Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI

“Peran Mikroba dan Fauna Tanah Terhadap Proses Pegomposan


di Bank Sampah Jambangan, Surabaya”

Disusun Oleh :
Kelompok 7
Sintha Eka Ashari (PBA 2016/ 16030204012)
Nurul Rusydina Illahi (PBA 2016/ 16030204014 )
Mu’arikha (PBA 2016/ 16030204019)
Dinda Dwi Pratiwi (PBA 2016/ 16030204036)

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanah merupakan bagian dari tubuh alam yang menutupi bumi dengan
lapisan tipis, disintesis dalam bentuk profil dari pelapukan batu dan
mineral, dan mendekomposisi bahan organik yang kemudian menyediakan
air dan unsur hara yang berguna untuk pertumbuhan tanaman. Adapun
faktor-faktor abiotikyang terdapat di tanah yang menyebabkan menjadi
subur diantaranya pelapukan lanjut, bahan mineralogi, kapasitas
pertukaran kation yang tinggi, kelembaban air dan pH netral.
Tanah bersifat sangat penting bagi kehidupan, karena berperan
sebagai habitat atau medium alami untuk pertumbuhan dalam melakukan
aktivitas fisiologinya, penyedia nutrisi air, dan sumber karbon. Namun
banyak faktor yang dapat menurunkan kualitas dan kesehatan tanah
tersebut, misalnya kadar hara yang terkandung dalam tanah, vegetasi,
iklim, sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Fitri, 2011). Faktor yang
mempengaruhi kualitas tanah pada bagian fisiknya adalah tekstur tanah,
bahan organik, agregasi, kapasitas lapang air, drainase, topografi, dan
iklim. Sedangkan yang mempengaruhi pada bagian pengolahannya adalah
Intensitas pengolahan tanah, penambahan organik tanah, pengetesan pH
tanah, aktivitas mikrobia dan garam.
Dalam hal ini, lingkungan tanah seperti faktor abiotik (yang meliputi
sifat fisik dan kimia tanah) dan faktor biotik (adanya biota tanah dengan
tanaman tingkat tinggi) ikut berperan dalam menentukan tingkat
pertumbuhan dan aktivitas biota tanah tersebut (Fitri, 2011). Sehingga
semua faktor yang terkait dengan keadaan tanah dan daya dukung tanah
akan berpengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap
perkembangan populasi mikroorganisme tanah.
Mikroba dan fauna tanah yang hidup di lingkungan terestrial memiliki
peran yang begitu besar bagi kehidupan yaitu berperan dalam bidang
pembusukan (dekomposer) sehingga sangat membantu proses penguraian
mahluk hidup yang telah mati atau sampah – sampah (limbah) yang tidak
berguna lagi yang terjadi di permukaan maupun dalam tanah. Namun ada
keberadaannya yang tidak diinginkan, biasanya terdapat pada limbah yang
menumpuk dan tidak segera diolah sehingga dapat menyebabkan sebagai
sarang beberapa jenis mikroorganisme yang bersifat negatif dan sumber
penyakit.Di pihak lain, limbahorganik yang berupa sisa-sisa tanaman dan
hewan sebenarnya merupakanunsur hara bagi tanaman dan sumber bahan
organik (Harada, 1930).
Cara-cara penanganan terhadap limbah organik tersebut dapat
dilakukan dengan cara pembakaran, penimbunan dan pengomposan.
Pengomposan merupakan alternatif yang paling efektif untuk dilakukan,
sebab hanya membutuhkan biaya yang cukup besar dan kompos yang
dihasilkan kualitasnya belum tentu baik. Namun teknologi pengomposan
dapat diperbaikidengan berbagai cara di antaranya menggunakan
organisme yaitumikroba dan fauna tanah yang berperan dalam proses
pengomposan limbah organik. Sehingga keberadaan limbah terutama
limbah organik dapat dikurangi dengan diubah menjadi kompos yang
bernilai jual cukup tinggi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dibuat
permasalahannya yaitu :
1. Apa saja jenis mikroba dan fauna tanah yang hidup dalam proses
pengomposan di lingkungan Bank Sampah Jambang, Surabaya?
2. Bagaimana peranan mikroba dan fauna tanah terhadap proses
pengomposan yang ada di lingkungan Bank Sampah Jambang,
Surabaya?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian pada praktikum ini adalah :
1. Untuk mengidentifikasi jenis mikroba dan fauna tanah terhadap proses
pengomposan yang ada di lingkungan Bank Sampah Jambang,
Surabaya.
2. Untuk mendeskripsikan peran mikroba dan fauna tanah terhadap
proses pengomposan yang ada di lingkungan Bank Sampah Jambang,
Surabaya
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

1. Komposisi Tanah
Di dalam tanah hidup berbagai jasad renik (mikroorganisme) yang
melakukan berbagaikegiatan yang menguntungkan bagi kehidupan
makhluk-makhluk hidup lainnya, atau dengan perkataan lain menjadikan
tanah memungkinkan bagi kelanjutan siklus hidup makhluk-makhluk
alami.Tanah yang normal telah kita ketahui tersusun dari unsur-unsur
padat, cair, dan gas, yang secara luas dapat dibagi dalam 5 kelompok,
yaitu:
a. Partikel-partikel mineral, yang dapat berubah-ubah ukuran dan
tingkatan hancuran mekhanis dan kimiawinya, dan partikel-partikel ini
meliputi kelompok-kelompok batu kerikil, pasir halus, lempung, dan
lumpur.
b. Sisa-sisa tanaman dan binatang, terdiri dari daun-daunan segar yang
jatuh, tunggul, jerami, dan bagian-bagian tanaman yang tersissa serta
barbagai bangkai bimatang dan serangga, yang kesemuanya membusuk
dan hancur menyatu dengan partikel-partikel di atas. Residu atau sisa-
sisa tanaman dapat pula berwujud humus atau bahan-bahan humus.
c. Sistem-sistem kehidupan, termasuk berbagai kehidupan tanaman lebih
tinggi, sejumlah besar bentuk makhluk/binatang yang hidup dalam
tanah seperti berbagai macam serangga, protozoa, cacing tanah, dan
binatang mengerat, demikian pula berbagai algae, fungi, aktinomisetes,
dan bakteri.
d. Berbagai gas, atmosfer tanah terdiri dari karbon dioksida, oksigen,
nitrogen dan sejumlah gas lainnya dalam konsentrasi-konsentrasi yang
lebih yang lebih terbatas.
e. Air, yang merupakan bentuk-bentuk cairan terdiri dari air bebas dan air
hgroskopik, yang mengandung berbagai konsentrasi larutan garam-
garam anorganik dan campuran-campuran atau senyawa organik
tertentu.
Susunan rata-rata atas dasar volume yang dianggap optimal untuk
keperluan petanian adalah 45% mineral, 25% air, 25% udara, dan 5%
senyawa organik.Unsur-unsur di atas menjadikan tanah subur, yang
menjamin berlangsungnya kehidupan berbagai makhluk di bumi. Unsur-
unsur tersebut terkadang ada yang lenyap dikarenakan pengolahan tanah
yang salah, pembakaran hutan atau perbuatan-perbuatan lainnya dari
manusia sebagai makhluk tertinggi di bumi.
2. Kompos
A. Pengertian Kompos
Kompos merupakan istilah untuk pupuk organik buatan manusia
yang dibuat dari proses pembusukan sisa-sisa buangan makhluk hidup
(tumbuhan maupun hewan). Proses pembuatan kompos dapat berjalan
secara aerob dan anaerob yang saling menunjang pada kondisi
lingkungan tertentu. Secara keseluruhan, proses ini disebut
dekomposisi (Yuwono, 2005). Kompos ini dihasilkan dari
pengomposan limbah organik. Haug (1980) mendefinisikan
pengomposan sebagai proses dekomposisi dan stabilisasi secara
biologik dalam kondisi yang memungkinkan terjadinya temperatur
termofisik (temperatur diatas 60°C) dengan produk akhir yang cukup
stabil dan apabila digunakan di lahan pertanian tidak menimbulkan
pengaruh yang merugikan.
Dalzell et aI. (1987) dan Gaur (1982) mengatakan bahwa
pengomposan diartikan sebagai proses perombakan bahan organik oleh
sejumlah besar·mikroba dalam lingkunganyang lembab, panas, dan
aerasi baik dengan humus sebagai hasil akhir.Hsieh dan Hsieh (1990)
mengelompokkan hasil proses pengomposan ke dalam tiga kategori:
1) Kompos belum matang ("immature compost"). Bahan hasil
pengomposan warna dan bentuk bahan asli masih mudah
diidentifikasi.
2) Kompos matang sebagian ("partly matured compost"). Bahan hasil
pengomposan warnanya kecoklatan, masih kelihatan bentuk
aslinya serta tidak mudah dihancurkan apabila digesek-
gesekdengan jari.
3) Kompos matang ("matured compost"). Apabila dipegang terasa
lembab, lunak, warna coklat pekat mendekati hitam. Berbagai
proses penting yang terjadi selama proses pengomposan dapat
ditunjukkan melalui reaksi-reaksi sebagai berikut (Gaur, 1982) :
(aerobik)

Aktivitas
Limbah Organik---------------> CO2 + H2O+hara+humus+E
Mikroba

(anaerobik)
bakteri penghasil asam
(CH2O) x -------------------------------------->x CH3COOH
CH3COOH ------------------------------------> CH4 + CO2
N-organik -------------------------------------> NH3
2H2S + CO2 ---------------------------------->(CH2O) + S + H2O

