahun 2006-2011 berkisar 21,9-25,8 Gg CO2e/th ada
kecenderungan menurun pada tahun 2008 dan selanjutnya meningkat, hal ini agak
berbeda dengan kecenderungan pada emisi N2O langsung. Jika kembali dilihat
pada data aktivitas, perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan
kecenderungan pada penggunaan urea di lahan basah dan lahan kering. Pada
perhitungan emisi N2O tidak langsung, tidak ada perbedaan antara penggunaan
urea di lahan basah maupun kering, sementara untuk menghitung emisi N2O
langsung, hal ini dibedakan. Emisi N2O tidak langsung di Tanjung Jabung Timur
juga menunjukkan tren yang sama dengan emisi langsung yaitu meningkat secara
signifikan dari sebesar 13 menjadi 22,5 Gg CO2e.
Emisi GRK dari pengelolaan ternak ada 3 sumber yaitu emisi CH4 dari
fermentasi enterik, emisi CH4 dan N2O dari pengelolaan kotoran (Chadwick et al,
1999). Gas CH4 diproduksi oleh hewan herbivora sebagai produk samping dari
fermentasi yang terjadi didalam tubuhnya, dimana proses pencernaan karbohidrat
dipecah menjadi molekul-molekul oleh mikroorganisme supaya dapat diserap
dalam aliran darah (Chadwick et al, 1999; Freibauer, 2003; Liang et al, 2013).
Besarnya CH4 yang terbentuk dalam proses ini sangat tergantung pada jenis alat
pencernaan makanan dalam tubuh hewan, umur, berat badan serta kualitas dan
kuantitas pakannya. Sistem pencernaan sangat menentukan besarnya emisi CH4
yang dihasilkan. Ternak ruminansia memiliki ruang yang lebar, rumen pada
bagian depan dari alat pencernaannya yang memungkinkan fermentasi oleh
mikroba berlangsung secara intensif. Karena itu besarnya emisi CH4 dari
fermentasi enterik sangat dipengaruhi oleh jenis dan jumlah ternak-ternak
ruminansia. Data mengenai pengelolaan kotoran ternak tidak tersedia, karena itu
dilakukan wawancara dengan para ahli, seperti penyuluh maupun survey langsung
ke lapangan. Selain dari fermentasi enterik, emisi CH4 dari pengelolaan kotoran
juga dipengaruhi oleh jenis ternak. Hasil perhitungan menunjukkan emisi CH4
dari fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran di Grobogan untuk tahun 2006-
2011 menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan Selama tahun 2006-2011
yaitu dari 140 – 211 Gg CO2e/th hal ini disebabkan karena adanya peningkatan
populasi sapi potong dari 105.154 ekor menjadi 212.409 ekor. Sementara di
Tanjung Jabung Timur emisi CH4 hasil dari fermentasi enterik dan pengelolaan
kotoran untuk tahun 2006-2011 menunjukkan peningkatan yang signifikan yaitu
sebesar 13 menjadi 22 Gg CO2e/th juga karena adanya peningkatan signifikan
pada populasi sapi potong dari 8.746 ekor menjadi 13.627 ekor.
Emisi N2O dari pengelolaan ternak menggambarkan emisi yang dikeluarkan
selama masa penyimpanan dan perlakuan pada kotoran ternak baik padatan
maupun cair, sebelum diaplikasikan sebagai pupuk pada lahan pertanian (IPCC,
2006; Merino et al, 2011). Besarnya emisi ini tergantung pada kandungan
nitrogen dan karbon pada kotoran, lama penyimpanan dan perlakuan. Proses yang
menghasilkan gas N2O pada pengelolaan kotoran sama dengan pada tanah yang
dikelola, yaitu terbentuk pada proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Nitrifikasi
(proses oksidasi ammonia nitrogen menjadi nitrat nitrogen) adalah proses yang
33
34
sangat penting dalam penyimpanan kotoran. Nitrifikasi akan terjadi dalam kondisi
aerob selama penyimpanan kotoran. Nitrifikasi tidak akan terjadi pada kondisi
yang anaerob. Nitrit dan nitrat berubah bentuk menjadi N2O dan N2 pada proses
denitrifikasi secara alami pada kondisi anaerob. Rasio N2O/N2 akan meningkat
seiring dengan peningkatan kemasaman, konsentrasi nitrat dan penurunan
kelembaban. Produksi dan emisi N2O dari pengelolaan kotoran ternak, tergantung
pada ketersediaan nitrat maupun nitrit pada kondisi lingkungan anaerob yang
didahului oleh kondisi aerob untuk pembentukan oksida nitrogen. Sementara itu,
emisi dari pengelolaan kotoran sangat tergantung dari cara pengelolaan kotoran
itu sendiri. Di Kabupaten Grobogan maupun Tanjung Jabung Timur, pengelolaan
kotoran adalah secara dry lot yaitu system pengelolaan kotoran dengan cara
ditempatkan di ruang terbuka dan secara periodik dipindahkan (IPCC, 2006).
Hasil perhitungan menunjukkan besarnya emisi N2O dari pengelolaan kotoran
ternak di Grobogan pada tahun 2006-2011 cenderung meningkat setiap tahun dari
jumlah 49 menjadi 69 Gg CO2e/th. Peningkatan ini disebabkan karena
meningkatnya populasi sapi. kambing dan juga unggas (tabel data aktivitas).
Sementara di Tanjung Jabung Timur juga menunjukkan peningkatan yang
signifikan dari jumlah 4,8 menjadi 9,1 Gg CO2e/th dan hal ini disebabkan
peningkatan populasi sapi potong dan unggas (Tabel 2.9).
Metode modifikasi IPCC 2006 untuk pendugaan emisi N2O langsung dari
tanah yang dikelola
34
35
emisi ini. Apabila faktor ini tersedia, maka diikuti oleh input data aktivitas yang
sesuai, dan hal ini mungkin akan menjadikan perhitungan menjadi makin
kompleks. Akan tetapi dalam hal tidak tersedianya data aktivitas untuk besaran
input N masing-masing jenis lahan, maka metode modifikasi yang dikemukakan
dalam penelitian ini akan lebih mudah digunakan.
Simpulan
35
36
Pendahuluan
36
37
37
38
Bahan
Bahan yang diperlukan pada penelitian ini adalah data biaya penerimaan
usahatani di Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur tahun 2011 yang
diperoleh dari dinas terkait serta publikasi-publikasi terkait teknologi mitigasi
GRK dari lahan sawah.
