Makala H
Makala H
PENDAHULUAN
Organisme penganggu tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas produksi tanaman di Indonesia
baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Organisme pengganggu tanaman secara garis
besar dibagi menjadi tiga yaitu hama, penyakit dan gulma. Organisme pengganggu tanaman
merupakan salah satu penghambat produksi dan penyebab ditolaknya produk tersebut masuk ke suat
negara, karena dikawatirkan akan menjadi hama baru di negara yang ditujunya. Berdasarkan
pengalaman, masih adanya permasalahan OPT yang belum tuntas penanganannya dan perlu kerja
keras untuk mengatasinya dengan berbagai upaya dilakukan, seperti lalat buah pada berbagai produk
buah dan sayuran buah dan virus gemini pada cabai. Selain itu, dalam kaitannya dengan terbawanya
OPT pada produk yang akan diekspor dan dianalis potensial masuk, menyebar dan menetap di suatu
wilayah negara, akan menjadi hambatan yang berarti dalam perdagangan internasional.
Petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian sering menggunakan pestisida sintetis terutama
untuk hama dan penyakit yang sulit dikendalikan, seperti penyakit yang disebabkan oleh virus dan
patogen tular tanah (soil borne pathogens). Untuk mengendalikan penyakit ini petani cenderung
menggunakan pestisida sintetis secara berlebihan sehingga menimbulkan dampak buruk bagi
kesehatan dan lingkungan. Hal ini dilakukan petani karena modal yang telah dikeluarkan cukup besar
sehingga petani tidak berani menanggung resiko kegagalan usaha taninya.
Dilema yang dihadapi para petani saat ini adalah disatu sisi cara mengatasi masalah OPT dengan
pestisida sintetis dapat menekan kehilangan hasil akibat OPT, tetapi menimbulkan dampak terhadap
lingkungan. Di sisi lain, tanpa pestisida kimia sintetis akan sulit menekan kehilangan hasil akibat
OPT. Padahal tuntutan masyarakat dunia terhadap produk pertanian menjadi bertambah tinggi
terutama masyarakat negara maju, tidak jarang hasil produk pertanian kita yang siap ekspor ditolak
hanya karena tidak memenuhi syarat mutu maupun kandungan residu pestisida yang melebihi ambang
toleransi.
1.3 Tujuan
PEMBAHASAN
KESIMPULAN
Kabupaten Karo adalah salah satu sentra produksi kubis di Sumatra Utara. Komoditas ini
diekspor ke negara tetangga Singapura dan Malaysia. Menurut catatan sejak tahun 1980-an ekspor
kubis sering mengalami penolakan oleh konsumen luar negeri. Dalam usaha tani kubis masalah utama
yang dihadapi adalah serangan hama. Salah satu hama utama yang biasanya menyerang tanaman ini
adalah hama Plutella xylostella. Hama ini termasuk ordo Lepidoptera dari famili Plutelliadae dengan
nama sinonimnya P. Maculipenis dan P.cruceferarum. Serangan ini umumnya dikenal sebagai
“diamond back moth” karena pada sayap depan terdapat tiga titik seperti intan (Kalshoven, 1981).
Imago P. Xylostella berupa ngengat yang ramping dan ber warna coklat kelabu. Panjangnya 1,5–1,7
mm dengan rentang sayap 14,5–17,5 mm. Bagian tepi sayap depan berwarna terang (Suyanto, 1994).
Serangga P. xylostella merusak tanaman pada stadium larva. Larva yang baru menetas akan merayap
kepermukaan daun dan melubangi epidermis. Pada umumnya larva memakan permukaan daun bagian
bawah, sehingga tinggal tulang-tulang daun dan epidermis daun bagian atas. Jika jumlah larva relatif
banyak dapat menghabiskan tanaman kubis yang berumur satu bulan dalam waktu 3 – 5 hari.
Umumnya larva menyerang tanaman muda, tetapi kadang-kadangdapat pula merusak tanaman yang
sedang membentuk bunga (Rukmana, 1994).
Dari uraian di atas maka teknologi secara hayati dalam mendukung pengendalian hama
terpadu perlu disosialisasikan pemanfaatannya dengan melibatkan beberapa kelompok tani dalam satu
percobaan/demonstrasi plot. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa demonstrasi plot saja
tidak cukup untuk menjamin petani mau menerapkan teknologi baru. Mosher (1981) menyatakan,
bahwa alasan pertama mengapa petani berperilaku tetap pada cara – cara yang lama (subsistance)
karena mereka sangat mempertimbangkan adanya resiko dan ketidakpastian (risk and uncertainity).
