Anda di halaman 1dari 15

Parotitis, Morbili, Varicella

Parotitis

Gambaran Umum

Penyakit parotitis atau mumps atau yang biasa dikenal oleh masyarakat awam
sebagai penyakit gondong adalah suatu penyakit menular dimana seseorang terinfeksi
virus (Paramyxovirus) yang menyerang kelenjar ludah (kelenjar parotis) di antara
telinga dan rahang sehingga menyebabkan pembengkakan pada leher bagian atas atau
pipi bagian bawah (Forum Ilmiah Kesehatan Anak, 2014). Pada saluran kelenjar ludah
terjadi kelainan berupa pembengkakan sel epitel, pelebaran dan penyumbatan saluran.
Pada orang dewasa, infeksi ini dapat menyerang testis (buah zakar), sistem saraf pusat,
pankreas, prostat, payudara dan organ lainnya. Orang yang memiliki factor risiko
terbesar terkena penyakit ini yaitu mereka yang menggunakan atau mengkonsumsi
obat-obatan tertentu untuk menekan hormon kelenjar tiroid dan mereka yang
kekurangan zat Iodium dalam tubuh (Julie, 2012).

Insidensi

Sebelum ditemukan vaksin parotitis pada tahun 1967, penyakit parotitis


merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak- anak. Insidensi pada anak usia <15
tahun sebesar 85% dengan puncak insidensi pada usia 5-9 tahun. Setelah ditemukan
vaksin parotitis, kejadian parotitis menjadi jarang terjadi. Di negara Amerika dan
Inggris, didapatkan kurang dari 1000 kasus per tahun. Di Indonesia, tidak didapatkan
data mengenai insidensi terjadinya parotitis. Sejak tahun 1997-2008, terdapat 105
kasus parotitis di Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM). Kasus tersebut semakin berkurang tiap tahunnya, dengan
jumlah 11-15 kasus per tahun sebelum tahun 2000 dan 1-5 kasus per tahun setelah
tahun 2000. Pada tahun 2008 hanya ditemukan satu kasus parotitis (Syah, 2013).

1
Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh virus Mumps yaitu virus berjenis RNA virus yang
merupakan anggota famili Paramyxoviridae dan genus Paramyxovirus. Terdapat dua
permukaan glikoprotein yang terdiri dari hemagglutinin-neuraminidase dan fusion
protein. Virus Mumps sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet. (Forum Ilmiah
Kesehatan Anak, 2014).

Manifestasi Klinis

Menurut Anggraeni dan Utama (2012), gejala dari parotitis tidak selalu dialami
oleh orang yang terinfeksi virus paramyxovirus ini, sekitar 30-40% penderita tidak
menunjukkan tanda- tanda sakit. Namun demikian mereka sama seperti dengan
penderita lainnya yang mengalami keluhan yaitu dapat menjadi sumber penularan
penyakit tersebut. Masa inkubasi penyakit gondong sekitar 12-24 hari dengan rata- rata
17-18 hari. Berikut gejala- gejala yang dialami oleh penderita parotitis :

1. Gejala awal (1-2 hari) berupa demam tinggi sekitar 38,5-400C, sakit kepala,
nyeri otot, kehilangan nafsu makan, nyeri pada rahang bagian belakang saat
mengunyah, terkadang disertai kaku rahang sehingga sulit untuk membuka
mulut.
2. Terjadi pembengkakan kelenjar di bawah telinga (parotis) yang diawali dengan
pembengkakan salah satu sisi kemudian keduanya mengalami pembengkakan.
Pembengkakan tersebut terjadi selama 3 hari kemudia berangsur mengempis.
3. Terkadang juga terjadi pembengkakan pada kelenjar di bawah rahang
(submandibularis) dan kelenjar di bawah lidah (lingualis).
4. Pada anak laki- laki yang belum pubertas dapat terjadi pembengkakan testis
pada minggu pertama atau kedua. Testis yang terserang terasa nyeri, bengkak
dan kulit sekitarnya menjadi merah.
5. Jika menyerang indung telur wanita, terasa nyeri perut bagian bawah.

