Anda di halaman 1dari 94

INVENTARISASI EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR

PERTANIAN DAN OPSI MITIGASINYA DENGAN


PENDEKATAN MARGINAL ABATEMENT COST

MIRANTI ARIANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

i
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Inventarisasi Emisi Gas
Rumah Kaca Sektor Pertanian dan Opsi Mitigasinya dengan Pendekatan Marginal
Abatement Cost adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014

Miranti Ariani
NIM 110181

iii
RINGKASAN

MIRANTI ARIANI. Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian dan
Opsi Mitigasinya dengan Pendekatan Marginal Abatement Cost. Dibimbing oleh
MUHAMMAD ARDIANSYAH dan PRIHASTO SETYANTO.

Eugenia polyantha yang dikenal dengan nama salam adalah tanaman obat
yang baSektor Pertanian menyumbang sebesar 5% dari total emisi Gas Rumah
Kaca (GRK) nasional pada tahun 2000 dan meningkat menjadi sebesar 7% pada
tahun 2005. Emisi ini diperkirakan akan terus meningkat apabila tidak ada
kegiatan penurunan emisi yang dilakukan. Pemerintah melalui Peraturan Presiden
(Perpres) No 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
GRK dan Peraturan Presiden No 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan
Inventarisasi GRK Nasional, mewajibkan setiap kementrian/lembaga dan
pemerintah daerah untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% secara nasional.
Pelaksanaan Perpres 61/2011, melibatkan keikutsertaan pemerintah daerah secara
aktif, karena dalam Perpres tersebut pemerintah daerah diharuskan menyusun
Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi GRK. Masing-masing daerah
berkewajiban memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi secara nasional.
Perencanaan aksi-aksi untuk penurunan emisi GRK, perlu mengetahui secara pasti
besaran emisi dan serapan GRK. Sektor pertanian dalam Lampiran Perpres No
61/2011 harus menurunkan tingkat emisinya sebesar 8 Gg CO2e. Berbagai
perencanaan ditingkat nasional telah dilakukan untuk mencapai target tersebut,
akan tetapi partisipasi daerahlah, khususnya pemerintah kabupaten, yang akan
sangat menentukan.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis status emisi GRK Sektor
Pertanian di Kabupaten Grobogan Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Tanjung
Jabung Timur Propinsi Jambi melalu inventarisasi dan identifikasi kategori kunci
(Key Categories Analysis) terhadap sumber-sumber emisi GRK dan
perhitungannya serta menyusun BAU Baseline dan (2) menganalisis opsi-opsi
mitigasi pada pengelolaan lahan sawah yang mungkin dilakukan dengan
pendekatan Marginal Abatement Cost.
Inventarisasi GRK membutuhkan masukan data aktivitas yang sangat
komplek dan detail, untuk menghasilkan data status emisi GRK yang tepat.
Pembangkitan data aktivitas bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya
dengan melakukan wawancara langsung dengan para ahli, survey lapangan
maupun membangun asumsi. Status emisi GRK Kabupaten Grobogan dan
Tanjung Jabung Timur berbeda, meski sumber emisi utama adalah gas CH4 dari
pengelolaan lahan sawah yang mencapai 50%. Total emisi GRK Kabupaten
Grobogan dengan metode IPCC 2006 adalah sekitar 678-758 Gg CO2e dan
diperkirakan akan terus meningkat mencapai angka 898 Gg CO2e di tahun 2020
jika tidak ada aksi mitigasi, sedangkan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
sekitar 543-659 Gg CO2e dan mencapai angka 820 Gg CO2e tahun 2020. Total
emisi GRK Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur dengan modifikasi
metode IPCC 2006 adalah sebesar 670-744 Gg CO2e and 540-658 Gg CO2e. Hasil
perhitungan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola di kedua kabupaten
dengan metode IPCC 2006 dan modifikasinya hanya berbeda sekitar 4% atau
tidak berbeda nyata dengan uji t pada taraf p=0,05.

ii
Penentuan teknologi mitigasi dapat dilakukan melalui studi literature
terhadap hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, sementara penentuan luasan
area yang berpotensi untuk penerapan teknologi mitigasi, dilakukan dengan
membangun asumsi-asumsi. Besaran biaya dapat ditentukan berdasarkan pada
biaya yang berlaku setempat. Potensi pengurangan emisi pada kurva biaya
pengurangan emisi GRK di Kabupaten Grobogan mencapai 212.822 tCO2e/th atau
sekitar 24% dapat diturunkan sampai tahun 2020 dengan tambahan biaya dibawah
Rp 1.000,-/tCO2e, sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebesar 66.317
tCO2e/th atau sekitar 8,1% dapat diturunkan dengan biaya tambahan dibawah Rp
1.000,-/tCO2e. Teknologi mitigasi yang berpotensi besar menurunkan emisi GRK
dengan biaya rendah di Kabupaten Grobogan adalah penerapan teknik budidaya
padi dengan penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan penggantian
varietas padi dengan varietas padi yang rendah emisi GRK. Sementara di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur, teknologi ameliorasi dengan kompos, pupuk
kandang dan penerapan teknologi tanpa olah tanah+tanam benih langsung
merupakan teknologi mitigasi yang memiliki potensi besar menurunkan emisi
dengan biaya yang rendah.

Kata kunci : biaya pengurangan emisi, gas rumah kaca, inventarisasi,


mitigasi, pertanian
nyak digunakan dalam mengobati berbagai penyakit, termasuk diabetes,
Tujuan penelitian ini adalah memperoleh fraksi teraktif penghambat aktivitas
α-amilase dari ekstrak etanol daun salam serta mengidentifikasi kandungan
fitokimianya, Ekstrak etanol kasar difraksinasi menggunakan ekstraksi cair-cair
memperoleh 3 fraksi, yaitu fraksi n-heksana, fraksi etil asetat, dan fraksi air, Uji
aktivitas inhibisi α-amilase menunjukkan bahwa semua fraksi aktif menghambat
α-amilase, dengan fraksi air menunjukkan aktivitas tertinggi sebesar 22,52%,
Fraksinasi lanjutan fraksi air menggunakan kromatografi kolom silika gel dengan
elusi gradien menghasilkan 4 fraksi, Semua fraksi menunjukkan aktivitas hambat
α-amilase; fraksi 2 menunjukkan aktivitas tertinggi, yaitu 57,57%, Berdasarkan
uji fitokimia, komponen kimia yang terkandung dalam fraksi teraktif adalah
golongan alkaloid, flavonoid, dan saponin,
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, Mauris ultrices
tellus vel risus tempus non consequat massa sollicitudin, Pellentesque habitant
morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas, Proin eget
interdum velit, Vestibulum quis justo eu arcu elementum bibendum, Proin
venenatis eleifend fermentum, Vivamus ullamcorper dictum quam non mollis,
Morbi cursus dolor ut tellus faucibus rutrum, Duis nibh nibh, rutrum nec congue
sed, iaculis eget velit, Vivamus tempus, dolor et eleifend interdum, ipsum purus
tristique risus, id aliquam libero nunc non neque, Praesent vel massa purus, sed
gravida ligula,
Etiam vel suscipit erat, Aliquam erat volutpat, Pellentesque habitant morbi
tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas, Sed vulputate
neque sit amet nibh gravida scelerisque, Nam mattis euismod facilisis, Ut sit amet
nunc sem, vel imperdiet risus, Pellentesque iaculis tempus nunc accumsan
porttitor, Sed eget odio nec enim ornare feugiat, Quisque viverra sapien a felis
molestie dictum, Donec malesuada porttitor sagittis, In hac habitasse platea
dictumst, Morbi at justo at tellus tincidunt volutpat sed vel m, saponin

iii
SUMMARY

MIRANTI ARIANI. Green House Gases Emission Inventory from agriculture


sector and it’s mitigation option with marginal abatement cost curve approach.
Supervised by MUHAMMAD ARDIANSYAH and PRIHASTO SETYANTO.

Agriculture sector accounts for 5 % of the total national GHG emissions in


2000 and increased to 7% in 2005. Emissions are predicted to continue rising if no
emission reduction activities undertaken. Government through Presidential Decree
(Decree) No. 61 of 2011 on National Action Plan for Reducing Greenhouse Gases
Emissions and Presidential Decree No. 71 of 2011 on the Implementation of the
National Greenhouse Gas Inventory, requires each sector to reduce GHG
emissions by 26 % nationally. Implementation of Presidential Decree 61/2011,
involve active participation of the region, which each are required to prepare the
Regional Action Plan for Greenhouse Gas Emission Reduction. Each region is
obliged to contribute to the national emission reduction. The amount of GHG
emission from each sources need to presented, in regard to determine actions
planning for GHG emission reduction. Agricultural sector in the appendix of
Presidential Decree No. 61/2011 mentioned should reduce the level of emissions
by 8 Gg CO2e. Various national level planning has been done to achieve these
targets, but participation from each region will greatly determine.
This study has two main objectives that include the following (1) to analyze
the status of GHG emissions of Agricultural Sector in Grobogan, Central Java and
East Tanjung Jabung, Jambi through the identification of key categories (Key
Categories Analysis) to sources of GHG emissions and constract BAU baseline
and, (2) to analyze mitigation options that could be done in paddy fields
managements with the Marginal Abatement Cost approach.
Greenhouse gas inventory requires a very complex and detailed activity data
input. Activity data generation can be done in various ways, i.e direct interviews
with expert, conduct field surveys and build some assumptions. The results
showed that CH4 emissions (rice cultivation, enteric fermentation and manure
management) was the main contributor to overall GHG emissions in the two
districts with the amount of > 50 % (in CO2e). Overall Grobogan and East
Tanjung Jabung GHG emissions from years 2006 to 2011 using IPCC 2006 was
678-758 Gg CO2e and 543-659 Gg CO2 e respectively and overall GHG emissions
using modified IPCC 2006 was 670-744 Gg CO2e and 540-658 Gg CO2e. This
emission in Grobogan and East Tanjung Jabung was predicted to continue rising
and reach the figure of 898 Gg CO2 e and 820 Gg CO2 e in 2020 if no mitigation
actions implemented. The result of IPCC 2006 and its modification method was
only 4% different in direct N2O emission at two region. The modification method
to direct N2O emission from flooded rice could be used because it is simplier and
easier both in gathering activity data and the calculation itself.
Determination of mitigation technologies can be done through literature
study, while determination of the area that has potential mitigation technologies
application, are done by build some assumptions. The cost and benefit can be
determined based on prevailing local prices. Abatement potential which shows in
marginal abatement cost curve in Grobogan, predicted the amount of 212,822

iv
tCO2e/yr or about 24 % up to 2020 can be derived with the additional cost of less
than Rp 1,000,-/tCO2e, while in East Tanjung Jabung 66,317 tCO2e/yr, or about
8.1 % by 2020 can be derived at an additional cost of less than Rp 1,000, -/tCO2e.
Mitigation activity such as low methane rice varieties and Integrated Crop
Management could be applied at Grobogan with low cost, while using
amelioration such as compost or manure and non tillage+direct seeded could be
applied at East Tanjung Jabung with low cost as well.

Keywords: agriculture, greenhouse gases, inventory, mitigation, marginal


abatement cost
Eugenia polya
edicinal plant to treat various diseases, including diabetes, The objectives of
this research are to obtain the active fraction of ethanolic salam leaves extract,
which is inhibitory against α-amylase activity, and to identify phytochemical
constituents of the fractions, Crude ethanolic extract fractionated by liquid-liquid
extraction gave 3 fractions, namely n-hexane, ethyl acetate, and water fractions,
All fractions showed inhibitory activity against α-amylase and water fraction
showed the highest activity with the inhibition of 22,52%, Subsequent
fractionation of the water fraction using silica gel column chromatography with
gradient elution produced 4 fractions, All fractions showed inhibitory activity
against α-amylase; fraction 2 showed the highest activity with the inhibition of
57,57%, Phytochemical screening showed that alkaloids, flavonoids, and saponins
were the chemical constituents of the active fraction,
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, Mauris ultrices
tellus vel risus tempus non consequat massa sollicitudin, Pellentesque habitant
morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas, Proin eget
interdum velit, Vestibulum quis justo eu arcu elementum bibendum, Proin
venenatis eleifend fermentum, Vivamus ullamcorper dictum quam non mollis,
Morbi cursus dolor ut tellus faucibus rutrum, Duis nibh nibh, rutrum nec congue
sed, iaculis eget velit, Vivamus tempus, dolor et eleifend interdum, ipsum purus
tristique risus, id aliquam libero nunc non neque, Praesent vel massa purus, sed
gravida ligula,
Etiam vel suscipit erat, Aliquam erat volutpat, Pellentesque habitant morbi
tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas, Sed vulputate
neque sit amet nibh gravida scelerisque, Nam mattis euismod facilisis, Ut sit amet
nunc sem, vel imperdiet risus, Pellentesque iaculis tempus nunc accumsan
porttitor, Sed eget odio nec enim ornare feugiat, Quisque viverra sapien a felis m
, α-amylase, Eugenia polyantha, flavonoids, saponins, lorem, ipsum

v
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

vi
INVENTARISASI EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR
PERTANIAN DAN OPSI MITIGASINYA DENGAN
PENDEKATAN MARGINAL ABATEMENT COST

MIRANTI ARIANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan sumberdaya Alam dan
Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

i
Penguji Luar Komisi
Pada Ujian Tesis : Jumat 30 Mei 2014 Pukul 08.30 WIB

Dr. M. Yani, M.Eng


Staf Pengajar Fakultas Teknologi Pertanian

ii
Judul Tesis : Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian dan Opsi
Mitigasinya dengan Pendekatan Marginal Abatement Cost
Nama : Miranti Ariani
NIM : P052110181

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Muhammad Ardiansyah Dr. Prihasto Setyanto, M.Sc


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan

Prof. Dr. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:


30 Mei 2014

iii
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Pebruari 2013 ini ialah
perubahan iklim, dengan judul Inventarisasi Emisi GRK Sektor Pertanian dan
Opsi Mitigasinya dengan Pendekatan Marginal Abatement Cost.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Muhammad Ardiansyah
dan Bapak Dr. Prihasto Setyanto selaku pembimbing yang telah banyak memberi
saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh Kelompok
Peneliti Emisi dan Absorbsi GRK Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, yang
telah membantu selama pengumpulan data dan pelaksanaan penelitian. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada suami, ayah, ibu, serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2014

Miranti Ariani

iv
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 4
2 STATUS EMISI GRK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN
GROBOGAN DAN TANJUNG JABUNG TIMUR 6
Pendahuluan 6
Bahan dan Metode 8
Hasil 16
Pembahasan 30
Simpulan 35
3 BIAYA PENGURANGAN (MARGINAL ABATEMENT COST)
EMISI GRK 36
Pendahuluan 36
Bahan dan Metode 38
Hasil 39
Pembahasan 43
Simpulan 46
4 PEMBAHASAN UMUM 48
5 SIMPULAN DAN SARAN 51
Simpulan 51
Saran 51
DAFTAR PUSTAKA 53
LAMPIRAN 59
RIWAYAT HIDUP 78

v
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daftar data aktivitas dan sumber data 8


Tabel 2.2 Faktor emisi dan faktor skala rejim air pengelolaan lahan
sawah 10
Tabel 2.3 Faktor koreksi jenis tanah pengelolaan lahan sawah 10
Tabel 2.4 Faktor koreksi berbagai varietas padi di Indonesia 11
Tabel 2.5 Faktor emisi N2O langsung dari tanah dikelola (Default direct
N2O emission factor from managed soil) 13
Tabel 2.6 Faktor emisi N2O tidak langsung dari tanah dikelola (Default
indirect N2O emission factor from managed soil) 13
Tabel 2.7 Faktor emisi CH4 dari fermentasi enterik hewan 14
Tabel 2.8 Faktor emisi CH4 dari pengelolaan kotoran ternak 15
Tabel 2.9 Data aktivitas sub sektor pertanian 18
Tabel 2.10 Data aktivitas sub sektor peternakan Kabupaten Grobogan 19
Tabel 2.11 Data aktivitas sub sektor peternakan Kabupaten Tanjung
Jabung Timur 19
Tabel 2.12 Faktor emisi GRK sektor pertanian Kabupaten Grobogan dan
Tanjung Jabung Timur 20
Tabel 2.13 Emisi GRK total Kabupaten Grobogan (Gg CO2e/tahun) 27
Tabel 2.14 Emisi GRK total Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Gg
CO2e/tahun) 27
Tabel 2.15 Perbandingan emisi N2O langsung metode IPCC 2006 dan
modifikasi 30
Tabel 2.16 Perbandingan total emisi GRK metode IPCC 2006 dan
modifikasi 30
Tabel 3.1 Teknologi mitigasi GRK dari beberapa sumber publikasi 39
Tabel 3.2 Potensi pengurangan emisi (abatement rate) dan biaya
tambahan untuk pengurangan emisi (abatement cost) 40
Tabel 3.3 Abatement potensial dan kemungkinan adopsi teknologi
mitigasi 41
Tabel 3.4 Potensi penurunan hingga tahun 2020 terhadap proyeksi emisi
BAU baseline 42

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Skema Non-Binding Commitment Indonesia (Badan Litbang


Pertanian, 2011) ..................................................................................2
Gambar 1.2 Skema ruang lingkup penelitian ........................................................5
Gambar 2.1 Emisi CH4 pengelolaan lahan sawah di (Gg CH4/tahun):
a) Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung Jabung
Timur ................................................................................................21
Gambar 2.3 Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola di (Gg
N2O/tahun): a) Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten
Tanjung Jabung Timur ......................................................................23
Gambar 2.5 Emisi CH4 dari Fermentasi Enterik dan Pengelolaan kotoran di
(Gg CH4/tahun) a) Kabupaten Grobogan, b) Kabupaten
Tanjung Jabung Timur ......................................................................25
Gambar 2.6 Emisi N2O dari Pengelolaan kotoran di (a) Kabupaten
Grobogan dan (b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur ......................26
Gambar 2.7 Kontribusi tiap jenis gas terhadap total emisi GRK a)
Kabupaten Grobogan, b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur ...........28
Gambar 2.8 Kontribusi masing-masing sumber emisi terhadap total emisi
GRK a) Kabupaten Grobogan, b) Kabupaten Tanjung Jabung
Timur ................................................................................................28
Gambar 2.9 BAU Baseline emisi GRK a) Kabupaten Grobogan dan
b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur ...............................................29
Gambar 3.1 Kurva biaya pengurangan emisi GRK Kabupaten Grobogan ...........42
Gambar 3.2 Kurva biaya pengurangan emisi GRK Kabupaten Tanjung
Jabung Timur ....................................................................................43

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil perhitungan status emisi dengan IPCC 2006 worksheet ........ 59
Lampiran 2. Analisis Usahatani............................................................................. 76

viii
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak 2 abad terakhir, kegiatan manusia (antropogenik) telah meningkat


dengan sangat berarti, khususnya setelah era pra-industri. Peningkatan
penggunaan energi dari bahan bakar fosil untuk berbagai kegiatan manusia
terutama dalam proses-proses industri dan transportasi, kegiatan pembukaan hutan
untuk keperluan pembangunan, dan intensifikasi budi daya tanaman serta
produksi limbah, telah menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK) meningkat
dengan laju yang semakin cepat. Menurut Petit et al (1999) dan Siegenthaler et al
(2005) rata-rata konsentrasi CO2 global di atmosfer pada awal revolusi industri
(sekitar tahun 1750an) hanya 280 ppm dan pada tahun 2006 sudah meningkat
menjadi 381 ppm. Konsentrasi CO2 (karbondioksida) saat ini diperkirakan
tertinggi dalam 650.000 tahun terakhir. Lebih lanjut menurut Pearson dan Palmer
(2000) konsentrasi tersebut bahkan yang tertinggi selama 20 juta tahun terakhir.
Laju pertumbuhan konsentrasi CO2 dalam tahun 2000-2006 mencapai 1,93 ppm
per tahun. Laju ini merupakan laju tertinggi sejak adanya pengukuran secara
kontinyu GRK sejak tahun 1959 dan peningkatannya juga sangat signifikan
dibanding dengan laju emisi di awal tahun 1980an sebesar1,58 ppm per tahun dan
1990an sebesar 1,49 ppm per tahun (Canadell et al, 2007).
Menurut Canadell et al (2007) dilihat dari sisi sumber, dalam periode 1959-
2006 jumlah emisi terbesar berasal dari penggunaan bahan bakar fosil yaitu
mencapai 80%, sedangkan dari perubahan penggunaan lahan sekitar 20%. Emisi
yang dilepaskan ini sebagian diserap kembali oleh lautan dan daratan. Namun
demikian kemampaun lautan dan daratan dalam menyerap kembali CO2 tidak
banyak mengalami perubahan. Dengan demikian, terjadinya peningkatan laju
emisi menyebabkan konsentrasi CO2 di atmosfer menjadi meningkat dari waktu
ke waktu.
Hal ini menyebabkan timbulnya masalah pemanasan global dan perubahan
iklim. Untuk mengatasi masalah ini, pada KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Bumi
di Rio tahun 1992, dilahirkan konvensi perubahan iklim dengan tujuan untuk
menstabilisasi konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat yang tidak
membahayakan sistem iklim. Tingkat konsentrasi yang dimaksud harus dapat
dicapai dalam satu kerangka waktu tertentu sehingga memberikan waktu yang
cukup kepada ekosistem untuk beradaptasi secara alami terhadap perubahan iklim
dan dapat menjamin produksi pangan tidak terancam dan pembangunan ekonomi
dapat berjalan secara berkelanjutan.
Indonesia telah menandatangani Protokol Kyoto sejak tahun 1997 yang
sebelumnya telah meratifikasi pembentukan UNFCCC melalui UU No 6 tahun
1994. Sejak saat itu, Indonesia menjadi salah satu pihak yang terikat dalam hak
dan kewajiban sebagaimana tercakup dalam United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Kerangka Kerja PBB untuk
Konvensi Perubahan Iklim.
Para pihak yang terikat dalam UNFCCC setuju untuk membangun,
memutakhirkan secara periodik, dan menyediakan inventarisasi emisi GRK
nasional menurut sumber (source) dan rosot (sink) dengan menggunakan
2

metodologi yang dapat diperbandingkan dan disetujui oleh para pihak (Boer,
2009).
Para pihak berkomitmen untuk menyusun dokumen Komunikasi Nasional
yang berisikan informasi Inventarisasi GRK Nasional, deskripsi tentang langkah-
langkah yang diambil untuk mencapai tujuan konvensi meliputi adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim, dan informasi lainnya yang relevan dengan tujuan
konvensi.
Peran serta Indonesia terkait upaya-upaya mitigasi perubahan iklim, salah
satunya adalah pernyataan Non-Binding Commitment yang dikemukakan oleh
Presiden RI pada pertemuan G-20 di Pittsburgh – USA, 25 September 2009 yang
lalu. Komitmen yang tidak mengikat ini mencakup upaya-upaya Indonesia
mengurangi tingkat emisi GRK sebesar 26% di tahun 2020 dengan sumber-
sumber pendanaan dari dalam negeri dan lebih jauh sampai dengan 41% di tahun
2020 apabila ada bantuan donor internasional (Gambar 1.1).

Gambar 1.1 Skema Non-Binding Commitment Indonesia (Badan Litbang


Pertanian, 2011)

Menindaklanjuti komitmen tersebut, disusunlah Rencana Aksi Nasional


Penurunan Emisi GRK yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 61
tahun 2011 yang berisi tentang dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan
berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi
GRK nasional sesuai dengan target pembangunan nasional. Dalam pasal 6 Perpres
61/2011, disebutkan bahwa untuk menurunkan emisi GRK di masing- masing
wilayah provinsi, gubernur harus menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) GRK.
Sebelum menyusun rencana aksi, maka penting untuk mengetahui status emisi
maupun serapan GRK dari sumber-sumber potensial yang ada di daerah. Hal ini
kemudian dituangkan dalam Perpres No 71 tahun 2011 mengenai
Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional.
Penelitian ini dilakukan dalam rangka memfasilitasi dan mendukung
kegiatan inventarisasi GRK yang akan dilakukan di daerah (kabupaten/kota),

2
3

dengan adanya penelitian ini diharapkan akan menjadi pedoman bagi stakeholder
di daerah dalam pelaksanaan kegiatan inventarisasi GRK. Fokus penelitian ini
hanya pada sektor pertanian, hal ini lebih karena sektor pertanian mempunyai
fungsi multidimensi terhadap perubahan iklim, yaitu berperan sebagai korban
karena sifatnya yang rentan terhadap perubahan iklim, sebagai sumber
penyumbang emisi GRK dan sekaligus juga sebagai solusi untuk penurunan emisi
GRK. Dalam RAN (Rencana Aksi Nasional) GRK, sektor pertanian mempunyai
kewajiban untuk menurunkan emisi sebesar 8 Gg CO2e. Untuk bisa mencapai
target tersebut, berbagai kegiatan mitigasi, baik yang berdampak langsung
maupun tidak langsung terhadap penurunan emisi sektor pertanian harus
dilakukan. Kegiatan mitigasi bisa berupa kegiatan yang baru maupun kegiatan
yang sudah ada yang mempunyai potensi menurunkan emisi GRK.
Penelitian ini dilaksanakan di 2 Kabupaten yaitu Kabupaten Grobogan
Propinsi Jawa Tengah mewakili ekosistem dengan tanah mineral dan Kabupaten
Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi mewakili ekosistem dengan tanah gambut.
Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Jambi adalah propinsi yang sampai dengan
awal tahun 2012 telah menerbitkan Peraturan Gubernur mengenai RAD GRK,
yaitu Pergub Jambi No. 36 tahun 2012 dan Pergub Jateng No. 43 tahun 2012.
Kabupaten Grobogan dipilih sebagai lokasi penelitian karena berdasarkan kajian
awal merupakan kabupaten yang berperan sebagai lumbung padi Jawa Tengah,
kegiatan pertanian sangat bervariasi (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
peternakan, perikanan), areal lahan sawah terluas kedua di Jawa Tengah dan
beberapa data sekunder terkait pertanian tersedia pada website resmi masing-
masing SKPD dan BPS. Sementara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah
kabupaten di Propinsi Jambi yang juga merupakan lumbung padi Propinsi Jambi,
dengan karakteristik lahan pertanian sebagian besar merupakan lahan marjinal
(lahan gambut, rawa dan lebak), kegiatan pertaniannya juga bervariasi, dimana
kebanyakan adalah pertanian kebun campur (karet dengan hortikultura atau buah-
buahan di sela-selanya).
Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status emisi dan serapan GRK
dari lahan pertanian di Kabupaten Grobogan (Jawa Tengah) dan Kabupaten
Tanjung Jabung Timur (Jambi) serta upaya-upaya mitigasi yang dapat dilakukan.
Terkait hal tersebut maka diperlukan langkah-langkah yang dituangkan dalam
beberapa tujuan khusus, yaitu :
1. Menganalisis status emisi GRK Sektor Pertanian di Kabupaten Grobogan
Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi
melalui inventarisasi dan identifikasi kategori kunci (key categories analysis)
terhadap sumber-sumber emisi GRK dan perhitungannya serta menyusun BAU
baseline,
2. Menganalisis opsi-opsi mitigasi pada pengelolaan lahan sawah yang mungkin
dilakukan dengan pendekatan marginal abatement cost.

