Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Organisme penganggu tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas produksi tanaman di Indonesia
baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Organisme pengganggu tanaman secara garis
besar dibagi menjadi tiga yaitu hama, penyakit dan gulma. Organisme pengganggu tanaman
merupakan salah satu penghambat produksi dan penyebab ditolaknya produk tersebut masuk ke suat
negara, karena dikawatirkan akan menjadi hama baru di negara yang ditujunya. Berdasarkan
pengalaman, masih adanya permasalahan OPT yang belum tuntas penanganannya dan perlu kerja
keras untuk mengatasinya dengan berbagai upaya dilakukan, seperti lalat buah pada berbagai produk
buah dan sayuran buah dan virus gemini pada cabai. Selain itu, dalam kaitannya dengan terbawanya
OPT pada produk yang akan diekspor dan dianalis potensial masuk, menyebar dan menetap di suatu
wilayah negara, akan menjadi hambatan yang berarti dalam perdagangan internasional.

Petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian sering menggunakan pestisida sintetis terutama
untuk hama dan penyakit yang sulit dikendalikan, seperti penyakit yang disebabkan oleh virus dan
patogen tular tanah (soil borne pathogens). Untuk mengendalikan penyakit ini petani cenderung
menggunakan pestisida sintetis secara berlebihan sehingga menimbulkan dampak buruk bagi
kesehatan dan lingkungan. Hal ini dilakukan petani karena modal yang telah dikeluarkan cukup besar
sehingga petani tidak berani menanggung resiko kegagalan usaha taninya.

Dilema yang dihadapi para petani saat ini adalah disatu sisi cara mengatasi masalah OPT dengan
pestisida sintetis dapat menekan kehilangan hasil akibat OPT, tetapi menimbulkan dampak terhadap
lingkungan. Di sisi lain, tanpa pestisida kimia sintetis akan sulit menekan kehilangan hasil akibat
OPT. Padahal tuntutan masyarakat dunia terhadap produk pertanian menjadi bertambah tinggi
terutama masyarakat negara maju, tidak jarang hasil produk pertanian kita yang siap ekspor ditolak
hanya karena tidak memenuhi syarat mutu maupun kandungan residu pestisida yang melebihi ambang
toleransi.

Penggunaan pestida yang kurang bijaksana seringkali menimbulkan masalah kesehatan,


pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis (resistensi hama sasaran, gejala
resurjensi hama, terbunuhnya musuh alami) serta mengakibatkan peningkatan residu pada hasil.
Terdapat kecenderungan penurunan populasi total mikroorganisme seiring dengan peningkatan
takaran pestisida. Oleh karena itu perhatian pada alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan
semakin besar untuk menurunkan penggunaan pestisida sintetis.
Pelaksanaan program pengendalian hama terpadu (Integreted Pest Management) merupakan
langkah yang sangat strategis dalam kerangka tuntutan masyarakat dunia terhadap berbagai produk
yang aman dikonsumsi, menjaga kelestarian lingkungan, serta pengelolaan sumberdaya alam yang
berkelanjutan yang memberikan manfaat antar waktu dan antar generasi. Salah satu komponen
pengendalian hama terpadu (PHT) yang sesuai untuk menunjang pertanian berkelanjutan
pembangunan pertanian secara hayati karena pengendalian ini lebih selektif (tidak merusak organisme
yang berguna dan manusia) dan lebih berwawasan lingkungan. Pengendalian hayati berupaya
memanfaatkan pengendali hayati dan proses-proses alami. Aplikasi pengendalian hayati harus
kompatibel dengan peraturan (karantina), pengendalian dengan jenis tahan, pemakaian pestisida dan
lain-lain. Berbagai kendala yang menyangkut komponen hayati antara lain adalah adanya kesan
bahwa cara pengendalian hayati lambat kurang diminati. Oleh karena itu terasa pentingnya suatu
komitmen untuk menentukan suatu gerak terpadu melalui konsep pengendalian hayati yang
menguntungkan dan berkelanjutan dalam pemanfaatannya.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud dengan PHPT
b. Bagaimana cara untuk mengendalikan PHPT?
c. Apa saja keuntungan dan kerugian dari adanya PHPT?