2
Patofisiologi

Pada umumnya penyebaran paramyxovirus sebagai agent penyebab parotitis


(terinfeksinya kelenjar parotis) antara lain akibat (Mansjoer, 2000):
1. Percikan ludah
2. Kontak langsung dengan penderita parotitis lain
3. Muntahan
4. Urine

Menurut Nelson (2000), dua teori patogenesis parotitis epidemika, yaitu


pertama, Virus masuk melalui mulut ke dalam duktus Stensen kelenjar parotis dan
terjadi multiplikasi pertama pada kelenjar ini, kemudian diikuti oleh viremia umum,
dan lokalisasi yang dituju adalah testis, ovarium, pankreas, tiroid, ginjal, jantung atau
otak. Teori kedua adalah replikasi primer terjadi dalam epitel permukaan saluran nafas
kemudian diikuti oleh viremia umum dan lokalisasi serentak dalam kelenjar saliva dan
alat tubuh lainnya. Masa inkubasi parotitis epidemika berkisar mulai dari 14-24 hari.
Kemudia diikuti dengan gejala seperti perasaan lesu, rasa nyeri pada otot terutama otot
daerah leher, sakit kepala, nafsu makan menurun, dan diikuti oleh pembesaran cepat
satu atau kedua kelenjar parotis serta kelenjar ludah yang lain. Pembesaran kelenjar
disertai perasaan sakit dan akan membengkak secara khas yaitu dimulai dengan
pengisian ruangan di antara batas belakang tulang rahang bawah dan tulang mastoid,
kemudian meluas dalam bentuk bulan sabit ke bawah dan depan, karena perluasan ke
arah atas dibatasi oleh tulang zigomatikus. Pembengkakan akan mereda perlahan-lahan
dalam waktu 3-7 hari, tetapi kadang-kadang dapat berlangsung lebih lama
Menurut Mansjoer (2000), virus mumps tersebut masuk tubuh bisa melalui
hidung atau mulut. Kelenjar yang biasa terkena adalah kelenjar parotis. Infeksi akut
oleh virus mumps pada kelenjar parotis dibuktikan dengan adanya kenaikan titer IgM
dan IgG secara bermakna dari serum akut dan serum konvalesens. Semakin banyak
penumpukan virus di dalam tubuh sehingga terjadi proliferasi di parotis atau epitel
traktus respiratorius kemudian terjadi viremia (ikutnya virus ke dalam aliran darah) dan
selanjutnya virus berdiam di jaringan kelenjar atau saraf yang kemudian akan

3
menginfeksi glandula parotid. Keadaan ini disebut parotitis. Akibat terinfeksinya
kelenjar parotis maka dalam 1-2 hari akan terjadi demam, anoreksia, sakit kepala dan
nyeri otot. Kemudian dalam 3 hari terjadilah pembengkakan kelenjar parotis yang
mula-mula unilateral kemudian bilateral, disertai nyeri rahang spontan dan sulit
menelan. Pada manusia selama fase akut, virus mumps dapat diisoler dari saliva, darah,
air seni dan liquor (Mansjoer, 2000).
Pathway
Virus masuk di hidung atau mulut

Menyerang kelenjar parotis

IgG dan IgM meningkat

Virus proliferasi di parotis

Terjadi Viremia
(Ikutnya virus ke aliran darah)

Diam di jaringan kelenjar

Menginfeksi Glandula Parotid

Manifestasi Oral
Gejala yang terjadi pada mulut penderita parotitis ini yaitu mulut kering, lidah terasa
tidak nyaman, dan nyeri saat mengunyah atau menelan makanan (Paisal, 2014).
Terapi
Parotitis merupakan penyakit yang bersifat self-limited (sembuh atau hilang
sendiri) yang berlangsung kurang lebih dalam satu minggu. Tidak ada terapi spesifik
bagi infeksi virus Mumps oleh karena itu pengobatan parotitis seluruhnya simptomatis
dan suportif Nelson (2000).