3
4

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :


1. Tersedianya data status emisi GRK sektor pertanian Kabupaten Grobogan dan
Tanjung Jabung Timur serta langkah-langkah dalam pembangkitan data
aktivitas yang diperlukan
2. Tersedianya informasi opsi-opsi mitigasi yang sesuai sebagai bahan masukan
terhadap pemerintah kabupaten/kota untuk penyusunan RAD-GRK

Ruang Lingkup Penelitian

Perpres No 61/2011 yang berisi tentang rencana kerja untuk penurunan


emisi GRK terdiri dari 5 sektor sebagai sasaran utama, hampir 90% sasaran
penurunan emisi yang direncanakan berasal dari sektor berbasis lahan, salah
satunya pertanian. Oleh karena itu, inventarisasi tingkat dan status emisi sektor
pertanian perlu dilakukan. Sektor pertanian menjadi korban, penyebab, dan solusi
bagi dampak perubahan iklim itu sendiri. Di satu sisi, pertanian berperan penting
terhadap ketahanan pangan, kesejahteraan masyarakat, dan sumber mata
pencaharian jutaan petani dengan berbagai keterbatasan. Di sisi lain, pertanian
rentan (vurnerable) terhadap perubahan iklim, penghasil emisi GRK meski relatif
kecil dan juga berpotensi mengurangi emisi GRK melalui upaya-upaya mitigasi.
Oleh sebab itu, pembangunan pertanian tidak hanya memprioritaskan upaya
adaptasi perubahan iklim, tetapi juga perlu berkontribusi dalam program mitigasi
melalui penerapan teknologi untuk meningkatkan penyerapan GRK (Indonesian
Climate Change Sectoral Roadmap, 2011). Berikut adalah tahapan dan tata cara
penyelenggaraan inventarisasi GRK nasional yang dikembangkan sesuai dengan
Inter-govermental Panel on Climate Change (IPCC) Guidelines,
1. Evaluasi inventarisasi GRK tahun sebelumnya (termasuk identifikasi sumber-
sumber GRK potensial). Tahapan ini bertujuan untuk mengidentifikasi hal-hal
yang harus diperbaiki dalam pelaksanan inventarisasi GRK tahun sebelumnya.
2. Identifikasi ketersediaan data dan analisis gap. Tahapan ini bertujuan untuk
menetapkan metodologi, termasuk menyiapkan template worksheet, form data
aktivitas dan faktor emisi.
3. Melakukan analisis kategori kunci, yaitu mengidentifikasi sumber/searapan
utama yang diperkirakan memberikan sumbangan yang besar terhadap total
emisi atau serapan GRK. Analisis ini diperlukan untuk menentukan skala
prioritas data apa yang perlu mendapatkan perhatian dalam proses
pengumpulannya sehingga menghasilkan inventarisasi GRK yang baik.
4. Pengumpulan data dilengkapi dengan form data aktivitas dan faktor emisi.
5. Penghitungan tingkat emisi GRK.
6. Melakukan analisis ketidakpastian.
Tahapan ini bertujuan untuk mendapatkan tingkat ketidakpastian untuk data
aktivitas dan faktor emisi serta serapan GRK.
7. Melakukan analisis kategori kunci dari hasil penghitungan tahun berjalan,
Tahapan ini bertujuan untuk menetapkan sumber-sumber emisi potensial
untuk keperluan inventarisasi GRK tahun berikutnya dan sebagai bahan
masukan penyusunan rencana mitigasi.

4
5

Berikut adalah gambaran atau skema dari alur pemikiran yang dilaksanakan dalam
penelitian ini

Perubahan Iklim

Konsentrasi GRK

Adaptasi Mitigasi

INDONESIA
Perpres 61/2011 RANGRK
Perpres 71/2011 INVENTORI

Energi AFOLU (90%) Industri Limbah

Key Category Analisys

Data Aktivitas

Penentuan Metode

Perhitungan Emisi GRK

Penyusunan BAU Baseline

Rencana Pembangunan Opsi Mitigasi

Ket : AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Use)


BAU (Business as Usual)
Gambar 1.2 Skema ruang lingkup penelitian

5
6

2 STATUS EMISI GRK SEKTOR PERTANIAN DI


KABUPATEN GROBOGAN DAN TANJUNG JABUNG
TIMUR

Pendahuluan

Lahan pertanian menyumbangkan emisi GRK melalui beberapa proses.


Proses-proses tersebut menurut IPCC 2006 adalah (i) emisi CH4 dari fermentasi
enterik pada ternak, (ii) emisi CH4 dan N2O dari pengelolaan kotoran ternak, (iii)
emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah, (iv) emisi CO2 akibat penggunaan pupuk
urea dan (v) emisi N2O langsung dan tidak langsung dari lahan yang dikelola
sebagai akibat dari input N. Dalam laporan Komunikasi Nasional Indonesia ke-2
hasil inventarisasi, disebutkan bahwa sektor pertanian secara keseluruhan
menyumbangkan sekitar 5% dari total emisi nasional pada tahun 2000.
Kegiatan inventarisasi di negara China bahkan sudah dimulai sejak tahun
1990an, hal ini sesuai yang dilaporkan oleh komunikasi Nasional terkait
Perubahan Iklim di China ( Initial National Communication on Climate Change of
China/INCCCC 2004 dalam Cao et al, 1995 dan Chen dan Bo Zhang, 2010)
bahwa tahun 1994 besaran emisi gas rumah kaca di China hasil inventarisasi
adalah 3650 Gg CO2e. Hasil penelitian Chen dan Bo Zhang 2007 (Chen dan Bo
Zhang, 2010), total gas rumah kaca di China tahun 2007 adalah sebesar 7456,12
Gg CO2e dengan emisi CH4 dari lahan padi sawah dan peternakan sebesar 831,45
Gg CO2e (atau sekitar 9% dari total). Emisi tersebut jauh lebih tinggi dari emisi
sektor terkait energi dari beberapa negara maju pada tahun inventori yang sama,
yaitu Inggris yang hanya sebesar 523 Gg CO2e, Kanada 572,9 Gg CO2e dan
Jerman 798,4 Gg CO2e. Hal ini menunjukkan bahwa di beberapa negara,
kontribusi sektor pertanian terhadap emisi GRK, patut diperhitungkan.
Hasil studi inventarisasi gas rumah kaca di negara Eropa, oleh Freibauer
tahun 2003 menyebutkan bahwa pada tahun 1995 besarnya emisi GRK kegiatan
pertanian di Eropa adalah sebesar 840±190 Gg N2O; 810±200 Gg CH4 dan
39.000±2.500 Gg CO2 dengan jumlah sumbangan sebesar 470.000±8.000 Gg
CO2e atau 11% dari emisi GRK secara keseluruhan. Hasil penelitian Neufeldt et
al, 2006 di German menunjukkan bahwa total emisi GRK dari lahan sawah adalah
lebih rendah ( 0,026 – 0,034 Gg CO2e/ha) dibandingkan dengan emisi dari
peternakan (0,052 – 0,053 Gg CO2e/ha ). Hal ini selaras dengan hasil penelitian
Weiss dan Leip, 2012 besarnya emisi GRK dari sektor pertanian, di antara negara
negara Uni Eropa tahun 2010, 80% adalah berasal dari kegiatan peternakan
(enterik fermentation, pengelolaan kotoran, produksi daging) yaitu sebesar
623.000 – 852.000 Gg CO2e.
Kegiatan inventarisasi GRK di Amerika Serikat tahun 1990-2008 seperti
dilaporkan dalam oleh USDA (United States Department of Agriculture) tahun
2011 menunjukkan hasil bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap emisi GRK
total di AS adalah sebesar 6% atau setara dengan 462.000 Gg CO2e yang berasal
dari peternakan, padang rumput dan lahan sawah. Kontributor emisi GRK
pertanian adalah emisi gas N2O dari pertanian tanaman pangan dan padang
rumput (214.000 Gg CO2e), emisi CH4 dari fermentasi enterik (141.000 Gg CO2e),

6
7

emisi CO2 dari penggunaan energi untuk kegiatan pertanian (72.000 Gg CO2e) dan
emisi CH4 dari pengelolaan kotoran (45.000 Gg CO2e).
Beberapa negara dengan tingkat konsumsi daging yang tinggi (seperti Uni
Eropa dan AS) cenderung memberikan sumbangan emisi GRK dari peternakan
yang tinggi. Sementara negara-negara Asia, seperti China dan Indonesia dengan
tingkat konsumsi beras yang tinggi, sumbangan emisi GRK dari lahan sawah akan
cenderung lebih tinggi.
Komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK-nya sebesar 26%
sampai tahun 2020 telah menjadi kegiatan wajib dengan disyahkannya Peraturan
Presiden (Perpres) No 61 tahun 2011 (Perpres 61, 2011) dan Peraturan Presiden
No 71 tahun 2011 (Perpres 71, 2011). Pelaksanaan Perpres 61/2011, melibatkan
keikutsertaan daerah secara aktif, karena dalam Perpres tersebut pemerintah
daerah diharuskan menyusun RAD Penurunan Emisi GRK. Masing-masing
daerah berkewajiban memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi secara
nasional. Perencanaan aksi-aksi untuk penurunan emisi GRK, perlu mengetahui
secara pasti besaran emisi dan serapan GRK, Berbagai perencanaan ditingkat
nasional telah dilakukan untuk mencapai target tersebut, akan tetapi partisipasi
daerahlah yang akan sangat menentukan.
Dalam skala global dan nasional, perhitungan besaran emisi telah banyak
dilakukan, baik dalam bentuk studi ilmiah maupun laporan nasional terkait status
emisi di suatu negara (Chen dan Bo Zhang, 2010). Kegiatan inventarisasi dalam
skala wilayah yang lebih sempit, diharapkan dapat memudahkan kompilasi dalam
skala wilayah yang lebih luas (Neufeldt et al, 2006), sehingga perencanaan
penurunan emisi dapat lebih tepat. Hal yang masih menjadi kendala utama dalam
inventarisasi GRK di Indonesia adalah ketersediaan data aktivitas. Pembangkitan
data aktivitas dalam skala kabupaten akan menjadi kunci dalam penyusunan basis
data di tingkat nasional untuk menghasilkan inventarisasi yang berkualitas.
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi pedoman bagi daerah dalam melakukan
kegiatan inventarisasi, dimulai dari pembangkitan data aktivitas, melakukan
perhitungan serta membandingkan estimasi emisi antara metode IPCC 2006 dan
modifikasi IPCC 2006 untuk Sektor Pertanian tahun 2006-2011. Metode IPCC
2006 adalah metode yang telah disepakati secara internasional untuk perhitungan
emisi GRK. Hasil perhitungan akan sangat berguna sebagai acuan dalam
penentuan aksi mitigasi yang akan dilakukan. Kabupaten Grobogan merupakan
salah satu kabupaten dengan luas lahan pertanian yang besar di Propinsi Jawa
Tengah, begitu juga Kabupaten Tanjung Jabung Timur di Propinsi Jambi.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status emisi GRK Sektor
Pertanian di Kabupaten Grobogan Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Tanjung
Jabung Timur Propinsi Jambi melalu inventarisasi dan identifikasi kategori kunci
(key categories analysis) terhadap sumber-sumber emisi GRK dan pendugaan
emisi N2O langsung dari tanah yang di kelola dengan metode IPCC 2006 dan
modifikasinya serta menyusun BAU baseline.
Perhitungan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola memerlukan
masukan data aktivitas berupa jumlah N anorganik dan organik yang dimasukkan
ke dalam tanah setiap tahunnya. Data aktivitas ini relatif sulit didapat dan harus
menggunakan perhitungan yang kompleks serta membangun asumsi-asumsi,
karena itu modifikasi metode IPCC 2006 pada persamaan perhitungan emisi N2O

7
8

langsung dari tanah yang dikelola, dilakukan untuk menyederhanakan dalam


pengumpulan data aktivitas dan juga perhitungannya.

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu


Penelitian ini dilaksanakan di 2 Kabupaten yaitu Kabupaten Grobogan
Propinsi Jawa Tengah mewakili ekosistem dengan tanah mineral dan Kabupaten
Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi mewakili ekosistem dengan tanah gambut.
Kedua kabupaten ini mempunyai areal pertanian terluas di Propinsi Jawa Tengah
dan Jambi. Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Jambi adalah 2 propinsi yang pada
awal tahun 2012 telah menerbitkan Peraturan Gubernur mengenai RAD GRK
yaitu Pergub Jambi No. 36 tahun 2012 dan Pergub Jateng No. 43 tahun 2012.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – Juni 2013.

Pengumpulan Data Aktivitas


Data aktivitas adalah besaran kuantitatif kegiatan atau aktivitas manusia
yang dapat melepaskan dan/atau menyerap GRK. Tahapan ini dilakukan dengan
mengumpulkan dan mempelajari hasil-hasil penelitian, data statistik dari BPS dan
laporan tahunan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah terutama data
aktivitas yang berhubungan dengan inventarisasi GRK sektor pertanian dan
upaya-upaya mitigasinya. Apabila data aktivitas tidak tersedia, maka survey dan
wawancara langsung untuk mendapatkan expert judgement bisa dilakukan. Data
aktivitas dan sumber-sumber emisi yang telah diperoleh kemudian ditabulasi.
Sektor pertanian mencakup beberapa sub-sektor yaitu pertanian tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan dan peternakan. Berikut adalah data aktivitas sektor
pertanian dan sumber datanya.

Tabel 2.1 Daftar data aktivitas dan sumber data

Data Aktivitas Sumber data


Luas panen sawah BPS (2006-2011), Dinas Pertanian
Jenis pengairan BPS (2006-2011), Dinas Pertanian
Jenis Varietas BPS (2006-2011), Dinas Pertanian
Jenis tanah Dinas Pertanian, hasil penelitian
Jumlah penggunaan bahan Dinas Pertanian, Perkebunan, expert
organik judgement
Jumlah/dosis pupuk Dinas Pertanian, Perkebunan, expert
judgement
Jenis Pupuk Dinas Pertanian, Perkebunan
Jumlah ternak BPS (2006-211), Dinas Pertanian,
Peternakan
Jenis ternak BPS (2006-2011), Dinas Pertanian,
Peternakan
Cara pengelolaan kotoran Dinas Peternakan, expert judgement
ternak

8
9

Metode Perhitungan
Penelitian ini menggunakan metode IPCC Guidelines 2006 dengan
pendekatan tier 1 dan 2. Tier 1 adalah penghitungan emisi GRK dengan
menggunakan persamaan dasar (basic equation) dan default EF (emission factor)
yang disediakan dalam IPCC Guidelines, sedangkan tier 2 merupakan metoda
yang lebih detail, persamaan yang sedikit kompleks, faktor emisi lebih spesifik
lokasi berdasarkan hasil-hasil penelitian.
Perhitungan emisi GRK meliputi emisi CH4 dari budidaya padi sawah, emisi
N2O dan CO2 dari pemupukan, emisi N2O dari pengelolaan tanah. Subsektor
peternakan yang dihitung adalah emisi CH4 dari sendawa ternak (enteric
fermentation) dan kotoran ternak serta emisi N2O dari pengelolaan kotoran. Emisi
N2O langsung dari tanah sawah irigasi selain dihitung dengan menggunakan
metode perhitungan IPCC 2006, juga menggunakan metode modifikasi IPCC
2006.

Perhitungan emisi dengan metode IPCC 2006 adalah sebagai berikut:

1. Pengelolaan lahan sawah (Rice cultivation)


Dekomposisi bahan organik secara anaerob di lahan sawah menimbulkan
emisi CH4 yang terlepas ke atmosfer melalui jaringan tanaman. Emisi CH4
tahunan dari sejumlah luas lahan tertentu di suatu wilayah merupakan fungsi dari
masa tanam dan umur tanaman padi. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap
emisi CH4 dari lahan sawah adalah jenis tanah, pengairan dan juga varietas padi
(IPCC, 2006). Persamaan untuk menduga emisi CH4 dari pengelolaan lahan
sawah di suatu wilayah adalah sebagai berikut :

Emisi CH4 = Σ (EF * t * A * 10^-6)*CF*SF

Dimana :
Emisi CH4 = emisi metan dari pengelolaan lahan sawah (Gg CH4/tahun)
EF rice = Faktor emisi metana dari lahan sawah (nilai lokal Indonesia adalah
1,61 kg CH4/ha/hari)
A = Luas panen (ha)
t = umur tanam padi (hari)
CF = faktor koreksi untuk jenis tanah dan varietas padi (jika tersedia)
SF = faktor skala untuk rejim pengairan (jika tersedia)

Faktor koreksi rejim pengelolaan air, jenis tanah dan sebagian varietas padi yang
umum digunakan disajikan pada Tabel 2.2, 2.3 dan 2.4. Faktor emisi default
dalam IPCC 2006 diperoleh dari hasil-hasil penelitian tentang sumber emisi
terkait di dunia.

9
10

Tabel 2.2 Faktor emisi dan faktor skala rejim air pengelolaan lahan sawah
1
SF (faktor skala) SF
(berdasarkan (berdasarkan
Kategori Sub-kategori Kisaran**
IPCC Guidelines riset di
1996) Indonesia)*
Dataran
Tidak ada 0
tinggi
Tergenang terus
1 1
menerus
Single
Irigasi 0,5 (0,2-0,7)
Pengairan Aeration
0,46 0,38-0,53
berselang Multiple
0,2 (0,1-0,3)
Dataran Aeration
rendah Rawan banjir 0,8 (0,5-1,0)
Tadah hujan 0,49 0,19-0,75
Rawan kekeringan 0,4 (0-0,5)
Kedalaman air 50-100
0,8 (0,6-1,0)
cm
Air dalam
Kedalaman air < 50 cm 0,6 (0,5-0,8)

Sumber : *Setyanto et al, 2011 dan 1 IPCC 2006


**angka kisaran merupakan nilai dari standart deviasinya

Tabel 2.3 Faktor koreksi jenis tanah pengelolaan lahan sawah


CF (faktor
koreksi) dari
Kategori Sub-kategori Kisaran
jenis tanah di
Indonesia*
Jenis tanah Inceptisol 1,12 1,0-1,23
Oksisol 0,29 0,1-0,47
Entisol 1,02 0,94-1,09
Vertisol 1,02 0,46-1,99
Alfisol 0,84 0,32-1,59
Histosol 2,39 0,92-3,86
Mollisol - -
Andisol 1,02 1,02
Ultisol 0,29 0,29
Sumber : Setyanto et al, 2002 (angka kisaran merupakan nilai standrat deviasinya)

10
11

Tabel 2.4 Faktor koreksi berbagai varietas padi di Indonesia

Rata-rata emisi Faktor


No Varietas
(kg CH4/ha/musim) koreksi

1 Gilirang 496,9 2,46


2 Fatmawati 365,9 1,81
3 Aromatic 273,6 1,35
4 Tukad Unda 244,2 1,21
5 IR 72 223,2 1,10
6 Cisadane 204,6 1,01
7 IR 64* 202,3 1,00
8 Margasari 187,2 0,93
9 Cisantana 186,7 0,92
10 Tukad Petanu 157,8 0,78
11 Batang Anai 153,5 0,76
12 IR 36 147,5 0,73
13 Memberamo 146,2 0,72
14 Dodokan 145,6 0,72
15 Way Apoburu 145,5 0,72
16 Muncul 127,0 0,63
17 Tukad Balian 115,6 0,57
18 Cisanggarung 115,2 0,57
19 Ciherang 114,8 0,57
20 Limboto 99,2 0,49
21 Wayrarem 91,6 0,45
22 Maros 73,9 0,37
23 Mendawak 255 1,26
24 Mekongga 234 1,16
25 Memberamo 286 1,41
26 IR42 269 1,33
27 Fatmawati 245 1,21
28 BP360 215 1,06
29 BP205 196 0,97
30 Hipa4 197 0,98
31 Hipa6 219 1,08
32 Rokan 308 1,52
33 Hipa 5 Ceva 323 1,60
34 Hipa 6 Jete 301 1,49
35 Inpari 1 271 1,34
36 Inpari 6 Jete 272 1,34
37 Inpari 9 Elo 359 1,77
Sumber : Hasil-hasil penelitian Balai Penelitian Lingkungan Pertanian dan
Konsorsium Perubahan Iklim (Tahun 2003, 2004, 2005, 2008, 2009)

11
12

2. Pemupukan urea
Penambahan urea pada lahan pertanian, menyebabkan terlepasnya CO2 yang
digunakan selama proses pembuatan urea tersebut di pabrik dan emisi ini dihitung
sebagai rosot di sektor industri. Urea (CO(NH)2)2) terlepas menjadi ammonium
(NH4+), ion hidroksil (OH-), dan bikarbonat (HCO3-) dengan adanya air dan
enzim urease. Pendekatan perhitungan emisi CO2 dari penggunaan pupuk urea di
suatu wilayah harus mengetahui terlebih dulu jumlah penggunaan urea
pertahunnya (data aktivitas) yang kemudian dikalikan dengan faktor emisi.
Persamaan untuk menghitungnya adalah sebagai berikut :

Emisi CO2 = (M x EF) x 44/12


Dimana :
Emisi CO2 = emisi karbondioksida dari penggunaan urea (tCO2/ha)
M = jumlah penggunaan urea (t/th)
EF = faktor emisi, tC/t urea

3. Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola (Direct N2O from managed
soil)

Penambahan input N ke dalam tanah, akan menyebabkan peningkatan


proses nitrifikasi-denitrifikasi yang kemudian meningkatkan pula emisi N2O.
Pendekatan perhitungan N2O langsung dari tanah yang dikelola, memerlukan
masukan data aktivitas jumlah seluruh pupuk N baik organik maupun anorganik
yang diaplikasikan di tanah pertanian, dan harus dibedakan antara penggunaan
untuk lahan kering dan lahan basah atau lahan sawah, hal ini dilakukan karena
faktor emisi N2O sebagai hasil proses nitrifikasi dan denitrifikasi, berbeda
besarannya antara yang dihasilkan di tanah dalam kondisi kering dan basah.
Persamaan untuk menghitungnya adalah sebagai berikut :

Direct N2O = (((FSN + FON)MS x EF1MS ) + ((FSN + FON)FRx EFFR)))x 44/28

Keterangan :
N2O langsung = emisi N2O langsung dari pupuk N anorganik yang diberikan pada
tanah dikelola dan lahan sawah irigasi (kg N2O/th)
FSNMS = jumlah pupuk N anorganik yang digunakan pada tanah dikelola (kg
N/th)
FONMS = jumlah pupuk organik N yang digunakan pada tanah dikelola (kg
N/th)
FSNFR = jumlah pupuk N anorganik yang digunakan pada tanah sawah irigasi
(kg N/th)
FONFR = jumlah pupuk N organik yang digunakan pada tanah sawah irigasi
(kg N/th)
EF1MS = faktor emisi N2O dari N yang digunakan pada tanah dikelola (kg
N2O-N/kg N input)
EF1FR = faktor emisi N2O dari N yang digunakan pada tanah sawah irigasi
(kg N2O-N/kg N input)

12
13

Tabel 2.5 Faktor emisi N2O langsung dari tanah dikelola (Default direct N2O
emission factor from managed soil)

Faktor emisi Satuan Nilai Kisaran


Input N untuk lahan kering kg N2O-N per N input 0,01 0,003-0,03
Input N untuk sawah irigasi kg N2O-N per N input 0,003 0,000-0,006
Sumber : IPCC 2006 (angka kisaran adalah nilai standart deviasi)

4. Emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola (Indirect N2O from
managed soil)

Perhitungan emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola, tidak perlu
membedakan penggunaannya di lahan kering maupun lahan sawah, karena
besarnya fraksi deposisi N yang tervolatilisasi hanya berbeda pada jenis pupuk N,
yaitu N anorganik dan organik. Pemberian pupuk N dalam tanah, selain secara
langsung menghasilkan N2O pada tanah yang ditambahkan pupuk N, juga
menghasilkan emisi N2O tidak langsung dari volatilisasi NH3 dan NOx dari tanah
yang kemudian gas-gas ini dan produknya yang berupa nitrat dan nitrit
diendapkan kembali ke dalam tanah dan air. Persamaan untuk menghitungnya
adalah sebagai berikut :

Emisi N2O = ((FSN x FracGASF) + (FON x FracGASM)) x EF4 x 44/28

Keterangan :
Emisi N2O = emisi N2O dari deposisi N yang divolatilisasi dari tanah (kg N2O/th)
FSN = jumlah pupuk N anorganik yang diberikan ke tanah ( kg N/th)
FracGASF = Fraksi pupuk N anorganik yang divolatilisasi menjadi NH3 dan NOx
FON = jumlah pupuk kandang yang diberikan ke tanah (kg N/th)
FracGASM = Fraksi pupuk N organik yang divolatilisasi menjadi NH3 dan NOx
EF4 = faktor emisi N2O dari N atmosferik tanah dan permukaan air
FracGASF = 0,10 dan FracGASM = 0,20

Tabel 2.6 Faktor emisi N2O tidak langsung dari tanah dikelola (Default
indirect N2O emission factor from managed soil)

Faktor emisi Satuan Nilai Kisaran


Dari deposit N pada tanah dan kg N2O-N per NH3-N 0,01 0,002-0,05
permukaan air + NOX-N
tervolaltilisasi
FracGasF volatilisasi dari pupuk kg N2O-N per NH3-N 0,1 0,03-0,3
sintetis + NOX-N per kg N
yang digunakan
FracGasF volatilisasi dari semua kg N2O-N per NH3-N 0,2 0,05-0,5
pupuk N organic + NOX-N per kg N
yang digunakan
Sumber : IPCC 2006