1.3 Tujuan

a. Mengetahui pengertian PHPT secara mendalam

c. Mengetahui cara-cara PHPT

d. Mengetahui keuntungan dan kerugian dari adanya PHPT


BAB II

PEMBAHASAN

UPAYA MEMPERTAHANKAN KEEFEKTIFAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN UNTUK


MENGENDALIKAN HAMA TANAMAN PANGAN

Bioinsektisida adalah mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai agen pengendalian


serangga hama. Pemanfaatan bioinsektisida sebagai agen hayati pada pengendalian hama merupakan
salah satu komponen pengendalian hama terpadu (PHT). Terdapat enam kelompok mikroorganisme
yang dapat dimanfaatkan sebagai bioinsektisida, yaitu cendawan, bakteri, virus, nematoda, protozoa,
dan ricketsia. Empat kelompok pertama merupakan jenis yang sering digunakan dan mempunyai
prospek yang baik untuk dikembangkan
Di Indonesia, pemanfaatan agen hayati khususnya cendawan entomopatogen untuk
pengendalian hama mulai berkembang pesat sejak abad ke-19 khususnya untuk mengendalikan hama
pada tanaman perkebunan Pada tanaman pangan, pemanfaatan cendawan entomopatogen untuk
pengendalian hama masih menemui berbagai kendala, antara lain kondisi lingkungan mikro yang
kurang kondusif bagi perkembangbiakan mikroorganisme tersebut. Hal ini karena tanaman pangan
bersifat semusim, sehingga apabila tanaman tersebut dipanen kemudian diganti dengan jenis tanaman
lain maka inokulum cendawan sebagai sumber infeksi awal di lapangan sulit untuk bertahan hidup
dan berkembang
Kendala lainnya adalah jika tanaman yang dibudidayakan beragam bahkan berganti hampir
setiap musim maka jenis hama yang menyerang juga berbedabeda. Jenis hama yang menyerang
tanaman akan menentukan keefektifan cendawan entomopatogen karena setiap jenis cendawan
entomopatogen mempunyai inang yang spesifik, walaupun ada pula yang mempunyai kisaran inang
cukup luas Jenis inang setiap jenis cendawan entomopatogen biasanya belum dipahami oleh petani.
Salah satu kelemahan petani dalam pengendalian hama adalah kurangnya pemahaman tentang
jenis hama yang akan dikendalikan sehingga akan menentukan keberhasilan usaha pengendalian.
Dalam konsep PHT, identifikasi jenis hama merupakan salah satu tindakan pertama yang harus
dilakukan petani sebelum mengambil keputusan tindakan pengendalian Melalui identifikasi akan
diketahui jenis hama sasaran, perilaku hama, tindakan pengendalian yang diperlukan dan kapan
tindakan pengendalian perlu dilakukan.Keberhasilan pengendalian hama dengan cendawan
entomopatogen juga ditentukan oleh konsentrasi cendawan yang diaplikasikan (Hall 1980), yaitu
kerapatan konidia dalam setiap mililiter air. Jumlah konidia berkaitan dengan banyaknya biakan
cendawan yang dibutuhkan setiap hektar. Kerapatan konidia yang dibutuhkan untuk mengendalikan
hama bergantung pada jenis dan populasi hama yang akan dikendalikan (Tohidin et al. 1993; Wikardi
1993). Pada tanaman pangan, kerapatan konidia yang dibutuhkan lebih tinggi dibandingkan dengan
pada tanaman perkebunan. Untuk mengendalikan hama wereng coklat, dibutuhkan kerapatan konidia
cendawan M. anisopliae 1015/ml (Baehaki dan Noviyanti 1993; Tabel 1). Sementara itu untuk
mengendalikan hama ulat daun kelapa sawit (Darna catenata) hanya dibutuhkan kerapatan konidia B.
Waktu aplikasi perlu diperhatikan karena cendawan entomopatogen sangat rentan terhadap
sinar matahari khususnya sinar ultra violet (Altre dan Vandenberg 2001b; Cloyd 2003). Bila terkena
sinar matahari dalam waktu 4 jam, cendawan V. lecanii akan kehilangan viabilitas sebesar 16%
(Suharsono dan Prayogo 2005), dan bila terkena sinar matahari 8 jam, viabilitas berkurang hingga di
atas 50%. Oleh karena itu, bila cendawan diaplikasikan pada musim kemarau perlu dihindarkan dari
sinar matahari langsung dan sebaiknya aplikasi dilakukan pada saat kelembapan udara tinggi (sore
hari).