B. Ciri-ciri Kompos Jadi


Kompos yang baik adalah kompos yang sudah mengalami
pelapukan dengan ciri-ciri warna berbeda dengan warna
pembentuknyabiasanya coklat kehitaman, tidak mengeluarkan aroma
yang menyengat, tetapi mengeluarkan aroma lemah seperti bau tanah
atau bau humus hutan Apabila dipegang dan dikepal, kompos akan
menggumpal. Apabila ditekan dengan lunak, gumpalan kompos akan
hancur dengan mudah, kadar air rendah dan mempunyai suhu ruang.
C. Standarisasi Pembuatan Kompos
Dengan mengetahui bahwa kualitas kompos sangat dipengaruhi oleh
proses pengolahan, sedangkan proses pengolahan kompos sendiri
sangat dipengaruhi oleh kelembaban dan perbandingan C dan N bahan
baku, maka untuk menentukan standarisasi kompos adalah dengan
membuat standarisasi proses pembuatan kompos serta standarisasi
bahan baku kompos, sehingga diperoleh kompos yang memiliki
standar tertentu. Setelah standar campuran bahan baku kompos dapat
dipenuhi yaitu kelembaban ideal 50-60 % dan mempunyai
perbandingan C / N bahan baku 30 : 1, masih terdapat hal lain yang
harus sangat diperhatikan selama proses pembuatan kompos itu
berlangsung, yaitu harus dilakukan pengawasan terhadap temperature,
kelembaban, odor atau aroma, dan pH. Kompos yang baik
mengandung unsur hara makro Nitrogen > 1,5 % , P2O5 (Phosphat) > 1
% dan K2O (Kalium ) > 1,5 %, disamping unsur mikro lainnya. C/N
ratio antara 15-20, diatas atau dibawah itu kurang baik.
1) Pengamatan pada temperatur
Panas ditimbulkan sebagai suatu hasil sampingan proses yang
dilakukan oleh mikroba untuk mengurai bahan organik.
Temperatur ini dapat digunakan untuk mengukur seberapa baik
sistem pengomposan ini bekerja, disamping itu juga dapat
diketahui sejauh mana dekomposisi telah berjalan. Sebagai
ilustrasi, jika kompos naik sampai temperatur 40°C - 50°C, maka
dapat disimpulkan bahwa campuran bahan baku kompos cukup
mengandung bahan Nitrogen dan Carbon dan cukup mengandung
air (kelembabannya cukup) untuk menunjang pertumbuhan
microorganisme. Pengamatan temperatur harus dilakukan dengan
menggunakan alat uji temperatur yaitu thermometer yang dapat
mencapai jauh ke dalam tumpukan kompos.
2) Pengamatan pada kelembaban
Pembuatan kompos akan berlangsung dengan baik pada satu
keadaan campuran bahan baku kompos yang memiliki kadar uap
air antara 40 – 60 persen dari beratnya. Pada keadaan level uap air
yang lebih rendah, aktivitas mikroorganisme akan terhambat atau
berhenti sama sekali. Pada keadaan level kelembaban yang lebih
tinggi, maka prosesnya kemungkinan akan anerobik, yang akan
menyebabkan timbulnya bau busuk. Ketika bahan baku kompos
dipilih untuk kemudian dicampur, kadar uap air dapat diukur atau
diperkirakan. Setelah proses pembuatan kompos berlangsung,
pengukuran kelembaban tidak perlu diulangi, tetapi dapat langsung
diamati tingkat kecukupan kandungan uap air tersebut. Apabila
proses pembuatan kompos sedang berjalan, lalu kemudian muncul
bau busuk, sudah dapat dipastikan kompos mengandung kadar air
berlebihan. Kelebihan uap air ini telah mengisi ruang pori,
sehingga menghalangi diffusi oksigen melalui bahan- bahan
kompos tersebut. Inilah yang membuat keadaan menjadi anaerobik.
3) Pengamatan pada odor atau aroma
Jika proses pembuatan kompos berjalan dengan normal, maka tidak
boleh menghasilkan bau yang menyengat (bau busuk). Walaupun
demikian dalam pembuatan kompos tidak akan terbebas sama
sekali dari adanya bau. Dengan memanfaatkan indra penciuman,
dapat dijadikan sebagai alat untuk mendeteksi permasalahan yang
terjadi selama proses pembuatan kompos.
Untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan menambahkan
beberapa bahan yang mengandung C/N tinggi, misalnya berupa:
a. Potongan jerami
b. Potongan kayu
c. Serbuk gergaji
d. Potongan kertas koran atau karton
Jika tercium bau busuk, mungkin campuran kompos terlalu banyak
mengandung air
4) Pengamatan pada pH
Pengamatan pH kompos berfungsi sebagai indikator proses
dekomposisi kompos. Mikroba kompos akan bekerja pada keadaan
pH netral sampai sedikit masam, dengan kisaran pH antara 5.5
sampai 8. Selama tahap awal proses dekomposisi, akan terbentuk
asam-asam organik. Kondisi asam ini akan mendorong
pertumbuhan jamur dan akan mendekomposisi lignin dan selulosa
pada bahan kompos. Selama proses pembuatan kompos
berlangsung, asam-asam organik tersebut akan menjadi netral dan
kompos menjadi matang biasanya mencapai pH antara 6 – 8. Jika
kondisi anaerobik berkembang selama proses pembuatan kompos,
asam-asam organik akan menumpuk.
d. Manfaat Kompos
Manfaat kompos antara lain sebagai berikut :
1. Menyediakan unsur hara makro bagi tumbuhan
2. Menggemburkan tanah
3. Memperbaiki struktur dan tekstur tanah.
4. Meningkatkan porositas, aerasi, dan komposisi mikroorganisme
tanah.
5. Meningkatkan daya ikat tanah terhadap air.
6. Memudahkan pertumbuhan akar tumbuhan.
7. Menyimpan air tahan lebih lama.
8. Mengurangi efisiensi penggunaan pupuk kimia.
9. Bersifat multi lahan karena dapat digunakan di lahan pertanian,
perkebunan, reklamasi lahan kritis, maupun padang golf.
D. Keunggulan kompos
Kompos memiliki keunggulan dari penggunaan pupuk kimia,
karena memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
1. Mengandung unsur hara makro dan mikro.
2. Dapat memperbaiki strukur tanah dengan cara sebagai berikut :
a) Meningkatkan daya serap tanah terhadap air dan zat hara.
b) Memperbaiki kehidupan mikroorganisme di dalam tanah
dengan cara menyediakan bahan makanan bagi
mikroorganisme tersebut.
c) Memperbesar daya ikat tanah berpasir, sehingga tidak
mudah terpencar.
d) Memperbaiki drainase dan tata udara di dalam tanah.
e) Membantu proses pelapukan bahan mineral.
f) Melindungi tanah terhadap kerusakan yang disebabkan
erosi.
g) Meningkatkan kapasitas tukar kation.
3. Menurunkan aktivitas mikroorganisme yang merugikan
(Sumekto,2006).
E. Kekurangan kompos
Adapun kekurangan yang terdapat pada kompos yaitu :
Kandungan unsur hara jumlahnya kecil, sehingga jumlah pupuk
yang diberikan harus relatif banyak bila dibandingkan dengan
pupuk anorganik. Karena jumlahnya banyak, menyebabkan
memerlukan tambahan biaya operasional untuk pengangkutan dan
implementasinya. Pemberian pupuk organik yang membutuhkan
jumlah besar sehingga menjadi beban biaya bagi petani. Sementara
itu reaksi atau respon tanaman terhadap pemberian pupuk organik
tidak sespektakuler pemberian pupuk buatan.
F. Jenis kompos
Produksi kompos dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok:
1. Kompos murni. Pupuk ini ditujukan untuk lahan tanaman
organik, namun juga dapat digunakan untuk lahan pertanian
nonorganik.
2. Kompos plus mikroba (pengikat N dan pelepas P). Pupuk yang
telah diperkaya ini juga diperuntukkan untuk lahan pertanian
organik, namun juga dapat digunakan untuk lahan pertanian
nonorganik (biasa).
3. Kompos plus pupuk buatan. Pupuk ini hanya dapat digunakan
untuk lahan pertanian non-organik.
Kompos apabila dilihat dari proses pembuatannya dapat dibagi
menjadi 2 macam, yaitu: Kompos yang diproses secara alami, dan
Kompos yang diproses dengan campur tangan manusia. Yang
dimaksud dengan pembuatan kompos secara alami adalah
pembuatan kompos yang dalam proses pembuatannya berjalan
dengan sendirinya, dengan sedikit atau tanpa campur tangan
manusia. Manusia hanya membantu mengumpulkan bahan,
menyusun bahan, untuk selanjutnya proses composting/
pengomposan berjalan dengan sendirinya. Kompos yang dibuat
secara alami memerlukan waktu pembuatan yang lama, yaitu
mencapai waktu 3-4 bulan bahkan ada yang mencapai 6 bulan dan
lebih. Yang dimaksud dengan pembuatan kompos dengan campur
tangan manusia adalah pembuatan kompos yang sejak dari
penyiapan bahan (pengadaan bahan dan pemilihan bahan), perlakuan
terhadap bahan, pencampuran bahan, pengaturan temperatur,
pengaturan kelembaban dan pengaturan konsentrasi oksigen, semua
dilakukan dibawah pengawasan manusia.
Proses pembuatan kompos yang dibuat dengan campur tangan
manusia biasanya dibantu dengan penambahan bio-aktivator
pengurai bahan baku kompos. Aktivator pembuatan kompos terdapat
bermacam-macam merk dan produk, tetapi yang paling penting
dalam menentukan aktivator ini adalah bukan merk aktivatornya,
akan tetapi apa yang terkandung didalam aktivator tersebut, berapa
lama aktivator tersebut telah diuji cobakan, apakah ada pengaruh
dari unsur aktivator tersebut terhadap manusia, terhadap ternak,
terhadap tumbuh-tumbuhan maupun pengaruh terhadap organisme
yang ada di dalam tanah atau dengan kata lain pengaruh terhadap
lingkungan hidup disamping itu juga harus dilihat hasil kompos
seperti apa yang diperoleh.
G. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembuatan kompos
1. Temperatur
Proses pembuatan kompos secara aerob dan anaerob akan