13
14

5. Emisi GRK dari kegiatan peternakan


Emisi GRK dari kegiatan peternakan berasala dari 3 sumber yaitu emisi
CH4 dari fermentasi enterik, emisi CH4 dari pengelolaan kotoran serta emisi N2O
dari pengelolaan kotoran. Perhitungan emisi dari peternakan tentu saja yang
paling utama adalah harus mengetahui jenis dan jumlah populasi ternak yang
kemudian dikalikan dengan faktor emisi masing-masing sumber.
Gas CH4 diproduksi oleh herbivora sebagai hasil samping dari proses
fermentasi enterik yaitu proses memecah karbohidrat oleh mikro-organisme
menjadi molekul yang lebih kecil agar mudah dicerna. Emisi CH4 yang
ditimbulkan terutama dipengaruhi oleh jenis alat pencernaan, umur dan jenis
pakan. Persamaan untuk menghitung emisi CH4 dari fermentasi enterik adalah
sebagai berikut :

CH4 Enterik = EF (T) x N(T) x 10-3

CH4 Enterik = emisi metana dari fermentasi enterik (tCH4/th)


EF (T) = faktor emisi fermentasi enterik dari jenis ternak tertentu (kg
CH4/ekor/th)
N(T) = jumlah populasi ternak tertentu di suatu wilayah

Tabel 2.7 Faktor emisi CH4 dari fermentasi enterik hewan

Faktor emisi CH4


No Jenis ternak
(kg/ekor/tahun)
1 Sapi pedaging 47
2 Sapi perah 61
3 Kerbau 55
4 Domba 5
5 Kambing 5
6 Babi 1
7 Kuda 18
Sumber : IPCC 2006

Penyimpanan kotoran hewan dalam kondisi anaerob akan menyebabkan


timbulnya emisi CH4 dan sebaliknya, apabila penyimpana secara aerob akan
menimbulkan emisi N2O. Perhitungan emisi CH4 lebih mudah dibandingkan
perhitungan emisi N2O-nya, karena data yang diperlukan hanyalah jumlah
populasi ternak dan faktor emisinya (default IPCC), sedangkan untuk perhitungan
emisi N2O, diperlukan juga data jumlah kotoran ternak dari jenis ternak tertentu di
suatu wilayah dan berapa fraksi kotoran yang disimpan dengan sistem
penyimpanan tertentu. Berikut ini adalah persamaan untuk menghitung emisi CH4
dan N2O dari pengelolaan kotoran ternak :

CH4 pengelolaan kotoran = EF (T) x N(T) x 10-3

CH4 pengelolaan kotoran = emisi metana dari pengelolaan kotoran (tCH4/th)

14
15

EF (T) = faktor emisi pengelolaan kotoran dari jenis ternak tertentu (kg
CH4/ekor/th)
N(T) = jumlah populasi ternak tertentu di suatu wilayah

Tabel 2.8 Faktor emisi CH4 dari pengelolaan kotoran ternak

Faktor emisi CH4


No Jenis ternak
(kg/ekor/tahun)
1 Sapi pedaging 1
2 Sapi perah 31
3 Kerbau 2
4 Domba 0,2
5 Kambing 0,22
6 Babi 7
7 Kuda 2,19
8 Ayam buras 0,02
9 Ayam ras 0,02
10 Ayam petelur 0,02
11 Bebek 0,02
Sumber : IPCC 2006

N2O Pengelolaan Kotoran = [ΣS [ΣT (N(T) x Nex(T) x MS(T,S))] x EF3(S) ] x 44/28

N2O pengelolaan kotoran = emisi N2O dari pengelolaan kotoran di suatu wilayah
(kg N2O/th)
N(T) = jumlah populasi ternak tertentu di suatu wilayah
Nex(T) = jumlah kotoran ternak per jenis ternak di suatu wilayah (kg N/ekor/th)
MS(T,S) = fraksi dari kotoran ternak yang disimpan dengan cara tertentu di suatu
wilayah
EF = faktor emisi N2O dari cara pengelolaan kotoran tertentu (kg N2O-N/kg
N pada cara pengelolaan tertentu)

Perhitungan emisi dengan metode IPCC 2006 untuk emisi N2O langsung dari
tanah dikelola

Modifikasi metode IPCC 2006 digunakan untuk menduga besaran emisi


N2O dari tanah sawah irigasi. Hal ini dilakukan untuk mempermudah
pengumpulan data aktivitas dan proses perhitungannya. Asumsi perhitungan bisa
didekati dengan cara yang sama seperti perhitungan emisi CH4 dari lahan sawah,
yaitu dengan menggunakan data aktivitas berupa luas lahan sawah, umur tanaman
serta faktor emisinya. Dalam hal ini, faktor emisi N2O langsung diperoleh dengan
cara yang sama faktor emisi CH4 dari lahan sawah, yaitu dengan mengkompilasi
berbagai data hasil penelitian mengenai emisi N2O dari tanah sawah irigasi di
Indonesia dengan berbagai macam cara budidaya dan kemudian mencari reratanya.

15
16

Hasil perhitungan dengan metode ini dibandingkan dengan hasil perhitungan


menggunakan persamaan IPCC 2006. Berikut adalah persamaan modifikasinya :

Emisi N2O langsung dari tanah dikelola = ((FSN + FON)MS x EF1MS x 44/28)+(A
x EFN2O)

A = luas panen sawah irigasi (ha),


EF N2O = faktor emisi N2O dari tanah sawah irigasi (0,0027 kg N2O/ha/hari
atau sama dengan 0,297 kg N2O/ha/musim (Setyanto et al, 2011) dengan asumsi
rerata umur tanam adalah 110 hari)

Setelah dipeoleh besaran emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola dengan
metode IPCC 2006 dan modifikasinya, maka untuk melihat apakah ada perbedaan
antara 2 metode perhitungan tersebut adalah dengan menggunakan uji t pada taraf
kepercayaan p=0,05. Uji t ini biasa digunakan untuk menentukan perbedaan
masing-masing nilai tengah dari hasil 2 pengukuran yang berbeda.

Tabel dibawah ini adalah beberapa istilah yang terdapat dalam metode
perhitungan emisi GRK dengan IPCC 2006 :

FSNMS : Synthetic N fertilizer applied to manage soil


FONMS : Organic N fertilizer applied to manage soil
FSNFR : Synthetic N fertilizer applied to flooded rice
FONFR : Organic N fertilizer applied to flooded rice
FracGASF : fraction of syinthetic fertilizer N that volatilizes as NH3 and NOx
FracGASM : fraction of applied organic N fertilizer material that volatilizes as NH3 and
NOx

Hasil

Karakteristik Wilayah

Kabupaten Grobogan
Kabupaten Grobogan secara geografis terletak di provinsi Jawa Tengah
dengan posisi 110º15’ BT - 111º25’ BT dan 7º LS - 7º30’ LS dengan landform
berupa daerah pegunungan kapur, perbukitan dan dataran di bagian tengahnya.
Wilayahnya terletak di antara dua Pegunungan Kendeng yang membujur dari arah
barat ke timur, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Semarang dan
Demak, sebelah utara dengan Kabupaten Kudus, Pati dan Blora. Sebelah timur
dengan Kabupaten Blora serta sebelah selatan dengan Kabupaten Ngawi, Sragen
dan Boyolali. Secara administratif terdiri dari 273 desa dan 7 kelurahan yang
tersebar di 19 kecamatan dengan ibu kota kabupaten di Purwodadi.

16
17

Kabupaten Grobogan memilki luas wilayah 197.586 km² dengan bentang


dari barat ke timur sejauh 83 km, sedangkan dari utara ke selatan sejauh 37 km.
Wilayahnya merupakan pegunungan kapur dan perbukitan serta dataran rendah di
bagian tengahnya:
1. Daerah dataran rendah berada pada ketinggian sampai 50 meter di atas
permukaan air laut dengan kelerengan 0o-8o meliputi 6 kecamatan yaitu
Kecamatan Gubug, Tegowanu, Godong, Purwodadi, Grobogan sebelah selatan
dan Wirosari sebelah selatan.
2. Daerah perbukitan berada pada ketinggian antara 50-100 meter di atas
permukaan air laut dengan kelerengan 8o-150o meliputi 4 kecamatan yaitu
Kecamatan Klambu, Brati, Grobogan sebelah utara dan Wirosari sebelah utara.
3. Daerah dataran tinggi berada pada ketinggian 100-500 meter di atas permukaan
air laut dengan kelerengan lebih dari 15o, meliputi wilayah kecamatan yang
berada di sebelah selatan dari wilayah Kabupaten Grobogan.
Kabupaten Grobogan merupakan kabupaten yang tiang penyangga
perekonomiannya berada pada sektor pertanian dan merupakan daerah yang
cenderung cukup sulit mendapatkan air bersih. Hasil laporan statistik tahunan
(BPS, 2010) menyebutkan bahwa luas wilayah Kabupaten Grobogan seluruhnya
adalah 197.586 ha yang terdiri dari sawah seluas 64.790 ha dimana 20.278 ha
diantaranya atau 1/3 adalah sawah tadah hujan, perkebunan rakyat seluas 5.190 ha,
hutan nasional seluas 68.633 ha dan sisanya adalah penggunaan lainnya
(pemukiman, padang gembala, serta tambak/kolam).

Kabupaten Tanjung Jabung Timur


Kabupaten Tanjung Jabung Timur terbentuk berdasarkan Undang-undang
No. 54 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 14 Tahun 2000 dengan luas 5.445 km2
atau 10,2 % dari luas wilayah Propinsi Jambi, namun sejalan dengan berlakunya
undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil, luas wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur termasuk
perairan dan 30 pulau kecil (termasuk pulau berhala, 11 diantaranya belum
bernama) mencapai 13.102 km2 (BPS, 2010). Disamping itu, memiliki panjang
pantai sekitar 191 km atau 90,5 % dari panjang pantai Propinsi Jambi. Kabupaten
Tanjung Jabung Timur yang terletak di pantai timur Pulau Sumatera ini
berbatasan langsung dengan Propinsi Kepulauan Riau dan merupakan daerah
hinterland segitiga pertumbuhan ekonomi Singapura-Batam-Johor (SIBAJO).
Kabupaten ini di sebelah utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan,
sebelah selatan berbatasan dengan Kab. Muaro Jambi dan Prov. Sumatera Selatan,
sebelah barat berbatasan dengan Kab. Tanjung Jabung Barat dan Kab. Muaro
Jambi dan sebelah timur berbatasan dengan Laut Cina Selatan.
Secara administratif Kabupaten Tanjung Jabung Timur dengan Ibukota
Muaro Sabak terdiri dari 11 Kecamatan, 73 Desa dan 20 Kelurahan. Topografi
daerah pada umumnya adalah dataran rendah yang terdiri dari rawa/gambut
dengan permukaan tanah banyak dialiri pasang surut air laut. Menurut laporan
statistik tahunan (BPS, 2011) luas keseluruhan kabupaten ini adalah sekitar
270.000 ha yang terdiri dari sawah 29.594 ha (26.160 ha merupakan sawah pasang
surut), perkebunan rakyat 101.000 ha, perkebunan besar 48.514 ha dan
penggunaan lainnya.

17
18

Data Aktivitas dan Faktor Emisi

Pengumpulan data aktivitas adalah bagian terpenting dalam melakukan


kegiatan inventarisasi GRK. Data aktivitas sektor pertanian adalah satuan kegiatan
manusia di bidang pertanian yang diperkirakan menimbulkan emisi GRK, seperti :
jumlah dan jenis ternak, pengelolaan kotoran ternak, luasan tanam padi sawah,
jenis irigasi, pertanaman di lahan kering, penggunaan pupuk, dan lain sebagainya.
Data seperti ini sebagian sudah tersedia dan tercatat di dinas terkait yaitu Dinas
Pertanian maupun Badan Pusat Statistik. Akan tetapi, beberapa data seperti cara
pengelolaan kotoran ternak, jumlah pupuk urea atau N dalam setahun baik pada
lahan sawah maupun lahan kering, dan luas penggunaan varietas padi tertentu,
kebanyakan belum tercatat dengan baik.
Pada kasus jumlah pupuk N, umumnya data yang tercatat adalah realisasi
pupuk musiman dari distributor terutama untuk tanaman pangan, sementara untuk
perkebunan tidak tersedia. Untuk mendapatkan jumlah pupuk N dalam setahun,
diperoleh dengan mengalikan luas tanam masing-masing pertanaman dengan
dosis rekomendasi. Data mengenai bentuk pengelolaan kotoran ternak dan luas
varietas padi yang digunakan juga tidak tercatat, oleh karena itu dilakukan survei
langsung ke lapang dan wawancara dengan petugas lapang ataupun petani.
Luas panen lahan sawah dihitung dengan mengalikan luas tanam dengan
masa tanamnya. Masing-masing luas tanam sawah, sudah terbagi ke dalam
beberapa jenis pengairan (irigasi teknis, setengah teknis, sederhana, tadah hujan
maupun pasang surut (khusus di Tanjung Jabung Timur). Luas panen sawah
Kabupaten Grobogan hampir 3 kali lipat Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Tabel
2.9). Lebih dari 80% luas panen Tanjung Jabung Timur adalah di lahan pasang
surut dengan jenis tanah gambut. Selain luas panen sawah dan jenis pengairan,
data aktivitas yang dikumpulkan juga yaitu penggunaan varietas padi. Di
Kabupaten Grobogan, tahun 2006 varietas padi yang dominan dibudidayakan
yaitu IR64 (57%) dan ciherang (41%) dengan 2% adalah varietas lain. Mulai
tahun 2010, ciherang menjadi yang paling dominan yaitu sebesar 87%, sedangkan
IR 64 hanya 7% dan varietas lain 6%. Di Tanjung Jabung Timur tahun 2006,
varietas yang dominan adalah IR 42 (hampir 80%) dan 20% adalah varietas lain.
Mulai tahun 2010, varietas Batanghari menjadi yang paling dominan,
Data aktivitas dan faktor emisi yang digunakan dalam perhitungan dapat
dilihat pada Tabel 2.9, 2.10 dan 2.11.

Tabel 2.9 Data aktivitas sub sektor pertanian


Pupuk N di lahan Pupuk N di lahan
Tahun Luas panen sawah (ha) sawah (t N/th) kering (t N/th) Pupuk Urea t/th
Grobogan Tanjabtim Grobogan Tanjabtim Grobogan Tanjabtim Grobogan Tanjabtim
2006 100.707 32.775 11.653 3.675 31.746 24.514 80.102 55.322
2007 99.933 34.043 11.895 3.740 34.980 28.508 77.842 62.354
2008 101.475 33.769 12.964 3.848 39.969 27.465 79.930 60.424
2009 102.675 32.571 13.553 3.788 34.908 33.968 84.042 73.780
2010 107.915 29.848 14.640 3.566 27.607 36.896 74.233 79.215
2011 108.915 29.594 16.627 3.419 30.799 42.584 78.408 91.017

18
19

Tabel 2.10 Data aktivitas sub sektor peternakan Kabupaten Grobogan


Populasi Ternak (Ekor)
Jenis Ternak
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Sapi perah 388 332 335 335 336 426
Sapi potong 105.154 105.549 137.322 137.843 160.838 212.409
Kerbau 1.937 1.206 2.476 2.545 2.536 2.581
Kuda 722 589 488 494 489 484
Kambing 99.969 111.928 105.252 104.703 115.394 111.839
Babi 215 215 125 139
Domba 15.625 16.634 15.422 14.936 18.938 29.528
Ayam Buras 940.531 1.420.824 1.204.524 1.146.639 1.115.794 985.995
Ayam ras (petelur) 36.450 42.000 42.000 52.800 52.800 40.466
Ayam Ras
(pedaging) 1.064.800 300.000 264.500 278.000 297.097 200.965
Itik 94.872 102.102 64.617 103.041 102.945 83.412
Itik 84.489 92.697 64.617 92.650 92.650 83.412
Itik Manila 10.383 9.405 10.391 10.295
Angsa 2.312 5.317 4.785 5.331 5.462 2.775
Burung Puyuh 69.608 48.377 57.173 55.483 59.233 47.596
Kelinci 10.869 12.901 12.587 15.170 15.236 12.776

Tabel 2.11 Data aktivitas sub sektor peternakan Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Populasi Ternak (Ekor)
Jenis Ternak
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Sapi 8.746 9.742 10.225 11.458 13.327 13.627
Kerbau 449 451 458 530 178 197
Kambing 13.497 14.444 15.142 24.080 24.156 32.378
Domba 118 99 123 118 104 115
Ayam
kampung/buras 237.136 237.942 239.798 387.270 416.146 621.988
Ayam broiler 56.980 58.360 22.480 33.050 127.931 112.161
Itik 27.737 30.186 31.460 28.303 29.744 32.860

Faktor emisi untuk perhitungan emisi GRK dari pengelolaan lahan sawah,
menggunakan angka hasil berbagai penelitian mengenai emisi CH4 di Indonesia
yaitu 160,9 kg CH4/ha/musim, angka ini merupakan nilai rata-rata dari berbagai
hasil-hasil penelitian di Indonesia terkait emisi CH4 dari lahan sawah, dan sudah
digunakan dalam perhitungan emisi untuk Second National Commmunication
(Second Natcom, 2009). Selain faktor emisi, pada perhitungan emisi ini juga
digunakan faktor skala untuk rejim pengairan dan faktor koreksi untuk jenis tanah
dan varietas. Jenis pengairan di Kabupaten Grobogan yaitu irigasi terus menerus
(faktor skala = 1), irigasi berselang (faktor skala = 0,46), tadah hujan (faktor skala
= 0,49), sedangkan Kabupaten Tanjung Jabung Timur hanya ada tadah hujan dan
pasang surut (faktor skala = 0,6). Jenis tanah sawah di Kabupeten Grobogan
adalah termasuk dalam jenis tanah entisol (jenis tanah sawah umumnya di
Indonesia - Second Natcom) dengan faktor koreksi sebesar 1,02 (Setyanto et al,

19
20

2002). Kabupaten Tanjung Jabung Timur, jenis tanah sawah termasuk dalam
kategori histosol yaitu tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi (tanah
gambut) dengan faktor koreksi sebesar 2,39 (Setyanto et al, 2002). Faktor koreksi
ini diperoleh berdasarkan emisi CH4 rata-rata yang dihasilkan oleh masing-masing
jenis tanah. Sementara faktor emisi untuk emisi N2O langsung maupun tidak
langsung dan faktor emisi dari kegiatan peternakan masih menggunakan angka
default dari IPCC 2006 karena faktor emisi lokal Indonesia belum tersedia.

Tabel 2.12 Faktor emisi GRK sektor pertanian Kabupaten Grobogan dan Tanjung
Jabung Timur
Variabel Faktor Emisi Faktor Skala Faktor Koreksi

CH4 lahan sawah 160,9 kg/ha/musim*


Varietas padi IR 64 = 1*
Ciherang = 0,57*
Batanghari = 2,2*
IR 42 = 1,33*
Rejim air Irigasi terus menerus =1
Irigasi berselang = 0,46*
Tadah hujan = 0,49*
Pasang-surut = 0,6**
Jenis Tanah Entisol = 1,02*
Histosol = 2,39*
Emisi N2O langsung
(lahan kering) 0,01 kg N2O-N**
Emisi N2O langsung
(lahan sawah) IPCC 2006 0,003 kg N2O-N**
Emisi N2O (lahan sawah)
modifikasi IPCC 2006 0,297 kg/ha/musim*
Emisi N2O tidak langsung 0,01 kg N2O-N**
**Default value IPCC 2006
*hasil penelitian di Indonesia (Setyanto et al 2002;2011)

Emisi GRK
Emisi GRK dari sektor pertanian di Kabupaten Grobogan dan Tanjung
Jabung Timur dihitung dengan menggunakan worksheet IPCC 2006 tier 1. Data
aktivitas yang digunakan berasal dari data dinas terkait di daerah yang
dikombinasikan dengan data dari BPS dan beberapa dari expert judgement.
Beberapa asumsi juga digunakan dalam pembangkitan data aktivitas karena
keterbatasan data. Emisi dihitung secara detail dari tahun 2006-2011 yang
kemudian diproyeksikan sampai tahun 2020 sebagai gambaran BAU (business as
usual) baseline. Emisi dinyatakan dalam satuan jenis gas (Gg CH4, Gg N2O, Gg
CO2 dan Gg CO2e per tahun). Konversi ke dalam CO2-equivalen (CO2e) dengan
menggunakan nilai Global Warming Potential (GWP) yaitu 21 untuk CH4 dan
310 untuk N2O sesuai dalam IPCC Second Assesment Report ( IPCC SAR, 1996)
dan Standart Nasional Indonesia (SNI ISO 14064, 2009).

20
21

1. Emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah


Emisi GRK mempunyai variabilitas ruang dan waktu yang sangat tinggi,
terutama dari lahan pertanian. Emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah dihitung
dengan mengalikan luasan lahan sawah (ha) pada tahun 2006-2011 dengan faktor
emisinya. Tambahan perkalian dengan faktor skala jenis tanah dan varietas padi
serta faktor koreksi pengelolaan air dilakukan untuk mendapatkan data emisi yang
lebih akurat.
Emisi CH4 pengelolaan lahan sawah di Kabupaten Grobogan dari tahun
2006-2011 menunjukkan kecenderungan menurun dengan nilai sebesar 11,23;
11,17; 11,28; 11,28; 10,95 dan 10,51 Gg CH4/tahun (Gambar 2.1), sedangkan di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur menunjukkan pola yang meningkat dan
menurun dengan nilai sebesar sebesar 16,52; 17,21; 17,02; 16,43; 15,09 dan 15,65
Gg CH4/tahun (Gambar 2.1).

20 y = 0,1192x3 - 1,3446x2 + 4,1084x + 13,576


Emisi CH4 pengelolaan lahan sawah

R² = 0,9324
18
16
14
(Gg CH4/th)

12
10 y = -0,1216x + 11,499
8 R² = 0,5719 Tanjabtim

6 Grobogan

4 Poly. (Tanjabtim)
2 Linear (Grobogan)
0
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Gambar 2.1 Emisi CH4 pengelolaan lahan sawah di (Gg CH4/tahun): a)
Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur

2. Emisi CO2 dari penggunaan pupuk urea


Perhitungan emisi CO2 menggunakan data aktivitas pemakaian pupuk urea
total pada lahan pertanian baik lahan basah maupun kering. Faktor emisi yang
digunakan adalah default dari IPCC yaitu 0,2 CO2-C/kg Urea. Data penggunaan
urea di dapat dari Dinas Pertanian.
Emisi CO2 dari penggunaan pupuk urea di Kabupaten Grobogan dari tahun
2006-2011 menunjukkan kecenderungan yang relatif konstan yaitu sebesar 58,1;
57,1; 58,6; 61,6; 54,4 dan 57,5 Gg CO2/tahun (Gambar 2.2), sedangkan di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur menunjukkan kecenderungan meningkat secara
signifikan yaitu sebesar 40,6; 45,7; 44,3; 54,1; 58,1 dan 66,8 Gg CO2/tahun
(Gambar 2.2).

21
22

80
y = -0,2019x2 + 1,095x + 57,231
70
Emisi CO2 pemupukan urea (Gg CO2/th)

R² = 0,118

60

50

40 Tanjabtim
y = 5,0792x + 33,814
R² = 0,9268
30 Grobogan

20 Linear (Tanjabtim)

10 Poly. (Grobogan)

0
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Gambar 2.2 Emisi CO2 penggunaan pupuk urea (Gg CO2/tahun):di a) Kabupaten
Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur

3. Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola


Input N inorganik terutama adalah dari penggunaan pupuk N baik tunggal
maupun majemuk (urea, ZA, NPK). Perhitungan emisi N2O langsung dari tanah
yang dikelola, melibatkan semua jenis pertanaman, yaitu padi sawah dilahan
basah/irigasi dan semua pertanaman di lahan kering (palawija, hortikultura dan
perkebunan). Data aktivitas yang digunakan adalah konsumsi pupuk N. Dalam
metodologi IPCC 2006, besarnya emisi N2O langsung dari tanah dibedakan antara
lahan basah dan kering, hal ini dikarenakan emisi N2O dari lahan basah jauh lebih
kecil daripada emisi N2O dari lahan kering yang selalu dalam kondisi aerob. Oleh
karena itu, dalam perhitungan ini konsumsi pupuk N antar lahan sawah dipisahkan
dengan konsumsi N di lahan kering. Data penggunaan pupuk N (urea, ZA, NPK)
pada pertanaman tanaman pangan, hortikultura dan palawija di Kabupaten
Grobogan telah tersedia, akan tetapi untuk perkebunan tidak tersedia, karena itu
kemudian dibangun asumsi dengan menggunakan data luas lahan dan dosis
anjuran. Sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, data penggunaan pupuk
hanya tersedia secara global, karena itu dibangun asumsi dengan menggunakan
luas lahan masing-masing pertanaman dan dosis anjuran. Faktor emisi N2O dari
lahan kering menggunakan faktor emisi default dari IPCC yaitu 0,01 kg N2O-N/kg
N, sedangkan untuk lahan sawah irigasi menggunakan nilai 0,003 kg N2O-N/kg N.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa emisi N2O langsung dari tanah yang
dikelola di Kabupaten Grobogan tahun 2006-2011 menunjukkan pola sesuai
persamaan polynomial dengan nilai sebesar 0,55; 0,61; 0,69; 0,58 dan 0,56 Gg
N2O/tahun (Gambar 2.3), sedangkan di Kabupaten Tanjung Timur menunjukkan

22
23

pola yang meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun dengan nilai sebesar
0,40; 0,47; 0,45; 0,55; 0,60 dan 0,69 Gg N2O/tahun (Gambar 2.3).

0,80
y = 0,0048x3 - 0,0651x2 + 0,2513x + 0,3547
Emisi N2O langsung dari tanah yang

0,70 R² = 0,792

0,60
dikelola (Gg N2O/th)

0,50
0,40 y = 0,0545x + 0,3344 Tanjabtim
R² = 0,934
0,30 Grobogan
0,20 Linear (Tanjabtim)
0,10
Poly. (Grobogan)
0,00
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Gambar 2.3 Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola di (Gg N2O/tahun): a)
Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur

4. Emisi N2O tidak langsung dari tanah dikelola


Perhitungan emisi N2O tidak langsung, berdasarkan pada data aktivitas yang
sama dengan emisi N2O langsung, yaitu penggunaan pupuk sintetis buatan. Hanya
saja pada perhitungannya tidak membedakan penggunaan di lahan basah dan
kering. Fraksi N anorganik yang tervolatilisasi menggunakan nilai standar dalam
IPCC 2006 yaitu sebesar 0,1 yang berarti bahwa untuk setiap aplikasi pupuk N
anorganik 100% pada tanah, hanya 1% yang tervolatilisasi (Mosier, 1999) dan
faktor emisi N karena penguapan dan redeposisi adalah 0,01. Hasil perhitungan
menunjukkan emisi N2O tidak langsung di Kabupaten Grobogan tahun 2006-2011
menunjukkan pola polinomial dengan nilai 0,07; 0,08; 0,07; 0,08; 0,07 dan 0,08
Gg N2O/tahun (Gambar 2.4). Sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
menunjukkan pola meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun dengan nilai
sebesar 0,04; 0,05; 0,05; 0,06; 0,06 dan 0,07 Gg N2O/tahun (Gambar 2.4).