Petani beranggapan bahwa keuntungan yang akan mereka peroleh jika mereka menerapkan teknologi
baru akan lebih kecil dibandingkan dengan teknologi yang biasa mereka gunakan. Dengan demikian
penerapan teknologi baru dalam usaha peningkatan produksi dapat memakan waktu yang lama
ditingkat petani. Sehubungan dengan hal tersebut maka pengetahuan dan keterampilan petani dalam
hal teknologi baru tersebut haruslah dapat ditingkatkan. Penguasaan teknologi baru oleh petani sangat
penting dalam berusaha tani yang lebih maju. Umumnya petani yang menguasai dalam
29 Teknologi Pengendalian Hama Plutella xylostella dengan Insektisida dan Agensia Hayati pada
Kubis di Kabupaten Karo (Loso Winarto dan Darmawati Nazir) menerapkan teknologi baru selalu
lebih berhasil dan lebih unggul dari petani lain di sekitarnya. Oleh karena itu upaya peningkatan
pengetahuan dan keterampilan petani perlu terus diupayakan.
Agensia hayati ini diperbanyak di Laboratorium BPTP Sumatra Utara. Varietas kubis yang
digunakan adalah KR I yang ditanam dengan jarak 50 cm x 80 cm, dan dipelihara dengan pemberian
pupuk kandang ayam 20 ton/ha, 200 kg Urea/ha, 200 kg ZA/ha, 400 kg SP-36/ha, 200 kg KCL /ha.
Pupuk urea dan ZA diberikan dua kali, pemberian pertama setengah dosis satu hari sebelum tanaman
bersama–sama dengan pupuk kandang SP-36 dan KCL. Sedangkan pemberian yang kedua sisanya 21
hari setelah tanam (HST) bersamaan dengan pem-bumbuan yang pertama. Pengamatan meliputi
intensitas kerusakan daun yang diamati 3 daun paling atas dengan menggunakan skoring sebagai
berikut: 0 = tanaman sehat; 1 = daun rusak 1 – 20 persen; 3 = daun rusak 21 – 40 persen; 5 = daun
rusak 41 – 60 persen; 7 = daun rusak 61 – 80 persen; 9 =daun rusak 81 – 100 persen. Untuk mencari
persentase kerusakan dengan menggunakan rumus (Sastrosiswojo 1992) :
n.v
P = ---------- x 100 %
Z.V
Dimana: P = Persentase serangan; n = Jumlahdaun/bagian tanaman dari tiap kategori serangan; v =
Nilai skala tiap kategori serangan (0, 1, 3, 5, 7, 9); Z = Nilai skala kategori serangan tertinggi (9); N =
Jumlah daun/bagian tanaman yang diamati.
KESIMPULAN
1. Perlakuan B. thuringiensis, B. bassiana dan perlakuan petani (insektisida) dapat menekan populasi
hama P. xylostella masing–masing pada 15 HST populasi larva 0,6; 0,8 dan 0,6/tanaman tetapi setelah
diaplikasikan mencapai 0 larva/ tanaman pada 64 HST
2. Perlakuan B. thuringiensis, B. bassiana dan insektisida dapat menekan kerusakan daun kubis 0
persen, tetapi pada kontrol kerusakan daun mencapai 74,35 persen .
3. Produksi tertinggi, terdapat pada perlakuan B. thuringiensis, B. bassiana kemudian diikuti
perlakuan insektisida masing-masing mencapai 67 ton/ha dan 66 ton/ha dan 59,25 ton/ha, kontrol
hanya mencapai 6 ton/ha.
4. Pendapatan dan keuntungan (B/C ratio) tertinggi secara berturut – turut terdapat pada perlakuan B.
thuringiensis, B. bassiana yakni Rp 33.052.200,-/ ha dengan B/C ratio 2,36; Rp 32.140.800,- /ha
dengan B/C ratio 2,29. Sedangkan perlakuan insektisida dan kontrol menunjukkan pendapatan Rp
24.095.700,- dengan B/C ratio 1,39 dan kontrol hanya Rp 5.954.000,- /ha dengan B/C ratio – 0,59.
Pengendalian Penyakit Hawar Daun Phytophthora pada Bibit Kakao dengan Trichoderma
asperellum
Pemapanan Semut Hitam (Dolichoderus thoracicus) Pada Perkebunan Kakao dan Pengaruhnya
Terhadap Serangan Hama Helopeltis spp.
Lebih dari 39 spesies semut dilaporkan terdapat pada habitat tanaman kakao dan jenis yang
paling umum ditemukan adalah Diacamma rugosum, Oecophylla smaragdina, Dolichoderus
thoracicus, Anoplolepis longipes, Plagiolepis sp., dan Crematogaster sp. Pengendalian hama utama
tanaman kakao saat ini masih mengandalkan pada penggunaan pestisida sehingga biaya pengendalian
masih cukup tinggi. Oleh karena itu system pengendalian hama dan penyakit tanpa pestisida harus
terus dikembangkan dan diaplikasikan.
Akhir-akhir ini penggunaan semut hitam untuk pengendalian hama utama kakao menjadi
populer kembali dan banyak dilakukan penelitian dari berbagai aspek. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui metode pemapanan semut hitam pada perkebunan kakao dengan ekosistem yang berbeda.