KESIMPULAN

Keefektifan cendawan entomopatogen untuk pengendalian hama tanaman pangan dapat


ditingkatkan melalui berbagai upaya, antara lain: 1) mengetahui jenis hama yang akan dikendalikan,
2) melakukan aplikasi pada sore hari dengan dosis aplikasi 1−2 kg biakan cendawan tiap hektar
dengan kerapatan konidia minimal 107/ml, 3) melakukan aplikasi tiga kali berturut-turut selama 3
hari, dan 4) menambahkan perekat alkil gliserol ftalat dan bahan pembawa berupa tetes tebu pada
suspensi konidia sebelum diaplikasikan pada hama sasaran.

TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA Plutella xylostella DENGAN INSEKTISIDA


DAN AGENSIA HAYATI PADA KUBIS DI KABUPATEN KARO

Kabupaten Karo adalah salah satu sentra produksi kubis di Sumatra Utara. Komoditas ini
diekspor ke negara tetangga Singapura dan Malaysia. Menurut catatan sejak tahun 1980-an ekspor
kubis sering mengalami penolakan oleh konsumen luar negeri. Dalam usaha tani kubis masalah utama
yang dihadapi adalah serangan hama. Salah satu hama utama yang biasanya menyerang tanaman ini
adalah hama Plutella xylostella. Hama ini termasuk ordo Lepidoptera dari famili Plutelliadae dengan
nama sinonimnya P. Maculipenis dan P.cruceferarum. Serangan ini umumnya dikenal sebagai
“diamond back moth” karena pada sayap depan terdapat tiga titik seperti intan (Kalshoven, 1981).
Imago P. Xylostella berupa ngengat yang ramping dan ber warna coklat kelabu. Panjangnya 1,5–1,7
mm dengan rentang sayap 14,5–17,5 mm. Bagian tepi sayap depan berwarna terang (Suyanto, 1994).
Serangga P. xylostella merusak tanaman pada stadium larva. Larva yang baru menetas akan merayap
kepermukaan daun dan melubangi epidermis. Pada umumnya larva memakan permukaan daun bagian
bawah, sehingga tinggal tulang-tulang daun dan epidermis daun bagian atas. Jika jumlah larva relatif
banyak dapat menghabiskan tanaman kubis yang berumur satu bulan dalam waktu 3 – 5 hari.
Umumnya larva menyerang tanaman muda, tetapi kadang-kadangdapat pula merusak tanaman yang
sedang membentuk bunga (Rukmana, 1994).
Dari uraian di atas maka teknologi secara hayati dalam mendukung pengendalian hama
terpadu perlu disosialisasikan pemanfaatannya dengan melibatkan beberapa kelompok tani dalam satu
percobaan/demonstrasi plot. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa demonstrasi plot saja
tidak cukup untuk menjamin petani mau menerapkan teknologi baru. Mosher (1981) menyatakan,
bahwa alasan pertama mengapa petani berperilaku tetap pada cara – cara yang lama (subsistance)
karena mereka sangat mempertimbangkan adanya resiko dan ketidakpastian (risk and uncertainity).
Petani beranggapan bahwa keuntungan yang akan mereka peroleh jika mereka menerapkan teknologi
baru akan lebih kecil dibandingkan dengan teknologi yang biasa mereka gunakan. Dengan demikian
penerapan teknologi baru dalam usaha peningkatan produksi dapat memakan waktu yang lama
ditingkat petani. Sehubungan dengan hal tersebut maka pengetahuan dan keterampilan petani dalam
hal teknologi baru tersebut haruslah dapat ditingkatkan. Penguasaan teknologi baru oleh petani sangat
penting dalam berusaha tani yang lebih maju. Umumnya petani yang menguasai dalam
29 Teknologi Pengendalian Hama Plutella xylostella dengan Insektisida dan Agensia Hayati pada
Kubis di Kabupaten Karo (Loso Winarto dan Darmawati Nazir) menerapkan teknologi baru selalu
lebih berhasil dan lebih unggul dari petani lain di sekitarnya. Oleh karena itu upaya peningkatan
pengetahuan dan keterampilan petani perlu terus diupayakan.
Agensia hayati ini diperbanyak di Laboratorium BPTP Sumatra Utara. Varietas kubis yang
digunakan adalah KR I yang ditanam dengan jarak 50 cm x 80 cm, dan dipelihara dengan pemberian
pupuk kandang ayam 20 ton/ha, 200 kg Urea/ha, 200 kg ZA/ha, 400 kg SP-36/ha, 200 kg KCL /ha.
Pupuk urea dan ZA diberikan dua kali, pemberian pertama setengah dosis satu hari sebelum tanaman
bersama–sama dengan pupuk kandang SP-36 dan KCL. Sedangkan pemberian yang kedua sisanya 21
hari setelah tanam (HST) bersamaan dengan pem-bumbuan yang pertama. Pengamatan meliputi
intensitas kerusakan daun yang diamati 3 daun paling atas dengan menggunakan skoring sebagai
berikut: 0 = tanaman sehat; 1 = daun rusak 1 – 20 persen; 3 = daun rusak 21 – 40 persen; 5 = daun
rusak 41 – 60 persen; 7 = daun rusak 61 – 80 persen; 9 =daun rusak 81 – 100 persen. Untuk mencari
persentase kerusakan dengan menggunakan rumus (Sastrosiswojo 1992) :
n.v
P = ---------- x 100 %
Z.V
Dimana: P = Persentase serangan; n = Jumlahdaun/bagian tanaman dari tiap kategori serangan; v =
Nilai skala tiap kategori serangan (0, 1, 3, 5, 7, 9); Z = Nilai skala kategori serangan tertinggi (9); N =
Jumlah daun/bagian tanaman yang diamati.