23
24

y = 0,0008x3 - 0,0078x2 + 0,0243x + 0,0548


Emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola 0,09 R² = 0,2514

0,08

0,07

0,06
Tanjabtim
(Gg N2O/th)

0,05
Grobogan
0,04 y = 0,0054x + 0,0377
R² = 0,9365 Linear
0,03 (Tanjabtim)
Poly. (Grobogan)
0,02

0,01

0,00
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Gambar 2.4 Emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola di (Gg
N2O/tahun): a) Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung
Jabung Timur

5. Emisi CH4 dari fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran ternak


Kegiatan peternakan menyumbangkan emisi GRK dari 3 sumber yaitu gas
CH4 dari fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran serta N2O dari pengelolaan
kotoran. Komposisi jenis ternak sangat menentukan jenis emisi yang dihasilkan.
Wilayah dengan jumlah ternak ruminansia (sapi, kerbau, domba, dll) yang besar
akan menyumbangkan emisi CH4 dari fermentasi enterik yang besar. Hal ini
masih menjadi semacam dilematik, karena seiring dengan kenaikan kebutuhan
daging yang terus meningkat, pengusahaan ternak-ternak besar menjadi sebuah
keharusan. Perhitungan emisi CH4 dari fermentasi enterik dengan menggunakan
data jenis dan jumlah ternak di masing-masing kabupaten, berat badan rata-rata
tiap jenis ternak dan faktor emisi CH4 untuk masing-masing jenis menggunakan
angka default dalam IPCC 2006. Kotoran ternak disini adalah termasuk urin dan
padatan. Faktor yang mempengaruhi pembentukan CH4 dalam hal ini adalah
jumlah kotoran yang dihasilkan dan porsi dari kotoran tersebut yang
terdekomposisi secara anaerob. Jumlah kotoran yang dihasilkan, tergantung dari
produksi kotoran tiap ternak dan jumlah ternak itu sendiri, dan porsi kotoran yang
terdekomposisi tergantung dari cara pengelolaan kotoran.
Hasil perhitungan menunjukkan besarnya emisi CH4 dari fermentasi enterik
dan pengelolaan kotoran ternak di Kabupaten Grobogan tahun 2006-2011
menunjukkan pola peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun dengan nilai
sebesar 6,69; 6,76; 6,80; 8,63; 8,67 dan 10,05 Gg CH4/tahun (Gambar 2.5 a),
demikian juga di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebesar 0,60; 0,66; 0,69; 0,81;
0,90 dan 0,96 Gg CH4/tahun (Gambar 2.5 b).

24
25

a)
12

pengelolaan kotoran (Gg CH4/th)


Emisi CH4 fermentasi enterik dan 10 y = 0,6962x + 5,4962
R² = 0,8718
8

0
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
b)
1,2
penegelolaan kotoran (Gg CH4/th)
Emisi CH4 fermentasi enterik dan

1,0 y = 0,0758x + 0,5022


R² = 0,9782

0,8

0,6

0,4

0,2

0,0
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Gambar 2.5 Emisi CH4 dari Fermentasi Enterik dan Pengelolaan kotoran di (Gg
CH4/tahun) a) Kabupaten Grobogan, b) Kabupaten Tanjung Jabung
Timur
6. Emisi N2O dari pengelolaan kotoran
Emisi N2O dari pengelolaan ternak menggambarkan emisi yang
dikeluarkan selama masa penyimpanan dan perlakuan pada kotoran ternak baik
padatan maupun cair, sebelum diaplikasikan sebagai pupuk pada lahan pertanian.
Besarnya emisi ini tergantung pada kandungan nitrogen dan karbon pada kotoran,
lama penyimpanan dan perlakuan. Perhitungan emisi N2O menngunakan data
jumlah dan jenis ternak di tiap kabupaten, nilai faktor emisi N2O menggunakan
angka default IPCC 2006, kemudian data berat badan ternak menggunakan rata-
rata berat badan masing-masing jenis ternak di Indonesia.
Hasil perhitungan menunjukkan besarnya emisi N2O dari pengelolaan
kotoran ternak di Kabupaten Grobogan tahun 2006-2011 menunjukkan pola yang
sama dengan emisi CH4-nya namun dengan nilai yang jauh lebih kecil yaitu

25
26

sebesar 0,159; 0,160; 0,166; 0,194; 0,194 dan 0,224 Gg N2O/tahun (Gambar 2.6
a). Sementara, di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebesar 0,016; 0,017; 0,018;
0,023; 0,025 dan 0,029 Gg N2O/tahun (Gambar 2.6 b).

a) 0,30
Emisi N2O pengelolaan kotoran

0,25
y = 0,0129x + 0,1377
0,20 R² = 0,8936
(Gg N2O/th)

0,15

0,10

0,05

0,00
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
b)
0,03
y = 0,0028x + 0,0115
R² = 0,9466
Emisi N2O penegelolaan kotoran (Gg

0,02
N2O/th)

0,01

0,00
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Gambar 2.6 Emisi N2O dari Pengelolaan kotoran di (a) Kabupaten Grobogan dan
(b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur

Total Emisi GRK


Emisi GRK dari 2 kabupaten dari berbagai sumbernya kemudian
dijumlahkan dengan sebelumnya mengalikan dengan nilai GWP (Global Warming
Potential) yaitu potensi pemanasan global suatu jenis gas disetarakan dengan

26
27

karbondioksida, 21 untuk gas CH4 dan 310 untuk gas N2O sehingga diperoleh
hasil secara total. Perhitungan total diperlukan untuk mengetahui tingkat emisi
tahunan. Emisi Kabupaten Grobogan menunjukkan kecenderungan yang
meningkat dari tahun ke tahun meski sangat kecil (±3-4%). Emisi pada tahun
2010 menunjukkan penurunan, hal ini disebabkan karena emisi dari masing-
masing sumber terutama yang berkaitan dengan lahan seperti pengelolaan lahan
sawah, emisi N2O langsung dan tidak langsung serta emisi CO2 pemupukan urea
juga mengalami penurunan yang disebabkan karena penurunan penggunaan pupuk
N anorganik, dan meningkat di tahun 2011 karena peningkatan yang cukup
signifikan pada populasi ternak. Sumber-sumber emisi GRK sektor pertanian dari
Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur disajikan pada Tabel 2.13 dan
2.14.
Emisi total Kabupaten Tanjung Jabung Timur juga menunjukkan
kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun, dengan rata-rata kenaikan
sebesar 5-6%. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan data aktivitas pada
masing-masing sumber emisi.

Tabel 2.13 Emisi GRK total Kabupaten Grobogan (Gg CO2e/tahun)

Sumber Emisi 2006 2007 2008 2009 2010 2011


N2O Langsung dari tanah dikelola 171,7 187,8 213,7 189,9 180,2 174,3
N2O tidak langsung dari tanah dikelola 21,9 25,9 21,1 25,8 22,4 25,8
CO2 pemupukan urea 58,7 57,1 58,6 61,6 54,4 57,5
Pengelolaan lahan sawah 235,9 234,6 237,0 237,0 230,0 220,8
CH4 fermentasi enterik dan
pengelolaan kotoran 140,5 141,9 142,8 181,2 182,0 211,1
N2O pengelolaan kotoran 49,3 49,7 51,4 60,2 60,3 69,3
Total 678,1 697,0 724,6 755,7 729,4 758,9

Tabel 2.14 Emisi GRK total Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Gg CO2e/tahun)

Sumber Emisi 2006 2007 2008 2009 2010 2011


N2O Langsung dari tanah dikelola 124,8 144,3 139,4 171,0 184,9 212,4
N2O tidak langsung dari tanah
dikelola 13,8 15,7 15,3 18,4 19,8 22,5
CO2 pemupukan urea 40,57 45,73 44,31 54,11 58,09 66,75
Pengelolaan lahan sawah 346,9 361,5 357,4 345,0 317,0 328,7
CH4 fermentasi enterik dan
pengelolaan kotoran 12,5 13,8 14,5 17,0 18,8 20,1
N2O pengelolaan kotoran 4,8 5,3 5,5 7,2 7,3 9,1
Total 543,4 586,3 576,4 612,8 606,3 650,7

Sumber emisi utama di Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur adalah
gas CH4 yang berasal dari 3 sumber yaitu pengelolaan lahan sawah, fermentasi
enterik pada ternak ruminansia dan pengelolaan kotoran ternak yaitu masing-
masing sebesar 55% dan 66% terhadap emisi total kabupaten. Sementara, gas N2O

27
28

yang berasal dari emisi langsung dan tidak langsung dari tanah yang dikelola serta
pengelolaan kotoran ternak berkontribusi sebesar 36% di Kabupaten Grobogan
dan 26% di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

a) CH4 N2O CO2 b) CH4 N2O CO2


9%
8%

26%

36% 55%
66%

Gambar 2.7 Kontribusi tiap jenis gas terhadap total emisi GRK a) Kabupaten
Grobogan, b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Jika dilihat kontribusi masing-masing sumber emisi GRK, maka emisi CH4 dari
pengelolaan lahan sawah adalah yang dominan di kedua kabupaten, yaitu sebesar
29% dan 50% terhadap emisi total wilayah tersebut tahun 2011 (Gambar 2.8)
N2O pengelolaan N2O Langsung dari
a) kotoran tanah dikelola
CH4 fermentasi 9% 23%
enterik dan
N2O tidak langsung
pengelolaan
dari tanah dikelola
kotoran
3%
28%

CO2 pemupukan
urea
8%
Pengelolaan lahan
sawah
29%
CH4 fermentasi N2O pengelolaan
b) enterik dan kotoran
pengelolaan 1%
kotoran N2O Langsung dari
3% tanah dikelola
32%

N2O tidak langsung


Pengelolaan lahan dari tanah dikelola
sawah 4%
CO2 pemupukan
50%
urea
10%

Gambar 2.8 Kontribusi masing-masing sumber emisi terhadap total emisi GRK
a) Kabupaten Grobogan, b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur

28
29

Penyusunan rencana aksi mitigasi, selain memerlukan informasi status


emisi, diperlukan juga baseline emisi hingga beberapa tahun ke depan yang telah
ditentukan. Hal ini penting untuk menentukan berapa target emisi yang akan
diturunkan. Proyeksi ke depan ini lazim disebut sebagai BAU (Business as Usual)
baseline, yaitu prakiraan tingkat emisi yang dihitung berdasarkan pada asumsi jika
tidak ada kegiatan mitigasi yang dilakukan menunjukkan kecenderungan kenaikan
secara linier dari tahun ke tahun (Gambar 2.9).

1000
900 BAU Baseline
y = 15,201x + 670,75
800
Total emisi (Gg CO2e/year)

R² = 0,9841
700
600 y = 19,348x + 529,74
R² = 0,9895
500
400
300
200
100
0
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
Gambar 2.9 BAU Baseline emisi GRK a) Kabupaten Grobogan dan , b)
Kabupaten Tanjung Jabung Timur

Perhitungan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola dengan persamaan
modifikasi IPCC 2006

Pada penelitian ini, estimasi emisi N2O dari lahan yang dikelola
menggunakan modifikasi IPCC 2006 hanya dikembangkan untuk lahan sawah.
Dengan penelitian lebih lanjut, modifikasi juga dapat digunakan untuk
menghitung emisi N2O dari lahan kering dengan pendekatan yang sama, yaitu luas
panen dikalikan dengan faktor emisinya. Selain itu, dengan penelitian lebih lanjut,
perhitungan dengan faktor skala jenis tanah dan rezim air mungkin bisa
ditambahkan juga seperti halnya pada emisi CH4 berdasarkan pada hasil-hasil
penelitian yang akurat. Perhitungan emisi N2O dari lahan yang dikelola (lahan
kering) masih sama seperti sebelumnya. Emisi N2O langsung dari tanah yang
dikelola adalah jumlah dari dua sumber emisi ini. Estimasi emisi N2O dengan
kedua pendekatan disajikan pada Tabel 2.15, sedangkan emisi total GRK dari
kedua pendekatan disajikan pada Tabel 2.16.

29
30

Tabel 2.15 Perbandingan emisi N2O langsung metode IPCC 2006 dan modifikasi

Emisi N2O Langsung (Gg CO2e)


Tahun IPCC 2006 Modifikasi IPCC
Grobogan* Tanjabtim Grobogan* Tanjabtim
2006 171,7 124,8 163,9 120,9
2007 187,8 144,3 179,6 142,6
2008 213,7 139,4 204,1 136,4
2009 189,9 171,0 179,4 167,4
2010 180,2 184,9 168,8 182,9
2011 174,3 212,4 160,0 210,8
*tidak berbeda nyata pada taraf uji t, p = 0,05

Tabel 2.16 Perbandingan total emisi GRK metode IPCC 2006 dan modifikasi

Total Emisi GRK (Gg CO2e)


Tahun IPCC 2006 Modifikasi IPCC
Grobogan* Tanjabtim Grobogan* Tanjabtim
2006 678,1 543,4 670,4 539,5
2007 697,0 586,3 688,8 584,6
2008 724,6 576,4 715,0 573,4
2009 755,7 612,8 745,3 609,1
2010 729,4 606,3 717,9 604,3
2011 758,9 659,6 744,5 657,9
*tidak berbeda nyata pada taraf uji t, p = 0,05

Pembahasan

Lahan pertanian menyumbangkan emisi GRK melalui beberapa proses


(Meijede et al, 2009) seperti telah disebutkan sebelumnya, proses tersebut adalah
emisi CH4 sebagai hasil dari fermentasi enterik pada ternak, emisi CH4 dan N2O
dari pengelolaan kotoran ternak, emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah, emisi
CO2 akibat pemupukan urea serta emisi N2O langsung dan tidak langsung pada
tanah yang dikelola sebagai akibat dari input N. Dalam laporan komunikasi
nasional Indonesia mengenai inventarisasi GRK nasional disebutkan bahwa
pertanian secara keseluruhan menyumbangkan sekitar 5% dari total emisi nasional
pada tahun 2000 dan meningkat menjadi 7% pada tahun 2005 (Second Natcom,
2010). Inventarisasi GRK memerlukan ketersediaan data aktivitas yang kompleks.
Dalam sistem basis data Indonesia, beberapa data aktivitias yang diperlukan tidak
terdokumentasikan dengan baik, karena itu untuk membangkitkan data aktivitas
diperlukan asumsi-asumsi.
Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur adalah kabupaten dengan
luas lahan pertanian terbesar di Propinsi Jawa Tengah dan Jambi. Dalam
penelitian ini pengumpulan data aktivitas dilakukan dengan cara survey ke dinas-

30
31

dinas terkait, BPS dan juga wawancara langsung dengan petani. Dengan
menggunakan data aktivitas sebagai dasar perhitungan besarnya emisi GRK,
maka semakin besar data aktivitasnya akan semakin besar pula emisi GRK yang
ditimbulkan. Hasil pengumpulan dan tabulasi data aktivitas Kabupaten Grobogan
untuk luas panen sawah menunjukkan kenaikan dari tahun ke tahun, sementara di
Tanjung Jabung Timur sebaliknya. Demikian berimbas pada penggunaan pupuk N
di lahan sawah yang menunjukkan pola yang sama. Akan tetapi sebaliknya
dengan penggunaan pupuk N di lahan kering, di Grobogan menunjukkan pola
yang menurun. sementara di Tanjung Jabung Timur meningkat. Populasi ternak-
ternak besar (sapi perah, sapi potong, kerbau, kambing, dll) di Grobogan dan
Tanjung Jabung Timur menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun ( Tabel 2.10
dan 2.11).
Laporan Komunikasi Nasional Indonesia kedua (Second Natcom, 2010)
menyebutkan bahwa besaran emisi nasional berdasarkan jenis gas, sektor
pertanian menyumbang 79,2 % N2O dan 21,5 % CH4. Emisi CH4 dari pertanian,
berasal dari 2 sumber utama yaitu pengelolaan padi sawah dan pengelolaan
kotoran ternak (IPCC, 2006). Dekomposisi anaerobik dari bahan organik tanah
pada lahan padi sawah irigasi menghasilkan gas metana (CH4) yang lepas ke
atmosfer terutama melalui tanaman. Besarnya gas CH4 yang teremisikan ke
atmosfer dari luasan lahan sawah irigasi dipengaruhi oleh umur tanaman, rejim air
sebelum dan selama penanaman, input bahan organik dan anorganik, jenis tanah,
suhu dan varietas padi (Cao et al, 1995). Data untuk menghitung besarnya emisi
CH4 dari lahan sawah berasal dari data luas lahan pertanian di masing-masing
kabupaten dari tahun 2006-2011 yang terbagi dalam beberapa jenis irigasi serta
musim tanam, dalam hal ini data sudah tersedia di dinas terkait. Faktor koreksi
jenis varietas dan jenis tanah serta faktor skala rejim pengairan sebagai faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah,
masing-masing sudah tersedia berdasarkan hasil kajian dan penelitian di Indonesia.
Kabupaten Grobogan dengan rata-rata luas lahan sawah hampir 2 kali lebih besar
dari Kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki emisi CH4 yang lebih rendah hal
ini disebabkan karena di Grobogan sekitar 1/3 luasan lahan sawah adalah lahan
tadah hujan dimana pengairannya hanya tergantung hujan sehingga lahan tidak
selalu tergenang (faktor skala rejim pengairan lebih kecil) bahkan cenderung
kering. Sementara di Tanjung Jabung Timur sekitar 98% lahan sawah merupakan
lahan pasang surut dengan jenis tanah gambut dimana emisi CH4 dari jenis tanah
ini adalah 2 kali lipat lebih besar dari tanah mineral (faktor koreksi jenis tanah
gambut lebih besar hampir 2x lipat faktor koreksi jenis tanah mineral - Setyanto et
al, 2002). Emisi di Kabupaten Grobogan dengan luas panen lahan sawah rata-rata
103.500 ha dalam 6 tahun (2006-2011) adalah sebesar 230 Gg CO2e/th. sementara
Kabupaten Tanjung Timur dengan luas panen lahan sawah rata-rata selama 6
tahun seluas 30.500 ha, menurut perhitungan menghasilkan emisi CH4 sebesar 330
CO2e/th.
Penambahan urea pada lahan sawah pada saat pemupukan menyebabkan
teremisikannya gas CO2 yang terbentuk pada saat proses pembuatan pupuk
tersebut di pabrik (IPCC, 2006). Urea (CO(NH2)2) terpecah menjadi ion
ammonium (NH4+), ion hidroksil (OH-) dan bikarbonat (HCO3-) pada saat
bereaksi dengan air dan enzim urease. Hal ini menyebabkan ion bikarbonat yang
terbentuk berubah menjadi CO2 dan air. Sumber GRK dari kategori ini perlu

31
32

dihitung karena besarnya CO2 yang berubah bentuk pada saat pembuatan urea di
pabrik, juga dihitung sebagai removal pada sektor industri. Besarnya emisi dari
sumber ini di Kabupaten Grobogan berada pada kisaran 54 – 61 Gg CO2/tahun
dan menunjukkan penuruan hingga tahun 2011. Hal ini disebabkan karena
penggunaan pupuk urea di sektor pertanian memang menurun seiring dengan
penurunan luasan lahan perkebunan. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS,
2011) luas perkebunan tahun 2008 adalah 16.118 ha dan turun menjadi 7.748 ha
pada tahun 2009 serta terus menurun sampai tahun 2011. Sementara di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur sebaliknya, menunjukkan kenaikan yang relatif signifikan
dari tahun ke tahun yang disebabkan karena perluasan areal perkebunan terutama
kelapa sawit yang menggunakan pupuk urea cukup besar. Berdasarkan BPS
(2011) luas perkebunan pada tahun 2006 adalah 98.435 ha dan bertambah luas
menjadi 150.172 ha pada tahun 2011.
Penggunaan pupuk urea dan pupuk mengandung N yang lain juga
berkontribusi terhadap gas N2O. Gas N2O diproduksi secara alami di dalam tanah
melalui proses nitrifikasi dan denitrifikasi (Bouwman, 1996; Jones et al, 2007).
Nitrifikasi adalah proses oksidasi ammonium menjadi nitrat oleh mikroba yang
terjadi dalam kondisi aerobik, sedangkan denitrifikasi adalah proses reduksi nitrat
menjadi gas nitrogen (N2) oleh mikroba dan terjadi dalam kondisi anaerobik. Gas
N2O merupakan gas yang terbentuk sebagai produk samping dari proses nitrifikasi.
Salah satu faktor penentu dari reaksi proses ini adalah ketersediaan N inorganik
dalam tanah (Mosier 1999, 2006). Emisi N2O dari tanah yang dikelola keluar
melalui 2 cara yaitu secara langsung dan tidak langsung.
Input N inorganik terutama adalah dari penggunaan pupuk N baik tunggal
maupun majemuk (urea, ZA, NPK). Perhitungan emisi N2O langsung dari tanah
yang dikelola melibatkan semua jenis pertanaman yaitu padi sawah dilahan
basah/irigasi dan semua pertanaman di lahan kering (palawija, hortikultura dan
perkebunan). Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola di Grobogan
menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dari 2006-2008 yaitu sebesar
171 menjadi 213 Gg CO2 e/th. Hal ini disebabkan karena meningkatnya pupuk N
yang diaplikasikan pada tanah. Tapi emisi ini cenderung menurun pada tahun
2008-2011 dengan jumlah 213-174 Gg CO2 e/th yang disebabkan karena adanya
penurunan signifikan pada areal perkebunan. Sementara di Tanjung Jabung Timur
tahun 2006-2011 menunjukkan peningkatan yang signifikan yaitu sebesar 124-
212 Gg CO2e/th. Hal ini karena peningkatan yang signifikan pada areal
perkebunan dari 98.435 ha di 2006 menjadi 150.172 ha pada tahun 2011.
Kenaikan ini terutama di perkebunan sawit, baik oleh perusahaan swasta atau
petani (BPS, 2011). Perkebunan kelapa sawit mengaplikasikan pupuk N yang
tinggi. Penggunaan urea dan pupuk lain yang mengandung N juga berkontribusi
terhadap emisi N2O.
Emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola melalui 2 jalur, yang
pertama yaitu volatilisasi N menjadi NH3 dan oksidasi N (NOx), serta deposisi
gas ini dan produk yang terbentuk yaitu NH4+ dan NO3- ke dalam tanah dan
permukaan air (IPCC, 2006; Glenn et al, 2012). Sumber N yang membentuk NH4+
dan NO3- bukan saja berasal dari tanah pertanian, tapi juga dari pembakaran bahan
bakar, pembakaran biomas dan proses industri. Maka dari itu, emisi N2O yang
dikeluarkan dari lahan pertanian adalah yang terkait dengan penggunaan pupuk
sintetis, pupuk organik dan penggunaan kotoran hewan sebagai pupuk. Jalur

32
33

kedua adalah proses leaching atau pencucian dan aliran dari lahan pertanian yang
telah dipupuk. Kehilangan nitrogen melalui proses pencucian pada umumnya
dalam bentuk nitrat (IPCC, 2006). Bentuk NO3- ini sangat mudah tercuci karena
selalu dalam keadaaan larut dalam tanah, tidak terikat dan tidak dapat membentuk
senyawa sukar larut. Hasil perhitungan menunjukkan emisi N2O tidak langsung di
Grobogan untuk tahun 2006-2011 berkisar 21,9-25,8 Gg CO2e/th ada
kecenderungan menurun pada tahun 2008 dan selanjutnya meningkat, hal ini agak
berbeda dengan kecenderungan pada emisi N2O langsung. Jika kembali dilihat
pada data aktivitas, perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan
kecenderungan pada penggunaan urea di lahan basah dan lahan kering. Pada
perhitungan emisi N2O tidak langsung, tidak ada perbedaan antara penggunaan
urea di lahan basah maupun kering, sementara untuk menghitung emisi N2O
langsung, hal ini dibedakan. Emisi N2O tidak langsung di Tanjung Jabung Timur
juga menunjukkan tren yang sama dengan emisi langsung yaitu meningkat secara
signifikan dari sebesar 13 menjadi 22,5 Gg CO2e.
Emisi GRK dari pengelolaan ternak ada 3 sumber yaitu emisi CH4 dari
fermentasi enterik, emisi CH4 dan N2O dari pengelolaan kotoran (Chadwick et al,
1999). Gas CH4 diproduksi oleh hewan herbivora sebagai produk samping dari
fermentasi yang terjadi didalam tubuhnya, dimana proses pencernaan karbohidrat
dipecah menjadi molekul-molekul oleh mikroorganisme supaya dapat diserap
dalam aliran darah (Chadwick et al, 1999; Freibauer, 2003; Liang et al, 2013).
Besarnya CH4 yang terbentuk dalam proses ini sangat tergantung pada jenis alat
pencernaan makanan dalam tubuh hewan, umur, berat badan serta kualitas dan
kuantitas pakannya. Sistem pencernaan sangat menentukan besarnya emisi CH4
yang dihasilkan. Ternak ruminansia memiliki ruang yang lebar, rumen pada
bagian depan dari alat pencernaannya yang memungkinkan fermentasi oleh
mikroba berlangsung secara intensif. Karena itu besarnya emisi CH4 dari
fermentasi enterik sangat dipengaruhi oleh jenis dan jumlah ternak-ternak
ruminansia. Data mengenai pengelolaan kotoran ternak tidak tersedia, karena itu
dilakukan wawancara dengan para ahli, seperti penyuluh maupun survey langsung
ke lapangan. Selain dari fermentasi enterik, emisi CH4 dari pengelolaan kotoran
juga dipengaruhi oleh jenis ternak. Hasil perhitungan menunjukkan emisi CH4
dari fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran di Grobogan untuk tahun 2006-
2011 menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan Selama tahun 2006-2011
yaitu dari 140 – 211 Gg CO2e/th hal ini disebabkan karena adanya peningkatan
populasi sapi potong dari 105.154 ekor menjadi 212.409 ekor. Sementara di
Tanjung Jabung Timur emisi CH4 hasil dari fermentasi enterik dan pengelolaan
kotoran untuk tahun 2006-2011 menunjukkan peningkatan yang signifikan yaitu
sebesar 13 menjadi 22 Gg CO2e/th juga karena adanya peningkatan signifikan
pada populasi sapi potong dari 8.746 ekor menjadi 13.627 ekor.
Emisi N2O dari pengelolaan ternak menggambarkan emisi yang dikeluarkan
selama masa penyimpanan dan perlakuan pada kotoran ternak baik padatan
maupun cair, sebelum diaplikasikan sebagai pupuk pada lahan pertanian (IPCC,
2006; Merino et al, 2011). Besarnya emisi ini tergantung pada kandungan
nitrogen dan karbon pada kotoran, lama penyimpanan dan perlakuan. Proses yang
menghasilkan gas N2O pada pengelolaan kotoran sama dengan pada tanah yang
dikelola, yaitu terbentuk pada proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Nitrifikasi
(proses oksidasi ammonia nitrogen menjadi nitrat nitrogen) adalah proses yang

33
34

sangat penting dalam penyimpanan kotoran. Nitrifikasi akan terjadi dalam kondisi
aerob selama penyimpanan kotoran. Nitrifikasi tidak akan terjadi pada kondisi
yang anaerob. Nitrit dan nitrat berubah bentuk menjadi N2O dan N2 pada proses
denitrifikasi secara alami pada kondisi anaerob. Rasio N2O/N2 akan meningkat
seiring dengan peningkatan kemasaman, konsentrasi nitrat dan penurunan
kelembaban. Produksi dan emisi N2O dari pengelolaan kotoran ternak, tergantung
pada ketersediaan nitrat maupun nitrit pada kondisi lingkungan anaerob yang
didahului oleh kondisi aerob untuk pembentukan oksida nitrogen. Sementara itu,
emisi dari pengelolaan kotoran sangat tergantung dari cara pengelolaan kotoran
itu sendiri. Di Kabupaten Grobogan maupun Tanjung Jabung Timur, pengelolaan
kotoran adalah secara dry lot yaitu system pengelolaan kotoran dengan cara
ditempatkan di ruang terbuka dan secara periodik dipindahkan (IPCC, 2006).
Hasil perhitungan menunjukkan besarnya emisi N2O dari pengelolaan kotoran
ternak di Grobogan pada tahun 2006-2011 cenderung meningkat setiap tahun dari
jumlah 49 menjadi 69 Gg CO2e/th. Peningkatan ini disebabkan karena
meningkatnya populasi sapi. kambing dan juga unggas (tabel data aktivitas).
Sementara di Tanjung Jabung Timur juga menunjukkan peningkatan yang
signifikan dari jumlah 4,8 menjadi 9,1 Gg CO2e/th dan hal ini disebabkan
peningkatan populasi sapi potong dan unggas (Tabel 2.9).