4
Pasien dengan parotitis harus ditangani dengan kompres hangat, sialagog
seperti tetesan lemon, dan pijatan parotis eksterna. Cairan intravena diperlukan untuk
mencegah dehidrasi karena terbatasnya asupan oral. Jika respons suboptimal atau
pasien sakit dan mengalami dehidrasi, maka antibiotik intravena mungkin lebih sesuai.
Berikut tata laksana yang sesuai dengan kasus yang diderita Nelson (2000):
1. Penderita rawat jalan
Penderita baru dapat dirawat jalan bila tidak ada komplikasi (keadaan umum
cukup baik).
a. Istirahat yang cukup, di berikan kompres.
b. Pemberian diet lunak dan cairan yang cukup
c. Kompres panas dingin bergantian
d. Medikamentosa
Analgetik-antipiretik bila perlu
- Metampiron : anak > 6 bulan 250 – 500 mg/hari maksimum 2 g/hari
- Paracetamol : 7,5 – 10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis
- Hindari pemberian aspirin pada anak karena pemberian aspirin berisiko
menimbulkan Sindrom Reye yaitu sebuah penyakit langka namun
mematikan. Obat-obatan anak yang terdapat di apotik belum tentu bebas
dari aspirin. Aspirin seringkali disebut juga sebagai salicylate atau
acetylsalicylic acid.
2. Penderita rawat inap
Penderita dengan demam tinggi, keadaan umum lemah, nyeri kepala hebat,
gejala saraf perlu rawat inap diruang isolasi.
a. Diet lunak dan cair
b. Analgetik-antipiretik
c. Berikan kortikosteroid untuk mencegah komplikasi
3. Tatalaksana untuk komplikasi yang terjadi
a. Encephalitis
Simptomatik untuk encephalitisnya. Lumbal pungsi berguna untuk
mengurangi sakit kepala.

5
b. Orkhitis
- Istirahat yang cukup
- Pemberian analgetik
- Sistemik kortikosteroid (hidrokortison, 10mg /kg/24 jam, peroral, selama
2-4 hari
c. Pankreatitis dan ooporitis
Simptomatik saja
Daerah Endemi Di Indonesia
Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara Timur tercatat sebagai daerah yang
dikategorikan sebagai daerah gondok endemik berat, yaitu angka prevalensi Total
Goiter Rate (TGR) lebih dari 30 %, disusul oleh propinsi Sumatera Barat dan Propinsi
Sulawesi Tenggara yang merupakan daerah gondok dengan endemik sedang (TGR
20%-29,9%). Di Sumatera Barat ditemukan prevalensi pembesaran kelenjar gondok
anak sekolah yang masih tinggi yaitu berkisar dari 12%-44,1%
dan ditemukan TGR juga tinggi di daerah pantai. Propinsi dengan TGR yang terendah
tahun 1996/1998 adalah Riau yaitu 1,1 % sedangkan tahun 2003 Sulawesi Utara yaitu
0,7 %. Propinsi Sumatera Barat termasuk daerah endemik berat, bahkan tergolong
sangat berat pada tahun 1980/1982 dengan TGR 74,7 % dan pada tahun 1987 masih
tergolong tinggi walaupun telah terjadi penurunan yang sangat mengesankan
yaitudengan TGR 33,7 % (Perika, 2013).
Daerah Endemi Di Luar Indonesia
Penyakit Mumps atau penyakit gondong telah dilaporkan hampir di seluruh
belahan dunia, demikian juga di Indonesia resiko anak terkena gondok mungkin masih
tinggi. Gondong masih endemik di banyak negara di seluruh dunia, sedangkan vaksin
MMR digunakan hanya 57% dari negara-negara yang menjadi anggota Organisasi
Kesehatan Dunia, terutama di negara-negara maju. Di Inggris dan Wales, sebuah
epidemi gondok yang dimulai pada 2005, telah dilaporkan 56.390 kasus kematian
(Forum Ilmiah Kesehatan Anak, 2014).