berjalan dengan baik jika bahan berada dalam temperatur sesuai
untuk pertumbuhan mikroorganisme perombak. Namun setiap
kelompok mikroorganisme memiliki temperatur optimum pada
proses pembuatan kompos yang merupakan integrasi dari dari
berbagai jenis mikroorganisme yang terlibat. Mikroorganisme
merupakan factor terpenting dalam proses pembuatan kompos
aerob maupun anaerob karena mikroorganisme ini yang
merombak bahan organik menjadi kompos.
2. Kelembapan dan aerasi
Pada proses pembuatan kompos, aerasi sangat dibutuhkan
agar bakteri aerobil dapat bertahan hidup. Namun berbeda
dengan proses anaerobik tidak membutuhkan aerasi. Hal ini
dikarenakan bakteri anaerobik tidak membutuhkan udara.
Untuk kelembapan udara, baik cara anaerob dan aerob
memerlukan kelembapan yang berbeda. Secara umum,
kelembapan yang baik pada proses pembuatan kompos
tergantung dari jenis bahan organik yang digunakan dalam
campuran bahan kompos (Indriani, 2000).
3. pH
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang
lebar. pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar
antara 6.5 sampai 7.5. pH kotoran ternak umumnya berkisar
antara 6.8 hingga 7.4. Proses pengomposan sendiri akan
menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu
sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer
atau lokal, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman),
sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang
mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase
awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya
mendekati netral.
4. Kandungan Hara
Kandungan P dan K juga penting dalam proses
pengomposan dan bisanya terdapat di dalam kompos-kompos
dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba
selama proses pengomposan.
5. Kandungan Bahan Berbahaya
Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-
bahan yang berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam
berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, Cr adalah beberapa bahan
yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan
mengalami imobilisasi selama proses pengomposan.
6. Lama pengomposan
Lama waktu pengomposan tergantung pada karakteristik
bahan yang dikomposkan, metode pengomposan yang
dipergunakan dan dengan atau tanpa penambahan aktivator
pengomposan. Secara alami pengomposan akan berlangsung
dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun hingga kompos
benar-benar matang.
7. Porositas
Porositas adalah ruang di antara partikel di dalam
tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume
rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga ini akan
diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplay Oksigen untuk
proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka
pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga
akan terganggu.
8. Ukuran Partikel
Aktivitas mikroba berada di antara permukaan area dan
udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan
kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi
akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan
besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan
luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran
partikel bahan tersebut.
9. Rasio C/N
Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan
berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C
sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis
protein. Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40 mikroba
mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis
protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan
kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi
berjalan lambat.
Umumnya, masalah utama pengomposan adalah pada rasio C/N
yang tinggi, terutama jika bahan utamanya adalah bahan yang
mengandung kadar kayu tinggi (sisa gergajian kayu, ranting,
ampas tebu, dsb). Untuk menurunkan rasio C/N diperlukan
perlakuan khusus, misalnya menambahkan mikroorganisme
selulotik (Toharisman, 1991) atau dengan menambahkan
kotoran hewan karena kotoran hewan mengandung banyak
senyawa nitrogen
H. Tahap pembuatan kompos
Adapun tahap yang dilakukan dalam membuat kompos yaitu
1. Pemilahan Sampah
Pada tahap ini dilakukan pemisahan sampah organik dari
sampah anorganik (barang lapak dan barang berbahaya).
Pemilahan harus dilakukan dengan teliti karena akan
menentukan kelancaran proses dan mutu kompos yang
dihasilkan
2. Pengecil Ukuran
Pengecil ukuran dilakukan untuk memperluas permukaan
sampah, sehingga sampah dapat dengan mudah dan cepat
didekomposisi menjadi kompos
3. Penyusunan Tumpukan
Bahan organik yang telah melewati tahap pemilahan dan
pengecil ukuran kemudian disusun menjadi tumpukan.Desain
penumpukan yang biasa digunakan adalah desain memanjang
dengan dimensi panjang x lebar x tinggi = 2m x 12m x
1,75m.Pada tiap tumpukan dapat diberi terowongan bambu
(windrow) yang berfungsi mengalirkan udara di dalam
tumpukan.
4. Pembalikan
Pembalikan dilakuan untuk membuang panas yang berlebihan,
memasukkan udara segar ke dalam tumpukan bahan, meratakan
proses pelapukan di setiap bagian tumpukan, meratakan
pemberian air, serta membantu penghancuran bahan menjadi
partikel kecil-kecil.
5. Penyiraman
Pembalikan dilakukan terhadap bahan baku dan tumpukan yang
terlalu kering (kelembapan kurang dari 50%).Secara manual
perlu tidaknya penyiraman dapat dilakukan dengan memeras
segenggam bahan dari bagian dalam tumpukan.Apabila pada
saat digenggam kemudian diperas tidak keluar air, maka
tumpukan sampah harus ditambahkan air. sedangkan jika
sebelum diperas sudah keluar air, maka tumpukan terlalu basah
oleh karena itu perlu dilakukan pembalikan.
6. Pematangan
Setelah pengomposan berjalan 30 – 40 hari, suhu tumpukan
akan semakin menurun hingga mendekati suhu ruangan.Pada
saat itu tumpukan telah lapuk, berwarna coklat tua atau
kehitaman. Kompos masuk pada tahap pematangan selama 14
hari.
7. Penyaringan
Penyaringan dilakukan untuk memperoleh ukuran partikel
kompos sesuai dengan kebutuhan serta untuk memisahkan
bahan-bahan yang tidak dapat dikomposkan yang lolos dari
proses pemilahan di awal proses.Bahan yang belum
terkomposkan dikembalikan ke dalam tumpukan yang baru,
sedangkan bahan yang tidak terkomposkan dibuang sebagai
residu.
8. Pengemasan dan Penyimpanan
Kompos yang telah disaring dikemas dalam kantung sesuai
dengan kebutuhan pemasaran.Kompos yang telah dikemas
disimpan dalam gudang yang aman dan terlindung dari
kemungkinan tumbuhnya jamur dan tercemari oleh
bibit jamur dan benih gulma dan benih lain yang tidak
diinginkan yang mungkin terbawa oleh angin.
I. Metode pembuatan kompos
Terdapat beberapa metoda pembuatan kompos yang umum
dilakukan, yaitu:
a. Wind Row system
Wind Row System adalah proses pembuatan kompos yang
paling sederhana dan paling murah. Bahan baku kompos
ditumpuk memanjang, tinggi tumpukan 0.6 sampai 1 meter,
lebar 2-5 meter. Sementara itu panjangnya dapat mencapai 40-
50 meter. Sistem ini memanfaatkan sirkulasi udara secara alami.
Optimalisasi lebar, tinggi dan panjang nya tumpukan sangat
dipengaruhi oleh keadaan bahan baku, kelembaban, ruang pori,
dan sirkulasi udara untuk mencapai bagian tengah tumpukan
bahan baku. Idealnya adalah pada tumpukan bahan baku ini
harus dapat melepaskan panas, untuk mengimbangi pengeluaran
panas yang ditimbulkan sebagai hasil proses dekomposisi bahan
organik oleh mikroba. Windrow sistem ini merupakan sistem
proses komposting yang baik yang telah berhasil dilakukan di
banyak tempat untuk memproses pupuk kandang, sampah
kebun, lumpur selokan, sampah kota dll. Untuk mengatur
temperatur, kelembaban dan oksigen, pada windrow sistem ini,
maka dilakukan proses pembalikan secara periodik Inilah secara
prinsip yang membedakannya dari sistem pembuatan kompos
yang lain. Kelemahan dari sistem Windrow ini adalah
memerlukan areal lahan yang cukup luas.
b. Aerated Static Pile
Sistem pembuatan kompos lainnya yang lebih maju
adalah Aerated Static Pile. Secara prinsip proses komposting ini
hampir sama, dengan windrow sistem, tetapi dalam sistem ini
dipasang pipa yang dilubangi untuk mengalirkan udara. Udara
ditekan memakai blower. Karena ada sirkulasi udara, maka
tumpukan bahan baku yang sedang diproses dapat lebih tinggi
dari 1 meter. Proses itu sendiri diatur dengan pengaliran
oksigen. Apabila temperatur terlalu tinggi, aliran oksigen
dihentikan, sementara apabila temperatur turun aliran oksigen
ditambah. Karena tidak ada proses pembalikan, maka bahan
baku kompos harus dibuat sedemikian rupa homogen sejak
awal. Dalam pencampuran harus terdapat rongga udara yang
cukup. Bahan-bahan baku yang terlalu besar dan panjang harus
dipotong-potong mencapai ukuran 4-10 cm.