Metode
1. Menyusun proyeksi BAU baseline sampai periode waktu tertentu sesuai yang
di skenariokan seperti disusun pada bab 2.
2. Pengumpulan dan penyaringan terhadap teknologi-teknologi mitigasi GRK dari
lahan sawah dari beberapa hasil penelitian yang telah ada.
3. Menghitung abatement cost (Rp/tCO2e) untuk masing-masing aksi mitigasi
dalam poin 2
a. Dengan menggunakan data biaya dan penerimaan riil usahatani sebagai
BAU baseline biaya dan penerimaan
b. Menghitung prakiraan biaya dan penerimaan usahatani untuk masing-
masing aksi mitigasi
c. Biaya yang diperhitungkan dalam penelitian hanya biaya tenaga kerja,
biaya input produksi dan sewa lahan, sementara biaya – biaya sosial,
pajak dan bahan bakar selama proses usahatani belum diperhitungkan
d. Menentukan tingkat diskonto (discount rate) yaitu sebesar 8 % yang
merupakan suku bunga nyata untuk negara-negara berkembang dan
banyak digunakan oleh World Bank dalam analisis ekonominya
(Sathaye, 1995)
e. Menghitung abatement cost dengan pendekatan Net Present Value
(NPV) seperti yang digunakan dalam International Energy Agency
(IEA, 2009) dan Food & Agricultural Organization (FAO, 2010)
𝑇
𝐶𝑡
NPV = � − 𝐶0
(1 + 𝑟)𝑡
𝑡=1
38
39
Hasil
Setiap aksi mitigasi yang telah dipilih terdapat didalamnya besaran potensi
pengurangan emisi serta pengaruhnya terhadap hasil padi (Tabel 3.1). Perhitungan
potensi pengurangan emisi (tCO2e/ha) didasarkan pada emisi CH4 rata-rata dari
lahan sawah di Indonesia yaitu 160,9 kg CH4/ha/musim. Sementara, biaya
tambahan untuk melakukan tindakan pengurangan emisi dihitung dengan
39
40
pendekatan NPV yaitu nilai ekonomi yang biasa digunakan dalam analisis
prakiraan keuntungan atau investasi dalam periode tertentu (Tabel 3.2). NPV ini
menggambarkan perbedaan nilai sekarang dari aliran penerimaan di masa
mendatang dari sebuah investasi berdasarkan tingkat diskon tertentu. Analisa
NPV biasa digunakan untuk menilai kelayakan sebuah proyek yang akan
dijalankan.
Tabel 3.2 Potensi pengurangan emisi (abatement rate) dan biaya tambahan untuk
pengurangan emisi (abatement cost)
Teknologi mitigasi Abatement rate Abatement cost (Rp/tCO2e)
(tCO2e/ha) Grobogan Tanjabtim
Abatement Potential
Abatement potential atau potensi pengurangan dihitung berdasarkan asumsi
sebagai berikut :
1. Kabupaten Grobogan :
- Teknologi tanam benih langsung diterapkan pada lahan sawah di
daerah tadah hujan yang hanya 1 kali tanam dalam setahun karena
minimnya curah hujan yaitu seluas 20.278 ha (Lampiran 1). Pada
perhitungan existing emisi, faktor skala rejim air untuk daerah tadah
hujan yaitu sebesar 0,49 sudah dimasukkan.
- Teknologi penggunaan variets rendah emisi, bisa diterapkan di daerah
irigasi ½ teknis, sederhana dan desa. Pada perhitungan existing emisi
di lahan tersebut, faktor skala rejim pengairan berselang sudah
dimasukkan sesuai kondisi di lapang.
- Teknologi pengairan berselang bisa diterapkan pada daerah irigasi
teknis, dimana di daerah ini, air selalu tersedia sehingga lahan sawah
selalu dalam kondisi tergenang karena petani masih memaksimalkan
ketersediaan air untuk pengairan. Pengenalan dan penerapan teknologi
ini selain akan lebih menghemat air, hasil padi juga akan meningkat.
- Teknologi penggantian urea prill dengan urea tablet juga sesuai untuk
diterapkan di lahan sawah yang selalu tergenang, dimana potensi
pembentukan gas CH4 besar. Meskipun teknologi ini mempunyai
potensi penurunan emisi yang cukup besar dan meningkatkan hasil
padi, akan tetapi karena harga urea tablet lebih mahal dibandingkan
urea prill, kemungkinan tingkat adopsi oleh petani adalah rendah.
Maka dari itu proporsi teknologi ini untuk diterapkan juga pada areal
yang sempit yaitu sekitar 20% dari luasan daerah irigasi. Hal ini
diasumsikan dengan adanya subsidi atau bantuan dari pemerintah.
40
41
41
42
Tabel 3.4 Potensi penurunan hingga tahun 2020 terhadap proyeksi emisi BAU
baseline
Emisi tahun 2020 BAU (tCO2e) Emisi tahun 2020 Mitigasi (tCO2e)
Grobogan Tanjabtim Grobogan Tanjabtim
897.967 820.740 679.540 753.682
Rp3.500
Rp3.000
Abatement cost (Rp/tCO2e)
Rp2.500
Rp2.000
Rp1.500
Rp1.000
Rp500
Rp0
5 30 55 80 105 130 155 180 205 230
Abatement potential (Gg CO2e/th)
42
43
Rp3.500
Abatement cost (Rp/tCO2e)
Rp3.000
Rp2.500
Rp2.000
Rp1.500
Rp1.000
Rp500
Rp0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66
Abatement potential (Gg CO2e/th)
Gambar 3.2 Kurva biaya pengurangan emisi GRK Kabupaten Tanjung Jabung
Timur
Pembahasan
43
44
44
45
45
46
oleh kebijakan pemerintah, juga akan dipengaruhi oleh pola hidup, seperti
diketahui bahwa sebagian besar petani tidak menerima keuntungan finansial yang
maksimum, sehingga pola hidup mereka dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk
kondisi pasar (misal: harga sarana produksi pertanian dan juga harga jual hasil
pertanian). Pike (2008) dalam Bates, 2001 mengemukakan bahwa kondisi pasar
merupakan satu set faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam
usahatani, yaitu termasuk faktor internal (pengetahuan, kebiasaan dan prilaku),
faktor sosial (norma dan peraturan), kebijakan terkait lingkungan dan faktor-
faktor lainnya.