6
Morbili

Gambaran Umum

Morbili atau measles dikenal sebagai penyakit campak yang merupakan


penyakit infeksi akut disebabkan oleh virus dan ditularkan oleh batuk dan bersin.
Penyakit campak ini merupakan penyebab utama kematian anak di antara penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), karena penyakit ini dapat disertai
komplikasi serius, misalnya ensefalitis dan bronchopneumonia (Kemenkes RI, 2014).
Penyakit campak sangat mudah menular sehingga dapat dengan mudah menjadi wabah
atau kejadian luar biasa (KLB). Campak menduduki peringkat ke empat penyebab
KLB di Indonesia setelah DBD, diare dan chikungunya, oleh karena itu campak
termasuk dalam daftar prioritas penyakit potensial KLB, selain itu dampak dan
penanganan yang ditimbulkan dari suatu daerah yang dinyatakan KLB akan sangat
besar (Dinkes Provinsi Jawa Timur, 2013).

Insidensi

Insidensi campak di Indonesia tahun 2007 untuk golongan umur <1 tahun
sebesar 48,9 per 100.000 orang, umur 1-4 tahun sebesar 36,6 per 100.000 orang, dan
umur 5-14 tahun sebesar 18,2 per 100.000 orang. Bahkan sampai dengan tahun 2009
masih dijumpai kejadian luar biasa campak di beberapa provinsi di Indonesia
(Susilaningsih, 2009 dalam Meilani & Budiati, 2013). Menurut beberapa penelitian
menunjukkan status antibodi campak hanya mencapai 71,9% sehingga pada umur 6-11
tahun jumlah anak yang rentan pada infeksi penyakit campak cukup tinggi yaitu 26-
32,6%. Atas dasar penelitian tersebut perlu dilakukan ulangan imunisasi campak pada
umur 6-7 tahun (Ranuh, 2005 dalam Meilani & Budiati, 2013), sedangkan pemberian
imunisasi campak pada usia lebih dari 12 bulan atau 15 bulan tidak perlu dilakukan
imunisasi ulang karena dapat memerlihatkan serokonversi yang maksimum dan daya
proteksi vaksin mencapai 95-100% jika diberikan usia lebih 12 bulan (Priastuti, 2006
dalam Meilani & Budiati, 2013).

7
Etiologi

Penyakit campak disebabkan oleh measles virus (MV), genus virus morbili
family Paramyxoviridae (RNA), jenis morbilivirus yang mudah mati karena panas,
cahaya, ether dan trypsin. Virus akan menjadi tidak aktif pada suhu 370C pH asam atau
bila dimasukkan dalam lemari es selama beberapa jam. Dengan pembekuan lambat
maka infektifitasnya akan hilang. Selama masa prodromal, virus dapat ditemukan di
dalam sekresi nasofaring, darah dan air kemih. Virus campak hanya dapat ditularkan
dari manusia dan hanya dapat aktif pada suhu kamar selama 34 jam di alam bebas
(Meilani & Budiati, 2013).

Manifestasi Klinis

Secara umum gejala atau manifestasi klinis penyakit morbili atau campak sebagai
berikut (Kemenkes RI, 2014):

a. Panas badan biasanya ±38ºC selama 3 hari atau lebih, disertai salah satu gejala
batuk, pilek, mata merah atau mata berair.
b. Gejala yang khas adalah adanya koplik’s spot atau bercak putih keabuan dengan
dasar merah di pipi bagian dalam (mucosa bucal).
c. Bercak kemerahan/rash yang dimulai dari belakang telinga pada tubuh
berbentuk makulo papular selama tiga hari atau lebih, dalam 4-7 hari akan
menyebar keseluruh tubuh.
d. kemerahan makulo papular setelah 1 minggu sampai 1 bulan berubah menjadi
kehitaman (hiperpigmentasi) disertai kulit bersisik.

Pada awal infeksinya penyakit campak agak sulit untuk dideteksi, namun pada
umumnya manifestasi klinik penyakit campak terdiri dari tiga fase/stadium yaitu fase
prodromal, fase erupsi / paraxysmal dan fase convalescen. Periode sejak terjadinya
infeksi sampai munculnya gejala berkisar antara 10 sampai dengan 12 hari.
a. Fase pertama pada penyakit campak yaitu fase prodromal dimulai dengan
demam, perasaan tidak enak badan (WHO, 1999). Fase ini berlangsung selama
4-5 hari dengan gejala demam yang terus meningkat hingga mencapai