KESIMPULAN

1. Perlakuan B. thuringiensis, B. bassiana dan perlakuan petani (insektisida) dapat menekan populasi
hama P. xylostella masing–masing pada 15 HST populasi larva 0,6; 0,8 dan 0,6/tanaman tetapi setelah
diaplikasikan mencapai 0 larva/ tanaman pada 64 HST
2. Perlakuan B. thuringiensis, B. bassiana dan insektisida dapat menekan kerusakan daun kubis 0
persen, tetapi pada kontrol kerusakan daun mencapai 74,35 persen .
3. Produksi tertinggi, terdapat pada perlakuan B. thuringiensis, B. bassiana kemudian diikuti
perlakuan insektisida masing-masing mencapai 67 ton/ha dan 66 ton/ha dan 59,25 ton/ha, kontrol
hanya mencapai 6 ton/ha.
4. Pendapatan dan keuntungan (B/C ratio) tertinggi secara berturut – turut terdapat pada perlakuan B.
thuringiensis, B. bassiana yakni Rp 33.052.200,-/ ha dengan B/C ratio 2,36; Rp 32.140.800,- /ha
dengan B/C ratio 2,29. Sedangkan perlakuan insektisida dan kontrol menunjukkan pendapatan Rp
24.095.700,- dengan B/C ratio 1,39 dan kontrol hanya Rp 5.954.000,- /ha dengan B/C ratio – 0,59.

Pengendalian Penyakit Hawar Daun Phytophthora pada Bibit Kakao dengan Trichoderma
asperellum

Penyakit memegang peranan penting dalam penurunan produktivitas tanaman kakao.