Metode modifikasi IPCC 2006 untuk pendugaan emisi N2O langsung dari
tanah yang dikelola

Emisi N2O menggunakan metode modifikasi adalah sekitar 4-6% lebih


rendah dibandingkan dengan metode asli sementara total emisi GRK
menggunakan metode modifikasi IPCC 2006 1 % lebih rendah dari hasil
perhitungan menggunakan metode IPCC 2006 atau tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan dengan uji t pada p=0,05. Perhitungan emisi N2O langsung dari
tanah yang dikelola dengan metode IPCC 2006, menggunakan input N anorganik
dan organik sebagai data aktivitas. Selain perhitungannya rumit, data aktivitas ini
sering tidak tersedia dan sulit diperoleh, sehingga perlu dilakukan modifikasi pada
perhitungan metode IPCC 2006. Modifikasi metode perhitungan ini baru
dilakukan untuk pendugaan emisi N2O dari lahan sawah dengan menggunakan
asumsi yang sama pada pendugaan emisi CH4. Seperti halnya emisi CH4, emisi
N2O juga merupakan hasil dari proses yang terjadi di dalam tanah, hanya berbeda
faktor yang mempengaruhinya.
Modifikasi ini dibuat untuk memudahkan dalam pengumpulan data
aktivitas. Dalam metode modifikasi ini, data aktivitas yang diperlukan sama
dengan emisi CH4 yaitu luas panen padi. Faktor emisi N2O langsung dari lahan
sawah diperoleh dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia terkait
emisi ini. Emisi N2O dari lahan sawah merupakan hasil dari proses nitrifikasi-
denitrifikasi dimana faktor-faktor yang berpengaruh terutama adalah ketersediaan
N organik maupun anorganik, selain itu juga dipengaruhi oleh suhu, jenis tanah,
kondisi lahan dan kondisi iklim. Karena itu, dengan adanya hasil-hasil penelitian
mengenai emisi N2O dari lahan sawah pada lahan dengan perbedaan takaran N
yang ditambahkan, jenis tanah, suhu, kondisi lahan dan iklim, akan bisa
digunakan sebagai faktor skala maupun faktor koreksi dalam pendugaan besaran

34
35

emisi ini. Apabila faktor ini tersedia, maka diikuti oleh input data aktivitas yang
sesuai, dan hal ini mungkin akan menjadikan perhitungan menjadi makin
kompleks. Akan tetapi dalam hal tidak tersedianya data aktivitas untuk besaran
input N masing-masing jenis lahan, maka metode modifikasi yang dikemukakan
dalam penelitian ini akan lebih mudah digunakan.

Simpulan

Inventarisasi GRK membutuhkan masukan data aktivitas yang sangat


komplek dan detail, untuk menghasilkan data status emisi GRK yang tepat.
Pembangkitan data aktivitas bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya
dengan melakukan wawancara langsung dengan para ahli, survey lapangan
maupun membangun asumsi.
Perhitungan status emisi GRK Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung
Timur yang merupakan 2 ekosistem pertanian yang sangat berbeda, menghasilkan
nilai emisi yang jauh berbeda pula meski sumber emisi utama adalah gas CH4 dari
pengelolaan lahan sawah. Sumber emisi GRK utama berdasarkan jenis gas di 2
kabupaten adalah gas CH4 yaitu > 50% (dalam CO2e). Total emisi GRK
Kabupaten Grobogan dengan metode IPCC 2006 adalah sekitar 678-758 Gg CO2e
dan diperkirakan akan terus meningkat mencapai angka 898 Gg CO2e di tahun
2020 jika tidak ada aksi mitigasi, sedangkan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
sekitar 543-659 Gg CO2e dan mencapai angka 820 Gg CO2e tahun 2020. Total
emisi GRK Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur dengan modifikasi
metode IPCC 2006 adalah sebesar 670-744 Gg CO2e and 540-658 Gg CO2e.
Hasil perhitungan emisi GRK total di 2 kabupaten dengan metode IPCC
2006 dan modifikasinya hanya berbeda sekitar 1% (tidak berbeda nyata dengan uji
t pada taraf p=0,05).

35
36

3 BIAYA PENGURANGAN (MARGINAL ABATEMENT COST)


EMISI GRK

Pendahuluan

Sektor pertanian secara langsung berkaitan dengan isu perubahan iklim


dalam aspek lingkungan, ekonomi dan sosial dan dianggap sebagai sektor yang
paling rentan terhadap perubahan iklim itu sendiri. Di satu sisi, kegiatan adaptasi
adalah kunci keberhasilan sektor pertanian dalam menghadapi perubahan iklim
dan mempertahankan keamanan pangan, baik pada skala global, nasional maupun
daerah. Di sisi lain, pertanian menyumbang sekitar 14% pada skala global dan
7% pada skala nasional (Second Natcom, 2010). Sebagai sektor kunci dalam
pemenuhan kebutuhan pangan, emisi sektor pertanian diperkirakan akan terus
meningkat sampai tahun 2030 seiring dengan peningkatan kebutuhan pangan.
Untuk mengatasi hal ini. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk
menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020. Target untuk sektor
pertanian adalah sebesar 8 Gg CO2e.
Teknologi mitigasi GRK untuk pertanian telah banyak dihasilkan, baik di
tingkat global (DeAngelo et al, 2006; Verge et al, 2007) maupun nasional
(Setyanto et al, 2005; Setyanto et al, 2011). Selain itu, banyak estimasi yang
mengindikasikan bahwa beberapa opsi mitigasi dari pertanian relatif lebih rendah
biaya dan menghasilkan keuntungan yang signifikan dalam peningkatan produksi
dibandingkan dengan sektor yang lain (Smith et al 2006, 2008; Beach et al, 2008;
MacLeod et al, 2010). Penggunaan pendekatan biaya pengurangan atau marginal
abatement cost (MAC) ini diperlukan untuk membuat pilihan terhadap opsi
mitigasi yang sesuai. Pendekatan MAC adalah besarnya tambahan biaya yang
diperlukan untuk menurunkan emisi GRK sebesar 1 t CO2e hingga kurun waktu
tertentu. Analisis MAC memungkinkan untuk melakukan evaluasi terhadap
strategi untuk mengurangi GRK terhadap beberapa skenario referensi yang
meliputi biaya maupun manfaat yang diterima. Konsep ini telah banyak
dikembangkan selama 20 tahun terakhir (Beach et al, 2008). Pada awalnya konsep
ini digunakan oleh perusahaan untuk menentukan pilihan teknologi pengurangan
polutan atau limbah dalam jumlah besar dengan biaya yang paling rendah.
Demikian pula dalam konteks perubahan iklim, pendekatan ini kemudian
dikembangkan untuk melakukan analisis ekonomi terhadap pilihan aksi mitigasi
GRK.
Secara umum, analisis MAC digunakan untuk menilai potensi ekonomi
sektor pertanian dalam pengurangan emisi GRK (MacLeod et al, 2010; Moran et
al, 2011). Analisis ini menyediakan opsi mitigasi GRK, di mana opsi tersebut
merupakan tambahan untuk kegiatan mitigasi yang diharapkan akan diberikan
pada skenario 'business as usual' (Moran et al, 2011). MAC menghasilkan
kuantifikasi besarnya emisi GRK yang dapat dikurangi dengan berbagai opsi
mitigasi dan mengurutkannya sesuai dengan biaya marjinal yang dibutuhkan.
Analisis MAC ini bersifat tidak tetap dan akan berubah dari waktu ke waktu
seiring teknologi baru menjadi lebih banyak tersedia dengan biaya yang lebih
rendah atau berkembangnya kondisi agronomi dan sosial-ekonomi.

36
37

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan konsep MAC


dalam konteks perubahan iklim, McKinsey & Company (2008, 2009) dan United
States Environmental Protection Agency (USEPA) melakukan analisis ini untuk
pengurangan emisi semua sektor di USA, Asian Development Bank melalui Asia
Least-cost Greenhouse Gas Abatement Strategy (ADB, 1998) dan Dewan
Nasional Perubahan Iklim (DNPI, 2009) membuat analisis ini untuk semua sektor
di Indonesia. Untuk sektor pertanian, pendekatan ini mulai digunakan sekitar
tahun 2000 dengan menggunakan pendapat secara kualitatif (Weiske 2005,2006)
dan beberapa penelitian empiris telah dilakukan di USA dan Uni Eropa (Beach et
al, 2008; Macleod et al, 2010; Vermont dan DeCara, 2010; De Cara et al, 2011).
Menurut Beach et al (2008), Neudfeldt et al (2006) dan USEPA (2005)
sektor pertanian mempunyai tantangan yang unik dalam mengembangkan
perkiraan biaya mitigasi GRK pada skala regional dan internasional. Pertama,
pada sektor pertanian terdapat tingkat keberagaman spasial dan temporal yang
tinggi terkait kondisi biofisik dan manajemen, sehingga menimbulkan
keberagaman emisi GRK yang dihasilkan, dan hal ini jarang menjadi perhatian.
Kedua, banyak kegiatan pertanian yang mengemisikan beberapa jenis GRK dan
banyak juga interaksi yang sangat kompleks didalamnya. Ketiga, terdapat
kekurangan pada data biaya yang spesifik tiap daerah, dimana dengan data
tersebut bisa digunakan untuk memperkirakan implikasi secara ekonomi apabila
sebuah aksi mitigasi GRK diterapkan terutama yang terkait perubahan input,
penerimaan maupun tenaga kerja. Keempat, sulitnya memperkirakan berapa besar
tingkat adopsi terhadap sebuah aksi mitigasi dengan pemberian insentif, atau
melakukan penyuluhan langsung yang bertujuan untuk pengurangan emisi GRK,
mengingat informasi dan hambatan budaya yang berbeda di tiap daerah.
Keberagaman tersebut memungkinkan teknologi mitigasi yang berbeda dapat
diterapkan pada sistem pertanian yang berbeda pula dengan biaya dan keuntungan
ekonomi maupun dampak lingkungan yang berbeda.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis opsi-opsi mitigasi pada
pengelolaan lahan sawah yang mungkin dilakukan menggunakan pendekatan
MAC dengan beberapa langkah, yaitu: penentuan teknologi mitigasi, potensi
penurunan emisi serta tambahan biaya yang diperlukan pada berbagai teknologi
mitigasi dengan menggunakan data biaya yang spesifik lokasi, menyusun kurva
MAC sehingga diharapkan dapat membantu daerah dalam memilih opsi mitigasi
dengan biaya rendah dan potensi penurunan emisi yang besar. Analisis ini
dilakukan secara bottom-up yaitu berdasarkan pada hasil-hasil pengukuran di
lapang pada berbagai sistem penggunaan lahan yang beragam (abatement rate)
serta biaya yang berlaku setempat, kemudian hasilnya digunakan pada skala yang
lebih luas untuk mewakili suatu wilayah dengan sistem penggunaan lahan tertentu.
Potensi penurunan emisi dan biaya yang diperlukan di suatu wilayah akan berbeda
dengan wilayah yang lain terutama untuk sektor pertanian. Dengan pendekatan ini
diharapkan dapat mengakomodasi keberagaman potensi penurunan emisi dan
biaya tersebut (Moran et al, 2010).

37
38

Bahan dan Metode

Bahan
Bahan yang diperlukan pada penelitian ini adalah data biaya penerimaan
usahatani di Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur tahun 2011 yang
diperoleh dari dinas terkait serta publikasi-publikasi terkait teknologi mitigasi
GRK dari lahan sawah.

Metode
1. Menyusun proyeksi BAU baseline sampai periode waktu tertentu sesuai yang
di skenariokan seperti disusun pada bab 2.
2. Pengumpulan dan penyaringan terhadap teknologi-teknologi mitigasi GRK dari
lahan sawah dari beberapa hasil penelitian yang telah ada.
3. Menghitung abatement cost (Rp/tCO2e) untuk masing-masing aksi mitigasi
dalam poin 2
a. Dengan menggunakan data biaya dan penerimaan riil usahatani sebagai
BAU baseline biaya dan penerimaan
b. Menghitung prakiraan biaya dan penerimaan usahatani untuk masing-
masing aksi mitigasi
c. Biaya yang diperhitungkan dalam penelitian hanya biaya tenaga kerja,
biaya input produksi dan sewa lahan, sementara biaya – biaya sosial,
pajak dan bahan bakar selama proses usahatani belum diperhitungkan
d. Menentukan tingkat diskonto (discount rate) yaitu sebesar 8 % yang
merupakan suku bunga nyata untuk negara-negara berkembang dan
banyak digunakan oleh World Bank dalam analisis ekonominya
(Sathaye, 1995)
e. Menghitung abatement cost dengan pendekatan Net Present Value
(NPV) seperti yang digunakan dalam International Energy Agency
(IEA, 2009) dan Food & Agricultural Organization (FAO, 2010)
𝑇
𝐶𝑡
NPV = � − 𝐶0
(1 + 𝑟)𝑡
𝑡=1

Ct = cash flow atau aliran kas yang diterima tiap tahun


C0 = Investasi awal
R = tingkat diskonto (discount rate)
T = durasi proyek

𝑁𝑃𝑉 𝑚𝑖𝑡𝑖𝑔𝑎𝑠𝑖 − 𝑁𝑃𝑉 𝐵𝐴𝑈


MAC =
𝐸𝑚𝑖𝑠𝑖 𝐺𝑅𝐾 𝐵𝐴𝑈 − 𝐸𝑚𝑖𝑠𝑖 𝐺𝑅𝐾 𝑚𝑖𝑡𝑖𝑔𝑎𝑠𝑖

4. Menghitung abatement potential (AP) yaitu besarnya GRK yang dapat


dikurangi per tahunnya dengan persamaan :

𝐴𝑅 = 𝐴𝑅 𝑥 𝑙𝑢𝑎𝑠𝑎𝑛 𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑝𝑜𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑑𝑖𝑙𝑎𝑘𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑚𝑖𝑡𝑖𝑔𝑎𝑠𝑖

AP = besarnya GRK yang dapat dikurangi tiap tahunnya

38
39

AR = abatement rate yaitu besarnya GRK yang dapat dikurangi per


hektar lahan

Perhitungan ini berdasarkan pada asumsi bahwa sekali aksi mitigasi


dilakukan, maka akan berlangsung sampai kurun waktu yang telah
ditentukan dalam skenario.
5. Perhitungan abatement rate juga dilakukan untuk interaksi antara 2
teknologi mitigasi.
6. Menentukan tingkat kemungkinan adopsi dari masing-masing aksi
mitigasi pada 4 kategori berdasarkan pada Moran et al, (2010) dan Mac
Leod et al, (2010) sebagi berikut :
a. Maximum technical
b. High feasibility
c. Central feasibility
d. Low feasibility
7. Menyusun kurva biaya pengurangan (MAC Curve) emisi GRK.
8. Menghitung potensi penurunan emisi GRK pada akhir periode skenario
terhadap proyeksi BAU baseline.

Hasil

Penyaringan terhadap aksi mitigasi yang berpotensi diterapkan di


Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur dilakukan melalui studi
literature dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Dari hasil studi dipilih 7
teknologi mitigasi dari 5 sumber publikasi [ADB, 1998; Lolingtan 1997-1999;
Setyanto et al, 2005; Setyanto et al, 2011; Balingtan 2008-2012 dan Susilawati et
al, 2010] seperti dalam Tabel 3.1 berikut ini,

Tabel 3.1 Teknologi mitigasi GRK dari beberapa sumber publikasi


Teknologi mitigasi Potensi pengurangan Hasil padi

Tanam benih langsunga 37 kg CH4/ha Naik 4,5%


Penggantian urea prill dengan urea tableta 18,1 kg CH4/ha Naik 20,5%
Penggunaan varietas rendah emisib 57% Naik 15%
PTT (pengairan berselang/intermittent)c 46% Naik 5%
Ameliorasi dengan komposd 19% Naik 23%
Ameliorasi dengan pupuk kandangd 13% Naik 25%
Tanpa Olah Tanah+Tanam benih 70% Naik 3%
langsunge
a
ADB (1998)
b
Setyanto et,al (2005)
c
Setyanto et,al ( 2011)
d
Balingtan (2008-2012), Susilawati et al (2010)
e
Lolingtan (1997-1999)

Setiap aksi mitigasi yang telah dipilih terdapat didalamnya besaran potensi
pengurangan emisi serta pengaruhnya terhadap hasil padi (Tabel 3.1). Perhitungan
potensi pengurangan emisi (tCO2e/ha) didasarkan pada emisi CH4 rata-rata dari
lahan sawah di Indonesia yaitu 160,9 kg CH4/ha/musim. Sementara, biaya
tambahan untuk melakukan tindakan pengurangan emisi dihitung dengan

39
40

pendekatan NPV yaitu nilai ekonomi yang biasa digunakan dalam analisis
prakiraan keuntungan atau investasi dalam periode tertentu (Tabel 3.2). NPV ini
menggambarkan perbedaan nilai sekarang dari aliran penerimaan di masa
mendatang dari sebuah investasi berdasarkan tingkat diskon tertentu. Analisa
NPV biasa digunakan untuk menilai kelayakan sebuah proyek yang akan
dijalankan.

Tabel 3.2 Potensi pengurangan emisi (abatement rate) dan biaya tambahan untuk
pengurangan emisi (abatement cost)
Teknologi mitigasi Abatement rate Abatement cost (Rp/tCO2e)
(tCO2e/ha) Grobogan Tanjabtim

Tanam benih langsung 1,6 657 504


Penggantian urea prill dengan urea tablet 0,8 3.582
Penggunaan varietas rendah emisi 3,9 106
PTT (pengairan berselang/intermiten) 3,1 124
Ameliorasi dengan kompos 1,3 163
Ameliorasi dengan pupuk kandang 1,7 456
Tanpa olah tanah+tanam benih langsung 2,6 608

Abatement Potential
Abatement potential atau potensi pengurangan dihitung berdasarkan asumsi
sebagai berikut :
1. Kabupaten Grobogan :
- Teknologi tanam benih langsung diterapkan pada lahan sawah di
daerah tadah hujan yang hanya 1 kali tanam dalam setahun karena
minimnya curah hujan yaitu seluas 20.278 ha (Lampiran 1). Pada
perhitungan existing emisi, faktor skala rejim air untuk daerah tadah
hujan yaitu sebesar 0,49 sudah dimasukkan.
- Teknologi penggunaan variets rendah emisi, bisa diterapkan di daerah
irigasi ½ teknis, sederhana dan desa. Pada perhitungan existing emisi
di lahan tersebut, faktor skala rejim pengairan berselang sudah
dimasukkan sesuai kondisi di lapang.
- Teknologi pengairan berselang bisa diterapkan pada daerah irigasi
teknis, dimana di daerah ini, air selalu tersedia sehingga lahan sawah
selalu dalam kondisi tergenang karena petani masih memaksimalkan
ketersediaan air untuk pengairan. Pengenalan dan penerapan teknologi
ini selain akan lebih menghemat air, hasil padi juga akan meningkat.
- Teknologi penggantian urea prill dengan urea tablet juga sesuai untuk
diterapkan di lahan sawah yang selalu tergenang, dimana potensi
pembentukan gas CH4 besar. Meskipun teknologi ini mempunyai
potensi penurunan emisi yang cukup besar dan meningkatkan hasil
padi, akan tetapi karena harga urea tablet lebih mahal dibandingkan
urea prill, kemungkinan tingkat adopsi oleh petani adalah rendah.
Maka dari itu proporsi teknologi ini untuk diterapkan juga pada areal
yang sempit yaitu sekitar 20% dari luasan daerah irigasi. Hal ini
diasumsikan dengan adanya subsidi atau bantuan dari pemerintah.

40
41

2. Kabupaten Tanjung Jabung Timur :


- Teknologi tanam benih langsung bisa diterapkan di daerah tadah hujan,
yaitu pada areal lahan sawah seluas 1.542 ha dengan pertimbangan di
daerah ini ketersediaan air terbatas.
- Teknologi kombinasi tanpa olah tanah dan tanam benih langsung, bisa
diterapkan terutama di daerah pasang surut. Lahan sawah di kabupaten
ini 80% dari total berada di daerah pasang surut. Lahan pasang surut
sendiri terdiri dari 70% bergambut dan sisanya tidak bergambut. Luas
lahan pasang surut tidak bergambut yaitu sekitar 8.873 ha dan 20.703
ha lainnya merupakan daerah pasang surut bergambut. Pada lahan
pasang surut bergambut, selain diterapkan teknologi tanpa olah tanah
dan tanam benih langsung, juga bisa diterapkan teknologi ameliorasi
dengan kompos maupun pupuk kandang.

Tabel 3.3 Abatement potensial dan kemungkinan adopsi teknologi mitigasi

Teknologi Mitigasi Kemungkinan Abatament Potential


adopsia (tCO2e/tahun)
Grobogan Tanjabtim

Tanam benih langsung Low feasible 31.512 2.396


Penggantian urea prill dengan urea Central feasible 5533
tablet
Penggunaan varietas rendah emisi High feasible 90.776
PTT (pengairan High feasible 90.534
berselang/intermiten)
Ameliorasi dengan kompos High feasible 5.317
Ameliorasi dengan pupuk kandang High feasible 13.987
Tanpa olah tanah+tanam benih High feasible 44.618
langsung
a
Moran et al (2010), MacLeod et al (2010)

Kurva Biaya Tambahan Pengurangan Emisi GRK


Penyusunan kurva ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam pemilihan
aksi mitigasi yang paling menguntungkan secara ekonomi dan juga lingkungan.
Kurva ini dari kiri ke kanan (sumbu x) menggambarkan potensi penurunan emisi
GRK dari sebuah aksi mitigasi dalam tiap tahunnya. Lebar masing-masing batang
menyatakan berapa besaran emisi yang dapat dikurangi dari sebuah aksi mitigasi.
Total lebar semua batang adalah jumlah total emisi GRK yang dapat dikurangi
dengan melakukan semua aksi mitigasi. Makin lebar batang, maka makin besar
potensi pengurangan emisinya. Tinggi batang menyatakan besaran biaya
tambahan yang diperlukan untuk mengurangi emisi GRK sejumlah 1 ton CO2e,
makin ke kanan di sumbu x, maka biaya yang dibutuhkan semakin besar.
Biaya tambahan yang dibutuhkan untuk mengurangi emisi GRK dari lahan
sawah di Kabupaten Grobogan dimana ekosistemnya adalah tanah mineral, relatif
lebih mahal yaitu di kisaran Rp 106,- sampai Rp 3.582,- per tCO2e (Gambar 3.1)
sedangkan di Tanjung Jabung Timur kisaran Rp 163,- sampai Rp 608,- per tCO2e
(Gambar 3.2).