8
puncaknya 39,4°C-40,6°C, malaise, batuk, faring merah, nyeri menelan, foto
fobia, konjungtivitis dan hidung meler. Menjelang akhir stadium prodormal dan
24 jam sebelum timbul eksantema akan timbul bercak koplik yang berwarna
putih kelabu sebesar ujung jarum. Bercak ini muncul pertama kali pada mukosa
bukal yang menghadap gigi molar bawah terutama molar tiga tetapi dapat
menyebar secara tidak teratur pada mukosa bukal yang lain. Menjelang kira-
kira hari ke 3 atau 4 dari masa prodormal dapat meluas sampai seluruh mukosa
mulut. Pada fase ini gambaran penyakit secara klinis menyerupai influenza
sehingga sering didiagnosis sebagai influenza. Diagnosa campak ditegakkan
pada fase ini bila ada bercak koplik dan penderita pernah kontak dengan
penderita campak dalam waktu 2 minggu terakhir.
b. Fase kedua adalah fase erupsi/paraxysmal. Fase erupsi biasanya berlangsung
selama 4-7 hari dengan gejala khas koriza dan batuk bertambah. Terjadi ruam
atau eritema yang berbentuk makula-papula disertai naiknya suhu badan.
Eritema biasanya muncul pertama kali pada daerah batas rambut dan dahi, serta
belakang telinga kemudian pada 24 jam pertama akan menyebar dengan cepat
ke seluruh muka, leher, lengan atas dan bagian atas dada. Pada 24 jam
berikutnya ruam ini akan menyebar ke seluruh punggung, abdomen, seluruh
lengan dan paha. Pada saat ruam muncul suhu badan kadang-kadang naik
sangat tinggi hingga mencapai 40,5°C. Pada muka dan dada akan terjadi
confluent akibat ruam yang muncul saling rengkuh. Kadang-kadang akan
terjadi perdarahan ringan pada kulit, rasa gatal dan muka bengkak. Ruam ini
akan menghilang dalam 2-3 hari dengan urutan yang sama dengan saat
terjadinya. Pada Fase ini terdapat pembesaran kelenjar getah bening di sudut
mandibula dan di daerah leher belakang. Tidak jarang disertai diare dan
muntah.
c. Fase ketiga adalah fase convalescen pada fase ini erupsi berkurang dan terjadi
hiperpigmentasi, yang lama kelamaan akan menghilang sendiri. Suhu tubuh
penderita akan menurun pada fase ini kecuali bila terjadi komplikasi.
Hiperpigmentasi merupakan gejala yang patognomonik untuk morbili yang

9
membedakannya dengan penyakit lain yang mempunyai eritema atau
eksantema. Pada anak-anak di Indonesia pada fase ini sering ditandai dengan
kulit bersisik (Kemenkes RI, 2014).
Patofisiologi
Menurut Kemenkes RI (2014), cara penularan campak adalah:
a. Penularan terutama melalui batuk, bersin (sekresi hidung). Pada saat pasien
batuk atau bersin, virus akan tersebar ke udara dan dapat bertahan selama 2 jam
di udara terbuka sehingga dapat menulari orang lain yang berada di dekatnya.
b. Dapat mulai menularkan 1-3 hari sebelum panas sampai 4 hari setelah timbul
rash.
c. Puncak penularan pada saat gejala awal (fase prodromal), yaitu pada1-3 hari
pertama sakit.
Masa inkubasi penyakit morbili atau campak adalah 8-13 hari dengan rata-rata
10 hari.
Manifestasi Oral
Dinding posterior faring biasanya menjadi hiperemis dan penderita akan
mengeluhkan rasa nyeri (Wiza, 2013).
Terapi
Penatalaksanaan simptomatik yaitu antipiretika (contohnya Ibuprofen) bila
suhu tinggi, obat batuk, dan memperbaiki keadaan umum. Pemberian cairan
yangcukupdiperlukan untuk mengembalikan cairan tubuh yang hilang karena
panasdanberkeringat ketika demam. Pemberian antibiotik apabila terdapat
infeksisekunder,serta antikonvulsi (contohnya Karbamazepin, Valproat) apabila
terjadikejang.Istirahat yang cukup juga sangat dianjurkan. Rawat inap diperlukan
apabila hiperpirexia (suhu >39 °C), kejang, asupanoral sulit,atau adanya komplikasi
(Wiza, 2013).