Di samping itu juga diteliti pengaruh semut hitam terhadap serangan hama Helopeltis, serta
perkembangan semut hitam kaitannya dengan kutu putih. Penelitian dilaksanakan di Kebun
Kalisepanjang, PT. Perkebunan Nusantara XII di Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi,
Jawa Timur. Lokasi penelitian memiliki ketinggian sekitar 320 m dpl dan tipe curah hujan B
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan meliputi pupulasi dan serangan helopeltis,
perkembangan semut hitam dank utu putih, kondisi iklim makro pada daerah / lokasi penelitian.
Metode pemapanan semut hitam yang paling baik adalah menggunakan sarang daun kelapa yang
dikombinasi dengan inokulasi kutu putih menggunakan sayatan kulit buah kakao. Penggunaan sarang
daun kelapa lebih disukai untuk semut hitam disbanding sarang dari daun kakao dari aspek
kecepatannya untuk dihuni semut hitam, namun dari aspek tingkat populasi semut yang ada dalam
sarang tidak ada perbedaan yang nyata. Sarang dari daun kakao cepat rusak sehingga populasi semut
dalam sarang berkurang.
Phytophthora palmivora merupakan salah satu patogen utama penyebab penyakit busuk buah
tanaman kakao pada berbagai daerah sentra produksi di Indonesia, berakibat pada penurunan produksi
secara drastis dengan kerugian berkisar 32,6-99%. demikian juga terjadi pada umumnya di negara-
negara penghasil kakao di dunia. Serangan penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh
P palmivora distribusinya telah meluas.
Tanaman kakao yang terserang penyakit busuk buah pada perkebunan kakao di Desa Bulili
Kabupaten Donggala senrta produksi kakao Propinsi Sulawesi Tengah dapat dilihat pada Gambar 1 A
dan isolat patogen penyebabnya (Gambar IB), serta hasil uji patogenisitas isolat P palmivora pada
buah kakao
Penyakit busuk buah pada tanaman kakao di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah, disebabkan
oleh patogen P palmivora, sebagaimana telah diisolasi dan diuji patogenisitasnya pada buah kakao.
Trichoderma sebagai antagonis diketahui mempunyai kemampuan menghasilkan kitinase. Enzim
kitinase yang dihasikan oleh Trichoderma sp lebh efektif dibandingkan kitinase yang dihasilkan oleh
organisme lain untuk menghambat berbagai fungi pathogen tanaman
Berbagai agens hayati telah diketahui merupakan musuh alami serangga hama PBK. Dari
golongan pemangsa telah dilaporkan beberapa spesies predator yang berperan dalam menurunkan
populasi serangga PBK secara alami, antara lain semut hitam (Dolichoderus thoracicus) (Goot, 1917;
See & Koo, 1996; Wiryadiputra, 2007), semut rangrang (Oesophylla smaragdina), laba-laba (Lim,
1992), cecopet (Dermeptera) (Sulistyowati & Junianto, 1995). Dari golongan parasitoid, Ooi (1992)
telah membuat daftar sebanyak 24 spesies dari ordo Hymenoptera dan Diptera memarasit stadia telur,
larva dan pupa serangga PBK. Hasil inventarisasi dari daerah Maluku ditemukan beberapa spesies
parasitoid antara lain, parasitoid telur dari spesies Trichogrammatoidea spp. dan parasitoid pupa dari
family Braconidae (Sulistyowati & Junianto, 1995).
Beberapa spesies jamur yang menginfeksi serangga PBK juga telah dilaporkan dan dikembangkan
sebagai insektisida biologi, antara lain jamur Beauveria bassiana, Acrostalagmus sp., Penicil lium sp.,
Verticillium sp., Fusarium sp., dan Spicaria sp. (Sulistyowati & Junianto, 1995). Jamur B. bassiana
telah diujicoba untuk PBK pada kondisi lapangan di Sumatera Utara dengan hasil sangat efektif
dibanding cara pengendalian yang lain (Wiryadiputra, 2000). Nematoda entomopatogen spesies
Steirnema carpocapsae juga telah dicoba untuk pengendalian PBK di daerah Sulawesi Selatan
(Rosmana et al., 2010).
Jenis bakteri Bacillus thuringiensis (Bt) telah diketahui sebagai pembunuh serangga
lebih dari satu abad yang lalu. Ciri khas bakteri Bt adalah kemampuannya membentuk kristal protein
selama sporulasi yang disebut δ-endotoxin (delta-endotoksin) yang sangat beracun terhadap serangga
(Prabagaran et al., 2003). Hasil penelitian penggunaan Bt sebagai insektisida untuk mengendalikan
penggerek batang jagung Eropa (Ostrinia nubilalis) di lapangan dengan hasil sangat efektif
mendorong untuk membuat formulasi insektisida Bt komersial yang pertama pada tahun 1938
(Sanahuja et al., 2011).
KESIMPULAN