c. In Vessel
Sistem yang ketiga adalah sistemIn Vessel Composting.
Dalam sistem ini dapat mempergunakan kontainer berupa apa
saja, dapat silo atau parit memanjang. Karena sistem ini
dibatasi oleh struktur kontainer, sistem ini baik digunakan
untuk mengurangi pengaruh bau yang tidak sedap seperti bau
sampah kota. Sistem in vessel juga mempergunakan
pengaturan udara sama seperti sistem Aerated Static Pile.
Sistem ini memiliki pintu pemasukan bahan kompos dan pintu
pengeluaran kompos jadi yang berbeda.
Ketiga sistem ini telah banyak dioperasionalkan secara luas.
Dari ketiga sistem ini mana yang dapat menghasilkan kompos yang
terbaik tidaklah penting, karena masing-masing sistem mempunyai
kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
J. Strategi Mempercepat Proses Pengomposan
d. Memanipulasi Kondisi Pengomposan
Strategi ini banyak dilakukan di awal-awal berkembangnya
teknologi pengomposan. Kondisi atau faktor-faktor pengomposan
dibuat seoptimum mungkin. Sebagai contoh, rasio C/N yang
optimum adalah 25-35:1. Untuk membuat kondisi ini bahan-bahan
yang mengandung rasio C/N tinggi dicampur dengan bahan yang
mengandung rasio C/N rendah, seperti kotoran ternak. Ukuran
bahan yang besar-besar dicacah sehingga ukurannya cukup kecil
dan ideal untuk proses pengomposan. Bahan yang terlalu kering
diberi tambahan air atau bahan yang terlalu basah dikeringkan
terlebih dahulu sebelum proses pengomposan. Demikian pula
untuk faktor-faktor lainnya.
e. Menggunakan Aktivator Pengomposan
Strategi yang lebih maju adalah dengan memanfaatkan
organisme yang dapat mempercepat proses pengomposan.
Organisme yang sudah banyak dimanfaatkan misalnya cacing
tanah. Proses pengomposannya disebut vermikompos dan kompos
yang dihasilkan dikenal dengan sebutan kascing. Organisme lain
yang banyak dipergunakan adalah mikroba, baik bakeri,
aktinomicetes, maupuan kapang/cendawan. Saat ini dipasaran
banyak sekali beredar aktivator-aktivator pengomposan.
Misalnya :MARROSBioActiva,GreenPhoskko(GPPromi, OrgaDe
c, SuperDec, ActiComp, EM4, Stardec, Starbio, BioPos, dan lain-
lain.Promi, OrgaDec, SuperDec, dan ActiComp adalah hasil
penelitian Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia
(BPBPI) dan saat ini telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sementara MARROS Bio-Activa dikembangkan oleh para peneliti
mikroba tanah yang tergabung dalam sebuah perusahaan swasta.
Aktivator pengomposan ini menggunakan mikroba-mikroba
terpilih yang memiliki kemampuan tinggi dalam mendegradasi
limbah-limbah padat organik,
yaitu: Trichoderma pseudokoningii, Cytopaga
sp,Trichodermaharzianum, Pholyota sp, Agraily sp dan FPP (fungi
pelapuk putih). Mikroba ini bekerja aktif pada suhu tinggi
(termofilik). Aktivator yang dikembangkan oleh BPBPi tidak
memerlukan tambahan bahan-bahan lain dan tanpa pengadukan
secara berkala. Namun, kompos perlu ditutup/sungkup untuk
mempertahankan suhu dan kelembapan agar proses pengomposan
berjalan optimal dan cepat. Pengomposan dapat dipercepat hingga
2 minggu untuk bahan-bahan lunak/mudah dikomposakan hingga
2 bulan untuk bahan-bahan keras/sulit dikomposkan.
f. Memanipulasi Kondisi dan Menambahkan Aktivator
Pengomposan
Strategi proses pengomposan yang saat ini banyak
dikembangkan adalah mengabungkan dua strategi di atas. Kondisi
pengomposan dibuat seoptimal mungkin dengan menambahkan
aktivator pengomposan.
3. Beberapa Mikroorganisme Spesifik Dalam Tanah Mikroba
WINOGRADSKY telah membagi populasi mikrobiologi tanah
dalam tiga golongan besar, yaitu:
a. Autochthonous
Golongan ini dapat dikatakan sebagai mikroba-mikroba setempat
atau pribumi pada tanah tertentu, selalu hidup dan berkembang di
tanah itu dan selalu diperkirakan ditemukan di dalam tanah
tersebut.
b. Mikroba zimogenik
Golongan mikroba yang berkembang di bawah pengaruh perlakuan
khusus pada tanah, seperti penambahan bahan-bahan organik,
pemupukan, atau serasi.
c. Mikroba transient
Terdiri dari organisme-organisme yang diintrodusir secara sengaja
ke dalam tanah misalnya bentuk inokulum (preparat hidup
mikroba) Rhizobium atau Azotobacter ke dalam tanah.
Golongan-golongan utama (besar) yang menyusun populasi
mikrobiologis tanah terdiri dari golongan flora dan fauna:
a. Golongan flora yang meliputi bakteri (autotrof, heterotrof),
aktinomisetes, jamur (fungi), dan ganggang (algae).
b. Golongan fauna meliputi protozoa, binatang berderajat agak lebih
tinggi, nematoda, cacing tanah.
Berikut terdapat komposisi populasi mikrobiologis tanah, yaitu :
a. Bakteri
Bakteri adalah makhluk hidup bersel tunggal dan bentuknya
sangat kecil sehingga tidak tampak oleh mata telanjang.
Jumlahnya merupakan yang terbesar dari jumlah makhluk hidup di
bumi. Bakteri lebih sering dikaitkan dengan penyakit atau
gangguan kesehatan pada makhluk hidup. Padahal ini tidak
sepenuhnya demikian. Memang benar sebagian bakteri yang dapat
menimbulkan penyakit pada manusia, namun tidak sedikit pula
bakteri yang justru memberi manfaat.
1. Penggolongan bakteri tanah
Terdapat suatu sistem penggolongan bakteri yang
didasarkan atas kegiatan-kegiatan fisiologis yang seringkali
diterapkan dalam studi-studi tanah. Sistem ini menggolongkan
bakteri sebagai berikut :
a) Bakteri Autotropik
Bakteri-bakteri autotropik hampir dapat dikatakan tidak
berkemampuan membusukkan zat/bahan-bahan organic
dan menggunakan karbon dioksida sebagai suatu sumber
karbon yang eksklusif yang diasimilasi secara
chemosintetis.Bakteri autotropik merupakan bakteri yang
tidak berhijau daun yang membentuk zat karbon, lemak,
dan protein tanpa memerlukan sinar matahari. Dalam hal
pembentukan zat karbohidrat misalnya, bakteri autotropik
mampu memanfaatkan kemampuannya untuk
mengoksidasikan membakar zat anorganis seperti : zat
besi, zat belerang, zat nitrogen, zat hidrogen, zat methan
(CH4) dan zat karbonmonoksida (CO)
Contoh :bakteri Nitrosomonas yaitu bakteri yang terlihat
dalam nitrifikasi mampu mengoksidasikan zat nitrogen dari
NH3 (zat amoniak). Dan bakteri Nitrobakter yaitu bakteri
lain yang mampu mengoksidasi zat nitrit menjadi nitrat.
b) Bakteri Heterotropik
Bakteri heterotropik meliputi mayoritas besar
organisme-organisme dalam tanah, pertumbuhannya
tergantung dari bahan-bahan organic sebagai sumber-
sumber energinya dan terutama berhubungan dengan
dekomposisi selulosa dan hemiselulosa, zat-zat tepung,
protein dan bahan-bahan nitrogen lainnya serta lemak
sebagai bahan makanannya. Bakteri ini sangat berbeda
dalam susunan dan fisiologi, berlimpahnya dan
kepentingannya, sementara ada yang aerobik dan
sementara lainnya ada yang anaerobik.
Bakteri heterotropik ini digolongkan menjadi :
1) Bakteri pemfiksasi nitrogen yang memperoleh
nitrogennya dari atmosfer :
1.1 Bakteri pemfiksasi nitrogen yang nonsimbiotik :
1.1.1 Organisme anaerobic, asam butirik
1.1.2 Azotobakter aerobic, radiobakter,
aerobakter,
1.1.3 Bakteri pemfiksasi nitrogen yang simbiotik
atau bernodula pada akarnya
2) Bakteri yang memerlukan nitrogen gabungan :
1.1 Bakteri aerobic :
1.1.1 Bakteri pembentuk spora
1.1.2 Bakteri bukan pembentuk spora
3) Bakteri gram positif
4) Bakteri gram negatif
5) Bakteri anaerobic yang memerlukan nitrogen
gabungan.
b. Actinomycetes
Actinomycetes merupakan mikroorganisme seperti fungi,
tetapi sebenarnya adalah bakteri yang berbentuk filamen.
Actinomycetes sama seperti bakteri pada umumnya, tidak
mempunyai inti sel. Perkembangbiakan Actinomycetes dengan
memperbanyak sel filament seperti fungi.Berdasarkan
klasifikasinya, Actinomycetes termasuk kelas Schizomycetes,
ordo Actinomycetales yang dikelompokkan menjadi empat
familia, yaitu: Mycobacteriaceae, Actinomycetaeceae,
Streptomyceae, dan Actinoplanaceae. Genus yang paling banyak
dijumpai adalah Streptomyces (hampir
70%), Nocardia, dan Micronospora. Koloni Actinomycetes
muncul perlahan, menunjukkan konsistensi berbubuk dan melekat
erat pada permukaaan media. Pengamatan di bawah mikroskop
menunjukkan adanya miselium ramping bersel satu yang
bercabang membentuk spora aseksual untuk perkembang
biakannya.
Actinomycetes adalah mikroorganisme tanah yang umum
dijumpai pada berbagai jenis tanah. Populasinya berada pada
urutan kedua setelah bakteri, bahkan kadangkadang hampir sama.
Actinomycetes hidup sebagai safrofit dan aktif mendekomposisi
bahan organik, sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah
merupakan salah satu mikroorganisme yang mampu mendegradasi
selulosa disamping bakteri, kapang, dan khamir.Jumlah
Actinomycetes meningkat dengan adanya bahan organik yang
mengalami dekomposisi. Dalam proses pengomposan, mereka
memiliki peranan yang penting dalam penguraian senyawa
oraganik kompleks, seperti sellulose, ligni, kitin, dan protein.
Enzim yang dihasil memungkinkannya untuk menguraikan secara
kimia bahan-bahan kompos yang keras seperti ranting kayu,
kertas, dan lain-lain.
Pada umumnya Actinomycetes tidak toleran terhadap asam
dan jumlahnya menurun pada keadaan lingkungan dengan pH di
bawah 5,0. Rentang pH yang paling cocok untuk
perkembangbiakan Actinomycetes adalah antara 6,5-
8,0.Temperatur yang cocok untuk pertumbuhan Actinomycetes
adalah 25-30oC, tetapi pada suhu 55 65oC. Actinomycetes masih
dapat tumbuh dalam jumlah cukup besar, khususnya
genus Thermoactinomyces dan Streptomyces.
c. Fungi
Fungi berjumlah antara ratusan sampai ribuan per gram
tanah. Fungi berperan dalam meningkatkan struktur fisik tanah
dan dekomposisi bahan-bahan organik kompleks dari jaringan
tumbuhan seperti selulosa, lignin, dan pektin.
ContohnyaPenicillium, Mucor, Rhizopus, Fusarium,
Cladosporium, Aspergillus, dan Trichomonas.
1) Aspergillus
Aspergillus sp. dapat bertahan hidup pada sisa-sisa
tanaman sebagai saprofit dan pada tanah sebagai
miselium. Konidianya juga dapat bertahan hidup pada tanah
selama suatu periode tertentu. Jamur ini juga dapat tumbuh
pada permukaan biji, dalam biji atau permukaan jaringan,
terdapat dimana-mana baik di daerah panas maupun di daerah
dingin. Sporanya terdapat di udara, di tanah maupun
pada makanan yang dibiarkan terbuka.
Salah satu spesies Aspergillus yang hidup di lingkungan
terrestrial adalahAspergillus fumigatus. Spora Aspergillus
fumigatus ada di mana-mana. Namun, pada skala besar,
beberapa sumber menghitung organisme ini lebih banyak
ditemukan di belahan bumi utara selama musim gugur dan
musim dingin atau di daerah tropis sepanjang tahun. Secara
khusus, tanah dan komponen tanah membentuk habitat alam.
Tempat lainnya termasuk pada biji yang disimpan, vegetasi
yang sudah membusuk, atau lingkungan udara dalam ruangan.
Selain pada daerah-daerah tertentu, spora organisme ini juga
membentuk beberapa simbion parasit pada tumbuhan atau
hewan.
Spesies ini cocok hidup di ceruk tanah karena sifat jamur
yang memungkinkan untuk mendapatkan dan memiliki nutrisi
serta kelembaban tanpa perlu adanya matahari. Ini Habitat
ekologi pada tanah memberikan nutrisi yang dibutuhkan dan