Daerah endemi di Indonesia


Indonesia pada saat ini berada di tahap reduksi dengan pengendalian dan
pencegahan Kejadian Luar Biasa. Tingkat penularan infeksi campak sangat tinggi

10
sehingga sering menimbulkan KLB. CFR penyakit campak di Indonesia sebesar 3 %.
Di Indonesia yang menjadi daerah endemic penyakit campak yaitu Jawa Barat
sebanyak 3.424 kasus, Banten sebanyak 1.552 kasus dan Sumatera Barat sebesar 426
kasus. Pada umunya KLB di beberapa provinsi tersebut menunjukkan kasus tertinggi
selalu di golongan umur 1-4 tahun (Kemenkes RI, 2014).
Daerah endemi di Luar Indonesia
Daerah di luar Indonesia yang menjadi endemic penyakit campak yaitu Jerman
dengan insiden sebesar 5,6 per 100.000 penduduk, Italia sebesar 8,79 per 100.000
penduduk, India sebesar 39,1 per 100.000 penduduk, dan di Malaysia sebesar 2,17 per
100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2014).
Varicella
Gambaran Umum
Varicella atau yang biasa kita kenal dengan cacar air atau chickenpox adalah
penyakit infeksi akut primer oleh Virus Varisela-Zoster (VVZ) yang menyerang kulit
dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, disertai kelainan kulit polimorf, terutama
berlokasi di bagian sentral tubuh (Handoko, 2013). Penyakit cacar air sering ditemui
dalam kehidupan sehari-hari dan sangat menular, lebih menular dibandingkan dengan
gondong (Parotits) tetapi kurang menular jika dibandingkan dengan campak (Measles)
(Widoyono, 2011 dalam Oktavia, 2016).
Di Indonesia, cacar air diduga sering terjadi pada saat pergantian musim hujan
ke musim panas ataupun sebaliknya. Menurut Zulkoni (2011 dalam Oktavia, 2016)
menyebutkan bahwa penyakit Varicella terdapat di seluruh dunia dan tidak ada
perbedaan ras ataupun jenis kelamin. Varisela dapat mengenai semua kelompok umur
termasuk neonatus, tetapi hampir sembilan puluh persen kasus mengenai anak dibawah
umur 10 tahun dan usia puncak terjadinya adalah 5-10 tahun. Penularan terjadi akibat
kontak langsung, atau melalui udara (Smith, 2014).
Insidensi
Angka kejadian varicella di Indonesia belum pernah diteliti sedangkan
berdasarkan data dari poliklinik umum Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta (IKA-RSCM) pada tahun 2005 sampai 2010 tercatat 77 kasus

11
varisela tanpa penyulit. Penelitian yang dilakukan oleh Malubaya pada periode Januari
1998-Desember 1999 di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
ditemukan 149 orang penderita varicella diantara 16.401 orang yang datang berobat.
Hasil data yang didapatkan tersebut sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan data
insidens varicella di RSU dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 1991 sampai 1992.
Pada penelitian di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2006-
Desember 2008 menunjukkan varicella pada anak menempati urutan pertama dengan
jumlah penderita 44 orang dan persentase 37,93% diantara penyakit-penyakit infeksi
virus lainnya. Usia 5-14 tahun merupakan kelompok usia terbanyak yang menderita
varicella, dan perempuan lebih banyak sebagai penderita daripada laki-laki dengan
perbandingan 1,75:1 pada tahun ini. Penelitian varicella pada anak tahun 2009-2011 di
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou yang dilakukan oleh Harahap ditemukan 16 penderita
(27,12%) varisela diantara 59 penderita penyakit infeksi virus lainnya (Harahap, 2013).
Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV). Varicella Zoster
Virus (VZV) bertanggung jawab atas dua infeksi klinis utama pada manusia yaitu
Varicella atau Chickenpox (cacar air) dan Herpes Zoster (cacar ular). Cacar air atau
Varicella merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada individu yang
berkontak dengan virus Varicella-Zoster. Pada 3 sampai 5 individu dari 100 individu,
virus Varicella-Zoster mengalami reaktivasi yang menyebabkan infeksi rekuren yang
kemudian dikenal dengan Herpes Zoster atau Shingles (NCIRS, 2009 dalam Oktavia,
2016). Varisela-Zoster Virus memiliki amplop, berbentuk ikosahedral, DNA berantai
ganda, yang masih termasuk keluarga herpesvirus menyebabkan infeksi pada manusia
(Smith, 2014).
Manifestasi Klinis
Varicella pada anak yang lebih besar (pubertas) dan orang dewasa biasanya
didahului dengan gejala prodromal yaitu demam, malaise, nyeri kepala, mual dan
anoreksia, yang terjadi 1-2 hari sebelum timbulnya lesi di kulit sedangkan pada anak
kecil (usia lebih muda) yang imunokompeten, gejala prodromal yang dijumpai hanya