Kabupeten Grobogan dan Tanjung Timur seperti telah dikemukan pada bab
sebelumnya merupakan kabupaten yang memiliki lahan pertanian cukup luas.
Selain itu, kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik regional bruto di
kedua kabupaten tersebut juga besar. Sektor pertanian di Kabupaten Grobogan
tahun 2011 berkontribusi sebesar 43% terhadap total PDRB, sedangkan di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur berkontribusi sebesar 59% dengan
pertumbuhan sebesar 1,2%. Hal ini tentu saja akan membuat pemerintah setempat
berhati-hati dalam menentukan sebuah kebijakan.
Pendekatan bottom-up yang digunakan dalam penelitian ini memberikan
gambaran yang kontras dari pendekatan top-down dimana pendekatan bottom-up
ini lebih efisien dalam mengambarkan sebuah aksi mitigasi dengan
mengidentifikasi variasi pengukuran pada skala lapang yang kemudian dapat
digunakan untuk menghitung pengurangan emisi dan biaya pada sistem pertanian
yang berbeda dan skala wilayah yang lebih luas. Pendekatan “bottom-up” yang
dimaksud dalam hal ini adalah pendekatan yang lebih teknis, pendekatan dari
bawah, yaitu dari hasil pengukuran tingkat penurunan emisi (abatement rate) dan
biaya yang diperlukan masing-masing opsi mitigasi pada berbagai sistem
pertanian yang beragam yang kemudian digunakan pada skala wilayah yang lebih
luas. Sedangkan pendekatan “top-down” adalah pendekatan dari atas, yaitu
pendekatan dimana tingkat penurunan emisi dan biaya yang dibutuhkan
ditentukan melalui asumsi-asumsi dan permodelan. Dalam pendekatan “top-down”
dianggap masing-masing wilayah mempunyai kemampuan yang sama dalam hal
penurunan emisi GRK, teknologi yang diadopsi maupun biaya yang diperlukan
(Moran et al, 2010). Dalam pertanian, hal ini sulit diterapkan mengingat dalam
pertanian, perbedaan kondisi biofisik wilayah sangat beragam sehingga potensi
penurunan emisi juga akan sangat beragam antar wilayah, demikian juga dengan
biaya yang diperlukan, sangat tergantung pada kondisi sosial ekonomi petani,
Karena itu pendekatan “bottom-up” berdasarkan kondisi masing-masing wilayah,
dianggap lebih memberikan gambaran nyata untuk mitigasi GRK pertanian.
Simpulan
46
47
GRK dalam bentuk besaran tambahan biaya yang dibutuhkan untuk menurunkan
emisi GRK per unit setara CO2.
Penentuan teknologi mitigasi dapat dilakukan melalui studi literatur,
sementara penentuan luasan area yang berpotensi untuk penerapan teknologi
mitigasi, dilakukan dengan membangun asumsi-asumsi. Besaran biaya dapat
ditentukan berdasarkan pada biaya yang berlaku setempat. Kurva biaya
pengurangan emisi GRK di Kabupaten Grobogan menunjukkan bahwa sebesar
212.822 tCO2e/th atau sekitar 24% sampai dengan tahun 2020 dapat diturunkan
dengan biaya dibawah Rp 1.000,-/tCO2e, sementara di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur, sebesar 66.317 tCO2e/th atau sekitar 8,1% sampai tahun 2020 dapat
diturunkan dengan biaya tambahan dibawah Rp 1.000,-/tCO2e.
Teknologi mitigasi yang berpotensi besar menurunkan emisi GRK dengan
biaya rendah di Kabupaten Grobogan adalah penerapan teknik budidaya PTT dan
penggantian varietas padi dengan varietas padi yang teridentifikasi rendah emisi
GRK. Sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, teknologi ameliorasi
dengan kompos, pupuk kandang maupun daun babadotan merupakan teknologi
mitigasi yang memiliki potensi besar menurunkan emisi dengan biaya yang
rendah.
47
48
4 PEMBAHASAN UMUM
48
49
penyumbang 15% Produk Domestik Bruto (PDB) dengan nilai devisa sekitar US
$ 43 Milyar. Selain itu, sektor pertanian menyerap sekitar 33% tenaga kerja dan
menjadi sumber utama pendapatan dari sekitar 70% rumah tangga pedesaan.
Sumbangan dominan emisi CH4 dari lahan sawah pada skala nasional,
ternyata juga terjadi pada skala kabupaten. Studi di Kabupaten Grobogan Propinsi
Jawa Tengah dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi mendapatkan
hasil bahwa emisi CH4 dari sumber ini juga dominan. Kedua kabupaten tersebut
adalah kabupaten penghasil beras terbesar di propinsinya (BPS, 2010). Proyeksi
atau perkiraan emisi total sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
menunjukkan kenaikan yang sangat signifikan. Proyeksi yang disusun
berdasarkan asumsi linearitas emisi terhadap waktu ini, berguna untuk penentuan
target emisi yang harus dikurangi.
Emisi GRK dari sumber antropogenik, akan selalu meningkat seiring
dengan kenaikan jumlah penduduk. Hal ini tidak bisa dihindari, akan tetapi bisa
diupayakan agar peningkatan tersebut tidak terjadi secara tajam. Hal ini tentu saja
memerlukan usaha dan modal yang tidak kecil. Kemauan dan kerjasama berbagai
pihak akan sangat menentukan. Upaya-upaya pengurangan laju kenaikan emisi ini
adalah melalui kegiata-kegiatan yang terutama harus fokus pada penyumbang
emisi terbesar, dalam hal ini yaitu lahan sawah.