kelembaban untuk semua tahapan yang berbeda dalam siklus
hidupnya. Nutrisi ini bisa berasal dari organisme lain, seperti
tanaman, bakteri, jamur lain, dan organisme lainnya.
2) Fusarium
Fusarium adalah salah satu genus jamur (fungi)
berfilamen yang banyak ditemukan pada tanaman dan tanah.
Golongan Fusarium dicirikan dengan struktur tubuh berupa
miselium bercabang, hialin, dan bersekat (septat) dengan
diameter 2-4 µm. Jamur (fungi) ini juga memiliki struktur
fialid yang berupa monofialid ataupun polifialid dan
berbentuk soliter ataupun merupakan bagian dari sistem
percabangan yang kompleks. Reproduksi aseksual jamur
(fungi) ini menggunakan mikrokonidia yang terletak pada
konidiospora yang tidak bercabang dan makrokonidia yang
terletak pada konidiospora bercabang dan tak bercabang.
Makrokonidia dibentuk dari fialid, memiliki struktur halus
serta bentuk silindris, dan terdiri dari 2 atau lebih sel yang
memiliki dinding sel tebal. Sedangkan mikrokonidia yang
dihasilkan umumnya terdiri dari 1-3 sel, berbentuk bulat atau
silinder, dan tersusun menjadi rantai atau gumpalan.
d. Ganggang (Algae)
Ganggang banyak tersebar luas di dalam tanah. Organisme
ini hidup pada lapisan permukaan tanah dan dalam
pertumbuhannya dipengaruhi faktor kelembapan, selain itu
ganggang-ganggang ini juga dapat ditemui di bawah permukaan
tanah dan bahkan pada tanah-tanah yang agak kering.
Pertumbuhan dan perkembangannya bergantung pula pada
pengaruh dari sinar matahari, jenis-jenis yang ada di bawah
lapisan tanah harus hidup dalam bentuk heterotropik atau sebagian
besar dari kehidupannya tetap berada di bawah lapisan tanah
dalam keadaan tidak aktif. Terdapat beberapa jenis ganggang
(algae) yang dapat hidup di tanah antara
lain Myxophyceae dan Chlorophyceae.
4. Fauna Tanah
Salah satu dekomposer yaitu fauna tanah. Fauna tanah adalah
fauna yang hidup di tanah, baik yang hidup di permukaan tanah
maupun yang terdapat di dalam tanah. Beberapa fauna tanah, seperti
herbivora, sebenarnya memakan tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas
akarnya, tetapi juga hidup dari tumbuh-tumbuhan yang sudah mati.
Jika telah mengalami kematian, fauna-fauna tersebut memberikan
masukan bagi tumbuhan yang masih hidup, meskipun adapula sebagai
kehidupan fauna yang lain. Fauna tanah merupakan salah satu
kelompok heterotrof yaitu makhluk hidup di luar tumbuh-tumbuhan
dan bacteria, yang hidupnya tergantung dari tersedianya makhluk
hidup produsen utama di dalam tanah.
Fauna tanah adalah organisme yang sebagian atau seluruh siklus
hidupnya dihabiskan di dalam tanah (Kimmins 1987). Suhardjono dan
Adisoemarto (1997) menyatakan bahwa artropoda tanah adalah semua
kelompok binatang yang sebagian atau seluruh daur hidupnya
bergantung pada tanah karena sumber pakannya terdapat di tanah.
Fauna tanah terdiri dari makrofauna, mesofauna dan mikrofauna
(Kimmins 1987). Keberadaan fauna tanah dalam tanah sangat
tergantung pada ketersediaan energi dan sumber makanan untuk
melangsungkan hidupnya, seperti bahan organik dan biomassa hidup
yang semuanya berkaitan dengan aliran siklus karbon dalam tanah.
Walaupun begitu, proses penguraian atau dekomposisi dalam tanah
tidak akan mampu berjalan cepat bila tidak ditunjang oleh kegiatan
makrofauna tanah.
Pengelompokan terhadap fauna tanah sangat beragam, mulai dari
Protozoa, Rotifera, Nematoda, Annelida, Mollusca, Arthropoda,
hingga Vertebrata. Fauna tanah dapat dikelompokkan atas dasar
ukuran tubuhnya, kehadirannya di tanah, habitat yang dipilihnya dan
kegiatan makannya. Berdasarkan kehadirannya, fauna tanah dibagi atas
kelompok transien, temporer, periodik dan permanen. Berdasarkan
habitatnya fauna tanah digolongkan menjadi golongan epigeon,
hemiedafon dan eudafon. Fauna epigeon hidup pada lapisan tumbuh-
tumbuhan di permukaan tanah, hemiedafon pada lapisan organik tanah,
dan yang eudafon hidup pada tanah lapisan mineral. Berdasarkan
kegiatan makannya fauna tanah ada yang bersifat herbivora, saprovora,
fungifora dan predator (Suin 1997).
Sedangkan fauna tanah berdasarkan ukuran tubuhnya menurut
Wallwork (1970), dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu; mikrofauna (20
µ – 200 µ), mesofauna (200 µ – 1 cm) dan makrofauna (lebih dari 1
cm). Menurut Suhardjono dan Adisoemarto (1997), berdasarkan
ukuran tubuh fauna tanah dikelompokkan menjadi: (1). mikrofauna
adalah kelompok binatang yang berukuran tubuh < 0.15 mm, seperti:
Protozoa dan stadium pradewasa beberapa kelompok lain misalnya
Nematoda, (2). Mesofauna adalah kelompok yang berukuran tubuh
0.16 – 10.4 mm dan merupakan kelompok terbesar dibanding kedua
kelompok lainnya, seperti: Insekta, Arachnida, Diplopoda, Chilopoda,
Nematoda, Mollusca, dan bentuk pradewasa dari beberapa binatang
lainnya seperti kaki seribu dan kalajengking, (3). Makrofauna adalah
kelompok binatang yang berukuran panjang tubuh > 10.5 mm, sperti:
Insekta, Crustaceae, Chilopoda, Diplopoda, Mollusca, dan termasuk
juga vertebrata kecil. Odum (1998), menyebutkan bahwa mesofauna
tanah meliputi nematoda, cacing-cacing oligochaeta kecil enchytracid,
larva serangga yang lebih kecil dan terutama yang secara bebas
disebut mikroarthropoda seperti tungau-tungau tanah (Acarina) dan
springtail (Collembola) seringkali merupakan bentuk-bentuk yang
paling banyak tetap tinggal dalam tanah.
Menurut Hole (1981) dalam Rahmawaty (2000), fauna tanah
dibagi menjadi dua golongan berdasarkan caranya
mempengaruhi sistem tanah, yaitu: (1). Binatang eksopedonik
(mempengaruhi dari luar tanah), golongan ini mencakup binatang-
binatang berukuran besar, sebagian besar tidak menghuni sistem tanah,
meliputi Kelas Mammalia, Aves, Reptilia, dan Amphibia. (2).
Binatang endopedonik (mempengaruhi dari dalam tanah), golongan
ini mencakup binatang-binatang berukuran kecil sampai sedang
(diameter < 1 cm), umumnya tinggal di dalam sistem tanah dan
mempengaruhi penampilannya dari sisi dalam, meliputi Kelas
Hexapoda, Myriopoda, Arachnida, Crustacea, Tardigrada,
Onychopora, Oligochaeta, Hirudinea, dan Gastropoda.Kelompok
mikro dan mesofauna merupakan pengendali kehidupan yang
menentukan populasi bakteri dan fungi di ekosistem.
5. Peran Mikroorganisme dan Fauna Tanah
a. Kelompok Fungsional Perekayasa Kimia
Sudah menjadi pemahaman umum bahwa mikroorganisme
tanah (bakteri, fungi, aktinomisetes) memainkan peranan yang
sangat penting pada proses humifikasi, mineralisasi bahan organik
tanah, sehingga menjadi unsur-unsur hara yang tersedia untuk
pertumbuhan tanaman. Sehingga mikroorganisme digolongkan ke
dalam perekayasa kimi , karena mereka berperan menguraikan
sisa-sisa tumbuhan yang sudah mati menjadi unsur-unsur hara yang
siap diserap oleh tanaman. Sebagai perekayasa kimia,
mikroorganisme tanah memainkan beberapa peranan, antara lain
mendekomposisikan bahan organik. Salah satu proses dalam tanah
yang sangat tergantung pada keberadaan mikroorganisme tanah
adalah proses daur ulang bahan organik. Bahan organik tanah
(BOT) merupakan produk langsung dari gabungan aktivitas kimia
tumbuhan, mikroorganisme, fauna dan berbagai faktor abiotik.
BOT berperan dalam proses penting dalam tanah, seperti
kesuburan dan aerasi tanah (Breure, 2004). Dalam proses
pedogenesis (pembentukan tanah) mikroorganisme membantu
melepaskan unsur hara menjadi bentuk tersedia bagi tanaman dan
mempengaruhi pelapukan batuan dan melarutkan mineral, serta
berkontribusi terhadap pembentukan struktur dan agregasi tanah
(Breure, 2004).
b. Kelompok Fungsional Pengendali Kehidupan
Kelompok fungsional pengendali biologis berpengaruh secara
langsung dalam menentukan produktivitas lahan. Produktivitas
lahan dapat diturunkan karena adanya serangan patogen tular
tanah. Beberapa fauna tanah merupakan predator patogen, sehingga
sangat penting dalam menjaga kestabilan produktivitas lahan.
Dalam beberapa kejadian, patogen dapat berperan sebagai yang
menguntungkan bagi keragaman hayati ketika mereka menyerang
tanaman invasif (BIS, 2010). Mikroorganisme tanah juga dapat
berperan sebagai pengendali biologi karena ketika mereka
membangun simbiosis dengan akar tanaman dan bersifat antagonis
terhadap patogen (Breure, 2004) sehingga dapat memperbaiki
kesehatan tanaman dan meningkatkan produktivitas.
c. Kelompok Fungsional Perekayasa Lingkungan
Organisme digolongkan ke dalam perekayasa lingkungan
ketika mereka dapat menciptakan atau memodifikasi habitat bagi
organisme lain. Pada umumnya yang berperan sebagai perekayasa
lingkungan secara taksonomi umum tergolong sebagai fauna tanah.
Peranan fauna tanah terhadap produktivitas lahan bersifat tidak
langsung. Sebagai perekayasa lingkungan fauna tanah terbagi
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pertama adalah yang
berperan langsung dalam proses perombakan bahan organik secara
mekanik, termasuk di dalamnya adalah siput, cacing tanah, kaki
seribu, semut dan rayap. Dalam aktivitasnya mereka menggigit dan
mengunyah serasah menjadi ukuran yang lebih kecil sehingga akan
mempermudah proses dekomposisi oleh mikroorganisme tanah
(Emmerling 2002). Kelompok yang kedua adalah fauna yang
berperan menciptakan struktur tanah misalnya cacing tanah dan
rayap. Kelompok ini juga berperan dalam pendistribusian bahan
organik ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam (bioturbasi) dan
bertanggungjawab terhadap proses pencampuran bahan organik
dengan tanah (Emmerling ., 2002). Cacing tanah berperan dalam
proses inkorporasi bahan organik dari permukaan tanah ke lapisan
tanah yang lebih dalam. Akibat dari aktivitas cacing tanah ini dapat
meningkatkan ketersediaan air tanah, memperbaiki agregasi tanah
dan meningkatkan populasi mikroorganisme tanah (Breure, 2004)
Peranan kedua kelompok tersebut akan berpengaruh positif
terhadap sifat fisik dan kimia tanah sehingga akan memperbaiki
kesuburan dan kualitas tanah.
BAB III
METODELOGI
A. Tempat dan Waktu
Praktikum analisis vegetasi dilaksanakan di Pusat Daur Ulang Sampah,
Jambangan, Surabaya pada hari rabu, 19 April 2018. Praktikum
dilaksanakan pada pukul 09.00 – 11.00 WIB.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum yaitu :
1. Sekrop 1 buah
2. Cetok 1 buah
3. Pengorek sampah 1 buah
Bahan yang digunakan dalam praktikum yaitu :
1. Kantong plastik secukupnya
2. Karet gelang secukupnya
3. Kertas dan pulpen secukupnya
C. Prosedur Kerja
a. Mengamati tumpukan sampah organik sebelum diayak.
b. Mencatat mikroba dan jenis fauna di tumpukan sampah organik.
c. Mengamati sampah yang sudah diayak.
d. Mencatat mikroba dan jenis fauna yang ditemukan di tumpukan smpah
organik yang sudah diayak.
e. Mengidentifikasi jenis mikroba dan fauna yang ditemukan.
f. Mengamati hifa jamur dengan menggunakan mikroskop.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil
No Organisme Jumlah Peran
1 Tak Decomposer yaitu sebagi
terhingga pengurai bahan organik menjadi
anorganik.

Lalat rumah (Musca domestica)

2 Tak Sebagai perombak materi


terhingga tumbuhan dan hewan mati,
pengangkutan materi organik dari
permukaan tanah, perbaikan
struktur tanah dan proses
pembentukan tanah.

Kumbang Hitam (Hydrophilus


piceus)
3 Tak a. Sebagai bio-indikator dalam
terhingga program penilaian
lingkungan.
b. Penyediaan maupun
penyerapan unsur hara bagi
tanaman.

Semut hitam (Dolichoderus sp.)


4 Tak a. Predator serangga hama.
terhingga b. Sebagai dekomposer,
predator, parasitoid, estetis,
obat-obatan, dan penyebuk
(pollinator).

Serangga hitam (Ordo Diptera)


5 Tak Sebagai detritivor
terhingga

Semut merah (Salenopsis sp.)

6 35 ekor Memakan bangkai, daun busuk


sehingga terbentuk bahan organik

Cocopet (ordo Dermaptera)

7 Tak Mampu merusak bahan organik


terhingga melalui proses dekomposisi.

Jamur roti (Rhizopus stolonifer)

2. Pembahasan
a. Lalat rumah (Musca domestica)

Gambar 1.Musca domestica


Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan di Bank Sampah
Jambangan, Surabaya telah ditemukan fauna atau hewan yaitu Musca
domestica dengan jumlah sebanyak 9 ekor. Hewan tersebut berukuran
sedang, panjangnya 6-7,5 mm, berwarna hitam keabu-abuan dengan
empat garis memanjang pada bagian punggung. Mata lalat betina
mempunyai celah lebih lebar dibandingkan lalat jantan .Antenanya
terdiri atas 3 ruas, ruas terakhir paling besar, berbentuk silinder dan
memiliki bulu pada bagian atas dan bawah Bagian mulut atau probosis
lalat seperti paruh yang menjulur digunakan untuk menusuk dan
menghisap makanan berupa cairan atau sedikit lembek. Bagian ujung
probosis terdiri atas sepasang labella berbentuk oval yang dilengkapi
dengan saluran halus disebut pseudotrakhea tempat cairan makanan
diserap. Sayapnya mempunyai empat garis (strep) yang melengkung
ke arah kosta/rangka sayap mendekati garis ketiga. Garis (strep) pada
sayap merupakan ciri pada lalat rumah dan merupakan pembeda
dengan musca jenis lainnya. Pada ketiga pasang kaki lalat ini
ujungnya mempunyai sepasang kuku dan sepasang. Bantalan disebut
pulvilus yang berisi kelenjar rambut. Pulvilus tersebut memungkinkan
lalat menempel atau mengambil kotoran pada permukaan halus
kotoran ketika hinggap di sampah dan tempat kotor lainnya.

Berikut klasifikasi ilmiah dari Musca domestica yaitu :


Kingdom : Animalia
Phylum : Arthoropoda
Kelas : Hexapoda
Ordo : Diptera
Family : Muscidae
Genus : Musca
Spesies : Musca domestica

Dapat dikatakan Musca domestica, merupakan serangga urban


yang mengganggu estetika,merusak makanan, dan berperan sebagai
vector penyakit pada manusia dan hewan ternak (Graczyk et al. 2001;
Sehgal et al. 2002; Sukontason 2004; Förster et al. 2007; Jolly 2007;
Palacios et al. 2009). Karena hewan itu mudah ditemukan pada tempat
yang kotor dengan aroma menyengat, seperti menghinggapi makanan
ataupun minuman, tempat sampah dan sebagainya.Musca domestica
termasuk dalam kelompok fauna tanah meskipun jarang kita temukan
dia berada di tanah, kecuali dia sedang hinggap atau menempel pada
sesuatu yang disukainya. Hewan ini termasuk ke dalam hewan aktif
karena bergerak dengan cara terbang menggunakan kedua sayapnya.
Musca domesticaatau yang lebih dikenal dengan lalat rumah dapat
ditemukan dalam jumlah banyak, biasanya dalam bentuk koloni
ataupun individu. Melimpahnya limbah organik yang diubah menjadi
kompos di area tempat pembuatan kompos (Bank Sampah Jambangan,
Surabaya) telah menjadi tempat favorit bagi lalat karena menyediakan
tempat bertelur dan menjadi media tumbuh bagi larva lalat rumah
terutama pada daerah-daerah dengansuhu dan kelembaban udara tinggi
(Learmount et al. 2002). Selain itu makanan mereka berupa kotoran
manusia atau hewan, dan lain sebagainya. Dan mereka dijumpai pada
tempat yang mengalami potensi konflik terutama berkaitan dengan
masalah sanitasi (Kaufman et al. 2010; Arif 2011; Budiarti
2012).Hewan ini termasuk ke dalam kelompok makrofauna, karena
memiliki ukuran tubuh yang besar antara 2-20 mm dan dapat dilihat
langsung oleh mata. Jumar (2000) menyebutkan berdasarkan responnya
terhadap cahaya, makrofauna tanah yang aktif pada pagi, siang, sore,
serta malam hari.
Lalat umumnya terestrial, meskipun pradewasa berbeda dengan
tahap dewasa. Tahap pradewasa memilih habitat yang cukup banyak
bahan organik yang sedang mengalami dekomposisi, misalnya sampah
organik dan basah. Tahap dewasa juga menyukai sampah organik,
namun hanya daerah jelajahannya yang luas. Sehinga dapat memasuki
rumah atau tempat manusia dalam beraktivitas.kedua perbedaan tahap
ini, menyebabkan kehidupan tahap pradewasa tidak bersaing dengan
kehidupan tahap dewasa. Karena tanpa persaingan, maka lalat dapat
berkembang dengan optimal. Pada tahap pradewasa, lalat lebih bersifat
mengganggu dibandingkan nyamuk. Dari sudut pandang positif, lalat
rumah memiliki peranan yang sangat penting dalam proses
pengomposan yaitu pada larva lalat bersifat decomposer yaitu sebagai
pengurai bahan organik menjadi anorganik.
b. Kumbang Hitam (Hydrophilus piceus)

Gambar 2. Hydrophilus piceus


Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan di Bank
Sampah Jambangan, Surabaya telah ditemukan fauna atau hewan
Hydrophilus piceus dengan jumlah lebih dari 50 ekor atau dapat
dikatakan tak terhingga. Hewan tersebut termasuk ke dalam kelompok
makrofauna karena memiliki ukuran antara 2- 20 mm.
Hydrophilidae adalah famili kumbang air yang memiliki bentuk tubuh
lonjong atau bulat. Sebagian besar spesies yang tergolong familia ini
adalah berukuran kecil, tetapi ada juga yang sangat besar, misalnya
sampai 50 mm. Spesies dalam subfamili Hydrophilinae hidup di air,
sedangkan perwakilan dari subfamili Sphaeridiinae biasanya
ditemukan pada tanah, di kotoran, atau sisa-sisa sayuran, misalnya
Hydrophilus piceus dengan warna tubuhnya yang hitam sehingga
dikenal sebagai kumbang hitam. Sebuah fitur yang membedakan dari
kumbang pemulung adalah antena 6-9 dan bagian palps maxillar lebih
panjang. Hal tersebut yang dirancang untuk melakukan tugas antena
yaitu berbau dan mencicipi. Antena juga digunakan untuk
respirasi. Setelah permukaan udara segar maka antena kemudian akan
disimpan. Habitat hewan ini sebagian besar adalah di air.
Subfamily Sphaeridiinae hidup di daerah terestrial seperti di kotoran,
kompos, bangkai, dan bahan organik yang membusuk lainnya.
Makanan famili serangga ini adalah tanaman dan hewan yang telah
mati dan ada pula yang predator. Beberapa spesies yang hidup di darat
memakan berbagai bahan yang telah membusuk dan belatung. Hewan
ini berperan sebagai dekomposer pada tanah yang sangat berguna
dalam proses jarring makanan yang ada, hasil uraiannya dapat
dimanfaatkan oleh tumbuan (Odum,1996) yang berfungsi sebagai
pengurai yang dapat mengembalikan kesuburan tanah,Peran
makrofauna tanah lainnya adalah proses perombakan materi tumbuhan
dan hewan mati, pengangkutan materi organik dari permukaan tanah,
perbaikan struktur tanah dan proses pembentukan tanah.

Berikut terdapat klasifikasi ilmiah dari Hydrophilus


piceusmenurut Latreille (1802) yaitu :

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Coleoptera
Infraordo : Hydrophiloidea
Superfamili : Saphyliniformia
Famili : Hydrophilidae
Genus : Hydrophilus
Spesies : Hydrophilus piceus

c. Semut hitam (Dolichoderus sp.)

Gambar 3. Dolichoderus sp
Semut merupakan jenis serangga yang memiliki populasi cukup
stabil sepanjang musim dan tahun. Jumlahnya yang banyak dan stabil
membuat semut menjadi salah satu koloni serangga yang penting di
ekosistem. Oleh karena jumlahnya yang berlimpah, fungsinya yang
penting, dan interaksi yang komplek dengan ekosistem yang
ditempatinya, semut seringkali digunakan sebagai bio-indikator dalam
program penilaian lingkungan, seperti kebakaran hutan, gangguan
terhadap vegetasi, penebangan hutan, pertambangan, pembuangan
limbah, dan faktor penggunaan lahan (Wang et al. 2000).
Pengaruh karakteristik ekosistem terhadap keberadaan semut
Spesies semut memiliki tingkat toleransi yang sempit dan respon
yang cepat terhadap perubahan lingkungan. Ukuran semut yang kecil
dan relatif bergantung pada kondisi temperatur, membuat mereka
sangat sensitif terhadap perubahan iklim dan iklim mikro dalam suatu
habitat (Kaspari dan Mejer 2000). Oleh karena itu,dilakukan
pengamatan terhadap beberapa faktor fisik atau lingkungan yang
kemungkinan berpengaruh terhadap keberadaan semut di setiap
ekosistem (Tabel 3). Menurut Andersen (2000) keberadaan semut
sangat terkait dengan kondisi habitat dan beberapa faktor pembatas
utama yang mempengaruhi keberadaan semut yaitu suhu rendah,
habitat yang tidak mendukung untuk pembuatan sarang, sumber
makanan yang terbatas serta daerah jelajah yang kurang mendukung.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka diambil pengamatan
terhadapstrata vegetasi, spesies pohon, ketebalan serasah, suhu tanah,
kerapatan tajuk, pH tanah, kelembaban udara. Strata vegatasi meliputi
komposisi penyusun suatu ekosistem misalnya pohon, perdu dan
semak, serta tumbuhan bawah. Spesies pohon yaitu jenis pohon yang
terdapat di setiap ekosistem, apakah hanya tersusun dari satu jenis
pohon atau lebih. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap
ketersediaan makanan bagi semut.
Potensi semut sebagai predator serangga hama
Hasil identifikasi semut yang dilakukan, telah ditemukan 33 genus
semut. Berdasarkan peranannya, akan dibagi menjadi 3 kelompok
besar yaitu pencari makan (foragers), predator, dan peran lainnya.
Peran lainnya yang dimaksudkan di sini seperti pengumpul jamur,
penjaga pintu, harvester, dan scavengers. Berdasarkan temuan genus
pada empat ekosistem pengamatan, terdapat 15 genus yang berpotensi
sebagai predator. Beberapa diantaranya yaitu dari genus Amblyopone,
Centromyrmex, Calomyrmex, Solenopsis, Dolichoderus, Pheidole dan
lainlain.Penggunaan semut sebagai predator telah dilakukanpenelitian
sebelumnya. Penggunaan semut dari jenis Solenopsis sp. Sebagaiagen
pengontrol kepadatan larva Diatraea saccharalis yang merupakan
larva pengebor tanaman tebu (Rossi dan Flower2002). Hal ini
didukung pula oleh Depparaba danMemesah (2005) yang menyatakan
bahwa populasi danserangan penggerek daun (Phyllocnistis citrella
Staint)pada tanaman jeruk dapat dikurangi dengan musuh alamisemut
hitam (Dolichoderus sp.). Genus Camponotus sebagai genus dominan
dalam penelitian ini, menurutAgosti et al. (2000) mempunyai peran
fungsional sebagai general foragers, dan genus Pheidole mempunyai
peransebagai penghancur biji-bijian dan beberapa jenis sebagai
omnivora.
d. Serangga hitam (Ordo Diptera)

Gambar 4. Ordo diptera


Serangga sebagai salah satu fauna yang ada, merupakan aspek
yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Serangga disebut juga
hexapoda (hewan berkaki enam), merupakan kelas besar dari filum
Arthropoda, yang beranggotakan kurang lebih 675.000 spesies
mempunyai kelompok diseluruh penjuru dunia (Jasin, 1992). Bentuk
tubuh serangga menyerupai silinder yang beraneka ragam, dengan
kulit yang keras sebagai pelindung dan memberi bentuk tubuh
(kerangka luar). Besarnya jumlah spesies serangga dan
keberhasilannya dalam menguasai berbagai habitat di alam, antara lain
disebabkan adanya sayap dan kemampuannya dalam membatasi
penguapan air dari dalam tubuhnya karena memiliki kutikula dan
sistem trakea (Suwignyo, dkk. 2005).
Ordo Diptera
Ordo ini memiliki metamorfosis sempurna. Ordo diptera meliputi
serangga pemakan tumbuhan, penghisap darah, predator, dan
parasitoid. Pada kepala serangga ini dijumpai adanya antena dan mata
facet. Tipe mulut bervariasai, tergantung sub orodnya, tetapi pada
umumnya memiliki tipe penjilat-penghisap. Biasanya hidup di sampah
atau sebagai pemakan daging (Nonadita, 2007). Berdasarkan
pembagian ordo, ada beberapa ordo yang memiliki peranan penting
dalam keseimbangan ekosistem, baik sebagai dekomposer, predator,
parasitoid, estetis, obat-obatan, dan penyebuk (pollinator). Misalkan
ordo Diptera memiliki peranan sebagai serangga estetika yang
memberikan nilai seni yang tinggi dan sebagai predator yang
meamngsa nyamuk, lalat, dan serangga kecil lainnya.
e. Semut merah (Solenopsis sp.)

Gambar 5. Slenopsis sp.

Semut merupakan jenis serangga yang memiliki populasi cukup


stabil sepanjang musim dan tahun. Jumlahnya yang banyak dan stabil
membuat semut menjadi salah satu koloni serangga yang penting di
ekosistem. Oleh karena jumlahnya yang berlimpah, fungsinya yang
penting, dan interaksi yang komplek dengan ekosistem yang
ditempatinya, semut seringkali digunakan sebagai bio-indikator dalam
program penilaian lingkungan, seperti kebakaran hutan, gangguan
terhadap vegetasi, penebangan hutan, pertambangan, pembuangan
limbah, dan faktor penggunaan lahan (Wang et al. 2000).
Penyebab yang memacu kehadiran semut adalah kemampuan
semut berjalan mengikuti jejak jenisnya. Kemampuan mengikuti jejak
ini karena adanya feromon pemandu. Hal ini terlihat dari hasil
pengamatan umumnya semut Selonopsis spberjalan mengikuti jejak
jenisnya. Menurut Borror et al. (2005) dan Elzinga (1987) menyatakan
bahwa serangga memiliki feromon yang jejak untuk pemandu jenisnya
menemukan sumber makanan.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa semut
Selonopsis spsering terjadi perpindahan dalam kelompok dari satu
tempat ke tempat lain. Perpindahan merupakan suatu strategi serangga
dalam suatu ekosistem untuk melakukan distribusi yang bertujuan
memanfaatkan sumber energi yang tersedia secara optimal dan
meminimalkan pengaruh kompetisi intraspesifik dan interspesifik.
Perpindahan dapat terjadi karena faktor makanan, pasangan hidup dan
wilayah, disamping faktor fisis seperti suhu, pH dan angin (Price,
1997)
Semut ini biasanya berperan sebagai detritivor, bukan pengurai
maupun decomposer, karena semut hanya bisa mengonsumsi dan
menguraikan makanannya menjadibagian yang lebih kecil. Sedang
dekomposer dapat mengurai bahan organik menjadi anorganik.
Klasifikasi;
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Heminoptera
Famili : Kamilidae
Genus : Solenopsis
Species : Solenopsis sp.

f. Cocopet (ordo Dermaptera)


Gambar 6. Porficula Auricularia
Ordo Dermaptera atau cocopet merupakan serangga tanah yang
agak gepeng, ramping, dan memiliki ekor yang berbentuk seperti capit.
Menurut Borror., dkk. (1996) serangga ini mempunyai tubuh berwarna
hitam yang kecoklatan yang mana panjangnya 15-20 mm.
perpanjangan distal ruas tarsus kedua membesar, lebih besar dari ruas
yang ketiga dan tanpa sikat rambut yang tebal di bawah, sungut dengan
12-16 ruas, biasanya berwarna kekuning-kuningan atau kecoklatan.
Sebagian besar cocopet memiliki kebiasaan hidup pada malam hari
dan bersembunyi pada siang hari pada celah-celah dan lubang kecil,
dll. Mereka terutama makan zat-zat sayuran yang mati dan membusuk
tetapi beberapa mereka kadang-kadang makan tumbuh-tumbuhan yang
hidup, dan beberapa sebagai pemangsa (Borror, dkk., 1996).
Klasifikasi :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Dermaptera
Famili : Forficulidae
Genus : Porficula
Species : Porficula Auricularia
Menurut Barnes (1997), fauna tanah memainkan peran penting dalam
perombakan zat atau bahan-bahan organik yaitu:
1. Menghancurkan jaringan secara fisik dan meningkatkan
ketersediaan daerah bagi aktifitas bakteri dan jamur.
2. Melakukan perombakan pada bahan pilihan seperti gula, sellulosa
dan sejenis lignin.
3. Merubah sisa-sisa tumbuhan menjadi humus.
4. Menggabungkan bahan yang membusuk pada lapisan tanah bagian
atas.
5. Membentuk bahan organik dan bahan mineral.

g. Jamur roti (Rhizopus stolonifer)

Gambar 7. Rhizopus stolonifer

Jamur roti (Rhizopus stolonifer)dikenal sebagai jamur hitam pada


roti (black bread mold). Merupakan salah satu jamur yang
menyebabkan busuk pada bahan makanan buah dan sayuran dan sering
disebut juga Rhizopus nigricans . Kelompok jamur ini memiliki sifat
heterotrof, non-motile , berserabut , hidup dari bahan organik .
Tersebar di seluruh dunia, sebagian besar saprofit pada roti , acar , keju
, makanan basah , kulit , buah-buahan dan sayuran.
Rhizopus stolonifer adalah spesies jamur yang hidup dengan
memanfaatkan gula atau pati sebagai sumber karbon. Dalam beberapa
kasus dapat meyebabkan infeksi pada manusia. Buah matang biasanya
paling rentan terhadap R.stolonifer karena kandungan airnya tinggi.
R.stolonifer merupakan agen penyakit tanaman yang mampu merusak
bahan organik melalui dekomposisi. Pada umumnya tubuh jamur
tersusun dari spora, sporangiosfor, hifa rizoid dan hifa stolon.Sporanya
dapat ditemukan di udara dan tumbuh cepat pada suhu antara 15 dan
30°C.
Klasifikasi jamur roti;
Kingdom: Fungi
Phylum: Zygomycota
Class: Zygomycetes
Order: Mucorales
Family: Mucoraceae
Genus: Rhizopus
Species: Rhizopus stolonifer
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan tentang peran mikroba
dan fauna tanah terhadap proses pengomposan di Bank Sampah
Jambangan, Surabaya dapat diketahui bahwa banyak beberapa fauna
yang ditemukan dengan peran sebagai dekomposer yaitu Musca
domestica sebanyak 9 ekor, Hydrophilus piceussebanyak tak terhingga
(> 50 ekor), Dolichoderus sp. Sebanyak tak terhingga , Diptera sp.
Sebanyak tak terhingga, Solenopsis sebanyak tak terhingga (> 50
ekor), Jamur roti (Rhizopus stolonifer) tak terhingga, Cocopet (ordo
Dermaptera), Cocopet (ordo Dermaptera) tak terhingga, Kumbang
Hitam (Hydrophilus piceus) sejumlah 10 ekor. Hewan tersebut
termasuk dalam fauna tanah yang memiliki peranan penting dalam
proses pengomposan.

B. Saran
1. Sebelum kegiatan praktikum ini dilakukan, sebaiknya
mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan. Misalnya dengan
membawa termometer, pHmeter, dan memakai jas lab serta
masker.
2. Penelitian mengenai peran mikroba dan fauna tanah yang hidup
dalam proses pengomposan, perlu dikembangkan lebih jauh untuk
mengetahui dan memanfaatkan peranan dari hewan tersebut
sehingga dapat membantu proses-proses dalam kehidupan manusia
serta menjaga keseimbangan ekosistem.
3. Lebih teliti dan cermat saat mengidentifikasi mikroba dan fauna
tanah yang hidup pada kompos dengan mempergunakan buku
identifikasi sehingga hasil pengamatan yang didapatkan lebih
akurat dan benar.
4. Harus adanya koordinasi antar kelompok agar proses pengamatan
(praktikum) dapat berjalan lancar dan selesai tepat pada waktunya.
DAFTAR PUSTAKA
Borror, D,J., Triplehorn, C.A., dan Johnson, N.F., 2005. Study of Insects. 7 th
Edition. Thomson Brooks/Cole. Australia, Canada, Singapura, Spain, United
Kingdom, United Stated
Buckman, H dan Brady, N. 1982. Ilmu Tanah. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

Maftu’ah, E., Arisoesilaningsih, E. dan Handayanto. E,. 2001. Potensi diversitas


makrofauna tanah sebagai indicator kualitas tanah pada beberapa penggunaan
lahan. Makalah Seminar Nasional Biologi 2. ITS. Surabaya.

Parr, J.F., R.I. Papendick, S.B.,S.B.Hornick, and R.E. Meyer.1992. Soil Quality:
Attributes and relationship to Alternative and Sustainable Agriculture.USDA-
Natural Conservation Service.

Price, P.W., 1997. Insect Ecology. Third Edition. Jhon Wiley & Sons Inc. New
York. Chichester, Weinkeim, Brisbane, Singapore, Toronto

Petal, J. 1998. The Influence of ants on Carbon and Nitrogen Mineralization in


Drained Fen Soil. App. Soil Ecol. 9: 271-272

Rosmarkam, A dan N.W Yuwono. 2002. Ilmu kesuburan tanah. Kanisius.


Yogyakarta.
LAMPIRAN

Memilah sampah untuk memisahkan Penumpukan sampah organik dan


sampah kering dan sampah basah anorganik yang yang akan dibuat
menjadi kompos

Melakukan pengepresan terhadap


sampah plastik yang bertujuan untuk
memperkecil volume sampah
Memasukkan sampah ke dalam alat
penyaring untuk menghasilkan kompos

J
Mengamati mikroorganisme dan fauna
tanah pada proses pembuatan kompos
tahap penumpukan sampah

Anda mungkin juga menyukai