12
demam dan malaise ringan dan timbul bersamaan dengan munculnya lesi di kulit
(Harper, 2000).
Lesi pada varicella diawali daerah wajah dan scalp, kemudia meluas ke dada
dan ke ekstremitas. Lesi juga dapat dijumpai pada mulut dan genital. Lesi pada
varicella biasanya sangat gatal dan mempunyai gambaran yang khas yaitu terdapatnya
stadium lesi secara bersamaan pada satu saat (Harper, 2000).
Awalnya timbul macula kecil yang eritematosa pada daerah wajah dan dada,
kemudian berubah secara cepat dalam waktu 12-14 jam menjadi papul kemudian
berkembang jadi vesikel yang letaknya superfisial dengan dinding tipis sehingga
terlihat seperti teteas air di kulit. Cairan vesikel cepat menjadi keruh disebabkan
masuknya sel radang sehingga pada hari kedua akan berubah jadi pustula. Lesi akan
mengering antara 2-12 hari, kemudian krusta akan lepas dalam waktu 1-3 minggu. Pada
fase penyembuhan varicella jarang terbentuk parut, apabila tidak disertai dengan
infeksi sekunder bacterial (Harper, 2000).
Menurut Nurarif dan Kusuma (2013), stadium varicella dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Stadium prodromal
Gejala timbul setelah 14-15 hari masa inkubasi dengan timbulnya ruam kulit
disertai demam, malaise. Pada anak lebih besar- besar dan dewasas didahului oleh
demam selama 2-3 hari, menggigil, malaise, nyeri kepala, anoreksia, nyeri
punggung, nyeri tenggorokan dan batuk.
b. Stadium erupsi
Ruam kulit muncul dimuka dan kulit kepala, badan dan ekstremitas. Penyebaran
lesi menjadi krusta 8-12 jam dan akan lepas dalam waktu 1-3 minggu tergantung
dalamnya kelainan kulit.

Patofisiologi
Masa inkubasi varicella 10-21 hari pada anak imunokompeten (rata-rata 14-17
hari) dan pada anak yang imunokompromais biasanya lebih singkat yaitu kurang dari
14 hari. Virus varicella ini masuk ke dalam tubuh manusia dengan cara inhalasi dan
sekresi pernafasan (droplate infection) ataupun kontak langsung dengan lesi kulit.

13
Droplate infection dapat terjadi 2 hari sebelum hingga 5 hari setelah timbul lesi di kulit
(Harper, 2000).
Virus varicella masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran
pernafasan bagian atas, orofaring maupun conjungtiva. Siklus replikasi virus pertama
terjadi pada hari ke 2-4 yang berlokasi pada lymph nodes reginal kemudian diikuti
penyebaran virus dalam jumlah sedikit melalui pembuluh darah dan kelenjar limfe,
yang mengakibatkan terjadinya viremia primer (hari ke 4-6 infeksi pertama). Pada
sebagian besar penderita yang terinfeksi, replikasi virus tersebut dapat mengalahkan
mekanisme pertahanan tubuh yang belum matang sehingga akan berlanjut dengan
siklus replikasi virus ke dua yang terjadi di hepar dan limpa, yang mengakibatkan
terjadinya viremia sekunder. Pada fase ini, partikel virus akan menyebar ke seluruh
tubuh dan mencapai epidermis pada hari ke 14-16, yang mengakibatkan timbulnya lesi
di kulit yang khas (Harper, 2000).
Seorang anak yang menderita varicella akan dapat menularkan kepada yang
lain yaitu 2 hari sebelum hingga 5 hari setelah timbulnya leis di kulit (Harper, 2000).
Manifestasi Oral
Pada puncak penyakit, pasien mungkin lebih memilikilebih dari 300 lesi kulit
pada satu waktu. Setelah semua luka berkerak di atas, orang tidak lagi menular. Jarang
menyebabkan luka jaringan parut permanen, kecuali infeksi sekunder berkembang.
Lesi mungkin umumnya dapat ditemukan di mulut (Wiza, 2013).
Terapi
Mengingat kasus cacar air banyak menyerang anak-anak, sifat penularannya
yang begitu cepat dan dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar. Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu cara untuk mengendalikan penyebaran penyakit cacar air agar tidak
menjadi wabah dalam suatu populasi. Salah satu caranya yaitu dengan program
vaksinasi. Vaksinasi adalah pemberian vaksin ke dalam tubuh untuk memberikan
kekebalan aktif pada suatu penyakit. Menurut Ranuh dkk, (2014 dalam Oktavia, 2016)
vaksinasi dapat diberikan kepada anak-anak yang berumur 12-15 bulan dan kepada
setiap orang yang belum mendapat vaksinasi atau bagi yang belum pernah menderita
penyakit cacar air sebelumnya.

14
Cacar air biasanya merupakan penyakit yang ringan dan dapat sembuh sendiri.
Pada anak normal (tidak mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh), tidak ada
terapi khusus. Cukup calamine lotion, kompres dingin. Apabila anak mengalami gatal
hebat, dapat diberikan antihistamin oral di malam hari untuk meningkatkan kulitas
tidur. Jika mengalami demam, dapat diberikan acetaminophen atau ibuprofen atas
rekomendasi dokter. Apabila tanpa dehidrasi dan tidak dapat minum cairan, dapat
dilakukan melalui cairan intravena. Upayakan agar vesikel tidak pecah, kulit tidak
digaruk sehingga anak terhindar dari risiko terjadinya infeksi sekunder. Bakteri infeksi
sekunder dapat diobati dengan antibiotic. Karen virus adalah penyebab cacar air, tidak
ada antibiotic yang dapat menyembuhkan penyakit. Bagi orang yang memiliki infeksi
berat, sebuah antivirus acyclovir elah terbukti dapat mempersingkat durasi dan
keparahan gejala yang diberikan setelah timbul ruam. Acyclovir dapat diberikan
melalui mulut untuk membantu orang yang berisiko infeksi parah (Wiza, 2013).
Daerah endemic di Indonesia
Salah satu daerah endemic penyakit varicella di Inonesia adalah Kabupaten
Banyumas. Data Dinas Kesehatan Kab.Banyumas menyebutkan, selama periode
Januari hingga November 2007, sedikitnya 671 warga terkena penyakit cacar air.
Jumlah penderita terbanyak pada Kec. Kembaran dengan 155 pasien, kemudian
kecamatan Kalibagor 79 penderita, dan kecamatan Karanglewas 75 orang. Kepala
Bidang pemberantasan penyakit menular dan penyehatan Lingkungan Dinkes
mengatakan terdapat lebih dari lima ratus penderita, akan tetapi jumlah tersebut
menurun dibandingkan tahun 2006. Data Dinkes 2006 mencatat jumlah penderita cacar
air sebanyak 1.771 orang (Soedarmo et al, 2002).
Daerah endemic di luar Indonesia
Menurut Widoyono (2011 dalam Oktavia, 2016) menyebutkan bahwa kasus
Varicella di Amerika diperkirakan mencapai 3,1-3,5 juta per tahunnya. Di Amerika,
Varicella sering terjadi pada anak-anak dibawah usia 10 tahun dan 5% kasus terjadi
pada usia lebih dari 15 tahun. Sedangkan di Jepang penyakit ini umum terjadi pada
anak-anak dibawah usia 6 tahun sebanyak 81,4%.

15

Anda mungkin juga menyukai