Phytophthora palmivora adalah salah satu penyebab penyakit yang dikenal dengan penyakit busuk
buah, kanker batang, dan busuk pucuk di pertanaman kakao di lapang serta juga penyakit hawar daun
di pembibitan di Indonesia. Penyakit yang terakhir dapat menyebabkan daun-daun menjadi kering dan
kematian bibit terutama yang berumur 1–2 bulan. Oleh karena itu, penyakit bibit ini perlu mendapat
perhatian dan pengendalian secara dini untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkannya.
Pengendalian yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan fungisida sintetik.
Frekuensi aplikasi dan konsentrasi pestisida yang tinggi ditujukan agar penyakit hawar daun
terkendali dengan baik. Hal ini tentu saja berdampak negatif bagi kesehatan, menimbulkan
pencemaran lingkungan, dan gangguan keseimbangan ekologis. Berdasarkan pada hal tersebut,
perhatian dalam mencari alternatif pe-ngendalian, terutama dengan pengendalian hayati semakin
besar. Pengendalian hayati merupakan bagian dari pengelolaan hama dan penyakit terpadu (PHPT)
yang dirancang untuk menyeimbangkan dan mengelola kegiatan yang berhubungan dengan daur
pertanaman, serta memaksimalkan keuntungan petani dengan memperbaiki kesehatan tanaman.
Banyak peneliti memanfaatkan mikro-organisme antagonis sebagai agens yang efektif untuk
mengendalikan berbagai patogen secara hayati. Penggunaan cendawan Trichoderma spp. untuk
mengendalikan penyakit yang disebabkan Phytophthora spp. cukup potensial. Efikasi Trichoderma
yang diaplikasikan melalui pe-nyemprotan pada buah kakao setara dengan fungisida kuprik oksida
dalam mengurangi penyakit busuk buah Phytophthora. Salah satu spesies Trichoderma, yaitu T.
asperellum diduga memiliki kemampuan antagonis yang dapat menekan perkembangan P. palmivora
yang menyebabkan penyakit hawar daun pada pembibitan kakao. Oleh karena itu, penelitian ini
dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis dampak dari dua isolat T. asperellum pada tingkat
konsentrasi spora yang berbeda terhadap perkembangan penyakit hawar daun Phytophthora.
Metode pada penelitian ini terdiri dari Pembuatan Suspensi Isolat T. asperellum, Perlakuan
Benih dengan T. asperellum dan Penanaman Bibit Kakao Uji, Inokulasi P. palmivora pada Bibit
Kakao Uji, Pengamatan Keparahan Penyakit Hawar Daun Phytophthora, Pengamatan Keberadaan T.
asperellum dalam Jaringan Daun, Rancangan
Percobaan dan Analisis Data, Pengamatan T. asperellum dalam Jaringan Daun. Penelitian ini
mengungkap cara yang efektif dan efisien dalam pengendalian penyakit hawar daun Phytophthora
pada pembibitan, yaitu melalui perlakuan benih dengan T. asperellum endofit. Disimpulkan efektif
karena pada hasil ditunjukkan bahwa penggunaan dua isolat T. asperellum dapat mengendalikan
penyakit secara nyata, dan efisien karena perlakuan hanya dilakukan satu kali, yaitu pada benih
sebelum ditanam, tidak dilakukan secara berulang. Kedua isolat T. asperellum tampak relatif persisten
dalam jaringan bibit kakao selama kurang lebih dua bulan penelitian.

Pemapanan Semut Hitam (Dolichoderus thoracicus) Pada Perkebunan Kakao dan Pengaruhnya
Terhadap Serangan Hama Helopeltis spp.

Lebih dari 39 spesies semut dilaporkan terdapat pada habitat tanaman kakao dan jenis yang
paling umum ditemukan adalah Diacamma rugosum, Oecophylla smaragdina, Dolichoderus
thoracicus, Anoplolepis longipes, Plagiolepis sp., dan Crematogaster sp. Pengendalian hama utama
tanaman kakao saat ini masih mengandalkan pada penggunaan pestisida sehingga biaya pengendalian
masih cukup tinggi. Oleh karena itu system pengendalian hama dan penyakit tanpa pestisida harus
terus dikembangkan dan diaplikasikan.
Akhir-akhir ini penggunaan semut hitam untuk pengendalian hama utama kakao menjadi
populer kembali dan banyak dilakukan penelitian dari berbagai aspek. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui metode pemapanan semut hitam pada perkebunan kakao dengan ekosistem yang berbeda.
Di samping itu juga diteliti pengaruh semut hitam terhadap serangan hama Helopeltis, serta
perkembangan semut hitam kaitannya dengan kutu putih. Penelitian dilaksanakan di Kebun
Kalisepanjang, PT. Perkebunan Nusantara XII di Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi,
Jawa Timur. Lokasi penelitian memiliki ketinggian sekitar 320 m dpl dan tipe curah hujan B
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan meliputi pupulasi dan serangan helopeltis,
perkembangan semut hitam dank utu putih, kondisi iklim makro pada daerah / lokasi penelitian.
Metode pemapanan semut hitam yang paling baik adalah menggunakan sarang daun kelapa yang
dikombinasi dengan inokulasi kutu putih menggunakan sayatan kulit buah kakao. Penggunaan sarang
daun kelapa lebih disukai untuk semut hitam disbanding sarang dari daun kakao dari aspek
kecepatannya untuk dihuni semut hitam, namun dari aspek tingkat populasi semut yang ada dalam
sarang tidak ada perbedaan yang nyata. Sarang dari daun kakao cepat rusak sehingga populasi semut
dalam sarang berkurang.