41
42

Tabel 3.4 Potensi penurunan hingga tahun 2020 terhadap proyeksi emisi BAU
baseline

Emisi tahun 2020 BAU (tCO2e) Emisi tahun 2020 Mitigasi (tCO2e)
Grobogan Tanjabtim Grobogan Tanjabtim
897.967 820.740 679.540 753.682

Rp4.000 Varietas Intermittent Tabela Urea tablet

Rp3.500

Rp3.000
Abatement cost (Rp/tCO2e)

Rp2.500

Rp2.000

Rp1.500

Rp1.000

Rp500

Rp0
5 30 55 80 105 130 155 180 205 230
Abatement potential (Gg CO2e/th)

Gambar 3.1 Kurva biaya pengurangan emisi GRK Kabupaten Grobogan

42
43

Rp4.000 Ameliorasi Kompos Ameliorasi Pukan Tabela TOT+Tabela

Rp3.500
Abatement cost (Rp/tCO2e)

Rp3.000

Rp2.500

Rp2.000

Rp1.500

Rp1.000

Rp500

Rp0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66
Abatement potential (Gg CO2e/th)

Gambar 3.2 Kurva biaya pengurangan emisi GRK Kabupaten Tanjung Jabung
Timur

Pembahasan

Potensi pengurangan emisi dengan kemungkinan adopsi teknologi seperti


tertera dalam Tabel 3.3. Dalam hal ini terdapat 3 macam kemungkinan adopsi
untuk masing-masing teknologi, yaitu : high feasible, central feasible dan low
feasible. Menurut Moran et al, (2010) dan MacLeod et al, (2010), high feasible
adalah kemungkinan tingkat adopsi petani terhadap suatu teknologi mitigasi
apabila ada peraturan pemerintah, sementara central feasible adalah apabila selain
terdapat peraturan pemerintah untuk menerapkan suatu teknologi, juga
diberlakukan pemberian subsidi bagi yang menerapkannya, dan low feasible
adalah kemungkinan adopsi teknologi jika pemerintah mensosialisasikannya
melalui pendidikan/informasi saja jika sesuai untuk suatu kondisi tertentu. Di
Kabupaten Grobogan, sebesar 181.310 tCO2e/th dapat dikurangi dengan
kemungkinan adopsi yang tinggi (high feasible) yaitu melalui penerapan program
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) dan penggunaan varietas rendah emisi.
Penerapan PTT merupakan kebijakan yang telah diterapkan pemerintah melalui
keputusan menteri pertanian, dan penggunaan varietas rendah emisi
dimungkinkan untuk diterapkan dengan adanya peraturan yang sejenis. Teknologi
PTT adalah suatu pendekatan inovatif dalam upaya meningkatkan produktivitas
dan efisiensi usahatani. Peningkatan produktivitas dilakukan melalui pemakaian
benih varietas unggul bermutu produktivitas tinggi termasuk benih padi hibrida
dan jagung hibrida, sistem jarak tanam jajar legowo, pemupukan berimbang dan
pemakaian pupuk organik serta pupuk bio-hayati, pengelolaan pengairan dan
perbaikan budidaya disertai pengawalan, pendampingan, pemantauan dan
koordinasi. Strategi ini terutama dilaksanakan di wilayah dimana perluasan areal

43
44

sudah sulit dilakukan, sehingga dengan penerapan teknologi spesifik lokasi


diharapkan masih dapat ditingkatkan produktivitasnya. Berdasarkan hasil
penelitian Setyanto et al (2011), dihitung dari komponen pengelolaan
pengairannya, teknologi ini secara signifikan mampu menurunkan emisi GRK dari
lahan padi sawah.
Varietas padi rendah emisi adalah varietas padi yang teridentifikasi melalui
berbagai hasil penelitian menghasilkan emisi CH4 lebih rendah dibandingkan
dengan varietas padi yang lain. Metana adalah GRK yang dihasilkan melalui
dekomposisi bahan organik secara anaerobik (Cao et al, 1995; Levy et al, 2007).
Kemampuan varietas mengemisi gas metan bergantung kepada rongga
aerenkhima, jumlah anakan, biomassa, sistem perakaran, dan aktivitas
metabolisme (Aulakh, 2001). Proses pembentukan metan merupakan akibat dari
dekomposisi bahan organik pada kondisi anaerob. Tanaman padi memegang peran
penting dalam emisi gas CH4 dari lahan sawah. Kurang lebih 90% CH4 yang
dilepas dari lahan sawah ke atmosfir diemisikan melalui tanaman dan sisanya
melalui gelembung air (ebullition). Ruang udara pada pembuluh aerenkima yang
terdapat pada daun, batang dan akar yang berkembang dengan baik menyebabkan
pertukaran gas pada tanah tergenang (anaerob) berlangsung cepat (Aulakh, 2002).
Pembuluh aerenkima bertindak sebagai cerobong (chimney) untuk lepasnya CH4
ke atmosfir. Keragaman emisi gas metan dari lahan sawah ditentukan oleh
perbedaan sifat fisiologi dan morfologi varietas padi (Las, 2007; Setyanto et al,
2010).
Penggantian urea pril dengan urea tablet mempunyai tingkat penurunan
emisi yang cukup besar, akan tetapi teknologi mitigasi ini masuk dalam kategori
central feasible karena petani akan lebih tertarik untuk menerapkannya apabila
ada kebijakan pemberian subsidi yang berlaku, mengingat harga pupuk urea tablet
yang relatif lebih mahal. Urea dalam bentuk tablet mempunyai sifat yang lebih
basa (pH 8) dibanding urea dalam bentuk prill karena ber-coating, selain itu
penambahan urea dalam bentuk tablet menyebabkan reaksi oksidasi dalam tanah
menjadi lebih besar dibanding reaksi reduksi terkait dengan ketersediaan kation
dan anion, sehingga nilai potensial redoks manjadi positif. Hal ini terutama
berpengaruh pada proses pembentukan gas CH4, dimana gas ini optimal terbentuk
pada kondisi keasaman tanah 6-7 dan potensial redoks -150 sampai -200 mV.
Teknologi tanpa olah tanah dan tanam benih langsung termasuk high
feasible, terutama di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dimana sebagian besar
areal sawah adalah di lahan pasang surut. Teknologi ini meskipun tidak signifikan
menaikkan produksi padi, akan tetapi sangat sesuai diterapkan di daetah pasang
surut terutama berkaitan dengan pengelolaan tanah. Tanpa olah tanah berarti
meminimalkan gangguan pada kandungan hara dalam tanah, sehingga mengurangi
lepasnya karbon tersimpan dalam tanah karena adanya penurunan oksidasi, ddi
daerah pasang surut, hal ini berarti menghindari lepasnya pirit yang terbentuk di
dalam tanah pada saat tergenang air laut atau sungai. Sementara teknologi tanam
benih langsung termasuk low feasible, karena pada umumnya, teknologi ini
banyak diterapkan oleh petani di daerah atau pada saat minimnya air.
Teknologi ameliorasi, termasuk dalam kategori yang high feasible, hal ini
karena penerapan teknologi ameliorasi ini selain mampu menurunkan emisi GRK,
juga sebagai bahan pembenah unsur hara tanah sehingga hasil padi menjadi
meningkat, dalam hal ini dimungkinkan bagi pemerintah untuk mengeluarkan

44
45

peraturan mengenai penerapannya oleh petani. Sebesar 63.922 tCO2e/th emisi


GRK di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dapat diturunkan pada tingkat adopsi
teknologi yang tinggi.
Amelioran adalah bahan yang dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui
perbaikan kondisi fisik dan kimia. Kriteria amelioran yang baik bagi lahan gambut
adalah memiliki kejenuhan basa (KB) yang tinggi, mampu meningkatkan derajat
pH secara nyata, mampu memperbaiki struktur tanah, memiliki kandungan unsur
hara yang lengkap, dan mampu mengusir senyawa beracun terutama asam-asam
organik. Amelioran dapat berupa bahan organik maupun anorganik, Pemberian
bahan amelioran seperti pupuk organik, tanah mineral, zeolit, dolomit, fosfat alam,
pupuk kandang, kapur pertanian, abu sekam, purun tikus (Eleocharis dulcis) dapat
meningkatkan pH tanah dan basa-basa tanah (Subiksa et al, 1997; Salampak,
1999; Mario, 2002). Penambahan bahan-bahan amelioran yang banyak
mengandung kation polivalen juga dapat mengurangi pengaruh buruk asam-asam
organik beracun. Lahan sawah di Kabupaten Tanjung Timur sebagian besar (lebih
dari 70%) berada pada daerah pasang surut dengan jenis tanah gambut sehingga
pemberian bahan ameliorant, selain akan memperbaiki struktur tanah gambut
yang miskin hara, juga dapat menurunkan emisi GRK (Balingtan,
2008,2009,2010,2011).
Kurva biaya pengurangan emisi GRK di Kabupaten Grobogan menunjukkan
bahwa sebesar 212.822 tCO2e/th atau sekitar 24% sampai dengan tahun 2020
dapat diturunkan dengan biaya dibawah Rp 1.000,-/tCO2e dan tambahan
penurunan emisi sebesar 5.532 tCO2e/th atau 0,12% bisa dicapai dengan biaya
tambahan sebesar Rp, 3.582,-/tCO2e, sedangkan di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur, sebesar 66.317 tCO2e/th atau sekitar 8,1% sampai tahun 2020 dapat
diturunkan dengan biaya tambahan dibawah Rp 1.000,-/tCO2e. Penurunan sebesar
24% di Kabupaten Grobogan tersebut akan diperoleh dengan penerapan teknologi
mitigasi berupa penggunaan varietas padi yang rendah emisi, sistem pengairan
berselang dan cara tanam dengan tabela (tanam benih langsung) pada luasan padi
sawah tertentu.
Pemilihan aksi mitigasi yang paling menguntungkan secara ekonomi
maupun lingkungan dapat dilakukan dengan melihat pada kurva biaya
pengurangan emisi GRK. Kabupaten Grobogan akan mendapatkan keuntungan
lingkungan dan ekonomi yang maksimal dengan menerapkan aksi mitigasi PTT
dan penggantian varietas dengan varietas padi yang rendah emisi, yaitu hanya
dengan tambahan biaya pengurangan Rp 100-150,-/tCO2e dapat menurunkan
emisi sebesar 181.312 tCO2e/th. Sementara Kabupaten Tanjung Jabung Timur
dengan penerapan aksi mitigasi penambahan bahan amelioran mampu
menurunkan emisi sebesar 19.304 tCO2e/th dengan tambahan biaya sebesar Rp
150-450,-/tCO2e. Biaya-biaya tersebut dihitung hanya berdasarkan biaya pada
faktor input usahatani seperti tenaga kerja dan penggunaan pupuk, sementara
biaya penggunaan bahan bakar selama proses usahatani tidak diperhitungkan,
seperti halnya biaya-biaya sosial. Biaya-biaya ini dimungkinkan berubah seiring
dengan perubahan kebijakan oleh pemerintah.
Besaran penurunan emisi berdasarkan asumsi bahwa luas lahan sawah
meningkat secara linear, sementara biaya dihitung berdasarkan tingkat diskon
8%/th. Akan tetapi hal ini tentu saja masih sangat tergantung pada kebijakan
pemerintah yang diberlakukan. Tingkat adopsi oleh petani, selain dipengaruhi

45
46

oleh kebijakan pemerintah, juga akan dipengaruhi oleh pola hidup, seperti
diketahui bahwa sebagian besar petani tidak menerima keuntungan finansial yang
maksimum, sehingga pola hidup mereka dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk
kondisi pasar (misal: harga sarana produksi pertanian dan juga harga jual hasil
pertanian). Pike (2008) dalam Bates, 2001 mengemukakan bahwa kondisi pasar
merupakan satu set faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam
usahatani, yaitu termasuk faktor internal (pengetahuan, kebiasaan dan prilaku),
faktor sosial (norma dan peraturan), kebijakan terkait lingkungan dan faktor-
faktor lainnya.
Kabupeten Grobogan dan Tanjung Timur seperti telah dikemukan pada bab
sebelumnya merupakan kabupaten yang memiliki lahan pertanian cukup luas.
Selain itu, kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik regional bruto di
kedua kabupaten tersebut juga besar. Sektor pertanian di Kabupaten Grobogan
tahun 2011 berkontribusi sebesar 43% terhadap total PDRB, sedangkan di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur berkontribusi sebesar 59% dengan
pertumbuhan sebesar 1,2%. Hal ini tentu saja akan membuat pemerintah setempat
berhati-hati dalam menentukan sebuah kebijakan.
Pendekatan bottom-up yang digunakan dalam penelitian ini memberikan
gambaran yang kontras dari pendekatan top-down dimana pendekatan bottom-up
ini lebih efisien dalam mengambarkan sebuah aksi mitigasi dengan
mengidentifikasi variasi pengukuran pada skala lapang yang kemudian dapat
digunakan untuk menghitung pengurangan emisi dan biaya pada sistem pertanian
yang berbeda dan skala wilayah yang lebih luas. Pendekatan “bottom-up” yang
dimaksud dalam hal ini adalah pendekatan yang lebih teknis, pendekatan dari
bawah, yaitu dari hasil pengukuran tingkat penurunan emisi (abatement rate) dan
biaya yang diperlukan masing-masing opsi mitigasi pada berbagai sistem
pertanian yang beragam yang kemudian digunakan pada skala wilayah yang lebih
luas. Sedangkan pendekatan “top-down” adalah pendekatan dari atas, yaitu
pendekatan dimana tingkat penurunan emisi dan biaya yang dibutuhkan
ditentukan melalui asumsi-asumsi dan permodelan. Dalam pendekatan “top-down”
dianggap masing-masing wilayah mempunyai kemampuan yang sama dalam hal
penurunan emisi GRK, teknologi yang diadopsi maupun biaya yang diperlukan
(Moran et al, 2010). Dalam pertanian, hal ini sulit diterapkan mengingat dalam
pertanian, perbedaan kondisi biofisik wilayah sangat beragam sehingga potensi
penurunan emisi juga akan sangat beragam antar wilayah, demikian juga dengan
biaya yang diperlukan, sangat tergantung pada kondisi sosial ekonomi petani,
Karena itu pendekatan “bottom-up” berdasarkan kondisi masing-masing wilayah,
dianggap lebih memberikan gambaran nyata untuk mitigasi GRK pertanian.

Simpulan

Perubahan dalam pola pengelolaan usahatani telah menunjukkan dapat


mengurangi emisi GRK yang ditimbulkannya dan dapat menyebabkan perubahan
dalam biaya dan penerimaan usahatani tersebut. Dengan memperkirakan besaran
potensi pengurangan emisi dan menghitung biaya yang dibutuhkan,
memungkinkan untuk menggambarkannya dalam kurva biaya pengurangan emisi

46
47

GRK dalam bentuk besaran tambahan biaya yang dibutuhkan untuk menurunkan
emisi GRK per unit setara CO2.
Penentuan teknologi mitigasi dapat dilakukan melalui studi literatur,
sementara penentuan luasan area yang berpotensi untuk penerapan teknologi
mitigasi, dilakukan dengan membangun asumsi-asumsi. Besaran biaya dapat
ditentukan berdasarkan pada biaya yang berlaku setempat. Kurva biaya
pengurangan emisi GRK di Kabupaten Grobogan menunjukkan bahwa sebesar
212.822 tCO2e/th atau sekitar 24% sampai dengan tahun 2020 dapat diturunkan
dengan biaya dibawah Rp 1.000,-/tCO2e, sementara di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur, sebesar 66.317 tCO2e/th atau sekitar 8,1% sampai tahun 2020 dapat
diturunkan dengan biaya tambahan dibawah Rp 1.000,-/tCO2e.
Teknologi mitigasi yang berpotensi besar menurunkan emisi GRK dengan
biaya rendah di Kabupaten Grobogan adalah penerapan teknik budidaya PTT dan
penggantian varietas padi dengan varietas padi yang teridentifikasi rendah emisi
GRK. Sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, teknologi ameliorasi
dengan kompos, pupuk kandang maupun daun babadotan merupakan teknologi
mitigasi yang memiliki potensi besar menurunkan emisi dengan biaya yang
rendah.

47
48

4 PEMBAHASAN UMUM

Komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK-nya sebesar 26%


sampai tahun 2020, melibatkan keikutsertaan daerah secara aktif, dengan adanya
keharusan penyusunan RAD Penurunan Emisi GRK. Masing-masing daerah
berkewajiban memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi secara nasional.
Sebelum membuat perencanaan mengenai aksi-aksi untuk penurunan emisi GRK,
terlebih dahulu harus mengetahui secara pasti besaran emisi dan serapan yang ada.
Sektor pertanian dalam Lampiran Perpres No 61/2011 disebutkan harus
menurunkan tingkat emisi nya sebesar 8 Gg CO2e. Berbagai perencanaan di
tingkat nasional telah dilakukan untuk mencapai target tersebut, akan tetapi
partisipasi daerahlah yang akan sangat menentukan.
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur
sangat dipengaruhi oleh sektor pertanian, hal ini terbukti dengan tingginya nilai
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian di kedua kabupaten
tersebut. Di Kabupaten Grobogan, pertanian menyumbang sebesar 43% dari total
PDRB dengan rata-rata pertumbuhan 4,8%/tahun selama 5 tahun terakhir (BPS,
2011). Sementara di Tanjung Jabung Timur sebesar 59% dengan rata-rata
pertumbuhan 2%/tahun selama 5 tahun terakhir (BPS, 2011). Pertumbuhan sektor
pertanian tiap tahunnya tidak terlepas dari komposisi status pekerjaan
masyarakatnya. Di Grobogan maupun Tanjung Jabung Timur, mayoritas
masyarakat adalah bekerja sebagai petani dengan rata-rata kepemilikan lahan yang
sangat kecil. Komitmen penurunan emisi oleh Pemerintah Indonesia, tentu saja
harus di dukung oleh semua wilayah di Indonesia, tidak terkecuali Grobogan dan
Tanjung Jabung Timur. Sektor Pertanian, selain merupakan sektor yang sangat
vital dalam upaya pemenuhan ketahanan pangan masyarakat, juga merupakan
sektor yang semestinya menurunkan emisi GRK sesuai target dalam RAN GRK.
Kedua hal tersebut yang seharusnya menjadi perhatian para pembuat kebijakan,
bagaimana meningkatkan ketersediaan pangan masyarakat sekaligus menurunkan
emisi GRK dari proses tersebut.
Sektor pertanian menghasilkan tiga GRK utama yaitu karbon dioksida
(CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O), yang masing-masing
mempunyai indeks potensi pemanasan global sebesar 1, 21, dan 310 (SAR, 2004).
Selain sumber emisi, sektor ini sekaligus rosot penting GRK. Secara global,
pertanian menyumbangkan sekitar 14 % dari total emisi, dimana 60% nya adalah
N2O dan 40% nya adalah metana CH4, sedangkan secara nasional memberikan
kontribusi sebesar 7% efek rumah kaca (Second Natcom, 2010). Emisi GRK dari
sektor pertanian bersumber pada budidaya padi sawah, tanah pertanian,
peternakan, pengelolaan limbah/kotoran ternak, dan pembakaran biomassa.
Peningkatan emisi CH4 dari lahan sawah terutama disebabkan karena
praktek budidaya pertanian yang masih menerapkan cara budidaya konvensional,
selain peningkatan luas panen padi sawah untuk terpenuhinya ketahanan pangan.
Target pembangunan pertanian nasional salah satunya adalah tercapainya dan
tercukupinya kebutuhan pangan nasional seiring dengan laju pertumbuhan
penduduk. Sektor pertanian di Indonesia mempunyai beberapa posisi penting,
diantaranya sebagai tumpuan utama dalam penyediaan pangan bagi 245 juta
penduduk Indonesia, penyedia 87% bahan baku industri kecil dan menengah, serta

48
49

penyumbang 15% Produk Domestik Bruto (PDB) dengan nilai devisa sekitar US
$ 43 Milyar. Selain itu, sektor pertanian menyerap sekitar 33% tenaga kerja dan
menjadi sumber utama pendapatan dari sekitar 70% rumah tangga pedesaan.
Sumbangan dominan emisi CH4 dari lahan sawah pada skala nasional,
ternyata juga terjadi pada skala kabupaten. Studi di Kabupaten Grobogan Propinsi
Jawa Tengah dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi mendapatkan
hasil bahwa emisi CH4 dari sumber ini juga dominan. Kedua kabupaten tersebut
adalah kabupaten penghasil beras terbesar di propinsinya (BPS, 2010). Proyeksi
atau perkiraan emisi total sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
menunjukkan kenaikan yang sangat signifikan. Proyeksi yang disusun
berdasarkan asumsi linearitas emisi terhadap waktu ini, berguna untuk penentuan
target emisi yang harus dikurangi.
Emisi GRK dari sumber antropogenik, akan selalu meningkat seiring
dengan kenaikan jumlah penduduk. Hal ini tidak bisa dihindari, akan tetapi bisa
diupayakan agar peningkatan tersebut tidak terjadi secara tajam. Hal ini tentu saja
memerlukan usaha dan modal yang tidak kecil. Kemauan dan kerjasama berbagai
pihak akan sangat menentukan. Upaya-upaya pengurangan laju kenaikan emisi ini
adalah melalui kegiata-kegiatan yang terutama harus fokus pada penyumbang
emisi terbesar, dalam hal ini yaitu lahan sawah.
Hasil-hasil penelitian (Khalil dan Rasmussen, 1993; Setyanto et al, 2000;
Wassman et al, 2000; Maljanen et al, 2001; Setyanto et al, 2005) menyebutkan
bahwa pengelolaan lahan sawah yang ditanami padi adalah sebagai salah satu
penyumbang terhadap emisi GRK dari sektor pertanian. Emisi GRK yang
dominan pada pengelolaan lahan padi sawah adalah gas CH4, Sekitar 90% emisi
CH4 dari lahan sawah, diemisikan oleh tanaman padi terutama pada kondisi lahan
yang tergenang. Gas CH4 teremisikan dari dalam tanah dalam 2 cara yaitu melalui
pembuluh aerenkima tanaman padi yang berfungsi sebagai cerobong dan melalui
ebolusi atau gelembung air yang muncul di permukaan tanah. Kondisi reduktif
dimana persediaan oksigen terbatas, juga sangat mempengaruhi terbentuknya gas
CH4 dalam tanah. Lahan padi sawah dalam keadaan tergenang air secara terus
menerus selama musim tanam tanpa ada pengeringan, akan menyebabkan emisi
CH4 yang tinggi (Setyanto et al, 2000). Selain kondisi reduktif, beberapa
penelitian juga menyebutkan bahwa emisi CH4 dipengaruhi juga oleh jenis
varietas padi (Watanabe et al, 1995 dan Setyanto et al, 2005). Varietas padi yang
berumur panjang, akan menghasilkan emisi kumulatif dalam 1 musim tanam yang
tinggi, sementara varietas berumur genjah, cenderung menghasilkan emisi yang
lebih rendah. Demikian juga untuk varietas dengan jumlah anakan yang banyak,
akan tetapi tidak semuanya produktif, juga akan menghasilkan emisi yang lebih
tinggi.
Emisi CH4 dari pengelolaan padi sawah, pada tanah gambut selain
dipengaruhi kondisi reduksi dan varietas padi, juga dipengaruhi oleh sifat fisik
dan kimia tanah gambut itu sendiri. Pada penelitian skala laboratorium maupun
lapang diperoleh hasil bahwa emisi rata-rata pengelolaan lahan padi sawah di
tanah gambut, menghasilkan emisi CH4 sekitar 2x lipat lebih besar (Setyanto et al,
2002). Emisi CH4 yang ditimbulkan akan sangat dipengaruhi oleh dekomposisi
bahan organik tersebut terutama dalam kondisi anaerob. Tanah gambut atau
histosol dalam klasifikasi tanah menurut USDA (United States Department of

49
50

Agriculture) adalah jenis tanah dengan kandungan bahan organik yang sangat
tinggi.
Penelitian mengenai upaya pengurangan emisi CH4 dari proses budidaya
padi sawah telah banyak dilakukan baik pada skala global maupun nasional.
Penerapannya pada skala petani belum banyak dikaji, akan tetapi berbagai upaya
pemerintah telah dilakukan terkait dengan upaya perbaikan praktek budidaya padi
sawah untuk meningkatkan hasil padi sekaligus menurunkan emisi GRK. Praktek-
praktek budidaya padi tersebut antara lain meminimalkan olah tanah, penerapan
pengairan berselang pada system Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), tanam
benih langsung, penggantian urea prill dengan urea tablet, penggunaan bahan
pembenah tanah (ameliorant) berupa kompos, pupuk kandang dan daun
babadotan.
Penerapan teknologi tersebut disesuaikan dengan kondisi ekosistem daerah,
Sektor pertanian selain sebagai sumber emisi GRK, juga mempunyai potensi
pengurangan emisi yang cukup besar dengan biaya yang sangat rendah (ADB,
1998; DNPI, 2009; FAO, 2010). Pendekatan MAC atau pendekatan dengan
menggunakan perhitungan besarnya biaya tambahan yang diperlukan untuk
menurunkan emisi sebesar 1 tCO2e merupakan salah satu pendekatan yang bisa
digunakan untuk mengetahui efektivitas dari masing-masing teknologi mitigasi
yang akan diterapkan. Hal ini sangat penting dalam upaya terkait kebijakan yang
harus diterapkan oleh pemerintah. Penyusunan kurva biaya tambahan ini
berdasarkan pada biaya riil yang berlaku di masyarakat, hal ini dimaksudkan
untuk mengetahui efektivitas teknologi tersebut ditingkat pengguna dan juga
untuk memperkirakan peluang penurunan emisi dari berbagai teknologi mitigasi.
Kurva ini tidak bersifat statis, tapi sebaliknya sangat dinamis, artinya, apa yang
ada dalam kurva tersebut, baik itu peluang penurunan emisi maupun biayanya,
dapat berubah setiap waktu, tergantung pada hasil-hasil penelitian terbaru
mengenai teknologi mitigasi yang sampai saat ini masih terus dikembangkan dan
juga pada kondisi perekonomian masyarakat dan kebijakan yang berlaku.
Prakiraan biaya tambahan penurunan emisi GRK pertanian berdasarkan
pada biaya usahatani masyarakat, menghasilkan nominal yang relatif kecil dengan
prakiraan penurunan emisi yang cukup besar. Teknologi mitigasi GRK sektor
pertanian yang digunakan dalam perhitungan ini, selain dapat menurunkan emisi
juga dapat meningkatkan hasil. Dengan demikian, peningkatan kebutuhan pangan
masyarakat dapat terpenuhi. Sekali lagi, perhitungan biaya ini hanya berdasarkan
pada perspektif masyarakat (belum memperhitungkan pajak, biaya bahan bakar,
dll).
Komitmen penurunan emisi GRK di Indonesia masih bersifat sukarela
karena dalam skala global, negara berkembang belum mempunyai kewajiban
untuk menurunkan emisi GRKnya, akan tetapi seiring laju pertumbuhan penduduk
dari waktu ke waktu, emisi antropogenik yang ditimbulkan akan semakin
meningkat. Hal ini bukan hanya terjadi di negara-negara maju, tapi juga di negara-
negara berkembang. Perubahan iklim dan peningkatan emisi GRK bukan hanya
tanggung jawab negara maju untuk meresponnya, melainkan seluruh dunia karena
besar maupun kecil, setiap kegiatan manusia akan berkontribusi terhadap
peningkatan emisi GRK di atmosfer Perubahan pola hidup kearah yang lebih baik
dimulai dari hal-hal kecil, akan memberikan kontribusi pada upaya penurunan
emisi GRK.

50
51

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kegiatan inventarisasi GRK sektor pertanian, memerlukan masukan data


aktivitas yang kompleks, sebagian data tersebut bahkan tidak tersimpan dengan
baik di dinas terkait. Hal ini merupakan tantangan tersendiri dalam melakukan
inventarisasi GRK untuk mendapatkan data yang dapat dipercaya. Data yang tidak
tersedia di dinas terkait, dapat dikumpulkan dengan melakukan wawancara
langsung ke lapang atau dengan para ahli (expert judgement).
Sumber emisi utama di Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur
adalah emisi CH4 dari pengelolaan lahan padi sawah (29 % dan 50% dari total
emisi). Emisi total Kabupaten Grobogan sekitar 20% lebih tinggi dari Kabupaten
Tanjung Jabung Timur karena perbedaan pada data aktivitas, meski demikian,
proyeksi emisi Tanjung Jabung Timur sampai tahun 2020 dengan skenario bisnis
seperti biasa, menunjukkan kenaikan yang lebih tajam dibandingkan Grobogan.
Hal ini terutama disebabkan oleh kenaikan yang tajam pada sumber emisi yang
berasal dari penggunaan pupuk urea terutama di areal perkebunan sawit.
Modifikasi metode IPCC 2006 untuk pendugaan emisi N2O langsung dari
tanah dikelola, bisa digunakan dalam hal tidak tersedianya data mengenai
pemberian input N organik maupun anorganik pada lahan sawah. Hal ini untuk
memudahkan dalam pengumpulan data aktivitas maupun perhitungannya.
Pemilihan aksi mitigasi untuk penurunan emisi GRK, terutama harus
difokuskan pada sumber-sumber emisi utama. Di Kabupaten Grobogan dan
Tanjung Jabung Timur, sumber emisi utama adalah CH4 dari pengelolaan lahan
padi sawah, karena itu penentuan aksi mitigasi, terutama difokuskan pada
pengelolaan lahan padi sawah yang menghasilkan emisi CH4 lebih rendah, tapi
tetap memprioritaskan kenaikan hasil padi. Introduksi teknologi baru, sudah
barang tentu akan membutuhkan tambahan biaya. Beberapa teknologi budidaya
padi yang dapat menurunkan emisi dari lahan padi sawah dengan tambahan biaya
yang rendah dan potensi penurunan emisi besar di Grobogan diantaranya adalah
penggunaan varietas padi rendah emisi dan penerapan PTT. Sementara di Tanjung
Jabung Timur, penggunaan bahan ameliorant atau bahan pembenah tanah seperti
kompos dan pupuk kandang serta penerapan teknologi tanpa olah tanah+tanam
benih langsung.
Saran

Pelaksanaan kegiatan inventarisasi GRK yang sudah merupakan mandatori,


hendaknya didukung dengan sistem basis data aktivitas yang baik. Hal ini bisa
dimulai pada unit wilayah yang kecil (kabupaten) dengan melakukan
penyimpanan rekaman data dan pengorganisasian yang baik. Kesulitan
mengumpulkan data untuk beberapa periode waktu tertentu karena pergantian
personil atau mutasi pemegang data, bisa diatasi dengan sistem pengarsipan data
yang baik dan pengaturan kelembagaan.Ke depan, perhitungan biaya tambahan
untuk penurunan emisi (MAC) yang lebih detail dengan memasukkan komponen
biaya social, pajak serta biaya bahan bakar dalam usahatani hendaknya dilakukan
untuk memberikan gambaran yang lebih nyata terhadap abatement cost.

51
52

Tingkat adopsi teknologi mitigasi oleh petani, akan sangat dipengaruhi oleh
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat. Oleh karena itu, introduksi
sebuah teknologi mitigasi hendaknya juga memberikan keuntungan ekonomi pada
pengguna.

52
53

DAFTAR PUSTAKA

Aulakh MS, Wassmann R, Bueno C, Rennenberg H. 2001. Impact of root


exudates of different cultivars and plant development stages of rice (Oryza
sativa L.) on methane production in a paddy soil. Plant Soil, 230 pp. 77-86.
Doi: 10.1023/A:1004817212321
Aulakh MS, Wassmann R, Rennenberg H. 2002. Methane transport capacity of
twenty-two rice cultivars from five major Asian rice-growing countries.
Journal of Agricultural, Ecosystem & Environment, 91 pp. 59-71. PII: S
0167/8809(01)00260-2
[ADB] Asian Development Bank. 1998. Asia Least-cost Greenhouse Gas
Abatement Strategy. Philippines. Asian Development Bank Publisher.
Badan Litbang Pertanian. 2011. Pedoman umum mitigasi perubahan iklim Sektor
Pertanian. Jakarta (ID). Kementerian Pertanian.
Bates J. 2001. Economics evaluation of emission reductions of nitrous oxides and
methane in agriculture in the EU: bottom up analysis. In : Contribution to a
study for DG Environment. European Commission by Ecofys Energy and
Environmnent and National Technical University of Athens.
Beach RH, DeAngelo BJ, Rose S, Li C, Salas W, DelGrosso SJ. 2008.
Mitigation potential and cost for global agricultural greenhouse gas
emission. Journal of Agricultural Economics 38 (2), pp . 109-115. Doi:
10.1111/j.1574-0862.2008.00286.x
Boer R. 2009. Sekilas Status Komunikasi Nasional Indonesia untuk Perubahan
Iklim dipresentasikan pada Enabling Activities for the Preparation of
Indonesia’s SNC, Jakarta 21 April 2009. Kementrian Lingkungan Hidup
bekerjasama dengan UNDP Indonesia.
Bouwman AF. 1996. Direct emission of nitrous oxide from agricultural soils.
Nutrient Cycling in Agroecosystems 46, pp. 53-70. Doi:
10.1007/BF00210224
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Propinsi Jambi Dalam Angka. Jambi
(ID) :BPS
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Propinsi Jawa Tengah Dalam Angka. Jawa
Tengah (ID): BPS
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Grobogan Dalam Angka. Grobogan (ID) : BPS
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Tanjung Jabung Timur Dalam Angka. Tanjung
Jabung Timur (ID) : BPS
Canadell JG, Corinne L, Michael R, Christopher B, Erik T, Philippe C,Thomas
JC, Nathan PG, Houghton RA, Gregg M. 2007. Contributions to
accelerating atmospheric CO2 growth from economic activity, carbon
intensity, and efficiency of natural sinks. PNAS. Vol 104 N0 47, pp. 18866-
18870
Cao M, Dent JB, Heal OW. 1995. Methane emissions from China’s paddyland.
Journal of Agriculture, Ecosystems and Environment 55 (2): 129–137. SSDI
0167-8809 (95) 00613-3 SSDI0167-8809(95)00613-3 SSDI0167-8809(95)00613-3SSDI0167-
8809(95)00613-3
Chadwick DR, Sneath RW, Phillips VR, Pain BF. 1999. A UK inventory of
nitrous oxide emissions from farmed livestock. Atmospheric Environment
33 : 3345-3354. Doi: 10.1016/S1352-2310 (98) 00379-3

53
54

Chen GQ, BoZhang, 2010. Greenhouse gas emissions in China 2007: Inventory
and input–output analysis. Journal of Energy Policy 38 : 6180-6193. Doi:
10.1016/j.enpol.2010.06.004
DeAngelo BJ, de la Chesnaye FC, Beach RH, Sommer A, Murray BC. 2006.
Methane and nitrous oxide mitigation in agriculture. The Energy Journal,
Special Issue, pp 89-108.
DeCara S, Houze M, Jayet PA. 2011. Marginal abatement cost of greenhouse gas
emission from European agriculture, cost effectiveness, and the EU non-
ETS burden sharing agreement. Ecological Economics 70 : 1680-1690. Doi:
10.1016/j.ecolecon.2011.05.007
[DNPI] Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2009. Kurva Biaya Pengurangan
Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia. Jakarta. DNPI.
[FAO] Food & Agricultural Organization. 2010. Using marginal Abatement Cost
Curves to realize the economics appraisal of climate smart agriculture
policy options, The Ex Ante Carbon-balance Tool. EasyPol Module
(http://www.fao.org/docs/up/easypol/780/ex-act-tech-guideline 101en.pdf)
akses 26 Juli 2013.
Freibauer A. 2003. Regionalised inventory of biogenic greenhouse gas emissions
from European agriculture. Europ. J. Agronomy 19 : 135-160
Glenn AJ, Tenuta M, Amiro BD, Mass SE, Wagner-Riddle C. 2012. Nitrouse
oxide emissions from an annual crop rotation on poorly drained soil on the
Canadian Prairies. Journal of Agricultural and Forest Meteorology, 166-
167 pp. 41-49. Doi:10.1016/j.agrformet.2012.06.015
[IEA] International Energy Agency. 2009. Methodology for Calculating
Electricity and Heat Marginal Abatement Cost Curves (MACC). World
Energy Outlook. International Energy Agency, Paris.
[Second Natcom] Indonesia Second National Communication Under The United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). 2010.
Present and Future Generation. Kementrian Lingkungan Hidup.
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap. 2011. Sektor Pertanian. Bappenas.
[IPCC] Inter-governmental Panel on Climate Change. 1996. Second Assesment
Report. Intergovernmental Panel on climate Change, Geneva.
[IPCC] Inter-governmental Panel on Climate Change. 2006. IPCC Guidelines for
National Greenhouse Gas Inventories. Prepared by The National
Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleton HS, Buendia L, Miwa K,
Ngara T. and Tanabe K. (eds.). Penerbit IGES Jepang.
[IPCC] Inter-governmental Panel on Climate Change. Climate Change 2007: The
Physical Science Basis. Historical Overview of Climate Change Siences.
Intergovernmental Panel on Climate Change, Geneva
. Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Changes in
Atmospheric Constituents and in Rradiative Forcing. Intergovernmental
Panel on Climate Change, Geneva.
Jones SK, Rees RM, Kosmas D, Skiba UM. 2007. Influence of organic and
mineral N fertilizer on N2O fluxes from a temperate grassland. Journal of
Agriculture, Ecosystem and Environment 121: 74-73. Doi :
10.1016/j.agee.2006.12.006
Khalil MAK, Rasmussen RA. 1993. Decreasing trend of methane:
Unpredictability of future concentrations. Chemosphere 26: 803–814

54
55

Konsorsium PI report 2008-2009. Identifikasi dan Pengujian Varietas Padi


Rendah Emisi Gas Rumah Kaca. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Jakarta
Las I. 2007. Antisipasi Perubahan Iklim dalam Tabloid Sinar Tani edisi 14 – 20
November 2007.
Levy PE, Mobbs DC, Jones SK, Milne R, Campbell C, Sutton M A. 2007.
Simulation of Fluxes of Greenhouse Gases from European Grasslands Using
the DNDC Model. Journal of Agriculture, Ecosystems and Environment
121 : 186 – 192. Doi : 10.1016/j.agee.2006.12.019.
Laporan Tahunan Balingtan 2003. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Pati
(ID): Balingtan. Jawa Tengah
Laporan Tahunan Balingtan 2004. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Pati
(ID): Balingtan. Jawa Tengah
Laporan Tahunan Balingtan 2005. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Pati
(ID): Balingtan. Jawa Tengah
Laporan Tahunan Balingtan 2008. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Pati
(ID): Balingtan. Jawa Tengah
Laporan Tahunan Balingtan 2009. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Pati
(ID): Balingtan. Jawa Tengah
Laporan Tahunan Balingtan 2010. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Pati
(ID): Balingtan. Jawa Tengah
Laporan Tahunan Balingtan 2011. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Pati
(ID): Balingtan. Jawa Tengah
Liang L, Lal R, Zhangliu D, Wu W, Meng F. 2013. Estimation of nitrouse oxide
and methane emission from livestock of urban agriculture in Beijing.
Journal of Agriculture, Ecosystem and Environment., 170: 28-35. Doi:
10.1016/j.agee.2013.02.005
Mac Leod M, Moran D, Wall E, Eory V, McVittie A, Barnes A, Rees R, Topp C,
Pajot G, Matthews R, Smith P, Moxey A. 2010. Developing greenhouse gas
marginal abatement cost curve for agricultural emission from crops and soil
in the UK. Journal of Agricultural System 103 : 198-209.
Doi:10.1016/j.agsy.2010.01.002.
Maljanen M, Hytonen J, Martikainen PJ. 2001. Fluxes of N2O, CH4 and CO2 on
afforested boreal agricultural soils. Plant Soil 231 : 113–121. Doi :
10.1023/A:1010 3729 148 05
Mario, MD. 2002. Peningkatan Produktivitas dan Stabilitas Tanah Gambut
dengan Pemberian Tanah Mineral yang Diperkaya oleh Bahan Berkadar
Besi Tinggi [Disertasi]. Bogor (ID) : Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
McKinsey & Company, 2008. Pathways to a low-carbon economy – global
greenhouse gases (GHG) abatement costs curve. Version 1 of The Global
Greenhouse Gas Abatement Costs Curve.
McKinsey & Company, 2009. Pathways to a low-carbon economy – global
greenhouse gases (GHG) abatement costs curve. Version 2 of The Global
Greenhouse Gas Abatement Costs Curve
(http://globalghgcostcurve.bymckinsey.com/) akses 4 september 2013.

55
56

Meijede A, Garcia-Torres L, Arce A, Vallejo A. 2009. Nitrogen oxide emissions


affected by organic fertilization in a non-irrigated Mediterranean barley
field. Journal of Agriculture, Ecosystem and Environment, 132: 106-115.
Doi:10.1016/j.agee.2009.03.005
Merino P, Ramirez-Fanlo E, Arriaga H, del Hierro O, Artetxe A, Viguria M. 2011.
Regional inventory of methane and nitrouse oxide emission from ruminant
livestock in the Basque Country. Journal of Animal Feed Science and
Technology 166 : 628-640. Doi:10.1016/j.anfeedsci.2011.04.081
Moran D, MacLeod M, Wall E, Eory V, McVittie A, Barnes A, Rees R, Topp C,
Pajot G, Matthews R, Smith P, Moxey A. 2010. Marginal abatement costs
curves for UK agricultural greenhouse gas emissions. Journal of
Agricultural Economics. Doi: 10.1111/j.1477-9552.2010.00268.x.
. 2011. Developing carbon budgets for UK agriculture,
land use, land-use change and forestry out to 2022. Climate Change 105
(34) : 43-49. Doi :10.1007/s10584-010-9898-2
Mosier A, Kroeze C, Nevison C, Oenema O, Seitzinger S, van Cleemput O .1999.
An overview of the revised 1996 IPCC guidelines for national greenhouse
gas inventory methodology for nitrous oxide from agriculture.
Environmental Science & Policy 2(3):325–333. PII : S1462-9011(99) 000
22-2.
Mosier AR, Halvorson AD, Reule CA, Liu XJ . 2006. Net global warming
potential and greenhouse gas intensity in irrigated cropping systems in
Northeastern Colorado. J Environmental Quality 35(4):1584–1598. Doi:
10.2134/jeq2005.0232.
Neufeldt N, Scha¨fer M, Angenendt E, Li C , Kaltschmitt M, Zeddies J. 2006.
Disaggregated greenhouse gas emission inventories from agriculture via a
coupled economic-ecosystem model. Journal of Agriculture, Ecosystems and
Environment 112: 233-240.doi:10.1016/j.agee.2007.07.008
Pearson P, Palmer M. 2000. Atmospheric carbon dioxide concentrations over the
past 60 million years. Nature 406: 695-698
[Perpres 61] Peraturan Presiden. 2011. Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional. Pemerintah Indonesia.
[Perpres 71] Peraturan Presiden. 2011. Penyelenggaraan Inventarisasi GRK oleh
Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kab/Kota. Pemerintah Indonesia
Petit, J.R., Jouzel J., Raynaud D., Barkov N.I., Barnola J.M., Bender M.,
Chappellaz J., Davisk M., Delaygue G., 1999. Climate and atmospheric
history of the past 420.000 years from the Vostok ice core, Antartica. Nature
299 : 429-431
Salampak, 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut yang Disawahkan
dengan Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi Tinggi
[Disertasi]. Bogor (ID) Program Pascasarjana Institute Pertanian Bogor.
Sathaye, Jayant A, Meyers S. 1995. Greenhouse Gas Mitigation: A Guideline.
[http://ies.lbl.gov/iespubs/ggma/ghgcontents.html]
Setyanto P, Makarim AK, Fagi AM, Wassmann R, Buendia LV. 2000. Crop
management affecting methane emission from irrigated and rainfed rice in
central Java. Journal of Nutrient Cycling Ecosystem. 58 : 85-93

56
57

Setyanto P, Rosenani AB, Fauziah CI. 2002. Influence of soil properties on CH4
emission from rice field. Indonesian Journal of Agricultural Science.
IAARRD. MoA Indonesia
Setyanto P, Rosenani AB, Boer R, Fauziah CI, Khanif MJ. 2005. The Effect of
Rice Cultivars on Methane Emission From Irrigated Rice Field. Indonesian
Journal of Agricultural Science. IAARRD. MoA Indonesia
Setyanto P, Ariani M, Makarim AK. 2010. Reduksi emisi metana melalui varietas
padi. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Inovasi Sumberdaya
Lahan Pertanian. 2010. Buku I. BBSDLP hal. 231-245. ISBN 978-979-
8039-24-6
Setyanto P, Kartikawati R. 2011. Integrated rice crop management for low
emitance of methane. Indonesian Journal of Agriculture Sciences 4 (1): 8-
16.
Siegenthaler U, Stocker TF, Monnin E, Luthi D, Schwander J, Stauffer B,
Raynaud D, Barnola JM, Fische H, Masson-Delmonte V. 2005. Stable
carbon cycle-climate relationship during the Late Pleistocene. Science 310:
1313-131
Smith P, Martino D, Cai Z, Gwary D, Janzen H, Kumar P, McCarl B, Ogle S,
O’mara F, Rice C, Scholes B, Sirotenko O, Howden M, McAllister T, Pan G,
Romanenkov V, Uwe Scneider U, Towprayoon S. 2006. Policy and
technological constraints to implementation of greenhouse gas mitigation
options in agriculture. Agriculture, Ecosystems and Environment, 118: 6-28.
Doi: 10.1016/j.agee.2006.06.006
.2008. Greenhouse gas mitigation in agriculture.
Philosophical Transactions of the Royal Society. Biological Sciences 363:
789-813. Doi: 10.1098/rstb.2007.2184
[SNI ISO 14064] Standart Nasional Indonesia. 2009. Gas Rumah Kaca-Bagian
1 :Spesifikasi dengan Panduan pada Level Organisasi untuk Kuantifikasi
dan Pelaporan Emisi dan Penghilangan Gas Rumah Kaca. Badan
Standarisasi Nasional. Jakarta.
Subiksa IGM, Nugroho K, Sholeh M, Widjaja Adhi IPG. 1997. The effect of
ameliorants on the chemical properties and productivity of peat soil. In:
Rieley and Page (Eds). pp:321-326. Biodiversity and Sustainability of
Tropical Peatlands.Samara Publishing Limited, UK
Susilawati HL, Ariani M, Kartikawati R, Setyanto P. 2011. Ameliorasi Tanah
Gambut Meningkatkan Produksi Padi dan Menekan Emisi Gas Rumah
Kaca.Sinar Tani Edisi 6-12 Maret 2011 No 3400 Tahun XLI.
[USEPA] Unied Nation Environmental Protection Agency. 2005. Greenhouse gas
mitigation potential in US forestry and agriculture. EPA 430-R-05-006.
Washington, DC : US Environmental Protection Agency.
[USDA] United Nation Department of Agriculture., 2011. U.S. Agriculture and
Forestry Greenhouse Gas Inventory: 1990-2008, Climate Change Program
Office, Office of the Chief Economist, U.S. Department of Agriculture.
Technical Bulletin No. 1930. 159 pp. June, 2011.
Verge XPC, Kimpe CD, Desjardins RL. 2007. Agricultural Production,
Greenhouse Gas Emissions and Mitigation Potential. Agricultural and
Forest Meteorology. 142 : 255-269. doi:10.1016/j.agrformet.2006.06.011

57
58

Vermont B, DeCara S. 2010. How costly is mitigation of non-CO2 greenhouse gas


emission from agriculture? A meta analyisis. Ecological Economics 69
(7) :1373-1386.doi:10.1016/j.ecolecon.2010.02.020
Wassmann R, Neue HU, Lantin RS, Buendia LV, Rennenberg H. 2000.
Characterization of methane emissions from rice fields in Asia. I.
Comparison among field sites in five countries. Nutr. Cycling Agroecosyst.
58:1-12.
Watanabe A, Kajiwara M, Tashiro T, Kimura M. 1995. Influence of rice cultivar
on methane emission from paddy fields. Plant Soil, 176: 51-56.
Doi:10.1007/BF00017674
Weiske A. 2005. Survey of technical and management-based mitigation measures
in agriculture. Impact of environmental agreements on the common
agricultural policy, Institute of European environmental policy. London.
Weiske A. 2006. Selection and specification of technical and management-based
measures in agricultural production for modelling. Impact of environmental
agreements on the common agricultural policy, Institute of European
environmental policy. London.
Weiss F, Leip A. 2012. Greenhouse gas emissions from the EU livestock sector.
Journal of Agriculture, Ecosystems and Environment, 149: 124-134.
doi:10.1016/j.agee.2011.12.015

58
59

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil perhitungan status emisi dengan IPCC 2006 worksheet

Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola

Kabupaten Grobogan tahun 2006


Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use
Category Direct N2O Emissions from Managed Soils (2006)
Category code 3C4
Sheet 1 of 2
Equation Equation 11.1
Annual amount of N applied Emission factor for N 2O emissions from Annual direct N 2O-N
N inputs emissions
produced from
managed soils
Anthropogenic N input type -1 -1 -1
(kg N yr ) [kg N2O-N (kg N input) ] (kg N 2O-N yr )

N 2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 29,606,209 0.01 465,240
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 2,140,000 0.01 33,629
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N 2O-N EF1
FSOM : N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 11,152,815 0.003 52,578
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 500,000 0.003 2,357
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N 2O-N EF1FR
FSOM : N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

Total 553,804

59
60

Kabupaten Grobogan tahun 2007


Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use
Category Direct N2O Emissions from Managed Soils (2007)
Category code 3C4
Sheet 1 of 2
Equation Equation 11.1
Annual amount of N applied Emission factor for N 2O emissions from Annual direct N 2O-N
N inputs emissions
produced from
managed soils
Anthropogenic N input type -1 -1
(kg N yr ) [kg N2O-N (kg N input) ] (kg N2O-N yr-1)

N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 29,167,606 0.01 458,348
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 5,812,000 0.01 91,331
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N 2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 11,383,965 0.003 53,667
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 510,600 0.003 2,407
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N 2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

Total 605,754

60
61

Kabupaten Grobogan tahun 2008


Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use
Category Direct N2O Emissions from Managed Soils (2008)
Category code 3C4
Sheet 1 of 2
Equation Equation 11.1
Annual amount of N applied Emission factor for N 2O emissions from Annual direct N 2O-N
N inputs emissions
produced from
managed soils
Anthropogenic N input type -1 -1 -1
(kg N yr ) [kg N2O-N (kg N input) ] (kg N2O-N yr )

N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 29,291,477 0.01 460,295
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 10,678,000 0.01 167,797
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N 2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 11,728,850 0.003 55,293
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 1,235,000 0.003 5,822
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N 2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

Total 689,207

61
62

Kabupaten Grobogan tahun 2009


Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use
Category Direct N2O Emissions from Managed Soils (2009)
Category code 3C4
Sheet 1 of 2
Equation Equation 11.1
Annual amount of N applied Emission factor for N 2O emissions from Annual direct N 2O-N
N inputs emissions
produced from
managed soils
Anthropogenic N input type
(kg N yr-1)
-1
[kg N2O-N (kg N input) ] (kg N2O-N yr-1)

N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 31,489,600 0.01 494,837
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 3,418,000 0.01 53,711
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N 2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 12,444,955 0.003 58,669
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 1,108,400 0.003 5,225
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

Total 612,442

62
63

Kabupaten Grobogan tahun 2010


Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use
Category Direct N2O Emissions from Managed Soils (2010)
Category code 3C4
Sheet 1 of 2
Equation Equation 11.1
Annual amount of N applied Emission factor for N2O emissions from Annual direct N2O-
N inputs N emissions
produced from
managed soils
Anthropogenic N input type
(kg N yr-1) [kg N2O-N (kg N input)-1] (kg N2O-N yr-1)

N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
F : N in synthetic
synthetic fertilizers SN
fertilizers 30,635,478 0.01 481,415
FON : N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 1,972,000 0.01 30,989
Anthropogenic N
input types to FCR : N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N FSOM: N in mineral EF1
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land
loss of soil C from
use or
soil organic matter
management
as a result of
changes to land
use or
management
FSN : N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 12,913,580 0.003 60,878
FON : N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 1,726,600 0.003 8,140
Anthropogenic N
input types to FCR : N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N FSOM: N in mineral EF1FR
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land
loss of soil C from
use or
soil organic matter
management
as a result of
changes to land
use or
management
Total 581,421

63
64

Kabupaten Grobogan tahun 2011


Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use
Category Direct N2O Emissions from Managed Soils (2011)
Category code 3C4
Sheet 1 of 2
Equation Equation 11.1
Annual amount of N applied Emission factor for N 2O emissions from Annual direct N 2O-N
N inputs emissions
produced from
managed soils
Anthropogenic N input type -1 -1 -1
(kg N yr ) [kg N2O-N (kg N input) ] (kg N2O-N yr )

N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 28,375,121 0.01 445,895
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 2,424,000 0.01 38,091
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 13,444,075 0.003 63,379
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 3,183,400 0.003 15,007
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

Total 562,373

64
65

Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola

Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2006


Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use
Category Direct N2O Emissions from Managed Soils (2006)
Category code 3C4
Sheet 1 of 2
Equation Equation 11.1
Annual amount of N applied Emission factor for N 2O emissions from Annual direct N 2O-N
N inputs emissions
produced from
managed soils
Anthropogenic N input type -1 -1 -1
(kg N yr ) [kg N2O-N (kg N input) ] (kg N2O-N yr )

N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 24,438,643 0.01 384,036
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 75,200 0.01 1,182
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N 2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 3,675,285 0.003 17,326
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 0.003 0
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N 2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

Total 402,544

65
66

Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2007


Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use
Category Direct N2O Emissions from Managed Soils
Category code 3C4
Sheet 1 of 2
Equation Equation 11.1
Annual amount of N applied Emission factor for N 2O emissions from Annual direct N 2O-N
N inputs emissions
produced from
managed soils
Anthropogenic N input type
(kg N yr-1) [kg N2O-N (kg N input)-1] (kg N2O-N yr-1)

N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 28.425.302 0,01 446.683
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 82.400 0,01 1.295
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 0,003 10.144
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 0,003 0
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

Total 458.122

66
67

Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2008


Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use
Category Direct N2O Emissions from Managed Soils
Category code 3C4
Sheet 1 of 2
Equation Equation 11.1
Annual amount of N applied Emission factor for N 2O emissions from Annual direct N 2O-N
N inputs emissions
produced from
managed soils
Anthropogenic N input type
(kg N yr-1)
-1 -1
[kg N2O-N (kg N input) ] (kg N2O-N yr )

N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 27.385.327 0,01 430.341
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 80.000 0,01 1.257
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 0,003 10.036
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 0,003 0
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

Total 441.634

67
68

Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2009


Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use
Category Direct N2O Emissions from Managed Soils
Category code 3C4
Sheet 1 of 2
Equation Equation 11.1
Annual amount of N applied Emission factor for N 2O emissions from Annual direct N 2O-N
N inputs emissions
produced from
managed soils
Anthropogenic N input type
(kg N yr-1)
-1 -1
[kg N2O-N (kg N input) ] (kg N2O-N yr )

N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 33.853.293 0,01 531.980
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 115.200 0,01 1.810
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 0,003 9.699
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 0,003 0
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

Total 543.489

68
69

Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2010


Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use
Category Direct N2O Emissions from Managed Soils
Category code 3C4
Sheet 1 of 2
Equation Equation 11.1
Annual amount of N applied Emission factor for N 2O emissions from Annual direct N 2O-N
N inputs emissions
produced from
managed soils
Anthropogenic N input type
(kg N yr-1)
-1 -1
[kg N2O-N (kg N input) ] (kg N2O-N yr )

N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 36.773.568 0,01 577.870
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 122.000 0,01 1.917
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 0,003 8.894
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 0,003 0
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

Total 588.682

69
70

Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2011


Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use
Category Direct N2O Emissions from Managed Soils
Category code 3C4
Sheet 1 of 2
Equation Equation 11.1
Annual amount of N applied Emission factor for N 2O emissions from Annual direct N 2O-N
N inputs emissions
produced from
managed soils
Anthropogenic N input type
(kg N yr-1)
-1 -1
[kg N2O-N (kg N input) ] (kg N2O-N yr )

N2O inputs = (F *
Table 11.1
EF)*44/28
F EF N2O inputs
FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 42.382.413 0,01 666.009
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 202.000 0,01 3.174
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
managed soils association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

FSN: N in synthetic
synthetic fertilizers
fertilizers 0,003 9.242
FON: N in animal
animal manure,
manure, compost,
compost, sewage
sewage sludge,
sludge
other 0,003 0
Anthropogenic N
input types to FCR: N in crop
crop residues
estimate annual residues
direct N2O-N EF1FR
FSOM: N in mineral
emissions soils that is
produced from mineralised, in
flooded rice association with
changes to land use
loss of soil C from
or management
soil organic matter
as a result of
changes to land use
or management

Total 678.426

70
71

Emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola

Kabupaten Grobogan
Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use

Category Indirect N2O Emissions from Managed Soils: N2O from Atmospheric Deposition of N Volatilised from Managed Soils
Category code 3C5
Sheet 1 of 2
Equation Equation 11.9
Annual amount of Fraction of synthetic Annual amount of Annual amount of Fraction of applied Emission factor for Annual amount of
synthetic fertilizer N fertilizer N that animal manure, urine and dung N organic N fertilizer N2O emission from N2O-N produced
applied to soils volatilises compost, sewage deposited by materials (FON) and atmospheric from atmospheric
sludge and other grazing animals on of urine and dung N deposition of N on deposition of N
organic N additions pasture, range and deposited by soils and water volatilised from
intentionally applied paddock grazing animals surfaces managed soils
to soils (FPRP) that volatilises

Anthropogenic N
input type (kg NH3-N + NOx-N) (kg N2O-N) (kg NH3-
-1
(kg NH3-N + NOx-N) -1 -1 -1
(kg N yr ) (kg N yr ) (kg N yr ) (kg of N applied or N + NOx-N (kg N2Oyr )
(kg of N applied)-1
deposited)-1 volatilized)-1

N2O(ATD)-N = [(FSN *
FracGASF ) + (FON +
Table 11.3 Table 11.3 Table 11.3
FPRP) * FracGASM)] *
EF4
FSN FracGASF FON FPRP FracGASM EF4 N2O
2006 40,759,024 0.1 2,140,000 0.2 0.01 70,776
2007 40,551,571 0.1 6,322,600 0.2 0.01 83,595
2008 41,020,327 0.1 1,191,300 0.2 0.01 68,205
2009 43,934,555 0.1 4,526,400 0.2 0.01 83,266
2010 38,549,058 0.1 3,698,600 0.2 0.01 72,201
2011 41819196 0.1 5607400 0.2 0.01 83339
Total

Kabupaten Tanjung Jabung Timur


Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use

Category Indirect N2O Emissions from Managed Soils: N2O from Atmospheric Deposition of N Volatilised from Managed Soils
Category code 3C5
Sheet 1 of 2
Equation Equation 11.9
Annual amount of Fraction of synthetic Annual amount of Annual amount of Fraction of applied Emission factor for Annual amount of
synthetic fertilizer N fertilizer N that animal manure, urine and dung N organic N fertilizer N2O emission from N2O-N produced
applied to soils volatilises compost, sewage deposited by materials (FON) and atmospheric from atmospheric
sludge and other grazing animals on of urine and dung N deposition of N on deposition of N
organic N additions pasture, range and deposited by soils and water volatilised from
intentionally applied paddock grazing animals surfaces managed soils
to soils (FPRP) that volatilises

Anthropogenic N
input type (kg NH3-N + NOx-N) (kg N2O-N) (kg NH3-
(kg NH3-N + NOx-N) -1
(kg N yr-1) (kg N yr-1) (kg N yr-1) (kg of N applied or N + NOx-N (kg N2Oyr )
(kg of N applied)-1
deposited)-1 volatilized)-1

N2O(ATD)-N = [(FSN *
FracGASF ) + (FON +
Table 11.3 Table 11.3 Table 11.3
FPRP) * FracGASM)] *
EF4
FSN FracGASF FON FPRP FracGASM EF4 N2O
2006 28,113,928 0.1 75,200 0.2 0.01 44,415
2007 32,165,562 0.1 82,400 0.2 0.01 50,805
2008 31,232,997 0.1 80,000 0.2 0.01 49,332
2009 37,641,393 0.1 115,200 0.2 0.01 59,513
2010 40,339,143 0.1 122,000 0.2 0.01 63,774
2011 45801018 0.1 202000 0.2 0.01 72608
Total

71
72

Emisi CO2 dari penggunaan pupuk urea

Kabupaten Grobogan
Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use
Urea Fertilization: Annual CO2 emissions from Urea
Category Fertilization
Category code 3C3
Sheet 1 of 1
Equation Equation 11.13
Annual am ount of Em is s ion factor Annual CO2-C
Urea Fertilization em is s ions from
Urea Fertilization
Subcategories for [tonnes of C (tonne
(tonnes urea yr-1)
-1
(tonnes C yr )
reporting year of urea)-1]
CO2 Em is s ion =(M *
default is 0.20
EF)*44/12
M EF CO2 Emission
2006 80,102 16,020 58,741
2007 77,842 15,568 57,084
2008 79,930 15,986 58,615
2009 84,042 16,808 61,631
2010 74,233 14,847 54,438
2011 78,408 15,682 57,499

Total

Kabupaten Tanjung Jabung Timur


Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use
Urea Fertilization: Annual CO2 emissions from Urea
Category Fertilization
Category code 3C3
Sheet 1 of 1
Equation Equation 11.13
Annual am ount of Em is s ion factor Annual CO2-C
Urea Fertilization em is s ions from
Urea Fertilization
Subcategories for [tonnes of C (tonne
(tonnes urea yr-1) -1 (tonnes C yr-1)
reporting year of urea) ]
CO2 Em is s ion =(M *
default is 0.20
EF)*44/12
M EF CO2 Emission
2006 55,322 11,064 40,569
2007 62,354 12,471 45,726
2008 60,424 12,085 44,311
2009 73,780 14,756 54,105
2010 79,215 15,843 58,091
2011 91,017 18,203 66,746

Total

72
73

Emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah

Kabupaten Grobogan
Data Aktivitas
Irigasi Teknis 1/2 teknis sederhana Irigasi Desa/Non PU tadah hujan
CF water regim 1 1 0.46 0.46 0.49
musim 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 total
2006 18688 1801 1745 5509 24287 10467 62765
2007 18694 1801 1690 5509 24133 10206 63435
2008 26 18644 1801 1669 5506 25207 10501 63729
2009 26 18644 1801 1669 5506 25207 10501 63729
2010 21 18185 1528 240 2705 468 7196 20278 13840 64790
2011 21 18185 1528 240 2705 468 7196 20278 13840 64790

Emisi CH4
Emisi CH4 total (Gg CH4)
2006 0.00 6.01 0.00 0.58 0.00 0.26 0.00 0.82 1.91 1.65 11.23
2007 0.00 6.02 0.58 0.00 0.25 0.00 0.82 1.90 1.61 11.17
2008 0.00 6.00 0.58 0.00 0.25 0.00 0.82 1.99 1.66 11.28
2009 0.00 6.00 0.58 0.00 0.25 0.00 0.82 1.99 1.66 11.28
2010 2.28 3.34 0.49 0.02 0.40 0.03 0.61 1.60 2.18 10.95
2011 1.84 3.34 0.49 0.02 0.40 0.03 0.61 1.60 2.18 10.51

Kabupaten Tanjung Jabung Timur


Data Aktivitas
Irigasi Teknis 1/2 teknis sederhana tadah hujan Pasang surut
Musim 1x 2x 1x 2x 1x 2x 1 2 1 2 3 total
Water rejim 0.49 0.6
2006 1251 31524 32775
2007 1336 32595 112 34043
2008 1430 32317 22 33769
2009 1605 30881 85 32571
2010 1165 28584 99 29848
2011 1542 26614 1352 86 29594

Emisi CH4
emisi CH4 Gg CH4
2006 0.52 16.00 0.00 0.00 16.52
2007 0.55 16.55 0.11 0.00 17.21
2008 0.59 16.40 0.02 0.00 17.02
2009 0.67 15.68 0.09 0.00 16.43
2010 0.48 14.51 0.10 0.00 15.09
2011 0.64 13.51 1.37 0.13 15.65

73
74

Emisi CH4 dari fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran

Kabupaten Grobogan
Sektor AFOLU
Kategori Emisi Metana dari Enterik Fermentation dan pengelolaan kotoran hewan
2006
Equation Equation 10.19 Eq.10.19 dan 10.20 Equation 10.22
EF dari Enterik Emisi CH4 dari Enterik EF untuk Manure Emisi CH4 dari Manure
Jenis Ternak Jumlah Ternak Total CH4
Fermentation Fermentation Management Management
(Ekor) (Kg/ekor/th) (Gg CH4/th) (Kg/ekor/th) (Gg CH4/th) (Gg CH4/th)
-6 -6
CH4 enterik = N (T)*EF(T)*10 CH4 manure = N (T)*EF(T)*10
T N (T) EF (T) CH4 Enterik EF (T) CH4 manure
Tabel 10.10 & 10.11 Tabel 10.14 - 10.16
Sapi perah 388 61 0.02 31 0.012 0.04
Sapi potong 104,135 55 5.73 2 0.208 5.94
Kerbau 1,901 55 0.10 2 0.004 0.11
Domba 15,625 5 0.08 0.2 0.003 0.08
Kambing 98,979 5 0.49 0.22 0.022 0.52
Kuda 722 18 0.01 2.19 0.002 0.01

Total 221,750 6.44 0.251 6.69

Kabupaten Tanjung Jabung Timur


Sektor AFOLU
Kategori Emisi Metana dari Enterik Fermentation dan pengelolaan kotoran hewan
2006
Equation Equation 10.19 Eq.10.19 dan 10.20 Equation 10.22
EF dari Enterik Emisi CH4 dari Enterik EF untuk Manure Emisi CH4 dari Manure
Jenis Ternak Jumlah Ternak Total CH4
Fermentation Fermentation Management Management
(Ekor) (Kg/ekor/th) (Gg CH4/th) (Kg/ekor/th) (Gg CH4/th) (Gg CH4/th)
-6 -6
CH4 enterik = N (T)*EF(T)*10 CH4 manure = N (T)*EF(T)*10
T N (T) EF (T) CH4 Enterik EF (T) CH4 manure
Tabel 10.10 & 10.11 Tabel 10.14 - 10.16
Sapi perah 61 0.00 31 0.000 0.00
Sapi potong 8,746 55 0.48 2 0.017 0.50
Kerbau 449 55 0.02 2 0.001 0.03
Domba 118 5 0.00 0.2 0.000 0.00
Kambing 13,497 5 0.07 0.22 0.003 0.07
Kuda 18 0.00 2.19 0.000 0.00

Total 22,810 0.57 0.021 0.60

74
75

Emisi N2O dari pengelolaan kotoran

Kabupaten Grobogan
Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use
Category Manure Management: Direct N2O Emissions from Manure Management Systems (2006)
Category code 3A2
Sheet 1 of 1
Equation Eq. 10.25 Equation 10.30 Equation 10.25
Number of Default N excretion Typical Annual N excretion Fraction of total annual nitrogen Total nitrogen Emission factor for Annual direct N2O emissions
animals rate animal per head of excretion managed in MMS for excretion for the direct N2O-N from Manure Management
mass for species/livestock each species/livestock category MMS 4 emissions from
livestock category3 MMS*)
category
Manure
Species/Livestock [kg N (kg N animal
-1
[kg N2O-N
Management
category -1
System (MMS)1 (head) (1000 kg animal)
-1 (kg) (-) (kg N yr-1) kg N2O yr
-1 year-1) (kg N in MMS)-1]
day ]
NEMMS = N2O(mm) =
Tables 10A- Nex(T) = Nrate(T) *
Table 10.19 4 to 10A-9 TAM * 10-3 * 365 Tables A4-A8 N(T) * Nex(T) * MS(T,S) Table 10.21 NEMMS * EF3(S) * 44/28
S T N(T) Nrate(T) TAM Nex(T) MS(T,S) NEMMS EF3(S) N2OD(mm)
PASTURA* Beef Cattle** 0 0.34 350 43.44 0 - -
Total
DRY LOT Dairy Cattle 327 0.47 319 54.72 100% 17,895 0.0144 405
Total
Beef Cattle*** 104,054 0.34 350 43.44 100% 4,519,585 0.0144 102,272
Buffalo 1,867 0.32 330 38.54 100% 71,962 0.0144 1,628
Sheep 15,625 1.17 28 11.96 100% 186,834 0.02 5,872
DRY LOT
Goats 99,969 1.37 30 15.00 100% 1,499,685 0.02 47,133
Swine 0 0.50 28 5.11 100% 0 0.02 0
Horses 701 0.46 238 39.96 100% 28,012 0.02 880

Total

POULTRY Broiler 36,489 1.10 0.9 0.36 100% 13,185 0.001 21


WITH LITTER Layer 1,064,600 0.82 1.8 0.54 100% 573,543 0.001 901

Total
POULTRY
WITHOUT Native Chicken 936,567 0.82 0.9 0.27 100% 252,283 0.001 396
LITTER Duck 94,872 0.83 1.5 0.45 100% 43,112 0.001 68

Total 2,355,071 159,172

Kabupaten Tanjung Jabung Timur


Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use
Category Manure Management: Direct N2O Emissions from Manure Management Systems (2006)
Category code 3A2
Sheet 1 of 1
Equation Eq. 10.25 Equation 10.30 Equation 10.25
Number of Default N excretion Typical Annual N excretion Fraction of total annual nitrogen Total nitrogen Emission factor for Annual direct N2O emissions
animals rate animal per head of excretion managed in MMS for excretion for the direct N2O-N from Manure Management
mass for species/livestock each species/livestock category MMS 4 emissions from
livestock category3 MMS*)
category
Manure
Species/Livestock [kg N (kg N animal
-1
[kg N2O-N
Management
category -1
System (MMS)1 (head) (1000 kg animal)-1 (kg) -1
(-) (kg N yr-1) -1
kg N2O yr
year ) (kg N in MMS) ]
day-1]
NEMMS = N2O(mm) =
Tables 10A- Nex(T) = Nrate(T) *
Table 10.19 4 to 10A-9 TAM * 10-3 * 365 Tables A4-A8 N(T) * Nex(T) * MS(T,S) Table 10.21 NEMMS * EF3(S) * 44/28
S T N(T) Nrate(T) TAM Nex(T) MS(T,S) NEMMS EF3(S) N2OD(mm)
PASTURA* Beef Cattle** 0 0.34 350 43.44 0 - -
Total
DRY LOT Dairy Cattle 0.47 319 54.72 100% 0 0.0144 0

Total
Beef Cattle*** 8,746 0.34 350 43.44 100% 379,883 0.0144 8,596
Buffalo 449 0.32 330 38.54 100% 17,306 0.0144 392
Sheep 118 1.17 28 11.96 100% 1,411 0.02 44
DRY LOT
Goats 13,497 1.37 30 15.00 100% 202,475 0.02 6,364
Swine 0.50 28 5.11 100% 0 0.02 0
Horses 0.46 238 39.96 100% 0 0.02 0

Total

POULTRY Broiler 56,980 1.10 0.9 0.36 100% 20,590 0.001 32


WITH LITTER Layer 0.82 1.8 0.54 100% 0 0.001 0
Total
POULTRY
WITHOUT Native Chicken 237,136 0.82 0.9 0.27 100% 63,877 0.001 100
LITTER Duck 27,737 0.83 1.5 0.45 100% 12,604 0.001 20

Total 344,663 15,548

75
76

Lampiran 2. Analisis Usahatani


Kabupaten Grobogan
ANALISA EKONOMI USAHA TANI (PER HA)
(La ha n Sa w a h / Ke ring) Ka b. Groboga n

Tanaman : Padi 2011


URAIAN TENAGA KERJA UPAHAN TENAGA KERJA KELUARGA
(RIL DIKELUARKAN)
F I S I K NILAI (Rp) F I S I K NILAI (Rp)
HKP HKWHKTJKM HKP HKW HKT JKM
INPUT
A. TENAGA KERJA
I Pra Panen
1 Pes em aian 5 - - - 150,000 1 - - - 25,000
2 Pengolahan tanah s /d s iap
tanam

- Mem bajak (Brngn Traktor) - - 1 350,000 - - - - -


- Menggaru/ Meratakan - - - - - - -
- Mencangkul 7 - - - 210,000 2 - - - 50,000
3 Menanam (borongan) 5 22 - - 460,000 1 - - 25,000
4 Mem upuk 5 - - - 150,000 1 - - - 25,000
5 Menyiang 6 18 - - 630,000 1 1 - - 42,000
6 Pengendalian H & P 4 - - - 100,000 1 - - - 25,000
7 Lain-lain
- ........................ 2 - - - 50,000 1 - - 25,000
- ........................
- ........................
Jumlah A.I 34 40 - 1 2,100,000 8 1 - - 217,000
II Pas ca Panen
1 Mem anen (borongan) - - - 510,000 1 - - 25,000
2 Merontok (borongan) - - - - - -
3 Mem bers ihkan - - - - -
4 Mengangkut 6 - - - 165,000 - - - - -
5 Mengeringkan 5 3 - 175,000 1 1 42,000
6 Menyim pan
7 Lain-lain
- ........................
- ........................
- ........................
Jumlah A.II 11 3 - - 850,000 2 1 - - 67,000
JUMLAH A = A.I+ A.II 45 43 - 1 2,950,000 10 2 - - 284,000

URAIAN RIL DIKELUARKAN DIPERHITUNGKAN


F I S I K NILAI Rp.) F I S I K NILAI Rp.)
B. SARANA PRODUKSI
1 Beniht (berlabel/tidak*) (kg) 40 240,000
2 Pupuk:
a. Anorganik (kg):
- Urea 250 387,500
- TSP 200 440,000
- KCl/ ZK 100 220,000
- ZA
- NPK / Phons ka - -
b. Organik (kg) - - 750 375,000
c. PPC
- ........................ (ltr) - -
- ........................ (ltr) - -
- ........................ (kg) - -
- ........................ (kg) - -
d. ZPT
- Score F720 (klg) 5.00 200,000
- .................. (ltr) - -
- .................. (kg) - -
- .................. (kg) - -
3 Pes tis ida
a. Padat (kg) 5
* Furadan 5 176,000

- ...............
b. Cair (ltr) - -
* Arivo 30 EC (klg) 10.0 65,000
- Fas tax 8.0 72,000
- ...............
4 Herbis ida (gr)
a. Padat (kg) - -
- ...............
- …………
b. Cair (ltr)
- ...............

- ...............
5
Fungis ida
- ...................... (ltr)
- ...................... (ltr)
-
- ...................... (kg)
6 Lain-lain
- Grentonik (klg) 6 45,000
- .......................
- .......................
- .......................
Jumlah B 1,845,500 375,000

C. LAIN-LAIN PENGELUARAN
1 Pajak Lahan (m us im ) 1 50,000 1 -
2 Sewa Tanah (ha/m us im ) 1 2,250,000 1
3 Bunga Kredit (m us im ) 1 - 1 -
4 Iuran P3A (m us im ) 1 50,000 1 -
Jumlah C 2,350,000 -
Jumlah A + B + C 7,145,500 659,000
TBRD TBD

OUTPUT
1 Total produks i = 6,032 kg
2 Harga rata-rata s etem pat di tingkat petani = Rp.3,250.- /kg
3 Nilai Total Produks i (NTP) = Total produks i x Harga = Rp.19,604,000.-
4 Total Biaya Produks i (TBP) = TBRD + TBD = Rp.7,804,500.-

PENDAPATAN BERSIH:
1 Secara Us aha Tani : NTP - TBP = Rp.11,799,500.-
2 Petani : NTP - TBRD = Rp.12,458,500.-

76
77

Kabupaten Tanjung Jabung Timur


ANALISA EKONOMI USAHA TANI (PER HA)
(La ha n Sa w a h / Ke ring) Ka b. Ta njung Ja bung Timur

Tanaman : Padi 2011


URAIAN TENAGA KERJA UPAHAN TENAGA KERJA KELUARGA
(RIL DIKELUARKAN)
F I S I K NILAI (Rp) F I S I K NILAI (Rp)
HKP HKWHKTJKM HKP HKW HKT JKM
INPUT
A. TENAGA KERJA
I Pra Panen
1 Pes em aian
2 Pengolahan tanah s /d s iap
tanam

- Manus ia - - 16 - - - 400,000
- Ternak - - - - - - -
- Mes in
3 Menanam (borongan) 25 - - 625,000 5 - - 125,000
4 Mem upuk 2 - - - 50,000
5 Menyiang 30 - - 750,000 10 - - 250,000
6 Pengendalian H & P 4 - - - 100,000
7 Lain-lain
- ........................
- ........................
- ........................
Jumlah A.I - 55 - - 1,375,000 22 15 - - 925,000
II Pas ca Panen
1 Mem anen (borongan) 16 14 - - 750,000 1 - - 25,000
2 Merontok (borongan) 16 14 - 750,000 - - -
3 Mem bers ihkan 2 50,000 - 2 - - 50,000
4 Mengangkut 8 - - - 200,000 - - - - -
5 Mengeringkan 2 1 - 75,000 1 1 42,000
6 Menyim pan
7 Lain-lain
- ........................
- ........................
- ........................
Jumlah A.II 42 31 - - 1,825,000 2 3 - - 117,000
JUMLAH A = A.I+ A.II 42 86 - - 3,200,000 24 18 - - 1,042,000

URAIAN RIL DIKELUARKAN DIPERHITUNGKAN


F I S I K NILAI Rp.) F I S I K NILAI Rp.)
B. SARANA PRODUKSI
1 Beniht (berlabel/tidak*) (kg) 30 150,000 60,000
2 Pupuk:
a. Anorganik (kg):
- Urea 150 225,000
- TSP 100 200,000
- KCl/ ZK 50 100,000
- ZA
- NPK / Phons ka - -
b. Organik (kg) - -
c. PPC
- ........................ (ltr) - -
- ........................ (ltr) - -
- ........................ (kg) - -
- ........................ (kg) - -
d. ZPT
- Score F720 (klg) 5.00 200,000
- .................. (ltr) - -
- .................. (kg) - -
- .................. (kg) - -
3 Pes tis ida
a. Padat (kg)
12 120,000

- ...............
b. Cair (ltr) - -
* Arivo 30 EC (klg)
- Fas tax
- ...............
4 Herbis ida (gr)
a. Padat (kg) - -
- ...............
- …………
b. Cair (ltr)
- ...............

- ...............
5
Fungis ida
- ...................... (ltr)
- ...................... (ltr)
-
- ...................... (kg)
6 Lain-lain
- Grentonik (klg)
- .......................
- .......................
- .......................
Jumlah B 995,000 60,000

C. LAIN-LAIN PENGELUARAN
1 Pajak Lahan (m us im ) 1 1 -
2 Sewa Tanah (ha/m us im ) 1 600,000 1
3 Bunga Kredit (m us im ) 1 - 1 -
4 Iuran P3A (m us im ) 1 1 -
Jumlah C 600,000 -
Jumlah A + B + C 4,795,000 1,102,000
TBRD TBD

OUTPUT
1 Total produks i = 4,172 kg
2 Harga rata-rata s etem pat di tingkat petani = Rp.4,250.- /kg
3 Nilai Total Produks i (NTP) = Total produks i x Harga = Rp.17,731,000.-
4 Total Biaya Produks i (TBP) = TBRD + TBD = Rp.5,897,000.-

PENDAPATAN BERSIH:
1 Secara Us aha Tani : NTP - TBP = Rp.11,834,000.-
2 Petani : NTP - TBRD = Rp.12,936,000.-

77
78

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kudus pada 22 maret 1981 sebagai anak pertama dari
pasangan Bambang Muryadi dan Djatmiatun. Pendidikan sarjana ditempuh di
Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas
Maret Surakarta lulus tahun 2002. Pada tahun 2011 penulis diterima di Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Program Pascasarjana
IPB.
Pada tahun 2006, penulis diterima bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Selama
menempuh pendidikan Program Pascasarjana IPB, penulis juga masih aktif
bekerja sebagai peneliti pada Balai Penelitian Lingkungan Pertanian dan
menerbitkan beberapa tulisan pada jurnal maupun prosiding dalam seminar
nasional, diantaranya adalah makalah berjudul “Emisi Nitro Oksida (N2O) Pada
Sistem Pengelolaan Tanaman Di Lahan Sawah Tadah Hujan” dan “Emisi Dan
Absorpsi Karbon Pada Penggunaan Ameliorant Pada Lahan Padi Gambut” yang
diterbitkan dalam Jurnal Tanah dan Iklim Balai Besar Sumberdaya Lahan
Pertanian serta makalah “Pengaruh Pemberian Jerami dan Pupuk Kandang
terhadap Emisi N2O dan Hasil Padi pada Sistem Integrasi Tanaman Ternak” yang
diterbitkan pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, Puslitbang
Tanaman Pangan. Sebuah makalah berjudul “Inventarisasi Emisi GRK Dari
Tanah Pertanian Menggunakan Metode IPCC 2006 dan Modifikasinya” yang
merupakan bagian Bab 2 dari tesis ini sedang menunggu penerbitan pada Jurnal
Tanah dan Iklim.

78

Anda mungkin juga menyukai