Hasil-hasil penelitian (Khalil dan Rasmussen, 1993; Setyanto et al, 2000;
Wassman et al, 2000; Maljanen et al, 2001; Setyanto et al, 2005) menyebutkan
bahwa pengelolaan lahan sawah yang ditanami padi adalah sebagai salah satu
penyumbang terhadap emisi GRK dari sektor pertanian. Emisi GRK yang
dominan pada pengelolaan lahan padi sawah adalah gas CH4, Sekitar 90% emisi
CH4 dari lahan sawah, diemisikan oleh tanaman padi terutama pada kondisi lahan
yang tergenang. Gas CH4 teremisikan dari dalam tanah dalam 2 cara yaitu melalui
pembuluh aerenkima tanaman padi yang berfungsi sebagai cerobong dan melalui
ebolusi atau gelembung air yang muncul di permukaan tanah. Kondisi reduktif
dimana persediaan oksigen terbatas, juga sangat mempengaruhi terbentuknya gas
CH4 dalam tanah. Lahan padi sawah dalam keadaan tergenang air secara terus
menerus selama musim tanam tanpa ada pengeringan, akan menyebabkan emisi
CH4 yang tinggi (Setyanto et al, 2000). Selain kondisi reduktif, beberapa
penelitian juga menyebutkan bahwa emisi CH4 dipengaruhi juga oleh jenis
varietas padi (Watanabe et al, 1995 dan Setyanto et al, 2005). Varietas padi yang
berumur panjang, akan menghasilkan emisi kumulatif dalam 1 musim tanam yang
tinggi, sementara varietas berumur genjah, cenderung menghasilkan emisi yang
lebih rendah. Demikian juga untuk varietas dengan jumlah anakan yang banyak,
akan tetapi tidak semuanya produktif, juga akan menghasilkan emisi yang lebih
tinggi.
Emisi CH4 dari pengelolaan padi sawah, pada tanah gambut selain
dipengaruhi kondisi reduksi dan varietas padi, juga dipengaruhi oleh sifat fisik
dan kimia tanah gambut itu sendiri. Pada penelitian skala laboratorium maupun
lapang diperoleh hasil bahwa emisi rata-rata pengelolaan lahan padi sawah di
tanah gambut, menghasilkan emisi CH4 sekitar 2x lipat lebih besar (Setyanto et al,
2002). Emisi CH4 yang ditimbulkan akan sangat dipengaruhi oleh dekomposisi
bahan organik tersebut terutama dalam kondisi anaerob. Tanah gambut atau
histosol dalam klasifikasi tanah menurut USDA (United States Department of
49
50
Agriculture) adalah jenis tanah dengan kandungan bahan organik yang sangat
tinggi.
Penelitian mengenai upaya pengurangan emisi CH4 dari proses budidaya
padi sawah telah banyak dilakukan baik pada skala global maupun nasional.
Penerapannya pada skala petani belum banyak dikaji, akan tetapi berbagai upaya
pemerintah telah dilakukan terkait dengan upaya perbaikan praktek budidaya padi
sawah untuk meningkatkan hasil padi sekaligus menurunkan emisi GRK. Praktek-
praktek budidaya padi tersebut antara lain meminimalkan olah tanah, penerapan
pengairan berselang pada system Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), tanam
benih langsung, penggantian urea prill dengan urea tablet, penggunaan bahan
pembenah tanah (ameliorant) berupa kompos, pupuk kandang dan daun
babadotan.
Penerapan teknologi tersebut disesuaikan dengan kondisi ekosistem daerah,
Sektor pertanian selain sebagai sumber emisi GRK, juga mempunyai potensi
pengurangan emisi yang cukup besar dengan biaya yang sangat rendah (ADB,
1998; DNPI, 2009; FAO, 2010). Pendekatan MAC atau pendekatan dengan
menggunakan perhitungan besarnya biaya tambahan yang diperlukan untuk
menurunkan emisi sebesar 1 tCO2e merupakan salah satu pendekatan yang bisa
digunakan untuk mengetahui efektivitas dari masing-masing teknologi mitigasi
yang akan diterapkan. Hal ini sangat penting dalam upaya terkait kebijakan yang
harus diterapkan oleh pemerintah. Penyusunan kurva biaya tambahan ini
berdasarkan pada biaya riil yang berlaku di masyarakat, hal ini dimaksudkan
untuk mengetahui efektivitas teknologi tersebut ditingkat pengguna dan juga
untuk memperkirakan peluang penurunan emisi dari berbagai teknologi mitigasi.
Kurva ini tidak bersifat statis, tapi sebaliknya sangat dinamis, artinya, apa yang
ada dalam kurva tersebut, baik itu peluang penurunan emisi maupun biayanya,
dapat berubah setiap waktu, tergantung pada hasil-hasil penelitian terbaru
mengenai teknologi mitigasi yang sampai saat ini masih terus dikembangkan dan
juga pada kondisi perekonomian masyarakat dan kebijakan yang berlaku.
Prakiraan biaya tambahan penurunan emisi GRK pertanian berdasarkan
pada biaya usahatani masyarakat, menghasilkan nominal yang relatif kecil dengan
prakiraan penurunan emisi yang cukup besar. Teknologi mitigasi GRK sektor
pertanian yang digunakan dalam perhitungan ini, selain dapat menurunkan emisi
juga dapat meningkatkan hasil. Dengan demikian, peningkatan kebutuhan pangan
masyarakat dapat terpenuhi. Sekali lagi, perhitungan biaya ini hanya berdasarkan
pada perspektif masyarakat (belum memperhitungkan pajak, biaya bahan bakar,
dll).
Komitmen penurunan emisi GRK di Indonesia masih bersifat sukarela
karena dalam skala global, negara berkembang belum mempunyai kewajiban
untuk menurunkan emisi GRKnya, akan tetapi seiring laju pertumbuhan penduduk
dari waktu ke waktu, emisi antropogenik yang ditimbulkan akan semakin
meningkat. Hal ini bukan hanya terjadi di negara-negara maju, tapi juga di negara-
negara berkembang. Perubahan iklim dan peningkatan emisi GRK bukan hanya
tanggung jawab negara maju untuk meresponnya, melainkan seluruh dunia karena
besar maupun kecil, setiap kegiatan manusia akan berkontribusi terhadap
peningkatan emisi GRK di atmosfer Perubahan pola hidup kearah yang lebih baik
dimulai dari hal-hal kecil, akan memberikan kontribusi pada upaya penurunan
emisi GRK.
50
51
Simpulan
51
52
Tingkat adopsi teknologi mitigasi oleh petani, akan sangat dipengaruhi oleh
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat. Oleh karena itu, introduksi
sebuah teknologi mitigasi hendaknya juga memberikan keuntungan ekonomi pada
pengguna.
52
53
DAFTAR PUSTAKA
53
54
Chen GQ, BoZhang, 2010. Greenhouse gas emissions in China 2007: Inventory
and input–output analysis. Journal of Energy Policy 38 : 6180-6193. Doi:
10.1016/j.enpol.2010.06.004
DeAngelo BJ, de la Chesnaye FC, Beach RH, Sommer A, Murray BC. 2006.
Methane and nitrous oxide mitigation in agriculture. The Energy Journal,
Special Issue, pp 89-108.
DeCara S, Houze M, Jayet PA. 2011. Marginal abatement cost of greenhouse gas
emission from European agriculture, cost effectiveness, and the EU non-
ETS burden sharing agreement. Ecological Economics 70 : 1680-1690. Doi:
10.1016/j.ecolecon.2011.05.007
[DNPI] Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2009. Kurva Biaya Pengurangan
Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia. Jakarta. DNPI.
[FAO] Food & Agricultural Organization. 2010. Using marginal Abatement Cost
Curves to realize the economics appraisal of climate smart agriculture
policy options, The Ex Ante Carbon-balance Tool. EasyPol Module
(http://www.fao.org/docs/up/easypol/780/ex-act-tech-guideline 101en.pdf)
akses 26 Juli 2013.
Freibauer A. 2003. Regionalised inventory of biogenic greenhouse gas emissions
from European agriculture. Europ. J. Agronomy 19 : 135-160
Glenn AJ, Tenuta M, Amiro BD, Mass SE, Wagner-Riddle C. 2012. Nitrouse
oxide emissions from an annual crop rotation on poorly drained soil on the
Canadian Prairies. Journal of Agricultural and Forest Meteorology, 166-
167 pp. 41-49. Doi:10.1016/j.agrformet.2012.06.015
[IEA] International Energy Agency. 2009. Methodology for Calculating
Electricity and Heat Marginal Abatement Cost Curves (MACC). World
Energy Outlook. International Energy Agency, Paris.
[Second Natcom] Indonesia Second National Communication Under The United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). 2010.
Present and Future Generation. Kementrian Lingkungan Hidup.
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap. 2011. Sektor Pertanian. Bappenas.
[IPCC] Inter-governmental Panel on Climate Change. 1996. Second Assesment
Report. Intergovernmental Panel on climate Change, Geneva.
[IPCC] Inter-governmental Panel on Climate Change. 2006. IPCC Guidelines for
National Greenhouse Gas Inventories. Prepared by The National
Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleton HS, Buendia L, Miwa K,
Ngara T. and Tanabe K. (eds.). Penerbit IGES Jepang.
[IPCC] Inter-governmental Panel on Climate Change. Climate Change 2007: The
Physical Science Basis. Historical Overview of Climate Change Siences.
Intergovernmental Panel on Climate Change, Geneva
. Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Changes in
Atmospheric Constituents and in Rradiative Forcing. Intergovernmental
Panel on Climate Change, Geneva.
Jones SK, Rees RM, Kosmas D, Skiba UM. 2007. Influence of organic and
mineral N fertilizer on N2O fluxes from a temperate grassland. Journal of
Agriculture, Ecosystem and Environment 121: 74-73. Doi :
10.1016/j.agee.2006.12.006
Khalil MAK, Rasmussen RA. 1993. Decreasing trend of methane:
Unpredictability of future concentrations. Chemosphere 26: 803–814
54
55
55
56
56
57
Setyanto P, Rosenani AB, Fauziah CI. 2002. Influence of soil properties on CH4
emission from rice field. Indonesian Journal of Agricultural Science.
IAARRD. MoA Indonesia
Setyanto P, Rosenani AB, Boer R, Fauziah CI, Khanif MJ. 2005. The Effect of
Rice Cultivars on Methane Emission From Irrigated Rice Field. Indonesian
Journal of Agricultural Science. IAARRD. MoA Indonesia
Setyanto P, Ariani M, Makarim AK. 2010. Reduksi emisi metana melalui varietas
padi. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Inovasi Sumberdaya
Lahan Pertanian. 2010. Buku I. BBSDLP hal. 231-245. ISBN 978-979-
8039-24-6
Setyanto P, Kartikawati R. 2011. Integrated rice crop management for low
emitance of methane. Indonesian Journal of Agriculture Sciences 4 (1): 8-
16.
Siegenthaler U, Stocker TF, Monnin E, Luthi D, Schwander J, Stauffer B,
Raynaud D, Barnola JM, Fische H, Masson-Delmonte V. 2005. Stable
carbon cycle-climate relationship during the Late Pleistocene. Science 310:
1313-131
Smith P, Martino D, Cai Z, Gwary D, Janzen H, Kumar P, McCarl B, Ogle S,
O’mara F, Rice C, Scholes B, Sirotenko O, Howden M, McAllister T, Pan G,
Romanenkov V, Uwe Scneider U, Towprayoon S. 2006. Policy and
technological constraints to implementation of greenhouse gas mitigation
options in agriculture. Agriculture, Ecosystems and Environment, 118: 6-28.
Doi: 10.1016/j.agee.2006.06.006
.2008. Greenhouse gas mitigation in agriculture.
Philosophical Transactions of the Royal Society. Biological Sciences 363:
789-813. Doi: 10.1098/rstb.2007.2184
[SNI ISO 14064] Standart Nasional Indonesia. 2009. Gas Rumah Kaca-Bagian
1 :Spesifikasi dengan Panduan pada Level Organisasi untuk Kuantifikasi
dan Pelaporan Emisi dan Penghilangan Gas Rumah Kaca. Badan
Standarisasi Nasional. Jakarta.
Subiksa IGM, Nugroho K, Sholeh M, Widjaja Adhi IPG. 1997. The effect of
ameliorants on the chemical properties and productivity of peat soil. In:
Rieley and Page (Eds). pp:321-326. Biodiversity and Sustainability of
Tropical Peatlands.Samara Publishing Limited, UK
Susilawati HL, Ariani M, Kartikawati R, Setyanto P. 2011. Ameliorasi Tanah
Gambut Meningkatkan Produksi Padi dan Menekan Emisi Gas Rumah
Kaca.Sinar Tani Edisi 6-12 Maret 2011 No 3400 Tahun XLI.
[USEPA] Unied Nation Environmental Protection Agency. 2005. Greenhouse gas
mitigation potential in US forestry and agriculture. EPA 430-R-05-006.
Washington, DC : US Environmental Protection Agency.
[USDA] United Nation Department of Agriculture., 2011. U.S. Agriculture and
Forestry Greenhouse Gas Inventory: 1990-2008, Climate Change Program
Office, Office of the Chief Economist, U.S. Department of Agriculture.
Technical Bulletin No. 1930. 159 pp. June, 2011.
Verge XPC, Kimpe CD, Desjardins RL. 2007. Agricultural Production,
Greenhouse Gas Emissions and Mitigation Potential. Agricultural and
Forest Meteorology. 142 : 255-269. doi:10.1016/j.agrformet.2006.06.011
57
58
58
59
LAMPIRAN
N 2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 29,606,209 0.01 465,240
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 2,140,000 0.01 33,629
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N 2O-N EF1
FSOM : N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 11,152,815 0.003 52,578
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 500,000 0.003 2,357
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N 2O-N EF1FR
FSOM : N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
Total 553,804
59
60
N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 29,167,606 0.01 458,348
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 5,812,000 0.01 91,331
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N 2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 11,383,965 0.003 53,667
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 510,600 0.003 2,407
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N 2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
Total 605,754
60
61
N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 29,291,477 0.01 460,295
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 10,678,000 0.01 167,797
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N 2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 11,728,850 0.003 55,293
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 1,235,000 0.003 5,822
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N 2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
Total 689,207
61
62
N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 31,489,600 0.01 494,837
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 3,418,000 0.01 53,711
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N 2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 12,444,955 0.003 58,669
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 1,108,400 0.003 5,225
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
Total 612,442
62
63
N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
F : N in synthetic
synthetic fertilizers SN
fertilizers 30,635,478 0.01 481,415
FON : N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 1,972,000 0.01 30,989
Anthropogenic N
input types to FCR : N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N FSOM: N in mineral EF1
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land
loss of soil C from
use or
soil organic matter
management
as a result of
changes to land
use or
management
FSN : N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 12,913,580 0.003 60,878
FON : N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 1,726,600 0.003 8,140
Anthropogenic N
input types to FCR : N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N FSOM: N in mineral EF1FR
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land
loss of soil C from
use or
soil organic matter
management
as a result of
changes to land
use or
management
Total 581,421
63
64
N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 28,375,121 0.01 445,895
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 2,424,000 0.01 38,091
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 13,444,075 0.003 63,379
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 3,183,400 0.003 15,007
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
Total 562,373
64
65
N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 24,438,643 0.01 384,036
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 75,200 0.01 1,182
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N 2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 3,675,285 0.003 17,326
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 0.003 0
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N 2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
Total 402,544
65
66
N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 28.425.302 0,01 446.683
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 82.400 0,01 1.295
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 0,003 10.144
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 0,003 0
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
Total 458.122
66
67
N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 27.385.327 0,01 430.341
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 80.000 0,01 1.257
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 0,003 10.036
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 0,003 0
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
Total 441.634
67
68
N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 33.853.293 0,01 531.980
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 115.200 0,01 1.810
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 0,003 9.699
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 0,003 0
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
Total 543.489
68
69
N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 36.773.568 0,01 577.870
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 122.000 0,01 1.917
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 0,003 8.894
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 0,003 0
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
Total 588.682
69
70
N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 42.382.413 0,01 666.009
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 202.000 0,01 3.174
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 0,003 9.242
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 0,003 0
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management
Total 678.426
70
71
Kabupaten Grobogan
Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use
Category Indirect N2O Emissions from Managed Soils: N2O from Atmospheric Deposition of N Volatilised from Managed Soils
Category code 3C5
Sheet 1 of 2
Equation Equation 11.9
Annual amount of Fraction of synthetic Annual amount of Annual amount of Fraction of applied Emission factor for Annual amount of
synthetic fertilizer N fertilizer N that animal manure, urine and dung N organic N fertilizer N2O emission from N2O-N produced
applied to soils volatilises compost, sewage deposited by materials (FON) and atmospheric from atmospheric
sludge and other grazing animals on of urine and dung N deposition of N on deposition of N
organic N additions pasture, range and deposited by soils and water volatilised from
intentionally applied paddock grazing animals surfaces managed soils
to soils (FPRP) that volatilises
Anthropogenic N
input type (kg NH3-N + NOx-N) (kg N2O-N) (kg NH3-
-1
(kg NH3-N + NOx-N) -1 -1 -1
(kg N yr ) (kg N yr ) (kg N yr ) (kg of N applied or N + NOx-N (kg N2Oyr )
(kg of N applied)-1
deposited)-1 volatilized)-1
N2O(ATD)-N = [(FSN *
FracGASF ) + (FON +
Table 11.3 Table 11.3 Table 11.3
FPRP) * FracGASM)] *
EF4
FSN FracGASF FON FPRP FracGASM EF4 N2O
2006 40,759,024 0.1 2,140,000 0.2 0.01 70,776
2007 40,551,571 0.1 6,322,600 0.2 0.01 83,595
2008 41,020,327 0.1 1,191,300 0.2 0.01 68,205
2009 43,934,555 0.1 4,526,400 0.2 0.01 83,266
2010 38,549,058 0.1 3,698,600 0.2 0.01 72,201
2011 41819196 0.1 5607400 0.2 0.01 83339
Total
Category Indirect N2O Emissions from Managed Soils: N2O from Atmospheric Deposition of N Volatilised from Managed Soils
Category code 3C5
Sheet 1 of 2
Equation Equation 11.9
Annual amount of Fraction of synthetic Annual amount of Annual amount of Fraction of applied Emission factor for Annual amount of
synthetic fertilizer N fertilizer N that animal manure, urine and dung N organic N fertilizer N2O emission from N2O-N produced
applied to soils volatilises compost, sewage deposited by materials (FON) and atmospheric from atmospheric
sludge and other grazing animals on of urine and dung N deposition of N on deposition of N
organic N additions pasture, range and deposited by soils and water volatilised from
intentionally applied paddock grazing animals surfaces managed soils
to soils (FPRP) that volatilises
Anthropogenic N
input type (kg NH3-N + NOx-N) (kg N2O-N) (kg NH3-
(kg NH3-N + NOx-N) -1
(kg N yr-1) (kg N yr-1) (kg N yr-1) (kg of N applied or N + NOx-N (kg N2Oyr )
(kg of N applied)-1
deposited)-1 volatilized)-1
N2O(ATD)-N = [(FSN *
FracGASF ) + (FON +
Table 11.3 Table 11.3 Table 11.3
FPRP) * FracGASM)] *
EF4
FSN FracGASF FON FPRP FracGASM EF4 N2O
2006 28,113,928 0.1 75,200 0.2 0.01 44,415
2007 32,165,562 0.1 82,400 0.2 0.01 50,805
2008 31,232,997 0.1 80,000 0.2 0.01 49,332
2009 37,641,393 0.1 115,200 0.2 0.01 59,513
2010 40,339,143 0.1 122,000 0.2 0.01 63,774
2011 45801018 0.1 202000 0.2 0.01 72608
Total
71
72
Kabupaten Grobogan
Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use
Urea Fertilization: Annual CO2 emissions from Urea
Category Fertilization
Category code 3C3
Sheet 1 of 1
Equation Equation 11.13
Annual am ount of Em is s ion factor Annual CO2-C
Urea Fertilization em is s ions from
Urea Fertilization
Subcategories for [tonnes of C (tonne
(tonnes urea yr-1)
-1
(tonnes C yr )
reporting year of urea)-1]
CO2 Em is s ion =(M *
default is 0.20
EF)*44/12
M EF CO2 Emission
2006 80,102 16,020 58,741
2007 77,842 15,568 57,084
2008 79,930 15,986 58,615
2009 84,042 16,808 61,631
2010 74,233 14,847 54,438
2011 78,408 15,682 57,499
Total
Total
72
73
Kabupaten Grobogan
Data Aktivitas
Irigasi Teknis 1/2 teknis sederhana Irigasi Desa/Non PU tadah hujan
CF water regim 1 1 0.46 0.46 0.49
musim 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 total
2006 18688 1801 1745 5509 24287 10467 62765
2007 18694 1801 1690 5509 24133 10206 63435
2008 26 18644 1801 1669 5506 25207 10501 63729
2009 26 18644 1801 1669 5506 25207 10501 63729
2010 21 18185 1528 240 2705 468 7196 20278 13840 64790
2011 21 18185 1528 240 2705 468 7196 20278 13840 64790
Emisi CH4
Emisi CH4 total (Gg CH4)
2006 0.00 6.01 0.00 0.58 0.00 0.26 0.00 0.82 1.91 1.65 11.23
2007 0.00 6.02 0.58 0.00 0.25 0.00 0.82 1.90 1.61 11.17
2008 0.00 6.00 0.58 0.00 0.25 0.00 0.82 1.99 1.66 11.28
2009 0.00 6.00 0.58 0.00 0.25 0.00 0.82 1.99 1.66 11.28
2010 2.28 3.34 0.49 0.02 0.40 0.03 0.61 1.60 2.18 10.95
2011 1.84 3.34 0.49 0.02 0.40 0.03 0.61 1.60 2.18 10.51
Emisi CH4
emisi CH4 Gg CH4
2006 0.52 16.00 0.00 0.00 16.52
2007 0.55 16.55 0.11 0.00 17.21
2008 0.59 16.40 0.02 0.00 17.02
2009 0.67 15.68 0.09 0.00 16.43
2010 0.48 14.51 0.10 0.00 15.09
2011 0.64 13.51 1.37 0.13 15.65
73
74
Kabupaten Grobogan
Sektor AFOLU
Kategori Emisi Metana dari Enterik Fermentation dan pengelolaan kotoran hewan
2006
Equation Equation 10.19 Eq.10.19 dan 10.20 Equation 10.22
EF dari Enterik Emisi CH4 dari Enterik EF untuk Manure Emisi CH4 dari Manure
Jenis Ternak Jumlah Ternak Total CH4
Fermentation Fermentation Management Management
(Ekor) (Kg/ekor/th) (Gg CH4/th) (Kg/ekor/th) (Gg CH4/th) (Gg CH4/th)
-6 -6
CH4 enterik = N (T)*EF(T)*10 CH4 manure = N (T)*EF(T)*10
T N (T) EF (T) CH4 Enterik EF (T) CH4 manure
Tabel 10.10 & 10.11 Tabel 10.14 - 10.16
Sapi perah 388 61 0.02 31 0.012 0.04
Sapi potong 104,135 55 5.73 2 0.208 5.94
Kerbau 1,901 55 0.10 2 0.004 0.11
Domba 15,625 5 0.08 0.2 0.003 0.08
Kambing 98,979 5 0.49 0.22 0.022 0.52
Kuda 722 18 0.01 2.19 0.002 0.01
74
75
Kabupaten Grobogan
Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use
Category Manure Management: Direct N2O Emissions from Manure Management Systems (2006)
Category code 3A2
Sheet 1 of 1
Equation Eq. 10.25 Equation 10.30 Equation 10.25
Number of Default N excretion Typical Annual N excretion Fraction of total annual nitrogen Total nitrogen Emission factor for Annual direct N2O emissions
animals rate animal per head of excretion managed in MMS for excretion for the direct N2O-N from Manure Management
mass for species/livestock each species/livestock category MMS 4 emissions from
livestock category3 MMS*)
category
Manure
Species/Livestock [kg N (kg N animal
-1
[kg N2O-N
Management
category -1
System (MMS)1 (head) (1000 kg animal)
-1 (kg) (-) (kg N yr-1) kg N2O yr
-1 year-1) (kg N in MMS)-1]
day ]
NEMMS = N2O(mm) =
Tables 10A- Nex(T) = Nrate(T) *
Table 10.19 4 to 10A-9 TAM * 10-3 * 365 Tables A4-A8 N(T) * Nex(T) * MS(T,S) Table 10.21 NEMMS * EF3(S) * 44/28
S T N(T) Nrate(T) TAM Nex(T) MS(T,S) NEMMS EF3(S) N2OD(mm)
PASTURA* Beef Cattle** 0 0.34 350 43.44 0 - -
Total
DRY LOT Dairy Cattle 327 0.47 319 54.72 100% 17,895 0.0144 405
Total
Beef Cattle*** 104,054 0.34 350 43.44 100% 4,519,585 0.0144 102,272
Buffalo 1,867 0.32 330 38.54 100% 71,962 0.0144 1,628
Sheep 15,625 1.17 28 11.96 100% 186,834 0.02 5,872
DRY LOT
Goats 99,969 1.37 30 15.00 100% 1,499,685 0.02 47,133
Swine 0 0.50 28 5.11 100% 0 0.02 0
Horses 701 0.46 238 39.96 100% 28,012 0.02 880
Total
Total
POULTRY
WITHOUT Native Chicken 936,567 0.82 0.9 0.27 100% 252,283 0.001 396
LITTER Duck 94,872 0.83 1.5 0.45 100% 43,112 0.001 68
Total
Beef Cattle*** 8,746 0.34 350 43.44 100% 379,883 0.0144 8,596
Buffalo 449 0.32 330 38.54 100% 17,306 0.0144 392
Sheep 118 1.17 28 11.96 100% 1,411 0.02 44
DRY LOT
Goats 13,497 1.37 30 15.00 100% 202,475 0.02 6,364
Swine 0.50 28 5.11 100% 0 0.02 0
Horses 0.46 238 39.96 100% 0 0.02 0
Total
75
76
- ...............
b. Cair (ltr) - -
* Arivo 30 EC (klg) 10.0 65,000
- Fas tax 8.0 72,000
- ...............
4 Herbis ida (gr)
a. Padat (kg) - -
- ...............
- …………
b. Cair (ltr)
- ...............
- ...............
5
Fungis ida
- ...................... (ltr)
- ...................... (ltr)
-
- ...................... (kg)
6 Lain-lain
- Grentonik (klg) 6 45,000
- .......................
- .......................
- .......................
Jumlah B 1,845,500 375,000
C. LAIN-LAIN PENGELUARAN
1 Pajak Lahan (m us im ) 1 50,000 1 -
2 Sewa Tanah (ha/m us im ) 1 2,250,000 1
3 Bunga Kredit (m us im ) 1 - 1 -
4 Iuran P3A (m us im ) 1 50,000 1 -
Jumlah C 2,350,000 -
Jumlah A + B + C 7,145,500 659,000
TBRD TBD
OUTPUT
1 Total produks i = 6,032 kg
2 Harga rata-rata s etem pat di tingkat petani = Rp.3,250.- /kg
3 Nilai Total Produks i (NTP) = Total produks i x Harga = Rp.19,604,000.-
4 Total Biaya Produks i (TBP) = TBRD + TBD = Rp.7,804,500.-
PENDAPATAN BERSIH:
1 Secara Us aha Tani : NTP - TBP = Rp.11,799,500.-
2 Petani : NTP - TBRD = Rp.12,458,500.-
76
77
- Manus ia - - 16 - - - 400,000
- Ternak - - - - - - -
- Mes in
3 Menanam (borongan) 25 - - 625,000 5 - - 125,000
4 Mem upuk 2 - - - 50,000
5 Menyiang 30 - - 750,000 10 - - 250,000
6 Pengendalian H & P 4 - - - 100,000
7 Lain-lain
- ........................
- ........................
- ........................
Jumlah A.I - 55 - - 1,375,000 22 15 - - 925,000
II Pas ca Panen
1 Mem anen (borongan) 16 14 - - 750,000 1 - - 25,000
2 Merontok (borongan) 16 14 - 750,000 - - -
3 Mem bers ihkan 2 50,000 - 2 - - 50,000
4 Mengangkut 8 - - - 200,000 - - - - -
5 Mengeringkan 2 1 - 75,000 1 1 42,000
6 Menyim pan
7 Lain-lain
- ........................
- ........................
- ........................
Jumlah A.II 42 31 - - 1,825,000 2 3 - - 117,000
JUMLAH A = A.I+ A.II 42 86 - - 3,200,000 24 18 - - 1,042,000
- ...............
b. Cair (ltr) - -
* Arivo 30 EC (klg)
- Fas tax
- ...............
4 Herbis ida (gr)
a. Padat (kg) - -
- ...............
- …………
b. Cair (ltr)
- ...............
- ...............
5
Fungis ida
- ...................... (ltr)
- ...................... (ltr)
-
- ...................... (kg)
6 Lain-lain
- Grentonik (klg)
- .......................
- .......................
- .......................
Jumlah B 995,000 60,000
C. LAIN-LAIN PENGELUARAN
1 Pajak Lahan (m us im ) 1 1 -
2 Sewa Tanah (ha/m us im ) 1 600,000 1
3 Bunga Kredit (m us im ) 1 - 1 -
4 Iuran P3A (m us im ) 1 1 -
Jumlah C 600,000 -
Jumlah A + B + C 4,795,000 1,102,000
TBRD TBD
OUTPUT
1 Total produks i = 4,172 kg
2 Harga rata-rata s etem pat di tingkat petani = Rp.4,250.- /kg
3 Nilai Total Produks i (NTP) = Total produks i x Harga = Rp.17,731,000.-
4 Total Biaya Produks i (TBP) = TBRD + TBD = Rp.5,897,000.-
PENDAPATAN BERSIH:
1 Secara Us aha Tani : NTP - TBP = Rp.11,834,000.-
2 Petani : NTP - TBRD = Rp.12,936,000.-
77
78
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kudus pada 22 maret 1981 sebagai anak pertama dari
pasangan Bambang Muryadi dan Djatmiatun. Pendidikan sarjana ditempuh di
Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas
Maret Surakarta lulus tahun 2002. Pada tahun 2011 penulis diterima di Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Program Pascasarjana
IPB.
Pada tahun 2006, penulis diterima bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Selama
menempuh pendidikan Program Pascasarjana IPB, penulis juga masih aktif
bekerja sebagai peneliti pada Balai Penelitian Lingkungan Pertanian dan
menerbitkan beberapa tulisan pada jurnal maupun prosiding dalam seminar
nasional, diantaranya adalah makalah berjudul “Emisi Nitro Oksida (N2O) Pada
Sistem Pengelolaan Tanaman Di Lahan Sawah Tadah Hujan” dan “Emisi Dan
Absorpsi Karbon Pada Penggunaan Ameliorant Pada Lahan Padi Gambut” yang
diterbitkan dalam Jurnal Tanah dan Iklim Balai Besar Sumberdaya Lahan
Pertanian serta makalah “Pengaruh Pemberian Jerami dan Pupuk Kandang
terhadap Emisi N2O dan Hasil Padi pada Sistem Integrasi Tanaman Ternak” yang
diterbitkan pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, Puslitbang
Tanaman Pangan. Sebuah makalah berjudul “Inventarisasi Emisi GRK Dari
Tanah Pertanian Menggunakan Metode IPCC 2006 dan Modifikasinya” yang
merupakan bagian Bab 2 dari tesis ini sedang menunggu penerbitan pada Jurnal
Tanah dan Iklim.
78