Antagonisitas dan efektivitas trichoderma sp dalam menekan perkembangan phytophthora


palmivora pada buah kakao

Phytophthora palmivora merupakan salah satu patogen utama penyebab penyakit busuk buah
tanaman kakao pada berbagai daerah sentra produksi di Indonesia, berakibat pada penurunan produksi
secara drastis dengan kerugian berkisar 32,6-99%. demikian juga terjadi pada umumnya di negara-
negara penghasil kakao di dunia. Serangan penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh
P palmivora distribusinya telah meluas.

Pengendalian kimiawi dengan menggunakan pestisida yang direkomendasikan di Indonesia untuk


tujuan pengendalian busuk buah kakao adalah peroxida, chlorotalonil atau propamor-
carbhydrochloride. Selain itu, insektida sevin 85 S pada buah yang terserang, diaplikasikan dengan
tujuan untuk mematikan Dolichoderus thoracicus (semut kakao hitam) sebagai vektor penyebar
pathogen

Tanaman kakao yang terserang penyakit busuk buah pada perkebunan kakao di Desa Bulili
Kabupaten Donggala senrta produksi kakao Propinsi Sulawesi Tengah dapat dilihat pada Gambar 1 A
dan isolat patogen penyebabnya (Gambar IB), serta hasil uji patogenisitas isolat P palmivora pada
buah kakao

Penyakit busuk buah pada tanaman kakao di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah, disebabkan
oleh patogen P palmivora, sebagaimana telah diisolasi dan diuji patogenisitasnya pada buah kakao.
Trichoderma sebagai antagonis diketahui mempunyai kemampuan menghasilkan kitinase. Enzim
kitinase yang dihasikan oleh Trichoderma sp lebh efektif dibandingkan kitinase yang dihasilkan oleh
organisme lain untuk menghambat berbagai fungi pathogen tanaman

Trichoderma sp yang mempunyai antagonisitas tertinggi terhadap P palmivora secara in vitro,


adalah; Trichoderma sp T-G (koleksi Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan Untad, Palu),
Trichoderma sp T-E (koleksi Laboratorium Mikrobiologi Pusat Ilmu Hayati ITB, Bandung) dan
Trichoderma koningii T-D (koleksi Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember).
Trichoderma sp T-G, Trichoderma T-E dan Trichoderma koningii T-D dalam bentuk tunggal dan
campuran, efektif menekan perkembangan P palmivora pada buah kakao. Namun Trichoderma sp T-G
yang akan dikembangkan lebih lanjut sebagai agen pengendali hayati, berdasarkan sporulasi,
antagonisitas dan efektivitas tertinggi dalam menekan perkembangan P palmivora pada buah kakao.

Tingkat keefektifan formulasi bioinsektisida bacillus thuringiensis t erhadap hama penggerek


buah kakao pada kondisi di lapangan

Berbagai agens hayati telah diketahui merupakan musuh alami serangga hama PBK. Dari
golongan pemangsa telah dilaporkan beberapa spesies predator yang berperan dalam menurunkan
populasi serangga PBK secara alami, antara lain semut hitam (Dolichoderus thoracicus) (Goot, 1917;
See & Koo, 1996; Wiryadiputra, 2007), semut rangrang (Oesophylla smaragdina), laba-laba (Lim,
1992), cecopet (Dermeptera) (Sulistyowati & Junianto, 1995). Dari golongan parasitoid, Ooi (1992)
telah membuat daftar sebanyak 24 spesies dari ordo Hymenoptera dan Diptera memarasit stadia telur,
larva dan pupa serangga PBK. Hasil inventarisasi dari daerah Maluku ditemukan beberapa spesies
parasitoid antara lain, parasitoid telur dari spesies Trichogrammatoidea spp. dan parasitoid pupa dari
family Braconidae (Sulistyowati & Junianto, 1995).

Beberapa spesies jamur yang menginfeksi serangga PBK juga telah dilaporkan dan dikembangkan
sebagai insektisida biologi, antara lain jamur Beauveria bassiana, Acrostalagmus sp., Penicil lium sp.,
Verticillium sp., Fusarium sp., dan Spicaria sp. (Sulistyowati & Junianto, 1995). Jamur B. bassiana
telah diujicoba untuk PBK pada kondisi lapangan di Sumatera Utara dengan hasil sangat efektif
dibanding cara pengendalian yang lain (Wiryadiputra, 2000). Nematoda entomopatogen spesies
Steirnema carpocapsae juga telah dicoba untuk pengendalian PBK di daerah Sulawesi Selatan
(Rosmana et al., 2010).

Jenis bakteri Bacillus thuringiensis (Bt) telah diketahui sebagai pembunuh serangga
lebih dari satu abad yang lalu. Ciri khas bakteri Bt adalah kemampuannya membentuk kristal protein
selama sporulasi yang disebut δ-endotoxin (delta-endotoksin) yang sangat beracun terhadap serangga
(Prabagaran et al., 2003). Hasil penelitian penggunaan Bt sebagai insektisida untuk mengendalikan
penggerek batang jagung Eropa (Ostrinia nubilalis) di lapangan dengan hasil sangat efektif
mendorong untuk membuat formulasi insektisida Bt komersial yang pertama pada tahun 1938
(Sanahuja et al., 2011).

Kelebihan pengendalian serangga hama tanaman menggunakan Bt, yaitu: 1) mikroba Bt


umumnya tidak beracun dan tidak menyebabkan penyakit pada organisme lain yang tidak bertalian
dekat secara taksonomi dengan serangga hama sasaran, 2) sifat racun insektisida mikroba umumnya
spesifik untuk satu kelompok spesies serangga dan 3) residunya tidak berbahaya pada manusia
maupun binatang, maka dapat diaplikasikan meskipun pertanaman menjelang dipanen (Hunsberger,
2000). Kekurangan insektisida mikroba Bt adalah: 1) serangga hama kelompok lain yang menyerang
pertanaman yang diaplikasi, akan tetap berkembang, 2) pemanasan dan radiasi sinar ultra violet akan
menurunkan tingkat keefektifan beberapa tipe insektisida mikroba.

Dibanding dengan perlakuan kontrol,Formulasi-A +1WP signifikan menurunkan


tingkat serangan dan populasi, tingkat kerusakan, dan kehilangan hasil panen biji
kakao kering akibat hama PBK. Pada tingkat konsentrasi yang sama (2,5 g/L) keefektifan Formulasi-
A +1WP dalam mengendalikan hama PBK relative sama dengan Formulasi-B 2,5WP. Pada
konsentrasi 2,5 g/L, formulasi-A +1WP cenderung lebih unggul daripada formulasi-B 2,5WP, dalam
meningkatkan hasil panen biji kakao kering. Formulasi-A +1WP maupun formulasi-B 2,5WP tidak
bersifat fitotoksik terhadap tanaman kakao.
BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :


1. Pengendalian secara hayati berupaya untuk mempertahankan dan meningkatkan sumberdaya
alam serta memanfaatkan proses-proses alami.
2. Penelitian tentang pengendalian OPT secara hayati tidak bertujuan untuk meningkatkan
produksi pertanian dalam jangka pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi stabil dan
memadai dalam jangka panjang
3. Pengetahuan dan pemahaman yang cukup terhadap OPT dengan penyakit yang
ditimbulkannya terutama kalau dikaitan dengan tanaman inang, pola tanam, system pertanian,
daya dukung lahan dan system pengendalian pada waktu tertentu perlu diantisipasi dengan
cermat dan baik.
4. Dalam menerapkan pengendalian hayati di lapangan, keperdulian unsur-unsur terkait
(peneliti/pakar, penyuluh/petugas proteksi tanaman, petani, tokoh masyarakat, pengambil
keputusan perlu terpadu dengan aktif.
5. Proses pengendalian hayati harus berkelanjutan dan kesempatan sebagai komponen yang kuat
dalam PHT akan terwujud dengan menggiatkan koordinasi untuk melakukan eksplorasi,
pengadaan agensia, penggunaan di lapangan dan evaluasi terus menerus.
6. Peluang dan prospek pengendalian hayati penyakit tanaman cukup besar untuk dikembangkan
di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai